Gambar 27. Mekanisme pemanfaatan cyber extension langsung oleh petani.
2. Pemanfaatan cyber extension melalui fasilitator telecenter dan disebarkan
ke petani lain
Pemanfaatan cyber extension pada skenario kedua adalah melalui fasilitator atau operator telecenter sebagai perantara. Mekanisme pemanfaatan
cyber extension tipe kedua ini hanya dapat dioptimalkan di lokasi yang tersedia
access point semacam Telecenter Kartini Mandiri di Batu yang dikembangkan
oleh World Bank. Selain informasi yang dapat diakses secara online, telecenter diharapkan juga menyediakan informasi elektronis dalam bentuk compact disk
atau pangkalan data yang dapat diakses secara offline. Informasi yang diakses oleh fasilitator telecenter dapat disederhanakan
dan selanjutnya diteruskan ke petani baik dalam bentuk tercetak selebaran, penulisanpenempelan pada papan pengumuman, atau dapat dikemas secara
elektronis dalam bentuk compact disk dan dalam pangkalan data. Fasilitator juga dapat menjembatani komunikasi secara interaktif dengan sumber informasi yang
diperlukan petani melalui mekanisme pemanfaatan teknologi informasi yang ada di telecenter. Misalnya promosi usaha tani melalui internet dan konsultasi
usahatani dengan para pakar. Melalui skenario ini, petani yang dapat berhubungan langsung dengan
telecenter selanjutnya dapat membagikan informasi yang diperolehnya kepada
petani lain melalui berbagai media komunikasi yang ada di lingkungan sebagai
Sumber informasi
dalam
cyber extension
Petani dengan tingkat kosmopolitan,
pengetahuan dan keterampilan dalam
pemanfaatan teknologi informasi, dan
kemampuan berbagi informasi yang tinggi
Petani lain melalui komunikasi
interpersonal baik secara tatap muka
maupun penerusan informasi melalui
telepon secara interaktif
Media komunikasi lain: - Pertemuan kelompok
- Papan pengumuman - Forum diskusi forum
media melalui kembagaan lokal
Petani lain yang tidak
dapat langsung
berinteraksi dengan petani
maju atau tidak aktif
dalam kelompok
258
forum diskusi forum media. Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui intermediate users
skenario kedua disajikan pada Gambar 28.
Gambar 28. Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui pengguna antara 3. Pemanfaatan
cyber extension oleh komunitas lembaga komunikasi lokal dan disebarkan ke petani lain
Pemanfaatan cyber extension pada skenario ketiga ini adalah melalui komunitas petani. Mekanisme pemanfaatan cyber extension tipe ketiga dapat
dioptimalkan di lokasi yang tersedia lembaga komunitas lokal semacam radio komunitas misalnya radio Edelweis di Pacet yang dikelola dan dioperasionalkan
oleh petani sendiri. Informasi yang diperolah petani dari berbagai sumber informasi termasuk melalui pemanfaatan cyber extension disederhanakan
didampingi fasilitator atau penyuluh dan dikemas dalam bahasa lokal sehingga mudah dipahami petani. Informasi yang sudah disederhanakan dapat dijadikan
sebagai bahan siaran radio. Petani secara interaktif juga dapat menyampaikan umpan baliknya melalui komunitas ini atau melalui pembentukan forum media.
Radio komunitas juga dapat berfungsi untuk menjembatani petani dalam akses informasi secara interaktif maupun dalam promosi hasil usahataninya.
Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui komunitas skenario ketiga disajikan pada Gambar 29.
Fasilitator operator
telecenter
yang akses informasi
secara online dan
offline
Petani yang dapat akses ke
telecenter
serta memiliki pengetahuan dan
keterampilan dalam pemanfaatan teknologi
informasi yang memadai
Petani lain melalui komunikasi
interpersonal
Forum diskusi pada kelembagaan
komunikasi lokal Petani lain yang tidak
dapat langsung berinteraksi dengan
petani maju atau tidak aktif dalam kelompok
Sumber informasi
dalam
cyber extension
Dpwnload repackaging
I nformasi spesifik lokasi tercetak dan elektronis
CD, pangkalan data
Gambar 29. Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui komunitas. 4.
Pemanfaatan cyber extension oleh penyuluh dan disebarkan secara interaktif ke petani pada umumnya
Pemanfaatan cyber extension pada skenario keempat adalah melalui penyuluh sebagai pengguna antara. Mekanisme pemanfaatan cyber extension tipe
keempat dapat dioptimalkan apabila penyuluh atau pendamping petani telah memiliki kapasitas yang memadai untuk pengelolaan dan akses informasi dengan
pemanfaatan teknologi informasi. Informasi yang diakses melalui cyber extension oleh penyuluh disederhanakan dan dikemas kembali agar mudah dipahami oleh
penyuluh. Apabila diperlukan dapat pula dibuat dengan bahasa lokal sebagai bahan atau materi penyuluhan dan selanjutnya disebarkan melalui blog, jejaring
sosial atau sebagai bahan untuk pertemuan rutin kelompok. Dengan memanfaatkan teknologi informasi, penyuluh juga dapat berinteraksi secara
interaktif dengan petani dalam pelaksanaan kegiatan konsultasi dan fasilitasi kegiatan usahatani. Di samping itu, penyuluh juga dapat memanfaatkan
komunitas yang telah memiliki media komunikasi lokal media forum yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan atau mendiskusikan inovasi yang telah
diolahnya kepada petani di lingkungannya. Mekanisme pemanfaatan cyber extension
melalui penyuluh tipe keempat disajikan pada Gambar 30.
Sumber informasi
dalam
cyber extension
Komunitas dalam kelembagaan
komunikasi lokal yang dapat diakses
oleh petani Petani lain
Media komunikasi lain: - Pertemuan kelompok
- Papan pengumuman - Forum diskusi forum media
melalui kelembagaan lokal Pengembangan informasi
- Bahan siaran radio komunitas
- Bahan diskusi kelompok - Bahan praktek lapangan
Dpwnload repackaging
SI aran radio komunitas
260
Gambar 30. Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui penyuluh.
Pemanfaatan cyber extension melalui penyuluh merupakan mekanisme yang dapat dioptimalkan dengan dukungan program peningkatan kapasitas
penyuluh sebagai pendamping dalam pemanfaatan cyber extension. Penyuluh sekaligus dapat pula mensinergikan beragam media komunikasi untuk
menyampaikan inovasi pertanian. Teknologi informasi dapat dimanfaatkan penyuluh untuk sarana
mengakses dan mengelola informasi sehingga dapat menghasilkan bahan atau materi penyuluhan yang sederhana dan mudah dipahami petani yang dikemas
dalam bentuk tercetak misalnya leaflet. Selain itu penyuluh dapat pula menggandakan informasi yang sudah disederhanakan tersebut ke dalam media
compact disc atau DVD yang dapat menyajikan visualisasi dari materi penyuluhan
yang akan disampaikan melalui media komunikasi kelompok. Tanpa penyuluh hadir dalam pertemuan kelompok pun, media elektronis yang sudah digandakan
dan bersifat out of print dapat digandakan kembali dengan mudah dan biaya yang murah dapat terus dimanfaatkan oleh petani atau kelompok tani dengan
mekanisme pendampingan melalui sarana teknologi informasi. Apabila diperlukan, misalnya untuk memperkenalkan teknologi baru yang
memerlukan ujicoba, penyuluh bersama petani secara berkelompok maupun
Sumber informasi
dalam
cyber extension
Penyuluh Fasilitator LSM yang memiliki kapasitas
dalam pengelolaan dan pemanfaatan informasi
melalui teknologi informasi Petani dengan kemampuan
akses teknologi informasi
Media komunikasi lain: - Pertemuan kelompok
- Komunitas - Forum diskusi forum media
- Demonstrasi atau praktek lapangan Pengembangan informasi
- Bahan materi penyuluhan - Bahan diskusi kelompok
- Bahan praktek lapangan
Dpwnload repackaging
Jejaring sosial
individu dapat melakukan demonstrasi atau ujicoba terhadap teknologi yang sudah diperoleh dari sumber informasi melalui internet. Dengan mekanisme
berbagi informasi secara interaktif melalui teknologi informasi, umpan balik dari petani juga dapat segera sampai ke penyuluh. Di samping itu, jangkauan wilayah
kerja penyuluh dan intersitas berbagi informasipengetahuan antara penyuluh dengan petani binaan menjadi lebih luas dan intens. Interaksi antara penyuluh
dengan petani dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja tanpa ada kendala ruang dan waktu bahkan status. Petani yang sedang bekerja di lahan pun dapat
langsung berkomunikasi dan berkonsultasi dengan penyuluh yang sedang bekerja di kantor. Dengan demikian cyber extension dapat mendorong pada meningkatnya
interaksi secara personal antara petani dengan penyuluh dan di antara petani
sendiri.
262
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Petani di Jabar memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan dalam
memanfaatkan teknologi informasi yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Jatim meskipun tidak didukung oleh program
pengembangan akses sistem informasi berbasis teknologi informasi telecenter. Hal ini disebabkan petani di Jabar lebih proaktif dalam
memanfaatkan teknologi informasi untuk menghadapi penetrasi pasar dan pengembangan jaringan pemasaran karena adanya faktor kedekatan lokasi
dengan ibukota Jakarta. Namun dalam hal sikapnya terhadap pemanfaatan teknologi informasi, petani di Jatim lebih positif dibandingkan dengan petani
di Jabar. Pengalaman petani di Jabar yang kurang baik terhadap content yang belum komprehensif dan tepat guna cenderung membuat petani di Jabar
menjadi lebih berhati-hati dalam memanfaatkan informasi melalui teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani.
Cyber extension dimanfaatkan oleh petani sayuran sebagai sarana komunikasi dan berbagi informasi, promosi usahatani, serta untuk akses informasi
produksi dan teknologi pertanian. Namun demikian, secara umum tingkat pemanfaatan cyber extension baik di Jabar maupun di Jatim masih relatif
rendah selain karena kurangnya kesadaran petani terhadap keberadaan dan manfaat cyber extension dan kurang berfungsinya kelompok sebagai media
berbagi informasi dan pengetahuan, juga ketidaksiapan penyuluh sebagai pendamping petani dalam memanfaatkan cyber extension.
2. Faktor dominan yang memberikan pengaruh nyata terhadap perilaku dalam
memanfaatkan teknologi informasi adalah karakteristik individu tingkat kekosmopolitan petani. Sedangkan faktor dominan yang secara nyata
memberikan pengaruh positif terhadap tingkat pemanfaatan cyber extension adalah karakteristik individu dan perilaku sikap dan keterampilan petani
dalam memanfaatkan teknologi informasi. Selanjutnya, tingkat keberdayaan petani dipengaruhi secara dominan oleh perilaku dalam memanfaatkan
teknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, karakteristik
264
individu tingkat kekosmopolitan, persepsi terhadap karakteristik cyber extension,
dan faktor lingkungan ketersediaan sarana teknologi informasi. 3.
Strategi konvergensi komunikasi melalui pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani sayuran disusun dengan mengembangkan komunikasi
dua tahap two step flow communication dan kombinasi media sesuai dengan karakteristik petani. Peningkatan kapasitas petani dalam pemanfaatan
teknologi informasi dan pemanfaatan cyber extension dapat dilakukan melalui pendampingan dan pengembangan forum media dengan mengoptimalkan
kelembagaan komunikasi lokal. Interaksi dengan pihak luar sistem sosial tingkat kosmopolitan petani dapat ditingkatkan melalui pengembangan
access point yang disertai dengan operator yang mampu memfasilitasi petani
dalam mengakses dan mengelola informasi. 4.
Mekanisme penguatan kinerja lembaga dalam pemanfaatan cyber extension dibagi menjadi empat tipe berdasarkan subyek pertama penggunanya, yaitu: a
Pemanfaatan cyber extension oleh petani maju dan disebarkan kepada petani lain melalui berbagai media komunikasi yang ada di tingkat lokal, b
Pemanfaatan cyber extension oleh fasilitator telecenter dan disebarkan ke petani lain, c Pemanfaatan cyber extension oleh komunitas lembaga
komunikasi lokal dan disebarkan ke petani lain, dan d Pemanfaatan cyber extension
oleh penyuluh dan disebarkan secara interaktif langsung maupun tidak langsung ke petani.
Saran
1. Peningkatan kapasitas penyuluh dalam aplikasi teknologi informasi dalam
pemanfaatan dan pengelolaan informasi perlu dilakukan agar mampu menjadi jembatan untuk mempercepat arus sistem informasi berbasis teknologi
informasi ke tingkat pengguna akhir petani dan membangun komunikasi secara interaktif melalui cyber extension.
2. Guna mendukung pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani,
maka perlu dilakukan revitalisasi kelompok tani dan gabungan kelompok tani. Proses revitalisasi di antaranya dapat dilakukan melalui optimalisasi peran
petani maju yang memiliki tingkat kosmopolitan tinggi, mampu akses cyber extension
, dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam berbagi informasi
secara interaktif. Di samping itu, penyuluh juga perlu mendampingi kelompok tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi. Dengan demikian diharapkan kelompok dapat meningkat kedinamisannya karena mampu memenuhi salah satu
kebutuhan penting anggotanya yaitu sebagai media berbagi informasi teknologi dan pemasaran pertanian.
3. Pengembangan komunikasi secara interaktif dengan melibatkan petani,
penyuluh, dan tim pakar perlu dilakukan dengan mengaktifkan dan merevitalisasi forum online yang telah tersedia di situs-situs Lembaga di
lingkup Kementerian Pertanian. 4.
Penyampaian informasi harga komoditas unggulan dan informasi pendukung kegiatan pertanian lainnya secara tepat waktu yang berpihak pada petani perlu
dikembangkan, misalnya dengan melibatkan kemitraan dengan swasta yang bersifat simbiosis mutualisme.
5. Penelitian lanjutan terkait dengan dampak cyber extension bagi peningkatan
keberdayaan petani ke depan perlu dikembangkan dengan titik kritis pada substansi content dan analisis dampak pengembangan access point dalam
meningkatkan pemanfaatan cyber extension. Hal ini mengingat kurang dimanfaatkannya cyber extension di antaranya karena informasinya belum
sesuai dengan kebutuhan petani, tidak tepat waktu, dan masih bersifat parsial serta masih kurangnya sarana teknologi informasi.
266
DAFTAR PUSTAKA
Abror Abdul R. 1993. Psikologi Pendidikan. Cetakan keempat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Adekoya AE 2007. Cyber extension communication: A strategic model for agricultural and rural transformation in Nigeria. International journal of
food, agriculture and environment
ISSN
1459-0255. Vol. 5, no1, pp. 366-368 [3 pages article] 8 ref.
AgriWatch.com. 2005. Agribusiness and Commodity Trade Information, News, Analysis and Research. http:agriwatch.com.
Agussabti. 2002. Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi. Disertasi Doktor. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
Akpabio IA, DP Okon, and EB Inyang. 2007. Constraints Affecting ICT Utilization by Agricultural Extension Officers in the Niger Delta, Nigeria
The Journal of Agricultural Education and Extension, Volume 13, Issue 4 December 2007. pages 263 – 272.
Aldhmour FM. 2009. The Effective Utilization of Information and Communication Technology and its Impact on Competitive Advantage.
European Journal of Scientific Research. ISSN 1450-216X Vol.29 No.3 2009, pp.302-314
Alemna AA and Joel Sam. 2006. Critical Issues in Information and Communication Technologies for Rural Development in Ghana.
Information Development ISSN 0266-6669 Copyright © 2006 SAGE Publications. Vol. 22, No. 4.
Ancok Djamaludin. 1989. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian dalam Metode Penelitian Survei
. Disunting oleh M. Singarimbun dan Effendi. LP3ES, Jakarta.
Anon. 2006. Information Technology Its Impact on Agriculture in India, Availableat, http:www.asianlaws.orgcyberlawlibraryindiageneralagri.
htm Verified 15th Aug 2006 Anwas EOM. 2009. Pemanfaatan Media dalam Pengembangan Kompetesi
Penyuluh Pertanian Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut Provinsi Jawa Barat
[Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.
Rineka. Cipta. Astuti SI. 2008. Jurnalisme Radio Teori dan Praktek. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media. Babbie. 1992. The practice of social research. Belmont: Wadsworth.
Badan Pusat Statistik. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi 9 Februari 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
268
Ban VDAW dan HS Hawkins. 2007. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.
Bailey K. 1992. Methods of Social Research. McGraw Hill. Bappenas [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional] Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional RPJMN 2010 – 2014.
Baron N. 2008. Adjusting the volume: Technology and multitasking in discourse control pp. 117-194. In J. E. Katz Ed., Handbook of mobile
communication studies. Cambridge, MA: MIT Press. Borae Jin and Namkee. 2009. In-Person Contact Begets Calling and Texting:
Interpersonal Motives for Cell Phone Use, Face-to-Face Interaction, and Loneliness. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking. Volume
13, Number 6, 2010. Mary Ann Liebert, Inc. DOI: 10.1089=cyber. 2009.0314
Batte MT, Jones E, Schnitkey GD, 1990. Computer use by Ohio commercial farmers. American Journal of Agricultural Economics, 72, 935 - 945
Berlo David K. 1960. The Process of communication: An Introduction to Theory and Practice
. New York: Holt, Rinehart and Winston. BBC News. 2004a. Farmers, Phones, and Markets: Mobile Technology in Rural
Development. http:Farmers, Phones and Markets: Mobile Technology
in Rural Development.htm BBC News. 2004b. Wi-fi web reaches farmers in Peru. http:news.bbc.co.uk
Bloom BS. 1956. Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I: The Cognitive Domain.
New York: David McKay Co Inc. Browning LD and JO Sornes. 2008. Rogers’ Diffusion Innovation in
Browning, Larry D., A. S. Saetre, K.K. Stephens, and J. O. Sornes. Information and Communication Technology in Action. Linking Theory
and Narratives of Practice. Routledge, New York and London.
Browning LD, AS Saetre, KK Stephens, and JO Sornes. 2008. Information and Communication Technology in Action. Linking Theory and Narratives of
Practice. New York and London: Routledge.
Chambers R. 1992. Rural Appraisal: Rapid, Relaxed and Participatory. IDS Discussion Paper 311. IDS, Brighton.rosta W. 1996.
Chen GM Starosta W. 1996. Intercultural Communication Competence: A Synthesis. Communication Yearbook 19, pp 353-383.
Chudoba KM, Watson-Manheim MB., Lee CS, Crowston K. 2005. Meet me in cyberspace: Meetings in the distributed work environment.
CIDA. 2002. Thailand Canada Telecentre Project. Capital Project Detailed Study: Deliverable 5 Monitoring the Community Telecentres: Quarter 2.
Cornish L and Alison Dunn. 2009. Creating knowledge for action: the case for participatory communication in research. Development in Practice,
Volume 19, Numbers 4–5, June 2009 Dahlgren P. 2002. The Public Sphere as Historical Narrative, dalam Denis
McQuail ed, Reader in Mass Communication Theory, Thousand Oakes: Sage.
DeVito JA. 1986. The communication handbook: A dictionary. New York: Harper Row.
Dey I. 1993. Qualitative Data Analysis: A User Friendly guide for Social Scientists
. New York: Routledge. Djaali H dan Pudji Muljono. 2004. Pengukuran dalam bidang pendidikan.
Jakarta: Program pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. 1995 [ENRAP] Knowledge Networking for Rural Development in AsiaPacific
Region. 2009. ENRAP Networking Meeting among Researchers and Practitioners on ICT for Rural Livelihoods ICT4RL. [terhubung berkala]
28 Agustus 2009. http:www.enrap.orgindex.php?module=pnKnwMang func=displayResourcekid=612cid=173
Eriyatno. 1996. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press.
FAO and World Bank. 2000. Agricultural Knowledge and Information Systems for Rural Develompment AKISRD. Strategic Vision and Guiding
Principles. Washington: FAO, Rome and World Bank.
Ferdinand F. 2006. Metode Penelitian Manajemen. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Fishbein M and Ajzen I. 1975. ‘Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research, Reading, MA: Addison-Wesley.
Friedman J. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. UK: Blackwell Oxford.
Fullan. 1982. The meaning of educational change. New York: Teachaers College Press.
Ganesh S and Kirsty F. Barber. 2009. The silent community: Organizing zones in the digital divide.DOI: 10.11770018726709104545 2009; 62; 851 Human
Relations. Downloaded from http:hum.sagepub.com by retno mulyandari on October 30, 2009
Gelb E and Parker C. 2005. ‘Is ICT Adoption for Agriculture Still an Important Issue?’[ terhubung berkala 20 September 2010]
http:departments.agri.huji. ac.ilec Gerungan WA 1986. Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco
Godschalk DR, Lacey L. 2001. Learning at a Distance: Technology Impacts on Planning Education. Journal of Planning Education and Research
20:476-489.
270
Goodwin. 2008. Community Informatics, Local Community, and Conflict: Investigating Under-Researched Elements of a Developing Field of Study.
Convergence 2008 14: 419. Downloaded from http:con.sagepub.com by retno mulyandari on December 31, 2008
Hardiman FB. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius. Havelock RG. 1986. Modelling the Knowledge System In: G.M. Beal, W.
Dissanayake S Konoshima Eds, Knowledge Generation, Exchange, and Utilization, pp 77-104. Westiew Press, Boulder.
Hersey Paul, Kenneth HB, dan Dewey EJ. 1996. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources.
Edisi Ketujuh. Upper Saddle River, NY: Prentice Hall.
Heckerson Francine J dan John Middleton. 1975. Helping People Learn: A Module for Trainers.
Hawaii: East West Center. Holbein MF. 2008. From Traditional Delivery to Distance Learning: Developing
the Model. International Journal of Instructional Technology and Distance Learning. Vol. 5. No. 8:43-48.
Huysman M and Wit D. 2003. “A Critical Evaluation of Knowledge Management Practices”, Sharing Expertise – Beyond Knowledge Management.
MIT Press.
Iddings RK Apps JW. 1990. ‘What Influence Farmers’Computer Use?’ Journal of Extension, XXVIII Spring, 19-20.
Ife J W 2002. Community development : community-based alternatives in an age of globalization. 2nd ed. Frenchs Forest, N.S.W. : Pearson Education.
[IRRI International Rice Research Institute. 1998. Bridging the Knowledge Systems of Rice Scientists and Farmers. Crop and Resource Management
Network-CREMNE .
Jantan Mhd, T Ramayah, Chin WW. 2001. Personal Computer Acceptance by Small and Medium Sized Companies Evidence from Malaysia. Jurnal
Manajemen dan Bisnis, No, 1. Vol.3. Jayathilake HACK, BPA Jayaweera and ECS Waidyasekera. 2010. ICT
Adoption and Its’ Implications for Agriculture in Sri Lanka. Jinqiu Z, Hao X, and Indrajit B. 2006. The Diffusion of the Internet and Rural
Development. Convergence 2006 12: 293. Downloaded from http:hum.sagepub.com by retno mulyandari on December 31, 2008.
Junaedi, Fajar, Schiffman LG, Kanuk LL. 2007. Consumer Behaviour, 9th ed. New Jersey, Pearson Prentice Hall.
Kartasasmita G. 1997. “Power and Empowerment: Sebuah Telaah Mengenal Konsep Pemberdayaan Masyarakat”. Jakarta: Badan perencanaan
Pembangunan Nasional. Katz E and Lazarsfeld P. 1955. Personal Influence. New York: The Free Press.
Katz E. 1973. The two-step flow of communication: an up-to-date report of an hypothesis. In Enis and Coxeds., Marketing Classics, p175-193
Kerlinger FN. 1993. Asas-asas Penelitian Behavioral. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Kim DK, Ketan Chitnis, PN Vasanti, and Arvind Singhal. 2007. Opinion Leadership in Indian Villages and Diffusion of E-Choupal. DOI:
10.1177097325860700200305 2007; 2; 345 Journal of Creative Communications
Kim H, Kim GJ, Park HW, and Rice RE. 2007. Configurations of relationships in different media: FtF, email, instant messenger, mobile phone, and SMS.
Journal of Computer-Mediated Communication, 124, 1183-1207. Retrieved August 23, 2007, from http:www.blackwell-synergy.comdoi
full 10.1111j.1083-6101.2007.00369.x
Kiousis. 2001. Jurnal Mass Communication and Society. November. 4, 2001 Klausmeier HJ and William Goodwin. 1977. Learning and Human Abilities:
Educational Psycology. Fourth edition. New York: Harver and Row
Publisher. Krathwohl DR, Bloom BS, and Masia BB. 1973. Taxonomy of Educational
Objectives, the Classification of Educational Goals. Handbook II: Affective Domain.
New York: David McKay Co., Inc. Krzanowski W. 2007. Statistical Principles and Techniques in Scientific and
Social Research . OXFORD University Press.
Kristanto A. 2008. Perancangan Sistem Informasi dan Aplikasinya. Yogyakarta: Gava Media.
Kusnendi. 2008. Model-Model Persamaan Struktural. Bandung: Alfabeta. Kurtenbach T and Thompson S. 2000. Information Technology Adoption
Implications for Agriculture’. [terhubung berkala 3 Oktober 2010] ttps:www. ifama.orgconferences919991999persen20CongressForum
persen 20Papers ProceedingsKurtenbach_ Tammy. PDF. Verified 04th Nov 2006
Ladkin D, Peter Case, Patricia Gayá Wicks, and Keith Kinsella. 2009. Developing Leaders in Cyber-space: The Paradoxical Possibilities of On-
line Learning. DOI: 10.11771742715009102930 Leadership 2009; 5; 193 Downloaded fromhttp: lea.sagepub.com by retno mulyandari on October
30, 2009
LaRose R and Mettler J. 1989, Who Uses Information Technologies in Rural America? Journal of Communication, 39, 48-60.
Leeuwis C. 1993. Computer, Myths, and Modelling: The Social Construction of Diversity. Knowledge, Information, and Commmunication Technologies
in Dutch Horticulture and Agriculture Exension. Wageningen Studies in Sociology, No 36. Wageningen Agricultural Uniersity.
272
Leeuwis C. 2004. Communication for Rural Innovation. Rethinking Agricultural Extension.
Third Edition. Blacwell Publishing Ltd. Lievrouw LA Livingstone S. 2002. The social shaping and consequences of
ICTs. In L. Lievrouw S. Livingstone Eds., Handbook of new media: Social shaping and consequences of ICTs pp. 1-15. Thousand Oaks, CA:
Sage.
Lionberger HF. and Paul H Gwin. 1982. Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agents. Uniersity of Missouri Columbia Campus.
Littlejohn SW and Karen AF. 2005. Theories of Human Communication. Thomson Wadsworth 10 Davis Drive Belmont CA 94002-3098 USA.
Lunadi AG. 1981. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Gramedia. Mangkuprawira S. 2010. Strategi Peningkatan Kapasitas Modal Sosial dan
Kualitas Sumber Daya Manusia Pendamping Pembangunan Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi tahun 2010 No. 1.
Marwan A. 2008. Teachers’ Perceptions of Teaching with Computer Technology: Reasons for Use and Barriers in Usage. International
Journal of Instructional Technology and Distance Learning. Vol. 5. No. 6: 35-42.
Maureen. 2009. How Can ICTs Promote Sustainable Agriculture?. [terhubung berkala] 3 Oktober 2009. http:www.citizenjournalismafrica.orgblog
persen5Buser persen5D05-aug-20091856 Mchombu KJ. 2007. Harnessing Knowledge Management for Africa’s Transition
to the 21st Century. Information Development ISSN 0266-6669 Copyright © 2007 SAGE Publications. Vol. 23, No. 1
McCombs ME, Shaw DL, and Weaver DL. 1997. Communication and Democracy: Exploring the Intellectual Frontiers in Agenda-Setting
Theory . Mahwah, N.J. Lawrence Erlbaum.
McDermott JK. 1987. Making Extension Effective: The Role of ExtensionResearch Linkages. In: W.M. Rivera S.G. Schram Eds.
Agricultural Extension World Wide. Issues, Practices, and Emerging Priorities, pp.89 -99. Croom Helm.
McMillan JH and Schumaker S. 1989. Research in Education: A Conceptual Introduction. Third Edition. Glenview, II: Scott, Foresman.
McMillan JH. 2004. Educational research, fundamentals for the consumer Fourth Edition. Boston, MA: Pearson Education, Inc.
McQuail D dan Sven Windahl. 1996. Communication Models: for the study of mass communication. New York: Addison Wesley Longman Publishing.
Mayoux L. 2010. Poverty Elimination and The Empowerment of Women. [terhubung berlkala] 23 Juni 2010. http:www.sed.man.ac.ukresearch
iarcediaispdfPovElimEmpowerWomen.pdf Melkote SR and H Leslie Steeves. 2001. Communication for Development in the
Third World: Theory and Practice for Empowerment 2nd ed., New
Delhi, Thousand Oaks, CA and London: Sage. Mowlana, H. 2001 ‘Communication and development: theoretical and methodological
problems and perspectives’, in Srinivas R. Melkote and Sandhya Rao eds. Critical Issues in Communication – Looking Inward for Answers:
Essays in Honour of K.E. Eapen, London: Sage
Moleong Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya, Bandung.
Monge PR and Kalman ME. 1996. Sequentiality, simultaneity, and synchronicity in human communication. In J Watt CA. VanLear Eds., Dynamic
patterns in communication process pp. 71-92. Thousand
Mosher. 1983. Menggerakkan dan Membangun Pertanian terjemahan. Jakarta: CV Yasaguna.
Munkejord K. 2007. Multiple media use in organizations: Identifying practices leading to an alignment paradox. Journal of Information, Information
Technology, and Organizations, 2, 95-118. Mulyandari Retno SH. 2005. Alternatif Model Diseminasi Informasi Teknologi
Pertanian Mendukung Pengembangan Pertanian Lahan marginal. Prosiding Seminar Nasional Pemasyarakatan Inovasi Teknologi dalam
Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Perdesaan di Lahan Marginal. Mataram, 30-31 Agustus 2005.
Mulyandari Retno SH. 2010a. Pola Komunikasi dalam Pengembangan Modal Manusia dan Sosial Pertanian. Informatika Pertanian. Volume 19 No. 1,
tahun 2010 Mulyandari Retno SH. 2010b. Pola Komunikasi dalam Pengembangan Modal
Manusia dan Sosial Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 28 No. 2, Desember 2010.
Mundorf N and Kenneth R Laird. 2008. Social and Psychological Effects of Information Technologies and Other Interactive Media in Jennings Bryant
and Dolf Zillman ed. Media Effects. Advances in Theory and Research. Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, Mahwah, New Jersey, London.
Murrow Edward R 2009. dalam http:net.bible.orgillustration.php?topic=604. Schiffman, L.G., Kanuk, L.L. 2007. Consumer Behaviour. New Jersey:
Pearson Prentice Hall Mc.Luhan. 2001. Understanding Media: The Extensions of Man. New York:
Routledge Nagel UJ. 1980. Instituonalisation of knowledge flows: an alalysis of the
extension role of two agricultural universities in India. Special issue of the Quarterly Journal of International Agriculture, 30, DLG Verlag, Frankfurt.
Nasution ME dan H Usman. 2006. Proses Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.
Noeng Muhadjir. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta.
274
Oepen M. 1988. Development Support Communication in Indonesia. Edisi Indonesia. Media Rakyat: Komunikasi Pembangunan Masyarakat, P3M,
Jakarta. Osterlund C. 2007. Genre combinations: A window into dynamic
communication practices.Journal of Management Information Systems, 234, 81-108.
Padmawihardjo. 1994. Psikolo gi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Pavlik
J V. 1996. New Media Technology: Cultural and Commercial Perspectives
. Needham Heights, MA: Allyn Bacon. Pretty Jules N. 1994. Alternative System of Inquiry for Sustainable Agriculture.
IDS Bulletin 252: 37-48. IDS, University of Sussex. Preston P. 2001. Reshaping Communications: Technology, Information and
Social Change. London: SAGE. Purbo OW. 2002. Kekuatan Komunitas Indonesia di Dunia Maya. Panatau, 222.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Nahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka Pustekkom, Depdiknas. 2006. Laporan Studi Banding Pemanfaatan Media
Televisi untuk Pendidikan. Pustekkom, Depdiknas, Jakarta Putnam R, Leonardi R, Nanetti R. 1993. Making Democracy Work: Civic
Traditions in Modern Italy , Princeton, Princeton University Press.
Putnam RD. 2006. E Pluribus Unim: Diversity and Community in the Twenty- First Century,
Nordic Political Science Association. Rakhmat J. 2002. Metode Penelitian Komunikasi; dilengkapi Contoh dan
Analisa Statistik. Bandung; Remaja Rosda Karya.
Ramayah and Jantan M. 2002. Technology Acceptance: An Individual Perspective Current and Future Research in Malaysia. [terhubung
berkala] 10 Oktober 2010. www.ramayah.comjournalarticlespdf techacceptanceindividual.pdf
Rao R. 2004. ICT and e-Governance for Rural Development. Symposium on “Governance in Development Issues, hallenges and Strategies” organized
by Institute of Rural Management, Anand, Gujarat. Rice R E, Hiltz SR, and Spencer D. 2004. Media mixes and learning networks.
In S. R.Hiltz R. Goldman Eds., Learning together online: Research on asynchronous learning pp. 215-237. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
Rideout V, Roberts DF, and Foehr U. 2005. Generation M: Media in the lives of 8-18 year olds. Available from the Kaiser Family Foundation Web site,
http:www.kaiserfamilyfoundation.orgentmedia7250.cfm Ristek [Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia]. 2005.
Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Jakstranas Iptek 2005-2009.
Rogers EM. and DL Kincaid. 1981. Communication Networks. Toward a New Paradigm for Research. New York: A Division of Macmillan Publishing
Co. Inc. Rogers EM. 2003. Diffusion of innovations 5
th
ed. New York: The Free Press Rogers EM, Una EM, Mario AR, and Cody JW. 2005. Complex Adaptive
Systems and The Diffusion of Innovations. The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal, Volume 103, article 30.
Rogers EM, Shoemaker F. 1986. Communication of Inovation: A Cross Cultural Approach
. London: Collier MacMillan Publishe Roling NG. 1988. Extension Science: Information Systems in Agricultural
Development. Cambridge: Cambridge University Press.
Roling NG. 1992. The Emergence of Knowledge Systems Thinking: A Changing Perception of Relationships among Innovation, Knowledge Process and
Configuration. Knowledge and Policy: The International Journal of Knowledge Transfer and Utilization,
5, 42 – 64. Roling NG. and PGH Engel. 1990. IT from a knowledge system perspective:
concepts and issues. Knowledge in Society: The International Journal of Knowledge Transfer, 3, 6-18.
Rosenberg Mj. 2001. E-learning: Strategies for Delivering Knowledge in the Digital Age. New York: McGrow-Hill.
Saetre AS, Stephens KK. 2008. The Role of ICTs in Maintaining Personal Relationship Across Distance and Cultures. In Information and
Communication Technology in Action. Linking Theory and Narratives of Salkind Neil J. 1985. Theories of Human Development. New York: John Wiley
Sons. Santosa S. 1992. Dinamika Kelompok. Bumi Aksara, Jakarta.
Sarana. 2000. Pengaruh persepsi kemudahan, perpsepsi kemanfaatan, kecemasan, sikap, dan penggunaan mikrokomputer terhadap hasl kerja akuntan
pendidik. Tesis Program Studi Magister Akuntansi, Universitas Diponegoro, Semarang.
Sarwono S W. 1984. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Press. Schuler SR, SM Hashemi, AP Riley, dan A Akhter. 1996. Credit Programs,
patriarchi, and Men’s Violence Against Women in rural Bangladesh. Social Science and Medicine, Vol. 43 12, pp 635 – 653.
Sedana IGN dan St. Wisnu Wijaya. Penerapan Model UTAUT untuk Memahami Penerimaan dan Penggunaan Learning Management System. Studi Kasus:
Experential E-Learning of Sanata Dharma University. Jurnal Sistem Informasi MTI UI,
Volume 5, Nomor 2, ISBN 1412 Servaes J. 2002. Communication for Development: one world, multiple
culltures. Second Printing. Hampton Press, Inc. Cresskill, New Jersey.
276
Servaes J. 2005. Mapping the New Field of Communication for Development and Social Change. Paper presented to the Social Change in the 21
st
Century Conference. Centre for Social Change Research. Queensland University of Technology.
Servaes J. 2007. Harnessing the UN System Into a Common Approach on Communication for Development. International Communication Gazette
2007; 69; 483. Severin J Werner dan James W Tankard. 2001. Communication Theory: Origin,
Methods, and Uses in the Mass Media. Eddison Wesley Lngman, Inc.
Shaw ME. 1981. Group Dynamics. The Psychology of Small Group Behavior. Third Edition. New York: McGrow-Hill Book Company.
Shin J and Cameron G T. 2003. The interplay of professional and cultural factors in the online source-reporter relationship. Journalism Studies, 42, 253-
272. Sigit Indra, Mukhlison S. Widodo, dan Alexander Wibisono. 2006. Laporan
Khusus, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 3 Agustus 2006. Slamet M. 2000. Pemantapan Posisi dan Meningkatkan Peran Penyuluhan
Pembangunan dalam Pembangunan. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Sumber Daya Manusia. Bogor: Program Studi Ilmu
Penyuluhan Pembangunan. PPS IPB Bogor dan Perhimpunan Ahli Penuluhan Pembangunan Indonesia PAPPI.
Spitzberg BH. 2006. Preliminary development of a model and measure of computer-mediated communication CMC competence. Journal of
Computer-Mediated Communication, 11 2, article 12. http:jcmc.indiana.
eduvol11issue2 spitzberg. html Spitzberg BH and Cupach WR. 1984. Interpersonal communication competence.
Beverly Hills, CA: Sage. Sooknanan P, Melkote SR, Skinner EC. 2002. Diffusion of an Educational
Innovation in Trinidad and Tobago: The Role of Teacher Attitudes and Perceptions toward Computers in the Classroom. The International
Journal for Communication Studies Vol. 64 6:557-571.
Stephens KK. 2007. The successive use of information and communication technologies at work. Communication Theory, 174, 486-507.
Turner JW and Reinsch NL. 2007. The business communicator as presence allocator: Multicommunicating, equivocality, and status at work. Journal
of Business Communication, 44, 36-58. Stephens KK and Alf Steiner Saetre. 2008. The Role of Credibility and Trust in
ICT Studies: Understanding the Source, Message, Media, and Audience in Larry D. Browning, Alf Steinar Saetre, Keri K. Stephens, and Jan-Odowar
Sornes. Information Communication Technologies in Action. Linking Theory Narratives of Practice.
Routledge Taylor Francis Group. Newyotk and London.
Straub ET. 2009. Understanding Technology: Theory and Future Directions for Informal Learning. Review of Educational Research Vol. 79, No. 2: 625-
649. Subagyo H. 2009. Pengantar Knowledge Sharing untuk Community
Development . [terhubung berkala] 2 Juni 2009. www.gumilarcenter.
comict knowledge sharing.pdf Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabet.
Sumaryanto dan M Siregar. 2003. “Determinasi Efisiensi Teknis Usahatani Padi di Lahan Sawah Irigasi.” Jurnal Agro Ekonomi Volume 21 No. 1, mei
2003. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Sumardjo. 1999. “Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani”
[disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
______. 2007. Sistem Jaringan Informasi Pembangunan Pertanian. Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional.
Sumardjo, Lukman M Baga, dan Retno SH Mulyandari. 2009. Kajian Cyber Extension Laporan Kegiatan. Departemen Pertanian.
Sumardjo, Lukman M Baga, dan Retno SH Mulyandari. 2010. Cyber Extension: Peluang dan tantangan dalam Revitalisasi Penyuluhan
. Bogor: IPB Press. Sumodiningrat. 2009. Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa Menanggulangi
Kemiskinan dengan Prinsip Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.
Sudrajat. 2009. Pendidikan Orang Dewasa.
Bahan TOT Pemberdayaan Komite Sekolah. [terhubung berkala] 20 Agustus 2009. http:akhmadsudrajat.
wordpress.com2009 02159-prinsip-pendidikan-orang-dewasa
Suranto CAW. 2005. Komunikasi Perkantoran. Edisi 1. Yogyakarta: Media. Wacana.
Swanson, B.E. J.B. Claar. 1984. The History and Development of Agricultural Extension. In. B.E.Swanson Ed. Agricultural Extension. A
Reference Manual, pp. 1 – 19. FAO, Rome. Tamba, Mariati. 2007. Kebutuhan Informasi Pertanian dan aksesnya bagi Petani
Sayuran: Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di Provinsi Jawa Barat. Disertasi,
Pascasarjana IPB.
Taragola N and Gelb E. 2005. Information and Communication Technology ICT Adoption in Horticulture: A Comparison to the EFITA Baseline’.
[terhubung berkala 20 September 2010] http:departments.agri.huji.ac.il economicsgelb-hort-14.pdf Verified 04th Nov 2006.
Taragola N, Van Lierde, and Gelb E. 2009. Information and communication Technology ICT adoption in Horticulture: comparison of the EFITA,
ISHS, and ILVO questionnaires.
278
Tan AS. 1981. Mass Communication Theories and Research. Ohio : Grid Publishing, Inc.
Technical Advisorry Committee of the CGIAR TAC-CGIAR. 1988. TAC,
CGIAR Policy 12 Teo TSH, Lim GS, Fedric SA. 2007. The Adoption and Diffusion of Human
Resources Information Sytems in Singapore. Asia Pacific Journal of Human Resources Vol. 451: 44-62.
UPIPD – telecenter Kelayu Selatan. 2009. Laporan Telecenter P4MI Kelayu Selatan Bulan Juni 2009. P4MI Lombok Timur.
Venkatesh V, Morris MG, Davis GB, dan Davis FD. 2003. “User Acceptance of Informatiuon Technology toward a Unified View.” MIS Quarterly, 27 3. p
425-478. Wahid F, Bjørn Furuholt, and Stein Kristiansen. 2006. Internet for Development?
Patterns of use among Internet café customers in Indonesia. Information Development
2006; 22; 278. Walgito B. 2003. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi offset.
Watson Manheim MB and Belanger F. 2007. Communication media repertoires: Dealing with the multiplicity of media choices. MIS Quarterly, 312, 267-
293. Wibowo F. 1994. Komunikasi Media Teater Rakyat. Paper Workshop
Komunikasi Teater Rakyat , Studio Audio Visual-Universitas Sanata
Darma, Yogyakarta. Wijekoon RSEM.F, M Rizwan, RMM Sakunthalarathanayaka, HG Anurarajapa.
2009. Cyber Extension: An Information and Communication Technology Initiative for Agriculture and Rural Development in Sri Lanka. [terhubung
berkala] 26 September 2009. http:www.fao.orgfileadminuser_upload kceDoc_for_Technical_ConsultSRI_LANKA_CYBER_EXTENSION.p
df
Warren MF, Soffe RJ, Stone MAH, 2000. Farmers, computers and the internet : a study of adoption in contrasting regions of England. Farm Management,
10, 11, 665 - 684 Wiriaatmadja S. 1973. Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta: CV
Yasaguna. Wijanto SH. 2008. Structural Equation Modeling. Jakarta: Graha Ilmu.
Winkel WS. 1989. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia Yoon CS. 2009. Participatory Development Communication: A West African
Agenda: Participatory Communication for Development
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Tabel 1. Hasil Uji Beda Karakteristik Individu
Peubah
Lower Upper
EVA 4.472
.036 -2.642
198 .009
-4.060 1.54
-7.09 -1.03
EVNA -2.642
187.578 .009
-4.060 1.54
-7.09 -1.03
EVA .354
.552 -.336
198 .737
-.150 .45
-1.03 .73
EVNA -.336
197.474 .737
-.150 .45
-1.03 .73
EVA .032
.857 .955
198 .341
2.62500 2.75
-2.80 8.05
EVNA .955
197.360 .341
2.62500 2.75
-2.80 8.05
EVA .285
.594 -.433
198 .665
-2.580 5.96
-14.33 9.17
EVNA -.433
197.546 .665
-2.580 5.96
-14.33 9.17
EVA 4.720
.031 -1.906
198 .058
-1617.950 848.72
-3291.65 55.75
EVNA -1.906
138.858 .059
-1617.950 848.72
-3296.04 60.14
EVA 15.077
.000 .319
198 .750
.230 .72
-1.19 1.65
EVNA .319
150.272 .750
.230 .72
-1.20 1.66
EVA 11.931
.001 1.227
198 .221
3.75000 3.06
-2.28 9.78
EVNA 1.227
182.523 .221
3.75000 3.06
-2.28 9.78
Equality of t-test for Equality of Means
F Sig.
t df
Sig. 2- tailed
Mean Difference
Std. Error Difference
Lama menggunakan
TI Luas
penguasaan lahan
Interval of the Umur
Pendidikan formal
Kepemilikan sarana TI
Tingkat kosmopolitan
Keterlibatan dalam kelompok
Tabel 2. Hasil Uji Beda Lingkungan
Peubah
Lower Upper
EVA 7.252
.008 1.362
198 .175
5.20000 3.82
-2.33 12.73
EVNA 1.362
190.670 .175
5.20000 3.82
-2.33 12.73
EVA 6.556
.001 -1.598
198 .112
-7.00000 4.38
-15.64 1.64
EVNA -1.598
193.664 .112
-7.00000 4.38
-15.64 1.64
EVA .000
.988 -2.289
198 .023
-6.50000 2.84
-12.10 -.90
EVNA -2.289
197.958 .023
-6.50000 2.84
-12.10 -.90
EVA 1.347
.247 1.661
198 .098
8.00000 4.82
-1.50 17.50
EVNA 1.661
197.176 .098
8.00000 4.82
-1.50 17.50
t df
Equality of t-test for Equality of Means
F Sig.
Sig. 2- tailed
Mean Difference
Ketersediaan media
komunikasi Ketersediaan
sarana TI
Ketersediaan infrastruktur
jaringan Keterjang-kauan
fasilitasi training Std. Error
Difference 95 Confidence
Interval of the
Lampiran 1 sambungan Tabel 3. Hasil Uji Beda Persepsi terhadap Karakteristik
Cyber Extension
Peubah
Lower Upper
EVA 10.190
.002 -.547
198 .585
-.91667 1.68
-4.22 2.39
EVNA -.547
176.607 .585
-.91667 1.68
-4.22 2.39
EVA 12.743
.000 -1.442
198 .151
-2.50000 1.73
-5.92 .92
EVNA -1.442
182.575 .151
-2.50000 1.73
-5.92 .92
EVA 23.887
.000 .704
198 .482
1.16667 1.66
-2.10 4.43
EVNA .704
158.782 .482
1.16667 1.66
-2.11 4.44
EVA 12.932
.000 -.571
198 .569
-.91667 1.61
-4.08 2.25
EVNA -.571
161.617 .569
-.91667 1.61
-4.09 2.25
EVA 4.691
.032 -2.110
198 .036
-4.04167 1.92
-7.82 -.26
EVNA -2.110
196.020 .036
-4.04167 1.92
-7.82 -.26
Kesesuaian CE dengan budaya
Kesesuaian CE dengan
kebutuhan Kemudahan CE
untuk diaplikasikan
Keuntungan relatif CE
Kemudahan CE untuk dilihat
hasilnya Sig. 2-
tailed Mean
Difference e e e s est o
Equality of t-test for Equality of Means
F Sig.
t df
Std. Error Difference
95 Confidence Interval of the
Tabel 4. Hasil Uji Beda Perilaku Pemanfaatan Teknologi Informasi
Peubah
Lower Upper
EVA .387
.534 3.270
198 .001
11.34783 3.47
4.50 18.19
EVNA 3.270 197.669
.001 11.34783
3.47 4.50
18.19 EVA
.141 .708
-3.978 198
.000 -6.41670
1.61 -9.60
-3.24 EVNA
-3.978 197.565 .000
-6.41670 1.61
-9.60 -3.24
EVA .211
.646 2.670
198 .008
7.16667 2.68
1.87 12.46
EVNA 2.670 197.894
.008 7.16667
2.68 1.87
12.46 Pengetahuan
terhadap aplikasi TI
SIkap terhadap pemanfaatan TI
Keterampilan dalam
pemanfaatan TI Sig. 2-
tailed Mean
Difference e e e s es o
Equality of t-test for Equality of Means
F Sig.
t df
Std. Error Difference
95 Confidence Interval of the
Lampiran 1 sambungan Tabel 5. Hasil Uji Beda Tingkat Pemanfaatan
Cyber Extension
Peubah
Lower Upper
EVA 2.443
.120 -.686
198 .494
-4.746 6.92
-18.39 8.90
EVNA -.686
193.621 .494
-4.746 6.92
-18.40 8.91
EVA 1.246
.266 3.901
198 .000
11.85714 3.04
5.86 17.85
EVNA 3.901
195.658 .000
11.85714 3.04
5.86 17.85
EVA 5.175
.024 1.473
198 .142
3.25000 2.21
-1.10 7.60
EVNA 1.473
177.702 .142
3.25000 2.21
-1.10 7.60
EVA 3.385
.067 5.676
198 .000
15.41663 2.72
10.06 20.77
EVNA 5.676
193.055 .000
15.41663 2.72
10.06 20.77
EVA 1.751
.187 3.438
198 .001
10.40000 3.03
4.43 16.37
EVNA 3.438
195.873 .001
10.40000 3.03
4.43 16.37
EVA 2.912
.090 1.775
198 .077
4.33333 2.44
-.48 9.15
EVNA 1.775
191.426 .077
4.33333 2.44
-.48 9.15
Intensitas pemanfaatan TI
Tingkat akses TI Manfaat yang
dirasakan Tingkat
pengelolaan informasi
l l i TI Jangkauan
sumber informasi
Kualitas berbagi informasi
Sig. 2- tailed
Mean Difference
e e e s est o Equality of
t-test for Equality of Means F
Sig. t
df Std. Error
Difference 95 Confidence
Interval of the
Lampiran 1 sambungan Tabel 6. Hasil Uji Beda Tingkat Keberdayaan Petani
Peubah
Lower Upper
EVA 3.081
.081 -2.725
198 .007
-8.16667 3.00
-14.08 -2.26
EVNA -2.725
194.848 .007
-8.16667 3.00
-14.08 -2.26
EVA 1.763
.186 -1.074
198 .284
-3.33330 3.10
-9.45 2.79
EVNA -1.074
197.011 .284
-3.33330 3.10
-9.45 2.79
EVA 4.476
.036 -2.076
198 .039
-5.33333 2.57
-10.40 -.27
EVNA -2.076
192.139 .039
-5.33333 2.57
-10.40 -.27
EVA .144
.705 -2.351
198 .020
-6.50000 2.77
-11.95 -1.05
EVNA -2.351
197.997 .020
-6.50000 2.77
-11.95 -1.05
EVA .014
.907 -.666
198 .506
-1.77778 2.67
-7.04 3.49
EVNA -.666
196.864 .506
-1.77778 2.67
-7.04 3.49
EVA .003
.956 .886
198 .377
2.77778 3.13
-3.40 8.96
EVNA .886
197.981 .377
2.77778 3.13
-3.40 8.96
EVA 5.820
.017 .281
198 .779
.66667 2.37
-4.01 5.34
EVNA .281
187.263 .779
.66667 2.37
-4.01 5.34
EVA 22.617
.000 1.641
198 .102
4.33333 2.64
-.87 9.54
EVNA 1.641
180.333 .103
4.33333 2.64
-.88 9.54
Kemampuan menentukan
harga jual Kemampuan
bekerjasama Kemampuan
mengelola informasi
Kemampuan mengolah hasil
Kemampuan mengakses
teknologi Kemampuan
menentukan komoditas
Kemampuan mengatur input
usahatani
Kemampuan memasarkan
hasil Sig. 2-
tailed Mean
Difference Std. Error
Difference 95 Confidence
Interval of the Equality of
t-test for Equality of Means F
Sig. t
df
Lampiran 2 HUBUNGAN ANTAR PEUBAH PENELITIAN
BERDASARKAN LOKASI PENELITIAN
Tabel 1. Hubungan Antar Peubah Karakteristik Individu Responden Petani Sayuran
Jabar
Jatim
Jabar
Jatim
Jabar
Jatim
Jabar
Jatim
Jabar
Jatim
Jabar
Jatim
Jabar
Jatim Umur
1 1
‐0.145 ‐.434 ‐0.185 ‐.203 ‐0.056 ‐0.19 0.115 ‐0.097 0.02
‐0.113 0.017 0.119
Pendidikan Formal
‐0.145 ‐.434 1
1 .452 .578 .409 .477 ‐0.069 .241 0.036 .306 0.071 0.153
Kepemilikan TI
‐0.185 ‐.203 .452 .578 1
1 .317 .640 0.18 .511 0.145 .402
‐0.066 .287
Lama menggunakan TI
‐0.056 ‐0.19 .409 .477 .317 .640
1 1
0.062 .402 .308 .296 ‐0.042 0.159
Penguasaan lahan
0.115 ‐0.097 ‐0.069 .241
0.18 .511 0.062 .402
1 1
‐0.004 .365 0.118 .227
Tingkat kekosmopolitan
0.02 ‐0.113 0.036 .306 0.145 .402 .308 .296 ‐0.004 .365
1 1 0.071 .369
Keterlibatan dalam kelompok
0.017 0.119 0.071
0.153 ‐0.066 .287 ‐0.042 0.159 0.118 .227 0.071 .369
1 1
Umur
Peubah
Pendidikan Formal
Kepemilikan sarana TI
Lama menggu- nakan TI
Luas penguasa-an lahan
Tingkat kekos- mopolitan
Keterlibatan da- lam kelompok
Tabel 2. Hubungan Antar Peubah Persepsi terhadap Lingkungan
Jabar
Jatim
Jabar
Jatim
Jabar
Jatim
Jabar
Jatim Ketersediaan media
konvensional
1 1
.329 .319 .294
0.091 0.173
‐0.062
Ketersediaan sarana TI
.329 .319
1 1 .257 .382
0.186 .274
Ketersediaan infrastruktur
.294 0.091
.257 .382
1 1
.249 0.17
Keterjangkauan fasilitas training
0.173 ‐0.062
0.186 .274
.249 0.17
1 1
Peubah
Ketersediaan media konvensional
Ketersediaan sarana TI
Ketersediaan infrastruktur
Keterjangkauan fasilitas training
Tabel 3. Hubungan Antar Peubah Persepsi Petani terhadap Karakteristik Cyber Extension
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Kesesuaian CE dengan kebutuhan
1 1
.498 .417
.608 .578
.350 .462
.332 0.117
Kemudahan untuk dilihat hasilnya
.498 .417
1 1
.313 .358
.356 .305
.279 0.168
Keuntungan relatif
.608 .578
.313 .358
1 1
.611 .655
.396 0.153
Kemudahan untuk diaplikasikan
.350 .462
.356 .305
.611 .655
1 1
.390 0.152
Kesesuaian dengan budaya
.332 0.117
.279 0.168
.396 0.153
.390 0.152
1 1
Peubah
Kesesuaian CE dengan k b t h
Kemudahan untuk dilihat h il
Keuntungan relatif Kemudahan diaplika-
ik Kesesuaian dengan
b d
Tabel 4. Hubungan Antar Peubah Perilaku Pemanfaatan Teknologi Informasi
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Tingkat pengetahuan terhadap TI
1 1
.485 .380
.753 .792
Sikap terhadap pemanfaatan TI
.485 .380
1 1
.593 .382
Keterampilan menggunakan TI
.753 .792
.593 .382
1 1
Peubah
Tingkat pengetahuan terhadap TI
Sikap terhadap pemanfaatan TI
Keterampilan menggunakan TI
Tabel 5. Hubungan Antar Peubah Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Intensitas pemanfaatan
1 1
.453 .729 .581 .718 0.192 .521 0.154 .633 .197
0.109
Tingkat akses
.453 .729
1 1 .489 .603 0.194 .528
0.133 .602 .228 .204
Tingkat manfaat yang dirasakan
.581 .718
.489 .603 1
1 0.152 .536 .223 .530 .259
0.195
Tingkat pengelolaan informasi
0.192 .521
0.194 .528 0.152 .536 1
1 .394 .551 ‐0.156 .252
Jangkauan sumber informasi
0.154 .633
0.133 .602 .223 .530 .394 .551 1
1 0.131 0.059
Kualitas berbagi informasi
.197 0.109
.228 .204 .259
0.195 ‐0.16 .252 0.131 0.059
1 1
Peubah
Intensitas peman- faatan
Tingkat akses Tingkat manfaat
yang dirasakan Tingkat pengelo-
laan iinformasi Jangkauan sum-
ber informasi Kualitas berbagi
informasi
Tabel 6. Hubungan Antar Peubah Tingkat Keberdayaan Petani
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Menentukan komoditi
1 1 .621 .912 .517
.645 .384 .723 ‐0.086 .225 ‐0.172 0.075 .292 .201 0.018 .267
Mengatur input
.621 .912 1
1 .499 .668 .368 .761
‐0.117 .225 ‐0.045 0.114 .316 .247 0.101 .320
Memasarkan hasil
.517 .645 .499 .668 1
1 .688 .842 0.008 0.032 0.029 0.181 ‐0.19 .312 0.104 .362
Menentukan harga
.384 .723 .368 .761 .688 .842
1 1 0.072 0.082
0.11 0.078 ‐0.16 .259 0.161 .276
Bekerjasama
‐0.086 .225 ‐0.117 .225 0.008 0.032 0.072 0.082
1 1 0.167 .375 .216
0.19 .204 .322
Mengelola informasi
‐0.172 0.075 ‐0.045 0.114 0.029 0.181
0.11 0.078 0.167 .375 1
1 0.174 .303 .211 .443
Mengelola hasil
‐.292 .201 ‐.316 .247 ‐0.189 .312 ‐0.157 .259 .216 0.19 0.174 .303 1
1 0.12 .298
Mengakses teknologi
0.018 .267 0.101 .320 0.104
.362 0.161 .276 .204 .322 .211 .443 0.12 .298 1
1
Kemampuan bekerjasama
Kemampuan mengelola
informasi Kemampuan
mengelola hasil panen
Kemampuan mengakses
teknologi
Peubah
Kemampuan menentukan
komoditas Kemampuan
mengatur input Kemampuan me-
masarkan hasil Kemampuan
menentukan harga
Tabel 7. Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Persepsi Petani terhadap Karakteristik Cyber Extesion
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Umur
‐0.152 ‐.278 ‐0.188
‐0.152 ‐0.19 ‐.261
‐0.177 ‐0.16
‐0.095 ‐0.007
Pendidikan Formal
.379 .367
.446 .409
.394 .590
.430 .410
.321 .248
Kepemilikan TI
.272 .536
.401 .409
.202 .528
.286 .391
0.179 .263
Lama menggunakan TI
.281 .517
0.157 .322
.252 .545
.204 .419
0.144 0.185
Penguasaan lahan
0.073 .311
0.055 0.189
‐0.029 .254
‐0.073 .294
‐0.025 0.03
Tingkat kekosmopolitan
0.119 0.188
‐0.12 0.176
0.106 .411
0.099 .404
‐0.086 .233
Keterlibatan dalam kelompok
‐0.051 0.038
‐0.031 0.192
‐0.138 .215
‐0.165 0.12
‐.214 0.183
Keuntungan relatif Kemudahan diaplika-
sikan Kesesuaian dengan
budaya
Peubah
Kesesuaian CE dengan kebutuhan
Kemudahan untuk dilihat hasilnya
Tabel 8. Hubungan Antara Persepsi Petani terhadap Faktor Lingkungan dengan Persepsi Petani terhadap Karakteristik Cyber Extesion
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Jabar Jatim
Ketersediaan media konvensional
0.117 ‐0.005
0.068 0.034
.245 ‐0.026
0.091 ‐0.009
.335 .340
Ketersediaan sarana TI
.300 .323
0.176 .211
.435 .421
.331 .433
.491 .406
Ketersediaan infrastruktur
.224 .234
0.13 0.11
.353 .253
.352 0.189
0.176 .390
Keterjangkauan fasilitas training
.427 .267
.414 0.04
.399 .410
0.151 .199
0.121 ‐0.023
Peubah
Kesesuaian CE dengan kebutuhan
Kemudahan untuk dilihat hasilnya
Keuntungan relatif Kemudahan diaplika-
sikan Kesesuaian dengan
budaya
ABSTRACT
RETNO SRI HARTATI MULYANDARI. Cyber Extension as A Communication Media in Vegetable Farmer Empowerment. Under direction of SUMARDJO as a
Chairman Committee, NURMALA K. PANDJAITAN, and DJUARA P. LUBIS
as members Cyber extension is a communication mechanism of agricultural innovation by
using new communication media that integrate information and communication technology in agricultural development. The objectives of the research are: 1 to
analyze the behavior of vegetable farmer in technology information utilization and the cyber extension utilization; 2 to analyze the dominant factors that influencing
the behavior of vegetable farmer in technology information utilization, the utilization of cyber extension, and the level of vegetable farmer empowerment,
and 3 to design the strategy of cyber extension utilization in vegetable farmer empowerment. The research conducted in Cianjur West Java and Batu East
Java on July 2010 to January 2011. The study used the primary data that derived from the 200 respondents that using the information technology facilities to
support farming activities with closed and semi-open questionnaires and by using Likert scale. The quantitative data were analyzed statistic based on correlation
analysis, t_test, and Structural Equation Modelling. Qualitative data that was collected through in-depth interview, observation, documentation, and focus group
discussion to support the quantitative data. The results indicated that the application of information and communication technology in cyber extension can
greatly improve farmers’ accessibility especially for accessing the agricultural technology and market information. The farmer characteristic the level of
cosmopolitan, the behavior in the information technology utilization, and the perception to the characteristic of cyber extension comparative advantage and
observability are the dominant factors that influencing the utilization of cyber extension. The dominant factors influencing the level empowerment of vegetable
farmer are the cyber extension utilization, the behavior in the information technology utilization, the level of cosmopolitan, the perception to the
characteristic of cyber extension, and the environment. The strategy of communication convergence through the cyber extension utilization in vegetable
farmer empowerment was designed with two-step-flow communication and the utilization of the other communication media suitable with farmer characteristic.
The strategy at the level of policy maker is to develop the content and the connection of networking technology that appropriately with the environment
condition. There are four types of the cyber extension utilization mechanism at the level of beneficiaries. Firstly, the utilization of cyber extension by opinion leader
and distributed to other farmer through local communication media. Secondly, the utilization of cyber extension by operator of telecenter and distributed to farmer.
Then, the utilization of cyber extension by community group and distributed to farmer. Finally, the utilization of cyber extension by extension worker and then
distributed to opinion leaders, forwarded to other farmer, and transferred directly or indirectly to farmers.
Keywords: Cyber extension, communication networking, communication media, farmer empowermentKeywords: Cyber extension, communication
networking, communication media, farmer empowerment
RINGKASAN
RETNO SRI HARTATI MULYANDARI. Cyber Extension sebagai Media Komunikasi dalam Pemberdayaan Petani Sayuran. Komisi Pembimbing:
SUMARDJO Ketua, NURMALA K. PANDJAITAN dan DJUARA P. LUBIS
masing-masing sebagai anggota Cyber extension merupakan salah satu mekanisme berbagi informasi dan
pengetahuan serta pengembangan jaringan informasi secara interaktif yang mensinergikan aplikasi teknologi informasi dengan media komunikasi yang ada di
lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cyber extension juga merupakan salah satu sistem komunikasi inovasi pertanian yang dapat difungsikan
untuk memperluas jaringan pemasaran, mempertemukan lembaga penelitian, pengembangan, dan pengkajian dengan diseminator inovasi penyuluh, pendidik,
petani, dan kelompok stakeholders lainnya. Masing-masing stakeholders memiliki kebutuhan dengan jenis dan bentuk informasi yang berbeda sehingga dapat
berperan secara sinergis dan saling melengkapi. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah 1 Sejauhmana perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan
teknologi informasi dan sejauhmana cyber extension dimanfaatkan oleh petani sayuran untuk mendukung kegiatan usahatani, 2 sejauhmana terdapat faktor
dominan yang mempengaruhi perilaku pemanfaatan teknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani sayuran, dan 3
bagaimana strategi yang tepat untuk memanfaatkan cyber extension sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani sayuran. Sedangkan tujuan penelitian
adalah 1 menganalisis perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi dan menganalisis pemanfaatan cyber extension oleh petani sayuran
untuk mendukung kegiatan usahatani, 2 mengungkap faktor dominan yang mempengaruhi perilaku petani dalam memanfaatkan eknologi informasi, tingkat
pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani sayuran, dan 3 merumuskan strategi yang tepat dalam memanfaatkan cyber extension sebagai
media komunikasi dalam pemberdayaan petani.
Penelitian cyber extension sebagai media komunikasi inovasi dalam pemberdayaan petani sayuran ini dilakukan di Cianjur Jawa Barat dan Batu
Jawa Timur pada Juli 2010-Januari 2011 dengan menggunakan metode survei yang bersifat eksplanatori dan deskriptif. Penentuan responden dilakukan dengan
rumus Slovin terhadap 200 petani yang menguasai lahan untuk berusahatani sayuran dan memiliki akses terhadap teknologi informasi minimal telepon rumah
untuk mendukung kegiatan usahatani. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan kuesioner yang memenuhi persyaratan kesahihan dan
keterandalan. Data dari sumber lain informan kunci yang dihimpun melalui wawancara m e n d a l a m , pengamatan, dokumentasi, dan focus group discussion
bersifat sebagai data pendukung atau untuk verifikasi. Analisis data mencakup analisis deskriptif dan analisis inferensia. Analisis inferensia berupa analisis
koefisien korelasi Pearson Product Moment r dan uji t menggunakan SPSS 19. Sedangkan analisis pengaruh antarpeubah penelitian menggunakan pendekatan
Structural Equation Modeling dengan program LISREL 8.70
Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani di Jabar secara nyata memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan teknologi informasi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Jatim, meskipun tidak didukung oleh program pengembangan akses sistem informasi berbasis teknologi informasi
telecenter sebagaimana di Jatim. Petani di Jabar lebih proaktif dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk menghadapi penetrasi pasar dan
pengembangan jaringan pemasaran karena adanya faktor kedekatan lokasi dengan ibukota Jakarta. Namun dalam hal sikapnya terhadap pemanfaatan teknologi
informasi, petani di Jatim lebih positif dibandingkan dengan petani di Jabar. Pengalaman petani di Jabar yang kurang baik terhadap content yang belum
komprehensif dan tepat guna cenderung membuat petani di Jabar menjadi lebih berhati-hati dalam memanfaatkan informasi melalui teknologi informasi
khususnya melalui akses internet untuk mendukung kegiatan usahatani.
Cyber extension mampu meningkatkan aksesibilitas petani terhadap informasi pasar dan teknologi pertanian. Manfaat cyber extension yang dirasakan
langsung oleh petani adalah dapat dimanfaatkan untuk sarana komunikasi, akses informasi, dan promosi hasil usahatani. Sedangkan sarana teknologi informasi
yang biasa dan paling banyak digunakan oleh petani untuk memanfaatkan cyber extension mendukung kegiatan usahatani adalah telepon genggam. Sementara
komputer berinternet merupakan sarana teknologi informasi yang masih belum banyak dimanfaatkan oleh petani. Hal ini disebabkan di antaranya oleh sifat
komputer berinternet yang masih dianggap sebagai sarana teknologi informasi yang penggunaannya membutuhkan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sarana teknologi informasi dan komunikasi lainnya.
Perilaku petani yang meliputi tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi dipengaruhi secara
dominan oleh karakteristik individu tingkat kekosmopolitan petani dan persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension keuntungan relatif dan kemudahan
cyber extension untuk dilihat hasilnya.
Faktor dominan yang nyata mempengaruhi tingkat pemanfaatan cyber extension adalah karakteristik individu, persepsi terhadap karakteristik cyber
extension, dan perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi. Sedangkan faktor dominan yang mempengaruhi tingkat keberdayaan petani adalah
tingkat pemanfaatan cyber extension, perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi, karakteristik individu, persepsi terhadap karakteristik cyber
extension, dan faktor lingkungan ketersediaan sarana teknologi informasi.
Strategi konvergensi komunikasi melalui pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani sayuran disusun dengan mengembangkan komunikasi
dua tahap atau two step flow communication dan kombinasi media komunikasi lain sesuai dengan karakteristik petani dan lingkungan. Strategi yang perlu
dilakukan di tingkat pengambil kebijakan adalah pengembangan content dan pengembangan koneksi dengan teknologi jaringan yang tepat dan sesuai dengan
kondisi lingkungan.
Secara spesifik, mekanisme pemanfaatan cyber extension di tingkat pengguna dapat dikategorikan menjadi empat skenario berdasarkan subyek
pengguna pertama, yaitu 1 Pemanfaatan cyber extension oleh petani maju dan disebarkan kepada petani lain melalui berbagai media komunikasi yang ada di
tingkat lokal, 2 Pemanfaatan cyber extension oleh fasilitator telecenter dan
disebarkan ke petani lain, 3 Pemanfaatan cyber extension oleh kelompok masyarakat atau komunitas lembaga komunikasi lokal dan disebarkan ke petani
lain, dan 4 Pemanfaatan cyber extension oleh penyuluh dan disebarkan secara interaktif melalui teknologi informasi ke petani maju untuk diteruskan ke petani
lainnya dan secara konvensional disampaikan langsung maupun tidak langsung ke petani.
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan agribisnis hortikultura, khususnya sayuran saat ini menghadapi terbukanya arus informasi yang mendorong pada semakin
berkembangnya desakan produk ekspor maupun impor dan peningkatan selera konsumen, baik domestik maupun global. Pada era globalisasi ekonomi seperti
Asean Free Trade Area AFTA dan Asia Pacific Economic Cooperation APEC,
sebagian pasar domestik Indonesia saat ini telah diisi oleh produk hortikultura impor dengan kualitas, cara pengepakan, diversifikasi produk, dan penampilan
yang lebih baik serta harga yang bersaing dengan produk domestik. Pada komoditas sayuran, pengembangan teknologi jenis sayuran dengan bibitbenih
yang didatangkan dari luar negeri semakin membuat petani sayuran dalam negeri bergantung pada ketersediaan benih impor.
Volume impor hortikultura di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 997.370.460 ton dan meningkat menjadi 1.080.661.604 ton naik 8,35 persen
pada tahun 2008. Kenaikan ini banyak terjadi pada jenis sayuran, yaitu dari 529.355.406 ton dengan nilai US 206.706.456 ton menjadi 621.029.091 ton
dengan nilai US 243.942.637 18 persen. Umumnya impor ini digunakan untuk mengisi permintaan khusus di pasar-pasar modern, perhotelan, dan menunjang
pariwisata. Meskipun segmen pasar produk impor ini hanya terbatas pada konsumen kelas menengah ke atas dan hanya berada di daerah perkotaan, namun
nilai produk impor tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspor. Hal ini ditunjukkan dengan jauh lebih rendahnya nilai ekspor sayuran pada tahun 2008
yaitu hanya sebesar 90.379.772 ton dengan nilai US 38.588.789. Sedangkan perkembangan terakhir dari data Badan Pusat Statistik BPS menunjukkan bahwa
impor sayuran periode Januari-Februari 2011 senilai US 82.641.159. Nilai ini naik 45,99 persen dari impor periode yang sama tahun 2010 sebesar US
56.607.726 BPS 2011. Oleh karena itu, guna menghadapi persaingan global sejalan dengan perkembangan IPTEK yang ada, sistem informasi pertanian yang
mampu mendukung kegiatan agribisnis bidang hortikultura khususnya sayuran perlu dikembangkan.
2
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memberikan kontribusi yang nyata dalam proses berkembangnya sistem pengembangan
informasi pertanian, khususnya sebagai media komunikasi inovasi pertanian. Teknologi informasi dan komunikasi juga mempunyai kontribusi yang potensial
dalam mencapai manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan. Di Indonesia, bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu dari enam bidang fokus
utama pengembangan Iptek Ristek 2005, yaitu [1] ketahanan pangan, [2] sumber energi baru dan terbarukan; [3] teknologi dan manajemen transportasi, [4]
teknologi informasi dan komunikasi, [5] teknologi pertahanan, dan [6] teknologi kesehatan dan obat-obatan. Dalam mendukung kegiatan pembangunan pertanian
berkelanjutan, teknologi informasi dan komunikasi memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung tersedianya informasi pertanian yang relevan dan tepat
waktu. Selanjutnya, dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2010 – 2014 tercatat bahwa salah satu kegiatan penting dalam
pembangunan perdesaan adalah peningkatan akses informasi dan pemasaran Bappenas 2010.
Dewasa ini, pelaku pembangunan dan pengembangan pertanian di Indonesia masih merasakan minimnya informasi pertanian tepat guna yang siap
dimanfaatkan untuk mendukung tugas dan fungsinya. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pertanian bidang hortikultura khususnya sayuran
diantaranya adalah kurangnya informasi tentang kebutuhan sayuran baik dalam jenis, jumlah, dan mutu temasuk harga produk pada masing-masing provinsi. Hal
ini menyebabkan sulitnya pengaturan pola tanam di tingkat petani, sehingga pada daerah tertentu terjadi kelebihan produksi sedangkan di daerah lain kekurangan
pasokan. Informasi ini sangat dibutuhkan mengingat komoditas sayuran memiliki sifat mudah rusak dan tidak tahan untuk disimpan dengan fluktuasi harga produk
yang sangat tinggi sepanjang hari. Selain itu, dalam pengembangan ekspor produk sayuran masih mengalami hambatan antara lain kurangnya informasi
tentang preferensi konsumen jenis sayuran, jumlah produk, dan kualitas pada negara importir Tamba 2007.
Cyber extension merupakan salah satu mekanisme pengembangan jaringan komunikasi informasi inovasi pertanian yang terprogram secara efektif
3
dengan mengimplementasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam sistem komunikasi inovasi atau penyuluhan pertanian yang diharapkan dapat
meningkatkan keberdayaan petani melalui penyiapan informasi pertanian yang tepat waktu dan relevan kepada petani dalam mendukung proses pengambilan
keputusan berusahatani untuk meningkatkan produktivitasnya. Cyber extension juga merupakan salah satu mekanisme komunikasi inovasi pertanian yang dapat
difungsikan untuk mempertemukan lembaga penelitian, pengembangan, dan pengkajian dengan diseminator inovasi penyuluh, pendidik, petani, dan
kelompok stakeholders lainnya yang masing-masing memiliki kebutuhan dengan jenis dan bentuk informasi yang berbeda sehingga dapat berperan secara sinergis
dan saling melengkapi Sumardjo et al. 2009. Maureen 2009 menyatakan bahwa cyber extension berfungsi untuk
memperbaiki aksesibilitas petani terhadap informasi pasar, input produksi, tren konsumen, yang secara positif berdampak pada kualitas dan kuantitas produksi.
Informasi pemasaran, praktek pengelolaan ternak dan tanaman yang baru, teknologi pengendalian penyakit dan hama tanamanternak, ketersediaan
transportasi, informasi peluang pasar dan harga pasar input maupun output pertanian sangat penting untuk efisiensi produksi secara ekonomi.
Meskipun cyber extension memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan, namun sampai saat ini petani
di dunia, khususnya di Indonesia, masih belum diikutsertakan dalam bisnis teknologi informasi dan komunikasi. Fakta yang agak mengejutkan adalah bahwa
aplikasi teknologi informasi dan komunikasi memiliki kontribusi yang tinggi secara ekonomi bagi masing-masing Gross Domestic Product GDP.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan pertanian membutuhkan proses pendidikan dan peningkatan kapasitas karena masih terdapat
kesenjangan secara teknis maupun keterampilan dalam bisnis secara elektronis e- business
. Membangun sebuah masa depan elektronis berwawasan teknologi informasi dan komunikasi yang berkelanjutan sustainable e-future memerlukan
strategi dan program untuk menyiapkan petani dengan kompetensi teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini bermanfaat untuk mendukung perdagangan
dan kewirausahaan, sehingga pemerintah dapat meningkatkan kapasitas petani
4
untuk berperan serta dan bermanfaat bagi tiap pertumbuhan ekonomi. Dengan mengimplementasikan
cyber extension dalam pembangunan pertanian
berkelanjutan melalui peningkatan fungsi sistem pengetahuan dan informasi pertanian dan peningkatan kapasitas petani, maka petani akan berpikir dengan
cara yang berbeda, berkomunikasi secara berbeda, dan mengerjakan bisnisnya secara berbeda.
Survei yang dilakukan oleh the International Society for Horticultural Sciences
ISHS telah mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi oleh pelaku komunikasi khususnya untuk
bidang hortikultura di Srilanka. Hambatan-hambatan tersebut meliputi: keterbatasan kemampuan, sulitnya akses terhadap pelatihan training, kesadaran
akan manfaat teknologi informasi dan komunikasi, waktu, biaya dari teknologi yang digunakan, integrasi sistem dan ketersediaan software. Partisipan dari
negara-negara maju menekankan pada hambatan: tidak adanya manfaat ekonomi yang dapat dirasakan, tidak memahami nilai lebih dari teknologi informasi dan
komunikasi, tidak cukup memiliki waktu untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, dan tidak mengetahui bagaimana mengambil manfaat dari
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Responden dari negara-negara berkembang menekankan pentingnya “biaya teknologi informasi dan komunikasi”
dan “kesenjangan infrastruktur teknologi”. Hasil kuesioner dari the Institute for Agricultural and
Fisheries Research sejalan dengan survei ISHS dan survei dari the European Federation for Information Technology in Agriculture EFITA
yang mengindikasikan adanya suatu pergeseran dari kecakapan secara teknis teknologi informasi dan komunikasi sebagai suatu faktor pembatas menuju pada
kesenjangan pemahaman bagaimana mengambil manfaat dari pilihan teknologi informasi dan komunikasi yang bervariasi Taragola et al. 2009.
Meskipun masih terdapat beberapa kendala sehingga pemanfaatan cyber extension
menjadi sangat kompleks dan sulit untuk diadopsi, cyber extension sebenarnya dapat menyediakan kesempatan yang lebih besar untuk mencapai
suatu tingkatan tertentu yang lebih baik bagi petani apabila didukung oleh kompetensi pelaku komunikasi yang terkait. Hal ini ditunjukkan ketika beberapa
lembaga penelitian dan pengembangan menyampaikan studi kasus yang
5
mendeskripsikan bagaimana cyber extension telah dimanfaatkan oleh petani dan stakeholders
usahawan pelaku bidang pertanian sehingga memperoleh peluang yang lebih besar untuk memajukan kegiatan usahataninya. Keberhasilan
pemanfaatan cyber extension oleh petani sayuran di Indonesia dalam memajukan usaha taninya ditunjukkan oleh beberapa kelompok tani yang telah memanfaatkan
internet untuk akses informasi dan promosi hasil produksinya dengan menggunakan fasilitas yang disediakan Community Training and Learning Centre
CTLC di Pancasari Bali dan Pabelan Salatiga yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan lembaga nonprofit di bawah Program Unlimited Potential.
Petani mengenal teknologi budidaya paprika dalam rumah kaca melalui internet. Sejak mengirimkan profil produksi di internet, permintaan terhadap produk
pertanian yang diusahakan terus berdatangan. Promosi melalui internet dapat memutus hubungan petani dengan tengkulak yang sering memberikan harga jauh
di bawah harga pasar Sigit et al. 2006. Melalui Unit Pelayanan Informasi Pertanian tingkat Desa – Program Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi
UPIPD-P4MI yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Pertanian, petani di sekitar lokasi UPIPK sudah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi
hasil pertanian yang diusahakan UPIPD Kelayu Selatan - P4MI 2009. Hasil penelitian yang terkait dengan implementasi teknologi informasi dan
komunikasi dalam bidang pertanian, khususnya cyber extension belum pernah dilakukan secara khusus di Indonesia. Penelitian tentang cyber extension sebagai
media komunikasi dalam pemberdayaan petani sayuran ini dilakukan karena adanya dua alasan utama. Pertama, secara empiris karena masih lemahnya sistem
informasi pertanian dan lambatnya pengembangan teknologi yang sudah ada di tingkat petani. Alasan kedua adalah terkait dengan adanya peluang pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi dalam komunikasi pembangunan yang partisipatif dengan mengacu pada konsep teori communication for development.
Integrasi teknologi informasi dan komunikasi khususnya komputer dan telepon genggam dalam komunikasi pembangunan pertanian melalui cyber extension
merupakan unsur yang baru dari penelitian ini dibandingkan dengan penelitian- penelitian sebelumnya. Cyber extension melalui aplikasi teknologi informasi
6
dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendukung knowledge sharing dalam pemberdayaan petani.
Hasil akhir dari penelitian ini adalah skenario strategi pemanfaatan cyber extension
sebagai media komunikasi inovasi dalam pemberdayaan petani sayuran yang akan disinergikan dengan kelembagaan komunikasi lokal dalam perspektif
komunikasi pembangunan partisipatif. Yoon 2009 menyatakan bahwa dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan partisipatif-horisontal
dimunculkan kembali revitalisasi konsep komunikasi antarpribadi interpersonal communication, media rakyat folk media, komunikasi kelompok group
communication dan model komunikasi dua tahap two-step flow communication. Hal ini diperkuat pula
oleh pernyataan Cornish dan Alison 2009 bahwa komunikasi partisipatif adalah sebuah konsep dan praktek
keterlibatan masyarakat menciptakan dan berbagi pengetahuan, pengalaman, serta keinginannya untuk mencapai dan menentukan tujuan agenda nya sendiri.
Penciptaan dan berbagi pengetahuan tersebut diekspresikan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi yang ditentukan oleh masyarakat sendiri sehingga
sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
Perumusan Masalah
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, penyebab lemahnya fungsi sistem informasi pertanian bidang hortikultura khususnya tanaman sayuran diantaranya
adalah: 1 Adanya distorsi kegiatan komunikasi inovasi pertanian melalui mekanisme penyuluhan karena tidak adanya satu kesatuan kelembagaan
manajemen yang mengakibatkan rendahnya motivasi dan kinerja pelaku komunikasi inovasi pertanian Tamba 2007, 2 Kualitas sumber informasi
pertanian umumnya masih rendah dan terbatasnya kemampuan sumber informasi dalam menyediakan informasi pertanian yang relevan dan tepat waktu karena
belum ada institusilembaga yang bertanggungjawab mengolah dan menyediakan informasi pertanian bagi petani dan kurangnya komitmen pemerintah dalam
menyediakan informasi pertanian bagi petani Anwas 2009, 3 Rendahnya tingkat interaksi petani dengan kelompok tani, penyuluh inovator, dan masyarakat
luas, rendahnya penggunaan saluran komunikasi melalui media massa tercetak maupun elektronisteknologi informasi dan komunikasi lainnya telepon genggam,
7
komputer, dan internet untuk akses informasi, dan 4 Belum dimanfaatkannya secara optimal teknologi informasi dan komunikasi secara bijaksana untuk
pengelolaan dan akses inovasi pertanian karena keterbatasan infrastruktur, kapasitas sumber daya manusia, dan manajerial Sumardjo et al. 2009.
Sinergi aplikasi teknologi informasi dalam komunikasi inovasi pertanian melalui cyber extension merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan peran
teknologi informasi dan komunikasi dalam pengembangan sistem informasi pertanian. Berdasarkan adanya kesenjangan dari berbagai hasil penelitian
tersebut, secara rinci permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1.
Sejauhmana perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi dan sejauhmana cyber extension dimanfaatkan oleh petani sayuran untuk
mendukung kegiatan usahatani? 2.
Sejauhmana terdapat faktor dominan yang mempengaruhi perilaku pemanfaatan teknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, dan
tingkat keberdayaan petani sayuran? 3.
Bagaimana strategi yang tepat untuk memanfaatkan cyber extension sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani sayuran?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan pembatasan permasalahan, maka tujuan utama penelitian ini adalah untuk:
1. Menganalisis perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi
informasi dan menganalisis pemanfaatan cyber extension oleh petani sayuran untuk mendukung kegiatan usahatani.
2. Mengungkap faktor dominan yang mempengaruhi perilaku petani dalam
memanfaatkan eknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani sayuran.
3. Merumuskan strategi yang tepat untuk memanfaatkan cyber extension sebagai
media komunikasi dalam pemberdayaan petani sayuran.
8
Kegunaan Penelitian
Penelitian diharapkan dapat menghasilkan rumusan strategi pemanfaatan cyber extension
sebagai media komunikasi inovasi pertanian dalam pemberdayaan petani sayuran. Secara spesifik, kegunaan penelitian ini disajikan sebagai berikut.
Kegunaan dalam lingkungan akademiskeilmuan
1. Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman proses komunikasi inovasi pertanian yang mengintegrasikan aplikasi teknologi informasi sebagai
media baru dengan pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani sayuran yang memungkinkan media massa digunakan sekaligus sebagai media
komunikasi interaktif dengan sifat umpan balik secara langsung. 2. Memberikan informasi bagi penelitian yang serupa agar dapat melakukan
penyempurnaan dalam metode untuk analisis media komunikasi yang mengintegrasikan aplikasi teknologi informasi sebagai media baru dalam
komunikasi inovasi pertanian. 3. Mengembangkan dan menyempurnakan secara empiris teori komunikasi
pembangunan yang partisipatif dengan mengintegrasikan antara media komunikasi baru dan media komunikasi konvensional untuk pemberdayaan
petani sayuran.
Kegunaan dalam lingkungan praktis
1. Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan untuk tambahan informasi sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan terkait dengan pemanfaatan
cyber extension sebagai komunikasi inovasi pertanian dalam pemberdayaan
petani sayuran sesuai dengan kategori tingkat pemanfaatan cyber extension untuk memperoleh peluang yang lebih besar bagi peningkatan kesejahteraan
petani sayuran. 2. Hasil penelitian diharapkan menjadi tambahan informasi bagi semua
stakeholders untuk bahan masukan dalam menyusun strategi dan program
komunikasi inovasi pertanian, khususnya bidang hortikultura melalui pemanfaatan cyber extension secara spesifik lokasi.
9
Kebaruan Novelty
Hasil penelitian yang terkait dengan implementasi teknologi informasi dan komunikasi yang banyak dilakukan di kalangan akademis sebagian besar adalah
terkait dengan akses informasi melalui internet dengan sarana komputer oleh pengguna baik di lingkungan pendidikanproses pembelajaran jarak jauh maupun
akses untuk mendukung bidang pertanian. Penelitian yang mensinergikan teknologi informasi dan komunikasi khususnya melalui telepon genggam maupun
komputer untuk bidang pertanian belum pernah dilakukan secara khusus di Indonesia. Penelitian tentang cyber extension yang mensinergikan teknologi
informasi dan komunikasi, khususnya telepon genggam dan komputer sebagai media komunikasi bagi pemberdayaan petani sayuran ini dilakukan dengan
harapan menghasilkan kebaruan novelty dari hasil penelitian yang dilakukan sebagai berikut.
1. Mengangkat isu pemanfaatan teknologi informasi dalam kaitannya dengan cyber extension
sebagai media komunikasi inovasi pertanian yang bersifat massa namun dapat sekaligus menjadi media yang interaktif dalam perspektif
hybrid media untuk meningkatkan keberdayaan petani sayuran.
2. Merumuskan strategi pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani sayuran yang mampu mensinergikan aplikasi teknologi informasi dengan
beragam media komunikasi yang ada di tingkat petani.
11
TINJAUAN PUSTAKA
Petani adalah pengusaha, terlepas dari kelas mana berada, bergantung pada skala usahanya. Berbeda dengan petani yang mengelola komoditas padi dan
palawija yang cenderung masih bersifat pasif, petani sayuran cenderung bersifat proaktif dan sudah lebih berorientasi pada pasar. Hal ini di antaranya disebabkan
oleh harga komoditas sayuran yang selalu berfluktuasi dan sifatnya yang mudah rusak. Sistem informasi yang handal baik untuk teknologi budidaya khususnya
pola jadwal tanam maupun untuk pemasaran hasil komoditas sayuran sangat diperlukan untuk dapat mendorong pada keberdayaan petani sayuran. Sinergi
aplikasi teknologi informasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan informasi serta akses pada sumber informasi secara global merupakan salah satu jawaban yang
patut diperhitungkan untuk menangkap peluang bagi peningkatan kesejahteraan petani sayuran dalam menghadapi persaingan global. Cyber Extension sebagai
Media Komunikasi dalam Pemberdayaan Petani Sayuran merupakan fokus penelitian yang dilakukan dengan menekankan aspek penting dari sinergi aplikasi
teknologi informasi khususnya telepon genggam dan komputer dengan berbagai kelembagaan komunikasi potensial lainnya secara spesifik lokasi untuk
mendukung proses pemberdayaan petani sayuran. Melalui cyber extension, petani dihadapkan pada beragam pilihan informasi dari sumber informasi global yang
dapat diakses langsung sehingga dapat dimanfaatkan untuk proses pengambilan keputusan dalam berusahatani. Sampai pada akhirnya tercipta konvergensi
komunikasi inovasi pertanian dalam sistem usahatani sayuran di tingkat petani. Konsep pemberdayaan dari Servaes 2002, 2005, dan 2007 merupakan
kajian teoritis komunikasi partisipatif dengan memperhatikan aspek kemampuan masyarakat untuk mengakui, menghormati, dan mengintegrasikan perbedaan
budaya dalam pembangunan. Hasil proses pemberdayaan diindikatorkan oleh tingkat keberdayaan dengan adanya kekuasaan dalam meningkatkan kesadaran
untuk berubah atau dalam pembuatan keputusan, kemampuan akses terhadap sumber daya, dan kekuasaan untuk melakukan kerjasama tindakan bersama
sebagaimana dinyatakan oleh Mayouk 2010. Sedangkan Schuler et al. 1996 lebih menekankan aspek keberdayaan pada tingkat mobilitas di samping
kebebasan tidak adanya keterlibatan pihak lain dalam pengambilan keputusan.
12
Komunikasi inovasi pertanian merupakan tema utama penelitian dengan mengambil dasar teori dari Rogers 2003. Konsep Rogers disinergikan dengan
konsep komunikasi inovasi pertanian dari International Rice Research Institute IRRI 1998 yang membedakan metode komunikasi inovasi menjadi tiga kategori
berdasarkan jenis inovasi yang dikomunikasikan yaitu: pengetahuan teknologi, prototipe alsintan, dan produk varietasbenih. Faktor yang mempengaruhi
proses komunikasi inovasi pertanian di antaranya adalah karakteristik pelaku komunikasi. Menurut Littlejohn dan Karen 2005 individu sebagai pelaku
komunikasi dipengaruhi oleh struktur sosial atau sistem sosial dan individu merupakan bagian dari struktur sosial.
Proses komunikasi inovasi pertanian tidak dapat dipisahkan dengan media komunikasi, baik media interpersonal, media massa, media terprogram, maupun
kelembagaan komunikasi lokal. Konsep cyber extension sebagai salah satu media komunikasi inovasi pertanian yang mensinergikan aplikasi teknologi informasi
dengan beragam media komunikasi lainnya banyak diadopsi dari pengertian Wijekon et al. 2009 dan Taragola et al. 2009. Sebagai pembanding, disajikan
rintisan cyber extension yang telah dilaksanakan di Indonesia melalui program: 1 Pengembangan Sumber Informasi Pertanian Lokal dan Nasional pada Program
Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi dari Deptan; 2 Program Unlimited Potential
UP melalui Community Training and Learning Centre CTLC; dan 3 Partnerships for e-Prosperity for the Poor Pe-PP. Tingkat
pemanfaatan cyber extension dan faktor yang mempengaruhi pemanfaatan cyber extension
didasarkan atas sumber referensi primer dari Browning dan Sornes 2008 dan lesson learned dari pemanfaatan cyber extension dari beberapa negara.
Cyber extension memberikan peluang yang lebih besar bagi petani untuk
pengembangan sistem jaringan komunikasi dan berbagi pengetahuanakses informasi tanpa batas sesuai dengan minat dan kebutuhannya sehingga tercipta
konvergensi komunikasi untuk mendukung usahataninya. Teori konvergensi dari Rogers dan Kincaid 1981 merupakan dasar analisis dalam proses konvergensi
komunikasi yang terjadi dengan pemanfaatan cyber extension. Dalam catatan McMillan 2004, media komunikasi baru yang mensinergikan aplikasi teknologi
informasi cyber extension memungkinkan sebuah media memfasilitasi
13
komunikasi interpersonal yang termediasi. Sifat interactivity dari penggunaan media konvergen telah melampaui kemampuan potensi umpan balik feedback,
karena seorang pengguna pengakses media konvergen secara langsung memberikan umpan balik atas pesan yang disampaikan.
Analisis sistem berdasarkan tujuh elemen sistem batasan, lingkungan, masukan, keluaran, komponen, penyimpanan, dan penghubung dan analisis
sistem dengan teori kotak hitam black box theory sebagaimana disampaikan oleh Eryatno 1996 diharapkan mampu mengimbangi salah satu karakteristik
cyber extension. Sebagai media baru, teori kotak hitam untuk analisis sistem
diharapkan mampu menjawab kegamangan masyarakat dalam pemanfaatan cyber extension.
Dengan mengetahui output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki, petani dan pengambil kebijakan dapat memposisikan diri untuk
berperan dan bersinergi mewujudkan optimalisasi pemanfaatan cyber extension untuk peningkatan keberdayaan petani.
Hasil penelitian terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi untuk komunikasi inovasi disajikan sebagai “state of the art” penelitian cyber extension
sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani. Hasil penelitian Alemna 2006, Wahid 2006, Servaes 2007, Marwan 2008, dan Taragola et al.
2009 telah memaparkan gambaran dan faktor yang mempengaruhi pemanfaatan cyber extension
untuk komunikasi inovasi pertanian, serta hambatan-hambatan dalam pemanfaatannya di tingkat pengguna akhir petani.
Pemberdayaan Petani Konsep pemberdayaan
Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an,
dan awal 90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori- teori yang berkembang belakangan. Apabila dilihat dari proses
operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain: pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan power kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat
14
dilengkapi pula dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan
sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan
atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan arti pada titik ekstrem
seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.
Beberapa pandangan tentang pemberdayaan masyarakat, antara lain sebagai berikut Ife 2002:
1. Struktural, pemberdayaan merupakan upaya pembebasan, transformasi struktural secara fundamental, dan eliminasi struktural atau sistem yang
opresif. 2. Pluralis, pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan daya seseorang atau
sekelompok orang untuk dapat bersaing dengan kelompok lain dalam suatu ’rule of the game’ tertentu.
3. Elitis, pemberdayaan sebagai upaya mempengaruhi elit, membentuk aliniasi dengan elit-elit tersebut, serta berusaha melakukan perubahan terhadap
praktek-praktek dan struktur yang elitis. 4. Post-Strukturalis, pemberdayaan merupakan upaya mengubah diskursus serta
menghargai subyektivitas dalam pemahaman realitas sosial. Hakikat dari konseptualisasi empowerment berpusat pada manusia dan
kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan sebagai tolok ukur normatif, struktural, dan substansial. Dengan demikian konsep pemberdayaan
sebagai upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah, negara, dan tata dunia di dalam kerangka proses aktualisasi
kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini
mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable
” Chambers 1995. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat
dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
15
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam upaya
memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: 1.
Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang enabling. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya
tersebut dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat empowering
dengan menyediakan masukan input dan pembukaan akses ke dalam berbagai peluang opportunities yang akan membuat masyarakat menjadi
berdaya. Upaya yang amat pokok dalam pemberdayaan adalah peningkatan taraf pendidikan, derajat kesehatan, dan akses ke sumber-sumber kemajuan
ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik,
maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan
lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang juga penting
dilakukan. Aspek yang terpenting adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya.
Pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan demokrasi. Friedman 1992 menyatakan
“The empowerment approach, which is fundamental to an alternative development, places the emphasis an autonomy in the decision marking of
territorially organized communities, local self-reliance but not autarchy, direct participatory democracy, and experiential social learning
”. 3.
Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh
karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi semakin bergantung pada
berbagai program pemberian charity. Hal ini karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri yang hasilnya dapat
dipertukarkan dengan pihak lain. Dengan demikian tujuan akhirnya adalah
16
Konsep pemberdayaan dalam perspektif komunikasi partisipatif
Jan Servaes mengaitkan konsep pemberdayaan dalam perencanaan sosial dan komunikasi partisipatif adalah pada partisipasi dalam pengambilan keputusan
kolektif. Pemberdayaan meyakinkan bahwa masyarakat mampu membantu dirinya sendiri. Melkote et al. 2001 menyatakan bahwa salah satu konsep
pemberdayaan yang sangat luas digunakan saat ini adalah pemberdayaan sebagai pusat pengorganisasian konsep. Ketidakadilan kekuasaan merupakan
permasalahan sentral yang harus dipecahkan dalam pembangunan. Selanjutnya pemberdayaan didefinisikan sebagai sebuah proses dalam mana secara individual
dan organisasional memperoleh pengawasan dan penguasaan kondisi sosial ekonomi yang lebih banyak, dengan partisipasi demokrasi yang lebih tinggi dalam
komunitasnya sendiri. Bentuk-bentuk komunikasi pembangunan yang partisipatif dalam konsep
pemberdayaan menurut Serveas 2002 mencakup forum dialog akar rumput grassroots dialog forum, fungsi baru komunikasi pada media partisipatif
participatory media, berbagi pengetahuan secara setara knowledge-sharing on a co-equal basis, dan model komunikator pendukung pembangunan Development
Support Communication. Dialog akar rumput grassroots dialog didasarkan atas kaidah partisipasi untuk mempertemukan sumber dan agen perubahan
langsung dengan masyarakat. Metode yang digunakan adalah penyadaran conscientization melalui dialog. Lebih jauh lagi masyarakat diajak untuk
merumuskan permasalahan dan menemukan pemecahannya sekaligus pelaksanaan kegiatan untuk pemecahan permasalahan. Berkaitan dengan hal ini komunikator
sekaligus berperan sebagai pembebas masyarakat dalam proses pembangunan. Functional Map
Gambar 1 merupakan pemetaan kebijakan perencanaan sosial dan komunikasi partisipatif dalam pengembangan masyarakat yang
dihasilkan dalam konferensi di Bellagio, Italia Servaes 2005.
17
Penggunaan strategi
komunikasi, metode,
sumber daya untuk fasilitasi
usaha masya- rakat mendapat
perbaikan individu dan
kolektif secara berkelanjutan
Fasilitasi dialog partnership
dengan dalam
komunitas untuk
menyusun seperangkat
tujuan untuk keberlanjutan
perbaikan individu dan
kolektif
Membangun kapasitas yang
berkelanjutan dalam
komunikasi untuk
pemecahan permasalahan
pembangunan saat ini dan
di masa mendatang
Meletakkan pendekatan
partisipatif dalam tindakan
Membangun konsensus dengan aktor relevan pada:
1. Situasi komunitas 2. Pengalaman terakhir
yang relevan dengan pendekatan partisipatif
program pembangunan 3. Prioritasi kebutuhan
4. Penentuan tujuan dan proses yang sesuai
Merancang strategi komunikasi
Mengimplementasikan rencana
Mengkaji hasil dan perubahan
pengalaman 1. Identifikasi keterlibatan slrh aktor dlm dialog
2. Identifikasi dan mengelola hambatan untuk pendekatan partisipatif membantu komunitas
dalam melakukan tindakan 3. Negosiasi aturan perjanjian, diskursus, dan
perbedaan pendapat 1. Fasilitasi analisis situasi masalah komunitas
penemuan opsi untuk pemecahannya 2. Fasilitasi persetujuan pada tujuan yang layak
3. Bertugas sebagai sumber informasi, materi, proses engelolaan perdebatan, penyusunan
tujuan, dan komunikasi dua tahap 4. Bertugas sebagai broker untuk merancang
prioritas, pengelolaan perdebatan, dan penyampaian alternatif pendapatpandangan
1. Fasilitasi pembentukan tim yang sesuai untuk memimpin proses komunikasi
2. Fasilitasi kajian ketersediaan sumber daya komunikasi yang relevan di masyarakat
3. Menetapkan kembali tujuan, komunitas, perma- salahan, serta mendefinisikan tujuan audien
4. Mendefinisikan dan menulis rencana untuk tindakan evaluasi
1. Mengelola proses, memotivasi tim 2. Menggunakan menyesuaikan taktik
komunikasi 3. Mendokumentasikan proses dan menghimpun
umpan balik masyarakat 1. Melaksanakan penghimpunan data,monitoring
proses, dan mereview sasaran akhir dan tujuan 2. Mengevaluasi proyek dan identifikasi
keterkaitannya dengan proyek lainnya 3. Bertukar pengalaman
KEY PURPOSE
KEY FUNCTION BASIC FUNCTION
ELEMENTS OF COMP
FUNCTIONAL MAP, The Bellagio Meeting Servaes 2005
Gambar 1 Functional Map hasil the Bellagio Meeting untuk Pemetaan Komunikasi Partisipatif dalam Pemberdayaan Masyarakat
Peta fungsional komunikasi partisipatif dalam proses pemberdayaan memiliki tujuan kunci untuk menggunakan strategi untuk mengoptimalkan
sumber daya dalam proses perbaikan secara individu dan kolektif yang berkelanjutan. Fungsi kunci pemberdayaan yang pertama adalah fasilitasi dialog
dengan fungsi dasar meletakkan pendekatan partisipatif dalam setiap tindakan dan membangun konsensus dengan aktor dalam komunitas. Dalam proses ini
dilakukan identifikasi aktor yang terlibat, negosiasi, dan fasilitasi analisis situasi masalah dan merancang prioritas program. Fungsi kunci yang kedua adalah
membangun kapasitas masyarakat secara berkelanjutan dengan fungsi dasar merancang strategi komunikasi fasilitasi pembentukan tim untuk memimpin
proses komunikasi dan menetapkan tujuan, mengimplementasikan rencana, menghimpun umpan balik, menyesuaikan taktik komunikasi, dan mengkaji hasil
pelaksanaan pembangunan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi.
18
Chen dan Starosta 1996 mensintesis kontribusi yang berbeda terhadap sebuah model yang bertujuan meningkatkan kemampuan rakyat untuk mengakui,
menghormati, mentolerir, dan mengintegrasikan perbedaan budaya. Model yang menyajikan proses transformational dari keadaan saling bergantung secara
simetris yang dijelaskan dari tiga perspektif, yaitu: 1.
Perspektif afektif melambangkan sensitivitas antarbudaya, promosi melalui konsep diri yang positif, keterbukaan, sikap tidak menghakimi, dan relaksasi
sosial. 2.
Perspektif kognitif melambangkan kesadaran antarbudaya termasuk kesadaran diri dan pemahaman terhadap budaya sendiri dan budaya orang lain.
3. Perspektif perilaku yang melambangkan kecakapan antarbudaya yang
didasarkan atas keahlian penyampaian pesan, pembukaan diri yang sesuai, fleksibilitas perilaku, pengelolaan hubungan, dan keahlian sosial.
Ketiga perspektif tersebut membentuk tiga sisi dari sebuah triangle segitiga sama sisi yang berarti: Semua adalah sama pentingnya, dan semua
tidak dapat dipisahkan, holistik membentuk sebuah gambar dari komunikasi antar kompetensi Servaes 2005. Beberapa perspektif komunikasi dalam
pemberdayaan masyarakat berdasarkan perspektif perencanaan sosial partisipatif yang perlu diadopsi dan dilanjutkan Servaes 2007 adalah sebagai berikut.
1. Perspektif pertama adalah komunikasi sebagai proses, seringkali dilihat
dalam metafora sebagai struktur masyarakat. Komunikasi tidak dibatasi pada media atau pesan, namun pada interaksi dalam sebuah jaringan
hubungan sosial. Dalam penyuluhan proses pemberdayaan, penerimaan, evaluasi, dan pemanfaatan pesan media, dari sumber mana saja adalah
penting sebagai alat untuk produksi dan transmisi pesan. 2.
Perspektif kedua adalah media komunikasi sebagai sebuah sistem yang mixed
dari komunikasi massa dan saluran interpersonal, dengan dampak dan penambahan yang saling menguntungkan. Dengan kata lain, media massa
seharusnya tidak dilihat secara terpisah terisolasi dari media lainnya. 3.
Fokus ketiga adalah berkaitan dengan hubungan antar sektoral dan antar lembaga. Dalam penyelenggaraan komunikasi pembangunan pertanian dan
perdesaan melibatkan seluruh sektor lembaga media dan kementerian negara. Keterlibatan seluruh sektor merupakan integrasi dan koordinasi
yang dapat menjamin keberlanjutan pembangunan.
19
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer dan teknologi komunikasi, khususnya internet dapat digunakan untuk menjembatani
informasi dan pengetahuan yang tersebar di antara yang menguasai informasi dan yang tidak. Akses terhadap komunikasi digital membantu meningkatkan akses
terhadap peluang pendidikan, meningkatkan transparansi dan efisiensi layanan pemerintah, memperbesar partisipasi secara langsung dari ”used-to-be-silent-
public ” masyarakat yang tidak mampu berpendapat dalam proses demokrasi,
meningkatkan peluang perdagangan dan pemasaran, memperbesar pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan peluang tenaga kerja Servaes 2007.
Teknologi informasi dan komunikasi yang sesuai dengan kondisi lokal di negara berkembang adalah sebuah telecenter atau pusat multimedia komunitas
yang terdiri atas desktop untuk penerbitan, surat kabar komunitas, penjualan atau penyewaan alat multimedia, peminjaman buku, fotokopi, dan layanan
teleponfaks. Apabila memungkinkan dapat pula dilengkapi dengan akses internet dan penggunaan telepon genggam untuk meningkatkan akses dan memfasilitasi
petani maupun pelaku pembangunan pertanian lainnya di perdesaan dalam mendukung kegiatan pembangunan pertanian. Teknologi informasi dan
komunikasi merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk berbagi informasi, namun seringkali belum dapat memecahkan permasalahan pembangunan karena
adanya isu sosial, ekonomi, dan politik. Informasi pun seringkali belum dapat digunakan sebagai pengetahuan karena belum mampu diterjemahkan langsung
oleh masyarakat Gerster Zimmann dalam Servaes 2007.
Tingkat keberdayaan petani
Keberdayaan merupakan hasil dari adanya pemberdayaan terhadap suatu subyek individu, kelompok, atau masyarakat. Menurut Mayouk 2010,
keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaannya dalam kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses kesejahteraan, serta kemampuan
kultural dan politis Tabel 1. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu kekuasaan di dalam power within, kekuasaan untuk
power to, kekuasaan atas power over dan kekuasaan dengan power with.
20
Tabel 1 Indikator Keberdayaan dari Aspek Kemampuan Ekonomi, Kemampuan Mengakses Manfaat Kesejahteraan serta Kemampuan Kultural dan
Politis Berdasarkan Jenis Hubungan Kekuasaan Mayouk 2010
Jenis hubungan kekuasaan
Kemampuan ekonomi Kemampuan mengakses
manfaat kesejahteraan Kemampuan kultural dan politis
Kekuasaan dalam: meningkatkan
kesadaran dan keinginan untuk
berubah -
Evaluasi positif terhadap kontribusi ekonomi dirinya
- Keinginan memiliki
kesempatan ekonomi yang setara
- Keinginan memiliki
kesamaan hak terhadap sumber yang ada pada
rumah tangga dan masyarakat
- Kepercayaan diri dan
kebahagiaan -
Keinginan memiliki kesejahteraan yang
setara -
Keinginan membuat keputusan mengenai
diri dan orang lain -
Keinginan untuk mengontrol jumlah
anak -
Assertiveness dan otonomi -
Keinginan untuk menghadapi subordinassi gender termasuk
tradisi budaya, diskriminasi hukum, dan pengucilan politik
- Keinginan terlibat dalam
proses-proses budaya, hukum, dan politik
Kekuasaan untuk: • Meningkatkan
kemampuan individu dalam
melakukan perubahan
• Meningkatkan kesempatan
dalam memperoleh
akses -
Akses terhadap pelayanan keuangan mikro
- Akses terhadap pendapatan
- Akses terhadap aset-aset
produktif dan kepemilikan rumah tangga
- Akses terhadap pasar
- Penurunan beban dalam
pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak
- Keterampilan,
termasuk kemelekan huruf
- Status kesehatan dan
gizi -
Kesadaran mengenai dan akses terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi
- Ketersediaan
pelayanan kesejahteraan publik
- Mobilitas dan akses terhadap
dunia di luar rumah -
Pengetahuan mengenai proses hukum, politik, dan
kebudayaan -
Kemampuan menghilangkan hambatan formal yang
merintangi akses terhadap proses hukum, politik, dan
kebudayaan
Kekuasaan atas: • Perubahan pada
hambatan- hambatan sumber
kekuasaan pada tingkat
rumah tangga, masyarakat, dan
makro
• Kekuasaan atau tindakan
individu untuk menghadapi
hambatan- hambatan
tersebut -
Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan
serta keuntungan yang dihasilkannya
- Kontrol atas pendapatan
aktivitas produktif keluarga yang lainnya.
- Kontrol atas aset
prodduktif dan kepemilikan keluarga
- Kontrol atau alokasi tenaga
kerja keluarga -
Tindakan individu menghadapi diskriminasi
atas akses terhadap sumber dan pasar
- Kontrol atas ukuran
konsumsi keluarga dan aspek bernilai lainnya
dari pembuatan keputusan keluarga
- Aksi individu untuk
mempertahankan diri dari kekerasan
keluarga dan masyarakat
- Aksi individu dalam
menghadapi dan mengubah persepsi budaya terhadap
kapasitas dan hak wanita padda tingkat keluarga dan
masyarakat
- Keterlibatan individu dan
pengambilan peran dalam proses budaya, hukum, dan
politik
Kekuasaan untuk: Meningkatkan
solidaritas atau tindakan bersama
dengan orang lain untuk menghadapi
hambatan-hambatan sumber dan
kekuasaan pada tingkat rumah
tangga, masyarakat, dan makro
- Bertindak sebagai panutan bagi orang lain terutama
dalam pekerjaan tradisional dan non tradisional
- Pemberian upah kerja bagi perempuan lain dengan
upah yang baik - Bekerja sama dalam
menentang diskriminasi perempuan terhadap
sumber daya dalam konteks ekonomi makro
- Penghargaan yang lebih tinggi dan
meningkatkan pengeluaran untuk
anak-anak gadis dan perempuan anggota
keluarga lainnya
-
Bekerja bersama untuk meningkatkan
kesejahteraan publik - Peningkatan jaringan untuk
memperoleh dukungan pada saat krisis
- Tindakan bersama untuk membela orang lain
menghadapi perlakuan salah dalam keluarga dan masyarakat
- Partisipasi dalam mendukung gerakan-gerakan menghadapi
subordinasi yang bersifat kultural, politik, hukum pada
tingkat masyarakat dan makro.
Berbeda dengan Mayouk yang menekankan pada aspek kekuasaan, Schuler et al. 1996 lebih menekankan aspek keberdayaan pada tingkat mobilitas,
kebebasan dalam pengambilan keputusan, dan peluang untuk ikut dalam kegiatan politik. Indikator-indikator yang dikembangkan Schuler et al. adalah:
21
1. Kebebasan melakukan mobilitas, yaitu kemampuan individu untuk pergi ke
luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
2. Kemampuan membeli komoditas kecil, yaitu kemampuan individu untuk
membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari. 3.
Kemampuan membeli komoditas besar, yaitu kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier.
4. Kemampuan dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah tangga, mampu
membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suamiistri mengenai keputusan-keputusan keluarga.
5. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga, yaitu ada tidaknya keterlibatan
pihak lain dalam mengatur hak-hak pribadi atau rumah tangga. 6.
Kesadaran hukum dan politik, yaitu kesadaran terhadap aspek hukum dan politik yang ada di lingkungan terdekatnya.
7. Keterlibatan dalam kampanye dan protes, yaitu seseorang dianggap ‘berdaya’
apabila pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes.
8. Kepemilikan atas jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga.
Menurut Agussabti 2002 yang mengkaji kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi kasus pada petani sayuran di Jawa Barat
ditemukan bahwa terdapat tiga faktor penting yang secara positif mempengaruhi kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi, yaitu 1 tingkat
kesadaran petani terhadap kebutuhannya, 2 karakteristik individu petani yang meliputi: motivasi berprestasi, persepsi terhadap inovasi, keberanian mengambil
resiko, serta kreativitas, dan 3 akses petani terhadap informasi.
Komunikasi Inovasi Pertanian
Inovasi adalah gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang Rogers 2003. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subyektif
menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang, maka ide tersebut adalah inovasi untuk orang tersebut. Konsep
’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. Secara umum, dalam konsep teori difusi inovasi, terdapat lima karakteristik inovasi yang dapat
mempengaruhi tingkat adopsi seseorang secara individu, yaitu: 1 Relative advantage
keuntungan relatif, 2 Compatibility kesesuaian, 3 Complexity
22
kerumitan, 4 Trialability kemungkinan dicoba, dan 5 Observability kemungkinan diamati.
Relative advantage adalah derajat dimana inovasi dirasakan lebih baik dari
pada ide lain yang menggantikannya. Derajat keuntungan tersebut dapat diukur secara ekonomis, tetapi faktor prestise sosial, kenyamanan dan kepuasan juga
merupakan faktor penting. Semakin besar keuntungan relatif inovasi yang dapat dirasakan, tingkat adopsi inovasi juga akan menjadi lebih cepat.
Compatibility adalah derajat dimana inovasi dirasakan sebagai sesuatu
yang biasa dilakukan atau konsisten dengan nilai–nilai yang berlaku, pengalaman- pengalaman terakhir dan kebutuhan adopter pengadopsi. Ide yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai dan norma sistem sosial tidak akan diadopsi secara cepat sebagaimana inovasi yang sesuai.
Complexity adalah derajat kerumitan inovasi untuk dipahami dan
digunakan. Ide-ide baru yang lebih sederhana untuk dipahami akan lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang mengharuskan adopter mengembangkan keahlian
dan pemahaman baru. Trialability
adalah derajat kemudahan inovasi untuk dicoba pada keadaan sumber daya yang terbatas. Ide-ide baru yang dapat dicoba pada sebagaian
tahapan penanaman secara umum akan lebih mudah dan cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat diuji cobakan dalam skala yang lebih kecil.
Observability adalah derajat kemudahan inovasi untuk dilihat dan
disaksikan hasilnya oleh orang lain. Kemudahan dalam melihat hasil inovasi oleh seseorang akan memudahkannya dalam mengadopsi inovasi.
Inovasi pertanian adalah segala sesuatu yang dihasilkan melalui kegiatan penelitian dan pengkajian pertanian untuk membantu pengembangan pertanian
secara umum. Secara umum, teknologi inovasi pertanian dapat berupa produk varietas benih, pengetahuan knowledge, maupun alat dan mesin pertanian
Gambar 2. Ketiga jenis teknologi pertanian ini memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga membutuhkan penanganan strategi penyampaiannya kepada
petani dengan tahapan dan teknik yang berbeda pula IRRI 1998.
23
Gambar 2 Jenis Inovasi Pertanian dan Tahapan Komunikasi Inovasi IRRI 1998 Inovasi pertanian berupa produk seperti varietas unggul baru memerlukan
tahapan uji coba di lapangan, sehingga calon pengguna mampu menilai secara nyata keunggulan inovasi yang akan diintroduksikan. Selain itu, diperlukan kerja
sama dengan mitra perusahaan produsen benih danatau penangkar benih agar varietas unggul baru tersebut dapat diproduksi secara massal dan diadopsi oleh
pengguna secara luas. Lamanya waktu yang dibutuhkan petani dalam proses adopsi antara lain
dipengaruhi oleh jenis inovasi yang diintroduksi. Untuk jenis inovasi berupa alat dan medin pertanian alsintan, model penyebarannya yang perlu dikembangkan
cukup sederhana, yaitu alsintan yang akan diintroduksikan dibuat prototipenya. Selanjutnya, dilakukan pengujian testing dan evaluasi, termasuk pengujian
pengoperasian alsintan di tingkat lapangan. Untuk pemanfaatan Alsintan tersebut, maka diperlukan mitra kerjasama dengan produsen alsintan di tingkat
lokalnasional agar dapat diproduksi secara massal dan diadopsi oleh pengguna secara luas. Selain itu, diperlukan pengembangan usaha jasa purna jual alsintan
sehingga dapat dipelihara kesinambungan adopsi dari alsintan tersebut. Introduksi untuk jenis inovasi berupa pengetahuan teknologi produksi,
prosedurcara, sistem pemasaran, model kelembagaan, analisis kebijakan perlu dilakukan tahapan yang lebih panjang dan kompleks, karena inovasi yang
24
dihasilkan dari lembaga penelitian biasanya masih sangat ilmiah. Model penyebaran untuk jenis inovasi ini dinilai lebih kompleks dibandingkan dengan
dua model penyebaran untuk jenis inovasi yang berupa produk dan alsintan. Setelah melalui tahapan sintesis, masih perlu dilakukan tahap penyederhanaan dan
evaluasi, dimana pengguna diikutsertakan dalam proses evaluasi. Untuk mempercepat adopsi inovasi oleh petani dilakukan dengan menggunakan berbagai
metode dan media komunikasi yang sesuai dengan latar belakang calon penggunanya.
Sistem sosial memiliki pengaruh yang cukup penting dalam difusi ide-ide baru. Inovasi dapat diadopsi adopted atau ditolak rejected oleh seseorang
sebagai anggota dari sebuah sistem atau keseluruhan sistem sosial, dimana keputusan adopsi ditentukan oleh keputusan bersama atau oleh kekuasaan. Dari
dua hal tersebut, Rogers 2003 membagi keputusan inovasi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Optional innovation-decisions. Pilihan untuk mengadopsi atau menolak sebuah inovasi yang dilakukan oleh seseorang secara bebas terhadap keputusan
anggota lainnya dalam sebuah sistem sosial. Dalam kasus ini, keputusan individu kemungkinan dipengaruhi oleh norma dan jaringan komunikasi antar
individu. 2. Collective innovation-decisions
.
Pilihan untuk mengadopsi atau menolak sebuah inovasi yang dilakukan oleh konsensus antara anggota sebuah sistem
sosial. Seluruh unit dalam sistem sosial biasanya harus mengkonfirmasi terhadap keputusan yang dibuat oleh sistem sosial tersebut.
3. Authority innovation-decisions. Pilihan untuk mengadopsi atau menolak sebuah inovasisi yang dilakukan oleh beberapa orang yang relatif sedikit dari
sebuah sistem yang memiliki kekuasaan, status status atau keahlihan teknik. Proses keputusan inovasi adalah proses yang dilakukan oleh seseorang
atau unit pengambil keputusan lainnya mulai dari pencarian informasi awal dari sebuah inovasi, penentuan sikap terhadap inovasi, pembuatan keputusan untuk
mengadopsi atau menolak, penerapan ide baru, dan konfirmasi terhadap keputusan yang sudah diambil. Rogers 2003 menggambarkan bahwa proses
keputusan inovasi terjadi dalam lima tahapan Gambar 3.
25
Kondisi Awal: 2.
Kegiatan sebelumnya
3. Kebutuhan yang
dirasakanmasalah 5
4. Kebaharuan ide
innovativeness .
Norma sistem sosial
Saluran-Saluran Komunikasi
4. Mengadopsi
3. Menolak
Melanjutkan adopsi Mengadopsi kemudian
Tidak melanjutkan
Karakteristik Pengambil Keputusan:
• Karakteristik sosial ekonomi
• Variabel individu • Perilaku komunikasi
Persepsi mengenai karakteristik
inovasi :
• Relative advantage • Compatibility
• Complexity • Trialability
Melanjutkanmenolak
Gambar 3 Tahapan Proses Keputusan Inovasi Rogers 2003
Kelima tahapan proses keputusan inovasi memiliki ciri yang khusus. Tahap pertama, pengetahuan knowledge terjadi pada saat seseorang atau
pengambil keputusan lainnya diterpa informasi mengenai keberadaan sebuah inovasi dan memperoleh pemahaman mengenai bagaimana inovasi tersebut
berfungsi. Tahap kedua, bujukan persuation terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya merasakan kenyamanan atau ketidaknyamanan
terhadap inovasi. Tahap ketiga, keputusan decisions terjadi pada saaat seseorang atau pengambil keputusan lainnya melakukan kegiatan yang mengarah pada
sebuah pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Tahap keempat, penggunaan implementation terjadi pada saat seseorang atau pengambil
keputusan lainnya menentukan untuk menggunakan ide baru tersebut. Sedangkan tahap yang kelima, konfirmasi confirmation terjadi pada saat seseorang atau
pengambil keputusan mencari penegasan kembali terhadap keputusan inovasi yang telah dibuat yang kemungkinannya dapat mengubah keputusan yang telah
dibuat jika diterpa informasi yang berlawanan terhadap inovasi. Hasil review teori difusi inovasi yang dilakukan Straub 2009 mengatakan
bahwa dalam proses introduksi teknologi, teori difusi inovasi secara khusus dapat mempengaruhinya dalam tiga proses. Pertama, mengingat adopsi merupakan hal
yang kompleks, maka proses pembangunan sosial merupakan hal yang pertama
26
harus dilakukan. Kedua, setiap individu memiliki persepsi yang berbeda-beda berkaitan dengan teknologi yang dapat mempengaruhi proses adopsi. Ketiga,
keberhasilan pelaksanaan adopsi teknologi harus memperhatikan dengan serius berbagai hal yang berkaitan dengan aspek kognitif, emosi, dan konteks.
Media Komunikasi Inovasi Pertanian
Media secara harfiah sering diartikan sebagai perantara atau pengantar. Media juga sering diartikan sebagai sarana komunikasi untuk mengantarkan
pesan. Media komunikasi adalah semua sarana yang dipergunakan untuk memproduksi, mereproduksi mendistribusikan atau menyebarkan dan
menyampaikan informasi Suranto 2005. Berdasarkan fungsinya, media komunikasi pada dasarnya dibagi menjadi tiga, yaitu fungsi produksi, reproduksi,
dan penyampaian informasi. Fungsi produksi ialah media komunikasi yang berguna untuk menghasilkan informasi, misalnya komputer dan pengolah kata
word processor . Fungsi reproduksi ialah media komunikasi yang kegunaannya
untuk memproduksi ulang dan menggandakan informasi, misalnya audio tapes recorder dan videotapes. Fungsi penyampaian informasi, ialah media komunikasi
dipergunakan untuk menyebarluaskan dan menyampaikan pesan. Sedangkan berdasarkan bentuknya, media komunikasi dibagi menjadi media cetak, media
visual atau media pandang, media audio, dan media audio-visual. Media audio- visual ialah media komunikasi yang dapat dilihat sekaligus dapat didengar.
Mc Luhan 2001 membagi media ke dalam tiga kategori, yaitu presentation media, representation media,
dan electronic media. Presentation media
adalah bentuk komunikasi yang sifatnya face to face seperti: pidato, ceramah, atau bentuk-bentuk komunikasi dengan lebih dari dua orang tetapi masih
face to face. Representation media adalah media yang pesannya diwujudkan
dalam bentuk simbol yang dicetak, disampaikan melalui jarak jauh dan menggunakan teknologi untuk mereproduksi pesan-pesannya, misalnya surat
kabar dan majalah., Electronic media atau mechanical media adalah media yang penggunaannya hampir sama dengan representation media namun ada proses
encoding dan decoding pesan pada saat penerimaan dan pengiriman pesan,
misalnya: radio, telepon, dan televisi.
27
Lembaga komunikasi lokal
Yoon 2009 menyatakan bahwa dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan yang partisipatif-horisontal dimunculkanlah kembali
revitalisasi konsep komunikasi antarpribadi interpersonal communication, media rakyat folk media, komunikasi kelompok group communication dan
model komunikasi dua tahap two-step flow communication. Selain itu, oleh karena ikatan kultural di banyak daerah, terutama apabila diimplementasikan
pada masyarakat Indonesia masih mengakui kharisma agen perubahan atau opinion leader
pemuka pendapat dalam masyarakat seperti kyai, guru, kadus, dan pemuka adat sebagai aktor penting dalam proses komunikasi masyarakat.
Akan tetapi, pentingnya peranan opinion leader tidak dapat diartikan sebagai penguasa baru melainkan hanyalah sosok panutan yang menjadi jembatan
perantara diadakannya perubahan pola komunikasi lama yang vertikal dan tergantung media menuju pola komunikasi yang horisontal yang sepenuhnya
mengandalkan demokratisasi dan partisipasi rakyat. Paradigma komunikasi partisipatif-horisontal memberikan peluang atau
mengundang kepada semua masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam proses komunikasi sampai dengan pengambilan keputusan. Komunikasi pendukung
pembangunan dilaksanakan dalam model komunikasi horisontal, sehingga interaksi komunikasi dilakukan secara lebih demokratis. Dalam proses
komunikasi, tidak hanya ada sumber atau penerima saja. Sumber juga penerima, penerima juga sumber dalam kedudukan yang sama dan dalam level yang
sederajat. Karena itu kegiatan komunikasi bukan kegiatan memberi dan menerima melainkan berbagi atau berdialog. Isi komunikasi bukan lagi
pesan yang dirancang oleh sumber dari atas, melainkan fakta, kejadian, masalah, kebutuhan yang dikodifikasikan menjadi tema. Tema inilah yang
disoroti, dibicarakan, dan dianalisis. Semua suara didengar dan diperhatikan untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Oleh
karena itu, yang terlibat dalam model komunikasi ini bukan lagi sumber dan penerima melainkan “partisipan yang satu dengan yang lain sehingga sifatnya
interaktif Wibowo 1994.
28
Beberapa media komunikasi lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan komunikasi partisipatif dalam penelitian ini di antaranya adalah
kelompok keagamaan, kelompok arisan, karang taruna, kelompok pengguna air, dan kelompok kesenian. Kelembagaan komunikasi lokal ini merupakan
kelembagaan potensial yang sudah biasa dimanfaatkan oleh masyarakat dalam berbagi informasipengetahuan selain sebagai sarana menjalin hubungan sosial.
Media komunikasi terprogram
Media terprogram atau media belajar terprogram merupakan wahana yang dirancang khusus by design untuk pembelajaran Anwas 2009. Dalam
penelitian ini, media komunikasi terprogram yang dimaksud adalah pendidikan formal dan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti oleh petani. Pendidikan
formal merupakan jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang dan terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Individu yang mengikuti pendidikan formal berarti ingin mengembangkan diri dalam meningkatkan kemampuannya. Selain pendidikan
formal, media terprogram juga dapat berupa pelatihan, kursus-kursus, kunjungan lapangan, studi banding, temu lapang, maupun pertemuan-pertemuan.
Bagi petani, pertemuan rutin antar petani dalam suatu kelompok tani atau antara petani dengan penyuluh merupakan media terprogram yang cukup efektif.
Melalui pertemuan yang biasanya diselenggarakan secara rutin dapat dimanfaatkan sebagai wahana untuk berbagi pengetahuan.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mempengaruhi sistem pelatihan. Menurut Rosenberg 2001, teknologi akan memberikan
implikasi terhadap perubahan pelatihan yang tradisional, yaitu 1 menekankan bukan pada proses tetapi pada output pelatihan yang memberikan efek positif bagi
kinerja, 2 belajar dapat dilakukan di mana saja, kapan saja dengan kebutuhan dan kecepatan belajar yang fleksibel, 3 dari kertas ke online, 4 dari fasilitas fisik ke
fasilitas jaringan, dan 5 materi pelatihan akan berganti cepat sesuai dengan kebutuhan sasaran yang nyata real dalam kehidupannya.
29
Media massa
Media massa adalah suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melewati media cetak
atau elektronik, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Pengertian dapat di sini menekankan pada pengertian
bahwa jumlah sebenarnya penerima pesan informasi melalui media massa pada saat tertentu tidaklah esensial. Aspek penting yang menjadi bahan kajian teori
media massa sebagaimana disampaikan oleh Tan adalah The communicator is a social organization capable or reproducing the
message and sending it simultaneously to large number of people who are spatially separated
Tan 1981. Bentuk media massa, secara garis besar, ada dua jenis, yaitu media massa
tradisional konvensional dan media massa modern dengan aplikasi teknologi
informasi yang bersifat konvergen dan dapat interaktif. Media massa tradisional
adalah media massa dengan otoritas dan
memiliki organisasi yang jelas dengan ciri-ciri sebagai berikut
1. Informasi dari lingkungan diseleksi, diterjemahkan dan didistribusikan.
2. Media massa menjadi perantara dan mengirim informasinya melalui saluran
tertentu. 3.
Penerima pesan tidak pasif dan merupakan bagian dari masyarakat dan menyeleksi informasi yang mereka terima.
4. Interaksi antara sumber berita dan penerima sedikit.
Beberapa media massa yang termasuk dalam kategori media massa konvensional meliputi 1 media cetak yang terdiri atas: surat kabar, majalah, dan
2 media elektronis yang terdiri atas radio, televisi, dan film layar lebar. Koran
merupakan media massa cetak yang berkembang seiring kemajuan jaman. Koran lebih mengutamakan pemberitaan yang bersifat lebih mendalam disertai dengan
investigasi yang lebih akurat. Adanya pergeseran perubahan media massa ini menurut Cole Severin dan Tankard 2001 menyebabkan perbedaan antar media
menjadi samar, koran-koran menjadi lebih mirip dengan majalah-majalah dan
penyiaran. Majalah cenderung lebih memfokuskan pada pemuasan audien
sehingga muncul majalah dengan sasaran yang lebih spesifik, misalnya: remaja,
wanita, pendidikan, dan pertanian Sinar Tani, Trubus, Trobos.
30
Radio
merupakan media yang banyak dimanfaatkan masyarakat, khususnya petani untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkannya. Sejumlah
kekuatan radio menurut Astuti 2008 antara lain: 1 Dapat mendidik khalayak yang spesifik karena radio memiliki kemampuan
untuk memfokuskan pada kelompok demografis yang dikehendaki. Radio juga lebih fleksibel untuk mengubah atau mempertajam segmen audien yang dituju
dibandingkan dengan media komunikasi massa lainnya. 2 Radio bersifat mobile dan portable. Radio mudah dibawa ke mana-mana dan
sumber energinya kecil sehingga mudah terjangkau karena harganya relatif murah. Radio dapat menyatu dengan fungsi alat penunjang kehidupan lainnya
senter, mobil, telepon genggam. 3 Radio bersifat intrusif dan memiliki daya tembus yang tinggi. Radio dapat
menembus ruang-ruang di mana media lain tidak dapat masuk. 4 Radio bersifat fleksibel karena dapat menciptakan program, mengirim pesan,
dan membuat perubahan dengan cepat dan mudah. 5 Radio bersifat sederhana karena mudah dalam mengoperasikan, mengelola, dan
isinya juga sederhana.
Televisi dapat menyampaikan pesan audio visual dan unsur gerak.
Dengan karakteristik tersebut, media ini dapat berfungsi sebagai media informasi, media hiburan, dan media penddikan. Dalam bidang pertanian, RRC misalnya,
melalui Central Agricultural Broadcasting and Television School CABTS di bawah departemen pemberdayaan petani China mengembangkan dan menyiarkan
program pendidikan yang target utamanya adalah petani perdesaan di seluruh China Pustekkom 2006. Di Indonesia, siaran televisi dengan substansi pertanian
melalui media televisi juga pernah ditayangkan, di antaranya adalah dari desa ke desa pada tahun 1980-an, kuis asah terampil untuk para kelompok tani, dan Saung
tani yang disiarkan di TVRI pada tahun 2007 dan pada tahun terakhir 2011
melalui program pelangi desa. Film melalui layar lebar layar tancap merupakan
media yang banyak digunakan untuk komunikasi massa pada masa pemerintahan orde baru.
Media massa barumodern merupakan media massa yang telah
menggunakan aplikasi teknologi informasi multimedia, di antaranya adalah komputer, telepon genggam, dan jaringan internet. Media massa yang lebih
modern ini memiliki ciri-ciri:
31
1. Sumber dapat mentransmisikan pesannya kepada banyak penerima melalui
SMS atau internet misalnya. 2.
Isi pesan tidak hanya disediakan oleh lembaga atau organisasi namun juga oleh individual.
3. Tidak ada perantara, interaksi terjadi pada masing-masng individu individu
4. Komunikasi mengalir berlangsung ke dalam.
5. Penerima yang menentukan waktu interaksi.
Media massa menurut teori agenda-setting dari McCombs et al. 1997 memiliki pengaruh dan penekanan informasi tertentu terhaap masyarakat. Teori
ini diimbangi oleh teori Uses and Gratifications dari Katz Severin dan Tankard 2001, bahwa pengguna uses media atau khalayak adalah aktif dan selektif
dalam menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Dalam konteks pembangunan, media massa memiliki peran penting.
Media massa tidak hanya berperan dalam menimbulkan dan memberikan informasi, tetapi lebih lanjut dapat mengarahkan untuk tujuan penyuluhan dan
pembangunan Oepen 1988. Dalam perkembangannya, dengan berkembangnya teknologi informasi, terutama munculnya internet, media massa memiliki fungsi
interaktif dan bersifat konvergen, termasuk dalam melakukan transaksi bisnis.
Kredibilitas teknologi informasi dan komunikasi sebagai media komunikasi inovasi
Kredibilitas adalah alasan yang masuk akal untuk dapat mempercayai sesuatu. Seseorang yang memiliki kredibilitas berarti dapat dipercayai, dalam arti
kita dapat memercayai karakter dan kemampuannya Murrow 2009. Untuk dapat menilai kredibilitas sebuah informasi dan komunikasi terkait dengan
teknologi informasi dan komunikasi sebagai media komunikasi inovasi, dapat dilihat dari empat perspektif, yaitu: kredibilitas sumber, kredibilitas pesan,
kredibilitas media, dan pertimbangan khalayak. Schiffman dan Kanuk 2007 menyatakan bahwa kredibilitas sumber ada
dua yaitu kredibilitas sumber informal dan kredibilitas sumber formal. Sumber informal atau sumber-sumber editorial dianggap sangat obyektif dan sangat
kredibel. Kredibilitas yang meningkat yang diberikan oleh sumber informal tidak selamanya dapat dijamin sepenuhnya, walaupun ada aura obyektivitas yang
32
dirasakan. Kredibilitas sumber mempengaruhi perumusan pesan. Stephens dan Saetre 2008 menyatakan bahwa ketika seseorang memiliki pengetahuan tentang
sumber pesan, mereka menggunakan kombinasi dari faktor psikologi dan lingkungan untuk memastikan kepercayaannya pada sumber pesan. Dalam suatu
studi, pada tahun 1999, McCroskey and Teven menemukan bahwa “goodwill” memiliki tiga unsur yang berbeda, yaitu pemahaman, empati, dan responsiveness.
Ketika orang berkomunikasi secara asynchronous menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti email, pesan suara voicemail, text messaging
TM, dan short message service SMS maka responsiveness menjadi penting. Kredibilitas pesan terkait dengan tiga aspek, yaitu konten pesan, struktur
pesan, dan pengiriman pesan. Konten menekankan perhatian pada isu seperti apa topik yang dibahas atau jenis pesan yang disampaikan apakah berupa berita,
politik, hiburan, atau bersifat interpersonal. Struktur pesan memberikan penekanan pada kejelasan clarity dari organisasi yang menyampaikan pesan.
Sedangkan pengiriman pesan menekankan pada bagaimana sumber pesan menyajikan pesan. Hal ini mencakup pula hal-hal seperti ucapan, penilaian, dan
pemilihan kata yang digunakan dalam pengiriman pesan Saetre dan Stephens 2008.
Westley dan Severin merupakan orang pertama yang melakukan analisis menyeluruh terhadap kredibilitas saluran dari berbagai ragam media dan
mengemukakan bahwa variabel demografis tertentu seperti usia, pendidikan, dan jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap persepsi orang mengenai kredibilitas
saluran. Selain faktor demografis, mereka juga membedakan antara kredibilitas media dan preferensi terhadap media. Dengan kata lain, orang tidak selalu merasa
media yang mereka sukai sebagai yang paling kredibel. Kredibilitas media dapat diukur dengan berbagai cara bergantung pada kombinasi pertanyaan yang
digunakan Kiousis 2001. Shin and Cameron 2003 melakukan studi bagaimana jurnalis dan pratisi public relation di Amerika dan Korea merasakan kredibilitas
dari 20 jenis teknologi informasi dan komunikasi yang berbeda. Dari hasil studi ini diketahui bahwa perbedaan budaya dan profesionalisme mempengaruhi
persepsinya terhadap teknologi informasi dan komunikasi.
33
Khalayak atau audiens merupakan populasi dalam jumlah yang besar yang kemudian dapat dipersatukan keberadaannya melalui media massa Junaedi et al.
2007. Khalayak melakukan penilaian terhadap kredibilitas informasi secara keseluruhan, yakni meliputi kredibilitas sumber, pesan, maupun media. Faktor
audien umumnya sangat relevan untuk penggunaan teknologi informasi dan komunikassi Saetre dan Stephens 2008.
Cyber Extension sebagai Media Komunikasi Inovasi Pertanian
Cyber extension adalah mekanisme pertukaran informasi pertanian melalui area cyber, suatu ruang imajiner - maya di balik interkoneksi jaringan
komputer melalui peralatan komunikasi. Cyber Extension ini juga memanfaatkan kekuatan jaringan, komunikasi komputer dan multimedia interaktif untuk
memfasilitasi mekanisme berbagi informasi atau pengetahuan. Pengertian ini sebagaimana disampaikan oleh Wijekoon et al. 2009
“Cyber extension is an agricultural information exchange mechanism over cyber space, the imaginary space behind the interconnected computer
networks through telecommunication means. It utilizes the power of networks, computer communications and interactive multimedia to facilitate information
sharing mechanism
”. Kelemahan keterkaitan antara penyuluhan, penelitian, jaringan pemasaran
serta keterbatasan efektivitas penelitian dan penyuluhan bagi petani memberikan kontribusi lambatnya pembangunan pertanian. Dengan berkembangnya teknologi
informasi dan komunikasi, mekanisme cyber extension sudah mulai diterapkan di banyak negara dalam tahun-tahun ini sebagai suatu mekanisme penyaluran
informasi yang dapat diupayakan untuk memenuhi kebutuhan petani di perdesaan terhadap informasi untuk mendukung kegiatan usahataninya.
Cyber extension memfokuskan pada keseluruhan pengembangan usahatani
termasuk produksi, manajemen, pemasaran, dan kegiatan pembangunan perdesaan lainnya. Sebuah sistem komunikasi inovasi pertanian melalui pemanfaatan cyber
extension memberikan dukungan pada keseluruhan pengembangan usahatani
termasuk produksi, manajemen, pemasaran, dan kegiatan pembangunan perdesaan lainnya. Model komunikasi inovasi melalui pemanfaatan cyber extension
adalah menghimpun atau memusatkan informasi yang diterima oleh petani dari
34
berbagai sumber yang berbeda maupun yang sama dan disederhanakan dalam bahasa lokal disertai dengan teks dan ilustrasi audio visual yang dapat disajikan
atau diperlihatkan kepada seluruh masyarakat desa khususnya petani semacam papan pengumuman bulletin board pada kios atau pusat informasi pertanian.
Dalam model komunikasi cyber extension, transmisi informasi dari sumber ke pusat informasi komunitas akan menjadi milik umum, sedangkan dari pusat
informasi komunitas ke petani, informasi tersedia di wilayah pribadi milik pribadi. Keuntungan yang potensial dari komunikasi cyber extension adalah
ketersediaan yang secara terus menerus, kekayaan informasi informasi nyaris tanpa batas, jangkauan wilayah internasional secara instan, pendekatan yang
berorientasi kepada penerima, bersifat pribadi individual, dan menghemat biaya, waktu, dan tenaga Adekoya 2007.
Cyber extension merupakan salah satu saluran komunikasi yang
mensinergikan aplikasi teknologi informasi dengan beragam sistem komunikasi. Cyber extension
juga merupakan tipe khusus dari suatu inovasi. Istilah saluran merupakan sebuah terminologi yang penting untuk pembelajaran inovasi karena
memiliki beragam aplikasi yang sangat luas, namun memiliki makna yang sangat spesifik Browning et al. 2008.
Sejak sepuluh tahun terakhir, dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, Indonesia sudah mulai mengintegrasikan aplikasi teknologi
informasi dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pembangunan dan pengembangan masyarakat, bahkan sudah pula beberapa program dilaksanakan
khusus untuk mendukung kegiatan pertanian, yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai rintisan cyber extension. Beberapa program tersebut di antaranya adalah:
Community Training and Learning Centre CTLC Program Unlimited Potential
UP, Proyek Partnerships for e-Prosperity for the Poor Pe-PP, dan Pengembangan Sumber Informasi Pertanian Nasional dan Lokal – P4MI.
Program Unlimited Potential UP merupakan sebuah inisiatif global Microsoft yang diimplementasikan di seluruh dunia sejak tahun 2003. Dalam
program ini, Microsoft bekerja sama dengan berbagai lembaga non-profit menyediakan sarana pelatihan dan pembelajaran jangka panjang bagi masyarakat
yang memiliki keterbatasan, melalui CTLC. Tujuan utama program Unlimited
35
Potential adalah untuk mengurangi kesenjangan digital bagi masyarakat yang
memiliki keterbatasan. Hal ini sejalan dengan target pemerintah melalui kesepakatan yang ditandatangani pada World Summit on Information Society
WSIS di Geneva untuk memberikan akses kepada 50 persen penduduk Indonesia pada tahun 2015.
Program UP di Indonesia pertama kali diluncurkan di Indonesia tanggal 23 Oktober 2003. Hingga saat ini, Microsoft Indonesia telah bekerjasama dengan 7
lembaga non-profit yaitu: Koalisi Perempuan Indonesia KPI, Forum Daerah, Yayasan Mitra Mandiri, Yayasan Mitra Netra, dan LPPM Institut Pertanian Bogor
IPB dan Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan. Tujuh lembaga tersebut berperan sebagai koordinator untuk mengelola 33 CTLC di seluruh Indonesia.
Keberhasilan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi oleh petani di Indonesia dalam memajukan usaha taninya ditunjukkan oleh beberapa
kelompok tani yang telah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi hasil produksinya dengan menggunakan fasilitas yang disediakan CTLC
di Pancasari Bali dan Pabelan Salatiga yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan lembaga nonprofit di bawah Program Unlimited Potential. Misalnya,
petani mengenal teknologi budidaya paprika dalam rumah kaca melalui internet. Sejak mengirimkan profil produksi di internet, permintaan terhadap produk
pertanian yang diusahakan terus berdatangan. Promosi melalui internet dapat memutus hubungan petani dengan tengkulak yang sering memberikan harga jauh
di bawah harga pasar Sigit et al. 2006. Partnerships for e-Prosperity for the Poor
Proyek Percontohan untuk Mengurangi kemiskinan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi yang dilaksanakan oleh Bappenas dengan dana hibah dari UNDP menitikberatkan pendekatannya kepada pembangunan masyarakat informasi yang
bersifat bottom-up, yaitu berakar pada kebutuhan masyarakat demand driven. Selain mendirikan telecenter sebagai sarana akses terhadap teknologi informasi
dan komunikasi bersama untuk masyarakat desa, Pe-PP juga melakukan pendampingan intensif selama satu tahun kepada kelompok-kelompok masyarakat
desa agar mereka dapat membangun kultur informasi dan komunikasi serta
36
menjadi kelompok-kelompok belajar mandiri yang terus menerus meningkatkan kapasitas dirinya.
Sampai tahun 2006, di bawah program Pe-PP telah berdiri beberapa telecenter
, di antaranya adalah di Desa Pabelan, Magelang, Jawa Tengah Mei 2004; di Desa Muneng, Madiun, Jawa Timur Mei 2005; di Desa Kertosari,
Lumajang, Jawa Timur Mei 2005; di Lapulu, Sulawesi Tenggara Maret 2006; di Desa Tuladenggi, Gorontalo April 2006; di Desa Salubomba, Sulawesi
Tengah Juni 2006; dan di Kabupaten Fak Fak, Papua Januari 2008. Khusus untuk Telecenter di Jawa Timur, satu lokasi merupakan replikasi dari model Pe-
PP yang dibiayai sepenuhnya oleh APBD, Jatim. Poor Farmers’ Income Improvement through Innovation Project
PFI3P atau Program Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi P4MI merupakan
sebuah program Departemen Pertanian dengan dana dari Loan ADB yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Pertanian untuk meningkatkan
kesejahteraanpendapatan petani di lahan marjinal melalui inovasi pertanian mulai dari tahap produksi sampai pemasaran hasil. Melalui kegiatan ini telah
dilaksanakan program pengembangan sumber informasi pertanian nasional dan lokal dengan mengembangkan website informasi pertanian di tingkat nasional,
membangun pusat informasi pertanian lokal di tingkat kabupaten, dan menyediakan informasi pasar dan informasi teknologi pertanian dengan dukungan
teknologi informasi dan komunikasi. Pusat informasi pertanian lokal atau Unit Pelayanan Informasi Pertanian
Kabupaten UPIPK berfungsi sebagai one stop shop untuk pertukaran informasi di mana kontak tani dapat memperoleh informasi yang berguna dan sesuai
dengan inovasi produksi dan pemasaran. Selain UPIPK, dikembangkan pula Unit Pelayanan Informasi Pertanian tingkat Desa UPIPD atau telecenter P4MI.
Dengan mengadopsi konsep telecenter, UPIPD berfungsi sebagai sarana publik di perdesaan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi untuk melayani
akses informasi dan promosi produk yang dihasilkan petani setempat. Layanan informasi UPIPD tidak hanya berupa informasi pertanian saja, namun juga
berbagai informasi lain yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan semakin dekatnya sumber informasi, masyarakat dapat mengetahui dan
37
memperoleh informasi langsung dari sumbernya, mengolahnya, dan kemudian memanfaatkan informasi tersebut sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
Dengan demikian, masyarakat memiliki peluang yang lebih besar dan berkembang menjadi masyarakat yang berbudaya informasi dan berpengetahuan
knowledge based society. Selanjutnya dengan informasi dan pengetahuan yang dimilikinya, masyarakat dapat memperkaya inovasi pertanian yang dimilikinya
untuk mendukung usaha agribisnis. Pemanfaatan
Cyber Extension dalam Komunikasi Inovasi Pertanian
Mulai akhir abad 20, akses informasi pasar di negara Cina sudah dilakukan melalui Personal Computer PCs desktop. Pada saat ini, selain pengusaha besar,
petani sudah mulai akses informasi pasar melalui telepon seluler mobile phones dengan biaya yang relatif lebih murah. Website khusus untuk produk pertanian
telah dioperasionalkan dengan menyediakan direktori berbagai produk, papan penawaran produk, layanan untuk perdagangan, pusat informasi produk pertanian,
dan virtual office sehingga proses perdagangan global yang melibatkan pedagang dan perusahaan besar dalam dan luar negeri untuk produk dari Cina dapat
berkembang dengan pesat BBC News 2004a. Kenya Agricultural Commodities Exchange KACE dibangun oleh
perusahaan swasta sejak tahun 1997 untuk mengembangkan Sistem Informasi Pasar SIP melalui aplikasi teknologi informasi dan komunikasi yang dirancang
untuk membantu petani, khususnya untuk mengakses informasi pasar dan harga komoditas pertanian yang dihasilkan petani miskin di daerah perdesaan atau
daerah terpencil di Kenya. Komponen dari SIP KACE adalah: 1 Market information Points
MIPs; 2 Market Information Centres MICs; 3 Short Messaging Service
SMS; 4 Interactive Voice Respons IVR Service; 5 Regional Commodity Trade and Information System
RECOTIS; dan 6 Web Site BBC News 2004a.
India memiliki banyak proyek pengembangan infrastruktur teknologi untuk akses informasi bagi masyarakat di perdesaan dan di perkotaan baik yang
bersifat top-down maupun yang bottom up. Wireless pony express of Daknet menggunakan ribuan bis yang dilengkapi dengan Wi-Fi transceivers untuk
38
memperoleh dan mengirimkan informasi melalui e-mail dengan sistem tanpa kabel dari kios desa. Teknologi wireless yang dikembangkan oleh organisasi
Information and Communication Technology for Billions ICT4B telah
mendorong petani di India langsung mengakses informasi untuk mengetahui peluang dalam mengusahakan komoditas yang memiliki harga yang lebih baik
dan menguntungkan seperti komoditas buah-buahan dan hortikultura dibandingkan dengan hanya mengusahakan gandum dan padi. Nabanna,
merupakan salah satu proyek yang diimplementasikan dengan menyiapkan akses melalui teknologi informasi dan pelatihan bagi wanita di perdesaan di Bengal
Barat. Peoplelink dan CatGen membantu pekerja di perdesaan untuk meningkatkan pendapatannya dengan mengurangi ketergantungannya pada
tengkulak dan menjual produk yang dihasilkannya secara langsung melalui internet AgriWatch.com 2005.
Jaringan Huaral Valley di Peru dibangun untuk meningkatkan akses petani terhadap informasi pertanian. Jaringan dari pusat informasi masyarakat ini
dirancang dengan teknologi jaringan tanpa kabel wireless. Akses internet berjalan mobile internet memberikan kemungkinan yang lebih besar dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang nyata bagi kehidupan petani perdesaan, khususnya dalam mengikuti perkembangan dunia, di mana teknologi
jaringan tanpa kabel wireless mampu mengatasi hambatan infrastruktur untuk akses informasi. Selain petani, para pelajar di perdesaan juga dapat merasakan
manfaat dari infrastruktur telekomunikasi yang telah dibangun tersebut BBC News 2004b.
Thailand Canada Tele-centre Project TCTP bekerja sama dengan
beberapa lembaga pemerintahan Thailand, sektor swasta, dan World Bank telah mempromosikan akses layanan teknologi informasi dan komunikasi di desa-desa
dengan menempatkan beberapa telepon dan komputer untuk akses ke internet di lokasi yang mudah diakses oleh masyarakat. Lokasi yang menyelenggarakan
layanan teknologi informasi dan komunikasi untuk akses informasi ini disebut telecenter
. Selain mendemonstrasikan layanan teknologi informasi dan komunikasi di perdesaan dan daerah terpencil, TCTP bertujuan untuk membantu
end-users memperoleh informasi yang penting bagi kemajuannya, dan
39
mengurangi biaya transaksi pada saat menjualnya. Pendekatan umum dari TCTP adalah menyediakan dana untuk modal awal seperti instalasi layanan telepon,
komputer, printer, modem, dan mesin fax. Selama satu tahun, biaya untuk operasionalisasi telecentre termasuk biaya bulanan akses internet dibiayai oleh
TCTP. Namun demikian, setelah satu tahun beroperasi, telecenter ini mampu membiayai sendiri biaya operasionalnya karena memiliki dukungan yang kuat
dari masyarakat, kepala desa, maupun tokoh masyarakat. Masyarakat memberikan dana untuk peralatan komputer, printer, dan scanner dan konstruksi bangunan
untuk telecentre CIDA 2002.
Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Cyber Extension
Adopsi pemanfaatan cyber extension, khususnya dalam aplikasi teknologi informasi dan komunikasi di tingkat petani biasanya tidak spontan, teknologi
harus diajarkan dan dipelajari - diadopsi untuk pengalaman yang ada dan diintegrasikan ke dalam proses produksi usahatani. Di beberapa negara di mana
penelitian adopsi teknologi informasi dan komunikasi dilakukan, sebagian besar difokuskan terutama pada adopsi komputer untuk produksi pertanian umum. Batte
et al. 1990 dan Warren et al 2000 menyatakan bahwa penerapan teknologi
informasi dan komunikasi sangat terkait dengan tingkat pendidikan, ukuran skala usaha pertanian dan efek negatif dari umur petani. Dinyatakan pula bahwa
terdapat perbedaan dalam adopsi teknologi informasi dan komunikasi antara berbagai ukuran luas dan jenis lahan. Gelb dan Bonati 1998 mengungkapkan
bahwa kehadiran internet sangat berguna untuk pertanian saat ini. Beberapa contoh yang baik untuk adopsi teknologi informasi dan
komunikasi untuk sektor pertanian di antaranya adalah pada Kenya Agricultural Commodity Exchange
Kace dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk menyebarluaskan informasi pasar dan intelijen. Di Filipina ada
banyak portal, aplikasi e-commerce dan teknologi inovatif yang digunakan untuk menyediakan informasi pertanian yang relevan untuk daaerah pedesaan. Di
Thailand terdapat portal Internet multi-bahasa, Agricultural Information Network
AIN memungkinkan petani Thailand, petugas lapangan, pembuat kebijakan dan pemerintah untuk berkomunikasi dan mengakses informasi
pertanian yang relevan dan berguna. Petani di India menggunakan e-Choupal
40
yang merupakan salah satu dari portal untuk membuat sebuah jaringan kios yang menyediakan akses informasi yang telah melalui proses mediasi kepada mereka.
E-Choupal sudah menjadi inisiatif terbesar di antara semua intervensi berbasis
Internet di pedesaan India Anon 2006. Anggota Kredit Pertanian Primer Masyarakat atau Primary Agricultural Credit Societies PACS di India Selatan
dapat mengakses harga input produksi dan informasi pasar melalui aplikasi teknologi informasi dan komunikasi. Petani dapat memperoleh akses terbaik
terhadap nasihat di bidang pertanian di seluruh dunia dengan menggunakan DSSSistem Pakar. Beberapa sistem pakar yang telah dikembangkan untuk
digunakan di bidang pertanian di antaranya adalah: COMAX – yang menyediakan informasi mengenai pengelolaan tanaman terpadu untuk kapas. POMME
menyediakan informasi tentang manajemen hama dan kebun untuk komoditas apel, dan SOYEX-merupakan sistem pakar untuk ekstraksi minyak kedelai
Jayathilake 2010. Dalam berbagai penelitian, secara jelas menunjukkan bahwa kompleksitas
usahatani, tingkat dukungan eksternal lingkungan, usia, waktu pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, pengalaman, jaringan, ketersediaan
informasi, kepribadian dan pendekatan proses pembelajaran memberikan pengaruh pada peningkatan atau pengurangan terhadap penggunaan komputer
atau teknologi informasi dan komunikasi Iddings dan Apps 1990. Di samping itu, faktor-faktor seperti kurangnya kemampuan menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi, kurangnya kesadaran akan manfaat teknologi informasi dan komunikasi, terlalu sulitnya untuk digunakan, kurangnya
infrastruktur teknologi, tingginya biaya teknologi, rendahnya tingkat kepercayaan terhadap sistem teknologi informasi dan komunikasi, kurangnya pelatihan aplikasi
teknologi informasi dan komunikasi, integrasi sistem dan rendahnya ketersediaan perangkat lunak membatasi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di
tingkat petani Taragola dan Gelb 2005. Faktor lain yang banyak mempengaruhi adopsi dan penggunaan teknologi
informasi dalam organisasi pertanian dapat dikelompokkan menjadi lima kategori seperti akses terhadap teknologi informasi, demografi, pelatihanpendidikan
bidang teknologi informasi, tingkat kepercayaan terhadap teknologi informasi,
41
dan waktu atau lama menggunakan teknologi informasi Kurtenbach and Thompson 2000. Hal ini dimungkinkan untuk menjadi faktor adopsi
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi masuk ke dalam lebih dari satu kategori tipe pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi Gelb dan Parker
2005. Faktor pembatas yang paling penting di negara berkembang adalah terkait dengan keterbatasan infrastruktur dan biaya teknologi yang tidak lagi masuk
dalam ambang batas untuk diadopsinya teknologi informasi dan komunikasi di negara maju Kurtenbach dan Thompson 2000.
Karakteristik individu pelaku komunikasi inovasi pertanian
Menurut Littlejohn dan Karen 2005, ciri dan pokok pikiran dari teori- teori komunikasi adalah: individu dipengaruhi oleh struktur sosial atau sistem
sosial dan individu bagian dari struktur. Dengan demikian cara pandangnya dipengaruhi struktur yang berada di luar dirinya. Pendekatan ini menekankan
tentang sistem sebagai struktur yang berfungsi. Karakteristik dari pendekatan ini adalah:
1. Mementingkan sinkroni stabilitas dalam kurun waktu tertentu daripada
diacrony perubahan dalam kurun waktu tertentu. Misalnya dalam
mengamati suatu fenomena menggunakan dalil-dalil yang jelas dari suatu kaidah. Perubahan terjadi melalui tahapan metodologis yang telah baku.
2. Cenderung memusatkan perhatiannya pada akibat-akibat yang tidak
diinginkan unintended consequences dibandingkan dengan hasil yang sesuai tujuan. Pendekatan ini tidak mempercayai konsep subjektivitas dan kesadaran.
Fokusnya adalah pada faktor-faktor yang berada di luar kontrol kesadaran manusia.
3. Memandang realitas sebagai sesuatu yang objektif dan independen. Oleh
karena itu, pengetahuan dapat ditemukan melalui metode empiris yang cermat. 4.
Memisahkan bahasa dan lambang dari pemikiran dan objek yang disimbolkan dalam komunikasi. Bahasa hanyalah alat untuk merepresentasikan apa yang
telah ada.
5. Menganut prinsip the correspondence theory of truth. Menurut teori ini
bahasa harus sesuai dengan realitas. Simbol-simbol harus merepresentasikan
suatu secara akurat.
42
Dalam konteks yang diperluas untuk perspektif komunikasi sebagai sebuah sistem, selanjutnya Littlejohn dan Karen 2005 menyampaikan adanya
delapan unsur yang saling mempengaruhi dalam proses komunikasi Gambar 4, yaitu: 1 The communicator komunikator atau pelaku komunikasi; 2 The
message; 3 The conversation; 4 The relationship hubungan; 5 Group
kelompok; 6 Organization organisasi; 7 The media media; dan 8 Society and culture
masyarakat dan kebudayaan. Menurut Littlejohn dan Karen 2005, pelaku komunikasi komunikator
adalah seseorang yang dengan kesadaran akan identitasnya, sebagai ”diri sendiri” yang berkembang melalui interaksi. Individu diposisikan dalam sebuah struktur
hubungan kebudayaan dan kekuasaan. Dalam kaitannya sebagai pelaku komunikasi inovasi pertanian, teori yang sesuai untuk menjelaskan konsep pelaku
komunikasi di antaranya adalah teori konsistensi kognitif afektif.
Ke lom - p ok
Media
Or g a - n isa si
Pesan
Percakapan Komunikator
Komunikator
Masyarakat dan budaya
Hubungan
Gambar 4 Elemen yang Berpengaruh dalam Konteks Komunikasi yang Diperluas sistem komunikasi Littlejohn dan Karen 2005
T
eori konsistensi kognitif-afektif
menyatakan bahwa pengaruh dan kesadaran kita mengenai suatu hal terdiri atas dua aspek. Affective meliputi sikap
kita, bagaimana suatu hal terasa menyenangkan. Cognitions kepercayaan yang berhubungan dengan obyek. Apabila kita percaya konsekuensi yang baik akan
didapat dari pendapat, kita akan memakai pendapat itu. Affective-Cognitive Consistency
menjelaskan hukum sikap kognitif: jika kita mengubah kepercayaan