Pemanfaatan cyber extension melalui fasilitator telecenter dan disebarkan

Gambar 27. Mekanisme pemanfaatan cyber extension langsung oleh petani.

2. Pemanfaatan cyber extension melalui fasilitator telecenter dan disebarkan

ke petani lain Pemanfaatan cyber extension pada skenario kedua adalah melalui fasilitator atau operator telecenter sebagai perantara. Mekanisme pemanfaatan cyber extension tipe kedua ini hanya dapat dioptimalkan di lokasi yang tersedia access point semacam Telecenter Kartini Mandiri di Batu yang dikembangkan oleh World Bank. Selain informasi yang dapat diakses secara online, telecenter diharapkan juga menyediakan informasi elektronis dalam bentuk compact disk atau pangkalan data yang dapat diakses secara offline. Informasi yang diakses oleh fasilitator telecenter dapat disederhanakan dan selanjutnya diteruskan ke petani baik dalam bentuk tercetak selebaran, penulisanpenempelan pada papan pengumuman, atau dapat dikemas secara elektronis dalam bentuk compact disk dan dalam pangkalan data. Fasilitator juga dapat menjembatani komunikasi secara interaktif dengan sumber informasi yang diperlukan petani melalui mekanisme pemanfaatan teknologi informasi yang ada di telecenter. Misalnya promosi usaha tani melalui internet dan konsultasi usahatani dengan para pakar. Melalui skenario ini, petani yang dapat berhubungan langsung dengan telecenter selanjutnya dapat membagikan informasi yang diperolehnya kepada petani lain melalui berbagai media komunikasi yang ada di lingkungan sebagai Sumber informasi dalam cyber extension Petani dengan tingkat kosmopolitan, pengetahuan dan keterampilan dalam pemanfaatan teknologi informasi, dan kemampuan berbagi informasi yang tinggi Petani lain melalui komunikasi interpersonal baik secara tatap muka maupun penerusan informasi melalui telepon secara interaktif Media komunikasi lain: - Pertemuan kelompok - Papan pengumuman - Forum diskusi forum media melalui kembagaan lokal Petani lain yang tidak dapat langsung berinteraksi dengan petani maju atau tidak aktif dalam kelompok 258 forum diskusi forum media. Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui intermediate users skenario kedua disajikan pada Gambar 28. Gambar 28. Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui pengguna antara 3. Pemanfaatan cyber extension oleh komunitas lembaga komunikasi lokal dan disebarkan ke petani lain Pemanfaatan cyber extension pada skenario ketiga ini adalah melalui komunitas petani. Mekanisme pemanfaatan cyber extension tipe ketiga dapat dioptimalkan di lokasi yang tersedia lembaga komunitas lokal semacam radio komunitas misalnya radio Edelweis di Pacet yang dikelola dan dioperasionalkan oleh petani sendiri. Informasi yang diperolah petani dari berbagai sumber informasi termasuk melalui pemanfaatan cyber extension disederhanakan didampingi fasilitator atau penyuluh dan dikemas dalam bahasa lokal sehingga mudah dipahami petani. Informasi yang sudah disederhanakan dapat dijadikan sebagai bahan siaran radio. Petani secara interaktif juga dapat menyampaikan umpan baliknya melalui komunitas ini atau melalui pembentukan forum media. Radio komunitas juga dapat berfungsi untuk menjembatani petani dalam akses informasi secara interaktif maupun dalam promosi hasil usahataninya. Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui komunitas skenario ketiga disajikan pada Gambar 29. Fasilitator operator telecenter yang akses informasi secara online dan offline Petani yang dapat akses ke telecenter serta memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam pemanfaatan teknologi informasi yang memadai Petani lain melalui komunikasi interpersonal Forum diskusi pada kelembagaan komunikasi lokal Petani lain yang tidak dapat langsung berinteraksi dengan petani maju atau tidak aktif dalam kelompok Sumber informasi dalam cyber extension Dpwnload repackaging I nformasi spesifik lokasi tercetak dan elektronis CD, pangkalan data Gambar 29. Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui komunitas. 4. Pemanfaatan cyber extension oleh penyuluh dan disebarkan secara interaktif ke petani pada umumnya Pemanfaatan cyber extension pada skenario keempat adalah melalui penyuluh sebagai pengguna antara. Mekanisme pemanfaatan cyber extension tipe keempat dapat dioptimalkan apabila penyuluh atau pendamping petani telah memiliki kapasitas yang memadai untuk pengelolaan dan akses informasi dengan pemanfaatan teknologi informasi. Informasi yang diakses melalui cyber extension oleh penyuluh disederhanakan dan dikemas kembali agar mudah dipahami oleh penyuluh. Apabila diperlukan dapat pula dibuat dengan bahasa lokal sebagai bahan atau materi penyuluhan dan selanjutnya disebarkan melalui blog, jejaring sosial atau sebagai bahan untuk pertemuan rutin kelompok. Dengan memanfaatkan teknologi informasi, penyuluh juga dapat berinteraksi secara interaktif dengan petani dalam pelaksanaan kegiatan konsultasi dan fasilitasi kegiatan usahatani. Di samping itu, penyuluh juga dapat memanfaatkan komunitas yang telah memiliki media komunikasi lokal media forum yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan atau mendiskusikan inovasi yang telah diolahnya kepada petani di lingkungannya. Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui penyuluh tipe keempat disajikan pada Gambar 30. Sumber informasi dalam cyber extension Komunitas dalam kelembagaan komunikasi lokal yang dapat diakses oleh petani Petani lain Media komunikasi lain: - Pertemuan kelompok - Papan pengumuman - Forum diskusi forum media melalui kelembagaan lokal Pengembangan informasi - Bahan siaran radio komunitas - Bahan diskusi kelompok - Bahan praktek lapangan Dpwnload repackaging SI aran radio komunitas 260 Gambar 30. Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui penyuluh. Pemanfaatan cyber extension melalui penyuluh merupakan mekanisme yang dapat dioptimalkan dengan dukungan program peningkatan kapasitas penyuluh sebagai pendamping dalam pemanfaatan cyber extension. Penyuluh sekaligus dapat pula mensinergikan beragam media komunikasi untuk menyampaikan inovasi pertanian. Teknologi informasi dapat dimanfaatkan penyuluh untuk sarana mengakses dan mengelola informasi sehingga dapat menghasilkan bahan atau materi penyuluhan yang sederhana dan mudah dipahami petani yang dikemas dalam bentuk tercetak misalnya leaflet. Selain itu penyuluh dapat pula menggandakan informasi yang sudah disederhanakan tersebut ke dalam media compact disc atau DVD yang dapat menyajikan visualisasi dari materi penyuluhan yang akan disampaikan melalui media komunikasi kelompok. Tanpa penyuluh hadir dalam pertemuan kelompok pun, media elektronis yang sudah digandakan dan bersifat out of print dapat digandakan kembali dengan mudah dan biaya yang murah dapat terus dimanfaatkan oleh petani atau kelompok tani dengan mekanisme pendampingan melalui sarana teknologi informasi. Apabila diperlukan, misalnya untuk memperkenalkan teknologi baru yang memerlukan ujicoba, penyuluh bersama petani secara berkelompok maupun Sumber informasi dalam cyber extension Penyuluh Fasilitator LSM yang memiliki kapasitas dalam pengelolaan dan pemanfaatan informasi melalui teknologi informasi Petani dengan kemampuan akses teknologi informasi Media komunikasi lain: - Pertemuan kelompok - Komunitas - Forum diskusi forum media - Demonstrasi atau praktek lapangan Pengembangan informasi - Bahan materi penyuluhan - Bahan diskusi kelompok - Bahan praktek lapangan Dpwnload repackaging Jejaring sosial individu dapat melakukan demonstrasi atau ujicoba terhadap teknologi yang sudah diperoleh dari sumber informasi melalui internet. Dengan mekanisme berbagi informasi secara interaktif melalui teknologi informasi, umpan balik dari petani juga dapat segera sampai ke penyuluh. Di samping itu, jangkauan wilayah kerja penyuluh dan intersitas berbagi informasipengetahuan antara penyuluh dengan petani binaan menjadi lebih luas dan intens. Interaksi antara penyuluh dengan petani dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja tanpa ada kendala ruang dan waktu bahkan status. Petani yang sedang bekerja di lahan pun dapat langsung berkomunikasi dan berkonsultasi dengan penyuluh yang sedang bekerja di kantor. Dengan demikian cyber extension dapat mendorong pada meningkatnya interaksi secara personal antara petani dengan penyuluh dan di antara petani sendiri. 262 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Petani di Jabar memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan teknologi informasi yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Jatim meskipun tidak didukung oleh program pengembangan akses sistem informasi berbasis teknologi informasi telecenter. Hal ini disebabkan petani di Jabar lebih proaktif dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk menghadapi penetrasi pasar dan pengembangan jaringan pemasaran karena adanya faktor kedekatan lokasi dengan ibukota Jakarta. Namun dalam hal sikapnya terhadap pemanfaatan teknologi informasi, petani di Jatim lebih positif dibandingkan dengan petani di Jabar. Pengalaman petani di Jabar yang kurang baik terhadap content yang belum komprehensif dan tepat guna cenderung membuat petani di Jabar menjadi lebih berhati-hati dalam memanfaatkan informasi melalui teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Cyber extension dimanfaatkan oleh petani sayuran sebagai sarana komunikasi dan berbagi informasi, promosi usahatani, serta untuk akses informasi produksi dan teknologi pertanian. Namun demikian, secara umum tingkat pemanfaatan cyber extension baik di Jabar maupun di Jatim masih relatif rendah selain karena kurangnya kesadaran petani terhadap keberadaan dan manfaat cyber extension dan kurang berfungsinya kelompok sebagai media berbagi informasi dan pengetahuan, juga ketidaksiapan penyuluh sebagai pendamping petani dalam memanfaatkan cyber extension. 2. Faktor dominan yang memberikan pengaruh nyata terhadap perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi adalah karakteristik individu tingkat kekosmopolitan petani. Sedangkan faktor dominan yang secara nyata memberikan pengaruh positif terhadap tingkat pemanfaatan cyber extension adalah karakteristik individu dan perilaku sikap dan keterampilan petani dalam memanfaatkan teknologi informasi. Selanjutnya, tingkat keberdayaan petani dipengaruhi secara dominan oleh perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, karakteristik 264 individu tingkat kekosmopolitan, persepsi terhadap karakteristik cyber extension, dan faktor lingkungan ketersediaan sarana teknologi informasi. 3. Strategi konvergensi komunikasi melalui pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani sayuran disusun dengan mengembangkan komunikasi dua tahap two step flow communication dan kombinasi media sesuai dengan karakteristik petani. Peningkatan kapasitas petani dalam pemanfaatan teknologi informasi dan pemanfaatan cyber extension dapat dilakukan melalui pendampingan dan pengembangan forum media dengan mengoptimalkan kelembagaan komunikasi lokal. Interaksi dengan pihak luar sistem sosial tingkat kosmopolitan petani dapat ditingkatkan melalui pengembangan access point yang disertai dengan operator yang mampu memfasilitasi petani dalam mengakses dan mengelola informasi. 4. Mekanisme penguatan kinerja lembaga dalam pemanfaatan cyber extension dibagi menjadi empat tipe berdasarkan subyek pertama penggunanya, yaitu: a Pemanfaatan cyber extension oleh petani maju dan disebarkan kepada petani lain melalui berbagai media komunikasi yang ada di tingkat lokal, b Pemanfaatan cyber extension oleh fasilitator telecenter dan disebarkan ke petani lain, c Pemanfaatan cyber extension oleh komunitas lembaga komunikasi lokal dan disebarkan ke petani lain, dan d Pemanfaatan cyber extension oleh penyuluh dan disebarkan secara interaktif langsung maupun tidak langsung ke petani. Saran 1. Peningkatan kapasitas penyuluh dalam aplikasi teknologi informasi dalam pemanfaatan dan pengelolaan informasi perlu dilakukan agar mampu menjadi jembatan untuk mempercepat arus sistem informasi berbasis teknologi informasi ke tingkat pengguna akhir petani dan membangun komunikasi secara interaktif melalui cyber extension. 2. Guna mendukung pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani, maka perlu dilakukan revitalisasi kelompok tani dan gabungan kelompok tani. Proses revitalisasi di antaranya dapat dilakukan melalui optimalisasi peran petani maju yang memiliki tingkat kosmopolitan tinggi, mampu akses cyber extension , dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam berbagi informasi secara interaktif. Di samping itu, penyuluh juga perlu mendampingi kelompok tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan demikian diharapkan kelompok dapat meningkat kedinamisannya karena mampu memenuhi salah satu kebutuhan penting anggotanya yaitu sebagai media berbagi informasi teknologi dan pemasaran pertanian. 3. Pengembangan komunikasi secara interaktif dengan melibatkan petani, penyuluh, dan tim pakar perlu dilakukan dengan mengaktifkan dan merevitalisasi forum online yang telah tersedia di situs-situs Lembaga di lingkup Kementerian Pertanian. 4. Penyampaian informasi harga komoditas unggulan dan informasi pendukung kegiatan pertanian lainnya secara tepat waktu yang berpihak pada petani perlu dikembangkan, misalnya dengan melibatkan kemitraan dengan swasta yang bersifat simbiosis mutualisme. 5. Penelitian lanjutan terkait dengan dampak cyber extension bagi peningkatan keberdayaan petani ke depan perlu dikembangkan dengan titik kritis pada substansi content dan analisis dampak pengembangan access point dalam meningkatkan pemanfaatan cyber extension. Hal ini mengingat kurang dimanfaatkannya cyber extension di antaranya karena informasinya belum sesuai dengan kebutuhan petani, tidak tepat waktu, dan masih bersifat parsial serta masih kurangnya sarana teknologi informasi. 266 DAFTAR PUSTAKA Abror Abdul R. 1993. Psikologi Pendidikan. Cetakan keempat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Adekoya AE 2007. Cyber extension communication: A strategic model for agricultural and rural transformation in Nigeria. International journal of food, agriculture and environment ISSN 1459-0255. Vol. 5, no1, pp. 366-368 [3 pages article] 8 ref. AgriWatch.com. 2005. Agribusiness and Commodity Trade Information, News, Analysis and Research. http:agriwatch.com. Agussabti. 2002. Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi. Disertasi Doktor. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Akpabio IA, DP Okon, and EB Inyang. 2007. Constraints Affecting ICT Utilization by Agricultural Extension Officers in the Niger Delta, Nigeria The Journal of Agricultural Education and Extension, Volume 13, Issue 4 December 2007. pages 263 – 272. Aldhmour FM. 2009. The Effective Utilization of Information and Communication Technology and its Impact on Competitive Advantage. European Journal of Scientific Research. ISSN 1450-216X Vol.29 No.3 2009, pp.302-314 Alemna AA and Joel Sam. 2006. Critical Issues in Information and Communication Technologies for Rural Development in Ghana. Information Development ISSN 0266-6669 Copyright © 2006 SAGE Publications. Vol. 22, No. 4. Ancok Djamaludin. 1989. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian dalam Metode Penelitian Survei . Disunting oleh M. Singarimbun dan Effendi. LP3ES, Jakarta. Anon. 2006. Information Technology Its Impact on Agriculture in India, Availableat, http:www.asianlaws.orgcyberlawlibraryindiageneralagri. htm Verified 15th Aug 2006 Anwas EOM. 2009. Pemanfaatan Media dalam Pengembangan Kompetesi Penyuluh Pertanian Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut Provinsi Jawa Barat [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka. Cipta. Astuti SI. 2008. Jurnalisme Radio Teori dan Praktek. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Babbie. 1992. The practice of social research. Belmont: Wadsworth. Badan Pusat Statistik. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi 9 Februari 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 268 Ban VDAW dan HS Hawkins. 2007. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. Bailey K. 1992. Methods of Social Research. McGraw Hill. Bappenas [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional] Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2010 – 2014. Baron N. 2008. Adjusting the volume: Technology and multitasking in discourse control pp. 117-194. In J. E. Katz Ed., Handbook of mobile communication studies. Cambridge, MA: MIT Press. Borae Jin and Namkee. 2009. In-Person Contact Begets Calling and Texting: Interpersonal Motives for Cell Phone Use, Face-to-Face Interaction, and Loneliness. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking. Volume 13, Number 6, 2010. Mary Ann Liebert, Inc. DOI: 10.1089=cyber. 2009.0314 Batte MT, Jones E, Schnitkey GD, 1990. Computer use by Ohio commercial farmers. American Journal of Agricultural Economics, 72, 935 - 945 Berlo David K. 1960. The Process of communication: An Introduction to Theory and Practice . New York: Holt, Rinehart and Winston. BBC News. 2004a. Farmers, Phones, and Markets: Mobile Technology in Rural Development. http:Farmers, Phones and Markets: Mobile Technology in Rural Development.htm BBC News. 2004b. Wi-fi web reaches farmers in Peru. http:news.bbc.co.uk Bloom BS. 1956. Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I: The Cognitive Domain. New York: David McKay Co Inc. Browning LD and JO Sornes. 2008. Rogers’ Diffusion Innovation in Browning, Larry D., A. S. Saetre, K.K. Stephens, and J. O. Sornes. Information and Communication Technology in Action. Linking Theory and Narratives of Practice. Routledge, New York and London. Browning LD, AS Saetre, KK Stephens, and JO Sornes. 2008. Information and Communication Technology in Action. Linking Theory and Narratives of Practice. New York and London: Routledge. Chambers R. 1992. Rural Appraisal: Rapid, Relaxed and Participatory. IDS Discussion Paper 311. IDS, Brighton.rosta W. 1996. Chen GM Starosta W. 1996. Intercultural Communication Competence: A Synthesis. Communication Yearbook 19, pp 353-383. Chudoba KM, Watson-Manheim MB., Lee CS, Crowston K. 2005. Meet me in cyberspace: Meetings in the distributed work environment. CIDA. 2002. Thailand Canada Telecentre Project. Capital Project Detailed Study: Deliverable 5 Monitoring the Community Telecentres: Quarter 2. Cornish L and Alison Dunn. 2009. Creating knowledge for action: the case for participatory communication in research. Development in Practice, Volume 19, Numbers 4–5, June 2009 Dahlgren P. 2002. The Public Sphere as Historical Narrative, dalam Denis McQuail ed, Reader in Mass Communication Theory, Thousand Oakes: Sage. DeVito JA. 1986. The communication handbook: A dictionary. New York: Harper Row. Dey I. 1993. Qualitative Data Analysis: A User Friendly guide for Social Scientists . New York: Routledge. Djaali H dan Pudji Muljono. 2004. Pengukuran dalam bidang pendidikan. Jakarta: Program pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. 1995 [ENRAP] Knowledge Networking for Rural Development in AsiaPacific Region. 2009. ENRAP Networking Meeting among Researchers and Practitioners on ICT for Rural Livelihoods ICT4RL. [terhubung berkala] 28 Agustus 2009. http:www.enrap.orgindex.php?module=pnKnwMang func=displayResourcekid=612cid=173 Eriyatno. 1996. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. FAO and World Bank. 2000. Agricultural Knowledge and Information Systems for Rural Develompment AKISRD. Strategic Vision and Guiding Principles. Washington: FAO, Rome and World Bank. Ferdinand F. 2006. Metode Penelitian Manajemen. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Fishbein M and Ajzen I. 1975. ‘Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research, Reading, MA: Addison-Wesley. Friedman J. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. UK: Blackwell Oxford. Fullan. 1982. The meaning of educational change. New York: Teachaers College Press. Ganesh S and Kirsty F. Barber. 2009. The silent community: Organizing zones in the digital divide.DOI: 10.11770018726709104545 2009; 62; 851 Human Relations. Downloaded from http:hum.sagepub.com by retno mulyandari on October 30, 2009 Gelb E and Parker C. 2005. ‘Is ICT Adoption for Agriculture Still an Important Issue?’[ terhubung berkala 20 September 2010] http:departments.agri.huji. ac.ilec Gerungan WA 1986. Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco Godschalk DR, Lacey L. 2001. Learning at a Distance: Technology Impacts on Planning Education. Journal of Planning Education and Research 20:476-489. 270 Goodwin. 2008. Community Informatics, Local Community, and Conflict: Investigating Under-Researched Elements of a Developing Field of Study. Convergence 2008 14: 419. Downloaded from http:con.sagepub.com by retno mulyandari on December 31, 2008 Hardiman FB. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius. Havelock RG. 1986. Modelling the Knowledge System In: G.M. Beal, W. Dissanayake S Konoshima Eds, Knowledge Generation, Exchange, and Utilization, pp 77-104. Westiew Press, Boulder. Hersey Paul, Kenneth HB, dan Dewey EJ. 1996. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources. Edisi Ketujuh. Upper Saddle River, NY: Prentice Hall. Heckerson Francine J dan John Middleton. 1975. Helping People Learn: A Module for Trainers. Hawaii: East West Center. Holbein MF. 2008. From Traditional Delivery to Distance Learning: Developing the Model. International Journal of Instructional Technology and Distance Learning. Vol. 5. No. 8:43-48. Huysman M and Wit D. 2003. “A Critical Evaluation of Knowledge Management Practices”, Sharing Expertise – Beyond Knowledge Management. MIT Press. Iddings RK Apps JW. 1990. ‘What Influence Farmers’Computer Use?’ Journal of Extension, XXVIII Spring, 19-20. Ife J W 2002. Community development : community-based alternatives in an age of globalization. 2nd ed. Frenchs Forest, N.S.W. : Pearson Education. [IRRI International Rice Research Institute. 1998. Bridging the Knowledge Systems of Rice Scientists and Farmers. Crop and Resource Management Network-CREMNE . Jantan Mhd, T Ramayah, Chin WW. 2001. Personal Computer Acceptance by Small and Medium Sized Companies Evidence from Malaysia. Jurnal Manajemen dan Bisnis, No, 1. Vol.3. Jayathilake HACK, BPA Jayaweera and ECS Waidyasekera. 2010. ICT Adoption and Its’ Implications for Agriculture in Sri Lanka. Jinqiu Z, Hao X, and Indrajit B. 2006. The Diffusion of the Internet and Rural Development. Convergence 2006 12: 293. Downloaded from http:hum.sagepub.com by retno mulyandari on December 31, 2008. Junaedi, Fajar, Schiffman LG, Kanuk LL. 2007. Consumer Behaviour, 9th ed. New Jersey, Pearson Prentice Hall. Kartasasmita G. 1997. “Power and Empowerment: Sebuah Telaah Mengenal Konsep Pemberdayaan Masyarakat”. Jakarta: Badan perencanaan Pembangunan Nasional. Katz E and Lazarsfeld P. 1955. Personal Influence. New York: The Free Press. Katz E. 1973. The two-step flow of communication: an up-to-date report of an hypothesis. In Enis and Coxeds., Marketing Classics, p175-193 Kerlinger FN. 1993. Asas-asas Penelitian Behavioral. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Kim DK, Ketan Chitnis, PN Vasanti, and Arvind Singhal. 2007. Opinion Leadership in Indian Villages and Diffusion of E-Choupal. DOI: 10.1177097325860700200305 2007; 2; 345 Journal of Creative Communications Kim H, Kim GJ, Park HW, and Rice RE. 2007. Configurations of relationships in different media: FtF, email, instant messenger, mobile phone, and SMS. Journal of Computer-Mediated Communication, 124, 1183-1207. Retrieved August 23, 2007, from http:www.blackwell-synergy.comdoi full 10.1111j.1083-6101.2007.00369.x Kiousis. 2001. Jurnal Mass Communication and Society. November. 4, 2001 Klausmeier HJ and William Goodwin. 1977. Learning and Human Abilities: Educational Psycology. Fourth edition. New York: Harver and Row Publisher. Krathwohl DR, Bloom BS, and Masia BB. 1973. Taxonomy of Educational Objectives, the Classification of Educational Goals. Handbook II: Affective Domain. New York: David McKay Co., Inc. Krzanowski W. 2007. Statistical Principles and Techniques in Scientific and Social Research . OXFORD University Press. Kristanto A. 2008. Perancangan Sistem Informasi dan Aplikasinya. Yogyakarta: Gava Media. Kusnendi. 2008. Model-Model Persamaan Struktural. Bandung: Alfabeta. Kurtenbach T and Thompson S. 2000. Information Technology Adoption Implications for Agriculture’. [terhubung berkala 3 Oktober 2010] ttps:www. ifama.orgconferences919991999persen20CongressForum persen 20Papers ProceedingsKurtenbach_ Tammy. PDF. Verified 04th Nov 2006 Ladkin D, Peter Case, Patricia Gayá Wicks, and Keith Kinsella. 2009. Developing Leaders in Cyber-space: The Paradoxical Possibilities of On- line Learning. DOI: 10.11771742715009102930 Leadership 2009; 5; 193 Downloaded fromhttp: lea.sagepub.com by retno mulyandari on October 30, 2009 LaRose R and Mettler J. 1989, Who Uses Information Technologies in Rural America? Journal of Communication, 39, 48-60. Leeuwis C. 1993. Computer, Myths, and Modelling: The Social Construction of Diversity. Knowledge, Information, and Commmunication Technologies in Dutch Horticulture and Agriculture Exension. Wageningen Studies in Sociology, No 36. Wageningen Agricultural Uniersity. 272 Leeuwis C. 2004. Communication for Rural Innovation. Rethinking Agricultural Extension. Third Edition. Blacwell Publishing Ltd. Lievrouw LA Livingstone S. 2002. The social shaping and consequences of ICTs. In L. Lievrouw S. Livingstone Eds., Handbook of new media: Social shaping and consequences of ICTs pp. 1-15. Thousand Oaks, CA: Sage. Lionberger HF. and Paul H Gwin. 1982. Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agents. Uniersity of Missouri Columbia Campus. Littlejohn SW and Karen AF. 2005. Theories of Human Communication. Thomson Wadsworth 10 Davis Drive Belmont CA 94002-3098 USA. Lunadi AG. 1981. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Gramedia. Mangkuprawira S. 2010. Strategi Peningkatan Kapasitas Modal Sosial dan Kualitas Sumber Daya Manusia Pendamping Pembangunan Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi tahun 2010 No. 1. Marwan A. 2008. Teachers’ Perceptions of Teaching with Computer Technology: Reasons for Use and Barriers in Usage. International Journal of Instructional Technology and Distance Learning. Vol. 5. No. 6: 35-42. Maureen. 2009. How Can ICTs Promote Sustainable Agriculture?. [terhubung berkala] 3 Oktober 2009. http:www.citizenjournalismafrica.orgblog persen5Buser persen5D05-aug-20091856 Mchombu KJ. 2007. Harnessing Knowledge Management for Africa’s Transition to the 21st Century. Information Development ISSN 0266-6669 Copyright © 2007 SAGE Publications. Vol. 23, No. 1 McCombs ME, Shaw DL, and Weaver DL. 1997. Communication and Democracy: Exploring the Intellectual Frontiers in Agenda-Setting Theory . Mahwah, N.J. Lawrence Erlbaum. McDermott JK. 1987. Making Extension Effective: The Role of ExtensionResearch Linkages. In: W.M. Rivera S.G. Schram Eds. Agricultural Extension World Wide. Issues, Practices, and Emerging Priorities, pp.89 -99. Croom Helm. McMillan JH and Schumaker S. 1989. Research in Education: A Conceptual Introduction. Third Edition. Glenview, II: Scott, Foresman. McMillan JH. 2004. Educational research, fundamentals for the consumer Fourth Edition. Boston, MA: Pearson Education, Inc. McQuail D dan Sven Windahl. 1996. Communication Models: for the study of mass communication. New York: Addison Wesley Longman Publishing. Mayoux L. 2010. Poverty Elimination and The Empowerment of Women. [terhubung berlkala] 23 Juni 2010. http:www.sed.man.ac.ukresearch iarcediaispdfPovElimEmpowerWomen.pdf Melkote SR and H Leslie Steeves. 2001. Communication for Development in the Third World: Theory and Practice for Empowerment 2nd ed., New Delhi, Thousand Oaks, CA and London: Sage. Mowlana, H. 2001 ‘Communication and development: theoretical and methodological problems and perspectives’, in Srinivas R. Melkote and Sandhya Rao eds. Critical Issues in Communication – Looking Inward for Answers: Essays in Honour of K.E. Eapen, London: Sage Moleong Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya, Bandung. Monge PR and Kalman ME. 1996. Sequentiality, simultaneity, and synchronicity in human communication. In J Watt CA. VanLear Eds., Dynamic patterns in communication process pp. 71-92. Thousand Mosher. 1983. Menggerakkan dan Membangun Pertanian terjemahan. Jakarta: CV Yasaguna. Munkejord K. 2007. Multiple media use in organizations: Identifying practices leading to an alignment paradox. Journal of Information, Information Technology, and Organizations, 2, 95-118. Mulyandari Retno SH. 2005. Alternatif Model Diseminasi Informasi Teknologi Pertanian Mendukung Pengembangan Pertanian Lahan marginal. Prosiding Seminar Nasional Pemasyarakatan Inovasi Teknologi dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Perdesaan di Lahan Marginal. Mataram, 30-31 Agustus 2005. Mulyandari Retno SH. 2010a. Pola Komunikasi dalam Pengembangan Modal Manusia dan Sosial Pertanian. Informatika Pertanian. Volume 19 No. 1, tahun 2010 Mulyandari Retno SH. 2010b. Pola Komunikasi dalam Pengembangan Modal Manusia dan Sosial Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 28 No. 2, Desember 2010. Mundorf N and Kenneth R Laird. 2008. Social and Psychological Effects of Information Technologies and Other Interactive Media in Jennings Bryant and Dolf Zillman ed. Media Effects. Advances in Theory and Research. Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, Mahwah, New Jersey, London. Murrow Edward R 2009. dalam http:net.bible.orgillustration.php?topic=604. Schiffman, L.G., Kanuk, L.L. 2007. Consumer Behaviour. New Jersey: Pearson Prentice Hall Mc.Luhan. 2001. Understanding Media: The Extensions of Man. New York: Routledge Nagel UJ. 1980. Instituonalisation of knowledge flows: an alalysis of the extension role of two agricultural universities in India. Special issue of the Quarterly Journal of International Agriculture, 30, DLG Verlag, Frankfurt. Nasution ME dan H Usman. 2006. Proses Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. Noeng Muhadjir. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta. 274 Oepen M. 1988. Development Support Communication in Indonesia. Edisi Indonesia. Media Rakyat: Komunikasi Pembangunan Masyarakat, P3M, Jakarta. Osterlund C. 2007. Genre combinations: A window into dynamic communication practices.Journal of Management Information Systems, 234, 81-108. Padmawihardjo. 1994. Psikolo gi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Pavlik J V. 1996. New Media Technology: Cultural and Commercial Perspectives . Needham Heights, MA: Allyn Bacon. Pretty Jules N. 1994. Alternative System of Inquiry for Sustainable Agriculture. IDS Bulletin 252: 37-48. IDS, University of Sussex. Preston P. 2001. Reshaping Communications: Technology, Information and Social Change. London: SAGE. Purbo OW. 2002. Kekuatan Komunitas Indonesia di Dunia Maya. Panatau, 222. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Nahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka Pustekkom, Depdiknas. 2006. Laporan Studi Banding Pemanfaatan Media Televisi untuk Pendidikan. Pustekkom, Depdiknas, Jakarta Putnam R, Leonardi R, Nanetti R. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy , Princeton, Princeton University Press. Putnam RD. 2006. E Pluribus Unim: Diversity and Community in the Twenty- First Century, Nordic Political Science Association. Rakhmat J. 2002. Metode Penelitian Komunikasi; dilengkapi Contoh dan Analisa Statistik. Bandung; Remaja Rosda Karya. Ramayah and Jantan M. 2002. Technology Acceptance: An Individual Perspective Current and Future Research in Malaysia. [terhubung berkala] 10 Oktober 2010. www.ramayah.comjournalarticlespdf techacceptanceindividual.pdf Rao R. 2004. ICT and e-Governance for Rural Development. Symposium on “Governance in Development Issues, hallenges and Strategies” organized by Institute of Rural Management, Anand, Gujarat. Rice R E, Hiltz SR, and Spencer D. 2004. Media mixes and learning networks. In S. R.Hiltz R. Goldman Eds., Learning together online: Research on asynchronous learning pp. 215-237. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum. Rideout V, Roberts DF, and Foehr U. 2005. Generation M: Media in the lives of 8-18 year olds. Available from the Kaiser Family Foundation Web site, http:www.kaiserfamilyfoundation.orgentmedia7250.cfm Ristek [Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia]. 2005. Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Jakstranas Iptek 2005-2009. Rogers EM. and DL Kincaid. 1981. Communication Networks. Toward a New Paradigm for Research. New York: A Division of Macmillan Publishing Co. Inc. Rogers EM. 2003. Diffusion of innovations 5 th ed. New York: The Free Press Rogers EM, Una EM, Mario AR, and Cody JW. 2005. Complex Adaptive Systems and The Diffusion of Innovations. The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal, Volume 103, article 30. Rogers EM, Shoemaker F. 1986. Communication of Inovation: A Cross Cultural Approach . London: Collier MacMillan Publishe Roling NG. 1988. Extension Science: Information Systems in Agricultural Development. Cambridge: Cambridge University Press. Roling NG. 1992. The Emergence of Knowledge Systems Thinking: A Changing Perception of Relationships among Innovation, Knowledge Process and Configuration. Knowledge and Policy: The International Journal of Knowledge Transfer and Utilization, 5, 42 – 64. Roling NG. and PGH Engel. 1990. IT from a knowledge system perspective: concepts and issues. Knowledge in Society: The International Journal of Knowledge Transfer, 3, 6-18. Rosenberg Mj. 2001. E-learning: Strategies for Delivering Knowledge in the Digital Age. New York: McGrow-Hill. Saetre AS, Stephens KK. 2008. The Role of ICTs in Maintaining Personal Relationship Across Distance and Cultures. In Information and Communication Technology in Action. Linking Theory and Narratives of Salkind Neil J. 1985. Theories of Human Development. New York: John Wiley Sons. Santosa S. 1992. Dinamika Kelompok. Bumi Aksara, Jakarta. Sarana. 2000. Pengaruh persepsi kemudahan, perpsepsi kemanfaatan, kecemasan, sikap, dan penggunaan mikrokomputer terhadap hasl kerja akuntan pendidik. Tesis Program Studi Magister Akuntansi, Universitas Diponegoro, Semarang. Sarwono S W. 1984. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Press. Schuler SR, SM Hashemi, AP Riley, dan A Akhter. 1996. Credit Programs, patriarchi, and Men’s Violence Against Women in rural Bangladesh. Social Science and Medicine, Vol. 43 12, pp 635 – 653. Sedana IGN dan St. Wisnu Wijaya. Penerapan Model UTAUT untuk Memahami Penerimaan dan Penggunaan Learning Management System. Studi Kasus: Experential E-Learning of Sanata Dharma University. Jurnal Sistem Informasi MTI UI, Volume 5, Nomor 2, ISBN 1412 Servaes J. 2002. Communication for Development: one world, multiple culltures. Second Printing. Hampton Press, Inc. Cresskill, New Jersey. 276 Servaes J. 2005. Mapping the New Field of Communication for Development and Social Change. Paper presented to the Social Change in the 21 st Century Conference. Centre for Social Change Research. Queensland University of Technology. Servaes J. 2007. Harnessing the UN System Into a Common Approach on Communication for Development. International Communication Gazette 2007; 69; 483. Severin J Werner dan James W Tankard. 2001. Communication Theory: Origin, Methods, and Uses in the Mass Media. Eddison Wesley Lngman, Inc. Shaw ME. 1981. Group Dynamics. The Psychology of Small Group Behavior. Third Edition. New York: McGrow-Hill Book Company. Shin J and Cameron G T. 2003. The interplay of professional and cultural factors in the online source-reporter relationship. Journalism Studies, 42, 253- 272. Sigit Indra, Mukhlison S. Widodo, dan Alexander Wibisono. 2006. Laporan Khusus, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 3 Agustus 2006. Slamet M. 2000. Pemantapan Posisi dan Meningkatkan Peran Penyuluhan Pembangunan dalam Pembangunan. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Sumber Daya Manusia. Bogor: Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. PPS IPB Bogor dan Perhimpunan Ahli Penuluhan Pembangunan Indonesia PAPPI. Spitzberg BH. 2006. Preliminary development of a model and measure of computer-mediated communication CMC competence. Journal of Computer-Mediated Communication, 11 2, article 12. http:jcmc.indiana. eduvol11issue2 spitzberg. html Spitzberg BH and Cupach WR. 1984. Interpersonal communication competence. Beverly Hills, CA: Sage. Sooknanan P, Melkote SR, Skinner EC. 2002. Diffusion of an Educational Innovation in Trinidad and Tobago: The Role of Teacher Attitudes and Perceptions toward Computers in the Classroom. The International Journal for Communication Studies Vol. 64 6:557-571. Stephens KK. 2007. The successive use of information and communication technologies at work. Communication Theory, 174, 486-507. Turner JW and Reinsch NL. 2007. The business communicator as presence allocator: Multicommunicating, equivocality, and status at work. Journal of Business Communication, 44, 36-58. Stephens KK and Alf Steiner Saetre. 2008. The Role of Credibility and Trust in ICT Studies: Understanding the Source, Message, Media, and Audience in Larry D. Browning, Alf Steinar Saetre, Keri K. Stephens, and Jan-Odowar Sornes. Information Communication Technologies in Action. Linking Theory Narratives of Practice. Routledge Taylor Francis Group. Newyotk and London. Straub ET. 2009. Understanding Technology: Theory and Future Directions for Informal Learning. Review of Educational Research Vol. 79, No. 2: 625- 649. Subagyo H. 2009. Pengantar Knowledge Sharing untuk Community Development . [terhubung berkala] 2 Juni 2009. www.gumilarcenter. comict knowledge sharing.pdf Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabet. Sumaryanto dan M Siregar. 2003. “Determinasi Efisiensi Teknis Usahatani Padi di Lahan Sawah Irigasi.” Jurnal Agro Ekonomi Volume 21 No. 1, mei 2003. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Sumardjo. 1999. “Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani” [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. ______. 2007. Sistem Jaringan Informasi Pembangunan Pertanian. Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional. Sumardjo, Lukman M Baga, dan Retno SH Mulyandari. 2009. Kajian Cyber Extension Laporan Kegiatan. Departemen Pertanian. Sumardjo, Lukman M Baga, dan Retno SH Mulyandari. 2010. Cyber Extension: Peluang dan tantangan dalam Revitalisasi Penyuluhan . Bogor: IPB Press. Sumodiningrat. 2009. Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa Menanggulangi Kemiskinan dengan Prinsip Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Alex Media Komputindo. Sudrajat. 2009. Pendidikan Orang Dewasa. Bahan TOT Pemberdayaan Komite Sekolah. [terhubung berkala] 20 Agustus 2009. http:akhmadsudrajat. wordpress.com2009 02159-prinsip-pendidikan-orang-dewasa Suranto CAW. 2005. Komunikasi Perkantoran. Edisi 1. Yogyakarta: Media. Wacana. Swanson, B.E. J.B. Claar. 1984. The History and Development of Agricultural Extension. In. B.E.Swanson Ed. Agricultural Extension. A Reference Manual, pp. 1 – 19. FAO, Rome. Tamba, Mariati. 2007. Kebutuhan Informasi Pertanian dan aksesnya bagi Petani Sayuran: Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di Provinsi Jawa Barat. Disertasi, Pascasarjana IPB. Taragola N and Gelb E. 2005. Information and Communication Technology ICT Adoption in Horticulture: A Comparison to the EFITA Baseline’. [terhubung berkala 20 September 2010] http:departments.agri.huji.ac.il economicsgelb-hort-14.pdf Verified 04th Nov 2006. Taragola N, Van Lierde, and Gelb E. 2009. Information and communication Technology ICT adoption in Horticulture: comparison of the EFITA, ISHS, and ILVO questionnaires. 278 Tan AS. 1981. Mass Communication Theories and Research. Ohio : Grid Publishing, Inc. Technical Advisorry Committee of the CGIAR TAC-CGIAR. 1988. TAC, CGIAR Policy 12 Teo TSH, Lim GS, Fedric SA. 2007. The Adoption and Diffusion of Human Resources Information Sytems in Singapore. Asia Pacific Journal of Human Resources Vol. 451: 44-62. UPIPD – telecenter Kelayu Selatan. 2009. Laporan Telecenter P4MI Kelayu Selatan Bulan Juni 2009. P4MI Lombok Timur. Venkatesh V, Morris MG, Davis GB, dan Davis FD. 2003. “User Acceptance of Informatiuon Technology toward a Unified View.” MIS Quarterly, 27 3. p 425-478. Wahid F, Bjørn Furuholt, and Stein Kristiansen. 2006. Internet for Development? Patterns of use among Internet café customers in Indonesia. Information Development 2006; 22; 278. Walgito B. 2003. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi offset. Watson Manheim MB and Belanger F. 2007. Communication media repertoires: Dealing with the multiplicity of media choices. MIS Quarterly, 312, 267- 293. Wibowo F. 1994. Komunikasi Media Teater Rakyat. Paper Workshop Komunikasi Teater Rakyat , Studio Audio Visual-Universitas Sanata Darma, Yogyakarta. Wijekoon RSEM.F, M Rizwan, RMM Sakunthalarathanayaka, HG Anurarajapa. 2009. Cyber Extension: An Information and Communication Technology Initiative for Agriculture and Rural Development in Sri Lanka. [terhubung berkala] 26 September 2009. http:www.fao.orgfileadminuser_upload kceDoc_for_Technical_ConsultSRI_LANKA_CYBER_EXTENSION.p df Warren MF, Soffe RJ, Stone MAH, 2000. Farmers, computers and the internet : a study of adoption in contrasting regions of England. Farm Management, 10, 11, 665 - 684 Wiriaatmadja S. 1973. Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta: CV Yasaguna. Wijanto SH. 2008. Structural Equation Modeling. Jakarta: Graha Ilmu. Winkel WS. 1989. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia Yoon CS. 2009. Participatory Development Communication: A West African Agenda: Participatory Communication for Development LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Tabel 1. Hasil Uji Beda Karakteristik Individu Peubah Lower Upper EVA 4.472 .036 -2.642 198 .009 -4.060 1.54 -7.09 -1.03 EVNA -2.642 187.578 .009 -4.060 1.54 -7.09 -1.03 EVA .354 .552 -.336 198 .737 -.150 .45 -1.03 .73 EVNA -.336 197.474 .737 -.150 .45 -1.03 .73 EVA .032 .857 .955 198 .341 2.62500 2.75 -2.80 8.05 EVNA .955 197.360 .341 2.62500 2.75 -2.80 8.05 EVA .285 .594 -.433 198 .665 -2.580 5.96 -14.33 9.17 EVNA -.433 197.546 .665 -2.580 5.96 -14.33 9.17 EVA 4.720 .031 -1.906 198 .058 -1617.950 848.72 -3291.65 55.75 EVNA -1.906 138.858 .059 -1617.950 848.72 -3296.04 60.14 EVA 15.077 .000 .319 198 .750 .230 .72 -1.19 1.65 EVNA .319 150.272 .750 .230 .72 -1.20 1.66 EVA 11.931 .001 1.227 198 .221 3.75000 3.06 -2.28 9.78 EVNA 1.227 182.523 .221 3.75000 3.06 -2.28 9.78 Equality of t-test for Equality of Means F Sig. t df Sig. 2- tailed Mean Difference Std. Error Difference Lama menggunakan TI Luas penguasaan lahan Interval of the Umur Pendidikan formal Kepemilikan sarana TI Tingkat kosmopolitan Keterlibatan dalam kelompok Tabel 2. Hasil Uji Beda Lingkungan Peubah Lower Upper EVA 7.252 .008 1.362 198 .175 5.20000 3.82 -2.33 12.73 EVNA 1.362 190.670 .175 5.20000 3.82 -2.33 12.73 EVA 6.556 .001 -1.598 198 .112 -7.00000 4.38 -15.64 1.64 EVNA -1.598 193.664 .112 -7.00000 4.38 -15.64 1.64 EVA .000 .988 -2.289 198 .023 -6.50000 2.84 -12.10 -.90 EVNA -2.289 197.958 .023 -6.50000 2.84 -12.10 -.90 EVA 1.347 .247 1.661 198 .098 8.00000 4.82 -1.50 17.50 EVNA 1.661 197.176 .098 8.00000 4.82 -1.50 17.50 t df Equality of t-test for Equality of Means F Sig. Sig. 2- tailed Mean Difference Ketersediaan media komunikasi Ketersediaan sarana TI Ketersediaan infrastruktur jaringan Keterjang-kauan fasilitasi training Std. Error Difference 95 Confidence Interval of the Lampiran 1 sambungan Tabel 3. Hasil Uji Beda Persepsi terhadap Karakteristik Cyber Extension Peubah Lower Upper EVA 10.190 .002 -.547 198 .585 -.91667 1.68 -4.22 2.39 EVNA -.547 176.607 .585 -.91667 1.68 -4.22 2.39 EVA 12.743 .000 -1.442 198 .151 -2.50000 1.73 -5.92 .92 EVNA -1.442 182.575 .151 -2.50000 1.73 -5.92 .92 EVA 23.887 .000 .704 198 .482 1.16667 1.66 -2.10 4.43 EVNA .704 158.782 .482 1.16667 1.66 -2.11 4.44 EVA 12.932 .000 -.571 198 .569 -.91667 1.61 -4.08 2.25 EVNA -.571 161.617 .569 -.91667 1.61 -4.09 2.25 EVA 4.691 .032 -2.110 198 .036 -4.04167 1.92 -7.82 -.26 EVNA -2.110 196.020 .036 -4.04167 1.92 -7.82 -.26 Kesesuaian CE dengan budaya Kesesuaian CE dengan kebutuhan Kemudahan CE untuk diaplikasikan Keuntungan relatif CE Kemudahan CE untuk dilihat hasilnya Sig. 2- tailed Mean Difference e e e s est o Equality of t-test for Equality of Means F Sig. t df Std. Error Difference 95 Confidence Interval of the Tabel 4. Hasil Uji Beda Perilaku Pemanfaatan Teknologi Informasi Peubah Lower Upper EVA .387 .534 3.270 198 .001 11.34783 3.47 4.50 18.19 EVNA 3.270 197.669 .001 11.34783 3.47 4.50 18.19 EVA .141 .708 -3.978 198 .000 -6.41670 1.61 -9.60 -3.24 EVNA -3.978 197.565 .000 -6.41670 1.61 -9.60 -3.24 EVA .211 .646 2.670 198 .008 7.16667 2.68 1.87 12.46 EVNA 2.670 197.894 .008 7.16667 2.68 1.87 12.46 Pengetahuan terhadap aplikasi TI SIkap terhadap pemanfaatan TI Keterampilan dalam pemanfaatan TI Sig. 2- tailed Mean Difference e e e s es o Equality of t-test for Equality of Means F Sig. t df Std. Error Difference 95 Confidence Interval of the Lampiran 1 sambungan Tabel 5. Hasil Uji Beda Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension Peubah Lower Upper EVA 2.443 .120 -.686 198 .494 -4.746 6.92 -18.39 8.90 EVNA -.686 193.621 .494 -4.746 6.92 -18.40 8.91 EVA 1.246 .266 3.901 198 .000 11.85714 3.04 5.86 17.85 EVNA 3.901 195.658 .000 11.85714 3.04 5.86 17.85 EVA 5.175 .024 1.473 198 .142 3.25000 2.21 -1.10 7.60 EVNA 1.473 177.702 .142 3.25000 2.21 -1.10 7.60 EVA 3.385 .067 5.676 198 .000 15.41663 2.72 10.06 20.77 EVNA 5.676 193.055 .000 15.41663 2.72 10.06 20.77 EVA 1.751 .187 3.438 198 .001 10.40000 3.03 4.43 16.37 EVNA 3.438 195.873 .001 10.40000 3.03 4.43 16.37 EVA 2.912 .090 1.775 198 .077 4.33333 2.44 -.48 9.15 EVNA 1.775 191.426 .077 4.33333 2.44 -.48 9.15 Intensitas pemanfaatan TI Tingkat akses TI Manfaat yang dirasakan Tingkat pengelolaan informasi l l i TI Jangkauan sumber informasi Kualitas berbagi informasi Sig. 2- tailed Mean Difference e e e s est o Equality of t-test for Equality of Means F Sig. t df Std. Error Difference 95 Confidence Interval of the Lampiran 1 sambungan Tabel 6. Hasil Uji Beda Tingkat Keberdayaan Petani Peubah Lower Upper EVA 3.081 .081 -2.725 198 .007 -8.16667 3.00 -14.08 -2.26 EVNA -2.725 194.848 .007 -8.16667 3.00 -14.08 -2.26 EVA 1.763 .186 -1.074 198 .284 -3.33330 3.10 -9.45 2.79 EVNA -1.074 197.011 .284 -3.33330 3.10 -9.45 2.79 EVA 4.476 .036 -2.076 198 .039 -5.33333 2.57 -10.40 -.27 EVNA -2.076 192.139 .039 -5.33333 2.57 -10.40 -.27 EVA .144 .705 -2.351 198 .020 -6.50000 2.77 -11.95 -1.05 EVNA -2.351 197.997 .020 -6.50000 2.77 -11.95 -1.05 EVA .014 .907 -.666 198 .506 -1.77778 2.67 -7.04 3.49 EVNA -.666 196.864 .506 -1.77778 2.67 -7.04 3.49 EVA .003 .956 .886 198 .377 2.77778 3.13 -3.40 8.96 EVNA .886 197.981 .377 2.77778 3.13 -3.40 8.96 EVA 5.820 .017 .281 198 .779 .66667 2.37 -4.01 5.34 EVNA .281 187.263 .779 .66667 2.37 -4.01 5.34 EVA 22.617 .000 1.641 198 .102 4.33333 2.64 -.87 9.54 EVNA 1.641 180.333 .103 4.33333 2.64 -.88 9.54 Kemampuan menentukan harga jual Kemampuan bekerjasama Kemampuan mengelola informasi Kemampuan mengolah hasil Kemampuan mengakses teknologi Kemampuan menentukan komoditas Kemampuan mengatur input usahatani Kemampuan memasarkan hasil Sig. 2- tailed Mean Difference Std. Error Difference 95 Confidence Interval of the Equality of t-test for Equality of Means F Sig. t df Lampiran 2 HUBUNGAN ANTAR PEUBAH PENELITIAN BERDASARKAN LOKASI PENELITIAN Tabel 1. Hubungan Antar Peubah Karakteristik Individu Responden Petani Sayuran Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Umur 1 1 ‐0.145 ‐.434 ‐0.185 ‐.203 ‐0.056 ‐0.19 0.115 ‐0.097 0.02 ‐0.113 0.017 0.119 Pendidikan Formal ‐0.145 ‐.434 1 1 .452 .578 .409 .477 ‐0.069 .241 0.036 .306 0.071 0.153 Kepemilikan TI ‐0.185 ‐.203 .452 .578 1 1 .317 .640 0.18 .511 0.145 .402 ‐0.066 .287 Lama menggunakan TI ‐0.056 ‐0.19 .409 .477 .317 .640 1 1 0.062 .402 .308 .296 ‐0.042 0.159 Penguasaan lahan 0.115 ‐0.097 ‐0.069 .241 0.18 .511 0.062 .402 1 1 ‐0.004 .365 0.118 .227 Tingkat kekosmopolitan 0.02 ‐0.113 0.036 .306 0.145 .402 .308 .296 ‐0.004 .365 1 1 0.071 .369 Keterlibatan dalam kelompok 0.017 0.119 0.071 0.153 ‐0.066 .287 ‐0.042 0.159 0.118 .227 0.071 .369 1 1 Umur Peubah Pendidikan Formal Kepemilikan sarana TI Lama menggu- nakan TI Luas penguasa-an lahan Tingkat kekos- mopolitan Keterlibatan da- lam kelompok Tabel 2. Hubungan Antar Peubah Persepsi terhadap Lingkungan Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Ketersediaan media konvensional 1 1 .329 .319 .294 0.091 0.173 ‐0.062 Ketersediaan sarana TI .329 .319 1 1 .257 .382 0.186 .274 Ketersediaan infrastruktur .294 0.091 .257 .382 1 1 .249 0.17 Keterjangkauan fasilitas training 0.173 ‐0.062 0.186 .274 .249 0.17 1 1 Peubah Ketersediaan media konvensional Ketersediaan sarana TI Ketersediaan infrastruktur Keterjangkauan fasilitas training Tabel 3. Hubungan Antar Peubah Persepsi Petani terhadap Karakteristik Cyber Extension Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Kesesuaian CE dengan kebutuhan 1 1 .498 .417 .608 .578 .350 .462 .332 0.117 Kemudahan untuk dilihat hasilnya .498 .417 1 1 .313 .358 .356 .305 .279 0.168 Keuntungan relatif .608 .578 .313 .358 1 1 .611 .655 .396 0.153 Kemudahan untuk diaplikasikan .350 .462 .356 .305 .611 .655 1 1 .390 0.152 Kesesuaian dengan budaya .332 0.117 .279 0.168 .396 0.153 .390 0.152 1 1 Peubah Kesesuaian CE dengan k b t h Kemudahan untuk dilihat h il Keuntungan relatif Kemudahan diaplika- ik Kesesuaian dengan b d Tabel 4. Hubungan Antar Peubah Perilaku Pemanfaatan Teknologi Informasi Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Tingkat pengetahuan terhadap TI 1 1 .485 .380 .753 .792 Sikap terhadap pemanfaatan TI .485 .380 1 1 .593 .382 Keterampilan menggunakan TI .753 .792 .593 .382 1 1 Peubah Tingkat pengetahuan terhadap TI Sikap terhadap pemanfaatan TI Keterampilan menggunakan TI Tabel 5. Hubungan Antar Peubah Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Intensitas pemanfaatan 1 1 .453 .729 .581 .718 0.192 .521 0.154 .633 .197 0.109 Tingkat akses .453 .729 1 1 .489 .603 0.194 .528 0.133 .602 .228 .204 Tingkat manfaat yang dirasakan .581 .718 .489 .603 1 1 0.152 .536 .223 .530 .259 0.195 Tingkat pengelolaan informasi 0.192 .521 0.194 .528 0.152 .536 1 1 .394 .551 ‐0.156 .252 Jangkauan sumber informasi 0.154 .633 0.133 .602 .223 .530 .394 .551 1 1 0.131 0.059 Kualitas berbagi informasi .197 0.109 .228 .204 .259 0.195 ‐0.16 .252 0.131 0.059 1 1 Peubah Intensitas peman- faatan Tingkat akses Tingkat manfaat yang dirasakan Tingkat pengelo- laan iinformasi Jangkauan sum- ber informasi Kualitas berbagi informasi Tabel 6. Hubungan Antar Peubah Tingkat Keberdayaan Petani Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Menentukan komoditi 1 1 .621 .912 .517 .645 .384 .723 ‐0.086 .225 ‐0.172 0.075 .292 .201 0.018 .267 Mengatur input .621 .912 1 1 .499 .668 .368 .761 ‐0.117 .225 ‐0.045 0.114 .316 .247 0.101 .320 Memasarkan hasil .517 .645 .499 .668 1 1 .688 .842 0.008 0.032 0.029 0.181 ‐0.19 .312 0.104 .362 Menentukan harga .384 .723 .368 .761 .688 .842 1 1 0.072 0.082 0.11 0.078 ‐0.16 .259 0.161 .276 Bekerjasama ‐0.086 .225 ‐0.117 .225 0.008 0.032 0.072 0.082 1 1 0.167 .375 .216 0.19 .204 .322 Mengelola informasi ‐0.172 0.075 ‐0.045 0.114 0.029 0.181 0.11 0.078 0.167 .375 1 1 0.174 .303 .211 .443 Mengelola hasil ‐.292 .201 ‐.316 .247 ‐0.189 .312 ‐0.157 .259 .216 0.19 0.174 .303 1 1 0.12 .298 Mengakses teknologi 0.018 .267 0.101 .320 0.104 .362 0.161 .276 .204 .322 .211 .443 0.12 .298 1 1 Kemampuan bekerjasama Kemampuan mengelola informasi Kemampuan mengelola hasil panen Kemampuan mengakses teknologi Peubah Kemampuan menentukan komoditas Kemampuan mengatur input Kemampuan me- masarkan hasil Kemampuan menentukan harga Tabel 7. Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Persepsi Petani terhadap Karakteristik Cyber Extesion Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Umur ‐0.152 ‐.278 ‐0.188 ‐0.152 ‐0.19 ‐.261 ‐0.177 ‐0.16 ‐0.095 ‐0.007 Pendidikan Formal .379 .367 .446 .409 .394 .590 .430 .410 .321 .248 Kepemilikan TI .272 .536 .401 .409 .202 .528 .286 .391 0.179 .263 Lama menggunakan TI .281 .517 0.157 .322 .252 .545 .204 .419 0.144 0.185 Penguasaan lahan 0.073 .311 0.055 0.189 ‐0.029 .254 ‐0.073 .294 ‐0.025 0.03 Tingkat kekosmopolitan 0.119 0.188 ‐0.12 0.176 0.106 .411 0.099 .404 ‐0.086 .233 Keterlibatan dalam kelompok ‐0.051 0.038 ‐0.031 0.192 ‐0.138 .215 ‐0.165 0.12 ‐.214 0.183 Keuntungan relatif Kemudahan diaplika- sikan Kesesuaian dengan budaya Peubah Kesesuaian CE dengan kebutuhan Kemudahan untuk dilihat hasilnya Tabel 8. Hubungan Antara Persepsi Petani terhadap Faktor Lingkungan dengan Persepsi Petani terhadap Karakteristik Cyber Extesion Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Ketersediaan media konvensional 0.117 ‐0.005 0.068 0.034 .245 ‐0.026 0.091 ‐0.009 .335 .340 Ketersediaan sarana TI .300 .323 0.176 .211 .435 .421 .331 .433 .491 .406 Ketersediaan infrastruktur .224 .234 0.13 0.11 .353 .253 .352 0.189 0.176 .390 Keterjangkauan fasilitas training .427 .267 .414 0.04 .399 .410 0.151 .199 0.121 ‐0.023 Peubah Kesesuaian CE dengan kebutuhan Kemudahan untuk dilihat hasilnya Keuntungan relatif Kemudahan diaplika- sikan Kesesuaian dengan budaya ABSTRACT RETNO SRI HARTATI MULYANDARI. Cyber Extension as A Communication Media in Vegetable Farmer Empowerment. Under direction of SUMARDJO as a Chairman Committee, NURMALA K. PANDJAITAN, and DJUARA P. LUBIS as members Cyber extension is a communication mechanism of agricultural innovation by using new communication media that integrate information and communication technology in agricultural development. The objectives of the research are: 1 to analyze the behavior of vegetable farmer in technology information utilization and the cyber extension utilization; 2 to analyze the dominant factors that influencing the behavior of vegetable farmer in technology information utilization, the utilization of cyber extension, and the level of vegetable farmer empowerment, and 3 to design the strategy of cyber extension utilization in vegetable farmer empowerment. The research conducted in Cianjur West Java and Batu East Java on July 2010 to January 2011. The study used the primary data that derived from the 200 respondents that using the information technology facilities to support farming activities with closed and semi-open questionnaires and by using Likert scale. The quantitative data were analyzed statistic based on correlation analysis, t_test, and Structural Equation Modelling. Qualitative data that was collected through in-depth interview, observation, documentation, and focus group discussion to support the quantitative data. The results indicated that the application of information and communication technology in cyber extension can greatly improve farmers’ accessibility especially for accessing the agricultural technology and market information. The farmer characteristic the level of cosmopolitan, the behavior in the information technology utilization, and the perception to the characteristic of cyber extension comparative advantage and observability are the dominant factors that influencing the utilization of cyber extension. The dominant factors influencing the level empowerment of vegetable farmer are the cyber extension utilization, the behavior in the information technology utilization, the level of cosmopolitan, the perception to the characteristic of cyber extension, and the environment. The strategy of communication convergence through the cyber extension utilization in vegetable farmer empowerment was designed with two-step-flow communication and the utilization of the other communication media suitable with farmer characteristic. The strategy at the level of policy maker is to develop the content and the connection of networking technology that appropriately with the environment condition. There are four types of the cyber extension utilization mechanism at the level of beneficiaries. Firstly, the utilization of cyber extension by opinion leader and distributed to other farmer through local communication media. Secondly, the utilization of cyber extension by operator of telecenter and distributed to farmer. Then, the utilization of cyber extension by community group and distributed to farmer. Finally, the utilization of cyber extension by extension worker and then distributed to opinion leaders, forwarded to other farmer, and transferred directly or indirectly to farmers. Keywords: Cyber extension, communication networking, communication media, farmer empowermentKeywords: Cyber extension, communication networking, communication media, farmer empowerment RINGKASAN RETNO SRI HARTATI MULYANDARI. Cyber Extension sebagai Media Komunikasi dalam Pemberdayaan Petani Sayuran. Komisi Pembimbing: SUMARDJO Ketua, NURMALA K. PANDJAITAN dan DJUARA P. LUBIS masing-masing sebagai anggota Cyber extension merupakan salah satu mekanisme berbagi informasi dan pengetahuan serta pengembangan jaringan informasi secara interaktif yang mensinergikan aplikasi teknologi informasi dengan media komunikasi yang ada di lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cyber extension juga merupakan salah satu sistem komunikasi inovasi pertanian yang dapat difungsikan untuk memperluas jaringan pemasaran, mempertemukan lembaga penelitian, pengembangan, dan pengkajian dengan diseminator inovasi penyuluh, pendidik, petani, dan kelompok stakeholders lainnya. Masing-masing stakeholders memiliki kebutuhan dengan jenis dan bentuk informasi yang berbeda sehingga dapat berperan secara sinergis dan saling melengkapi. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah 1 Sejauhmana perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi dan sejauhmana cyber extension dimanfaatkan oleh petani sayuran untuk mendukung kegiatan usahatani, 2 sejauhmana terdapat faktor dominan yang mempengaruhi perilaku pemanfaatan teknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani sayuran, dan 3 bagaimana strategi yang tepat untuk memanfaatkan cyber extension sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani sayuran. Sedangkan tujuan penelitian adalah 1 menganalisis perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi dan menganalisis pemanfaatan cyber extension oleh petani sayuran untuk mendukung kegiatan usahatani, 2 mengungkap faktor dominan yang mempengaruhi perilaku petani dalam memanfaatkan eknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani sayuran, dan 3 merumuskan strategi yang tepat dalam memanfaatkan cyber extension sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani. Penelitian cyber extension sebagai media komunikasi inovasi dalam pemberdayaan petani sayuran ini dilakukan di Cianjur Jawa Barat dan Batu Jawa Timur pada Juli 2010-Januari 2011 dengan menggunakan metode survei yang bersifat eksplanatori dan deskriptif. Penentuan responden dilakukan dengan rumus Slovin terhadap 200 petani yang menguasai lahan untuk berusahatani sayuran dan memiliki akses terhadap teknologi informasi minimal telepon rumah untuk mendukung kegiatan usahatani. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan kuesioner yang memenuhi persyaratan kesahihan dan keterandalan. Data dari sumber lain informan kunci yang dihimpun melalui wawancara m e n d a l a m , pengamatan, dokumentasi, dan focus group discussion bersifat sebagai data pendukung atau untuk verifikasi. Analisis data mencakup analisis deskriptif dan analisis inferensia. Analisis inferensia berupa analisis koefisien korelasi Pearson Product Moment r dan uji t menggunakan SPSS 19. Sedangkan analisis pengaruh antarpeubah penelitian menggunakan pendekatan Structural Equation Modeling dengan program LISREL 8.70 Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani di Jabar secara nyata memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan teknologi informasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Jatim, meskipun tidak didukung oleh program pengembangan akses sistem informasi berbasis teknologi informasi telecenter sebagaimana di Jatim. Petani di Jabar lebih proaktif dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk menghadapi penetrasi pasar dan pengembangan jaringan pemasaran karena adanya faktor kedekatan lokasi dengan ibukota Jakarta. Namun dalam hal sikapnya terhadap pemanfaatan teknologi informasi, petani di Jatim lebih positif dibandingkan dengan petani di Jabar. Pengalaman petani di Jabar yang kurang baik terhadap content yang belum komprehensif dan tepat guna cenderung membuat petani di Jabar menjadi lebih berhati-hati dalam memanfaatkan informasi melalui teknologi informasi khususnya melalui akses internet untuk mendukung kegiatan usahatani. Cyber extension mampu meningkatkan aksesibilitas petani terhadap informasi pasar dan teknologi pertanian. Manfaat cyber extension yang dirasakan langsung oleh petani adalah dapat dimanfaatkan untuk sarana komunikasi, akses informasi, dan promosi hasil usahatani. Sedangkan sarana teknologi informasi yang biasa dan paling banyak digunakan oleh petani untuk memanfaatkan cyber extension mendukung kegiatan usahatani adalah telepon genggam. Sementara komputer berinternet merupakan sarana teknologi informasi yang masih belum banyak dimanfaatkan oleh petani. Hal ini disebabkan di antaranya oleh sifat komputer berinternet yang masih dianggap sebagai sarana teknologi informasi yang penggunaannya membutuhkan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sarana teknologi informasi dan komunikasi lainnya. Perilaku petani yang meliputi tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi dipengaruhi secara dominan oleh karakteristik individu tingkat kekosmopolitan petani dan persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension keuntungan relatif dan kemudahan cyber extension untuk dilihat hasilnya. Faktor dominan yang nyata mempengaruhi tingkat pemanfaatan cyber extension adalah karakteristik individu, persepsi terhadap karakteristik cyber extension, dan perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi. Sedangkan faktor dominan yang mempengaruhi tingkat keberdayaan petani adalah tingkat pemanfaatan cyber extension, perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi, karakteristik individu, persepsi terhadap karakteristik cyber extension, dan faktor lingkungan ketersediaan sarana teknologi informasi. Strategi konvergensi komunikasi melalui pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani sayuran disusun dengan mengembangkan komunikasi dua tahap atau two step flow communication dan kombinasi media komunikasi lain sesuai dengan karakteristik petani dan lingkungan. Strategi yang perlu dilakukan di tingkat pengambil kebijakan adalah pengembangan content dan pengembangan koneksi dengan teknologi jaringan yang tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungan. Secara spesifik, mekanisme pemanfaatan cyber extension di tingkat pengguna dapat dikategorikan menjadi empat skenario berdasarkan subyek pengguna pertama, yaitu 1 Pemanfaatan cyber extension oleh petani maju dan disebarkan kepada petani lain melalui berbagai media komunikasi yang ada di tingkat lokal, 2 Pemanfaatan cyber extension oleh fasilitator telecenter dan disebarkan ke petani lain, 3 Pemanfaatan cyber extension oleh kelompok masyarakat atau komunitas lembaga komunikasi lokal dan disebarkan ke petani lain, dan 4 Pemanfaatan cyber extension oleh penyuluh dan disebarkan secara interaktif melalui teknologi informasi ke petani maju untuk diteruskan ke petani lainnya dan secara konvensional disampaikan langsung maupun tidak langsung ke petani. 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan agribisnis hortikultura, khususnya sayuran saat ini menghadapi terbukanya arus informasi yang mendorong pada semakin berkembangnya desakan produk ekspor maupun impor dan peningkatan selera konsumen, baik domestik maupun global. Pada era globalisasi ekonomi seperti Asean Free Trade Area AFTA dan Asia Pacific Economic Cooperation APEC, sebagian pasar domestik Indonesia saat ini telah diisi oleh produk hortikultura impor dengan kualitas, cara pengepakan, diversifikasi produk, dan penampilan yang lebih baik serta harga yang bersaing dengan produk domestik. Pada komoditas sayuran, pengembangan teknologi jenis sayuran dengan bibitbenih yang didatangkan dari luar negeri semakin membuat petani sayuran dalam negeri bergantung pada ketersediaan benih impor. Volume impor hortikultura di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 997.370.460 ton dan meningkat menjadi 1.080.661.604 ton naik 8,35 persen pada tahun 2008. Kenaikan ini banyak terjadi pada jenis sayuran, yaitu dari 529.355.406 ton dengan nilai US 206.706.456 ton menjadi 621.029.091 ton dengan nilai US 243.942.637 18 persen. Umumnya impor ini digunakan untuk mengisi permintaan khusus di pasar-pasar modern, perhotelan, dan menunjang pariwisata. Meskipun segmen pasar produk impor ini hanya terbatas pada konsumen kelas menengah ke atas dan hanya berada di daerah perkotaan, namun nilai produk impor tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspor. Hal ini ditunjukkan dengan jauh lebih rendahnya nilai ekspor sayuran pada tahun 2008 yaitu hanya sebesar 90.379.772 ton dengan nilai US 38.588.789. Sedangkan perkembangan terakhir dari data Badan Pusat Statistik BPS menunjukkan bahwa impor sayuran periode Januari-Februari 2011 senilai US 82.641.159. Nilai ini naik 45,99 persen dari impor periode yang sama tahun 2010 sebesar US 56.607.726 BPS 2011. Oleh karena itu, guna menghadapi persaingan global sejalan dengan perkembangan IPTEK yang ada, sistem informasi pertanian yang mampu mendukung kegiatan agribisnis bidang hortikultura khususnya sayuran perlu dikembangkan. 2 Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memberikan kontribusi yang nyata dalam proses berkembangnya sistem pengembangan informasi pertanian, khususnya sebagai media komunikasi inovasi pertanian. Teknologi informasi dan komunikasi juga mempunyai kontribusi yang potensial dalam mencapai manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan. Di Indonesia, bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu dari enam bidang fokus utama pengembangan Iptek Ristek 2005, yaitu [1] ketahanan pangan, [2] sumber energi baru dan terbarukan; [3] teknologi dan manajemen transportasi, [4] teknologi informasi dan komunikasi, [5] teknologi pertahanan, dan [6] teknologi kesehatan dan obat-obatan. Dalam mendukung kegiatan pembangunan pertanian berkelanjutan, teknologi informasi dan komunikasi memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung tersedianya informasi pertanian yang relevan dan tepat waktu. Selanjutnya, dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2010 – 2014 tercatat bahwa salah satu kegiatan penting dalam pembangunan perdesaan adalah peningkatan akses informasi dan pemasaran Bappenas 2010. Dewasa ini, pelaku pembangunan dan pengembangan pertanian di Indonesia masih merasakan minimnya informasi pertanian tepat guna yang siap dimanfaatkan untuk mendukung tugas dan fungsinya. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pertanian bidang hortikultura khususnya sayuran diantaranya adalah kurangnya informasi tentang kebutuhan sayuran baik dalam jenis, jumlah, dan mutu temasuk harga produk pada masing-masing provinsi. Hal ini menyebabkan sulitnya pengaturan pola tanam di tingkat petani, sehingga pada daerah tertentu terjadi kelebihan produksi sedangkan di daerah lain kekurangan pasokan. Informasi ini sangat dibutuhkan mengingat komoditas sayuran memiliki sifat mudah rusak dan tidak tahan untuk disimpan dengan fluktuasi harga produk yang sangat tinggi sepanjang hari. Selain itu, dalam pengembangan ekspor produk sayuran masih mengalami hambatan antara lain kurangnya informasi tentang preferensi konsumen jenis sayuran, jumlah produk, dan kualitas pada negara importir Tamba 2007. Cyber extension merupakan salah satu mekanisme pengembangan jaringan komunikasi informasi inovasi pertanian yang terprogram secara efektif 3 dengan mengimplementasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam sistem komunikasi inovasi atau penyuluhan pertanian yang diharapkan dapat meningkatkan keberdayaan petani melalui penyiapan informasi pertanian yang tepat waktu dan relevan kepada petani dalam mendukung proses pengambilan keputusan berusahatani untuk meningkatkan produktivitasnya. Cyber extension juga merupakan salah satu mekanisme komunikasi inovasi pertanian yang dapat difungsikan untuk mempertemukan lembaga penelitian, pengembangan, dan pengkajian dengan diseminator inovasi penyuluh, pendidik, petani, dan kelompok stakeholders lainnya yang masing-masing memiliki kebutuhan dengan jenis dan bentuk informasi yang berbeda sehingga dapat berperan secara sinergis dan saling melengkapi Sumardjo et al. 2009. Maureen 2009 menyatakan bahwa cyber extension berfungsi untuk memperbaiki aksesibilitas petani terhadap informasi pasar, input produksi, tren konsumen, yang secara positif berdampak pada kualitas dan kuantitas produksi. Informasi pemasaran, praktek pengelolaan ternak dan tanaman yang baru, teknologi pengendalian penyakit dan hama tanamanternak, ketersediaan transportasi, informasi peluang pasar dan harga pasar input maupun output pertanian sangat penting untuk efisiensi produksi secara ekonomi. Meskipun cyber extension memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan, namun sampai saat ini petani di dunia, khususnya di Indonesia, masih belum diikutsertakan dalam bisnis teknologi informasi dan komunikasi. Fakta yang agak mengejutkan adalah bahwa aplikasi teknologi informasi dan komunikasi memiliki kontribusi yang tinggi secara ekonomi bagi masing-masing Gross Domestic Product GDP. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan pertanian membutuhkan proses pendidikan dan peningkatan kapasitas karena masih terdapat kesenjangan secara teknis maupun keterampilan dalam bisnis secara elektronis e- business . Membangun sebuah masa depan elektronis berwawasan teknologi informasi dan komunikasi yang berkelanjutan sustainable e-future memerlukan strategi dan program untuk menyiapkan petani dengan kompetensi teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini bermanfaat untuk mendukung perdagangan dan kewirausahaan, sehingga pemerintah dapat meningkatkan kapasitas petani 4 untuk berperan serta dan bermanfaat bagi tiap pertumbuhan ekonomi. Dengan mengimplementasikan cyber extension dalam pembangunan pertanian berkelanjutan melalui peningkatan fungsi sistem pengetahuan dan informasi pertanian dan peningkatan kapasitas petani, maka petani akan berpikir dengan cara yang berbeda, berkomunikasi secara berbeda, dan mengerjakan bisnisnya secara berbeda. Survei yang dilakukan oleh the International Society for Horticultural Sciences ISHS telah mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi oleh pelaku komunikasi khususnya untuk bidang hortikultura di Srilanka. Hambatan-hambatan tersebut meliputi: keterbatasan kemampuan, sulitnya akses terhadap pelatihan training, kesadaran akan manfaat teknologi informasi dan komunikasi, waktu, biaya dari teknologi yang digunakan, integrasi sistem dan ketersediaan software. Partisipan dari negara-negara maju menekankan pada hambatan: tidak adanya manfaat ekonomi yang dapat dirasakan, tidak memahami nilai lebih dari teknologi informasi dan komunikasi, tidak cukup memiliki waktu untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, dan tidak mengetahui bagaimana mengambil manfaat dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Responden dari negara-negara berkembang menekankan pentingnya “biaya teknologi informasi dan komunikasi” dan “kesenjangan infrastruktur teknologi”. Hasil kuesioner dari the Institute for Agricultural and Fisheries Research sejalan dengan survei ISHS dan survei dari the European Federation for Information Technology in Agriculture EFITA yang mengindikasikan adanya suatu pergeseran dari kecakapan secara teknis teknologi informasi dan komunikasi sebagai suatu faktor pembatas menuju pada kesenjangan pemahaman bagaimana mengambil manfaat dari pilihan teknologi informasi dan komunikasi yang bervariasi Taragola et al. 2009. Meskipun masih terdapat beberapa kendala sehingga pemanfaatan cyber extension menjadi sangat kompleks dan sulit untuk diadopsi, cyber extension sebenarnya dapat menyediakan kesempatan yang lebih besar untuk mencapai suatu tingkatan tertentu yang lebih baik bagi petani apabila didukung oleh kompetensi pelaku komunikasi yang terkait. Hal ini ditunjukkan ketika beberapa lembaga penelitian dan pengembangan menyampaikan studi kasus yang 5 mendeskripsikan bagaimana cyber extension telah dimanfaatkan oleh petani dan stakeholders usahawan pelaku bidang pertanian sehingga memperoleh peluang yang lebih besar untuk memajukan kegiatan usahataninya. Keberhasilan pemanfaatan cyber extension oleh petani sayuran di Indonesia dalam memajukan usaha taninya ditunjukkan oleh beberapa kelompok tani yang telah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi hasil produksinya dengan menggunakan fasilitas yang disediakan Community Training and Learning Centre CTLC di Pancasari Bali dan Pabelan Salatiga yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan lembaga nonprofit di bawah Program Unlimited Potential. Petani mengenal teknologi budidaya paprika dalam rumah kaca melalui internet. Sejak mengirimkan profil produksi di internet, permintaan terhadap produk pertanian yang diusahakan terus berdatangan. Promosi melalui internet dapat memutus hubungan petani dengan tengkulak yang sering memberikan harga jauh di bawah harga pasar Sigit et al. 2006. Melalui Unit Pelayanan Informasi Pertanian tingkat Desa – Program Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi UPIPD-P4MI yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Pertanian, petani di sekitar lokasi UPIPK sudah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi hasil pertanian yang diusahakan UPIPD Kelayu Selatan - P4MI 2009. Hasil penelitian yang terkait dengan implementasi teknologi informasi dan komunikasi dalam bidang pertanian, khususnya cyber extension belum pernah dilakukan secara khusus di Indonesia. Penelitian tentang cyber extension sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani sayuran ini dilakukan karena adanya dua alasan utama. Pertama, secara empiris karena masih lemahnya sistem informasi pertanian dan lambatnya pengembangan teknologi yang sudah ada di tingkat petani. Alasan kedua adalah terkait dengan adanya peluang pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam komunikasi pembangunan yang partisipatif dengan mengacu pada konsep teori communication for development. Integrasi teknologi informasi dan komunikasi khususnya komputer dan telepon genggam dalam komunikasi pembangunan pertanian melalui cyber extension merupakan unsur yang baru dari penelitian ini dibandingkan dengan penelitian- penelitian sebelumnya. Cyber extension melalui aplikasi teknologi informasi 6 dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendukung knowledge sharing dalam pemberdayaan petani. Hasil akhir dari penelitian ini adalah skenario strategi pemanfaatan cyber extension sebagai media komunikasi inovasi dalam pemberdayaan petani sayuran yang akan disinergikan dengan kelembagaan komunikasi lokal dalam perspektif komunikasi pembangunan partisipatif. Yoon 2009 menyatakan bahwa dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan partisipatif-horisontal dimunculkan kembali revitalisasi konsep komunikasi antarpribadi interpersonal communication, media rakyat folk media, komunikasi kelompok group communication dan model komunikasi dua tahap two-step flow communication. Hal ini diperkuat pula oleh pernyataan Cornish dan Alison 2009 bahwa komunikasi partisipatif adalah sebuah konsep dan praktek keterlibatan masyarakat menciptakan dan berbagi pengetahuan, pengalaman, serta keinginannya untuk mencapai dan menentukan tujuan agenda nya sendiri. Penciptaan dan berbagi pengetahuan tersebut diekspresikan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi yang ditentukan oleh masyarakat sendiri sehingga sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya. Perumusan Masalah Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, penyebab lemahnya fungsi sistem informasi pertanian bidang hortikultura khususnya tanaman sayuran diantaranya adalah: 1 Adanya distorsi kegiatan komunikasi inovasi pertanian melalui mekanisme penyuluhan karena tidak adanya satu kesatuan kelembagaan manajemen yang mengakibatkan rendahnya motivasi dan kinerja pelaku komunikasi inovasi pertanian Tamba 2007, 2 Kualitas sumber informasi pertanian umumnya masih rendah dan terbatasnya kemampuan sumber informasi dalam menyediakan informasi pertanian yang relevan dan tepat waktu karena belum ada institusilembaga yang bertanggungjawab mengolah dan menyediakan informasi pertanian bagi petani dan kurangnya komitmen pemerintah dalam menyediakan informasi pertanian bagi petani Anwas 2009, 3 Rendahnya tingkat interaksi petani dengan kelompok tani, penyuluh inovator, dan masyarakat luas, rendahnya penggunaan saluran komunikasi melalui media massa tercetak maupun elektronisteknologi informasi dan komunikasi lainnya telepon genggam, 7 komputer, dan internet untuk akses informasi, dan 4 Belum dimanfaatkannya secara optimal teknologi informasi dan komunikasi secara bijaksana untuk pengelolaan dan akses inovasi pertanian karena keterbatasan infrastruktur, kapasitas sumber daya manusia, dan manajerial Sumardjo et al. 2009. Sinergi aplikasi teknologi informasi dalam komunikasi inovasi pertanian melalui cyber extension merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan peran teknologi informasi dan komunikasi dalam pengembangan sistem informasi pertanian. Berdasarkan adanya kesenjangan dari berbagai hasil penelitian tersebut, secara rinci permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Sejauhmana perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi dan sejauhmana cyber extension dimanfaatkan oleh petani sayuran untuk mendukung kegiatan usahatani? 2. Sejauhmana terdapat faktor dominan yang mempengaruhi perilaku pemanfaatan teknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani sayuran? 3. Bagaimana strategi yang tepat untuk memanfaatkan cyber extension sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani sayuran? Tujuan Penelitian Berdasarkan pembatasan permasalahan, maka tujuan utama penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi dan menganalisis pemanfaatan cyber extension oleh petani sayuran untuk mendukung kegiatan usahatani. 2. Mengungkap faktor dominan yang mempengaruhi perilaku petani dalam memanfaatkan eknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani sayuran. 3. Merumuskan strategi yang tepat untuk memanfaatkan cyber extension sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani sayuran. 8 Kegunaan Penelitian Penelitian diharapkan dapat menghasilkan rumusan strategi pemanfaatan cyber extension sebagai media komunikasi inovasi pertanian dalam pemberdayaan petani sayuran. Secara spesifik, kegunaan penelitian ini disajikan sebagai berikut. Kegunaan dalam lingkungan akademiskeilmuan 1. Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman proses komunikasi inovasi pertanian yang mengintegrasikan aplikasi teknologi informasi sebagai media baru dengan pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani sayuran yang memungkinkan media massa digunakan sekaligus sebagai media komunikasi interaktif dengan sifat umpan balik secara langsung. 2. Memberikan informasi bagi penelitian yang serupa agar dapat melakukan penyempurnaan dalam metode untuk analisis media komunikasi yang mengintegrasikan aplikasi teknologi informasi sebagai media baru dalam komunikasi inovasi pertanian. 3. Mengembangkan dan menyempurnakan secara empiris teori komunikasi pembangunan yang partisipatif dengan mengintegrasikan antara media komunikasi baru dan media komunikasi konvensional untuk pemberdayaan petani sayuran. Kegunaan dalam lingkungan praktis 1. Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan untuk tambahan informasi sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan terkait dengan pemanfaatan cyber extension sebagai komunikasi inovasi pertanian dalam pemberdayaan petani sayuran sesuai dengan kategori tingkat pemanfaatan cyber extension untuk memperoleh peluang yang lebih besar bagi peningkatan kesejahteraan petani sayuran. 2. Hasil penelitian diharapkan menjadi tambahan informasi bagi semua stakeholders untuk bahan masukan dalam menyusun strategi dan program komunikasi inovasi pertanian, khususnya bidang hortikultura melalui pemanfaatan cyber extension secara spesifik lokasi. 9 Kebaruan Novelty Hasil penelitian yang terkait dengan implementasi teknologi informasi dan komunikasi yang banyak dilakukan di kalangan akademis sebagian besar adalah terkait dengan akses informasi melalui internet dengan sarana komputer oleh pengguna baik di lingkungan pendidikanproses pembelajaran jarak jauh maupun akses untuk mendukung bidang pertanian. Penelitian yang mensinergikan teknologi informasi dan komunikasi khususnya melalui telepon genggam maupun komputer untuk bidang pertanian belum pernah dilakukan secara khusus di Indonesia. Penelitian tentang cyber extension yang mensinergikan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya telepon genggam dan komputer sebagai media komunikasi bagi pemberdayaan petani sayuran ini dilakukan dengan harapan menghasilkan kebaruan novelty dari hasil penelitian yang dilakukan sebagai berikut. 1. Mengangkat isu pemanfaatan teknologi informasi dalam kaitannya dengan cyber extension sebagai media komunikasi inovasi pertanian yang bersifat massa namun dapat sekaligus menjadi media yang interaktif dalam perspektif hybrid media untuk meningkatkan keberdayaan petani sayuran. 2. Merumuskan strategi pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani sayuran yang mampu mensinergikan aplikasi teknologi informasi dengan beragam media komunikasi yang ada di tingkat petani. 11 TINJAUAN PUSTAKA Petani adalah pengusaha, terlepas dari kelas mana berada, bergantung pada skala usahanya. Berbeda dengan petani yang mengelola komoditas padi dan palawija yang cenderung masih bersifat pasif, petani sayuran cenderung bersifat proaktif dan sudah lebih berorientasi pada pasar. Hal ini di antaranya disebabkan oleh harga komoditas sayuran yang selalu berfluktuasi dan sifatnya yang mudah rusak. Sistem informasi yang handal baik untuk teknologi budidaya khususnya pola jadwal tanam maupun untuk pemasaran hasil komoditas sayuran sangat diperlukan untuk dapat mendorong pada keberdayaan petani sayuran. Sinergi aplikasi teknologi informasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan informasi serta akses pada sumber informasi secara global merupakan salah satu jawaban yang patut diperhitungkan untuk menangkap peluang bagi peningkatan kesejahteraan petani sayuran dalam menghadapi persaingan global. Cyber Extension sebagai Media Komunikasi dalam Pemberdayaan Petani Sayuran merupakan fokus penelitian yang dilakukan dengan menekankan aspek penting dari sinergi aplikasi teknologi informasi khususnya telepon genggam dan komputer dengan berbagai kelembagaan komunikasi potensial lainnya secara spesifik lokasi untuk mendukung proses pemberdayaan petani sayuran. Melalui cyber extension, petani dihadapkan pada beragam pilihan informasi dari sumber informasi global yang dapat diakses langsung sehingga dapat dimanfaatkan untuk proses pengambilan keputusan dalam berusahatani. Sampai pada akhirnya tercipta konvergensi komunikasi inovasi pertanian dalam sistem usahatani sayuran di tingkat petani. Konsep pemberdayaan dari Servaes 2002, 2005, dan 2007 merupakan kajian teoritis komunikasi partisipatif dengan memperhatikan aspek kemampuan masyarakat untuk mengakui, menghormati, dan mengintegrasikan perbedaan budaya dalam pembangunan. Hasil proses pemberdayaan diindikatorkan oleh tingkat keberdayaan dengan adanya kekuasaan dalam meningkatkan kesadaran untuk berubah atau dalam pembuatan keputusan, kemampuan akses terhadap sumber daya, dan kekuasaan untuk melakukan kerjasama tindakan bersama sebagaimana dinyatakan oleh Mayouk 2010. Sedangkan Schuler et al. 1996 lebih menekankan aspek keberdayaan pada tingkat mobilitas di samping kebebasan tidak adanya keterlibatan pihak lain dalam pengambilan keputusan. 12 Komunikasi inovasi pertanian merupakan tema utama penelitian dengan mengambil dasar teori dari Rogers 2003. Konsep Rogers disinergikan dengan konsep komunikasi inovasi pertanian dari International Rice Research Institute IRRI 1998 yang membedakan metode komunikasi inovasi menjadi tiga kategori berdasarkan jenis inovasi yang dikomunikasikan yaitu: pengetahuan teknologi, prototipe alsintan, dan produk varietasbenih. Faktor yang mempengaruhi proses komunikasi inovasi pertanian di antaranya adalah karakteristik pelaku komunikasi. Menurut Littlejohn dan Karen 2005 individu sebagai pelaku komunikasi dipengaruhi oleh struktur sosial atau sistem sosial dan individu merupakan bagian dari struktur sosial. Proses komunikasi inovasi pertanian tidak dapat dipisahkan dengan media komunikasi, baik media interpersonal, media massa, media terprogram, maupun kelembagaan komunikasi lokal. Konsep cyber extension sebagai salah satu media komunikasi inovasi pertanian yang mensinergikan aplikasi teknologi informasi dengan beragam media komunikasi lainnya banyak diadopsi dari pengertian Wijekon et al. 2009 dan Taragola et al. 2009. Sebagai pembanding, disajikan rintisan cyber extension yang telah dilaksanakan di Indonesia melalui program: 1 Pengembangan Sumber Informasi Pertanian Lokal dan Nasional pada Program Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi dari Deptan; 2 Program Unlimited Potential UP melalui Community Training and Learning Centre CTLC; dan 3 Partnerships for e-Prosperity for the Poor Pe-PP. Tingkat pemanfaatan cyber extension dan faktor yang mempengaruhi pemanfaatan cyber extension didasarkan atas sumber referensi primer dari Browning dan Sornes 2008 dan lesson learned dari pemanfaatan cyber extension dari beberapa negara. Cyber extension memberikan peluang yang lebih besar bagi petani untuk pengembangan sistem jaringan komunikasi dan berbagi pengetahuanakses informasi tanpa batas sesuai dengan minat dan kebutuhannya sehingga tercipta konvergensi komunikasi untuk mendukung usahataninya. Teori konvergensi dari Rogers dan Kincaid 1981 merupakan dasar analisis dalam proses konvergensi komunikasi yang terjadi dengan pemanfaatan cyber extension. Dalam catatan McMillan 2004, media komunikasi baru yang mensinergikan aplikasi teknologi informasi cyber extension memungkinkan sebuah media memfasilitasi 13 komunikasi interpersonal yang termediasi. Sifat interactivity dari penggunaan media konvergen telah melampaui kemampuan potensi umpan balik feedback, karena seorang pengguna pengakses media konvergen secara langsung memberikan umpan balik atas pesan yang disampaikan. Analisis sistem berdasarkan tujuh elemen sistem batasan, lingkungan, masukan, keluaran, komponen, penyimpanan, dan penghubung dan analisis sistem dengan teori kotak hitam black box theory sebagaimana disampaikan oleh Eryatno 1996 diharapkan mampu mengimbangi salah satu karakteristik cyber extension. Sebagai media baru, teori kotak hitam untuk analisis sistem diharapkan mampu menjawab kegamangan masyarakat dalam pemanfaatan cyber extension. Dengan mengetahui output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki, petani dan pengambil kebijakan dapat memposisikan diri untuk berperan dan bersinergi mewujudkan optimalisasi pemanfaatan cyber extension untuk peningkatan keberdayaan petani. Hasil penelitian terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi untuk komunikasi inovasi disajikan sebagai “state of the art” penelitian cyber extension sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani. Hasil penelitian Alemna 2006, Wahid 2006, Servaes 2007, Marwan 2008, dan Taragola et al. 2009 telah memaparkan gambaran dan faktor yang mempengaruhi pemanfaatan cyber extension untuk komunikasi inovasi pertanian, serta hambatan-hambatan dalam pemanfaatannya di tingkat pengguna akhir petani. Pemberdayaan Petani Konsep pemberdayaan Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori- teori yang berkembang belakangan. Apabila dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain: pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan power kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat 14 dilengkapi pula dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan arti pada titik ekstrem seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu. Beberapa pandangan tentang pemberdayaan masyarakat, antara lain sebagai berikut Ife 2002: 1. Struktural, pemberdayaan merupakan upaya pembebasan, transformasi struktural secara fundamental, dan eliminasi struktural atau sistem yang opresif. 2. Pluralis, pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan daya seseorang atau sekelompok orang untuk dapat bersaing dengan kelompok lain dalam suatu ’rule of the game’ tertentu. 3. Elitis, pemberdayaan sebagai upaya mempengaruhi elit, membentuk aliniasi dengan elit-elit tersebut, serta berusaha melakukan perubahan terhadap praktek-praktek dan struktur yang elitis. 4. Post-Strukturalis, pemberdayaan merupakan upaya mengubah diskursus serta menghargai subyektivitas dalam pemahaman realitas sosial. Hakikat dari konseptualisasi empowerment berpusat pada manusia dan kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan sebagai tolok ukur normatif, struktural, dan substansial. Dengan demikian konsep pemberdayaan sebagai upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah, negara, dan tata dunia di dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable ” Chambers 1995. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk 15 melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: 1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang enabling. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya tersebut dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat empowering dengan menyediakan masukan input dan pembukaan akses ke dalam berbagai peluang opportunities yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Upaya yang amat pokok dalam pemberdayaan adalah peningkatan taraf pendidikan, derajat kesehatan, dan akses ke sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang juga penting dilakukan. Aspek yang terpenting adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan demokrasi. Friedman 1992 menyatakan “The empowerment approach, which is fundamental to an alternative development, places the emphasis an autonomy in the decision marking of territorially organized communities, local self-reliance but not autarchy, direct participatory democracy, and experiential social learning ”. 3. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi semakin bergantung pada berbagai program pemberian charity. Hal ini karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain. Dengan demikian tujuan akhirnya adalah 16 Konsep pemberdayaan dalam perspektif komunikasi partisipatif Jan Servaes mengaitkan konsep pemberdayaan dalam perencanaan sosial dan komunikasi partisipatif adalah pada partisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif. Pemberdayaan meyakinkan bahwa masyarakat mampu membantu dirinya sendiri. Melkote et al. 2001 menyatakan bahwa salah satu konsep pemberdayaan yang sangat luas digunakan saat ini adalah pemberdayaan sebagai pusat pengorganisasian konsep. Ketidakadilan kekuasaan merupakan permasalahan sentral yang harus dipecahkan dalam pembangunan. Selanjutnya pemberdayaan didefinisikan sebagai sebuah proses dalam mana secara individual dan organisasional memperoleh pengawasan dan penguasaan kondisi sosial ekonomi yang lebih banyak, dengan partisipasi demokrasi yang lebih tinggi dalam komunitasnya sendiri. Bentuk-bentuk komunikasi pembangunan yang partisipatif dalam konsep pemberdayaan menurut Serveas 2002 mencakup forum dialog akar rumput grassroots dialog forum, fungsi baru komunikasi pada media partisipatif participatory media, berbagi pengetahuan secara setara knowledge-sharing on a co-equal basis, dan model komunikator pendukung pembangunan Development Support Communication. Dialog akar rumput grassroots dialog didasarkan atas kaidah partisipasi untuk mempertemukan sumber dan agen perubahan langsung dengan masyarakat. Metode yang digunakan adalah penyadaran conscientization melalui dialog. Lebih jauh lagi masyarakat diajak untuk merumuskan permasalahan dan menemukan pemecahannya sekaligus pelaksanaan kegiatan untuk pemecahan permasalahan. Berkaitan dengan hal ini komunikator sekaligus berperan sebagai pembebas masyarakat dalam proses pembangunan. Functional Map Gambar 1 merupakan pemetaan kebijakan perencanaan sosial dan komunikasi partisipatif dalam pengembangan masyarakat yang dihasilkan dalam konferensi di Bellagio, Italia Servaes 2005. 17 Penggunaan strategi komunikasi, metode, sumber daya untuk fasilitasi usaha masya- rakat mendapat perbaikan individu dan kolektif secara berkelanjutan Fasilitasi dialog partnership dengan dalam komunitas untuk menyusun seperangkat tujuan untuk keberlanjutan perbaikan individu dan kolektif Membangun kapasitas yang berkelanjutan dalam komunikasi untuk pemecahan permasalahan pembangunan saat ini dan di masa mendatang Meletakkan pendekatan partisipatif dalam tindakan Membangun konsensus dengan aktor relevan pada: 1. Situasi komunitas 2. Pengalaman terakhir yang relevan dengan pendekatan partisipatif program pembangunan 3. Prioritasi kebutuhan 4. Penentuan tujuan dan proses yang sesuai Merancang strategi komunikasi Mengimplementasikan rencana Mengkaji hasil dan perubahan pengalaman 1. Identifikasi keterlibatan slrh aktor dlm dialog 2. Identifikasi dan mengelola hambatan untuk pendekatan partisipatif membantu komunitas dalam melakukan tindakan 3. Negosiasi aturan perjanjian, diskursus, dan perbedaan pendapat 1. Fasilitasi analisis situasi masalah komunitas penemuan opsi untuk pemecahannya 2. Fasilitasi persetujuan pada tujuan yang layak 3. Bertugas sebagai sumber informasi, materi, proses engelolaan perdebatan, penyusunan tujuan, dan komunikasi dua tahap 4. Bertugas sebagai broker untuk merancang prioritas, pengelolaan perdebatan, dan penyampaian alternatif pendapatpandangan 1. Fasilitasi pembentukan tim yang sesuai untuk memimpin proses komunikasi 2. Fasilitasi kajian ketersediaan sumber daya komunikasi yang relevan di masyarakat 3. Menetapkan kembali tujuan, komunitas, perma- salahan, serta mendefinisikan tujuan audien 4. Mendefinisikan dan menulis rencana untuk tindakan evaluasi 1. Mengelola proses, memotivasi tim 2. Menggunakan menyesuaikan taktik komunikasi 3. Mendokumentasikan proses dan menghimpun umpan balik masyarakat 1. Melaksanakan penghimpunan data,monitoring proses, dan mereview sasaran akhir dan tujuan 2. Mengevaluasi proyek dan identifikasi keterkaitannya dengan proyek lainnya 3. Bertukar pengalaman KEY PURPOSE KEY FUNCTION BASIC FUNCTION ELEMENTS OF COMP FUNCTIONAL MAP, The Bellagio Meeting Servaes 2005 Gambar 1 Functional Map hasil the Bellagio Meeting untuk Pemetaan Komunikasi Partisipatif dalam Pemberdayaan Masyarakat Peta fungsional komunikasi partisipatif dalam proses pemberdayaan memiliki tujuan kunci untuk menggunakan strategi untuk mengoptimalkan sumber daya dalam proses perbaikan secara individu dan kolektif yang berkelanjutan. Fungsi kunci pemberdayaan yang pertama adalah fasilitasi dialog dengan fungsi dasar meletakkan pendekatan partisipatif dalam setiap tindakan dan membangun konsensus dengan aktor dalam komunitas. Dalam proses ini dilakukan identifikasi aktor yang terlibat, negosiasi, dan fasilitasi analisis situasi masalah dan merancang prioritas program. Fungsi kunci yang kedua adalah membangun kapasitas masyarakat secara berkelanjutan dengan fungsi dasar merancang strategi komunikasi fasilitasi pembentukan tim untuk memimpin proses komunikasi dan menetapkan tujuan, mengimplementasikan rencana, menghimpun umpan balik, menyesuaikan taktik komunikasi, dan mengkaji hasil pelaksanaan pembangunan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi. 18 Chen dan Starosta 1996 mensintesis kontribusi yang berbeda terhadap sebuah model yang bertujuan meningkatkan kemampuan rakyat untuk mengakui, menghormati, mentolerir, dan mengintegrasikan perbedaan budaya. Model yang menyajikan proses transformational dari keadaan saling bergantung secara simetris yang dijelaskan dari tiga perspektif, yaitu: 1. Perspektif afektif melambangkan sensitivitas antarbudaya, promosi melalui konsep diri yang positif, keterbukaan, sikap tidak menghakimi, dan relaksasi sosial. 2. Perspektif kognitif melambangkan kesadaran antarbudaya termasuk kesadaran diri dan pemahaman terhadap budaya sendiri dan budaya orang lain. 3. Perspektif perilaku yang melambangkan kecakapan antarbudaya yang didasarkan atas keahlian penyampaian pesan, pembukaan diri yang sesuai, fleksibilitas perilaku, pengelolaan hubungan, dan keahlian sosial. Ketiga perspektif tersebut membentuk tiga sisi dari sebuah triangle segitiga sama sisi yang berarti: Semua adalah sama pentingnya, dan semua tidak dapat dipisahkan, holistik membentuk sebuah gambar dari komunikasi antar kompetensi Servaes 2005. Beberapa perspektif komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat berdasarkan perspektif perencanaan sosial partisipatif yang perlu diadopsi dan dilanjutkan Servaes 2007 adalah sebagai berikut. 1. Perspektif pertama adalah komunikasi sebagai proses, seringkali dilihat dalam metafora sebagai struktur masyarakat. Komunikasi tidak dibatasi pada media atau pesan, namun pada interaksi dalam sebuah jaringan hubungan sosial. Dalam penyuluhan proses pemberdayaan, penerimaan, evaluasi, dan pemanfaatan pesan media, dari sumber mana saja adalah penting sebagai alat untuk produksi dan transmisi pesan. 2. Perspektif kedua adalah media komunikasi sebagai sebuah sistem yang mixed dari komunikasi massa dan saluran interpersonal, dengan dampak dan penambahan yang saling menguntungkan. Dengan kata lain, media massa seharusnya tidak dilihat secara terpisah terisolasi dari media lainnya. 3. Fokus ketiga adalah berkaitan dengan hubungan antar sektoral dan antar lembaga. Dalam penyelenggaraan komunikasi pembangunan pertanian dan perdesaan melibatkan seluruh sektor lembaga media dan kementerian negara. Keterlibatan seluruh sektor merupakan integrasi dan koordinasi yang dapat menjamin keberlanjutan pembangunan. 19 Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer dan teknologi komunikasi, khususnya internet dapat digunakan untuk menjembatani informasi dan pengetahuan yang tersebar di antara yang menguasai informasi dan yang tidak. Akses terhadap komunikasi digital membantu meningkatkan akses terhadap peluang pendidikan, meningkatkan transparansi dan efisiensi layanan pemerintah, memperbesar partisipasi secara langsung dari ”used-to-be-silent- public ” masyarakat yang tidak mampu berpendapat dalam proses demokrasi, meningkatkan peluang perdagangan dan pemasaran, memperbesar pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan peluang tenaga kerja Servaes 2007. Teknologi informasi dan komunikasi yang sesuai dengan kondisi lokal di negara berkembang adalah sebuah telecenter atau pusat multimedia komunitas yang terdiri atas desktop untuk penerbitan, surat kabar komunitas, penjualan atau penyewaan alat multimedia, peminjaman buku, fotokopi, dan layanan teleponfaks. Apabila memungkinkan dapat pula dilengkapi dengan akses internet dan penggunaan telepon genggam untuk meningkatkan akses dan memfasilitasi petani maupun pelaku pembangunan pertanian lainnya di perdesaan dalam mendukung kegiatan pembangunan pertanian. Teknologi informasi dan komunikasi merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk berbagi informasi, namun seringkali belum dapat memecahkan permasalahan pembangunan karena adanya isu sosial, ekonomi, dan politik. Informasi pun seringkali belum dapat digunakan sebagai pengetahuan karena belum mampu diterjemahkan langsung oleh masyarakat Gerster Zimmann dalam Servaes 2007. Tingkat keberdayaan petani Keberdayaan merupakan hasil dari adanya pemberdayaan terhadap suatu subyek individu, kelompok, atau masyarakat. Menurut Mayouk 2010, keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaannya dalam kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses kesejahteraan, serta kemampuan kultural dan politis Tabel 1. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu kekuasaan di dalam power within, kekuasaan untuk power to, kekuasaan atas power over dan kekuasaan dengan power with. 20 Tabel 1 Indikator Keberdayaan dari Aspek Kemampuan Ekonomi, Kemampuan Mengakses Manfaat Kesejahteraan serta Kemampuan Kultural dan Politis Berdasarkan Jenis Hubungan Kekuasaan Mayouk 2010 Jenis hubungan kekuasaan Kemampuan ekonomi Kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan Kemampuan kultural dan politis Kekuasaan dalam: meningkatkan kesadaran dan keinginan untuk berubah - Evaluasi positif terhadap kontribusi ekonomi dirinya - Keinginan memiliki kesempatan ekonomi yang setara - Keinginan memiliki kesamaan hak terhadap sumber yang ada pada rumah tangga dan masyarakat - Kepercayaan diri dan kebahagiaan - Keinginan memiliki kesejahteraan yang setara - Keinginan membuat keputusan mengenai diri dan orang lain - Keinginan untuk mengontrol jumlah anak - Assertiveness dan otonomi - Keinginan untuk menghadapi subordinassi gender termasuk tradisi budaya, diskriminasi hukum, dan pengucilan politik - Keinginan terlibat dalam proses-proses budaya, hukum, dan politik Kekuasaan untuk: • Meningkatkan kemampuan individu dalam melakukan perubahan • Meningkatkan kesempatan dalam memperoleh akses - Akses terhadap pelayanan keuangan mikro - Akses terhadap pendapatan - Akses terhadap aset-aset produktif dan kepemilikan rumah tangga - Akses terhadap pasar - Penurunan beban dalam pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak - Keterampilan, termasuk kemelekan huruf - Status kesehatan dan gizi - Kesadaran mengenai dan akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi - Ketersediaan pelayanan kesejahteraan publik - Mobilitas dan akses terhadap dunia di luar rumah - Pengetahuan mengenai proses hukum, politik, dan kebudayaan - Kemampuan menghilangkan hambatan formal yang merintangi akses terhadap proses hukum, politik, dan kebudayaan Kekuasaan atas: • Perubahan pada hambatan- hambatan sumber kekuasaan pada tingkat rumah tangga, masyarakat, dan makro • Kekuasaan atau tindakan individu untuk menghadapi hambatan- hambatan tersebut - Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya - Kontrol atas pendapatan aktivitas produktif keluarga yang lainnya. - Kontrol atas aset prodduktif dan kepemilikan keluarga - Kontrol atau alokasi tenaga kerja keluarga - Tindakan individu menghadapi diskriminasi atas akses terhadap sumber dan pasar - Kontrol atas ukuran konsumsi keluarga dan aspek bernilai lainnya dari pembuatan keputusan keluarga - Aksi individu untuk mempertahankan diri dari kekerasan keluarga dan masyarakat - Aksi individu dalam menghadapi dan mengubah persepsi budaya terhadap kapasitas dan hak wanita padda tingkat keluarga dan masyarakat - Keterlibatan individu dan pengambilan peran dalam proses budaya, hukum, dan politik Kekuasaan untuk: Meningkatkan solidaritas atau tindakan bersama dengan orang lain untuk menghadapi hambatan-hambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat rumah tangga, masyarakat, dan makro - Bertindak sebagai panutan bagi orang lain terutama dalam pekerjaan tradisional dan non tradisional - Pemberian upah kerja bagi perempuan lain dengan upah yang baik - Bekerja sama dalam menentang diskriminasi perempuan terhadap sumber daya dalam konteks ekonomi makro - Penghargaan yang lebih tinggi dan meningkatkan pengeluaran untuk anak-anak gadis dan perempuan anggota keluarga lainnya - Bekerja bersama untuk meningkatkan kesejahteraan publik - Peningkatan jaringan untuk memperoleh dukungan pada saat krisis - Tindakan bersama untuk membela orang lain menghadapi perlakuan salah dalam keluarga dan masyarakat - Partisipasi dalam mendukung gerakan-gerakan menghadapi subordinasi yang bersifat kultural, politik, hukum pada tingkat masyarakat dan makro. Berbeda dengan Mayouk yang menekankan pada aspek kekuasaan, Schuler et al. 1996 lebih menekankan aspek keberdayaan pada tingkat mobilitas, kebebasan dalam pengambilan keputusan, dan peluang untuk ikut dalam kegiatan politik. Indikator-indikator yang dikembangkan Schuler et al. adalah: 21 1. Kebebasan melakukan mobilitas, yaitu kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian. 2. Kemampuan membeli komoditas kecil, yaitu kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari. 3. Kemampuan membeli komoditas besar, yaitu kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier. 4. Kemampuan dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah tangga, mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suamiistri mengenai keputusan-keputusan keluarga. 5. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga, yaitu ada tidaknya keterlibatan pihak lain dalam mengatur hak-hak pribadi atau rumah tangga. 6. Kesadaran hukum dan politik, yaitu kesadaran terhadap aspek hukum dan politik yang ada di lingkungan terdekatnya. 7. Keterlibatan dalam kampanye dan protes, yaitu seseorang dianggap ‘berdaya’ apabila pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes. 8. Kepemilikan atas jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga. Menurut Agussabti 2002 yang mengkaji kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi kasus pada petani sayuran di Jawa Barat ditemukan bahwa terdapat tiga faktor penting yang secara positif mempengaruhi kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi, yaitu 1 tingkat kesadaran petani terhadap kebutuhannya, 2 karakteristik individu petani yang meliputi: motivasi berprestasi, persepsi terhadap inovasi, keberanian mengambil resiko, serta kreativitas, dan 3 akses petani terhadap informasi. Komunikasi Inovasi Pertanian Inovasi adalah gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang Rogers 2003. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subyektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang, maka ide tersebut adalah inovasi untuk orang tersebut. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. Secara umum, dalam konsep teori difusi inovasi, terdapat lima karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi tingkat adopsi seseorang secara individu, yaitu: 1 Relative advantage keuntungan relatif, 2 Compatibility kesesuaian, 3 Complexity 22 kerumitan, 4 Trialability kemungkinan dicoba, dan 5 Observability kemungkinan diamati. Relative advantage adalah derajat dimana inovasi dirasakan lebih baik dari pada ide lain yang menggantikannya. Derajat keuntungan tersebut dapat diukur secara ekonomis, tetapi faktor prestise sosial, kenyamanan dan kepuasan juga merupakan faktor penting. Semakin besar keuntungan relatif inovasi yang dapat dirasakan, tingkat adopsi inovasi juga akan menjadi lebih cepat. Compatibility adalah derajat dimana inovasi dirasakan sebagai sesuatu yang biasa dilakukan atau konsisten dengan nilai–nilai yang berlaku, pengalaman- pengalaman terakhir dan kebutuhan adopter pengadopsi. Ide yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma sistem sosial tidak akan diadopsi secara cepat sebagaimana inovasi yang sesuai. Complexity adalah derajat kerumitan inovasi untuk dipahami dan digunakan. Ide-ide baru yang lebih sederhana untuk dipahami akan lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang mengharuskan adopter mengembangkan keahlian dan pemahaman baru. Trialability adalah derajat kemudahan inovasi untuk dicoba pada keadaan sumber daya yang terbatas. Ide-ide baru yang dapat dicoba pada sebagaian tahapan penanaman secara umum akan lebih mudah dan cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat diuji cobakan dalam skala yang lebih kecil. Observability adalah derajat kemudahan inovasi untuk dilihat dan disaksikan hasilnya oleh orang lain. Kemudahan dalam melihat hasil inovasi oleh seseorang akan memudahkannya dalam mengadopsi inovasi. Inovasi pertanian adalah segala sesuatu yang dihasilkan melalui kegiatan penelitian dan pengkajian pertanian untuk membantu pengembangan pertanian secara umum. Secara umum, teknologi inovasi pertanian dapat berupa produk varietas benih, pengetahuan knowledge, maupun alat dan mesin pertanian Gambar 2. Ketiga jenis teknologi pertanian ini memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga membutuhkan penanganan strategi penyampaiannya kepada petani dengan tahapan dan teknik yang berbeda pula IRRI 1998. 23 Gambar 2 Jenis Inovasi Pertanian dan Tahapan Komunikasi Inovasi IRRI 1998 Inovasi pertanian berupa produk seperti varietas unggul baru memerlukan tahapan uji coba di lapangan, sehingga calon pengguna mampu menilai secara nyata keunggulan inovasi yang akan diintroduksikan. Selain itu, diperlukan kerja sama dengan mitra perusahaan produsen benih danatau penangkar benih agar varietas unggul baru tersebut dapat diproduksi secara massal dan diadopsi oleh pengguna secara luas. Lamanya waktu yang dibutuhkan petani dalam proses adopsi antara lain dipengaruhi oleh jenis inovasi yang diintroduksi. Untuk jenis inovasi berupa alat dan medin pertanian alsintan, model penyebarannya yang perlu dikembangkan cukup sederhana, yaitu alsintan yang akan diintroduksikan dibuat prototipenya. Selanjutnya, dilakukan pengujian testing dan evaluasi, termasuk pengujian pengoperasian alsintan di tingkat lapangan. Untuk pemanfaatan Alsintan tersebut, maka diperlukan mitra kerjasama dengan produsen alsintan di tingkat lokalnasional agar dapat diproduksi secara massal dan diadopsi oleh pengguna secara luas. Selain itu, diperlukan pengembangan usaha jasa purna jual alsintan sehingga dapat dipelihara kesinambungan adopsi dari alsintan tersebut. Introduksi untuk jenis inovasi berupa pengetahuan teknologi produksi, prosedurcara, sistem pemasaran, model kelembagaan, analisis kebijakan perlu dilakukan tahapan yang lebih panjang dan kompleks, karena inovasi yang 24 dihasilkan dari lembaga penelitian biasanya masih sangat ilmiah. Model penyebaran untuk jenis inovasi ini dinilai lebih kompleks dibandingkan dengan dua model penyebaran untuk jenis inovasi yang berupa produk dan alsintan. Setelah melalui tahapan sintesis, masih perlu dilakukan tahap penyederhanaan dan evaluasi, dimana pengguna diikutsertakan dalam proses evaluasi. Untuk mempercepat adopsi inovasi oleh petani dilakukan dengan menggunakan berbagai metode dan media komunikasi yang sesuai dengan latar belakang calon penggunanya. Sistem sosial memiliki pengaruh yang cukup penting dalam difusi ide-ide baru. Inovasi dapat diadopsi adopted atau ditolak rejected oleh seseorang sebagai anggota dari sebuah sistem atau keseluruhan sistem sosial, dimana keputusan adopsi ditentukan oleh keputusan bersama atau oleh kekuasaan. Dari dua hal tersebut, Rogers 2003 membagi keputusan inovasi menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Optional innovation-decisions. Pilihan untuk mengadopsi atau menolak sebuah inovasi yang dilakukan oleh seseorang secara bebas terhadap keputusan anggota lainnya dalam sebuah sistem sosial. Dalam kasus ini, keputusan individu kemungkinan dipengaruhi oleh norma dan jaringan komunikasi antar individu. 2. Collective innovation-decisions . Pilihan untuk mengadopsi atau menolak sebuah inovasi yang dilakukan oleh konsensus antara anggota sebuah sistem sosial. Seluruh unit dalam sistem sosial biasanya harus mengkonfirmasi terhadap keputusan yang dibuat oleh sistem sosial tersebut. 3. Authority innovation-decisions. Pilihan untuk mengadopsi atau menolak sebuah inovasisi yang dilakukan oleh beberapa orang yang relatif sedikit dari sebuah sistem yang memiliki kekuasaan, status status atau keahlihan teknik. Proses keputusan inovasi adalah proses yang dilakukan oleh seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya mulai dari pencarian informasi awal dari sebuah inovasi, penentuan sikap terhadap inovasi, pembuatan keputusan untuk mengadopsi atau menolak, penerapan ide baru, dan konfirmasi terhadap keputusan yang sudah diambil. Rogers 2003 menggambarkan bahwa proses keputusan inovasi terjadi dalam lima tahapan Gambar 3. 25 Kondisi Awal: 2. Kegiatan sebelumnya 3. Kebutuhan yang dirasakanmasalah 5 4. Kebaharuan ide innovativeness . Norma sistem sosial Saluran-Saluran Komunikasi 4. Mengadopsi 3. Menolak Melanjutkan adopsi Mengadopsi kemudian Tidak melanjutkan Karakteristik Pengambil Keputusan: • Karakteristik sosial ekonomi • Variabel individu • Perilaku komunikasi Persepsi mengenai karakteristik inovasi : • Relative advantage • Compatibility • Complexity • Trialability Melanjutkanmenolak Gambar 3 Tahapan Proses Keputusan Inovasi Rogers 2003 Kelima tahapan proses keputusan inovasi memiliki ciri yang khusus. Tahap pertama, pengetahuan knowledge terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya diterpa informasi mengenai keberadaan sebuah inovasi dan memperoleh pemahaman mengenai bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Tahap kedua, bujukan persuation terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya merasakan kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap inovasi. Tahap ketiga, keputusan decisions terjadi pada saaat seseorang atau pengambil keputusan lainnya melakukan kegiatan yang mengarah pada sebuah pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Tahap keempat, penggunaan implementation terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya menentukan untuk menggunakan ide baru tersebut. Sedangkan tahap yang kelima, konfirmasi confirmation terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan mencari penegasan kembali terhadap keputusan inovasi yang telah dibuat yang kemungkinannya dapat mengubah keputusan yang telah dibuat jika diterpa informasi yang berlawanan terhadap inovasi. Hasil review teori difusi inovasi yang dilakukan Straub 2009 mengatakan bahwa dalam proses introduksi teknologi, teori difusi inovasi secara khusus dapat mempengaruhinya dalam tiga proses. Pertama, mengingat adopsi merupakan hal yang kompleks, maka proses pembangunan sosial merupakan hal yang pertama 26 harus dilakukan. Kedua, setiap individu memiliki persepsi yang berbeda-beda berkaitan dengan teknologi yang dapat mempengaruhi proses adopsi. Ketiga, keberhasilan pelaksanaan adopsi teknologi harus memperhatikan dengan serius berbagai hal yang berkaitan dengan aspek kognitif, emosi, dan konteks. Media Komunikasi Inovasi Pertanian Media secara harfiah sering diartikan sebagai perantara atau pengantar. Media juga sering diartikan sebagai sarana komunikasi untuk mengantarkan pesan. Media komunikasi adalah semua sarana yang dipergunakan untuk memproduksi, mereproduksi mendistribusikan atau menyebarkan dan menyampaikan informasi Suranto 2005. Berdasarkan fungsinya, media komunikasi pada dasarnya dibagi menjadi tiga, yaitu fungsi produksi, reproduksi, dan penyampaian informasi. Fungsi produksi ialah media komunikasi yang berguna untuk menghasilkan informasi, misalnya komputer dan pengolah kata word processor . Fungsi reproduksi ialah media komunikasi yang kegunaannya untuk memproduksi ulang dan menggandakan informasi, misalnya audio tapes recorder dan videotapes. Fungsi penyampaian informasi, ialah media komunikasi dipergunakan untuk menyebarluaskan dan menyampaikan pesan. Sedangkan berdasarkan bentuknya, media komunikasi dibagi menjadi media cetak, media visual atau media pandang, media audio, dan media audio-visual. Media audio- visual ialah media komunikasi yang dapat dilihat sekaligus dapat didengar. Mc Luhan 2001 membagi media ke dalam tiga kategori, yaitu presentation media, representation media, dan electronic media. Presentation media adalah bentuk komunikasi yang sifatnya face to face seperti: pidato, ceramah, atau bentuk-bentuk komunikasi dengan lebih dari dua orang tetapi masih face to face. Representation media adalah media yang pesannya diwujudkan dalam bentuk simbol yang dicetak, disampaikan melalui jarak jauh dan menggunakan teknologi untuk mereproduksi pesan-pesannya, misalnya surat kabar dan majalah., Electronic media atau mechanical media adalah media yang penggunaannya hampir sama dengan representation media namun ada proses encoding dan decoding pesan pada saat penerimaan dan pengiriman pesan, misalnya: radio, telepon, dan televisi. 27 Lembaga komunikasi lokal Yoon 2009 menyatakan bahwa dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan yang partisipatif-horisontal dimunculkanlah kembali revitalisasi konsep komunikasi antarpribadi interpersonal communication, media rakyat folk media, komunikasi kelompok group communication dan model komunikasi dua tahap two-step flow communication. Selain itu, oleh karena ikatan kultural di banyak daerah, terutama apabila diimplementasikan pada masyarakat Indonesia masih mengakui kharisma agen perubahan atau opinion leader pemuka pendapat dalam masyarakat seperti kyai, guru, kadus, dan pemuka adat sebagai aktor penting dalam proses komunikasi masyarakat. Akan tetapi, pentingnya peranan opinion leader tidak dapat diartikan sebagai penguasa baru melainkan hanyalah sosok panutan yang menjadi jembatan perantara diadakannya perubahan pola komunikasi lama yang vertikal dan tergantung media menuju pola komunikasi yang horisontal yang sepenuhnya mengandalkan demokratisasi dan partisipasi rakyat. Paradigma komunikasi partisipatif-horisontal memberikan peluang atau mengundang kepada semua masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam proses komunikasi sampai dengan pengambilan keputusan. Komunikasi pendukung pembangunan dilaksanakan dalam model komunikasi horisontal, sehingga interaksi komunikasi dilakukan secara lebih demokratis. Dalam proses komunikasi, tidak hanya ada sumber atau penerima saja. Sumber juga penerima, penerima juga sumber dalam kedudukan yang sama dan dalam level yang sederajat. Karena itu kegiatan komunikasi bukan kegiatan memberi dan menerima melainkan berbagi atau berdialog. Isi komunikasi bukan lagi pesan yang dirancang oleh sumber dari atas, melainkan fakta, kejadian, masalah, kebutuhan yang dikodifikasikan menjadi tema. Tema inilah yang disoroti, dibicarakan, dan dianalisis. Semua suara didengar dan diperhatikan untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, yang terlibat dalam model komunikasi ini bukan lagi sumber dan penerima melainkan “partisipan yang satu dengan yang lain sehingga sifatnya interaktif Wibowo 1994. 28 Beberapa media komunikasi lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan komunikasi partisipatif dalam penelitian ini di antaranya adalah kelompok keagamaan, kelompok arisan, karang taruna, kelompok pengguna air, dan kelompok kesenian. Kelembagaan komunikasi lokal ini merupakan kelembagaan potensial yang sudah biasa dimanfaatkan oleh masyarakat dalam berbagi informasipengetahuan selain sebagai sarana menjalin hubungan sosial. Media komunikasi terprogram Media terprogram atau media belajar terprogram merupakan wahana yang dirancang khusus by design untuk pembelajaran Anwas 2009. Dalam penelitian ini, media komunikasi terprogram yang dimaksud adalah pendidikan formal dan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti oleh petani. Pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang dan terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Individu yang mengikuti pendidikan formal berarti ingin mengembangkan diri dalam meningkatkan kemampuannya. Selain pendidikan formal, media terprogram juga dapat berupa pelatihan, kursus-kursus, kunjungan lapangan, studi banding, temu lapang, maupun pertemuan-pertemuan. Bagi petani, pertemuan rutin antar petani dalam suatu kelompok tani atau antara petani dengan penyuluh merupakan media terprogram yang cukup efektif. Melalui pertemuan yang biasanya diselenggarakan secara rutin dapat dimanfaatkan sebagai wahana untuk berbagi pengetahuan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mempengaruhi sistem pelatihan. Menurut Rosenberg 2001, teknologi akan memberikan implikasi terhadap perubahan pelatihan yang tradisional, yaitu 1 menekankan bukan pada proses tetapi pada output pelatihan yang memberikan efek positif bagi kinerja, 2 belajar dapat dilakukan di mana saja, kapan saja dengan kebutuhan dan kecepatan belajar yang fleksibel, 3 dari kertas ke online, 4 dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan, dan 5 materi pelatihan akan berganti cepat sesuai dengan kebutuhan sasaran yang nyata real dalam kehidupannya. 29 Media massa Media massa adalah suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melewati media cetak atau elektronik, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Pengertian dapat di sini menekankan pada pengertian bahwa jumlah sebenarnya penerima pesan informasi melalui media massa pada saat tertentu tidaklah esensial. Aspek penting yang menjadi bahan kajian teori media massa sebagaimana disampaikan oleh Tan adalah The communicator is a social organization capable or reproducing the message and sending it simultaneously to large number of people who are spatially separated Tan 1981. Bentuk media massa, secara garis besar, ada dua jenis, yaitu media massa tradisional konvensional dan media massa modern dengan aplikasi teknologi informasi yang bersifat konvergen dan dapat interaktif. Media massa tradisional adalah media massa dengan otoritas dan memiliki organisasi yang jelas dengan ciri-ciri sebagai berikut 1. Informasi dari lingkungan diseleksi, diterjemahkan dan didistribusikan. 2. Media massa menjadi perantara dan mengirim informasinya melalui saluran tertentu. 3. Penerima pesan tidak pasif dan merupakan bagian dari masyarakat dan menyeleksi informasi yang mereka terima. 4. Interaksi antara sumber berita dan penerima sedikit. Beberapa media massa yang termasuk dalam kategori media massa konvensional meliputi 1 media cetak yang terdiri atas: surat kabar, majalah, dan 2 media elektronis yang terdiri atas radio, televisi, dan film layar lebar. Koran merupakan media massa cetak yang berkembang seiring kemajuan jaman. Koran lebih mengutamakan pemberitaan yang bersifat lebih mendalam disertai dengan investigasi yang lebih akurat. Adanya pergeseran perubahan media massa ini menurut Cole Severin dan Tankard 2001 menyebabkan perbedaan antar media menjadi samar, koran-koran menjadi lebih mirip dengan majalah-majalah dan penyiaran. Majalah cenderung lebih memfokuskan pada pemuasan audien sehingga muncul majalah dengan sasaran yang lebih spesifik, misalnya: remaja, wanita, pendidikan, dan pertanian Sinar Tani, Trubus, Trobos. 30 Radio merupakan media yang banyak dimanfaatkan masyarakat, khususnya petani untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkannya. Sejumlah kekuatan radio menurut Astuti 2008 antara lain: 1 Dapat mendidik khalayak yang spesifik karena radio memiliki kemampuan untuk memfokuskan pada kelompok demografis yang dikehendaki. Radio juga lebih fleksibel untuk mengubah atau mempertajam segmen audien yang dituju dibandingkan dengan media komunikasi massa lainnya. 2 Radio bersifat mobile dan portable. Radio mudah dibawa ke mana-mana dan sumber energinya kecil sehingga mudah terjangkau karena harganya relatif murah. Radio dapat menyatu dengan fungsi alat penunjang kehidupan lainnya senter, mobil, telepon genggam. 3 Radio bersifat intrusif dan memiliki daya tembus yang tinggi. Radio dapat menembus ruang-ruang di mana media lain tidak dapat masuk. 4 Radio bersifat fleksibel karena dapat menciptakan program, mengirim pesan, dan membuat perubahan dengan cepat dan mudah. 5 Radio bersifat sederhana karena mudah dalam mengoperasikan, mengelola, dan isinya juga sederhana. Televisi dapat menyampaikan pesan audio visual dan unsur gerak. Dengan karakteristik tersebut, media ini dapat berfungsi sebagai media informasi, media hiburan, dan media penddikan. Dalam bidang pertanian, RRC misalnya, melalui Central Agricultural Broadcasting and Television School CABTS di bawah departemen pemberdayaan petani China mengembangkan dan menyiarkan program pendidikan yang target utamanya adalah petani perdesaan di seluruh China Pustekkom 2006. Di Indonesia, siaran televisi dengan substansi pertanian melalui media televisi juga pernah ditayangkan, di antaranya adalah dari desa ke desa pada tahun 1980-an, kuis asah terampil untuk para kelompok tani, dan Saung tani yang disiarkan di TVRI pada tahun 2007 dan pada tahun terakhir 2011 melalui program pelangi desa. Film melalui layar lebar layar tancap merupakan media yang banyak digunakan untuk komunikasi massa pada masa pemerintahan orde baru. Media massa barumodern merupakan media massa yang telah menggunakan aplikasi teknologi informasi multimedia, di antaranya adalah komputer, telepon genggam, dan jaringan internet. Media massa yang lebih modern ini memiliki ciri-ciri: 31 1. Sumber dapat mentransmisikan pesannya kepada banyak penerima melalui SMS atau internet misalnya. 2. Isi pesan tidak hanya disediakan oleh lembaga atau organisasi namun juga oleh individual. 3. Tidak ada perantara, interaksi terjadi pada masing-masng individu individu 4. Komunikasi mengalir berlangsung ke dalam. 5. Penerima yang menentukan waktu interaksi. Media massa menurut teori agenda-setting dari McCombs et al. 1997 memiliki pengaruh dan penekanan informasi tertentu terhaap masyarakat. Teori ini diimbangi oleh teori Uses and Gratifications dari Katz Severin dan Tankard 2001, bahwa pengguna uses media atau khalayak adalah aktif dan selektif dalam menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Dalam konteks pembangunan, media massa memiliki peran penting. Media massa tidak hanya berperan dalam menimbulkan dan memberikan informasi, tetapi lebih lanjut dapat mengarahkan untuk tujuan penyuluhan dan pembangunan Oepen 1988. Dalam perkembangannya, dengan berkembangnya teknologi informasi, terutama munculnya internet, media massa memiliki fungsi interaktif dan bersifat konvergen, termasuk dalam melakukan transaksi bisnis. Kredibilitas teknologi informasi dan komunikasi sebagai media komunikasi inovasi Kredibilitas adalah alasan yang masuk akal untuk dapat mempercayai sesuatu. Seseorang yang memiliki kredibilitas berarti dapat dipercayai, dalam arti kita dapat memercayai karakter dan kemampuannya Murrow 2009. Untuk dapat menilai kredibilitas sebuah informasi dan komunikasi terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi sebagai media komunikasi inovasi, dapat dilihat dari empat perspektif, yaitu: kredibilitas sumber, kredibilitas pesan, kredibilitas media, dan pertimbangan khalayak. Schiffman dan Kanuk 2007 menyatakan bahwa kredibilitas sumber ada dua yaitu kredibilitas sumber informal dan kredibilitas sumber formal. Sumber informal atau sumber-sumber editorial dianggap sangat obyektif dan sangat kredibel. Kredibilitas yang meningkat yang diberikan oleh sumber informal tidak selamanya dapat dijamin sepenuhnya, walaupun ada aura obyektivitas yang 32 dirasakan. Kredibilitas sumber mempengaruhi perumusan pesan. Stephens dan Saetre 2008 menyatakan bahwa ketika seseorang memiliki pengetahuan tentang sumber pesan, mereka menggunakan kombinasi dari faktor psikologi dan lingkungan untuk memastikan kepercayaannya pada sumber pesan. Dalam suatu studi, pada tahun 1999, McCroskey and Teven menemukan bahwa “goodwill” memiliki tiga unsur yang berbeda, yaitu pemahaman, empati, dan responsiveness. Ketika orang berkomunikasi secara asynchronous menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti email, pesan suara voicemail, text messaging TM, dan short message service SMS maka responsiveness menjadi penting. Kredibilitas pesan terkait dengan tiga aspek, yaitu konten pesan, struktur pesan, dan pengiriman pesan. Konten menekankan perhatian pada isu seperti apa topik yang dibahas atau jenis pesan yang disampaikan apakah berupa berita, politik, hiburan, atau bersifat interpersonal. Struktur pesan memberikan penekanan pada kejelasan clarity dari organisasi yang menyampaikan pesan. Sedangkan pengiriman pesan menekankan pada bagaimana sumber pesan menyajikan pesan. Hal ini mencakup pula hal-hal seperti ucapan, penilaian, dan pemilihan kata yang digunakan dalam pengiriman pesan Saetre dan Stephens 2008. Westley dan Severin merupakan orang pertama yang melakukan analisis menyeluruh terhadap kredibilitas saluran dari berbagai ragam media dan mengemukakan bahwa variabel demografis tertentu seperti usia, pendidikan, dan jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap persepsi orang mengenai kredibilitas saluran. Selain faktor demografis, mereka juga membedakan antara kredibilitas media dan preferensi terhadap media. Dengan kata lain, orang tidak selalu merasa media yang mereka sukai sebagai yang paling kredibel. Kredibilitas media dapat diukur dengan berbagai cara bergantung pada kombinasi pertanyaan yang digunakan Kiousis 2001. Shin and Cameron 2003 melakukan studi bagaimana jurnalis dan pratisi public relation di Amerika dan Korea merasakan kredibilitas dari 20 jenis teknologi informasi dan komunikasi yang berbeda. Dari hasil studi ini diketahui bahwa perbedaan budaya dan profesionalisme mempengaruhi persepsinya terhadap teknologi informasi dan komunikasi. 33 Khalayak atau audiens merupakan populasi dalam jumlah yang besar yang kemudian dapat dipersatukan keberadaannya melalui media massa Junaedi et al. 2007. Khalayak melakukan penilaian terhadap kredibilitas informasi secara keseluruhan, yakni meliputi kredibilitas sumber, pesan, maupun media. Faktor audien umumnya sangat relevan untuk penggunaan teknologi informasi dan komunikassi Saetre dan Stephens 2008. Cyber Extension sebagai Media Komunikasi Inovasi Pertanian Cyber extension adalah mekanisme pertukaran informasi pertanian melalui area cyber, suatu ruang imajiner - maya di balik interkoneksi jaringan komputer melalui peralatan komunikasi. Cyber Extension ini juga memanfaatkan kekuatan jaringan, komunikasi komputer dan multimedia interaktif untuk memfasilitasi mekanisme berbagi informasi atau pengetahuan. Pengertian ini sebagaimana disampaikan oleh Wijekoon et al. 2009 “Cyber extension is an agricultural information exchange mechanism over cyber space, the imaginary space behind the interconnected computer networks through telecommunication means. It utilizes the power of networks, computer communications and interactive multimedia to facilitate information sharing mechanism ”. Kelemahan keterkaitan antara penyuluhan, penelitian, jaringan pemasaran serta keterbatasan efektivitas penelitian dan penyuluhan bagi petani memberikan kontribusi lambatnya pembangunan pertanian. Dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, mekanisme cyber extension sudah mulai diterapkan di banyak negara dalam tahun-tahun ini sebagai suatu mekanisme penyaluran informasi yang dapat diupayakan untuk memenuhi kebutuhan petani di perdesaan terhadap informasi untuk mendukung kegiatan usahataninya. Cyber extension memfokuskan pada keseluruhan pengembangan usahatani termasuk produksi, manajemen, pemasaran, dan kegiatan pembangunan perdesaan lainnya. Sebuah sistem komunikasi inovasi pertanian melalui pemanfaatan cyber extension memberikan dukungan pada keseluruhan pengembangan usahatani termasuk produksi, manajemen, pemasaran, dan kegiatan pembangunan perdesaan lainnya. Model komunikasi inovasi melalui pemanfaatan cyber extension adalah menghimpun atau memusatkan informasi yang diterima oleh petani dari 34 berbagai sumber yang berbeda maupun yang sama dan disederhanakan dalam bahasa lokal disertai dengan teks dan ilustrasi audio visual yang dapat disajikan atau diperlihatkan kepada seluruh masyarakat desa khususnya petani semacam papan pengumuman bulletin board pada kios atau pusat informasi pertanian. Dalam model komunikasi cyber extension, transmisi informasi dari sumber ke pusat informasi komunitas akan menjadi milik umum, sedangkan dari pusat informasi komunitas ke petani, informasi tersedia di wilayah pribadi milik pribadi. Keuntungan yang potensial dari komunikasi cyber extension adalah ketersediaan yang secara terus menerus, kekayaan informasi informasi nyaris tanpa batas, jangkauan wilayah internasional secara instan, pendekatan yang berorientasi kepada penerima, bersifat pribadi individual, dan menghemat biaya, waktu, dan tenaga Adekoya 2007. Cyber extension merupakan salah satu saluran komunikasi yang mensinergikan aplikasi teknologi informasi dengan beragam sistem komunikasi. Cyber extension juga merupakan tipe khusus dari suatu inovasi. Istilah saluran merupakan sebuah terminologi yang penting untuk pembelajaran inovasi karena memiliki beragam aplikasi yang sangat luas, namun memiliki makna yang sangat spesifik Browning et al. 2008. Sejak sepuluh tahun terakhir, dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, Indonesia sudah mulai mengintegrasikan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pembangunan dan pengembangan masyarakat, bahkan sudah pula beberapa program dilaksanakan khusus untuk mendukung kegiatan pertanian, yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai rintisan cyber extension. Beberapa program tersebut di antaranya adalah: Community Training and Learning Centre CTLC Program Unlimited Potential UP, Proyek Partnerships for e-Prosperity for the Poor Pe-PP, dan Pengembangan Sumber Informasi Pertanian Nasional dan Lokal – P4MI. Program Unlimited Potential UP merupakan sebuah inisiatif global Microsoft yang diimplementasikan di seluruh dunia sejak tahun 2003. Dalam program ini, Microsoft bekerja sama dengan berbagai lembaga non-profit menyediakan sarana pelatihan dan pembelajaran jangka panjang bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan, melalui CTLC. Tujuan utama program Unlimited 35 Potential adalah untuk mengurangi kesenjangan digital bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan. Hal ini sejalan dengan target pemerintah melalui kesepakatan yang ditandatangani pada World Summit on Information Society WSIS di Geneva untuk memberikan akses kepada 50 persen penduduk Indonesia pada tahun 2015. Program UP di Indonesia pertama kali diluncurkan di Indonesia tanggal 23 Oktober 2003. Hingga saat ini, Microsoft Indonesia telah bekerjasama dengan 7 lembaga non-profit yaitu: Koalisi Perempuan Indonesia KPI, Forum Daerah, Yayasan Mitra Mandiri, Yayasan Mitra Netra, dan LPPM Institut Pertanian Bogor IPB dan Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan. Tujuh lembaga tersebut berperan sebagai koordinator untuk mengelola 33 CTLC di seluruh Indonesia. Keberhasilan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi oleh petani di Indonesia dalam memajukan usaha taninya ditunjukkan oleh beberapa kelompok tani yang telah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi hasil produksinya dengan menggunakan fasilitas yang disediakan CTLC di Pancasari Bali dan Pabelan Salatiga yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan lembaga nonprofit di bawah Program Unlimited Potential. Misalnya, petani mengenal teknologi budidaya paprika dalam rumah kaca melalui internet. Sejak mengirimkan profil produksi di internet, permintaan terhadap produk pertanian yang diusahakan terus berdatangan. Promosi melalui internet dapat memutus hubungan petani dengan tengkulak yang sering memberikan harga jauh di bawah harga pasar Sigit et al. 2006. Partnerships for e-Prosperity for the Poor Proyek Percontohan untuk Mengurangi kemiskinan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang dilaksanakan oleh Bappenas dengan dana hibah dari UNDP menitikberatkan pendekatannya kepada pembangunan masyarakat informasi yang bersifat bottom-up, yaitu berakar pada kebutuhan masyarakat demand driven. Selain mendirikan telecenter sebagai sarana akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi bersama untuk masyarakat desa, Pe-PP juga melakukan pendampingan intensif selama satu tahun kepada kelompok-kelompok masyarakat desa agar mereka dapat membangun kultur informasi dan komunikasi serta 36 menjadi kelompok-kelompok belajar mandiri yang terus menerus meningkatkan kapasitas dirinya. Sampai tahun 2006, di bawah program Pe-PP telah berdiri beberapa telecenter , di antaranya adalah di Desa Pabelan, Magelang, Jawa Tengah Mei 2004; di Desa Muneng, Madiun, Jawa Timur Mei 2005; di Desa Kertosari, Lumajang, Jawa Timur Mei 2005; di Lapulu, Sulawesi Tenggara Maret 2006; di Desa Tuladenggi, Gorontalo April 2006; di Desa Salubomba, Sulawesi Tengah Juni 2006; dan di Kabupaten Fak Fak, Papua Januari 2008. Khusus untuk Telecenter di Jawa Timur, satu lokasi merupakan replikasi dari model Pe- PP yang dibiayai sepenuhnya oleh APBD, Jatim. Poor Farmers’ Income Improvement through Innovation Project PFI3P atau Program Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi P4MI merupakan sebuah program Departemen Pertanian dengan dana dari Loan ADB yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Pertanian untuk meningkatkan kesejahteraanpendapatan petani di lahan marjinal melalui inovasi pertanian mulai dari tahap produksi sampai pemasaran hasil. Melalui kegiatan ini telah dilaksanakan program pengembangan sumber informasi pertanian nasional dan lokal dengan mengembangkan website informasi pertanian di tingkat nasional, membangun pusat informasi pertanian lokal di tingkat kabupaten, dan menyediakan informasi pasar dan informasi teknologi pertanian dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi. Pusat informasi pertanian lokal atau Unit Pelayanan Informasi Pertanian Kabupaten UPIPK berfungsi sebagai one stop shop untuk pertukaran informasi di mana kontak tani dapat memperoleh informasi yang berguna dan sesuai dengan inovasi produksi dan pemasaran. Selain UPIPK, dikembangkan pula Unit Pelayanan Informasi Pertanian tingkat Desa UPIPD atau telecenter P4MI. Dengan mengadopsi konsep telecenter, UPIPD berfungsi sebagai sarana publik di perdesaan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi untuk melayani akses informasi dan promosi produk yang dihasilkan petani setempat. Layanan informasi UPIPD tidak hanya berupa informasi pertanian saja, namun juga berbagai informasi lain yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan semakin dekatnya sumber informasi, masyarakat dapat mengetahui dan 37 memperoleh informasi langsung dari sumbernya, mengolahnya, dan kemudian memanfaatkan informasi tersebut sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya. Dengan demikian, masyarakat memiliki peluang yang lebih besar dan berkembang menjadi masyarakat yang berbudaya informasi dan berpengetahuan knowledge based society. Selanjutnya dengan informasi dan pengetahuan yang dimilikinya, masyarakat dapat memperkaya inovasi pertanian yang dimilikinya untuk mendukung usaha agribisnis. Pemanfaatan Cyber Extension dalam Komunikasi Inovasi Pertanian Mulai akhir abad 20, akses informasi pasar di negara Cina sudah dilakukan melalui Personal Computer PCs desktop. Pada saat ini, selain pengusaha besar, petani sudah mulai akses informasi pasar melalui telepon seluler mobile phones dengan biaya yang relatif lebih murah. Website khusus untuk produk pertanian telah dioperasionalkan dengan menyediakan direktori berbagai produk, papan penawaran produk, layanan untuk perdagangan, pusat informasi produk pertanian, dan virtual office sehingga proses perdagangan global yang melibatkan pedagang dan perusahaan besar dalam dan luar negeri untuk produk dari Cina dapat berkembang dengan pesat BBC News 2004a. Kenya Agricultural Commodities Exchange KACE dibangun oleh perusahaan swasta sejak tahun 1997 untuk mengembangkan Sistem Informasi Pasar SIP melalui aplikasi teknologi informasi dan komunikasi yang dirancang untuk membantu petani, khususnya untuk mengakses informasi pasar dan harga komoditas pertanian yang dihasilkan petani miskin di daerah perdesaan atau daerah terpencil di Kenya. Komponen dari SIP KACE adalah: 1 Market information Points MIPs; 2 Market Information Centres MICs; 3 Short Messaging Service SMS; 4 Interactive Voice Respons IVR Service; 5 Regional Commodity Trade and Information System RECOTIS; dan 6 Web Site BBC News 2004a. India memiliki banyak proyek pengembangan infrastruktur teknologi untuk akses informasi bagi masyarakat di perdesaan dan di perkotaan baik yang bersifat top-down maupun yang bottom up. Wireless pony express of Daknet menggunakan ribuan bis yang dilengkapi dengan Wi-Fi transceivers untuk 38 memperoleh dan mengirimkan informasi melalui e-mail dengan sistem tanpa kabel dari kios desa. Teknologi wireless yang dikembangkan oleh organisasi Information and Communication Technology for Billions ICT4B telah mendorong petani di India langsung mengakses informasi untuk mengetahui peluang dalam mengusahakan komoditas yang memiliki harga yang lebih baik dan menguntungkan seperti komoditas buah-buahan dan hortikultura dibandingkan dengan hanya mengusahakan gandum dan padi. Nabanna, merupakan salah satu proyek yang diimplementasikan dengan menyiapkan akses melalui teknologi informasi dan pelatihan bagi wanita di perdesaan di Bengal Barat. Peoplelink dan CatGen membantu pekerja di perdesaan untuk meningkatkan pendapatannya dengan mengurangi ketergantungannya pada tengkulak dan menjual produk yang dihasilkannya secara langsung melalui internet AgriWatch.com 2005. Jaringan Huaral Valley di Peru dibangun untuk meningkatkan akses petani terhadap informasi pertanian. Jaringan dari pusat informasi masyarakat ini dirancang dengan teknologi jaringan tanpa kabel wireless. Akses internet berjalan mobile internet memberikan kemungkinan yang lebih besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang nyata bagi kehidupan petani perdesaan, khususnya dalam mengikuti perkembangan dunia, di mana teknologi jaringan tanpa kabel wireless mampu mengatasi hambatan infrastruktur untuk akses informasi. Selain petani, para pelajar di perdesaan juga dapat merasakan manfaat dari infrastruktur telekomunikasi yang telah dibangun tersebut BBC News 2004b. Thailand Canada Tele-centre Project TCTP bekerja sama dengan beberapa lembaga pemerintahan Thailand, sektor swasta, dan World Bank telah mempromosikan akses layanan teknologi informasi dan komunikasi di desa-desa dengan menempatkan beberapa telepon dan komputer untuk akses ke internet di lokasi yang mudah diakses oleh masyarakat. Lokasi yang menyelenggarakan layanan teknologi informasi dan komunikasi untuk akses informasi ini disebut telecenter . Selain mendemonstrasikan layanan teknologi informasi dan komunikasi di perdesaan dan daerah terpencil, TCTP bertujuan untuk membantu end-users memperoleh informasi yang penting bagi kemajuannya, dan 39 mengurangi biaya transaksi pada saat menjualnya. Pendekatan umum dari TCTP adalah menyediakan dana untuk modal awal seperti instalasi layanan telepon, komputer, printer, modem, dan mesin fax. Selama satu tahun, biaya untuk operasionalisasi telecentre termasuk biaya bulanan akses internet dibiayai oleh TCTP. Namun demikian, setelah satu tahun beroperasi, telecenter ini mampu membiayai sendiri biaya operasionalnya karena memiliki dukungan yang kuat dari masyarakat, kepala desa, maupun tokoh masyarakat. Masyarakat memberikan dana untuk peralatan komputer, printer, dan scanner dan konstruksi bangunan untuk telecentre CIDA 2002. Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Cyber Extension Adopsi pemanfaatan cyber extension, khususnya dalam aplikasi teknologi informasi dan komunikasi di tingkat petani biasanya tidak spontan, teknologi harus diajarkan dan dipelajari - diadopsi untuk pengalaman yang ada dan diintegrasikan ke dalam proses produksi usahatani. Di beberapa negara di mana penelitian adopsi teknologi informasi dan komunikasi dilakukan, sebagian besar difokuskan terutama pada adopsi komputer untuk produksi pertanian umum. Batte et al. 1990 dan Warren et al 2000 menyatakan bahwa penerapan teknologi informasi dan komunikasi sangat terkait dengan tingkat pendidikan, ukuran skala usaha pertanian dan efek negatif dari umur petani. Dinyatakan pula bahwa terdapat perbedaan dalam adopsi teknologi informasi dan komunikasi antara berbagai ukuran luas dan jenis lahan. Gelb dan Bonati 1998 mengungkapkan bahwa kehadiran internet sangat berguna untuk pertanian saat ini. Beberapa contoh yang baik untuk adopsi teknologi informasi dan komunikasi untuk sektor pertanian di antaranya adalah pada Kenya Agricultural Commodity Exchange Kace dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk menyebarluaskan informasi pasar dan intelijen. Di Filipina ada banyak portal, aplikasi e-commerce dan teknologi inovatif yang digunakan untuk menyediakan informasi pertanian yang relevan untuk daaerah pedesaan. Di Thailand terdapat portal Internet multi-bahasa, Agricultural Information Network AIN memungkinkan petani Thailand, petugas lapangan, pembuat kebijakan dan pemerintah untuk berkomunikasi dan mengakses informasi pertanian yang relevan dan berguna. Petani di India menggunakan e-Choupal 40 yang merupakan salah satu dari portal untuk membuat sebuah jaringan kios yang menyediakan akses informasi yang telah melalui proses mediasi kepada mereka. E-Choupal sudah menjadi inisiatif terbesar di antara semua intervensi berbasis Internet di pedesaan India Anon 2006. Anggota Kredit Pertanian Primer Masyarakat atau Primary Agricultural Credit Societies PACS di India Selatan dapat mengakses harga input produksi dan informasi pasar melalui aplikasi teknologi informasi dan komunikasi. Petani dapat memperoleh akses terbaik terhadap nasihat di bidang pertanian di seluruh dunia dengan menggunakan DSSSistem Pakar. Beberapa sistem pakar yang telah dikembangkan untuk digunakan di bidang pertanian di antaranya adalah: COMAX – yang menyediakan informasi mengenai pengelolaan tanaman terpadu untuk kapas. POMME menyediakan informasi tentang manajemen hama dan kebun untuk komoditas apel, dan SOYEX-merupakan sistem pakar untuk ekstraksi minyak kedelai Jayathilake 2010. Dalam berbagai penelitian, secara jelas menunjukkan bahwa kompleksitas usahatani, tingkat dukungan eksternal lingkungan, usia, waktu pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, pengalaman, jaringan, ketersediaan informasi, kepribadian dan pendekatan proses pembelajaran memberikan pengaruh pada peningkatan atau pengurangan terhadap penggunaan komputer atau teknologi informasi dan komunikasi Iddings dan Apps 1990. Di samping itu, faktor-faktor seperti kurangnya kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, kurangnya kesadaran akan manfaat teknologi informasi dan komunikasi, terlalu sulitnya untuk digunakan, kurangnya infrastruktur teknologi, tingginya biaya teknologi, rendahnya tingkat kepercayaan terhadap sistem teknologi informasi dan komunikasi, kurangnya pelatihan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi, integrasi sistem dan rendahnya ketersediaan perangkat lunak membatasi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di tingkat petani Taragola dan Gelb 2005. Faktor lain yang banyak mempengaruhi adopsi dan penggunaan teknologi informasi dalam organisasi pertanian dapat dikelompokkan menjadi lima kategori seperti akses terhadap teknologi informasi, demografi, pelatihanpendidikan bidang teknologi informasi, tingkat kepercayaan terhadap teknologi informasi, 41 dan waktu atau lama menggunakan teknologi informasi Kurtenbach and Thompson 2000. Hal ini dimungkinkan untuk menjadi faktor adopsi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi masuk ke dalam lebih dari satu kategori tipe pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi Gelb dan Parker 2005. Faktor pembatas yang paling penting di negara berkembang adalah terkait dengan keterbatasan infrastruktur dan biaya teknologi yang tidak lagi masuk dalam ambang batas untuk diadopsinya teknologi informasi dan komunikasi di negara maju Kurtenbach dan Thompson 2000. Karakteristik individu pelaku komunikasi inovasi pertanian Menurut Littlejohn dan Karen 2005, ciri dan pokok pikiran dari teori- teori komunikasi adalah: individu dipengaruhi oleh struktur sosial atau sistem sosial dan individu bagian dari struktur. Dengan demikian cara pandangnya dipengaruhi struktur yang berada di luar dirinya. Pendekatan ini menekankan tentang sistem sebagai struktur yang berfungsi. Karakteristik dari pendekatan ini adalah: 1. Mementingkan sinkroni stabilitas dalam kurun waktu tertentu daripada diacrony perubahan dalam kurun waktu tertentu. Misalnya dalam mengamati suatu fenomena menggunakan dalil-dalil yang jelas dari suatu kaidah. Perubahan terjadi melalui tahapan metodologis yang telah baku. 2. Cenderung memusatkan perhatiannya pada akibat-akibat yang tidak diinginkan unintended consequences dibandingkan dengan hasil yang sesuai tujuan. Pendekatan ini tidak mempercayai konsep subjektivitas dan kesadaran. Fokusnya adalah pada faktor-faktor yang berada di luar kontrol kesadaran manusia. 3. Memandang realitas sebagai sesuatu yang objektif dan independen. Oleh karena itu, pengetahuan dapat ditemukan melalui metode empiris yang cermat. 4. Memisahkan bahasa dan lambang dari pemikiran dan objek yang disimbolkan dalam komunikasi. Bahasa hanyalah alat untuk merepresentasikan apa yang telah ada.

5. Menganut prinsip the correspondence theory of truth. Menurut teori ini

bahasa harus sesuai dengan realitas. Simbol-simbol harus merepresentasikan suatu secara akurat. 42 Dalam konteks yang diperluas untuk perspektif komunikasi sebagai sebuah sistem, selanjutnya Littlejohn dan Karen 2005 menyampaikan adanya delapan unsur yang saling mempengaruhi dalam proses komunikasi Gambar 4, yaitu: 1 The communicator komunikator atau pelaku komunikasi; 2 The message; 3 The conversation; 4 The relationship hubungan; 5 Group kelompok; 6 Organization organisasi; 7 The media media; dan 8 Society and culture masyarakat dan kebudayaan. Menurut Littlejohn dan Karen 2005, pelaku komunikasi komunikator adalah seseorang yang dengan kesadaran akan identitasnya, sebagai ”diri sendiri” yang berkembang melalui interaksi. Individu diposisikan dalam sebuah struktur hubungan kebudayaan dan kekuasaan. Dalam kaitannya sebagai pelaku komunikasi inovasi pertanian, teori yang sesuai untuk menjelaskan konsep pelaku komunikasi di antaranya adalah teori konsistensi kognitif afektif. Ke lom - p ok Media Or g a - n isa si Pesan Percakapan Komunikator Komunikator Masyarakat dan budaya Hubungan Gambar 4 Elemen yang Berpengaruh dalam Konteks Komunikasi yang Diperluas sistem komunikasi Littlejohn dan Karen 2005 T eori konsistensi kognitif-afektif menyatakan bahwa pengaruh dan kesadaran kita mengenai suatu hal terdiri atas dua aspek. Affective meliputi sikap kita, bagaimana suatu hal terasa menyenangkan. Cognitions kepercayaan yang berhubungan dengan obyek. Apabila kita percaya konsekuensi yang baik akan didapat dari pendapat, kita akan memakai pendapat itu. Affective-Cognitive Consistency menjelaskan hukum sikap kognitif: jika kita mengubah kepercayaan