4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Pulau Bone Batang memiliki bentuk rataan terumbu yang unik. Sisi barat pulau terdiri dari rataan terumbu yang luas, landai dan dangkal. Rataan terumbu
ini meluas hingga ke sisi selatan, tenggara serta sedikit ke arah utara pulau Gambar 14. Jenis lamun yang tumbuh didominasi oleh komunitas campuran
yang terdiri dari Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis dan Thalassia hemprichii Gambar 14.
Gambar 14 Rataan terumbu P. Bone Batang Sumber: Google Earth 2008 .
Kondisi oseanografi di sekitar Kepulauan Spermonde memiliki pengaruh yang besar terhadap proses pembentukan Pulau Bone Batang. Arus dari arah barat
dan barat daya mendorong sedimen pasir ke arah timur hingga terakumulasi membentuk daratan. Kurangnya sedimen di sisi barat menyebabkan koloni karang
dapat tumbuh dengan baik hingga membentuk rataan terumbu yang dangkal dan luas. Sebaliknya, akumulasi sedimen di sisi timur menyebabkan karang tidak
dapat tumbuh sehingga daerah tersebut menjadi curam Erftemeijer et al. 1994.
4.2 Karakteristik Fisika-Kimia Padang Lamun 4.2.1 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap ekosistem lamun. Suhu juga menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan
dan distribusi lamun. Hasil pengukuran suhu di Pulau Bone Batang menunjukkan kisaran antara 29 – 32 ⁰C. Kisaran suhu ini masih mendukung komunitas lamun
untuk tumbuh dan berkembang. Saat surut terendah, sebagian daun lamun di perairan dangkal Pulau Bone
Batang akan terekspose ke permukaan. Intensitas cahaya matahari yang tinggi menyebabkan daun lamun mengalami kekeringan, terbakar dan akhirnya mati.
Serasah daun lamun yang terdampar di tepi pantai atau terjebak di antara tegakan lamun akan membusuk dan terurai menjadi bahan organik yang dibutuhkan oleh
lamun dan organisme lainnya untuk tumbuh dan berkembang. Serasah daun lamun ini merupakan sumber bahan organik yang penting bagi perairan tropis
yang dikenal miskin akan unsur hara Vonk 2008. Kematian massal dari daun lamun, yang berguguran atau lepas saat surut terendah, akan memicu lamun untuk
segera menumbuhkan daun yang baru. Dengan demikian, suhu berperan penting dalam regenerasi lamun Hemminga dan Duarte 2000: Short dan Coles 2003.
Suhu memiliki pengaruh yang besar terhadap komunitas makrozoobentos saat surut rendah. Paparan cahaya matahari di permukaan substrat yang terekspose
akan meningkatkan suhu lingkungan. Hewan bentos epifauna seperti bulu babi akan bereaksi mencari perlindungan dengan bergerak menuju kolam-kolam kecil
yang masih terisi air atau bersembunyi di balik bongkahan batu karang. Jenis bulu babi Tripneustes gratilla akan membungkus permukaan tubuhnya
yang berduri pendek dengan serasah dan daun lamun. Jenis kerang akan menutup cangkangnya lebih rapat. Spesies infauna akan membenamkan diri lebih dalam di
bawah permukaan substrat.
4.2.2 Salinitas
Lamun diketahui memiliki kisaran toleransi yang besar terhadap salinitas. Perubahan gradien salinitas umumnya terjadi di daerah estuaria atau muara sungai
yang menjadi tempat bertemunya air tawar dengan air laut. Fluktuasi salinitas di daerah ini nyaris terjadi setiap hari, terutama saat musim hujan, dimana input air
tawar dari hulu sungai membanjiri daerah muara dalam jumlah yang besar Hemminga dan Duarte 2000; Short dan Coles 2003; Waycott et al. 2004.
Dari hasil pengukuran parameter lingkungan di Pulau Bone Batang, diketahui bahwa kisaran salinitas dari masing-masing stasiun tidak jauh berbeda
Tabel 3. Contoh air laut yang diukur dengan hand-refractometer di Pulau Bone Batang, menunjukkan kisaran antara 32-34 permil, suatu rentang yang baik bagi
lamun untuk tumbuh dan berkembang secara optimal Short dan Coles 2003. Menurut Short dan Coles 2003, salinitas yang terlalu tinggi dapat menjadi
faktor pembatas bagi penyebaran lamun, menghambat perkecambahan biji lamun, menimbulkan stress osmotik dan menurunkan daya tahan terhadap penyakit.
Untuk makrozoobentos, salinitas yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi tekanan osmosis dalam sel dan menghambat proses fisiologis.
4.2.3 Paparan Ombak dan Gelombang
Paparan ombak dan gelombang water exposure, di daerah rataan terumbu mencakup proses hidrodinamika yang kompleks. Pergerakan air yang meliputi
kecepatan arus, pola sirkulasi serta arus balik dari pantai memiliki pengaruh terhadap struktur habitat lamun Fonseca et al.. 1983 dalam Short dan Coles
2003. Sebaliknya, struktur kanopi dan tegakan lamun juga memiliki pengaruh terhadap pola aliran massa air di sekitar komunitas lamun itu sendiri.
Dari pemasangan bola gypsum di tiap-tiap stasiun penelitian Gambar 15, diketahui bahwa persentase rata-rata pelarutan bola gypsum dalam kolom air yang
dipasang selama 72 jam menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Persentase pelarutan bola gypsum, umumnya lebih tinggi di daerah lamun dibandingkan
dengan kontrol. Demikian pula, persentase pelarutan bola gypsum juga lebih tinggi di stasiun yang terletak di sisi luar pulau stasiun 1, 5 dan 6 yang menjadi
lokasi pecahnya ombak surf area dibandingkan dengan stasiun yang letaknya lebih dekat ke pulau stasiun 3, 4 dan 8. Rataan terumbu yang luas dan dangkal di
sisi barat pulau berperan juga berperan dalam mengurangi energi gelombang dan ombak. Sebaliknya, pada stasiun 2 dan 8 yang lebih banyak didominasi jenis
lamun Enhalus acoroides, nilai persentase kelarutan bola gypsum, ditemukan lebih tinggi pada daerah kontrol dibandingkan dengan daerah lamun Gambar 15.
Tegakan Enhalus kemungkinan berperan dalam meredam arus di stasiun ini.
Gambar 15 Persentase pelarutan bola gypsum dalam kolom air .
Tingginya pelarutan bola gypsum di daerah lamun, menunjukkan adanya pergerakan air yang lebih aktif di antara tegakan daun lamun dibandingkan
dengan daerah kontrol. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Worcester 1995 yang melaporkan terjadinya peningkatan kecepatan transpor air
secara horizontal adveksi dan pengadukan di sekitar kanopi dan tegakan daun lamun Zostera marina, dibandingkan dengan daerah berpasir yang kosong.
Menurut Larkum
et al. 2006, adanya pengadukan dan pergerakan air yang dinamis di antara kanopi dan tegakan lamun aerasi, sangat membantu
peningkatan kadar oksigen dalam kolom air dan mempersingkat distribusi dan penyerapan nutrien. Perpindahan air yang lebih cepat, juga meningkatkan suplai
makanan untuk organisme pemakan suspensi. Unsur berbahaya hasil dekomposisi, seperti sulfur dan nitrit yang terlepas dari dalam sedimen dapat dinetralisir.
Pergerakan air juga membantu proses penyerbukan lamun, meningkatkan laju pertumbuhan lamun, berperan dalam menyebarkan biji, serbuk sari, gamet, larva
spora serta saat terjadi proses pemijahan Worcester 1995. Hovel et al. 2002, melaporkan bahwa pergerakan air lebih berpengaruh terhadap kepadatan
makrofauna dibandingkan dengan struktur lansekap lamun. Gambar 15 menunjukkan, persentase rata-rata pelarutan bola gypsum yang
tertinggi, ditemukan di stasiun 5 sebesar 91 . Sedangkan persentase pelarutan bola gypsum terendah ditemukan di stasiun 2 dengan nilai 64 . Stasiun 5
82 64
68 71
91 84
71 67
77 66
67 63
82 81
78 59
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
1 2
3 4
5 6
7 8
Persentase kelarutan bola Gypsum
STASIUN LAMUN
KONTROL
terletak di ujung utara pulau dekat dengan perairan yang menjadi “selat” antara Pulau Bone Batang dengan Pulau Pajenekang. Kondisi ini menyebabkan daerah di
sekitar stasiun 5 memiliki perpindahan massa air arus yang kuat. Sebaliknya, rataan terumbu karang yang luas di sisi barat pulau menjadi penyebab
berkurangnya energi gelombang di stasiun 2 dan 8 yang berada di perairan yang dangkal dan dekat dengan pantai. Posisi Pulau Bone Batang yang menghalangi
ombak dari arah barat, juga menyebabkan rendahnya energi gelombang di stasiun 3 dan 4 dibandingkan dengan stasiun lainnya.
Fonseca dan Bell 1998, melaporkan bahwa proses fisik dan hidrodinamika seperti: kecepatan arus saat pasang surut tidal currents speeds, paparan
gelombang wave exposure dan kedalaman kolom air memberikan pengaruh terhadap penyebaran koloni, bentuk lansekap dan fragmentasi habitat pada lamun.
Meningkatnya kecepatan arus pasang surut dan proses hidrodinamika akan menyebabkan berkurangnya luas padang lamun, penutupan lamun, menurunnya
kandungan bahan organik dalam sedimen dan menurunnya persentase sedimen dalam bentuk lempung silt-clay.
Hubungan keterkaitan antara faktor fisik hidrodinamika dengan padang lamun tidak berlangsung searah, akan tetapi memiliki hubungan timbal balik yang
saling mempengaruhi. Dengan demikian, komunitas lamun juga memiliki pengaruh terhadap proses hidrodinamika yang terjadi di daerah padang lamun itu
sendiri. Hemminga dan Duarte 2000, menyatakan bahwa kanopi lamun memiliki peran dalam mengurangi kecepatan aliran air dan pengadukan turbulensi. Hal ini
menyebabkan terjadinya pengurangan tingkat kekeruhan resuspensi dan meningkatkan pengendapan partikel halus sedimentasi.
Hendriks et al. 2008, melaporkan bahwa sedimentasi di padang lamun tidak hanya terjadi di permukaan dasar perairan saja, tetapi juga terjadi di daerah
kanopi lamun terutama di permukaan daun. Pada Enhalus acoroides, sedimentasi kanopi menyebabkan meningkatnya laju pertumbuhan epifit yang tumbuh
menempel di sepanjang permukaan daun. Epifit yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis Hemminga dan Duarte 2000.
Selanjutnya, Peterson et al. 2004 melaporkan bahwa kecepatan aliran air akan semakin berkurang seiring dengan meningkatnya kepadatan tegakan lamun.
47
Tabel 3 Parameter lingkungan di daerah padang lamun Pulau Bone Batang Stasiun Utama.
Parameter Lingkungan Stasiun 1
Stasiun 2 Stasiun 3
Stasiun 4 Stasiun 5
Stasiun 6 Stasiun 7
Stasiun 8
Kerikil 29.70
22.61 12.85
9.22 13.54
10.92 1.48
5.45 Pasir
69.43 76.59
86.19 89.48 84.89 87.97 95.61 92.70
Lempung 0.87
0.80 0.96
1.30 1.56
1.11 2.90
1.85 Bahan Organik grm² AFDW
2.56 3.18
2.58 3.09
2.49 2.90
2.98 3.23
Suhu ⁰C 30 30 31 29 31 32 31 29
Salinitas ⁰oo 34 34 33 33 33 33 34 32
Turbulensi pengurangan berat bola gypsum
82 64 68 71 91 84 71 67 Ketebalan Sedimen cm
100 100
100 100
100 100
100 100
Kedalaman cm 85
96 114
144 85
70 81
159
Tabel 4 Parameter lingkungan di daerah padang lamun Pulau Bone Batang Stasiun Kontrol.
Parameter Lingkungan Stasiun 9
Stasiun 10 Stasiun 11
Stasiun 12 Stasiun 13
Stasiun 14 Stasiun 15
Stasiun 16
Kerikil 25.90
25.35 11.85
22.24 19.40 33.13 19.15 3.26 Pasir
73.59 74.49
87.38 77.11 80.14 66.50 79.40 95.98
Lempung 0.50
0.16 0.77
0.65 0.46
0.37 1.45
0.77 Bahan Organik grm² AFDW
2.59 2.27
2.82 2.27
2.45 2.44
2.47 2.86
Suhu ⁰C 30 30 30 30 30 31 30 29
Salinitas ⁰oo 34 34 33 33 34 34 34 32
Turbulensi pengurangan berat bola gypsum 77
66 67
63 82
81 78
59 Ketebalan Sedimen cm
100 100
100 100
100 100
100 100
Kedalaman cm
105 98 128 200 130 81 77 229
4.2.4 Kedalaman Kolom Air
Kedalaman kolom air merupakan salah faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan lamun. Menurut Waycott et al. 2004, kedalaman kolom air
erat kaitannya dengan penetrasi cahaya matahari dan proses fotosisntesis lamun. Makin dalam kolom air, menyebabkan makin berkurangnya intensitas cahaya.
Akibatnya, proses fotosintesis akan semakin sulit bagi lamun. Selain itu, meningkatnya kedalaman berbanding lurus dengan naiknya tekanan dalam air
yang kurang mendukung bagi pertumbuhan lamun Short dan Coles 2003. Jenis lamun yang hidup di perairan dalam umumnya didominasi oleh spesies Halophila
spp. yang berdaun kecil Waycott et al. 2004.
Gambar 16 Kedalaman kolom air saat pengambilan sampel cm.
Hasil pengukuran kedalaman kolom air di Pulau Bone Batang berkisar antara 70-229 cm Gambar 16. Stasiun kontrol cenderung lebih dalam
dibandingkan stasiun utama. Sebagian besar stasiun di rataan terumbu yang dangkal exposed cukup rentan terhadap kekeringan saat surut terendah. Menurut
Short dan Coles 2003, paparan cahaya matahari yang berlebihan dapat menyebabkan kekeringan dan terbakarnya daun lamun. Selain itu, berbagai jenis
biota laut yang tidak terlindung akan mengalami kematian akibat suhu yang terlalu panas. Kolom air yang terlalu dangkal dapat menjadi faktor pembatas bagi
pertumbuhan dan penyebaran lamun dan biota asosiasi.
85 96
114 144
85 70
81 159
105 98
128 200
130 81
77 229
50 100
150 200
250
1 2
3 4
5 6
7 8
Kedalam an Kolom
Air cm
STASIUN LAMUN
KONTROL
4.2.5 Ketebalan Substrat Berpasir
Pulau-pulau kecil di Kepulauan Spermonde termasuk Pulau Bone Batang terbentuk dari akumulasi sedimen pasir yang berasal dari hasil pelapukan material
kalsium karbonat Erftemeijer dan Herman 1994. Sebagian besar sedimen terkonsentrasi di ujung utara dan selatan pulau. Kumpulan sedimen ini bersifat
labil, dinamis dan mudah berpindah-pindah terbawa arus seiring dengan perubahan musim. Seringkali, pergerakan sedimen di sisi timur, utara dan selatan
pulau menyebabkan tertimbunnya komunitas lamun. Akibatnya, banyak tegakan lamun mengalami kematian karena tidak dapat berfotosintesis.
Rata-rata ketebalan substrat berpasir pada tiap-tiap stasiun di Pulau Bone Batang tercatat lebih dari 1 meter. Stasiun 1 yang berhabitat di daerah terumbu
karang hanya memiliki ketebalan 40 cm saja. Sedangkan kontrol Stasiun 9 hanya memiliki kedalaman 35 cm Tabel 3.
Ketebalan substrat berpasir di Pulau Bone Batang sangat dipengaruhi oleh pola arus dan pasang surut. Rataan terumbu yang dangkal exposed dan berada di
sisi luar, umumnya terdiri dari substrat keras dengan endapan sedimen pasir yang tipis. Sebaliknya, daerah rataan terumbu yang dekat dengan pulau sheltered
tertutup oleh endapan sedimen yang tebal. Ketebalan substrat diketahui memiliki pengaruh terhadap distribusi lamun
dan komposisi jenis makrozoobentos. Beberapa spesies lamun seperti Enhalus acoroides, Halodule uninervis dan Halophila memiliki kemampuan yang rendah
untuk tumbuh di atas substrat berbatu dengan lapisan sedimen pasir yang tipis. Nacorda 2008, melaporkan bahwa spesies udang Alpheus macellarius
memiliki ketergantungan yang besar terhadap padang lamun dan substrat berpasir. Jenis udang ini diketahui membuat liang yang dalam untuk menghindari predator.
Kneer 2006 menyatakan bahwa udang Glypturus armatus membutuhkan habitat dengan lapisan sedimen berpasir yang tebal untuk membuat liang yang
dalam. Sebaliknya, dari hasil pengamatan di Pulau Bone Batang, diketahui bahwa beberapa jenis udang seperti Neaxius acanthus dan Axiopsis serratifrons lebih
banyak ditemukan di substrat berbatu atau pecahan karang rubble. Dengan demikian, ketebalan substrat yang berbeda-beda akan mempengaruhi penyebaran
dan komposisi jenis biota laut Kneer et al. 2010b; 2010c; 2010d.
4.2.6 Karakteristik SedimenSubstrat
Sedimen dalam lingkungan perairan laut umumnya berasal dari proses pelapukan. Sebagian berasal dari material hasil pelapukan batuan di darat yang
dibawa ke laut melalui sungai. Sedangkan material lainnya berasal dari proses pelapukan material yang berasal dari kerangka atau bagian tubuh makhluk hidup
Mc Lachlan dan Brown 2006. Butiran sedimen yang berasal dari daratan umumnya berbentuk pasir
kuarsa silika dengan kepadatan 2,66 grcm
3
. Sedangkan butiran sedimen yang berasal dari pelapukan bagian tubuh makhluk hidup biogenik didominasi oleh
pasir karbonat kalsit dan aragonit dengan kepadatan 2,7 - 2,95 grcm
3
. Pasir kuarsa umumnya memiliki bentuk membulat. Sedangkan pasir karbonat tidak
beraturan. Perbedaan bentuk ini menyebabkan pasir karbonat lebih lambat tenggelam dibandingkan dengan pasir kuarsa Mc Lachlan dan Brown 2006.
Erftemeijer dan Middelburg 1993, melaporkan bahwa substrat di Pulau Barranglompo tetangga terdekat Pulau Bone Batang, didominasi oleh pasir
karbonat berukuran 0,25- 2 mm dengan kandungan kalsium karbonat yang sangat tinggi. Identifikasi makroskopik butiran sedimen dengan ukuran 1 mm,
menunjukkan adanya sisa-sisa pecahan karang, foraminifera, cangkang moluska, sisa-sisa alga berkapur Halimeda, tabung cacing serpulid, fragmen pecahan dari
cangkang udang, bulu babi dan tulang ikan. Karakteristik sedimen yang paling penting adalah ukuran butiran sedimen.
Hal ini terkait dengan kemampuan sedimen tersebut untuk mengikat bahan organik dan nutrien yang dibutuhkan oleh ekosistem lamun dan biota asosiasi
yang hidup di dalamnya. Karakteristik sedimen yang lain adalah porositas dan permiabilitas. Porositas terkait dengan kemampuan butiran pasir untuk mengisi
ruang yang kosong dalam suatu volume tertentu. Sedangkan permiabilitas adalah kemampuan dari sedimen untuk melewatkan air Mc Lachlan dan Brown 2006.
Porositas terkait dengan ukuran butiran sedimen. Makin kecil halus ukuran butiran sedimen, makin banyak ruang antar butiran sedimen yang terisi.
Hal ini menyebabkan sedimen yang halus memiliki kemampuan menyimpanmenahan air yang lebih baik. Secara tidak langsung, nutrien dan zat
hara yang terlarut dalam air pun dapat disimpan dengan baik. Hal ini menjelaskan
mengapa kandungan bahan organik dan nutrien pada sedimen halus umumnya relatif lebih tinggi. Tingginya kandungan air yang tertahan dalam sedimen halus
menyebabkan kemampuan sedimen halus unutk melewatkan air permeabilitas, menjadi lebih rendah dibandingkan sedimen dengan ukuran butiran yang lebih
besar. Dengan kata lain, sedimen berbutir besar lebih mudah kehilangan kandungan bahan organik nutrien Knox 2001; Mc Lachlan dan Brown 2006.
Ukuran butiran sedimen sangat penting dalam ekosistem lamun. Wicks et al. 2009, melaporkan bahwa kandungan zat hara yang minim di sedimen
berpasir menjadi kunci bertahannya lamun dari hempasan gelombang. Percobaan yang dilakukan dengan menumbuhkan lamun Zostera marina di laboratorium
pada substrat yang diperkaya dengan unsur hara menunjukkan, bahwa daun dari jenis lamun tersebut tumbuh lebih panjang, lebih lebar dan lebih subur.
Sedangkan akarnya tidak terlalu berkembang karena tercukupinya kebutuhan nutrien. Kondisi lamun dengan sistem perakaran seperti ini sangat rentan terhadap
hempasan gelombang. Lamun yang hidup di alam dengan konsentrasi nutrien yang minim, memiliki sistem perakaran yang panjang dan rumit di dalam substrat,
karena harus mencari zat hara yang cukup untuk tumbuh. Secara tidak langsung, sistem perakaran yang kuat ini menjamin tegakan lamun untuk bertahan dari
hempasan gelombang. Dengan demikian, menurut Wicks et al. 2009, ukuran butiran sedimen dan nutrien menjadi faktor pembatas bagi penyebaran lamun.
Hasil analisis sampel struktur sedimen dari P. Bone Batang Lampiran 5, menunjukkan bahwa, kondisi substrat lebih banyak didominasi oleh pasir
karbonat Gambar 17. Beberapa stasiun tertentu seperti Stasiun 1, 5 dan 6, memiliki proporsi kerikil yang lebih besar dibandingkan dengan stasiun lainnya.
Menurut Short dan Coles 2003, proporsi butiran sedimen dalam bentuk kerikil yang besar mengindikasikan tingginya energi gelombang atau kecepatan
arus di daerah tersebut. Sebaliknya, proporsi kerikil yang besar, menunjukkan kemungkinan rendahnya kandungan bahan organik dan nutrien dalam sedimen.
Kandungan pasirlempung dalam sedimen di Pulau Bone Batang tergolong sangat kecil, yaitu berkisar antara 0,16 hingga 2,90 seperti dapat dilihat pada
Gambar 17 berikut ini. Hal ini menunjukkan kecilnya pengaruh input sedimen dan bahan organik dari daratan utama.
Gambar 17 Karakteristik substrat pada tiap-tiap stasiun di Pulau Bone Batang. Ukuran butiran sedimen dikelompokkan menjadi 3 berdasarkan Erftemeijer dan
Koch dalam Short dan Coles 2003. kerikil atau gravel 2mm, pasir atau sand 0,063-2 mm, lanaulumpur atau silt 4-63 µm dan lempung atau clay 4 µm.
Sebagian besar spesies lamun diketahui dapat tumbuh dengan baik pada sedimen berpasir dibandingkan dengan substrat berukuran besar seperti kerikil
atau berukuran halus seperti lempung Waycott et al.; Short dan Coles 2003. Dengan demikian, ditinjau dari karakteristik substratnya, Pulau Bone Batang
termasuk lokasi yang ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan lamun.
4.2.7 Kandungan Bahan Organik Substrat
Lamun dikenal sebagai produsen autotrofik yang memiliki produktifitas tinggi di laut. Proses fotosintesis menghasilkan bahan organik berupa senyawa
karbon yang terkonsentrasi di daun dan rhizoma lamun Barron dan Duarte 2009. Senyawa karbon yang ada terkandung dalam jaringan lamun berkisar antara 30 -
40 dari total berat kering lamun Hemminga dan Duarte 2003. Saat surut rendah, daun lamun akan terbakar dan mati akibat intensitas
matahari yang berlebihan. Sebagian besar daun lamun lainnya, terlepas dari tegakan saat terjadi ombak besar atau akibat pasang surut yang tinggi. Daun
20 40
60 80
100 Lamun
Kontrol Lamun
Kontrol Lamun
Kontrol Lamun
Kontrol Lamun
Kontrol Lamun
Kontrol Lamun
Kontrol Lamun
Kontrol
12 34
567 8
Persentase Ukuran Butiran Substrat STASIUN
Kerikil Pasir
Lempung
lamun yang terlepas, akan mengapung terbawa arus, keluar dari ekosistem lamun. Sebagian daun lamun terperangkap di antara kanopi dan tegakan lamun, kemudian
mengendap di tanah dan membentuk lapisan serasah yang membusuk di dasar perairan Hemminga dan Duarte 2000. Serasah ini, selanjutnya akan diuraikan
oleh bakteri dan mikroorganisme lainnya menjadi partikel organik dalam bentuk detritus atau bahan organik terlarut yang penting bagi ekosistem laut yang dikenal
miskin akan kandungan zat hara. Bahan organik termasuk salah satu komponen vital bagi komunitas lamun.
Ketersediaan bahan organik di alam dapat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan lamun Erftemeijer dan Middelburg 1993; Hemminga dan Duarte
2000; Barron dan Duarte 2009; Wicks et al. 2009. Lamun dengan struktur kanopi dan rhizomanya yang rumit, diketahui memiliki kemampuan menjebak material
organik Hemminga dan Duarte 2003. Material organik yang terjebak berasal dari berbagai sumber, diantaranya dari limbah rumah tangga atau bahkan dari serasah
daun lamun yang telah mati. Dari penelitian yang dilakukan di Pulau Barranglompo pulau terdekat dari
Bone Batang, Stapel et al. 1997 melaporkan bahwa pada bulan Juli-Desember, terjadi penurunan biomassa daun dan rhizoma lamun grm
2
dari spesies Thalassia hemprichii secara drastis, masing-masing sebesar 61 dan 37 ,
akibat energi gelombang yang besar saat pasang surut rendah. Hendriks et al. 2008, menambahkan bahwa terlepasnya daun dan rhizoma lamun dari substrat
juga dapat mengakibatkan hilangnya bahan organik dari sedimen halus yang menempel di daun lamun tersebut. Selama kurun waktu 6 bulan tersebut, terjadi
penurunan bahan organik C dalam rhizoma sebesar 46 dan nutrien P sebesar 34 . Unsur N dalam rhizoma tidak mengalami perubahan. Menurut Stapel et al.
1996, keberadaan mikroba di akar lamun yang mendekomposisi serasah lamun dan mengikat N, menyebabkan tetapnya tersedianya suplai nitrogen bagi lamun.
Penelitian dekomposisi serasah daun lamun yang dilakukan oleh Supriadi dan Arifin 2005 di Pulau Barranglompo, menunjukkan bahwa diperlukan waktu
selama 69 hari bagi daun lamun Enhalus acoroides untuk terdekomposisi hingga sempurna. Sedangkan daun lamun Thalassia hemprichii habis terdekomposisi
setelah 78 hari. Hal ini diduga menjadi faktor yang menyebabkan lebih tingginya
kandungan bahan organik dalam sedimen yang berasal dari daerah lamun. Dari hasil analisis kandungan bahan organik dalam sedimen pada tiap-tiap
stasiun di Pulau Bone Batang, diperoleh nilai kisaran rata-rata kandungan bahan organik sebesar 2,27 - 2,86 berat kering bebas abu ash free dry weight-
AFDW. Rata-rata persentase kandungan bahan organik yang terdapat di dalam substrat di daerah lamun, cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan
bahan organik dalam substrat yang terdapat pada stasiun kontrol Gambar 18.
Gambar 18 Kandungan bahan organik berat kering bebas abu atau ash free dry weight-AFDW dalam sedimen yang disampling dari masing-masing stasiun.
Menurut Koch 2001 dalam Short dan Coles 2003, kandungan bahan organik dalam sedimen di daerah lamun berkisar antara 0,5 - 16,5 , tetapi
umumnya kurang dari 5 . Dengan demikian, kandungan bahan organik dalam sedimen di daerah lamun Pulau Bone Batang masih berada pada kisaran optimal
yang dapat mendukung pertumbuhan lamun.
4.3 Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Padang Lamun