Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Laporan keuangan merupakan suatu alat yang digunakan oleh manajemen untuk melakukan pertanggungjawaban kinerja ekonomi perusahaan kepada investor, kreditur, dan pemerintah. Laporan keuangan dapat dikelompokkan dalam pengungkapan yang sifatnya wajib mandatory disclosure dan pengungkapan yang sifatnya sukarela voluntary disclosure, pengungkapan wajib merupakan ketentuan yang harus diikuti oleh setiap perusahaan atau institusi yang berisi tentang hal-hal yang harus dicantumkan berdasarkan standar yang berlaku. Sedangkan pengungkapan yang bersifat sukarela ini tidak disyaratkan oleh standar, tetapi dianjurkan dan akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan yang melakukannya. Bagi pihak-pihak diluar manajemen suatu perusahaan, laporan keuangan merupakan jendela informasi yang memungkinkan mereka untuk mengetahui kondisi suatu perusahaan pada suatu masa pelaporan. Dimana informasi yang didapat dari suatu laporan keuangan perusahaan tergantung pada tingkat pengungkapan dari laporan keuangan yang bersangkutan. Pengungkapan informasi dalam laporan keuangan harus memadai agar dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan sehingga menghasilkan keputusan yang cermat dan tepat. Perusahaan diharapkan untuk dapat lebih transparan dalam mengungkapkan informasi keuangan perusahaannya sehingga dapat membantu para pengambil keputusan seperti investor, kreditur, dan pemakai informasi lainnya dalam mengantisipasi kondisi ekonomi yang berubah-ubah. Perusahaan dituntut untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Sejauh ini perkembangan akuntansi konvensional mainstreem accounting telah banyak mendapat kritik karena tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat secara luas, sehingga perusaan wajib melaporkan informasi pertanggungjawaban sosialnya dalam laporan keuangan. Tanggungjawab sosial perusahaan CSR-Corporate Social Responsibility merupakan tanggungjawab perusahaan yang berpengaruh terhadap konsumen, masyarakat, dan lingkungan. Selama ini akuntansi dimaksudkan hanya terbatas pada pertanggungjawaban manajemen kepada pemilik saham, kini paradigma tersebut diperluas menjadi pertanggungjawaban kepada seluruh stakeholder. Pusat perhatian perusahaan pada saat ini lebih kepada stockholders dan bondholders, sedangkan pihak lain sering diabaikan. Banyak aksi protes yang dilakukan oleh elemen stakeholders kepada manajemen perusahaan, mereka menuntut keadilan terhadap kebijakan upah dan pemberian fasilitas kesejahteraan yang diterapkan perusahaan. Di lain pihak banyak masyarakat yang protes atas pencemaran lingkungan akibat limbah atau polusi yang dilepas ke lingkungan, sehingga menyebabkan hubungan yang tidak harmonis antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya. Untuk itu masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melakukan aktivitas sosialnya. Sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengkonsumsi dapat terpenuhi. Corporate Social Responsibility CSR merupakan salah satu upaya untuk menciptakan keberlangsungan usaha dalam memelihara keseimbangan antara mencetak keuntungan, fungsi-fungsi sosial dan pemeliharaan lingkungan hidup tripple bottom line Ambadar, 2008:32. Penerapan CSR diharapkan mendorong peningkatan etika bisnis yang menjadi pegangan perusahaan dalam menjalankan bisnis dan lebih jauh mendorong terciptanya sustainbility perusahaan. Dengan melakukan pengungkapan informasi sosialnya, perusahaan ingin membangun image yang baik dan mendapatkan perhatian dari masyarakat. Selain itu, perusahaan juga dapat memperoleh legitimasi dengan memperlihatkan tanggung jawab sosial melalui pengungkapan CSR dalam media termasuk dalam laporan tahunan perusahaan Oliver, 1991; Haniffa dan Coke, 2005; Ani, 2007 dalam Novita dan Djakman, 2007. Tanggung jawab sosial adalah kewajiban perusahaan untuk merumuskan kebijakan, mengambil keputusan, dan melaksanakan tindakan yang memberikan manfaat kepada masyarakat Williams, 2005:116. Nugroho 2007 dalam Lely dan Sylvia 2008 menyatakan bahwa Corporate Social Responsibility CSR merupakan klaim agar perusahaan tak hanya beroperasi untuki kepentingan para pemegang saham shareholders, tapi juga untuk kemaslahatan pihak stakeholders dalam praktik bisnis, yaitu para pekerja, komunitas lokal, pemerintah, LSM, konsumen, dan lingkungan. Dengan semakin berkembangnya konsep CSR ini, maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan berbagai pihak mengenai CSR ini. Drucker 1973 dalam Aditya 2008 menyatakan bahwa tidak ada suatu lembaga yang hidup sendiri dan mati sendiri. Setiap orang atau lembaga adalah unsur yang tidak terpisah dari masyarakat dan demi kepentingan masyarakat. Perusahaan tidak terkecuali. Perusahaan yang besar tidak dapat disebut sebagai perusahaan yang baik, ia hanya dapat dikatakan baik jika baik untuk masyarakat. Perusahaan adalah penduduk dan harus menjadi penduduk yang baik. Harahap, 2005:367. Dengan adanya gagasan CSR akan membuat perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single botton line, yaitu nilai perusahaan firm value yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya financial saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada tripple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya selain finansial juga ada sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan sustainable. Pelaporan dalam pertanggung jawaban sosial Corporate Social Responsibility di Indonesia belum memiliki format atau standar yang baku sehingga pelaporannya masih bersifat sukarela voluntary. Hal ini ditunjukkan dalam Peraturan Standar Akuntansi Keuangan SAK No.1 tahun 2009 paragraf 9 yang secara eksplisit berbunyi sebagai berikut, perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah value added statement, khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industry yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting. Namun karena peraturan pada PSAK belum memiliki standar yang baku dan peraturan tersebut hanya sebatas mengenai lingkungan hidup dan nilai tambah perusahaan sehingga belum semua perusahaan mau melaporkan informasi pertanggung jawaban sosialnya. Di Indonesia, kesadaran akan perlunya menjaga lingkungan tersebut juga diatur oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Pasal 74 tahun 2007, dimana perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan Dahlia dan Siregar, 2008. Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas merupakan suatu kebutuhan yang dirasa perlu oleh kalangan pengusaha sebagai pelaku usaha maupun pemerintah sebagai pihak regulator di bidang usaha, karena undang-undang yang selama ini berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sudah dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan dunia usaha. Di samping itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik Good Corporate Governance menuntut penyempurnaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas Widjaja, 2008. Masih banyak perusahaan yang tidak mempedulikan penerapan CSR ini. Bahkan beberapa perusahaan secara struktural seringkali menempatkan fungsi pelaksanaan CSR di bawah departemen atau divisi humas Public Relation saja. Dengan pandangan seperti ini, maka tidak heran bila pelaksanaan CSR tidak lebih dari tujuan membangun citra positif atau sekedar membangun hubungan harmonis Living in Harmony semata. Artinya, tidak ada gejolak sosial, sehingga dapat dianggap sebagai kegiatan lips service saja Widjaja, 2008. Masyarakat tidak mendapatkan apa yang perusahaan janjikan pada saat melakukan promosi. Karena masih banyak pula perusahaan yang menganggap bahwa CSR masih bersifat voluntary. Harapan masyarakat mengenai kepedulian perusahaan yang tinggi terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar tempat perusahaan beroperasi. Masyarakat menginginkan untuk memperoleh kenyamanan dan kesejahteraan akibat operasi perusahaan. Artinya adalah semua aktivitas perusahaan tidak mengganggu dan meresahkan masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Misalnya, limbah pada perusahaan manufaktur yang merugikan lingkungan. Seharusnya perusahaan dapat mengatur limbah agar tidak merusak lingkungan dan merugikan masyarakat atau setidaknya limbah tersebut dapat diolah dan bermanfaat bagi banyak pihak. Kenyatannya, perusahaan masih terpaku pada profit oriented saja tanpa mempedulikan bahwa perusahaan mereka membawa dampak yang buruk bagi masyarakat dan lingkungan di sekitar tempat perusahaan tersebut berdiri. Kekecewaan masyarakat dan pemerintah akan minimnya peran serta dunia usaha juga bisa dipahami, mengingat peran serta dunia usaha dalam implementasi CSR selama ini lebih bersifat sukarela voluntary dan kedermawanan philanthropy saja Ambadar, 2008. Masalah yang ditimbulkan oleh perusahaan manufaktur ini mengakibatkan timbulnya banyak aksi protes yang dilakukan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, baik yang bersifat internal, seperti karyawan dan shareholder ataupun pihak eksternal seperti serikat pekerja, pemasok, konsumen, pesaing, LSM, dan badan-badan pemerintah Belkaoui dalam Sulastini 2007. Contohnya adalah pada PT Lapindo Brantas, akibat kesalahan proses usaha perusahaan tersebut, telah banyak menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat sekitar lingkungan perusahaan. Banjir lumpur menghanyutkan ribuan rumah penduduk. Sayangnya, korban lapindo tidak mendapatkan ganti rugi yang sesuai, sehingga banyak menimbulkan aksi protes dan demo masyarakat yang tak kunjung usai menuntut adanya ganti rugi yang setimpal dengan rumah mereka. Hal tersebut membuktikan bahwa pihak perusahaan tidak ada kemauan untuk memperhatikan masyarakat di lingkungan sekitar perusahaan. Manajemen berusaha agar laba perusahaan tetap dengan cara tidak menambah beban perusahaan yaitu dengan memeberikan ganti rugi yang setimpal akibat kesalahan proses operasi perusahaan. Tanudjaja 2009 menyatakan bahwa perbedaan dalam memaknai CSR oleh perusahaan akan menyebabkan perbedaan implementasi CSR antar perusahaan pula, tergantung bagaimana perusahaan tersebut memaknai CSR. Disinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat, dan daya dorong. CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang bersifat mandatory. Dengan demikian dapat diharapkan kontribusi dunia usaha yang terukur dan sistematis dalam partisipasinya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya masyarakat juga tidak dapat seenaknya melakukan tuntutan kepada perusahaan, apabila perusahaannya itu berada diluar batas aturan yang berlaku. Tuntutan melalui aksi protes yang dilakukan oleh pihak internal maupun eksternal ini bertujuan agar perusahaan lebih meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab sosial, dengan cara memperhatikan dan mempertimbangkan akibat dari kegiatan operasional yang dilakukan perusahaan. Aksi protes yang dilakukan oleh para karyawan dan buruh, misalnya menuntut perusahaan untuk memperbaiki kebijakan upah dan pemberian fasilitas kesejahteraan lain yang dirasakan kurang mencerminkan nilai keadilan. Selain itu, aksi protes serupa juga tidak jarang dilakukan oleh masyarakat sebagai konsumen maupun masyarakat yang berada di lingkungan sekitar pabrik. Masyarakat sebagai konsumen seringkali melakukan aksi protes terhadap hal-hal yang berkaitan dengan mutu produk sehubungan dengan kesehatan, keselamatan, dan kehalalan suatu produk bagi konsumennya. Sedangkan aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar pabrik biasanya berkaitan dengan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah yang dihasilkan pabrik Ambadar, 2008. Secara umum, perusahaan besar akan mengungkapkan informasi yang lebih banyak daripada perusahaan kecil karena perusahaan besar akan menghadapi risiko politis yang lebih besar daripada perusahaan kecil. Secara teoritis, perusahaan besar tidak akan lepas dari tekanan politis, yaitu tekanan untuk melakukan pertanggung jawaban sosial. Dengan mengungkapkan kepedulian pada lingkungan melalui pelaporan keuangan, maka perusahaan dalam jangka panjang bisa terhindar dari biaya yang sangat besar akibat dari tuntutan masyarakat. Di samping itu, perusahaan yang berukuran lebih besar cenderung memiliki public demand akan informasi yang lebih lengkap dibanding perusahaan yang lebih kecil. Beberapa perusahaan di Indoesia yang telah secara serius menerapkan CSR misalnya, PT Riau Andalan Pulp and Paper yang melakukan kegiatan berupa SMEP Small Medium Enterprise Pragramme dalam bentuk pelibatan para pengusaha lokal dalam proses produksi, baik di sector kehutanan atau forestry bahan baku maupun sektor pabrik produksi. Pemberdayaan ekonomi masyarakat membentuk sistem multikultur yang tumbuh kembang bersama dan saling membutuhkan sinergis. PT Unilever Indonesia juga memiliki banyak program di bidang CSR, salah satunya yang cukup berhasil adalah pemberdayaan petani kacang kedelai hitam yang secara strategis sangat mendukung kebutuhan pasokan bahan baku untuk produksi kecap Bango yang kini sudah menjadi bagian dari Unilever. PT Indosiar Karya Media mengadakan program Peduli Kasih Indosiar dengan memberikan pengobatan gratis bagi penderita katarak di Indonesia dan penyakit lainnya. Serta mengadakan donor darah untuk disumbangkan sebagai persediaan darah pada Palang Merah Indonesia. Tabel 1.1 Daftar Pengungkapan CSR dalam Annual Report Perusahaan yang Terdaftar di BEI Tahun 2007 Tahun 2007 Mengungkapkan Annual Report Tidak Mengungkapkan Annual Report Mengungkapkan CSR Tidak Mengungkapkan CSR 15 85 175 Sumber : www.idx.co.id lampiran 1 Berdasarkan data tabel diatas jumlah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007 sebanyak 275 perusahaan yang terdiri dari perusahaan high profile dan low profile. Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia melaporkan pengungkapan CSR pada annual report berjumlah 85 perusahaan. Sedangkan perusahaan yang tidak melaporkan pengungkapan CSR pada annual report sebanyak 175 perusahaan dan perusahaan yang tidak mengungkapkan annual report sebanyak 15 perusahaan. Nicholas Eberstadt 2009 menyatakan bahwa secara umum, faktor yang mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial adalah faktor eksternal dan internal. Faktor ekstenal yaitu yaitu kritik organisasi masyarakat sipil terhadap kinerja sosial dan lingkungan perusahaan, untuk memperkuat investor dalam menanamkan modal di perusahaan, serta pasar tenaga kerja. Sejarah hubungan antara perusahaan dan masyarakat mencatat banyak peristiwa tragis yang disebabkan karena operasi perusahaan. Misalnya, cerobong asap pabrik yang merusak udara di sekitar lingkungan penduduk. Serta limbah pabrik yang dibuang ke sungai tentu saja akan mencemari air sungai. Organisasi masyarakat sipil memprotes kinerja buruk, yang kemudian ditanggapi oleh perusahaan. Tanggapan yang defensif serta “kamuflase hijau” justru akan memperumit masalah, sedangkan tanggapan yang positif akan menghasilkan perkembangan tanggung jawab sosial yang baik kepada masyarakat dan lingkungan. Institusi pembiayaan yang kian kritis menanamkan investasi memperkuat kecenderungan CSR. Dengan adanya laporan CSR yang baik, investor juga akan menanamkan modal dalam perusahaan. Pasar tenaga kerja yang menunjukkan adanya pergeseran pilihan dengan mempertimbangkan reputasi perusahaan. Perusahaan dengan reputasi CSR yang baik akan lebih mudah dalam menyerap tenaga kerja. Sebaliknya apabila reputasi CSR perusahaan buruk tenaga kerja enggan untuk bekerja di perusahaan tersebut karena sewaktu-waktu dapat di PHK Pemutusan Hubungan Kerja. Faktor internal misalnya, kepemimpinan manajemen puncak yang melihat CSR merupakan sumber peluang memperoleh keunggulan kompetitif responsibility is opportunity. Cukup banyak yang berpendapat bahwa faktor internal sebagai pendorong CSR semakin kuat berperan di masa datang. Setelah semakin terbukanya wawasan dan kesadaran masyarakat serta pemerintah terhadap makna CSR, maka kelangsungan hidup suatu perusahaan akan ditentukan oleh stakeholders. Hal tersebut berguna untuk menutupi tindakan perusahaan yang merugikan masyarakat dank an berakibat fatal. Oleh karena itu, kini makin banyak perusahaan yang sadar akan pentingnya masalah sosial dan lingkungan sebagai unsure biaya perusahaan. Hal ini akan lebih menguntungkan dibandingkan akhirnya harus membayar tuntutan ganti rugi kepada masyarakat yang mungkin jauh lebih besar setelah perusahaan mengalamai masalah sosial. Beberapa alasan perusahaan mengungkapkan informasi sosial dan lingkungan menurut Deegan dalam Ghozali 2007:404 antara lain, memenuhi persyaratan dalam Undang-Undang, mematuhi persyaratan peminjaman, menarik dana investor, memenangkan penghargaan pelaporan tertentu, dan memenuhi harapan masyarakat. Sedangkan menurut Murtanto dalam Aditya 2008 alasan perusahaan mengungkapkan kinerja sosial seperti Internal Decision Making pembuat keputusan pihak internal, Product Differentiation untuk membedakan dengan perusahaan pesaing yang tidak mengungkapkan pelaporan tanggung jawab sosial, dan Enightened Self Interest Faktor-faktor di atas memerlukan pemahaman yang mendalam terhadap perwujudan CSR sebagai konsekuensi dari penerapan pendekatan stakeholders. Tuntutan bisnis etis, berimplikasi pada perwujudan aktivitas industri sebagai interaksi harmonis antara stakeholders pihak-pihak yang berkepentingan dengan shareholders para pelaku bisnis itu sendiri. Terwujudnya interaksi yang baik itulah yang diharapkan oleh semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, semua tindakan bisnis dan aktivitas industri akan menjadi penilaian para stakeholders. Semakin etis perilaku bisnis atau industri, maka tujuan perusahaan akan tercapai dengan sendirinya dan bisnisnya selalu berjalan dala koridor hukum. Size perusahaan dikaitkan dengan teori agensi, di mana perusahaan besar yang memiliki biaya keagenan yang lebih besar akan mengungkapkan informasi yang lebih luas untuk mengurangi biaya keagenan tersebut Sembiring, 2005. Menurut Gray et. al 1995 dalam Almilia dan Retrinasari 2007 disebutkan bahwa perusahaan besar mempunyai kemampuan untuk merekrut karyawan yang ahli, serta adanya tuntutan dari pemegang saham dan analis, sehingga perusahaan besar memiliki insentif untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial yang lebih luas dari perusahaan kecil. Semakin besar perusahaan, maka jumlah tenaga kerja yang direkrut semakin banyak. Perusahaan besar merupakan entitas bisnis yang banyak disoroti baik dari pemerintah maupun masyarakat, semakin banyak jumlah tenaga kerja dalam suatu perusahaan, maka tuntutan dari masyarakat dan pemerintah pun semakin tinggi. Mengungkapkan lebih banyak informasi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk mewujudkan akuntabilitas publik. Profitabilitas menjadi faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial perusahaan kepada pemegang saham Heinze dalam Rosmasita, 2007. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial. Sementara itu, Donovan dan Gibson dalam Sembiring 2005 menyatakan bahwa berdasarkan teori legitimasi, salah satu argumen dalam hubungan antara profitabilitas dan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial adalah bahwa ketika perusahaan memiliki laba yang tinggi, perusahaan manajemen menganggap tidak perlu melaporkan hal-hal yang dapat mengganggu informasi tentang sukses keuangan perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat profitabilitas rendah, mereka berharap para pengguna laporan akan membaca “good news” kinerja manajemen, misalnya dalam lingkup sosial. Maka, investor akan tetap berinvestasi di perusahaan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa profitabilitas mempunyai hubungan yang negatif terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Ketergantungan perusahaan terhadap hutang dalam membiayai kegiatan operasinya tercermin dalam tingkat financial leverage. Dengan demikian, leverage ini juga mencerminkan tingkat risiko keuangan perusahaan. Berdasarkan teori agensi, tingkat leverage mempunyai pengaruh negatif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial Sembiring, 2005. Semakin tinggi tingkat leverage rasio utangekuitas semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit, sehingga perusahaan akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi yang dapat dilakukan dengan cara mengurangi biaya-biaya, termasuk biaya untuk mengungkapkan informasi sosial. Dewan komisaris terdiri dari insider director dan outsider director yang akan memiliki akses informasi khusus yang berharga dan sangat membantu dewan komisaris serta menjadikannya sebagai alat efektif dalam keputusan pengendalian. Sedangakan fungsi dewan komisaris sendiri adalah mengawasi pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan oleh manajemen direksi dan bertanggung jawab untuk menentukan apakah manajemen memenuhi tanggung jawab mereka dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pengendalian intern perusahaan Mulyadi, 2002. Semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka akan semakin mudah untuk mengendalikan Chief Executive Officer CEO dan monitoring yang dilakukan pun akan semakin efektif. Dikaitkan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, maka tekanan terhadap manajemen juga akan semakin besar untuk mengungkapkannya. Institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Sehingga biasanya institusi menyerahkan tanggung jawab pada divisi tertentu untuk menyerahkan tanggungjawab pada divisi tertentu untuk mengelola investasi perusahaan tersebut. Karena institusi memantau secara profesional perkembangan investasinya maka tingkat pengendalian terhadap tidakan manajemen sangat tinggi sehingga tingkat kecurangan dapat ditekan. Investor institusi dapat dibedakan menjadi dua yaitu investor pasif dan investor aktif. Investor pasif tidak terlalu ingin terlibat dalam pengambilan keputusan manajerial. Sedangkan investor aktif ingin terlibat dalam pengambilan keputusan manajerial. Keberadaan institusi inilah yang mampu menjadi alat monitoring efektif bagi perusahaan. Pozen dalam Etty Murwaningsari 2009. Menurut Crutcley 1999 dalam Wahyudi dan Pawestri 2006 semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin kuat kontrol eksternal terhadap perusahaan dan mengurangi agency cost, sehingga perusahaan akan menggunakan deviden yang rendah. Dengan adanya kontrol yang ketat, menyebabkan manajer manggunakan utang pada tingkat rendah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya financial distress dan risiko kebangkrutan. Keanekaragaman dari hasil yang diperoleh mungkin dikarenakan adanya ketidaksamaan variabel karakteristik perusahaan yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan variabel karakteristik perusahaan yang berbeda-beda pada setiap penelitian mungkin akan menyebabkan hasil yang bervariasi antara penelitian yang satu dengan yang lain. Selain itu, alasan lainnya adalah karena adanya ketidakselarasan hubungan antara masyarakat dan perusahaan. Tuntutan mereka adalah agar perusahaan lebih memperhatikan tanggung jawab sosial di lingkungan sekitar perusahaan. Menurut Gray et. al. 1995 dalam Sembiring 2005 ada dua pendekatan yang secara signifikan berbeda dalam melakukan penelitian tentang pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Pertama, pengungkapan tanggung jawab sosial mungkin diperlakukan sebagai suatu suplemen dari aktivitas akuntansi konvensional. Pendekatan ini secara umum akan menganggap masyarakat keuangan sebagai pemakai utama pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan cenderung membatasi persepsi tentang tanggung jawab sosial yang dilaporkan. Pendekatan alternatif kedua adalah dengan meletakkan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan pada suatu pengujian peran informasi dalam hubungan masyarakat dan organisasi. Pandangan yang lebih luas ini telah menjadi sumber utama kemajuan dalam pemahaman tentang pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan sekaligus merupakan sumber kritik yang utama terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Perbedaan hasil penelitian membuat penulis ingin meneliti kembali pengaruh Size, Profitabilitas, Financial Leverage, Jumlah Dewan Komisaris, dan Struktur Kepemilikan Institusional terhadap pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia pada Tahun 2008- 2009 dengan tujuan agar hasil sampel menggambarkan kondisi pengungkapan dengan lebih akurat dan agar dapat memprediksi hasil penelitian dalam jangka panjang. Kemudian, perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dipilih sebagai objek sampel penelitian, karena banyak kalangan yang menganggap bahwa perusahaan-perusahaan besar adalah faktor yang paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan. Karena itu, peneliti ingin mengetahui seberapa banyak perusahaan yang telah serius mengungkapkan tanggung jawab sosialnya. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengambil judul “Pengaruh Size, Profitabilitas, Financial Leverage, Jumlah Dewan Komisaris, Struktur Kepemilikan Institusional terhadap Corporate Social Responsibility Disclosure Studi Empiris Perusahaan yang Tedaftar di BEI 2008- 2009”

1.2. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN, KOMISARIS INDEPENDEN, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, LEVERAGE DAN UKURAN DEWAN KOMISARIS TERHADAP PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

0 27 24

Pengaruh mekanisme corporate governance, ukuran perusahaan dan profitabilitas perusahaan terhadap pengungkapan corporate social responsibility di dalam laporan sustainability : Studi empiris pada perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-

0 6 156

PENGARUH CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY, KEPEMILIKAN MANAJEMEN, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, DAN DEWAN KOMISARIS INDEPENDEN TERHADAP NILAI PERUSAHAAN PADA PERUSAHAAN

6 35 148

Pengaruh Tingkat Leverage, Ukuran Dewan Komisaris, dan Struktur Kepemilikan Saham Perusahaan terhadap CSR Disclosure. (Studi Empiris Pada Perusahaan Sub Sektor Property dan Real Estate yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2014)

0 7 142

PENGARUH KEPEMILIKAN MANAJEMEN, KEPEMILIKAN INSTITUSI, SIZE, PROFITABILITAS DAN LEVERAGE TERHADAP PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

0 2 89

PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN, LEVERAGE, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL DAN UKURAN DEWAN KOMISARIS TERHADAP PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN, LEVERAGE, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL DAN UKURAN DEWAN KOMISARIS TERHADAP PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (Studi Em

0 4 15

PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN, UKURAN DEWAN KOMISARIS, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, KEPEMILIKAN ASING, DAN UMUR PERUSAHAAN TERHADAP CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DISCLOSURE PADA PERUSAHAAN PROPERTY D

0 4 192

PENGARUH UKURAN DEWAN KOMISARIS, LEVERAGE, PROFITABILITAS, SIZE, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, DAN Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris, Leverage, Profitabilitas, Size, Kepemilikan Institusional, Dan Kepemilikan Saham Publik Terhadap Pengungkapan CSR Pada Perusa

0 1 16

PENGARUH UKURAN DEWAN KOMISARIS, LEVERAGE, PROFITABILITAS, SIZE, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, DAN Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris, Leverage, Profitabilitas, Size, Kepemilikan Institusional, Dan Kepemilikan Saham Publik Terhadap Pengungkapan CSR Pada Perusa

0 1 15

PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN DAN DEWAN KOMISARIS TERHADAP CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN REAKSI PASAR

0 0 15