Tingkat Penolakan Sekolah school refusal Faktor-faktor yang Menyebabkan Penolakan Sekolah school refusal

18 Penolakan sekolah school refusal bukan merupakan sindrom klinis melainkan istilah yang menunjukkan keberagaman masalah emosi pada anak yang menolak bersekolah. Pada beberapa kasus, anak dengan penolakan sekolah school refusal tidak memperoleh suatu diagnosis tertentu. Dari beberapa pendapat tokoh diatas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak yang mengalami penolakan sekolah yaitu : 1. Menunjukkan perilaku bermasalah di pagi hari sebelum berangkat sekolah seperti tantrum, menangis, dan pernyataan tidak ingin masuk sekolah. 2. Pergi ke sekolah dengan keluhan fisik dan keluhan lain di luar keluhan fisik dengn tujuan agar tidak pergi ke sekolah. 3. Membujuk orangtuanya agar mengizinkan anak untuk membolos atau tinggal dirumah 4. Tidak menunjukkan perilaku seperti berbohong, mencuri atau merusak

2.1.3 Tingkat Penolakan Sekolah school refusal

Penolakan sekolah school refusal merupakan suatu kontinum tingkat keparahan penolakan bersekolah pada anak. Beberapa anak mengalami kesulitan hadir di sekolah dalam jangka waktu singkat dan tidak memerlukan intervensi khusus hingga mau kembali ke sekolah. Biasanya hal tersebut terkait dengan penyesuaian diri anak ketika baru memasuki lingkungan sekolah. Akan tetapi beberapa anak lainya menunjukkan penolakan yang lebih kuat, sehingga ketidakhadiran di sekolah menjadi kebiasaan dan akan bertahan lama apabila tidak ditangani. Setzer dan Salhauer dalam Haarman, 2009: 9 mengidentifikasi empat tingkat penolakan sekolah school refusal sebagai berikut : 19 1. Initial school refusal behavior, yaitu penolakan bersekolah yang berlangsung dalam waktu sangat singkat dan bersifat tiba-tiba spontan, yang berakhir dengansendirinya tanpa intervensi. 2. Substantial school refusal behavior, yaitu penolakan sekolah yang berlangsung dalam jangka waktu minimal dua minggu. 3. Acute school refusal, yaitu penolakan bersekolah yang berlangsung selama dua minggu sampai satu tahun. 4. Chronic school refusal behavior, yaitu penolakan sekolah yang berlangsung lebih dari satu tahun.

2.1.4 Faktor-faktor yang Menyebabkan Penolakan Sekolah school refusal

Menurut Kearney 2007: 57 faktor yang menyebabkan perilaku penolakan sekolah school refusal sangat beragam dan berbeda antar anak. Penolakan sekolah pada anak-anak biasanya bukan karena rasa takut pada sekolahnya, tetapi takut berpisah dengan orang tuanya. Hal yang paling mendasar pada penolakan sekolah adalah gangguan kecemasan anxiety disorder. Khan, dkk 1981: 16 mengemukakan dua faktor utama yang mempengaruhi anak melakukan penolakan sekolah, yaitu : 1. Faktor Internal Faktor internal mengacu pada kekecewaan atau ketakutan yang dialami anak karena perubahan – perubahan yang terjadi di sekolah. seperti adanya ketakutan atau kecemasan karena tidak mampu mengikuti pelajaran, ketakutan diminta mengerjakan tugas yang sulit, atau ketidaksiapan anak menghadapi perubahan di sekolah. 20 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal mengacu pada hubungan orangtua atau lingkungan dalam kaitanya dengan perkembangan anak. seperti orangtua yang sakit, ketidakbahagiaan dalam keluarga, krisis ekonomi, dan tuntutan orang tua akan kehadirana nak dirumah. Galloway 1985: 5 mengemukakan faktor penyebab anak melakukan penolakan sekolah, antara lain : 1. Faktor internal Anak mengalami kecemasan berpisah separation anxiety yaitu kondisi personal anak yang mengarah pada ketakutan anak berpisah dari rumah dan orangtua. 2. Faktor eksternal Pengaruh sekolah yang tidak menyenangkan atau menciptakan suatu kondisi yang tidak aman bagi anak. seperti guru yang terlalu keras, atau teman sekolah yang menganggu. Hersov dalam Herbert, 1995: 167-169 juga mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan anak melakukan penolakan sekolah, yaitu : 1. Faktor internal a. Ketakutana akan kegagalan secara akademis b. Gangguan kecemasan berpisah separation anxiety yang dikarakteristikan dengan kecemasan yang berlebihan antara anak dengan orang yang dekat denganya, anak menolak sekolah karena takut berjauhan dengan ibu saat mereka berada di sekolah. 21 c. Kecemasan akan mentruasi pada anak perempuan dan pubertas dan masturbasi pada anak laki-laki serta ketakutan apabila muntah dan pingsan selama di sekolah. 2. Faktor eksternal a. Stress yang ada dalam sekolah, seperti guru, teman atau lingkungan sekolah yang kurang menyenangkan dan memberikan tekanan b. Mendapat ejekan, gertakan atau gangguan dari anak lain. Mash dan Wolfe 2005: 188 menjelaskan faktor penyebab penolakan sekolah school refusal yaitu kecemasan berpisah separation anxiety ketakutan anak akan meninggalkan orangtuanya. Ketakutan berhubungan dengan ketertudukan pada peraturan diuar rumah, harus berhubungan dengan anak yang tidak dikenal sebelumnya, dan pengalaman terancam kegagalan. Khawatir akan di ejek, diusik atau diganggu oleh anak lain atau kritikan dan disiplin guru. Kecemasan yang berlebihan tentang bertemu dengan orang baru, terlambat ke kelas, atau berpindah dari satu kelas ke kelas lain. Dari beberapa pendapat tokoh diatas makan dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang menyebabkan anak melakukan penolakan sekolah school refusal adalah: 1. Faktor Internal a. Anak mengalami kecemasan, seperti separation anxiety ketakutan berpisah dengan orang tua atau orang terdekatnya. b. Ketakutan yang dialami anak berkaitan dengan kegiatan akademik 22 2. Faktor Eksternal a. Hubungan anak dengan orang tua dimana hubungan tersebut berkaitan dengan perkembangan anak, seperti orang tua sakit atau konflik dalam keluarga b. Pengaruh sekolah dan lingkungan sekolah yang meliputi hal – hal yang tidak menyenagkan ketika anak berada di sekolah. Intensitas stress ketika berada di sekolah yang di sebabkan karena guru atau teman – teman di sekolah. 2.2 Kajian Pustaka Terdapat berbagai penelitian yang berkaitan dengan penolakan sekolah school refusal. Di Indonesia memang belum banyak penelitian tentang penolakan sekolah school refusal. Salah satu peneltian di Indonesia yang sejalan dengan penolakan sekolah school refusal adalah penelitian yang dilakukan oleh Ampuni dan Andayani dari Universitas Gadjah Mada yang berjudul Memahami Anak dan Remaja Dengan Kasus Mogok Sekolah. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penolakan sekolah school refusal empat dari lima subjek yang ia teliti terdapat empat subjek yang berhasil ditangani dengan konseling, sedangkan satu subjek pada awalnya sukses masuk sekolah namun kemudian ia melakukam relapse dan saat ini subjek sedang dalam proses konseling lagi. Berdasarkan hasil pemberian treatment yang dilakukan peneliti, keberhasilan penangganan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : a karakteristik kepribadian, b usaha orang tua untuk membujuk dan membantu anaknya, c dukungan dari pihak sekolah, d konseling yang berkelanjutan. 23 Utami, Hegar Ayu pada tahun 2012 Tesis dari Universitas Indonesia melakukan penelitian dengan judul Penerapan In Vivo Desensitization Untuk Meningkatkan Perilaku Bersekolah Pada Anak Dengan School Refusal Behavior. Hasil penelitian menunjukkan bahwaprogram modifikasi perilaku in vivo desensitization efektif untuk meningkatkan perilaku bersekolah pada subjek penelitianya. Terdapat perubahan perilaku pada A sebelum dan sesudah mengikuti program intervensi. Secara spesifik, in vivo desentisization efektif untuk mengurangi ketakutan untuk bersekolah. Penyebab subjek menolak untuk pergi ke sekolah adalah selain subjek memiliki kecerdasan dibawah rata-rata subjek juga memiliki self esteem yang rendah dan subjek menolak sekolah karena menghindari tugas-tugas akademik yang menimbulkan rasa takut. Penolakan sekolah school refusal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa tokoh, bahwa jumlah prosentase anak yang menolak ke sekolah saat ini mengalami peningkatan. Studi yang dilakukan oleh staf dari child study center Setzer dan Salzhauver, 2001: 1 yang menyatakan bahwa sebanyak 28 anak usia sekolah di Amerika menolak untuk bersekolah pada saat yang bersamaan ketika mereka harus bersekolah. Perilaku anak yang menolak sekolah ini pada umumnya terjadi baik pada anak laki-laki maupun perempuan pada usia lima sampai dengan 17 tahun. Puncak dari perilaku penolakan sekolah ini biasanya terjadi pada masa transisi antara usia lima sampai enam tahun dan 14-15 tahun. Eisberg menyatakan bahwa keadaan penolakan sekolah di kliniknya meningkat dari 3 kasus per seribu anak menjadi 17 kasus per seribu anak selama periode delapan tahun. Smith dalam Walker dan Robert, 1992: 165-170 24 menganalisis gejala-gejala perilaku yang dideskripsikan pada kasus yang terjadi pada 12 anak kurang dari 20 mengalami penolakan sekolah ditandai dengan kecemasan yang timbul saat anak dipisahkan dengan orangtua karena anak takut jika terjadi sesuatu ketika anak berpisah dengan orang tua. Hasil penelitian Smith terhadap 12 kasus tersebut adalah delapan anak menolak untuk menghadiri sekolah setelah absen selama sakit, tujuh anak menolak mengahdiri sekolah setelah keluarga mengalami kekecewaan, satu anak mengalami ketakutan setelah menonton film, satu anak pergi ke sekolah untuk pertama kalinya dan lainya tidak teridentifikasi.

2.3 Kerangka Berpikir