21
sangat tergantung dari kondisi perekonomian, oleh karena itu perlu mengaitkan kondisi ekonomi dengan usaha calon debitur Harun, 2010: 34.
Selain dengan analisa penilaian diatas, pedoman pemberian kredit yang harus ada di masing-masing bank umum berdasarkan penjelasan Pasal 8 ayat 2
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 harus memuat aturan tentang: 1.
Pemberian kredit harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis; 2.
Bank wajib menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;
3. Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan
persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; 4.
Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur;
5. Bank wajib menetapkan aturan tentang cara-cara penyelesaian sengketa.
2.2 Pengertian Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit mengacu kepada KUH Perdata yang merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam buku III KUH Perdata. Pada
hakikatnya pemberian kredit merupakan salah satu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal
1754 KUH Perdata, yang berbunyi: ”Pinjam- meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak
yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian,
22
dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok prinsipil yang bersifat riil. Sebagaimana perjanjian perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminan adalah
assessor-nya. Ada atau berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh
bank kepada nasabah kreditur Harun, 2010: 15. Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan
penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit. Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian kredit dapat diartikan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan
antara kreditur dan debitur dalam hal penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, yang mewajibkan pihak lain khususnya debitur untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga kepada kreditur sesuai kesepakatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku Raharjo, 2010: 6. Perjanjian kredit seperti bentuk perjanjian pada umumnya, juga harus dapat
memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
23
3. Suatu hak tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dalam praktik perbankan, perjanjian yang dibuat secara tertulis dibedakan menjadi dua bentuk perjanjian, yaitu:
1. Akta di bawah tangan
Akta di bawah tangan artinya bahwa akta atau perjanjian tersebut dibuat tanpa peran pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta.
2. Akta Autentik
Akta autentik adalah surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan ditandatangani, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu
hak untuk dijadikan sebagai alat bukti. Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, akta autentik berupa akta yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh
danatau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta dibuat. Dengan kata lain, undang-undang mengatakan
bahwa bentuk akta sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh danatau pegawai umum, yang biasanya disebut Notaris Harun, 2010: 56.
2.2.1 Fungsi perjanjian kredit
Perjanjian kredit umumnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 1.
Sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya,
misalnya perjanjian pengikatan jaminan;
24
2. Sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara
kreditur dan debitur; 3.
Sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit Raharjo, 2010: 11.
2.2.2 Dasar hukum perjanjian kredit
Ruang lingkup pengaturan tentang perjanjian kredit sebagai berikut: 1.
Pasal 1754-1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai perjanjian pinjam-meminjam;
2. Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2.2.3 Hapusnya perjanjian kredit
Berdasarkan ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata suatu perjanjian dapat hapus karena:
1. Pembayaran atau pelunasan;
2. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyipanan atau penitipan;
3. Novasi atau pembaruan utang;
4. Kompensasi atau penjumpaan utang;
5. Pencampuran utang;
6. Pembebasan utangnya;
7. Musnahnya barang yang terutang;
8. Kebatalan atau pembatalan;
25
9. Berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab ke suatu buku ini;
10. Lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.
Dalam perjanjian kredit, umumnya dapat hapus atau berakhir karena: 1.
Ditentukan oleh pihak-pihak terlebih dahulu dalam perjanjian kredit tersebut; 2.
Pembayaran atau pemenuhan prestasi; 3.
Novasi atau pembaruan utang; 4.
Kompensasi atau Penjumpaan utang ; 5.
Subrogasi atau peralihan kreditur Raharjo, 2010: 13.
2.3 Pengertian Jaminan Kredit