politik, ekonomi dan pemerintahan mereka bertambah luas. Pendidikan ekonomi dimaksudkan untuk menumbuhkan tata ekonomi yang berdasarkan
cita-cita kolektivitas koperasi dan mengembangkan serikat sekerja. Sasaran yang hendak dicapai dengan pendidikan sosial adalah
mempertinggi kesejahteraan rakyat dan menunjukkan cara-cara mengatasi hal-hal yang dapat merusak sendi penghidupan nasional. Pendidikan itu
dilakukan dengan cara mengadakan kursus-kursus, rapat-rapat anggota atau tulisan-tulisan dalam majalah bahkan PNI Baru mengeluarkan
sebuah brosur “Ke arah Indonesia merdeka” KIM.
3. Raden Ajeng Kartini
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879
– wafat di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun. Raden Adjeng
Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M.
Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami adalah suatu hal yang biasa. Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa.
Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah
dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluk awur, Jepara.
Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah
bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng
Woerjan Moerjam, keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan
kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV,
diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini
diperbolehkan bersekolah di ELS Europese Lagere School. Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus
tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Hidupnya ibarat burung dalam sangkar emas. Keluarganya yang
memegang teguh adat lama, tidak menyetujui keinginan Kartini yang
menghendaki perubahan. Kartini hanya bisa mencurahkan cita-cita perjuangannya dalam bentuk surat. Ia rajin menulis surat kepada
temantemannya di Belanda. Isinya mengandung cita-cita yang luhur, terutama untuk mengangkat derajat wanita Indonesia. Berkat surat-surat ini,
tahun 1903 didirikan Sekolah Kartini Pertama di Semarang. Dan di usia 25 tahun, R.A Kartini akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
perjuangan R.A Kartini tidak serta merta didapatkan begitu saja, butuh proses dan
perjalanan panjang dalam menapakinya. Ketidaksetujuan keluarga ditambah celaan sebagai penentang adat dan
tradisi datang selama proses menuju perubahan. Namun R.A Kartini tidak
berhenti, ia tetap dengan pendiriannya untuk melawan kebiasaan atau adat yang kuno dan kolot. Ia ingin agar wanita Indonesia setara dengan pria,
memiliki hak bukan hanya kewajiban dan juga bisa sejajar dengan wanita- wanita dari Negara lain.
4. Ki Hadjar Dewantara