Hubungan Job Demand dengan Cyberloafing pada Guru di Pucca Learning Center Medan

(1)

60


(2)

61

Lampiran 1: Aitem Skala Job Demand Sebelum Uji Coba

No. Pernyataan

1. Saya merasa pekerjaan saya tidak ada habisnya.

2. Saya harus mengajar lebih dari waktu mengajar demi memastikan murid saya sudah mengerti

3. Pekerjaan yang saya miliki melebihi waktu kerja saya

4. Saya kurang memahami tugas-tugas yang diharapkan dalam pekerjaan saya 5. Saya merasa lelah karena pekerjaan saya membutuhkan konsentrasi secara terus

menerus

6. Saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya walau sebentar

7. Saya terpaksa mempelajari hal-hal yang di luar kapasitas saya karena tuntutan pekerjaan saya yang rumit

8. Kelas / sekolah dimana saya mengajar ribut sehingga saya tidak dapat mengajar dengan tenang

9. Orang –orang di sekeliling saya bersikap ketus

10. Saya merasa nyaman bekerja di institusi pendidikan ini

11. Saya memiliki waktu senggang untuk beristirahat selagi mengajar 12. Saya merasa tertekan selama bekerja di institusi pendidikan ini

13. Saya berusaha bersabar menghadapi orang-orang yang bekerja di sekeliling saya meskipun saya merasa kesal padanya

14. Saya merasa santai dalam melakukan pekerjaan saya

15. Orang-orang di sekeliling saya mengganggu saya dalam menyelesaikan pekerjaan saya saat mengajar

16. Tuntutan pekerjaan saya tergolong lebih mudah dibandingkan dengan kemampuan saya

17. Saya merasa diasingkan di institusi pendidikan ini

18. Lingkungan kerja saya membuat saya bersemangat untuk bekerja 19. Saya dapat mengerjakan hal lain selain pekerjaan sambil mengajar 20. Saya tidak diburu oleh waktu dalam mengajar

21. Tuntutan pekerjaan saya tidak membebani pikiran saya 22. Saya merasa terancam dengan lingkungan kerja saya

23. Saya dapat permasalahan dalam mengajar sesuai dengan pengetahuan yang saya miliki

24. Saya senang bekerja sama dengan orang-orang di sekeliling saya 25. Saya mengerjakan pekerjaan saya sesuai job description dari sekolah 26. Kinerja saya menurun seiring peningkatan beban kerja saya

27. Pekerjaan saya menuntut ketelitian yang tinggi

28. Pekerjaan saya tidak mentolerir kesalahan sekecil apapun 29. Saya harus mengawasi pekerjaan saya terus menerus


(3)

62

Lampiran 2: Aitem Skala Cyberloafing Sebelum Uji Coba

No. Pernyataan

1. Mengunjungi situs berita online yang tidak berhubungan dengan pekerjaan 2. Mengunjungi situs hiburan dan infotainment

3. Mengakses sosial media (Contoh: Instagram, Path, Facebook, Twitter, Snapchat, Periscope, Seventeen, Pinterest, Blog, Tumblr, Flickr, Ask.Fm) 4. Belanja online

5. Memeriksa, mengirim atau membalas email pribadi 6. Mengunjungi situs tentang hobi

7. Berkomunikasi lewat pesan instan (Contoh: Line, BBM, WhatsApp, Facebook Messenger, Skype, Wechat, KakaoTalk, Kik)

8. Menonton video / film online 9. Bermain game online

10. Mengunjungi situs wisata

11. Mengunduh file yang tidak berkaitan dengan pekerjaan 12. Memesan tiket pesawat atau hotel untuk keperluan pribadi


(4)

63

Lampiran 3: Hasil Uji Coba Reliabilitas Aitem Job Demand

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized

Items N of Items


(5)

64

Lampiran 4: Hasil Uji Coba Daya Beda Aitem Job Demand

Mean Minimum Maximum Range

Maximum /

Minimum Variance N of Items

Item Means 2.267 1.643 3.386 1.743 2.061 .202 30

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted Corrected Item-Total Correlation Squared Multiple Correlation Cronbach's Alpha if Item

Deleted

q1 65.5714 57.350 .328 . .813

q2 65.6286 56.933 .375 . .811

q3 65.5286 56.572 .376 . .811

q4 66.1286 60.346 .053 . .822

q5 65.2143 56.895 .332 . .813

q6 65.6429 56.668 .389 . .810

q7 65.3286 56.166 .388 . .810

q8 65.5571 56.134 .359 . .812

q9 66.1571 56.279 .450 . .808

q10 66.1000 56.584 .427 . .809

q11 65.7571 58.418 .272 . .815

q12 66.1286 57.041 .438 . .809

q13 66.1714 56.521 .455 . .808

q14 64.9429 61.823 -.099 . .825

q15 66.2429 57.317 .396 . .810

q16 65.2429 60.187 .057 . .823

q17 66.3571 56.262 .526 . .806

q18 66.0429 56.911 .518 . .807

q19 65.7429 57.556 .307 . .813

q20 65.5714 57.031 .374 . .811

q21 65.6857 58.132 .263 . .815

q22 66.3429 55.794 .536 . .805


(6)

65

q24 66.2286 56.759 .444 . .808

q25 65.9714 57.419 .343 . .812

q26 65.0857 60.282 .061 . .822

q27 64.6143 58.182 .335 . .813

q28 65.9714 58.144 .310 . .813

q29 65.2571 59.875 .127 . .819


(7)

66

Lampiran 5: Hasil Uji Coba Reliabilitas Aitem Cyberloafing

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized

Items N of Items


(8)

67

Lampiran 6: Hasil Uji Coba Daya Beda Aitem Cyberloafing

Summary Item Statistics

Mean Minimum Maximum Range

Maximum /

Minimum Variance N of Items

Item Means .611 .314 1.300 .986 4.136 .088 12

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Squared Multiple Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

q1 6.3000 63.025 .734 .773 .914

q2 6.0286 64.405 .702 .744 .916

q3 6.7000 67.083 .691 .590 .915

q4 6.6429 68.842 .640 .458 .917

q5 6.7000 65.575 .811 .815 .910

q6 6.9714 67.593 .729 .710 .914

q7 7.0143 70.739 .689 .835 .916

q8 6.9000 69.657 .645 .820 .917

q9 6.9857 70.130 .733 .826 .915

q10 6.8286 72.289 .442 .526 .925

q11 6.9143 67.993 .709 .828 .915


(9)

68

Lampiran 7: Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

jd cl

N 70 70

Normal Parametersa,,b Mean 48.3286 6.8714

Std. Deviation 5.71223 5.19733

Most Extreme Differences Absolute .134 .155

Positive .089 .155

Negative -.134 -.129

Kolmogorov-Smirnov Z 1.123 1.296

Asymp. Sig. (2-tailed) .161 .070

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.


(10)

69

Lampiran 8: Hasil Uji Linearitas

ANOVA Table

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. cl

* jd

Between Groups

(Combined) 1326.048 23 57.654 4.931 .000

Linearity 1052.060 1 1052.060 89.987 .000

Deviation from Linearity

273.988 22 12.454 1.065 .415

Within Groups 537.795 46 11.691

Total 1863.843 69


(11)

70

Lampiran 9: Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment

Correlations

jd cl

Jd Pearson Correlation 1 -.751**

Sig. (1-tailed) .000

N 70 70

Cl Pearson Correlation -.751** 1

Sig. (1-tailed) .000

N 70 70

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Summary Item Statistics


(12)

71

Lampiran 10: Skala Penelitian

SKALA PENELITIAN

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(13)

72

IDENTITAS DIRI

Nama/Inisial :

Usia :

Jenis Kelamin : Laki-Laki/Perempuan (coret yang tidak perlu)

PETUNJUK PENGISIAN:

Anda diharapkan menjawab setiap pernyataan dalam skala ini sesuai dengan keadaan, perasaan dan pikiran Anda yang sebenarnya dengan cara memilih: SS : Bila Anda merasa sangat setuju dengan pernyataan tersebut S : Bila Anda merasa setuju dengan pernyataan tersebut

TS : Bila Anda merasa tidak setuju dengan pernyataan tersebut

STS : Bila Anda merasa sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut Berikan tanda silang (X) pada kolom jawaban yang anda anggap paling sesuai dengan diri Anda.

Contoh pengisian skala:

No. Pernyataan STS TS S SS

1. Saya adalah orang yang

bertanggung jawab X

NB: Jika Anda ingin memperbaiki jawaban, anda cukup membuat tanda sama dengan (=) di tengah-tengah tanda silang, lalu pilih kembali jawaban Anda.


(14)

73

SKALA I

No. Pernyataan STS TS S SS

1. Saya merasa pekerjaan saya tidak ada habisnya.

2.

Saya harus mengajar lebih lama dari waktu mengajar demi menyelesaikan materi pelajaran untuk anak didik

3. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan materi pelajaran terlalu singkat

4. Saya harus konsentrasi secara terus menerus selama mengajar

5. Saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya walau sebentar

6. Saya terpaksa mempelajari hal-hal baru karena tuntutan pekerjaan saya yang rumit

7. Suasana di kelas ribut sehingga saya tidak dapat mengajar dengan tenang

8. Orang – orang di sekeliling saya bersikap sinis

9. Saya merasa nyaman bekerja di kursus ini 10. Saya merasa tertekan selama bekerja di

kursus ini

11. Saya merasa kesal pada orang-orang di kursus ini

12. Orang-orang di sekeliling saya mengganggu saya dalam menyelesaikan pekerjaan saya 13. Saya merasa diasingkan di kursus ini


(15)

74

14. Lingkungan kerja saya membuat saya bersemangat untuk bekerja

15. Saya dapat mengobrol sambil mengajar

16. Saya tidak perlu terburu-buru dalam mengajarkan materi pelajaran

17. Saya merasa terancam dengan lingkungan kerja saya

18. Saya senang bekerja sama dengan orang-orang di sekeliling saya

19. Saya mengerjakan pekerjaan saya sesuai job description

20. Pekerjaan saya menuntut ingatan yang baik 21. Pekerjaan saya harus diawasi terus menerus

22. Pekerjaan saya tidak mentolerir kesalahan sekecil apapun

SKALA II

Dalam satu hari, seberapa sering Anda melakukan hal berikut menggunakan akses Internet (misal: wi-fi) dari kursus pada saat mengajar?

Keterangan:

TP : Tidak Pernah JR : 1 kali

KK : 2 - 5 kali SR : > 5 kali


(16)

75

No. Pernyataan TP JR KK SR SL

1.

Mengunjungi situs berita online yang tidak berhubungan dengan pekerjaan

2. Mengunjungi situs hiburan dan infotainment

3.

Mengakses sosial media (Contoh: Instagram, Path, Facebook, Twitter, Snapchat, Periscope, Seventeen, Pinterest, Blog, Tumblr, Flickr, Ask.Fm)

4. Belanja online

5. Memeriksa, mengirim atau membalas email pribadi

6. Mengunjungi situs tentang hobi

7.

Berkomunikasi lewat pesan instan (Contoh: Line, BBM, WhatsApp, Facebook Messenger, Skype, Wechat, KakaoTalk, Kik) 8. Menonton video / film online 9. Bermain game online

10. Mengunjungi situs wisata

11. Mengunduh file yang tidak berkaitan dengan pekerjaan

12. Memesan tiket pesawat atau hotel untuk keperluan pribadi


(17)

DAFTAR PUSTAKA

Adcock, A.B. (2000). Effects of cognitive load on processing and performance. University of Memphis Instructional Media Lab. Akses: 27 Mei 2015 http://aimlab.memphis.edu/amyscogpaper.pdf.

Anandarajan, M., & Simmers, C.A. (2005). Developing human capital through personal web use in the workplace: Mapping employee perceptions. Communications of the Association for Information Systems, 15 (41), 776-791.

Anwarsyah, W.I., Salendu A., Radikun T.B.S. (2012). Hubungan antara job demands dengan workplace well-being pada pekerja shift. Jurnal Psikologi PITUTUR, 1 (1), 29-40.

Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik. (Edisi Revisi). Jakarta: Salemba Medika

Askew, K. (2009). Testing the plausibility of a series of casual minor cyberloafing models. Dissertations. University of South Florida.

Askew, K. (2012). The relationship between cyberloafing and task performance and an examination of the theory of planned behavior as a model of cyberloafing. Dissertations. University of South Florida.

Azwar, S. (2003). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar. ________. (2010). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Bakker, A. B., & Demerouti, E. (2007). The job demands‐resources model: state of the art. Journal of Managerial Psychology, 22 (3), 309-328.


(18)

Barrouilet P., Bernardin S., Portrat S., Vergauwe E., Camos V. (2007). Job time and cognitive load in working memory. Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory, and Cognition, American Psychological Association, 33 (3), 570-585.

Bennet, R.J. & Robinson S.L.,(2000). Development of a measure of workplace deviance. Journal of Applied Psychology, 85 (3), 349-360.

Blanchard, A. & Henle, C. (2008a). Correlates of different forms of cyberloafing: The role of norms and external locus of control. Computers in Human Behavior, 24, 1067-1084.

Blanchard, A. & Henle, C. (2008b). The interaction of work stressors and organizational sanctions on cyberloafing. Journal of Managerial Issues, 20 (3), 383-400.

Blau, G., Yang, Y., & Ward-Cook, K. (2004). Testing a measure of cyberloafing. Journal of Allied Health, 35(1), 9-17.

Block, W.E. (2001). Cyberslacking, business ethics and managerial economics. Journal of Business Ethic, 33, 225-234

Buckingham, D. A. (2004). Assosiation among stress, work overload, role conflict, and self-efficacy in maine principals. Thesis. The University of Maine

Demerouti, E., Bakker, Arnold. B., Nachreiner, F., & Schaufeli, Wilmar. B. (2001). The job demands resources model of burnout. Journal of Applied Psychology, 86, 499–512.


(19)

Farhadi, H., Fatimah, O., Nasir,R., & Wan Shahrazad, W.S. (2012). Agreeableness and conscientiousness as antecedents of deviant behavior in workplace. Asian Social Science, 8 (9), 1-7.

Field, A. (2009). Discovering Statistics Using SPSS. British: Sage Publication Ltd.

Garrett, K., & Danziger J. (2008). Disaffection or expected outcomes: understanding personal internet use during work. Journal of Computer-Mediated Communication, 13, 937–958.

Greenfield, D.N., & Davis, R.A. (2002). Lost in cyberspace: the web @ work. Journal of CyberPsychology and Behavior, 5, 347–353.

Greengard, S. (2002). The high cost of cyberslacking. Workforce.12(December), 22-24

Guthrie, R., & Gray, P. (1996). Junk computing: is it bad for an organization?. Information Systems Management, 13 (1), 23-28.

Hart, C. S. (2010). Assessing the impact of low workload in supervisory control of networked unmanned vehicles. Dissertations. Massachusetts Institute of Technology.

Henle,C.A., & Kedharnath, U. (2012). Cyberloafing in the workplace. In Z. Yan, Encyclopaedia of Research on Cyber Behaviour. 1, 560-573.

Herlianto, A.W. (2013). Pengaruh stress kerja pada cyberloafing. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Manajemen Surabaya, 1 (2).

Hill, G. (1998). AS Level Psychology Through Diagrams. United Kingdom: Oxford University Press.


(20)

Karasek, R.A. (1979). Job demands, job decision latitude, and mental strain: implications for job design”. Administrative Science Quarterly, 24, 285-308.

Karasek, R.A. (1998). Demand/Control Model: a social, emotional, and physiological approach to stress risk and active behaviour development, in Stellman, J.M. (Ed.), Encyclopaedia of Occupational Health And Safety, ILO, Geneva, 34, 06-14.

Kay, Bart, Johnson,Y., Chern,A., & Kangas,A.H. (2009), “Cyberloafing: a

modern workplace phenomenon”,

http://www.alanchern.com/documents/Loafing.

Kim, S.J., & Byrne, S. (2011). Conceptualizing personal web usage in work contexts: a preliminary framework. Computers in Human Behavior, 27, 2271–2283.

Kurniawati, V. H. (2012). Perilaku pemanfaatan media internet sebagai

sumber belajar pada mata pelajaran sosiologi di SMA. Jurnal Sosialitas, 2(1).

LaRose, R., & Eastin, M.S. (2004). A social cognitive theory of internet uses and gratifications: toward a new model of media attendance. Journal of Broadcasting and Electronic Media, 48 (3).

Liberman, B., Gwendolyn S., Katelyn Y., & Laura E. (2011). Employee job attitudes and organizational characteristics as predictors of cyberloafing. Computers in Human Behavior, 27, 2192–2199.


(21)

Lim, V.K.G. (2002). The IT way of loafing on the job: Cyberloafing, neutralizing, and organizational justice. Journal of Organizational Behavior, 23, 675-694.

Lim, V.K.G., & Teo, T.S.H. (2005). Prevalence, perceived seriousness, justification and regulation of cyberloafing in Singapore: An exploratory study. Journal of Information and Management, 42, 1081-1093.

Lim, V.K.G. & Chen D.J.Q. (2012). Cyberloafing at the Workplace: Gain or Drain on work?. Behaviour and Information Technology, 31(4).

MacDonald, W. (2003). The impact of job demands and workload on stress and fatigue. Australian Psychologist, 38(2), 102-117

Mahatanankoon,P., Anandarajan,M., & Igbaria,M. (2004). Development of a measure of personal web usage in the workplace. CyberPsychology & Behavior.7(1), 93–104.

Malachowski, D. (2005). Wasted time at work costing companies billions. Akses,15Mei2015:http://www.salary.com/careers/layoutscripts/crel_displa y.asp?tab=cre&cat=no_cat

Malachowski, D. (2006). Wasted time at work still costing companies billions in 2006. Akses, 15 Mei 2015: http://www.salary.com/wasted-time-at-work- still-costing-companies-billions-in-2006

Mastrangelo, P. M., Everton, W., & Jolton, J. A. (2006). Personal use of work computers: Distraction versus destruction. CyberPsychology & Behavior, 9(6), 730−741.


(22)

Mills, J. E., Hu, B., Beldona, S., & Clay, J. (2001). Cyberslacking! A wired workplace liability issue. Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly, 42, 34–47.

Norsilan, N., Omar Z., & Ahmad A. (2014). Workplace deviant behavior: does employee psychological job demand and lack of job resources influence employee workplace deviant behavior. Jurnal Psikologi Malaysia, 28 (2), 39-62.

Ozler, D.E., & Polat, G. (2012). Cyberloafing phenomenon in organizations: Determinants and impacts. International Journal of e-Bussiness and eGovernment Studies, 4(2), 1-15.

Page, D. (2015). Teacher’s personal web use at work. Journal of Behavior and

Information Technology, 34 (5), 443-453.

Reijseger, G., Schaufeli, W.B., Peeters, M. C. W., Taris, T.W., van Beek I., & Ouweneel, E. (2012). Watching the paint dry: Initial validation of the Dutch Boredom Scale. Anxiety, Stress & Coping: An International Journal, 26 (5), 508-525.

Robbins, S. P. & Judge T. (2007). Organizational Behavior. Upper Saddle River, N.J: Pearson/ Prentice Hall.

Roman, L. A. (1996). Survey: employees traveling in cyberspace while on the clock. Memphis Business Journal, 10, 2-3.


(23)

Schaufeli, W. B. & Bakker, A.B. (2004). Job demands, job resources, and their relationship with burnout and engagement: a multi-sample study. Journal of Organizational Behavior, 25, 293–315.

Schaufeli, W. B. (2006). The balance of give and take: Toward a social exchange model of burnout. International Review of Social Psychology, 19, 87-131. Schaufeli, W.B. & Salanova, M. (2014). Burnout, boredom and engagement at the

workplace. People at work: An Introduction to Contemporary Work Psychology (1st ed, 293-320) Edited by Maria C. W. Peeters, Jan de Jonge and Toon W. Taris, Chichester: John Wiley & Sons, Ltd

Sharma, P. & Maleyeff,J. (2003). Internet education: potential problems and solutions. International Journal of Educational Management, 17(1),19-25. Spector, P. E., Fox, S., Penney, L. M., Bruursema, K., Goh, A., & Kessler, S.

(2006). The dimensionality of counterproductivity: Are all counterproductive behaviors created equal?. Journal of Vocational Behavior,68 (3), 446–460

Sugiyono. (2010). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta

Ugrin, J. C., Pearson, J. M., & Odom, M. D. (2007). Profiling cyber-slackers in the workplace: demographic, cultural and workplace factors. Journal of Internet Commerce, 6 (3), 75-89.

Ugrin, J. C., Pearson, J. M., & Odom, M. D. (2008). Cyber-slacking: Self-control, prior behavior and the impact of deterrence measures. Review of Business Information Systems, 12(1), 75-87.


(24)

(2002). Specific relations between psychosocial job conditions and job-related stress: a three-level analytic approach. Work & Stress, 16, 207– 228.

Venkatraman, S. (2008). The “darth” side of technology use: cyberdeviant workplace behaviors. Dissertation. University of Arkansas.

Vitak, J., Crouse, J., & Larouse, R. (2011). Personal internet use at work: Understanding cyberslacking. Computers in Human Behavior, 27, 1751- 1759.

Walter, L. (2013). Get Back to Work: How to Prevent “Cyberloafing” in the Workplace. Akses 21 April 2015: http://ehstoday.com/safety/get-back-work-how-to-prevent -cyberloafing-workplace

Weatherbee, T. G. (2010). Counterproductive use of technology at work: Information and communications technologies and cyberdeviancy. Human Resource Management Review, 20(1), 35-44.

Woods, F. (2014). A study into the relationship between cyberloafing, procrastination and conscientiousness in the workplace. Thesis. Department of Psychology. DBS School of Arts. Dublin. Akses: http://esource.dbs.ie/bitstream/handle/10788/2074/hdip_woods_f_2014.pd f?sequence=1

Zoghbi-Manrique-de-Lara, P. (2012). Reconsidering the boundaries of the cyberloafing activity: The case of a university. Journal of Behavior and Information Technology, 31 (5), 469-479


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian melibatkan pengumpulan data, analisa data dan pengambilan keputusan hasil penelitian. Pembahasan dalam penelitian ini meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, prosedur penelitian dan metode analisis (Sugiyono, 2010).

A. IDENTIFIKASI VARIABLE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu: Variabel tergantung : Cyberloafing Variabel bebas : Job Demand

B. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati agar variabel-variabel penelitian tersebut tidak ambigu. Oleh karena itu, perlu dirumuskan definisi operasional mengenai variabel penelitian sebagai berikut:

1. Cyberloafing adalah frekuensi aktivitas karyawan menggunakan akses internet pribadi maupun perusahaan melalui alat elektronik atau gadget jenis apa saja untuk keperluan pribadi yang tidak berhubungan dengan pekerjaan yang mencakup emailing dan browsing. Variabel ini akan


(26)

diukur dengan skala yang dikembangkan peneliti dari skala Lim dan Chen (2012), yang mana skor yang tinggi menunjukkan seseorang memiliki frekuensi cyberloafing yang tinggi, sebaliknya skor yang rendah menunjukkan seseorang memiliki frekuensi cyberloafing yang rendah. 2. Job demand adalah jumlah/beban pekerjaan yang harus diselesaikan

karyawan ditinjau dari beban kerja fisik, emosi atau kognitif yang dapat menyebabkan kelelahan fisik atau psikologis. Variabel ini akan diukur menggunakan skala yang dikembangkan oleh peneliti dari skala Van Veldhoven (2002) yang terdiri dari dimensi: work overload, emotional load, dan cognitive load. Skor pada skala ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi job demand karyawan. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah job demand karyawan.

C. SUBJEK PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini adalah guru di Pucca Learning Center yang berjumlah 70 orang. Apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya menjadi penelitian populasi (Arikunto, 2010).

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan skala Likert. Skala adalah bentuk instrumen pengumpul data. Skala Likert menyediakan respon dari kontinum negatif sampai dengan positif


(27)

(Azwar, 2010). Terdapat dua skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala job demand dan skala cyberloafing.

1. Skala Job Demand

Metode pengambilan data job demand dilakukan dengan menggunakan skala yang dikembangkan dari Questionnaire on the Experience and Evaluation of Work (QEEW) oleh Van Veldhoven (2002). Skala tersebut berisi 30 aitem dengan jumlah 10 aitem untuk dimensi work overload, 10 aitem untuk dimensi emotional load, dan 10 aitem cognitive load. Skala ini menggunakan format Likert yang terdiri dari empat macam kategori jawaban yaitu: SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Skala Likert ini meniadakan kategori jawaban yang ditengah yaitu N (Netral) berdasarkan alasan yaitu kategori tersebut mempunyai arti ambigu. Skor untuk setiap respon aitem favorabel adalah nilai 4 untuk jawaban SS (Sangat Setuju) sampai dengan nilai 1 untuk jawaban STS (Sangat Tidak Setuju). Sedangkan skor untuk setiap respon aitem unfavorabel adalah nilai 1 untuk jawaban SS (Sangat Setuju) sampai dengan nilai 4 untuk jawaban STS (Sangat Tidak Setuju). Skor pada skala ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi job demand karyawan. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah job demand karyawan. Aitem skala job demand sebelum diuji coba dapat dilihat pada lampiran 1. Blue print skala job demand dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(28)

Tabel 1-Blue Print Skala Job Demand Sebelum Uji Coba No Dimensi Indikator Perilaku Butir Aitem Jumlah Jumlah

(%)

F UF

1 Work

overload

Kuantitas pekerjaan yang banyak

1, 2 11 10 33.3

Waktu yang sedikit dalam melakukan pekerjaan

3 20

Kualitas pekerjaan yang kompleks

4, 7 6, 23, 25

2 Emotional

load

Situasi kerja yang tidak menyenangkan atau membuat marah

8, 9 10 10 33.3

Lingkungan kerja menimbulkan emosi negatif terancam/ tersinggung

12, 17, 22

18

Berhubungan dengan

orang yang

menyulitkan dalam bekerja

13, 15 24

3 Cognitive

load

Pekerjaan melibatkan konsentrasi tinggi

5, 26 19, 21 10 33.3 Pekerjaan melibatkan

ketepatan memori

27, 28 4 Pekerjaan melibatkan

atensi terus menerus

6 29, 30

Total 17 13 30 100

2. Skala Cyberloafing

Perilaku cyberloafing yang dilakukan oleh karyawan akan diukur dengan menggunakan skala Lim dan Chen (2012) yang dikembangkan oleh peneliti yang terdiri dari aktifitas emailing dan browsing. Skala tersebut berisi 12 aitem, yang terdiri dari 11 aitem favorable untuk aktifitas browsing dan 1 aitem favorable untuk aktifitas emailing. Skala ini menggunakan format Likert yang terdiri dari lima rentang pilihan jawaban, yaitu: TP (Tidak Pernah), Jarang (JR), Kadang-Kadang (KK), Sering (SR), dan SS


(29)

(Tidak Pernah) sampai dengan nilai 4 untuk jawaban SS (Sangat Sering). Skor pada skala ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi frekuensi cyberloafing yang dilakukan oleh karyawan. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah frekuensi cyberloafing yang dilakukan oleh karyawan. Aitem skala cyberloafing sebelum diuji coba dapat dilihat pada lampiran 2. Blue print skala cyberloafing dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2-Blue Print Skala CyberloafingSebelum Uji Coba

No. Kategori Jenis Aitem Jumlah Jumlah

(%)

F UF

1 Emailing 5 1 8.3

2 Browsing 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12

11 91.6

Total 12 12 100

Keterangan : (-) = kosong

E. UJI INSTRUMEN PENELITIAN 1. Validitas Alat Ukur

Suatu alat ukur yang tidak reliabel atau tidak valid tidak akan memberikan informasi yang akurat mengenai keadaan subjek tes. Karena itu alat ukur harus memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas. Validitas berasal dari kata validity, yaitu sejauh mana sebuah alat ukur mampu menjalankan fungsi ukurnya (Azwar, 2010). Alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya. Validitas dalam penelitian ini menggunakan validitas isi (content validity). Pada dasarnya, validitas isi mengukur sejauh


(30)

mana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan isi objek yang hendak diukur atau sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur. Pengujian validitas ini dilakukan dengan cara analisis rasional atau professional judgement dengan dosen pembimbing dan pihak-pihak yang ahli di bidangnya.

2. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas alat ukur mengacu pada konsistensi alat ukur (Azwar, 2010). Tes yang reliabel adalah tes yang memiliki konsistensi tinggi di antara komponen-komponen. Uji reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat konsistensi internal dari setiap variabel yaitu koefisien Cronbach Alpha. Suatu alat ukur dapat disebut reliabel apabila memiliki

korelasi minimal α > 0.070 (Azwar, 2003). Penelitian ini menggunakan

bantuan SPSS Statistic 16 for Windows untuk komputasi koefisien reliabilitas.

3. Uji Daya Diskriminasi Aitem

Daya diskriminasi aitem merupakan sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2003). Dari komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala itu sendiri, akan menghasilkan koefisien Item-Total Correlation. Daya diskriminasi aitem dapat dilihat dari kolom Corrected Item-Total Correlation. Aitem yang akan dipilih adalah aitem yang memiliki nilai Corrected Item-Total Correlation ≥ 0.30 yang menunjukkan bahwa daya pembedanya memuaskan karena menunjukkan kesesuaian antara fungsi aitem dengan fungsi skala dalam


(31)

mengungkap perbedaan individual. Pengujian daya beda aitem ini bantu dengan program SPSS Statistic 16 for Windows.

F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR

Uji coba alat ukur dalam penelitian ini dilakukan secara online dengan jumlah responden sebanyak 70 orang guru kursus di kota Medan sejak tanggal 20 Desember 2015 hingga 23 Desember 2015. Peneliti kemudian mengolah data uji coba yang terkumpul untuk melihat daya diskriminasi aitem dan reliabilitas dari kedua skala tersebut dengan menggunakan program SPSS Statistic 16 for Windows. Kriteria pemilihan aitem adalah aitem-aitem yang memiliki nilai koefisien korelasi dengan batasan setidaknya 0,30 (rix ≥ 0.30). Aitem yang memiliki koefisien korelasi minimal 0,30 dianggap memiliki daya pembeda yang memuaskan (Azwar, 2010).

1. Hasil Uji Coba Skala Job Demand

Dari hasil analisis skala job demand yang terdiri dari 30 aitem, terdapat 22 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total di atas 0,30. Terdapat delapan aitem yang gugur dalam uji coba dengan koefisien korelasi aitem total di bawah 0,30 yakni aitem 4, 11, 14, 16, 21, 23, 26 dan 29. Aitem-aitem yang gugur kemudian dieliminasi sehingga dapat tetap digunakan untuk mengukur job demand. Skala job demand memiliki nilai koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,818 dengan koefisien korelasi aitem total antara 0,307 hingga 0,536. Hasil uji coba reliabilitas aitem job


(32)

demand dapat dilihat pada lampiran 3 dan hasil uji coba daya diskriminasi aitem job demand dilihat pada lampiran 4. Blue print skala job demand yang akan digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3-Distribusi Aitem Skala Job Demand Setelah Uji Coba No Dimensi Indikator Perilaku Butir Aitem Jumlah Jumlah

(%)

F UF

1 Work

overload

Kuantitas pekerjaan yang banyak

1, 2 – 6 27.3

Waktu yang sedikit dalam melakukan pekerjaan

3 20

Kualitas pekerjaan yang kompleks

7 25

2 Emotional

load

Situasi kerja yang tidak menyenangkan atau membuat marah

8, 9 10 10 45.4

Lingkungan kerja menimbulkan emosi negatif seperti terancam/ tersinggung

12, 17, 22

18

Berhubungan dengan

orang yang

menyulitkan dalam bekerja

13, 15

24

3 Cognitive

load

Pekerjaan melibatkan konsentrasi tinggi

5 19 6 27.3

Pekerjaan melibatkan ketepatan memori

27, 28

– Pekerjaan melibatkan

atensi terus menerus

6 30

Total 15 7 22 100

Keterangan: (-) = kosong

2. Hasil Uji Coba Skala Cyberloafing

Hasil analisis skala cyberloafing menunjukkan bahwa dari 12 aitem, seluruhnya memiliki koefisien korelasi aitem total minimal 0,30. Hasil komputasi reliabilitas skala cyberloafing menghasilkan nilai koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,922. Koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,442


(33)

hingga 0,811. Hasil uji coba reliabilitas aitem cyberloafing dapat dilihat pada lampiran 5 dan hasil uji coba daya beda aitem cyberloafing dapat dilihat pada lampiran 6. Blue print skala cyberloafing yang akan digunakan dalam penelitian tidak berubah dan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4-Distribusi Aitem Skala Cyberloafing Setelah Uji Coba

No Kategori Jenis Aitem Jumlah Jumlah

(%)

F UF

1 Emailing 5 1 8.3

2 Browsing 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12

11 91.6

Total 12 12 100

Keterangan : (-) = kosong

G. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

Terdapat tiga tahap dalam menjalankan prosedur penelitian, yaitu tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

Terdapat beberapa tahap persiapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Pencarian referensi

Peneliti mencari referensi yang berhubungan dengan topik penelitian yaitu job demand dan cyberloafing melalui jurnal penelitian.

b. Mengumpulkan data

Peneliti menegakkan masalah dari fenomena-fenomena yang terjadi dengan cara mengobservasi salah satu instansi pendidikan di kota Medan.


(34)

c. Pembuatan alat ukur

Peneliti membuat rancangan alat ukur berupa skala job demand dan cyberloafing melalui kajian teori dan hasil penelitian yang didapatkan melalui referensi. Kemudian, peneliti menentukan dimensi atau aspek dari setiap variabel dan menjabarkannya menjadi beberapa indikator dilanjutkan dengan pembuatan blue print skala yang di dalamnya berisi aitem-aitem pernyataan. Setelah itu, peneliti meminta penilaian ahli atau professional judgment pada dosen yang ahli dalam masing-masing variabel untuk dinilai relevansi aitem serta validitasnya.

d. Uji coba alat ukur

Selanjutnya, uji coba alat ukur dilakukan dengan sistem online. Tujuan dari uji coba skala yang telah dibuat ini adalah untuk mengetahui reliabilitas dan validitas dari alat ukur. Peneliti menerima sebanyak 70 data dari responden dengan kriteria yang telah ditentukan. Dari hasil olah data ini, dapat diketahui kekurangan dari alat ukur yang dibuat sehingga peneliti dapat memperbaikinya.

e. Revisi alat ukur

Dari hasil uji coba alat ukur, peneliti merevisi alat ukur dengan cara memilih aitem-aitem yang reliabilitas dan validitasnya dianggap baik setelah diolah menggunakan bantuan aplikasi komputer SPSS Statistic 16 for Windows. Kemudian, aitem-aitem yang reliabel saja yang diikutsertakan dalam skala penelitian yang akan digunakan untuk sampel penelitian yang sesungguhnya.


(35)

f. Permohonan izin pengambilan data

Pada tahap ini, peneliti menentukan perusahaan atau instansi yang sesuai dengan fenomena atau latar belakang penelitian dimana peneliti akan mengambil data penelitian. Pada tanggal 10 Desember 2015, peneliti datang ke salah satu instansi pendidikan yang berlokasi di Medan yaitu Pucca Learning Center Medan untuk menjelaskan perihal penelitian dan kebutuhan untuk pengambilan data dari instansi tersebut dan mendapatkan izin untuk melakukan penelitian di instansi tersebut.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Tahap ini adalah tahap dimana penyebaran skala dilakukan. Peneliti memberikan skala penelitian terhadap perwakilan dari pihak Pucca Learning Center Medan pada tanggal 7 Januari 2016. Karena menggunakan skala penelitian populasi, peneliti memberikan skala sebanyak jumlah guru di Pucca Learning Center Medan, yakni 70 orang guru. Dalam waktu 10 hari, seluruh skala yang dibutuhkan diterima kembali oleh peneliti.

3. Tahap Pengolahan Data Penelitian

Selanjutnya, peneliti melakukan pengolahan data yang terkumpul dengan metode komputasi yang dibantu oleh program aplikasi komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS Statistic 16 for Windows.


(36)

H. METODE ANALISIS DATA

Penelitian ini menggunakan metode analisis data Pearson Product Moment yang dioperasikan menggunakan bantuan program aplikasi komputer SPSS Statistic 16 for Windows. Metode analisis data ini bertujuan untuk mencari tahu hubungan antara dua buah variabel (Field, 2009).

Untuk melakukan uji korelasi Pearson Product Moment, data yang terkumpul harus memenuhi asumsi normalitas dan juga linearitas terlebih dahulu. Untuk itu dilakukan uji asumsi sebagai berikut:

1. Uji Normalitas

Uji asumsi normalitas dilakukan dengan analisis Kolmogorov-Smirnov. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian masing-masing variabel tergantung (cyberloafing) dan variabel bebas (job demand) telah menyebar secara normal. Data penelitian telah dapat dikatakan menyebar secara normal jika nilai signifikansinya berada di atas 0,05 (p > 0.05).

2. Uji Linearitas

Uji asumsi linearitas dilakukan dengan analisis Means: Test for Linearity dan analisis grafik scatterplot. Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah data variabel cyberloafing berkorelasi secara linear terhadap variabel job demand. Asumsi linearitas dianggap terpenuhi apabila nilai signifikansinya berada di bawah 0,05 (p < 0,05).


(37)

3. Uji Korelasi

Uji korelasi dilakukan dengan Pearson Product Moment. Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel job demand dan cyberloafing. Kedua variabel dikatakan berkorelasi jika p < 0,05. Adapun kriteria penilaian korelasi menurut Sugiyono (2010), yaitu:

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00-0,199 Sangat Rendah

0,20-0,399 Rendah

0,40-0,599 Sedang

0,60-0,799 Kuat


(38)

39

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas keseluruhan hasil penelitian, yang dimulai dengan gambaran umum subjek penelitian, dilanjutkan dengan hasil penelitian hingga pembahasan mengenai hasil analisa data.

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN

Responden dalam penelitian ini adalah seluruh guru di Pucca Learning Center Medan. Hal ini sesuai dengan metode pengambilan sampel yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu nonprobability sampling, khususnya total sampling yaitu teknik sampling yang menggunakan seluruh anggota populasi untuk dijadikan sampel (Sugiyono, 2010). Data dari 70 responden yang merupakan guru di Pucca Learning Center dikategorikan dalam jenis kelamin, jenjang pengajaran, dan masa kerja. Penggolongan yang dilakukan terhadap responden dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai gambaran responden sebagai objek penelitian. Gambaran umum dari responden sebagai objek penelitian tersebut satu per satu dapat diuraikan seperti pada bagian berikut:

1. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Penyebaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat melalui tabel berikut:


(39)

40

Tabel 5 - Sebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Pria 12 17,14%

Wanita 58 82,86%

Total 70 100%

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa jumlah responden pria adalah sebanyak 12 orang (17,14%) dan responden wanita berjumlah 58 orang (82,86%).

2. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Jenjang Pengajaran

Penyebaran subjek penelitian berdasarkan jenjang pengajaran dapat dilihat melalui tabel berikut:

Tabel 6 - Sebaran Subjek Berdasarkan Jenjang Pengajaran

Jenjang Pengajaran Jumlah Persentase

Lower level 20 28,57%

Higher level 50 71,43%

Total 70 100%

Di Pucca Learning Center, terdapat dua kelompok guru dengan jenjang pengajaran berbeda, yaitu lower level dan higher level. Guru-guru yang mengajar lower level termasuk guru PAUD. Sedangkan guru-guru yang mengajar kelas SD, SMP, dan SMA disebut dengan guru-guru higher level. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa jumlah responden yang mengajar tingkat balita hingga TK adalah sebanyak 20 orang (28,57%) sedangkan responden yang mengajar tingkat SD hingga SMA terdiri atas 50 orang responden (71,43%).

3. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia

Penyebaran subjek penelitian berdasarkan usia dapat dilihat melalui tabel berikut:


(40)

41

Tabel 7 - Sebaran Subjek Berdasarkan Usia

Usia Jumlah Persentase

19 tahun - 22 tahun 39 55,71%

23 tahun - 32 tahun 31 44,29%

Total 70 100%

Berdasarkan tabel di atas, 39 orang responden (55,71%) adalah guru yang berusia 18 hingga 21 tahun. Sebanyak 31 responden (44,29%) berusia 21 hingga 40 tahun.

A. HASIL UJI ASUMSI PENELITIAN

Pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan analisis korelasi Pearson Product Moment. Sebelum melakukan analisis tersebut maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yang bertujuan untuk melihat distribusi data penelitian. Uji asumsi meliputi uji normalitas dan uji linearitas.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah data yang dianalisis sudah terdistribusi dengan normal. Pengujian akan dilakukan dengan bantuan SPSS Statistic 16 for Windows dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Asumsi normalitas pada penelitian ini akan terbukti ketika nilai signifikansi variabel data lebih besar dari 0,05. Hasil uji asumsi normalitas dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8 - Hasil Uji Asumsi Normalitas


(41)

42

Job Demand 0,161 Normal

Cyberloafing 0,070 Normal

Berdasarkan tabel di atas, nilai signifikansi job demand yaitu p (0,161) > 0,05 dan nilai signifikansi cyberloafing yakni p (0,070) > 0,05 menunjukkan data berdistribusi dengan normal. Hasil uji SPSS dapat dilihat pada lampiran 7.

2. Uji Linearitas

Untuk mengetahui apakah variabel bebas (job demand), berkorelasi secara linear atau tidak terhadap variabel tergantung (cyberloafing) maka perlu dilakukan uji linearitas.Variabel bebas dengan variabel tergantung adalah linear apabila p < 0,05 untuk linearity dan p > 0,05 untuk deviation from linearity. Hasil uji SPSS dapat dilihat pada lampiran 8.

Tabel 9 - Hasil Uji Asumsi Linearitas Variabel p Deviation from

Linearity Keterangan Cyberloafing *

Job Demand 0,00 0,41 linear

Tabel di atas menunjukkan hasil uji linearitas pada kedua variabel yang memperoleh nilai p = 0,00. Dengan nilai linearity p (0,00) < 0,05 dan deviation from linearity p (0,41) > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang linear. Selain itu, hasil analisis scatterplot menunjukkan hubungan linear yang arahnya negatif. Gambar scatterplot dapat dilihat pada lampiran.


(42)

43

B. HASIL UTAMA PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara job demand dengan cyberloafing. Hipotesa yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu ada hubungan negatif job demand dengan cyberloafing. Hipotesa statistik dalam penelitian ini adalah:

H0: r=0, artinya tidak ada hubungan negatif antara job demand dengan cyberloafing

H1: r≠0, artinya ada hubungan negatif antara job demand dengan

cyberloafing

Hasil uji korelasi Pearson Product Moment dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 10 - Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment Analisis Pearson Correlation (r)

Korelasi Pearson Product Moment -0,751

Sesuai pernyataan Field (2009), kedua variabel dikatakan memiliki hubungan apabila nilai r ≠ 0. Dari hasil pengolahan data, didapatkan hasil korelasi sebesar r = -0,751. Karena itu, hasil uji korelasi memiliki arti bahwa H0 ditolak dengan nilai r = -0,751 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang kuat antara job demand dengan cyberloafing. Hasil uji SPSS dapat dilihat pada lampiran 9.


(43)

44

Penyebaran subjek berdasarkan kategori skor akan dilampirkan pada deskripsi data penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh, maka perbandingan data empiris dan hipotetik dari variabel cyberloafing dan job demand dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 11 - Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Variabel Nilai Empirik Nilai Hipotetik

Min Max Mean SD Min Max Mean SD

Cyberloafing 1 21 6,87 5,19 0 48 24 8

Job Demand 31 60 48,32 5,71 22 88 55 11

Kategorisasi dalam penelitian ini menggunakan dua jenis norma untuk variabel yang berbeda. Norma untuk job demand terbagi atas tiga kategori yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Sedangkan norma untuk cyberloafing terbagi atas tiga kategori yaitu: jarang, kadang-kadang, dan sering.

1. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Job Demand

Norma kategorisasi data penelitian job demand yang digunakan adalah menggunakan rumus standar deviasi sebagai berikut:

Tabel 12 - Norma Kategorisasi Data Penelitian Job Demand

Rentang Nilai Kategorisasi

X < (μ -1.0 SD) Rendah

(μ -1.0SD) ≤ X ≤ (μ +1.0 SD) Sedang

X > (μ +1.0 SD) Tinggi

Berdasarkan norma di atas, kategorisasi skor job demand secara umum adalah sebagai berikut:

Tabel 13 - Kategorisasi Data Penelitian Job Demand

Rentang Nilai Kategorisasi Jumlah Persentase (%)


(44)

45

44 – 66 Sedang 57 81,42

> 66 Tinggi 0 0

Total 70 100

Dari tabel di atas terlihat bahwa tidak ada subjek yang memiliki tingkat job demand yang tinggi. Sebanyak 18,57% reponden masuk dalam kategori tingkat job demand yang rendah, dan sisanya, yakni sebesar 81,42% berada dalam kategori tingkat job demand yang sedang.

2. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Cyberloafing

Norma kategorisasi data penelitian perilaku cyberloafing yang digunakan adalah menggunakan rumus standar deviasi sebagai berikut:

Tabel 14- Norma Kategorisasi Data Penelitian Cyberloafing

Rentang Nilai Kategorisasi

X < (μ -1.0 SD) Jarang

(μ -1.0SD) ≤ X ≤ (μ +1.0 SD) Kadang-Kadang

X > (μ +1.0 SD) Sering

Kategorisasi skor cyberloafing secara umum adalah sebagai berikut:

Tabel 15 - Kategorisasi Data Penelitian Cyberloafing

Rentang Nilai Kategorisasi Jumlah Persentase (%)

< 12 Jarang 56 80

12 – 32 Kadang-Kadang 14 20

> 32 Sering 0 0

Total 70 100

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa terdapat sebanyak 80% subjek yang jarang melakukan cyberloafing, dan sekitar 20% subjek penelitian yang kadang-kadang melakukan cyberloafing. Tidak satupun subjek penelitian melakukan cyberloafing dengan sering.


(45)

46

E. PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pada guru di Pucca Learning Center Medan, dengan jumlah 70 orang guru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu job demand dan cyberloafing. Dalam uji asumsi hipotesis, ditemukan hubungan linear yang arahnya negatif. Hal ini berarti bahwa kenaikan dari satu variabel diikuti oleh penurunan variabel lainnya. Hasil utama penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang kuat antara job demand dengan cyberloafing dengan koefisien korelasi sebesar 0,751.

Hubungan negatif tersebut artinya semakin rendah job demand maka semakin tinggi frekuensi cyberloafing. Dalam penelitian Hart (2010), ditemukan bahwa job demand yang rendah mempengaruhi perhatian seseorang dalam bekerja, dimana karyawan dengan job demand yang rendah cenderung terdistraksi secara kognitif saat bekerja dengan melakukan hal-hal seperti membaca, mengirim SMS, memeriksa email dan browsing. Maka dari itu, distraksi juga dapat dialami oleh guru-guru dengan job demand yang rendah sehingga melakukan cyberloafing saat mengajar sehingga menyebabkan frekuensi cyberloafing yang tinggi.

Beberapa penelitian terdahulu sebenarnya telah menemukan adanya hubungan antara job demand dengan cyberloafing. Namun, variabel job demand diantarai oleh variabel stres (Blanchard & Henle, 2008b). Dalam


(46)

47

penelitian tersebut stres yang disebabkan oleh tingginya job demand meningkatkan perilaku penyimpangan di tempat kerja seperti cyberloafing. Di sisi lain, job demand yang rendah juga dapat menyebabkan stres. Hal ini sesuai dengan kurva Yerkes-Dodson Law yang berbentuk ‘U’ terbalik dalam menjelaskan hubungan workload dengan performa kerja (Hart, 2010). Stres akibat rendahnya job demand membuat karyawan mengkompensasi emosi negatif tersebut dengan melakukan withdrawal, salah satu caranya adalah dengan melakukan cyberloafing (Askew, 2009).

Berdasarkan hasil kategorisasi job demand, dapat dilihat bahwa tingkat job demand pada guru di Pucca Learning Center Medan berada pada kategori sedang yaitu 81,42% dan sisanya yaitu 18,57% berada pada kategori rendah. Kategori ini menunjukkan bahwa guru di Pucca Learning Center Medan memiliki work overload, emotional load dan cognitive load yang sedang. Padahal, guru di Pucca Learning Center Medan memiliki agenda untuk mengulangi pelajaran hingga sempurna untuk beberapa pertemuan. Selain itu, pimpinan Pucca Learning Center Medan telah membagi guru - guru ke dalam dua tingkatan yaitu lower level dan higher level sesuai dengan tingkat kemampuan dan pengalaman guru. Sehingga jumlah maksimal murid yang ditangani satu orang guru adalah enam murid. Namun alasan dari hasil kategorisasi yang sedang tersebut adalah tidak adanya pembagian job desk yang jelas sebab selain agenda topik pengajaran yang disediakan, guru-guru dibebaskan untuk memberikan aktivitas yang berhubungan dengan materi


(47)

48

pelajaran dan murid-murid dapat menanyakan mengenai pelajaran sekolah berupa pekerjaan rumah maupun ujian.

Berdasarkan kategorisasi cyberloafing, mayoritas guru yaitu 80% jarang melakukan cyberloafing dan sisanya 20% kadang-kadang melakukan cyberloafing. Tidak satupun subjek penelitian melakukan cyberloafing dengan frekuensi sering. Kategori ini menunjukkan bahwa guru di Pucca Learning Center Medan memiliki frekuensi cyberloafing yang rendah. Rendahnya frekuensi cyberloafing merupakan pengaruh dari larangan penggunaan internet berupa himbauan yang ditetapkan oleh pimpinan sekolah untuk tidak menggunakan gadget atau telepon genggam pada jam mengajar terkecuali untuk hal yang berhubungan dengan proses belajar mengajar atau keperluan mendesak.

Seperti yang diulas oleh Ozler dan Polat (2012), aturan mengenai penggunaan internet dapat mempengaruhi aktivitas cyberloafing. Frekuensi cyberloafing cenderung berkurang apabila perusahaan memiliki regulasi mengenai penggunaan internet. Dalam populasi penelitian ini, peraturan yang dibuat hanya berupa himbauan dalam bentuk verbal dan poster. Hal ini menyebabkan aktivitas cyberloafing masih terjadi meskipun dalam taraf yang rendah. Menurut Vitak et al. (2011), sanksi juga dapat mempengaruhi frekuensi seseorang dalam melakukan cyberloafing. Selain himbauan, pimpinan Pucca Learning Center tidak memberikan sanksi untuk aktivitas cyberloafing.

Berdasarkan kategorisasi hasil penelitian juga ditemukan bahwa proporsi subjek pria dan wanita tidak seimbang, yaitu subjek wanita 65% lebih


(48)

49

banyak daripada subjek pria. Namun, Weatherbee (2010) menemukan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang kuat dengan cyberloafing sehingga hal tersebut dapat dikesampingkan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 44,29% guru di Pucca Learning Center Medan berusia antara 22 hingga 40 tahun dan sisanya yaitu 55,71% berusia 18 hingga 21 tahun. Usia memiliki korelasi yang lemah dalam menentukan perilaku cyberloafing sehingga hal ini juga dapat diabaikan (Weatherbee, 2010).

Meskipun hasil penelitian menunjukkan hubungan negatif yang kuat antara kedua variabel, hasil kategorisasi justru memberi gambaran yang berbeda. Menurut tabel kategorisasi, tingkat job demand yang sedang menghasilkan frekuensi cyberloafing yang rendah, berbeda dengan hasil komputasi korelasi yang menunjukkan bahwa semakin rendahnya job demand seseorang, maka semakin tinggi pula frekuensi cyberloafing. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat job demand seseorang, semakin rendah frekuensi cyberloafing. Hasil penelitian ini dapat dijelaskan dengan peranan variabel karakteristik pekerjaan. Pernyataan tersebut dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vitak et al. (2011) dimana karakteristik pekerjaan yang kurang bervariasi dan membosankan membuat individu termotivasi untuk melakukan cyberloafing. Tingkat job demand yang sedang menunjukkan bahwa para guru di Pucca Learning Center memiliki karakteristik pekerjaan yang dianggap cukup bervariasi sehingga dalam melakukan tugasnya, frekuensi cyberloafing menjadi jarang terjadi.


(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran dalam penelitian ini. Hasil penelitian diuraikan dalam bentuk poin-poin begitu pula saran bagi penelitian yang akan datang dengan topik yang serupa.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan data yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada hubungan negatif antara job demand dengan cyberloafing yang artinya, semakin rendah job demand karyawan maka semakin tinggi frekuensi seseorang melakukan cyberloafing. Sebaliknya, semakin tinggi job demand karyawan maka semakin rendah frekuensi seseorang melakukan cyberloafing.

2. Secara keseluruhan, guru di Pucca Learning Center Medan memiliki job demand dalam kategori sedang yaitu sebesar 81,42% dan sebesar 18,58% pada kategori rendah.

3. Secara keseluruhan, 80 % guru di Pucca Learning Center Medan memiliki tingkat frekuensi cyberloafing yang jarang dan sisanya yaitu 20% kadang-kadang melakukan cyberloafing.


(50)

B. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan beberapa saran yang berguna bagi studi ilmiah yang akan datang dan kursus Pucca Learning Center Medan. Saran-saran ini dibagi ke dalam dua bagian, yaitu saran metodologis dan saran praktis:

1. Saran Metodologis

a. Aktivitas yang digolongkan sebagai cyberloafing berbeda dari satu organisasi dengan lainnya. Maka peneliti selanjutnya diharapkan untuk lebih memperhatikan alat ukur cyberloafing yang akan digunakan sehingga sesuai dengan populasi penelitian.

b. Mengingat cyberloafing termasuk sebagai deviant behavior (perilaku menyimpang di tempat kerja), terdapat social desirability yang tinggi pada aitem. Akibatnya, terdapat kemungkinan responden melakukan faking seperti memilih tingkatan frekuensi aitem cyberloafing yang lebih rendah dari yang sebenarnya terjadi. Peneliti selanjutnya disarankan menggunakan bermacam-macam metode (misalnya: observasi atau rating rekan kerja) untuk mendapatkan data yang paling nyata.

c. Melihat hasil kategorisasi data penelitian yang berbeda dengan hasil penelitian, peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian lebih lanjut mengenai variabel lain yang memoderasi antara variabel job demand dan cyberloafing.


(51)

d. Peneliti selanjutnya yang akan meneliti topik yang serupa dapat meneliti subjek seperti guru pada sekolah negeri/swasta atau dosen universitas sehingga dapat dibandingkan tingkat job demand dan cyberloafing dengan guru kursus.

2. Saran Praktis

Meskipun sebenarnya kursus telah melakukan langkah preventif, namun cyberloafing tidak dapat dihapus dengan sepenuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peluang peningkatan cyberloafing di masa depan. Maka dari itu, peneliti menyarankan kepada kursus Pucca Learning Center untuk mengambil langkah-langkah yang dapat menghapus cyberloafing di kelas, dengan menetapkan sanksi untuk pelaku cyberloafing atau supervisi manajer untuk mengurangi cyberloafing.


(52)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. CYBERLOAFING 1. Definisi Cyberloafing

Survei-survei mengenai penggunaan internet pada waktu kerja telah dimulai sejak tahun 1990-an (Roman, 1996). Penelitian cyberloafing pertama kali dilakukan oleh Guthrie dan Gray pada tahun 1996 dengan istilah junk computing. Beragam istilah dan definisi yang digunakan untuk penggunaan internet pribadi yaitu non-work related computing, cyberloafing, cyberslacking, cyberbludging, on-line loafing, internet deviance, problematic internet use, personel web usage at work, internet dependency, internet abuse, internet addiction dan internet addiction disorder (Kim & Bryne, 2011). Berbagai terminologi tersebut mengarah pada hal yang sama yaitu penggunaan internet untuk keperluan pribadi di tempat kerja yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut dengan cyberloafing.

Menurut Lim (2002), cyberloafing merupakan tindakan karyawan yang disengaja dengan penggunaan akses internet milik perusahaan untuk hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja. Lebih jauh lagi, definisi konstruk cyberloafing diperjelas menjadi tindakan karyawan yang disengaja dengan penggunaan akses internet milik perusahaan selama jam kerja untuk browsing situs-situs untuk tujuan pribadi dan memeriksa


(53)

12 (termasuk menerima dan mengirim) e-mail personal. Kelompok situs

hiburan seperti Facebook, YouTube, dan ESPN dikategorikan sebagai “situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan”.

Blanchard & Henle (2008a) mendefinisikan cyberloafing sebagai penggunaan email dan internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan oleh karyawan secara sengaja saat bekerja. Lebih jelas lagi, Henle dan Kedharnath (2012) mendefinisikan cyberloafing sebagai penggunaan internet secara sengaja selama jam kerja untuk keperluan pribadi dengan teknologi internet yang disediakan oleh perusahaan maupun yang karyawan bawa ke tempat kerja (misalnya: smartphone, iPad). Askew (2012) mendefinisikan cyberloafing sebagai perilaku yang muncul ketika seorang karyawan non-telekomunikasi menggunakan komputer jenis apa saja (desktop, smartphone, tablet) di tempat kerja untuk aktivitas non-destruktif namun juga tidak dinilai berhubungan dengan pekerjaan oleh atasannya.

Berdasarkan paparan definisi cyberloafing yang telah dijelaskan diatas, perilaku cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku aktivitas karyawan menggunakan akses internet perusahaan menggunakan komputer jenis apa saja untuk keperluan pribadi dan tidak berhubungan dengan pekerjaan.

2. Aktivitas-aktivitas Cyberloafing

Lim dan Chen (2012) membagi perilaku cyberloafing menjadi dua yaitu browsing dan emailing. Browsing adalah penggunaan internet milik perusahaan untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pada


(54)

13 saat bekerja sedangkan emailing merupakan aktivitas seperti mengirim dan menerima email pribadi pada saat bekerja.

Aktivitas cyberloafing yang akan diteliti adalah aktivitas cyberloafing berupa mengirim dan menerima email pribadi dan aktifitas browsing (jejaring sosial, mengunduh file atau musik, dan mencari berita diluar pekerjaan) yang dikemukakan oleh Lim dan Chen (2012).

3. Faktor-faktor Perilaku Cyberloafing

Menurut Ozler dan Polat (2012), faktor pemicu munculnya perilaku cyberloafing terbagi menjadi tiga, yaitu: faktor individual, faktor organisasional dan faktor situasional.

a. Faktor individual

Beberapa faktor individual yang menyebabkan cyberloafing adalah: 1) Persepsi dan Sikap

Individu dengan persepsi dan sikap yang positif terhadap komputer cenderung menggunakan komputer untuk kepentingan pribadi (Liberman, Seidman, McKenna & Buffardi, 2011). Persepsi bahwa internet membawa keuntungan bagi pekerjaan membuat karyawan cenderung melakukan cyberloafing (Vitak, Crouse & LaRose, 2011). Selain itu, persepsi karyawan mengenai perilaku cyberloafing di organisasi membuat karyawan yang terlibat cyberloafing minor merasa bahwa itu bukan perilaku menyimpang (Blanchard & Henle, 2008a).


(55)

14 2) Kepribadian

Kepribadian seseorang mempengaruhi cara penggunaan internet. Individu dengan kepribadian yang pemalu cenderung melakukan cyberloafing sedangkan individu dengan kepercayaan diri rendah dan individu dengan orientasi eksternal kurang dapat mengontrol penggunaan internet (Ozler & Polat, 2012). Penelitian menunjukkan hubungan negatif antara conscientiousness dan penyimpangan perilaku kerja (Farhadi, Fatimah, Nasir & Wan Shahrazad, 2012) dimana individu dengan conscientiousness yang semakin rendah akan melakukan cyberloafing. Sejalan dengan penelitian tersebut, Woods (2014) menemukan hubungan positif antara penundaan dan kepribadian conscientiousness dengan cyberloafing.

3) Kebiasaan dan Kecanduan Internet

Karyawan yang terbiasa menggunakan internet atau mengalami kecanduan menggunakan internet lebih besar peluangnya melakukan penyalahgunaan internet (Vitak et al., 2011).

4) Demografis

Tingkat pendapatan, pendidikan, dan gender merupakan prediktor cyberloafing. Individu dengan pendidikan yang tinggi menggunakan internet untuk mencari informasi, sedangkan individu dengan pendidikan yang rendah cenderung menggunakan internet untuk bermain permainan online. Gender dan usia dapat mempengaruhi frekuensi dan tipe cyberloafing. Hal ini didukung penelitian dari Garrett & Danziger (2008) dimana jenis kelamin


(56)

15 pria dan usia yang lebih muda cenderung melakukan cyberloafing. Pria lebih sering melakukan cyberloafing dan melakukannya lebih lama apabila dibandingkan dengan wanita. Pria lebih sering menggunakan internet untuk permainan online sedangkan wanita lebih tertarik untuk melakukan komunikasi online (Lim & Chen, 2012). Studi lainnya menyatakan bahwa pria dan wanita sama-sama beresiko melakukan cyberloafing (Ugrin et al., 2008). Pada beberapa penelitian, faktor usia hanya memiliki korelasi yang lemah dengan cyberloafing (Weatherbee, 2010).

5) Intensi, Norma Sosial dan Etika Pribadi

Intensi dianggap sebagai prediktor perilaku yang baik. Namun, penyalahgunaan internet adalah perilaku yang dikontrol norma-norma perusahaan sehingga tindakan tersebut cenderung dilakukan karena dorongan dari luar (Woon & Pee, 2004). Persepsi seseorang mengenai pentingnya larangan cyberloafing berhubungan negatif dengan penerimaan perilaku cyberloafing di tempat kerja. Penerimaan perilaku cyberloafing ini berhubungan positif dengan intensi penyalahgunaan internet. Penelitian menunjukkan hubungan signifikan antara norma sosial dan intensi dimana kepercayaan normatif pribadi seseorang mengurangi intensi perilaku cyberloafing (Vitak et al., 2011). Selain itu, Ugrin et al. (2007) menemukan bahwa karyawan dengan jabatan yang lebih tinggi memiliki kecenderungan cyberloafing untuk menyalurkan stress akibat pekerjaan. Sejalan dengan penelitian tersebut, Garrett dan Danziger (2008) menyatakan bahwa pemegang jabatan yang tinggi seperti manajer memiliki pendidikan yang


(57)

16 lebih baik dan individu-individu dengan otonomi kerja yang lebih besar seperti ini cenderung melakukan cyberloafing.

b. Faktor Organisasional

Beberapa faktor organisasional yang menyebabkan cyberloafing adalah:

1) Larangan Penggunaan Internet

Peraturan perusahaan atas penggunaan internet atau mekanisme monitoring yang digunakan untuk menghalangi karyawan melakukan cyberloafing seperti pembatasan akses internet dapat mempengaruhi aktifitas itu sendiri (Garrett & Danziger, 2008; Ugrin et al., 2007). Sanksi yang diberikan pada karyawan yang melakukan perilaku menyimpang dapat mengurangi kecenderungan cyberloafing (Vitak et al., 2011). 2) Hasil yang Diharapkan

Karyawan dalam melakukan cyberloafing akan membandingkan antara kepuasan pemenuhan kebutuhan individu dan konsekuensi yang didapatkan. Penelitian menemukan bahwa karyawan cenderung akan lebih jarang melakukan cyberloafing bila mempersepsikan konsekuensi negatif bagi organisasi dan kepentingan pribadi karyawan (Lim & Teo 2005; Blanchard & Henle 2008a).

3) Dukungan Manajerial

Belief atau rasa percaya karyawan mengenai penggunaan teknologi dapat dipengaruhi oleh dukungan dari manajer (Liberman et al,


(58)

17 2011). Tanpa adanya spesifikasi penggunaan internet dapat membuat karyawan salah paham terhadap dukungan manajerial sehingga karyawan menggunakan internet untuk keperluan bisnis dan pribadi yang termasuk cyberloafing (Garrett & Danziger, 2008; Vitak et al., 2011; Liberman et al., 2011).

4) Persepsi Rekan Kerja Mengenai Norma Cyberloafing

Cyberloafing dapat dipelajari dengan meniru perilaku individu lain dalam lingkungan kerja (Blau, Yang & Ward-Cook., 2004; Liberman et al., 2011). Karyawan yang menyelahgunakan internet karena meniru rekan kerja mengganggap hal tersebut sebagai bentuk keadilan dalam organisasi (Lim & Teo, 2005).

5) Sikap Kerja karyawan

Sikap kerja seseorang terhadap pekerjaan berhubungan dengan ketidakpuasan di tempat kerja. Liberman et al. (2011) menyatakan bahwa sikap kerja mungkin mempengaruhi cyberloafing sebagai respon emosional seseorang terhadap pekerjaannya. Karyawan cenderung melakukan cyberloafing atau perilaku menyimpang bila memiliki sikap kerja yang tidak baik (Garrett & Danziger, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap kerja karyawan meliputi: i. Ketidakadilan

Beberapa penelitian menemukan bahwa keadilan organisasi menjadi penyebab munculnya perilaku cyberloafing. Keadilan organisasional yang rendah memiliki dampak yang


(59)

18 signifikan terhadap cyberloafing (Lim, 2002; Lim & Teo, 2005). Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan merasakan ketidakadilan dalam pekerjaan mereka, salah satu cara untuk mengembalikan keseimbangan adalah dengan melakukan cyberloafing.

ii. Komitmen Kerja

Penelitian dari Garrett dan Danziger (2008) menemukan bahwa karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi tempat mereka bekerja akan merasa penggunaan internet sebagai suatu hal yang kurang sesuai dengan keseharian pekerjaan, karena itu individu yang berkomitmen terhadap pekerjaan mereka kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam aktivitas cyberloafing selama bekerja. Hal ini dikarenakan aktivitas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan yang mengurangi produktivitas dianggap tidak konsisten dengan self-image dan merendahkan status kerja (LaRose & Eastin, 2004).

iii. Kepuasan Kerja

Vitak et al. (2011) menyatakan bahwa kepuasan kerja berkorelasi negatif dengan perilaku cyberloafing. Individu yang puas dengan pekerjaannya mernganggap penggunaan internet untuk hal pribadi sebagai suatu keuntungan yang dapat meredakan stres. Namun pada penelitian Garrett dan Danziger (2008) tidak ditemukan hubungan antara kepuasan pekerjaan dan cyberloafing.


(60)

19 Hasilnya berarti bahwa karyawan yang terlibat dalam penggunaan internet untuk hal pribadi belum tentu orang-orang yang kurang puas dengan pekerjaan mereka (Mahatanankon et al., 2004). 6) Karakteristik Pekerjaan

Menghabiskan waktu singkat pada tugas-tugas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dapat membebaskan karyawan dari kebosanan, kelelahan atau stres, menghasilkan kepuasan kerja atau kreativitas yang lebih besar, meningkatkan kesejahteraan, menjadi rekreasi dan pemulihan, dan membuat karyawan lebih bahagia. Karakteristik pekerjaan spesifik dapat mempengaruhi munculnya perilaku cyberloafing untuk meningkatkan kreatifitas atau mengurangi kebosanan. Di sisi lain, pekerjaan yang kreatif memiliki banyak tuntutan tidak terasa membosankan sehingga karyawan tidak termotivasi untuk melakukan cyberloafing (Vitak et al., 2011).

c. Faktor Situasional

Kondisi perusahaan misalnya ketersediaan fasilitas internet menjadi salah satu sumber yang biasanya memicu terjadinya cyberdeviant behavior (Weatherbee, 2010). Jarak fisik antara karyawan dan supervisor mempengaruhi cyberloafing melalui persepsi mengenai kontrol organisasi. Selain itu, terdapat delapan faktor situasional yang berkontribusi pada penggunaan internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan (Kay et al, 2009) yaitu kesempatan dan akses, kemampuan, anonimitas, kenyamanan, pelarian, rasa malu, penerimaan sosial, dan durasi kerja.


(61)

20 Berdasarkan uraian di atas, salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah faktor organisasional yaitu karakteristik pekerjaan. Karakteristik pekerjaan terbagi atas dua yaitu job demand dan job control (Karasek, 1979). Menurut Lim (2002), karyawan melakukan penyimpangan kerja (misalnya cyberloafing) adalah dikarenakan tuntutan pekerjaan yang melebihi sumber daya kerja. Karakteristik pekerjaan tanpa keanekaragaman keterampilan yang tinggi lebih monoton. Kebosanan yang dihasilkan dari karakteristik pekerjaan tersebut menunjukkan tuntutan pekerjaan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa job demand yang rendah dapat menjadi pemicu cyberloafing.

Berdasarkan pemaparan diatas, terlihat bahwa job demand adalah salah satu faktor yang berperan dalam menyebabkan perilaku cyberloafing. Maka itu, selanjutnya akan lebih dijelaskan mengenai definisi dan dimensi dari job demand.

B. JOB DEMAND

1. Definisi Job Demand

Job demand pertama kali dikemukakan oleh Robert Karasek (1979) sebagai tuntutan kerja psikologis, meliputi beban kerja mental, ketegangan dalam menyelesaikan tugas, dan tuntutan yang saling berkonflik. Pada tahun 1997, Karasek memperjelas definisinya dengan “tuntutan lingkungan kerja modern seperti intensitas output per jam, tekanan waktu kerja, konsentrasi, dan tekanan sosial”. Contohnya adalah tekanan kerja yang


(62)

21 tinggi, lingkungan kerja yang tidak disukai, dan interaksi yang emosional antara karyawan dengan klien.

Job demand tidak selalu bersifat negatif, tetapi ketika usaha yang dituntut melebihi kapabilitas karyawan, energi karyawan akan habis dan mengakibatkan burnout dan masalah kesehatan lainnya (Schaufeli & Bakker, 2004). Robbins (2007) mengungkapkan bahwa job demand merupakan faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang dan dapat memberi tekanan pada orang jika job demand dirasakan berlebihan dan dapat meningkatkan kecemasan dan stres. Beberapa contoh job demand antara lain: konflik emosional, tekanan waktu, jam kerja shift, beban kerja fisik maupun desain kerja yang buruk. Selain menyebabkan stres dan burnout, job demand juga menyebabkan counter-productive behavior (Schaufeli & Bakker, 2004).

Berdasarkan penjelasan definisi job demand yang telah dijelaskan diatas, maka job demand adalah stimulus yang muncul selama bekerja yang memerlukan perhatian dan respon secara terus menerus dari karyawan sehingga dapat menyebabkan kelelahan fisik atau psikologis.

2. Dimensi Job Demand

Adapun dimensi job demand antara lain: a. Work overload

Work overload terdiri atas quantitative overload dan qualitative overload. Quantitative overload terjadi ketika karyawan harus


(63)

22 menyelesaikan pekerjaan yang sangat banyak dalam waktu sempit. Qualitative overload terjadi ketika pekerjaan yang harus dilakukan oleh karyawan terlalu sulit atau kompleks. Kebalikan work overload adalah work underload. Keduanya mengacu pada tuntutan pekerjaan dalam hal beban kerja, kompleksitas dan tanggung jawab (Hill, 1998). Menurut Buckingham (2004), work overload adalah beban waktu kerja, pengorbanan waktu dan perasaan frustrasi dalam menyelesaikan tugas kerja dalam waktu yang diberikan. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa work overload adalah jumlah beban yang dialami karyawan saat diberikan kuantitas pekerjaan yang berlebihan dalam waktu yang singkat ataupun kualitas pekerjaan yang lebih kompleks dari kemampuannya.

b. Emotional load

Beban kerja yang berlebihan akan menimbulkan reaksi-reaksi emosional seperti mudah marah, merasa terancam, tersinggung dan lain sebagainya. Beban emosional biasanya berawal dari konflik dengan orang lain (Van Veldhoven, 2002). Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa emotional load adalah beban yang dialami karyawan ketika berada pada situasi kerja yang tidak menyenangkan sehingga berujung pada reaksi emosional yang negatif seperti marah, merasa terancam, tersinggung dan sebagainya.

c. Cognitive load

Cognitive load adalah jumlah sumber daya mental yang diperlukan untuk memproses informasi (Adcock, 2000). Kinerja individu akan menurun


(64)

23 seiring peningkatan beban memori pada waktu yang bersamaan, dan peningkatan apapun dari kesulitan proses akan menyebabkan informasi hilang dari memori jangka pendek (Barrouilet, 2007). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cognitive load adalah beban yang dialami karyawan karena kerja otak dalam memproses informasi yang melibatkan konsentrasi, ketepatan/presisi memori, atau atensi terus menerus.

C. HUBUNGAN JOB DEMAND DAN CYBERLOAFING

Cyberloafing adalah masalah yang sedang marak terjadi dalam organisasi (Ozler & Polat, 2012). Sebagai deviant workplace behavior, cyberloafing memiliki dampak yang dimulai dari mengurangi produktivitas kerja karyawan hingga mengancam nama baik organisasi (Blanchard & Henle, 2008a). Banyak penelitian yang telah menghubungkan antara cyberloafing dengan faktor individual maupun organisasional. Salah satu faktor organisasional yang berhubungan dengan deviant workplace behavior adalah job demand (Schaufeli & Bakker, 2004). Emosi negatif yang dihasilkan job demand membuat karyawan berusaha mengatasinya dengan melakukan deviant workplace behavior (Askew, 2009).

Aspek-aspek dari job demand terdiri dari work overload, emotional load dan cognitive load. Work overload meliputi kuantitas pekerjaan dan kualitas pekerjaan karyawan yang bersifat fisik sedangkan emotional load dan cognitive load adalah usaha psikologis dari karyawan. Workload yang tinggi membuat karyawan tidak dapat bebas melakukan kegiatan lain. Saat


(1)

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi USU atas ilmu dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama proses perkuliahan.

6. Anggota keluarga penulis, khususnya kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.

7. Para senior Fakultas Psikologi USU, terutama kak Vilya dan kak Naomi, yang telah banyak memberikan masukan dan dukungan sepanjang penulisan skripsi ini. 8. Sahabat saya Catherine serta seluruh teman-teman yang senantiasa bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan masukan sepanjang penulisan skripsi ini.

9. Seluruh penulis buku dan peneliti yang namanya tercantum dan menjadi sumber referensi dalam skripsi ini.

10. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik lagi. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Medan, Maret 2016

Penulis


(2)

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberloafing ... 11

1. Definisi Cyberloafing ... 11

2. Aktivitas - aktivitas Cyberloafing ... 12

3. Faktor - faktor Perilaku Cyberloafing ... 13


(3)

1. Definisi Job Demand... 20

2. Dimensi Job Demand ... 21

C. Hubungan Job Demand dan Cyberloafing ... 23

D. Hipotesa Penelitian... 25

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel ... 26

B. Definisi Operasional... 26

1. Cyberloafing ... 26

2. Job Demand ... 27

C. Subjek Peneliti ... 27

D. Metode Pengumpulan Data ... 27

1. Skala Job Demand ... 28

2. Skala Cyberloafing ... 29

E. Uji Coba Alat Ukur ... 30

1. Validitas ... 30

2. Reliabilitas ... 31

3. Uji Daya Diskriminasi Aitem ... 31

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 32

1. Hasil Uji Coba Skala Job Demand ... 32

2. Hasil Uji Coba Skala Cyberloafing ... 33

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 34


(4)

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 36

3. Tahap Pengolahan Data Penelitian ... 36

H. Metode Analisis Data ... 37

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 39

1. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 39

2. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenjang Pengajaran 40 3. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 40

B. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 41

1. Uji Normalitas ... 41

2. Uji Linearitas ... 42

C. Hasil Utama Penelitian ... 43

D. Hasil Tambahan Penelitian ... 43

1. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Job Demand ... 44

2. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Cyberloafing ... 45

E. Pembahasan ... 46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

A. Kesimpulan ... 50

B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(5)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1-Blue Print Skala Job Demand Sebelum Uji Coba ... 29

Tabel 2-Blue Print Skala Cyberloafing Sebelum Uji Coba ... 30

Tabel 3-Distribusi Aitem Skala Job Demand Setelah Uji Coba ... 33

Tabel 4-Distribusi Aitem Skala Cyberloafing Setelah Uji Coba ... 34

Tabel 5-Sebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 40

Tabel 6-Sebaran Subjek Berdasarkan Jenjang Pengajaran ... 40

Tabel 7-Sebaran Subjek Berdasarkan Usia ... 41

Tabel 8-Hasil Uji Asumsi Normalitas ... 41

Tabel 9-Hasil Uji Asumsi Linearitas ... 42

Tabel 10-Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment ... 43

Tabel 11-Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik ... 44

Tabel 12-Norma Kategorisasi Data Penelitian Job Demand ... 44

Tabel 13-Kategorisasi Data Penelitian Job Demand ... 44

Tabel 14-Norma Kategorisasi Data Penelitian Cyberloafing ... 45


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Aitem Skala Aitem Job Demand Sebelum Uji Coba Lampiran 2: Aitem Skala Cyberloafing Sebelum Uji Coba Lampiran 3: Hasil Uji Coba Reliabilitas Aitem Job Demand Lampiran 4: Hasil Uji Coba Daya Beda Aitem Job Demand Lampiran 5: Hasil Uji Coba Reliabilitas Aitem Cyberloafing Lampiran 6: Hasil Uji Coba Daya Beda Aitem Cyberloafing Lampiran 7: Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov Lampiran 8: Hasil Uji Linearitas

Lampiran 9: Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment Lampiran 10: Skala Penelitian

Lampiran 11: Data Mentah Skala Penelitian Job Demand Lampiran 12: Data Mentah Skala Penelitian Cyberloafing