Program Kerja Masjid Jogokariyan Yogyakarta

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id juga barang berharga lainnya. Mengenai keberhasilan-keberhasilan ini penulis dapatkan datanya dari proses wawancara dengan narasumber dan juga pengalaman riel penulis ketika berinteraksi dengan warga di masjid.

2. Kebijakan Masjid Jogokariyan Yogyakarta

Kebijakan yang diambil oleh Masjid Jogokariyan Yogyakarta dalam menerapkan program kerjanya adalah dengan melakukan apa yang disebut dengan “how to image”, lalu “how to manage”, dan yang terakhir adalah “how to make success”. Lebih detailnya akan diuraikan di bawah ini.

a. How to image

How to image yang dimaksud dalam kebijakan ini adalah bagaimana Masjid Jogokariyan Yogyakarta membangun image baru tentang masjid. Image yang menggambarkan masjid sebagai pusat dalam membangun peradaban umat, bukan hanya sekedar tempat untuk menjalankan sholat berjamaah. 27 Kebijakan ini memiliki tingkat urgensitas yang tinggi mengingat sudah sedemikian mengakarnya pandangan yang menyempitkan image masjid itu sendiri. Agar berhasil dalam manajemen strategisnya, maka Masjid Jogokariyan Yogyakarta harus berhasil mengubah pandangan lama dengan sebuah konsep baru mengenai image sebuah masjid. Dalam ilmu pemasaran, hal ini disebut dengan re-branding, yaitu usaha untuk melakukan penanaman ulang suatu image perusahaan atau produk yang sudah terlanjur melekat di benak konsumen. Disadari, pada proses persentuhannya dengan 27 Hasil wawancara dengan K.H. M. Jazir selaku Ketua Dewan Syuro Masjid Jogokariyan Yogyakarta digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id konsumen, baik itu perusahaan sebagai entitas, maupun produknya akan meninggalkan bekasan di benak konsumennya. Jika bekasan ini terus-menerus tertanam, maka akan tersimpan sebagai sebuah memori di dalam pikiran konsumen, menjadi sebuah citra atau image. Citra ini bisa positif bisa juga negatif. Seperti misalnya jika kita mendengar tentang motor dengan merk Honda, maka asosiasi citraimage kita akan tertuju pada sebuah produk yang mesinnya bandel dan irit bensinnya, atau seperti ketika kita mendengar tentang perusahaan teknologi komunikasi Apple maka citra yang muncul adalah sebuah perusahaan yang inovatif, eksklusif, berkualitas tinggi, dan lain sebagainya. Pada sisi lain, bisa jadi citra yang muncul berupa hal yang negatif. Misalnya ketika kita mendengar istilah “motor cina” atau mocin, maka yang terbayang adalah motor dengan kualitas rendah, mudah rusak, sparepart yang susah ditemui, dan lain sebagainya. Proses re- branding berusaha untuk memperbaiki citra atau image negatif yang sudah terlanjur melekat, atau meningkatkan lagi kualitas image yang telah dimiliki. Dengan demikian, kebijakan “how to image” yang dilakukan Masjid Jogokariyan Yogyakarta adalah usaha re-branding terhadap image masjid yang sudah terlanjur melekat di benak umat Islam. Image yang tertanam, baik secara sengaja maupun tidak disengaja mengenai masjid yang sederhana sekali fungsinya. Realitas yang tidak sesuai dengan narasi al Quran dan juga kisah sejarah hidup Rasulullah memanfaatkan masjid dalam usaha menegakkan kalimat La ilaha ilallah di muka bumi. Dalam proses wawancara, bapak Jazir mengemukakan bahwa usaha how to image ini ternyata tidak hanya berorientasi ke luar atau kepada jamaah, melainkan