Masjid Pathok Negoro Plosokuning 1724-2014 (Kajian Sejarah Arsitektur Jawa)
MASJID PATHOK NEGORO PLOSOKUNING 1724-2014
(KAJIAN SEJARAH ARSITEKTUR JAWA)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Disusun Oleh : JOHAN EKO PRASETYO
1110022000004
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(2)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli dari saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana, jenjang Strata Satu (S1) di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 10 Oktober 2016
(3)
MASJID PATHOK NEGORO PLOSOKUNING 1724-2014
(KAJIAN SEJARAH ARSITEKTUR JAWA)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab Dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh:
Johan Eko Prasetyo NIM: 1110022000004
Pembimbing
Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum NIP: 19541010 198803 1 001
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(4)
(5)
DEDIKASI
Teruntuk Bapak Sumirno, Ibu Marsiti, Dwi Wulandari, dan semua orang yang terlibat dalam pembuatan Skripsi ini
(6)
UCAPAN TERIMA KASIH Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan kasih dan sayang-Nya, semoga rahmat dan hidayah-Nya selalu tercurah kepada kita semua, amin. Shalawat serta salam senantiasa kita persembahkan kepada junjungan alam baginda Rasulullah SAW, keluarga serta sahabat, semoga kita sebagai ummatnya mendapat pertolongannya kelak, amin.
Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itulah penulis menyusun skripsi ini dengan judul :“MASJID PATHOK NEGORO PLOSOKUNING 1724-2014 (KAJIAN SEJARAH ARSITEKTUR JAWA).
Dalam proses penyusunan skripsi ini, begitu banyak penulis temui rintangan dan hambatan. Sungguh pun begitu Alhamdulillah atas kerja keras semangat dan dukungan dari semua pihak akhirnya skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Oleh karena itu izinkan penulis untuk menghaturkan ucapan terima kasih serta penghargaan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan memberikan dukungan moril dan materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini tanpa kendala yang berarti.
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. H. Nurhasan MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah Dan Peradaban Islam dan Sholikatus
Sa’diyah, M. Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah Dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Saidun Derani MA, selaku Pembimbing Akademik yang membantu dalam pengesahan awal dan dorongan awal penelitian skripsi ini
5. Kepada Dosen Pembimbing Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum yang dengan sabar dan penuh dedikasi tinggi selalu membimbing penulis dalam menyelesaikan materi skripsi ini.
6. Kepada Dosen Penguji, Bapak Dr. Parlindungan Siregar, MA dan Ibu Dr. Awalia Rahma, MA
7. Kepada seluruh Civitas Akademik Fakultas Adab Dan Humaniora dan dosen-dosen jurusan Sejarah Dan Peradaban Islam yang memberikan sumbangsih ilmu dan pengalamannya.
8. Seluruh Staff dan Pegawai Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Kedua Orangtua ku, Bapak Sumirno dan Ibu Marsiti, yang telah membimbing dan memotivasi serta memberikan dukungan moril maupun materi yang tak terhingga dan
(7)
telah mendidik penulis untuk terus menjadi pribadi yang tangguh dan bermanfaat, serta adikku Dwi Wulandari.
10.Kepada Bapak Kammaludin Purnomo, selaku Ketua Takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning dan Mbah Baghowi, yang telah membantu penulis selama meneliti di Masjid Plosokuning.
11.Kepada Mas Reyhan Biadillah S. Hum, yang telah banyak sekali membantu penulis dalam menyelesaikann skripsi ini.
12.Ketua Umum HMI Cabang Ciputat, Dani Ramdani dan kawan seperjuangan di bidang PTKP HMI Cabang Ciputat, Alwan Nahrowi Ridwan.
13.Kepada Kawan-kawan “Kosan Sarang Penyamun”. Beng-beng, Kibo, Botles, Ncek, Acin, Opang, Abong, dan Onye.
14.Kepada kawan-kawan SKI 2010, khususnya Hanafi Wibowo, Endi Aulia Garadian, Dede Mulyana, Sukron Amin, Firman Faturohman, Ahmad Zaien, Oktariadi, dan M. Rahmat Hidayat. Pengurus HMI Cabang Ciputat, Keluarga Besar HMI Kofah, Pengurus BEM FAH 2013-2014, Kawan-kawan LK II HMI Cabang Karawang, Kawan-Kawan Cikal-Cilandak, Kawan-Kawan KMS UIN Jogja ( Mas Cipto, Mas Bashori, Mas Rizal, Mas Nuruddin, dan Mas Ahmadi), Kawan-kawan KKN Mentari, beserta Kawan-kawan KPU UIN Jakarta 2014, dan Abang-abangku di SKI, khusunya Bang Dede Maulana dan HMI Kofah. Mereka semua adalah yang tak hentinya memberikan dukungan, semangat, do’a dan tawa sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dalam hangatnya ikatan keluarga. Dan teruntuk “Basement Fakultas Adab dan Humaniora”, tempat dimana penulis Jumpa Muka, Jumpa Pikiran, dan Jiwa.
Penyusunan skripsi ini, penulis selalu memahami bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga tulisan ini bias memberikan manfaat kepada siapa saja yang menjadikan ini sebagai bahan bacaan mereka dan dapat menjadikan tulisan ini sebagai referensi.
Jakarta, 10 Oktober 2016 Penulis
(8)
ABSTRAK Johan Eko Prasetyo
Masjid Pathok Negoro Plosokuning 1724-2014 (Kajian Sejarah Arsitektur Jawa) Kerajaan Mataram, yang telah mengalami berbagai macam peristiwa disintegrasi dan perebutan kekuasaan, pada tahun 1755 terbagi menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Maka dengan sendirinya daerah-daerah bekas Mataram beserta desa-desa yang ada di dalamnya, juga ikut terbagi. Perebutan kekuasaan antar kerajaan juga terjadi di bidang religius dan sosial yang mana saling berlomba untuk mendapatkan pengaruh. Hal ini pun terjadi saat Perang Jawa berlangsung ketika Pangeran Diponegoro dan pengikutnya menjadikan daerah-daerah tersebut yang sebagai basis perlawanan dan mobilisasi rakyat, salah satunya adalah Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Pada wilayah Kesultanan Yogyakarta, terdapat lima Masjid Pathok Negoro, yaitu Mlangi di barat daya, Plosokuning di utara, Babadan di timur, Wonokromo di tenggara dan Dongkelan di selatan Kraton Yogyakarta, yang dikenal sebagai konsep papat kalimo pancer.
Masjid Pathok Negoro Plosokuning didirikan pada tahun 1724, adalah salah satu masjid yang menjadi benteng dan pusat kajian religius bagi rakyat Yogyakarta. Aspek arsitektur maupun hubungan koordinatif, selalu berhubungan dengan pihak Kraton Yogyakarta. Keunikan-keunikan yang terdapat di masjid ini tidak dipunyai oleh Masjid-masjid Pathok Negoro lainnya, terutama dari sisi keaslian arsitektur nya meskipun masih dalam satu jaringan Masjid Pathok Negoro Yogyakarta. Pada pendirian konstruksi bangunan masjid, memakai kaidah dan prinsip arsitektur khas Jawa, merujuk pada Masjid Agung Demak yang beratap susun tiga. Masyarakat di sekitar masjid juga selalu dikenal dengan nama kaum (santri), dengan penetapan oleh pihak kraton sebagai sebuah daerah mutihan yang bersifat perdikan pada status tanahnya.
(9)
DAFTAR ISI
DEDIKASI ... i
UCAPAN TERIMA KASIH ... ii
ABSTRAK ... iii
DAFTAR ISI... iv
DAFTAR ISTILAH ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Kerangka Tujuan dan Pembatasan Masalah ... 6
C. Manfaat Penelitian ... 7
D. MetodePenelitian ... 7
E. Tinjauan Pustaka ... 15
F. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II GAMBARAN UMUM ...20
A. Kondisi Geografis ... 20
B. Sejarah Singkat Berdirinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning ... 22
C. Kondisi Agama ... 26
D. Kondisi Sosial-Budaya 31
BAB III KONSTRUKSI ARSITEKTUR ... 36
A. Tata Peletakan Struktur Masjid ... 36
1. Bagian Dalam 36
Mihrab ... 37
Ruang Shalat ... 37
Mimbar ... 37
2. Bagian Luar ... 38
A. Serambi 38
Serambi Bagian Timur ... 39
Serambi Bagian Utara dan Selatan ... 39
Pawestren ... 40
B.Kolam ... 40
C.Jembatan Penyebrangan ... 40
D.Halaman 41
E.Makam ... 41
B. Komposisi Struktur Masjid ... 42
(10)
A.Mihrab ... 46
B.Ruang Shalat ... 46
C.Mimbar ... 48
2. Bagian Luar ... 49
A.Serambi ... 49
B.Pawestren ... 51
C.Kolam ... 51
D.Jembatan Penyeberangan ...53
E.Halaman ...54
F. Makam ...55
C. Teknik Konstruksi Masjid ………... ...55
D. Fungsi Bagian-bagian Dalam Struktur Masjid ... 57
1. Bagian Dalam 58
2. Bagian Luar ... 58
BAB IV PERWUJUDAN SIMBOLIK MASJID PATHOKNEGORO PLOSOKUNING ..64
A. Status Masjid di Kesultanan Yogyakarta ... 64
1. Status Tanah ... 65
2. Status Administrasi ... 67
B. Makna Simbolik Masjid Pathok Negoro Plosokuning ... 70
1. Politik ... 71
2. Budaya ... 74
C. Masjid Sebagai Simbol Sosio Religius 76
BAB V PENUTUP...78
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran-saran 80
DAFTAR PUSTAKA………...82
(11)
DAFTAR ISTILAH
Pawestren : tempat solat untuk kaum perempuan
Soko Guru : tiang penyangga utama, biasanya berjumlah 4 (empat)
Soko Rowo : tiang penyangga tambahan
Palihan Nagari : pembagian negara
Nagaragung : daerah yang ada di sekitar kutagara, dan memuat tanah lungguh
para bangsawan dan pejabat tinggi
Kepengulon : dewan pengurus masalah agama
Perdikan : tanah yang tidak dikenakan pajak, atas titah sultan
Mutihan : daerah atau wilayah khusus untuk pendidikan Islam
Kaum : kaum santri yang belajar dan mengembangkan agama Islam
Papat Kalimo Pancer : kekuasaan sultan di empat penjuru mata angin, dengan kraton
sebagai pusatnya.
Paduraksa : pintu masuk ke sebuah lingkungan khusus seperti: masjid, makam
atau kraton.
Penyengker : pagar pembatas keliling masjid.
Kreweng : genteng tipis yang terbuat dari tanah liat yang dibakar
Tegel : lantai yang terbuat dari batu atau ubin halus atau keramik
Umpak : batu penyangga yang terbuat dari batu granit atau pualam
Gadha Sulur : ujung atap masjid
Joglo Meru : joglo yang menyerupai bentuk gunung
Patih Jawi : wakil raja yang mengurusi keadaan luar kraton
Patih Lebet : wakil raja yang mengurusi rumah tangga kraton
Wedana Jawi : pejabat administrasi setingkat kecamatan, yang mengurusi
(12)
(13)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kerajaan Mataram adalah sebuah kerajaan terbesar di pulau Jawa pada rentang abad ke-17 hingga dekade awal abad ke-18. Setelah wafatnya Sultan Agung dan Amangkurat I, Kerajaan Mataram kehilangan kedigdayaannya. Hal ini diperparah dengan banyaknya wilayah Kerajaan Mataram Islam yang terpecah-pecah dan jatuh ke tangan VOC.
Semenjak pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo (1676-1678 M.)1. Kerajaan Mataram Islam selalu dilanda gejolak, misalnya saja mulai dari pemberontakan Untung Surapati (1680-1710 M.)2 hingga Geger Pecinan (1740-1743 M.)3. VOC yang menjadi tulang punggung tahta Mataram, menjadi sasaran permusuhan para bangsawan yang tidak puas ataupun dari kaum pemberontak saat itu. Sebelum tahun 1746 M., tahta Kerajaan Mataram di Kartasura (ibukota Mataram) dipegang oleh Pakubuwono II, namun sikap yang kurang tegas menjadikannya raja yang terlihat lemah di mata rakyatnya.
Kerajaan Mataram terus mengalami masa disintegrasi dan terjadi perebutan oleh para bangsawan. Setiap raja yang naik tahta selalu didukung oleh VOC dengan konsesi yang sangat memberatkan kerajaan, oleh karena
1 Babad Trunojoyo-Suropati, terj. Balai Pustaka, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), hlm.
53.
2 H.J. De Graaf, Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad XVII,
terj.Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 105.
3 W.G.J Remmelink, Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, 1725-1743, terj.
(14)
itu banyak bangsawan yang angkat senjata melawan keadaan tersebut. Pada tahun 1746 M, ibukota Mataram dipindah dari Kartasura Surakarta oleh Pakubuwono II. Selepas wafatnya Pakubuwono II pada tahun 1749 M., keadaan di dalam istana Surakarta sudah sedemikian genting, ditandai dengan polarisasi perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perang tersebut berakhir dengan kesepakatan pembagian Mataram (Palihan Nagari) dalam perjanjian Giyanti 1755 M.4 Konflik yang terjadi belum berakhir antara Pangeran Mangkubumi yang sekarang bergelar Sultan Hamengkubuwono I dengan Raden Mas Said dan VOC. Setelah berperang cukup lama, akhirnya Raden Mas Said diberikan sebuah kerajaan mandiri oleh VOC dalam perjanjian Salatiga 1757 M, dengan gelar Pangeran Adipati Mangkunegara.5
Setelah berakhirnya perjanjian itu, wilayah Mataram terbagi tiga menjadi Surakarta, Yogyakarta dan Mangkunegara. Sementara untuk wilayah pesisir mulai dari Tegal, Semarang, Surabaya hingga Pasuruan, menjadi milik dan di bawah pengawasan langsung VOC. Setelah VOC runtuh dan berganti kekuasaan selingan Inggris dalam Perang Napoleon, Yogyakarta kemudian dibagi lagi menjadi Kadipaten Pakualam pada perjanjian Tuntang 1811 M.6
Setelah berakhirnya konflik berkepanjangan pada pertengahan abad ke-18, Yogyakarta terus membenahi dirinya, termasuk mengadakan
4 Anton Satyo Hendriatmo, Giyanti 1775, Perang Perebutan Mahkota III dan Terbaginya Kerajaan Mataram Menjadi Surakarta dan Yogyakarta, (Tangerang: CS Book, 2006), hlm. 138-139.
5 M.C Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, Sejarah Pembagian Jawa, terj. E. Setyawati Alkathab, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 87.
6 Peter Carey, Asal-usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh, terj. Rahmat Widada, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 21.
(15)
pembangunan dan pengembangan wilayah, salah satunya adalah pendirian Masjid Pathok Negoro, sebagian besar atas prakarsa Sultan Hamengkubuwono I. Itulah keunikan Kesultanan Yogyakarta yang tidak dimiliki oleh kerajaan saudaranya yang lain. Masjid Pathok Negoro juga sebagai suatu tanda batas bagi konsep sistem kewilayahan dan kekuasaan Sultan yang disebut Negaragung7 yang diri Sultan sendiri yang memerintah
wilayah tersebut.8
Keadaan yang damai dan makmur yang dialami oleh rakyat Yogyakarta sejak tahun 1755 M berlanjut hingga berlangsungnya Perang Jawa pada 1825-1830 M. Masjid dan pondok pesantren merupakan basis massa Islam yang kuat di Jawa, yang menjadi pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, meskipun Belanda berusaha merebut dan menghancurkannya dengan membuat jaringan jalan dan benteng dalam strategi fort stelsel.9 Belanda tidak dapat melakukannya, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah, memisahkan dan menghentikan bantuan dari pihak kraton (Sultan), yang sejak berakhirnya Perang Jawa sudah acuh tak acuh lagi hingga masa Revolusi Kemerdekaan.10
Pada saat kekuasaan Sultan di bidang keagamaan telah dipisahkan dari kewenangannya oleh pemerintah Kolonial Belanda, maka Sultan hanya menjadi simbol saja. Sultan tidak dapat lagi bebas membina aspek keagamaan
7Negara Agung: wilayah di bawah pengawasan langsung sultan /raja.
8 Aminuddin Kasdi, Perlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa, Relasi Pusat-Daerah Pada Periode Akhir Mataram (1726-1745), (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 7.
9
Saleh As'ad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-1830, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 125 dan 148.
10 Muslimin, ‘’Perlawanan Ulama di Yogyakarta dalam Melawan Politik Pendidikan
Kolonial (1910-1942)’’, (Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2010), hlm. 42. (tidak diterbitkan)
(16)
rakyatnya. Salah satu cara agar Sultan dan pihak keagamaan (kepengulon) terus berkontribusi dengan memberi dukungan secara langsung, berupa pemberian status administratif dan penguatan kerohanian keluarganya dengan mengirim belajar ke pondok pesantren yang menjadi satu dengan masjid, salah satunya ada di Masjid Pathok Negoro Plosokuning.11
Masjid dan pondok pesantren sebagai pusat kajian agama Islam adalah daerah bebas pajak sejak zaman Sultan Agung hingga Perjanjian Giyanti. Meskipun telah terjadi peristiwa pembantaian ulama dan keluarganya pada masa Amangkurat I. Daerah-daerah tersebut disebut daerah mutihan dengan sifat tanah perdikan yang bebas pajak, warga di sekitar wilayah itu disebut kaum, meskipun terdapat ikatan kebangsawanan dan protokoler raja, namun tidak terikat oleh aturan-aturan kraton yang sangat berbeda dengan tradisi kaum santri. Masjid juga dibangun dengan konstruksi yang megah, dengan kolam di sekelilingnya ditambah dengan taman, mengikuti konsep-konsep konstruksi Masjid Demak.12
Pada wilayah Kesultanan Yogyakarta, terdapat lima buah masjid yang menjadi penanda batas kekuasaan sultan, sekaligus sebagai benteng religius rakyat Yogyakarta, dengan sebutan istilah Masjid Pathok Negoro yaitu Mlangi di barat daya, Plosokuning di utara, Babadan di timur, Wonokromo di tenggara dan Dongkelan di selatan kraton Yogyakarta.13
11 Muslimin, Perlawanan Ulama di Yogyakarta dalam Melawan Politik Pendidikan Kolonial (1910-1942), hlm. 42
12 Inajati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, (Yogyakarta: Jendela,
2000), hlm. 15.
13 Dharma Gupta, dkk., (ed.), Toponim Kota Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas
(17)
Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang didirikan pada tahun 1724, oleh Kyai Mursodo (anak Kyai Nuriman yang mendirikan Masjid Pathok Negoro Mlangi), juga mengikuti aturan dan konsep arsitektur dari Masjid Demak, yang terus bertahan hingga saat ini setelah menjadi saksi berbagai macam peristiwa. Masjid ini juga mengikuti konsep tata negara dan kota yang dikenal sebagai konsep kekuasaan dan kewilayahan yang disebut papat kalimo pancer dengan raja sebagai pusatnya, konsep jaringan ini sangat berbeda dari Kasunanan Surakarta.14
Penelitian ini dianggap menarik dan unik, karena hal ini adalah sebuah kajian sejarah arsitektur dari sebuah Masjid Pathok Negoro, yang hanya ada di Kesultanan Yogyakarta. Hal tersebut dianggap sebagai indikator perubahan, baik politik maupun budaya, bagi legitimasi kekuasaan dari salah satu Kerajaan Jawa yaitu Kesultanan Yogyakarta. Ditemukannya kesatuan-kesatuan ideologis dan simbolis, dalam kekuasaan religius raja yang jarang dipandang para sejarawan, sebagai suatu kajian sejarah kebudayaan yang komprehensif dan utuh dalam memahami perubahan, dan dampaknya bagi sosio-kultural dari sebuah karya seni berupa arsitektur masjid dalam kurun waktu tertentu.
Dengan mencermati latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang muncul antara lain :
1. Kenapa didirikan Masjid Pathok Negoro Plosokuning?
2. Apa yang menjadi keunikan dari Masjid Pathok Negoro Plosokuning?
14 Delih Kurniawan, ‘’Yogyakarta 1900-1940 (Kajian Historis Tata Kota)’’, (Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 65. (tidak diterbitkan)
(18)
3. Bagaimana kondisi arsitektur Masjid Pathok Negoro Plosokuning?
4. Apa yang menyebabkan Masjid Pathok Negoro Plosokuning masih mempertahankan bentuk aslinya?
5. Kenapa Masjid Pathok Negoro Plosokuning mendapat status Masjid Pathok Negoro?
6. Apa fungsi berdirinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning bagi masyarakat?
B. 1. Kerangka Tujuan
Adapun tujuan studi ini adalah:
1. Ingin menjelaskan didirikannya Masjid Pathok Negoro Plosokuning.
2. Ingin mengetahui bentuk konstruksi arsitektur masjid dari awal sampai sekarang.
3. Ingin mengetahui fungsi berdirinya masjid bagi masyarakat sekitar.
2. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan tema studi yang penulis pilih, dirasa perlu memberikan batasan masalah terlebih dahulu agar tujuan yang dicapai lebih terarah, diantaranya:
1. Didirikannya Masjid Pathok Negoro Plosokuning.
2. Kondisi konstruksi arsitektur masjid dari awal berdiri sampai sekarang.
(19)
C. Manfaat Penelitian
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat melengkapi studi-studi yang sudah ada, terutama terkait dengan sejarah arsitektur. Artinya, skripsi ini bisa menjadi rujukan bagi akademisi yang ingin mengambil kajian tentang benda-benda cagar budaya, khususnya masjid dan budaya Jawa pada umumnya.
Sebagai pemacu sejarawan muslim khususnya dan generasi muda pada umumnya, yang akan meneliti tentang Sejarah Islam Lokal Indonesia, terutama yang terkait dengan benda-benda cagar budaya, seperti masjid baik dari segi arsitektur maupun dari segi budaya Jawa.
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah, dengan menggunakan pendekatan bersifat deskriptif analisis. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.15 Sejarawan Indonesia yang bernama Sartono Kartodirjo menyatakan bahwa terjadinya peristiwa sejarah dilatarbelakangi beberapa faktor penyebab, jadi ada banyak aspek yang perlu dilihat mengapa suatu peristiwa itu terjadi.16
Penulis menggunakan pendekatan ilmu sejarah digunakan untuk memaparkan tiap proses dalam peristiwa sejarah berdasarkan kronologis waktu. Selain itu, pada penelitian ini juga menggunakan pendekatan arkeologi dan sosio-antropologi. Pendekatan arkeologi digunakan untuk memahami
15Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Terj: Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI
Press, 1983), hlm. 32.
16 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah, (Jakarta:
(20)
segala hal yang berhubungan dengan fisik masjid, terutama masalah struktur bangunan beserta maknanya. Pada pendekatan ini (arkeologi) perspektif budaya merupakan sarana untuk melihat bentuk fisik, yang diperlihatkan pada sebuah hasil karya masyarakat dalam tradisi Jawa,17 yaitu masjid.
Sedangkan pendekatan sosio-antropologi digunakan sebagai acuan pandangan tentang bagaimana alam pikiran penguasa dan rakyat Jawa pada masa itu dan bagaimana perkembangan peradabannya, akan sebuah bangunan fisik religius sebagai bagian dari perikehidupan dan tranformasi rakyat Jawa, seperti hal masalah tata busana, arsitektur, etiket dan lain-lain.18
Masjid Pathok Negoro berasal dari dua bahasa dan tiga akar kata yang berbeda, kata masjid berasal dari akar kata bahasa Arab. Kata dasar masjid berasal dari kata kerjasajada yang berarti bersujud dan menyembah kepada Allah atau Tuhan Semesta Alam, yang mana akar kata tersebut mengalami perubahan makna dan pengucapan kata dalam ilmu sintaksis bahasa Arab (ilmu sharaf) menjadi kata benda atau ism makaan atau penetapan tempat. Sehingga, kata sajada berubah menjadi kata masjid yang
berarti “tempat bersujud” atau “menyembah Allah”.19 Kata masjid merujuk pada penyebutan tempat ibadah bagi umat Islam. Dalam Bahasa Indonesia kata masjid ini dicerap begitu saja tanpa adanya perubahan-perubahan berarti dalam penyebutan maupun penulisan kata masjid.20
17 Handinoto, Arsitektur dan Kota-kota di Jawa Pada Masa Kolonial, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010), hlm. 110.
18 Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002), hlm. 66.
19 A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1984), hlm. 650
20 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 579
(21)
Adapun kata Pathok Negoro berasal dari dua kata bahasa Jawa, yaitu Pathok dan Negoro. Pathok mempunyai beragam makna,21 namun
mempunyai satu tujuan makna kata khusus yaitu, “sebuah tanda yang
ditancapkan atau didirikan, baik berupa tanda yang terbuat dari kayu (tongkat atau tanaman tertentu), batu ataupun bangunan fisik lainnya, yang dimaksudkan sebagai batas dari sebuah kekuasaan tertentu baik individu
maupun kolektif.” Sedangkan kata Negoro, atau dalam bahasa Jawa halus (inggil) nagari, memiliki arti kekuasaan negara yang dipimpin oleh seorang raja dengan sistem tertentu.22
Sebuah hasil kebudayaan tentu berasal dari olah rasa, karya dan karsa. Menurut Koentjaraningrat yang dikutip dari J.J Hoenigman proses kehidupan memunculkan tiga gejala kebudayaan, yaitu: (1) ideas, (2)
activities (3) artifact. Prinsip pokok dari kebudayaan di dunia menurutnya pula ada tujuh, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian.23 Masjid Pathok Negoro Plosokuning di sini berada dalam tataran sistem religi dan kesenian.
Pada masa Rasulullah masjid tidak ditentukan bentuk dan bahannya, prinsipnya hanya satu, yaitu bagaimana masjid tersebut berfungsi sebagai tempat ibadah maupun pusat sosialisasi umat. Bahkan jika ada masjid yang fungsinya tidak dimaksudkan untuk itu, Allah memerintahkan kepada
21 Dharma Gupta, dkk., (ed.), Toponim Kota Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas
Pariwisata, seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2007), hlm. 44.
22 P. M. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuno-Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987),
hlm. 215.
23 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm.
(22)
Rasulullah SAW untuk menghancurkannya. Atas dasar keadaan itulah, maka ajaran Islam memang tidak menetapkan ketentuan konstruksi arsitektur bangunan masjid harus berbentuk seperti apa.
Islam yang datang dan menyebar ke sebuah wilayah baru, kemudian berasimilasi dan menyerap kebudayaan yang telah ada, untuk menjadi kebudayaan Islam. Keadaan asimilasi dan penyerapan kebudayaan oleh Islam disebut sinkretisme, tanpa mengubah dasar-dasar dari ajaran agama maupun kebudayaan yang ada, bahkan Islam semakin mewarnai jalannya sebuah kebudayaan, contohnya kebudayaan Jawa. Oleh karena itulah, etnis dan kebudayaan apapun bebas membangun kostruksi masjid dengan gaya arsitektur apapun, asal fungsi utamanya tidak melenceng dari syariat Islam. Itulah yang dicontohkan oleh para Walisongo pada masa lalu dalam membangun masjid agung Demak. Model arsitektur masjid Demak adalah acuan bangunan masjid berarsitektur gaya Jawa. Prinsip konstruksi bangunan tidak ditentukan dalam ajaran Islam, namun prinsip konstruksi arsitektur telah ada dalam kebudayaan Jawa, baik penentuan tempat dan penentuan waktu pembangunannya maupun penentuan bentuk, semua telah ada pada aturan dalam kebudayaan Jawa. Islam hanya melengkapi saja dengan prinsip-prinsip ajarannya seperti kebersihan, keamanan dan upaya pendekatan diri pada Yang Maha Kuasa.24 Arsitektur mempunyai tiga bagian prinsip, pertama, berkaitan dengan fungsi, kedua, berkaitan dengan bentuk dan ketiga berkaitan dengan tata letak.
24 Nurcholis Madjid, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam (Jakarta:
(23)
Teori yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada Yu Hien Hsieh,25 yang mengatakan bahwa, “sebuah bangunan pasti didirikan dengan maksud-maksud tertentu, baik fungsi maupun bentuk.” Posisi dan waktu pembangunan semua diatur sedemikian rupa, dengan segala perangkat yang ada di dalamnya. Ada empat fungsi utama Masjid Pathok Negoro; pertama, fungsi religius, sebagai tempat ibadah dan tempat belajar-mengajar agama, kedua, fungsi geografis dalam bentuk teritorial sebuah wilayah kerajaan, ketiga, fungsi sosial dalam bentuk interaksi antar personal, terakhir, yang sekarang mungkin sudah tidak ada lagi, yaitu fungsi militer26, yang digunakan untuk mobilisasi rakyat untuk berperang dan menggalang kekuatan. Sejak didirikan pertama kali di tahun 1724 M, fungsi-fungsi tersebut tetap ada, kecuali fungsi militer. Mungkin sekali fungsi militer berubah menjadi fungsi ekonomis seiring berjalannya waktu. sebab sebagian besar penduduk wilayah di sekitar masjid tersebut adalah para pengusaha dan pekerja wiraswasta yang kuat etos kerjanya.
Prinsip bentuk gaya arsitektur masjid Jawa setidaknya ada tiga pendapat, yang kesemuanya mengerucut pada pola penetapan ruang, bentuk dan aspek pengaruh gaya yang diterapkan pada sebuah masjid berarsitektur Jawa. Adapun pendapat-pendapat tersebut berasal dari: G.F Pijper,27 Handinoto28 dan Abdul Rochym.29
25 Alvin L. Bertrand, Sosiologi, Kerangka Acuan, Metode Penelitian, Teori-teori Tentang Sosialisasi, Kepribadian dan Kebudayaan, terj. Sanapidh S. Faisal, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980), 26-28.
26 Fungsi militer dipergunakan pada masa Perang Jawa (1825-1830) dan pada saat
revolusi fisik (1945-1949)
27 G. F Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam Di Indonesia, 1900-1950,
terj. Tujimah dan Yessi Agusdin, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985). Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Helene Njoto tentang asal usul tata peletakan masjid di Jawa
(24)
Menurut G.F Pijper, denah dan bentuk dasar masjid berarsitektur Jawa mirip seperti kompleks candi Hindu Jawa, terutama kompleks candi Plaosan Lor. Hal tersebut ingin dibuktikan oleh G.F Pijper dengan menyamakan denah penempatan candi perwara30 yang mengelilingi candi utama. Jika hal tersebut disamakan dengan masjid, maka candi perwara
adalah bagian di luar masjid, sedangkan candi induknya adalah bagian utama masjid.
Menurut G.F Pijper, arsitektur masjid bergaya Jawa mempunyai bentuk enam karakter umum, yang tidak terdapat pada masjid di daerah lainnya di luar kebudayaan Jawa, yaitu:
1. Berbentuk bujursangkar.
2. Lantainya langsung berada di tanah, tidak dibuat seperti lantai panggung. 3. Memiliki atap tumpang.
4. Mempunyai serambi.
5. Memiliki halaman yang dibatasi oleh pagar dan kolam, biasanya pintu masuknya berada di bagian timur.
6. Memiliki ruang tambahan berupa mihrab di bagian barat masjid.
Handinoto hampir sependapat dengan G.F Pijper dengan kesepakatan atas denah masjid berarsitektur Jawa. Handinoto kemudian lebih dalam tulisannya, “On The Origins of the Javanese Mosque” dalam, The Newsletter Vol. 72, 2015.
28 Tulisan makalah tentang arsitektural masjid bergaya Jawa oleh Handinoto dan
Samuel Hartono, “Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid Kuno Di Jawa Abad 15-16” dalam, Dimensi Teknik Arsitektur Vol.35, No. 1, Juli 2007.
29 Abdul Rochym, Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia,
(Bandung Angkasa, 1983).
30 Candi Perwara adalah candi pelengkap atau pendamping yang mengelilingi
(25)
menyoroti bentuk arsitektur masjid Jawa, dengan penekanan bahwa masjid berarsitektur Jawa terdapat prinsip-prinsip tertentu soal bentuknya. Improvisasi dan inovasi orang-orang Jawa dalam mewujudkan kebudayaannya pada bidang arsitektur masjid, menurutnya pula dapat dilihat pada bentuk atap, tata letak dan prinsip konstruksinya. Untuk bagian
pawestren itu hanya wujud ajaran tentang penghargaan kepada kaum Hawa
yang ingin berjama’ah di masjid, sebab itu hanya bagian yang khusus
difungsikan untuk kaum Hawa.
Adapun menurut Abdul Rochym arsitektur masjid bergaya Jawa dapat dengan mudah dilihat dan ditentukan bentuk serta denahnya. Masjid berarsitektur Jawa tidak mengalami perubahan gaya dan prinsip selama berabad-abad sejak masa Demak, perubahannya hanya pada masalah bahan, karena ada beberapa bahan yang mudah rusak. Hampir sama seperti pendapat G.F Pijper, menurut Abdul Rochym, masjid-masjid di Indonesia pada prinsipnya berbentuk bujursangkar untuk meratakan shaf dalam sholat, mempunyai bagian khusus seperti mihrab dan mimbar. Keunikan masjid berarsitektur bergaya Jawa menurutnya mempunyai keunikan yang khusus, terutama adanya bagian seperti kolam dan kompleks makam dalam satu lingkungan masjid.
Konsep bangunan di belahan Dunia Timur, secara epistimologis, sangat berbeda dengan konsep bangunan di belahan Dunia Barat. Pada konsep bangunan Dunia Timur, konsep ornamental sangat ditonjolkan, dibanding konsep fungsional Dunia Barat. Konsep privacy dalam penggunaan ruang bangunan di Dunia Barat, sangat bertentangan dengan konsep
(26)
kebersamaan (common) pada penggunaan ruang di Dunia Timur, lebih-lebih masalah estetika yang sangat jarang diperhatikan oleh konsep arsitektur di Dunia Barat.
Konsep bangunan di Dunia Timur selalu memaksa orang untuk menyesuaikan diri, untuk membentuk perilaku pribadi dan sosial, contohnya sikap seseorang ketika berada dalam kompleks peribadatan, yang disesuaikan dengan adat setempat.31 Untuk mencegah terjadinya gangguan kekhusukan dalam sholat, maka aspek ornamental yang biasa ditemukan di arsitektur Dunia Timur, di Masjid agung Kraton dan Masjid-Masjid Pathok Negoro, sangat sedikit. Hanya ada sedikit ornamen yang diwarnai dengan warna terbatas dan tidak mencolok.32 Suasana yang ingin ditampakkan oleh konsep arsitektur.
Pada buku Konsep Kekuasaan Jawa karya G. Moedjanto, dia berpendapat bahwa kekuasaan itu tidak dilihat dari kedudukannya sebagai seorang raja semata, namun dia harus mewujudkannya pada hal lain yang berkaitan dengan simbolisasi dalam kekuasaannya. Keunggulan dan legitimasi tersebut, diwujudkan dalam upaya mendekatkan diri sedekat mungkin dengan rakyatnya.33 Hal itu bisa dilakukan melalui tulisan, pendirian dan pemrakarsaan bangunan tertentu serta kepedulian akan suatu wilayah
31 Hindro T. Soemardjan, Pendidikan Arsitektur dan Pembangunan Nasional: Sebuah Pendekatan Budaya, dalam Eko Budihardjo (ed.), Arsitektur Indonesia Dalam Perspektif Budaya, (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hlm. 110-112.
32 Rochym, Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1983), hlm. 108.
33 Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, (Semarang: Hanindita,
(27)
tertentu ataupun penggunaan simbol-simbol keramat bagi sebuah keluarga atau kekuasaannya.34
Sebagai masalah dan konsep etos, maka para penguasa selalu berusaha menumbuhkan kesadaran kolektif kelompok atau individu yang dipimpinnya dalam sebuah daerah tertentu.35 Simbol-simbol yang diwujudkan itu selalu berkaitan dengan penumbuhan kesadaran kolektif tentang diri dan ruang yang dipertahankan dan dikembangkan sedemikian rupa oleh subyek penggunanya.36
E. Tinjauan Pustaka
Karya-karya yang terkait dengan Masjid Pathok Negoro dan kekuasaan Jawa Kesultanan Yogyakarta, telah banyak dan sangat banyak ditulis, baik oleh penulis dalam negeri maupun dari luar negeri, dalam bentuk buku, tulisan makalah ataupun hasil penelitian. Tulisan-tulisan tersebut umumnya hanya membahas sejarah politik, namun masih sedikit yang membahas masalah perubahan dalam masalah arsitektural, hal tersebut dapat dipahami, sebab masalah dan bahasan politik lebih banyak peminatnya.
Karya-karya dengan sudut pandang arsitektur dalam lingkup kajian budaya dan arsitektural masjid di Plosokuning tidaklah begitu banyak, karya-karya yang telah ada terbatas pada bahasan tertentu, yaitu ekonomi dan politik. Pada kajian pustaka ini, ada beberapa karya-karya dalam bentuk buku yang diambil oleh penulis sebagai pembanding dari penelitian yang akan
34Ibid.
35 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 172.
36 Taufik Abdullah, “Nasonalisme Indonesia, Dari Asal-usul ke Prospek Masa
Depan”, dalam: Asvi Warwan Adam (peny.), Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi dan Persepsi 8, (Jakarta: MSI bekerjasama dengan ANRI, 1999), hlm. 15-16.
(28)
dilakukan. Karya-karya tersebut mempunyai perbedaan, sehingga kajiannya tidaklah sama, meskipun data dan fakta yang tersaji dalam karya-karya yang ada menjadi sumber rujukan penulis.
Buku karya Inajati Adrisijanti,37 Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, yaitu buku yang merupakan hasil penelitian arkeologi dan tata kota di era Mataram Islam. Buku ini secara singkat menyinggung eksistensi masjid-masjid di wilayah yang dulu termasuk Mataram Islam. Buku ini jelas berbeda sekali dengan penelitian yang akan dibuat ini, terutama dengan masalah tema yang akan diteliti, sebab tema penelitian ini adalah arsitektur masjid.
Buku lain yang juga membahas tentang masjid yang ada di Yogyakarta, yaitu: Bunga Rampai Masjid Kagungan Dalem dan Masjid Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, karya Wahyu Indro S dkk. Karya ini adalah karya yang paling lengkap yang membahas tentang masjid-masjid kuno yang ada di Yogyakarta. Karya ini hampir sama seperti buku sebelumnya, hanya saja obyek pembahasannya lebih banyak. Tentu saja perbedaan dengan penelitian ini terletak pada aspek kedetailan dan masalah makna arsitekturalnya.
Artikel karya Nensi Golda Yuli yang diterbitkan oleh International Research Journal of Engineering and Technology, berjudul The Comparison of the Muslim Settlements in Pathok Negoro Area,Yogyakarta, Indonesia.
Membahas mengenai perbandingan struktur perkampungan di sekitar masjid-masjid Pathok Negoro di wilayah Yogyakarta.
37 Inajati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, (Yogyakarta: Jendela,
(29)
Karya-karya berbentuk hasil penelitian skripsi, setidaknya penulis temukan sebanyak empat buah, yaitu: skripsi Indah Nur Hasanah,38 Dwi Wahyuningsih,39 Muhammad Ali Sirojuddin,40 dan M. Irwan Ulil Albaab.41
Keempat karya ilmiah tersebut, tidak satupun yang sama dengan kajian skripsi ini.
Skripsi karya Indah Nur Hasanah, kajiannya lebih condong kepada sebuah tradisi di masyarakat sekitar, yang timbul dari adanya Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Bedanya dengan tulisan ini adalah di bagian sisi historis perkembangan arsitektural masjidnya. Skripsi karya Muhammad Ali Sirojuddin, mengupas mengenai managemen kepengurusan salah satu Masjid Pathok Negoro pada masa kontemporer dengan mengambil studi kasus Masjid Taqwa Wonokromo yang terletak di Bantul. Skripsi karya M Irwan Ulil Albaab, membahas tentang perubahan masyarakat di sekitar Masjid Pathok Negoro yang mengaktualisasikan diri mereka dalam perubahan zaman. Bedanya dengan tulisan ini adalah sisi historis bangunan, bukan keadaan masyarakatnya.
Karya-karya tersebut pada dasarnya membahas tentang Masjid Pathok Negoro dalam kajian tertentu, namun masalah tema kajian, batasan
38Indah Nur Hasanah, ‘’Tradisi Tahlil Pitung Leksan di Dusun Plosokuning, Desa
Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta’’,
(Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya
UIN Sunan Kalijaga, 2008). (tidak diterbitkan)
39 Dwi Wahyuningsih, ‘’Akulturasi Budaya pada masyarakat di sekitar Masjid
Sulthoni di Plosokuning, Ngaglik, Sleman’’, (Skripsi S1, pada Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2006). (tidak diterbitkan)
40 Muhammad Ali Sirojuddin, ‘’Management Masjid Pathok Nagoro : Studi Masjid
Taqwa Wonokromo Bantul Yogyakarta’’. (Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah
Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2015). (tidak diterbitkan)
41 M. Irwan Ulil Albaab, ‘’Masyarakat Jawa dan Modernisasi (Potret Kontemporer
Masyarakat “Masjid Pathok Negoro Plosokuning)’’, (Skripsi S1 pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, 2012). (tidak diterbitkan)
(30)
spasial dan temporal menjadi faktor pembeda. Hal tersebut merupakan celah kajian penting bagi penulis, sebab hal tersebut juga merupakan faktor pelengkap bagi penelitian-penelitian akan sejarah lokal Jawa, terutama di dunia akademis.
Segala perbedaan yang didapatkan oleh penulis bukanlah menjadi halangan bagi penelitian. Fokus kajian dibutuhkan sebagai sebuah batasan dan ukuran bagi penulis, agar segala faktor pembeda tersebut menjadi pelengkap bagi penelitian-penelitian di tempat yang sama di masa mendatang.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini secara garis besar mempunyai tiga hal dasar, yang tiap-tiap bagiannya saling berkaitan. Bagian-bagian tersebut berupa: pendahuluan, isi dan akhir atau kesimpulan, yang selalu berkaitan hubungan antar bab tersebut pada pembahasannya. Tiap-tiap bagian pembahasan tersebut terbagi dalam sistematika bab dan sub-bab yang jumlah bahasannya tidak mengikat, sesuai dalam kaidah dan koridor penguraian hasil penelitian.42
Pada Bab I adalah pendahuluan yang berupa proposal penelitian, di dalamnya adalah pengungkapan untuk tujuan apa penelitian dilakukan, bagaimana metodenya serta bagaimana sistematika pembahasannya. Pada tahap ini penulis membeberkan tujuan,rencana sistematika, metode penelitian dan landasan pemikiran serta teori sebagai rujukan berfikir bagi penelitian, sebagai pengantar akademis maupun administratif agar arah serta maksud dan
42 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
(31)
tujuan penelitian dapat diketahui di gambaran awal sebelum membaca seluruh isi hasil penelitian.
Tahapan selanjutnya tertuang dalam Bab II, yaitu berupa gambaran umum untuk melihat secara parsial masalah-masalah ataupun hal-hal yang berkaitan dengan lingkup masalah spasial dan temporal yang terjadi di sekitar tema atau wilayah, dalam hal ini keadaan umum tentang Masjid Pathok Negoro Plosokuning bahasan tersebut berguna untuk mengetahui situasi yang berkembang secara lebih detail dan berhubungan dengan bab selanjutnya.
Bab III adalah penguraian jawaban tentang bagaimana konstruksi dari arsitektur masjid. Bagian ini berisi pembahasan tentang masalah material pembentuk fisik masjid, tata letak serta fungsi-fungsi dalam arsitektur masjid. Pembahasan ini untuk mendapatkan gambaran detail akan bagian-bagian tertentu dalam rekonstruksi sejarah arsitektur masjid dalam bentuk fisiknya.
Pada tahap selanjutnya adalah Bab IV berupa pembahasan tentang interpretasi yang berupa pemaknaan bagian-bagian fisik masjid terhadap masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut diuraikan dalam beberapa sub bahasan berupa penjabaran tentang pemecahan permasalahan yang timbul dari pendirian masjid.
Tahap terakhir yaitu Bab V merupakan kesimpulan dari peristiwa yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dengan penjabaran hasil-hasil dan fakta yang didapat dari penelitian yang dilakukan.
(32)
BAB II
GAMBARAN UMUM
A. Kondisi Geografis
Wilayah Plosokuning adalah sebuah Desa di pedalaman Jawa, di bekas Keresidenan Yogyakarta yang terletak 9 km bagian timur laut pusat Kota Yogyakarta, terletak di daerah yang dinamakan lembah Mataram.43
Desa ini terletak di antara aliran Sungai Gajahwong di bagian barat dan Sungai Manggis di bagian timur, yang membujur dari utara ke selatan, dengan debit air yang cukup baik di musim kemarau untuk kebutuhan air penduduk.
Sungai-sungai tersebut bermuara di laut selatan Jawa, dengan pertemuan arus sungai (tempuran) di Sungai Opak dan Oyo. Tanah di sekitarnya juga tergolong subur untuk pertanian dan perkayuan, namun dalam perkembangannya, luas tanah untuk pertanian semakin berkurang dan pohon untuk bahan-bahan bangunan berupa kayu harus didatangkan dari wilayah Grobogan dan Madiun.44
Desa Plosokuning berdiri di atas tanah alluvial (tanah hasil pelapukan lahar) Gunung Merapi yang terbentuk jutaan tahun lalu, dengan dasar tanah sebagian batu wadas dan batu cadas keras, sedangkan permukaannya dipenuhi oleh tanah hitam dan berpasir, serta berada di
43Hiroyoshi Kano, “Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa: Suatu Penafsiran
Kembali”, dalam Akira Nagazumi (peny.), Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang, Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 14-15.
44Desak Made Oka, Hutan Jati Madiun, Silvikultur di Karesidenan Madiun 1830-1910, (Semarang:PBS, 2010), hlm. 9.
(33)
ketinggian sekitar 127 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan pertahun sekitar 800 milimeter.45
Luas keseluruhan Desa Plosokuning sekitar 15.000 m² (untuk bagian sekitaran masjid, hanya seluas 2.500 m²), dengan kelembaban udara mencapai 85-90 persen, pada ketinggian itu maka udara di sekitarnya tergolong sejuk, dengan suhu rata-rata di musim panas dan musim hujan berkisar antara 23-31 C°.
Vegetasi Desa Plosokuning berupa tumbuhan pangan dan komersial seperti, padi dan palawija berupa singkong, ubi jalar, kelapa dan tanaman buah-buahan lainnya, adapun tanaman komersial berupa kelapa, kayu sengon, waru dan tumbuhan lainnya yang dapat dimanfaatkan kayunya. Tanah di sekitarnya tergolong berbukit, di sebelah barat dan timur terdapat dataran rendah yang sempit, sedangkan utara dan selatannya berbukit mengikuti arah Gunung Merapi dengan tingkat kelandaian sekitar 25 derajat.
Tata letak Desa Plosokuning sejak tahun 1760 M hingga tahun 1926 M, adapun secara administrasi sejak tahun 1760 M hingga 1830 M, berada di bawah pengawasan langsung Sultan dalam sistem kekuasaan
Nagaragung. Oleh Sultan daerah-daerah Pathok Negoro di bawah
pengawasan pemerintahan setingkat kawedanan (dikenal sebagai sistem pemerintahan setingkat kecamatan atau distrik sekarang), yaitu abdi dalem Reh Kawedanan Pengulon. Setelah reorganisasi pemerintahan pada tahun 1830 M, kekuasaan Sultan dipisahkan dari daerah itu, dengan penetapan
45 Tonny Whitten, Roehayat Emon Soeriaatmadja dan Suraya A. Afiff, The Ecology of Indonesian Series Volume II: The Ecology of Java and Bali (Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd., 2000), hlm. 41-42.
(34)
wilayah Plosokuning berada di dalam lingkungan wilayah administrasi distrik
Ngaglik, di bawah wilayah administrasi wedana Denggung pada tahun 1831. Setelah diadakan lagi reorganisasi pemerintahan (pangreh praja) pada tahun 1926, maka Plososkuning menjadi sebuah daerah onderdistrik, di bawah distrik Ngaglik, di bawah afdeeling Sleman (sistem administrasi kawedana Denggung sudah dihapuskan).46 Setelah reorganisasi wilayah dan
pamong praja kembali tahun 1947 M dan 1950 M hingga sekarang, tidak ada perubahan sistem pemerintahan berarti.
B. Sejarah Singkat Berdirinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning
Disintegrasi Kerajaan Mataram telah terjadi sejak masa pemerintahan Amangkurat II, sebagian besar wilayah Mataram pada masa Sultan Agung dan Amangkurat I di bagian barat (bang kulon) seperti Priangan dan Karawang telah jatuh ke tangan VOC setelah tahun 1680 M, serta Cirebon di tahun 1705 M, di bagian timur seperti Blambangan dan Pasuruan, jatuh ke tangan kaum pemberontak Untung Surapati pada tahun 1686 M, sebelum akhirnya dihancurkan oleh VOC pada tahun 1710 M, yang ditandai dengan pembuatan benteng pertama di Jawa Timur.47
Wilayah pesisir sejak tahun 1690 M sudah diserahkan Istana Mataram kepada VOC, dari wilayah Tegal hingga Semarang dan kemudian menyusul wilayah dari Semarang hingga Surabaya di tahun 1746 M. VOC juga selalu berusaha menggerogoti tahta dan kebebasan Mataram dengan
46 Rijkblad Kasultanan Yogyakarta 1926, salinan Badan Perpustakaan dan Arsip
Derah Yogyakarta, 2004, hlm 21.
47 Robert W. Hefner, Geger Tengger, Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, terj.
(35)
sistem monopoli perdagangannya, namun hal tersebut lebih disebabkan karena kelemahan raja yang bertahta Mataram itu sendiri.
Setelah Sunan Amangkurat IV naik tahta, Pangeran Hangabei atau RM Sandiyo yang merupakan anak Raja Mataram (Sunan Amangkurat IV), pergi dari kraton. Dia enggan dijadikan raja pengganti ayahnya karena intrik politik di Kraton Kartasura. Dia dijadikan Bupati Surabaya, namun setelah Surabaya jatuh ke tangan VOC (1743 M), dia pergi ke daerah perbatasan antara Kedu dan Mataram di Desa Susukan. Setelah ayahnya wafat dan tahta Mataram digantikan oleh adiknya, Sunan Pakububuwono II, dia tetap memilih pergi dari kraton.
Timbulnya kegelisahan akan kekuasaan Kerajaan Mataram hingga akhirnya timbul Perang Suksesi, harus diakhiri dengan diadakannya kesepakatan bersama untuk mengakhiri pertikaian yang terjadi, yaitu dengan menempuh jalur damai. Perjanjian Giyanti yang terjadi pada tahun 1755 M, antara Pakubuwono III yang masih kecil dengan Hamengkubuwono I dan VOC adalah hasilnya. Namun, ternyata ini bukannya menghasilkan kedamaian ataupun menyelesaikan masalah untuk kedua belah pihak, akan tetapi malah menambah suasana tidak terkendali dengan keputusan yang dibuat oleh keduanya dengan terjerumus ke dalam permainan politik VOC, kali ini dengan Raden Mas Said, yang bertempur menuntut tahta Mataram juga.
Hingga akhirnya, kesepakatan terakhir ditandatangani di Salatiga pada pada tahun 1757 M, antara Pakubuwono III, Raden Mas Said dan VOC, dengan isi perjanjian menyatakan bahwa Raden Mas Said sebagai (bergelar
(36)
Adipati Mangkunegoro), tidak boleh menuntut tahta dan memberikan hormat pada kedua kerajaan yang sudah ada.48
Hasil-hasil dari perjanjian antara raja-raja bekas Kerajaan Mataram dengan VOC tersebut adalah konsesi-konsesi tertentu, seperti perjanjian-perjanjian yang telah diadakan di masa lalu, isinya selalu membelenggu kekuasaan dan tahta Mataram, meskipun secara militer Kerajaan Mataram yang telah terpecah itu masih utuh. VOC dibubarkan pada 1799 M setelah mengalami kebangkrutan oleh pemerintah kolonial Belanda (negeri Belanda).49
Setelah Kraton Yogyakarta berdiri, RM Sandiyo, yang kini bergelar Kyai Nuriman, oleh adiknya, Sultan Hamengkubuwono I, diminta untuk ke kraton dan menjadi penasihatnya, namun ditolak olehnya. Kyai Nuriman lalu tetap memilih mengajar di desa. Desa tempat dia mengajar, telah berdiri sebuah masjid yang dinamakan Masjid Mlangi, yang merupakan Masjid Pathok Negoro pertama di Yogyakarta, yang berdiri sejak tahun 1723 M.
Kyai Nuriman memerintahkan kepada anaknya bernama Kyai Mursodo, untuk mengajar dan mendirikan masjid di bagian timur, yaitu di Plosokuning pada tahun 1724 M. Sejak sebelum pecah Perang Cina (1740-1743 M) hingga perjanjian Giyanti (1755 M), masjid di Mlangi dan
48 Ki Sabdacarakatama, Ensiklopedia raja Tanah Jawa, Silsilah Lengkap Raja-raja Tanah Jawa Dari Prabu Brawijaya V Sampai Hamengkubuwono X, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hlm. 115.
49 C.R Boxer, Jan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai, 1602-1799,
(37)
Plosokuning telah berdiri, beberapa orang kaum pemberontak juga pernah ke tempat ini untuk berlindung.50
Ketika Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono III pada tahun 1812 M, Masjid Pathok Negoro Plosokuning mengalami renovasi besar yang pertama. Selanjutnya renovasi dilakukan pada tahun 1869 M di masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono VI, setelah Yogyakarta diterjang gempa besar tahun 1867.
Revolusi fisik yang terjadi antara tahun 1945-1949 M di Yogyakarta, menjadikan masjid serta masyarakat Pathok Negoro sebagai benteng dari sasaran serangan agresi militer Belanda (NICA), bahkan Masjid Pathok Negoro menjadi semacam daerah yang steril dari agresi militer Belanda. Meskipun menjadi daerah yang steril dari sasaran militer, bukan berarti rakyat dan penguasa berpisah, bahkan beberapa keluarga dekat sultan sering bertandang dan menyusup menjadi laskar perang, bahu-membahu bersama para ulama dan rakyat, dalam menghadapi serangan Belanda di Yogyakarta.51 Sultan bahkan sering mengirim kerabat dan putra-putrinya
untuk belajar di beberapa Masjid Pathok Negoro. Oleh sebab karena di bawah pengawasan langsung raja, maka Masjid Pathok Negoro Plosokuning berstatus Masjid Kagungan Dalem.
50 Yuwono Sri Suwito, dkk., Prajurit Kraton Yogyakarta, Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung Di Dalamnya, (Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2010), hlm. 5.
51 Ervan Anwarsyah, ‘’Peran Ulama Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di
Yogyakarta 1945-1949’’, (Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah, 2010), hlm. 42. (tidak diterbitkan)
(38)
C. Kondisi Agama
Pada tradisi alam pikir orang Jawa sejak zaman Hindu hingga Islam datang, raja adalah perwujudan mikro kosmos dan sebagai wakil Tuhan (Allah SWT) dalam perlindungan dan pengayoman rakyat, oleh karena itu rakyat memberikan apa yang mereka miliki untuk kepentingan raja dan keluarganya dalam mengatur kehidupan mereka agar lebih baik, dalam wujud istilah: papat kalimo pancer, yang berarti empat sisi dengan pusat di tengahnya sebagai pengatur yang disebut raja.52
Citra para penguasa Jawa akan simbol-simbol keislaman yang telah menjadi tradisi sejak zaman Kesultanan Demak, diwujudkan dalam bentuk perayaan acara Maulid Nabi Muhammad SAW, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dengan mengadakan acara Garebeg Mulud, Sawal dan Garebeg Besar, sebagai tanda pengakuan diri pada Islam serta sebagai perayaan rakyat sebagai simbol kemurahan hati raja (Sunan Surakarta atau Sultan Yogyakarta).
Masjid sejak zaman Pakubuwono I, walapun kekuasaannya didukung oleh VOC, adalah simbol dari pusaka orang-orang Jawa, dia menganggap bahwa meskipun seluruh pusaka tanah Jawa ini hilang dan habis, maka Masjid Demak dan makam Kadilangu merupakan pusaka rakyat Jawa yang abadi, yang menjadi dasar dari etika dan keyakinan hidup rakyat Jawa.53
Pada masa itu pihak VOC tidak terlalu tertarik pada masalah Islam di kedua kerajaan Jawa, sebab tujuan utamanya adalah keuntungan dalam berdagang, meskipun pernah terjadi sebuah peristiwa yang disebut peristiwa
52 Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis-Historis, hlm. 60. 53 Nancy K. Florida, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang, Sejarah Nubuat Kebudayaan Jawa, terj. Rahmat, dkk., (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 101.
(39)
pakepung pada tahun 1780-an, di Surakarta oleh Pakubuwono IV yang didukung oleh empat ulama berpengaruh, mereka berusaha menegakkan agama Islam sesuai dengan keadaan pada masa Sultan Agung, namun hal tersebut menyebabkan kraton Surakarta dikepung oleh pasukan gabungan dari Mangkunegoro, Yogyakarta dan VOC.54
Penggunaan gelar-gelar kekuasaan dan keagamaan dengan pendekatan Islam, seperti tercermin dalam kalimat gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan atau Sultan Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman
Sayidin Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah Jawi, sebagai simbol kekuasaan
dunia dan agama (akhirat) di tanah Jawa, adalah bukti bahwa Islam diterima sebagai agama resmi.55 Semenjak berhasil membangun Kesultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono I56 berusaha membangun jaringan keagamaan dengan berhubungan dan membangun beberapa Masjid Pathok Negoro, yang sebagian besar terletak di sekitar kota Yogyakarta, seperti Masjid Dongkelan di bagian selatan Kraton, Masjid Wonokromo, berada di sekitar bekas ibukota Kerto, 6 km di daerah selatan, Masjid Babadan di Berbah berada 8 km di daerah timur dan Masjid Plosokuning di bagian timur laut, serta Masjid Mlangi, di barat daya Kraton.
54 Pada babad Pakepung, diceritakan bahwa Sunan Pakubuwono IV bersama empat
ulama yang berpengaruh, mulai melawan VOC dengan menerapkan hukum-hukum Islam secara ketat, dia juga berusaha untuk tidak mematuhi isi perjanjian yang dianggap sebagai penyerahan kepada kaum kafir. Akhirnya keempat ulama tersebut diserahkan pada VOC untuk kemudian dibuang, sebagai kompensasi atas tidak jadinya penyerangan kraton Surakarta yang telah dikepung.
55 Revianto Budi Santosa (ed.), Dari Kabanaran Menuju Yogyakarta, Sejarah Hari Jadi Yogyakarta (Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2008), hlm. 46.
56 Sultan HB I adalah raja begitu fokus terhadap perkembangan Islam, dia juga
berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya adalah pemeluk Islam yang baik, dengan menyalin dan menulis langsung dengan tangannya sendiri, mushaf al-Qur’an. Mushaf asli tulisan tangan Sultan HB I, dapat dilihat di perpustakaan BPSNT Yogyakarta bagian koleksi langka.
(40)
Selain difungsikan sebagai tempat untuk menggembleng para prajurit, tempat-tempat tersebut juga merupakan benteng intelektual dan religius rakyat Yogyakarta. Masjid-masjid tersebut tidak terdapat di wilayah Kasunanan Surakarta atau di Kadipaten Mangkunegara dan Pakualaman.57 Pada pusat Kotagede sendiri telah mempunyai masjid besar sejak zaman Panembahan Senopati, serta terdapat kampung yang di dalamnya berisi para kaum santri dan agamawan, yang disebut kampung kauman, yang berdiri di sekitar Masjid Agung Kotagede.
Lunturnya pegangan para bangsawan terhadap agama Islam, merupakan hal yang sangat disesali oleh Pangeran Diponegoro yang melihat kebobrokan mental para bangsawan.58 Pangeran Diponegoro selama masa Perang Jawa menyebut dirinya sebagai pemimpin agama di tanah Jawa yang mengobarkan perang sabil dengan penyebutan gelar, Sultan Ngabdulkamid Erucakra Sayidin Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah Jawi. Banyak di antara pendukungnya adalah santri dan kaum ulama, terutama Kyai Mojo, Kyai Taptayani dan Kyai Nitiprojo serta ulama-ulama dari Kotagede dan sekitar Masjid Pathok Negoro.59
Ketika terjadi tekanan yang begitu berat dari pemerintah, kaum bumiputra percaya pada kekuatan supranatural yang istimewa dan privillage
pada keadaan dan diri seseorang tokoh seperti Kyai. Snouck C. Hurgronje, sebagai penasehat pemerintah, dia menganggap masalah Islam secara negatif, setidaknya ada tiga poin dalam pandangan pemerintah kolonial dalam
57 Sumintarsih, dkk.,Toponim KotaYogyakarta, hlm. 43.
58Muhammad Yamin, Sejarah Peperangan Dipanegara, Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 14-16.
59 M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm. 151.
(41)
memandang Islam, 1). Domain agama murni, yaitu memunculkan sikap netral, 2). Domain hukum, yang menciptakan kodifikasi hukum tanpa akhir, dengan perubahan tidak seimbang untuk keuntungan pemerintah kolonial, 3). Domain politik, pada bagian ini pemerintah harus bersikap keras, yaitu berupa penentangan terhadap adanya pengaruh Pan-Islamisme dan pemberantasan dengan kekuatan militer segala bentuk gerakan-gerakan perlawanan.Seluruh poin-poin tersebut ditujukan untuk satu hal, yaitu politik asosiasi.60
Instrumen-instrumen perlawanan yang selalu terjadi dan berakhir dengan bentrok fisik, akhirnya diselidiki oleh pemerintah kolonial Belanda pada saat berlangsungnya Perang Jawa, hingga kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah keagamaan serta pendidikan agama Islam di pondok-pondok pesantren harus diawasi dengan ketat serta ditekan sedemikian rupa, agar segala bentuk embrio perlawanan dapat diredam sebelum muncul ke permukaan, sehingga program-program pemerintah kolonial Belanda dapat berjalan dengan lancar.
Islam sendiri telah menjelma menjadi kekuatan budaya dan sosial-politik yang bergerak perlahan dari pedesaan dan pesisiran melalui dakwah dan pendidikan.61 Politik pengawasan agama tersebut berlangsung hingga berakhirnya pemerintahan kolonial pada tahun 1942. Selepas tahun tersebut politik asimilasi Pemerintah Pendudukan Jepang, berhasil menghimpun dukungan rakyat dengan pendirian laskar Hizbullah.
60 Muhammad Hisyam, “Kebijakan Haji Masa Kolonial”, dalam A.B. Lapian (ed), Sejarah dan Peradaban: Sejarah dan Dialog Peradaban, (Jakarta: LIPI Press, 2005), hlm. 340-341.
61 Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 75 dan
(42)
Peralihan dan pertukaran kebudayaan melalui migrasi penduduk, pernikahan atau pembelajaran, mempercepat proses pembauran dan penyebaran ide-ide dalam masyarakat secara normatif. Tradisionalisme sesungguhnya telah ikut menjiwai gerakan perlawanan baik oleh para santri maupun para bandit, yang secara rapi terorganisir dan mempunyai struktur,62 bahkan keberadaan organisasi dan keberadaan banditpun diikat oleh nilai religius dan kerjasama mereka dengan aparat desa.63 Tidak boleh dilupakan peran dari para santri yang mewakili golongan “putih”, di mana pencak silat (bela diri) diajarkan dan agaknya menjadi salah satu kurikulum yang tak resmi di lingkungan pondok pesantren tradisional yang tesebar di seluruh Jawa.64 Pondok pesantren tersebut juga diikat oleh persaudaraan tarekat yang menggugah nilai rohani para anggota dan masyarakat sekitarnya yang diwakili oleh para kyai dan kaum santri.65
Masuknya organisasi kemasyarakatan modern di bidang keagamaan sejak awal abad ke-20, seperti Sarekat Islam, NU dan Muhammadiyah, ikut membentuk perilaku keagamaan, meskipun empat dari lima Masjid Pathok Negoro cenderung berafiliasi dengan ormas NU dan satu dekat dengan Muhammadiyah, namun sebagai sebuah kesatuan religius, afiliasi tersebut tidak menganggu aktifitas serta persatuan yang telah terbangun.
62 Suhartono W. Pranoto, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 120-121.
63Suhartono, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-194 hlm. 151 dan
154.
64Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Studi Tentang Daya Tahan Pesantren Tradisional (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm. 107.
(43)
D. Kondisi Sosial–Budaya
Kekayaan di Jawa adalah tanah, raja adalah sebagai pemilik tanah yang berguna untuk menggaji keluarga dan pegawai, salah satu bentuk gajinya adalah pemberian tanah lungguh dengan ukuran cacah, yaitu ukuran banyaknya keluarga petani yang mendiami sebuah wilayah tanah lungguh. Pengelolaan tanah oleh para pemagang tanah tersebut, diserahkan pada
demang dan bekel, yang memberikan mereka kedudukan ekonomis dan
politis atas nama raja.
Perkembangan kependudukan atau demografis di Jawa mengalami peningkatan dan penurunan yang tidak stabil sebagai akibat perang yang terus-menerus terjadi. Penduduk di seluruh Jawa pada waktu itu sekitar lima sampai enam juta jiwa hingga tahun 1790-an. Registrasi kasar dalam sensus penduduk Jawa yang dilakukan oleh Daendels dan Raffles di awal abad kesembilan belas, menunjukkan peningkatan, namun tidak dapat dijadikan acuan, sebab registrasi sensus tersebut tidak menyeluruh, karena terbatas pada perkiraan yang dilaporkan oleh para bupati-bupati bawahan kolonial dengan sistem cacah.66
Jumlah cacah juga sangat berperan dalam perang dan pemberontakan. Sejak zaman Mataram hingga berakhirnya pemerintahan Kolonial, daerah-daerah bebas pajak yaitu tanah yang disebut,
pesantren,pekumen, pekuncen, pemijen, putihan dan perdikan.67 Seiring
bertambahnya tanah-tanah yang dimaksudkan di atas, maka pemerintah
66Peter Boomgaard, Anak Jajahan Belanda, Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa, 1795-1880, (Jakarta: KITLV, 2004), hlm. 35.
67 Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah Sosial 1880-1930, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 39-40.
(44)
menghapus tanah-tanah tersebut jika tidak ada ketetapan pada masa sebelumnya dalam Indische Staatregeeling tertanggal 2 September 1854 M pasal 129. Ada beberapa kriteria desa yang wajib membayar pajak, yang ditentukan oleh banyaknya penduduk yang mendiami suatu batas desa tertentu dalam satu kawedanan.68 Kebanyakan para penduduk Jawa di pedalaman adalah petani, yang menggantungkan hidupnya pada tanah pertanian.69 Adanya ikatan vertikal ini dalam pembagian masyarakat desa, maka kesetiaan abdinya dapat diukur oleh kebaikan tuannya.70 Pada hal ini
tuannya adalah pemimpin Masjid Plosokuning. Masalah pakaian dan bentuk rumah rakyat Jawa juga diatur sedemikian rupa, begitu pula masalah tingkatan bahasa, yang bentuk-bentuk feoadalisme dan strata sosial yang berkembang pada zaman itu.71
Pengaruh agama Hindu dan Budha dalam Islam di Jawa, mengakibatkan tumbuh suburnya legenda mistik seperti akan adanya Ratu Adil yang akan menyelamatkan keadaan mereka dari kesengsaraan. Masyarakat yang kebanyakan golongan abangan menganggap bahwa legenda yang ada pada keberadaan dan peninggalan benda orang-orang hebat, dengan mempersonifikasikan hal itu dalam sifat-sifat kemuliaan dan kekeramatan orang tersebut, dengan harapan kebaikan orang tersebut akan berguna bagi orang dan wilayah di sekitarnya seperti para kaum atau kaum santri yang
68 Bayu Surianingrat, Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1992), hlm.71 dan 86.
69 Onghokham, Rakyat dan Negara (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 64-65.
70 A.M. Djuliati Suroyo, “Politik Eksploitasi Kolonial dan Perubahan Ekonomi di
Indonesia, dalam: Indonesia Dalam Arus Sejarah, Kolonisasi dan Perlawanan, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve dan Kementrian Pariwisata dan Kebudayaan RI, 2012), hlm. 134-135.
71 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi,
(45)
merupakan representasi keagamaan orang Jawa kebanyakan.72 Pada
peristiwa-peristiwa besar yang melibatkan mereka (rakyat Jawa), mitos tersebut selalu dihubung-hubungkan dengan kehidupan mereka.73 Sunan dan
sultan selalu dihubungkan dengan kekuatan gaib, terutama dikatakan bahwa mereka mempunyai hubungan khusus dengan penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul sejak zaman Sultan Agung.74
Kraton adalah simbol dan pusat dari kebudayaan Jawa, makin jauh dari kraton maka makin jauh dan makin pudar pula cerminan budaya yang terpancar dan muncul dari dalam kraton,75 oleh sebab itu setiap raja berusaha untuk mencitrakan dan selalu berusaha membawa sejauh mungkin hasil-hasil yang telah dia ciptakan untuk rakyatnya.76 Oleh karena itu diciptakanlah mitos di dalam ingatan kolektif rakyat. Fungsi mitos sendiri adalah untuk menyediakan rasa dan makna hidup, yang membuat orang yang bersangkutan akan merasa bahwa hidupnya tidak akan sia-sia, hal itu juga merupakan tonggak ketahanan fisik dan mental dengan keyakinan akan harapan untuk menggapai suatu tujuan di masa depan. Mitos kemudian oleh masyarakat dipersamakan dalam lambang dan simbol Islam,yang dimaknai sebagai jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.77
72 Sukanto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1999), hlm.88. 73 Taufik Abdullah, “Dari Sejarah Lokal ke Kesadaran Nasional: Beberapa
Problematika Metodologis” dalam T. Ibrahim Alfian (ed.), Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), hlm. 253.
74Babad Sultan Agung, terj. Tim Balai Bahasa Yogyakarta, (Yogyakarta: Balai
Bahasa Yogyakarta, 1989), hlm. 92.
75 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi dan Kawulo, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 21. 76 Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, terj. Winarsih Partaningrat Arifin, dkk. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris dan Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2005), hlm. 153.
77 Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangunan Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 177-179.
(46)
Pada Perang Diponegoro, simbol-simbol tersebut diwujudkan dengan bentuk perlawanan, pada orang kafir yang terwujud dalam bentuk kelompok tertentu seperti pada golongan Tionghoa dan Belanda, yang selalu menyusahkan kehidupan mereka, dalam penarikan pajak gerbang tol dan aktivitas perdagangan candu mereka yang merusak.78 Keputusan pemerintah kolonial yang melarang penyewaan tanah kepada pengusaha Eropa di Jawa pada tahun 1824, mengakibatkan banyak para bangsawan dan tuan tanah yang jatuh miskin, sebab uang sewa yang telah mereka terima sudah habis dan tidak dapat mengembalikannya dan ini juga menjadi salah satu pemicu perang.
Masyarakat Plosokuning pada masa modern tidaklah tergantung pada kraton sebagai pusat sumber kehidupan, namun Kraton Yogyakarta tetap didudukkan sebagai simbol saja. Sebagai masyarakat bebas, kebanyakan penduduk di sekitar masjid berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha, terutama di lingkungan santri,79 sedangkan sebagian besar penduduk di luar lingkungan tersebut, memang masih banyak yang berprofesi sebagai petani.
Pada waktu-waktu tertentu mereka semua berkumpul untuk menyelenggarakan acara khusus, baik dalam bentuk tradisi seperti kendurian
ataupun acara keagamaan yang sifatnya lokal maupun global, seperti acara
tahlilan, haul ulama pendiri yang telah wafat ataupun perayaan maulid Nabi Muhammad atau hari-hari besar Islam lainnya.
78 Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol dan Perang Jawa, Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825, terj. Tim Komunitas Bambu, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm.81-82.
(47)
Pendidikan dalam Islam adalah sebagai obat bagi ketertinggalan dan prosesnya harus dilakukan dengan benar sesuai tuntutan zaman.80 Pendidikan Islam dalam hal ini adalah pendidikan Islam yang ada di Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang juga telah berdiri sebuah pondok pesantren.
80 L. Stoddard, Dunia Baru Islam, terj. R. Roeslan, (Jakarta: tanpa penerbit, 1966.)
(48)
BAB III
KONSTRUKSI ARSITEKTUR
A. Tata Peletakan Struktur Masjid
Secara umum struktur masjid terdiri dari dua bagian utama, yaitu: bagian dalam dan bagian luar.81 Secara detail, penjabaran tentang bagian-bagian itu dijelaskan di bawah ini:
1. Bagian Dalam
Bagian utama adalah sebuah bagian di dalam masjid yang dikhususkan untuk aktifitas terbatas, berupa aktifitas ibadah semata, semisal sholat, mengaji dan i’tikaf. Selain aktifitas tersebut, dilakukan di luar bagian utama. Bagian utama terbagi menjadi tiga bagian, yang masing-masing bagian mempunyai batasnya tersendiri. Bagian utama masjid, sebagai tempat yang hanya ditujukan untuk aktifitas ibadah semata seperti sholat dan pelaksanaan ibadah yang membutuhkan khutbah. Bagian ini terdiri dari tiga bagian, yaitu, mihrab (pengimaman), mimbar dan ruangan utama sholat.
Batas bagian utama masjid dengan bagian serambi, dibatasi oleh sebuah dinding keliling, jendela berteralis kayu (kecuali jendela di bagian barat) dan pintu kayu. Bagian utama masjid dinaungi oleh atap tajug
bertingkat dua. Pada bagian utama masjid, terhubung dengan sebuah jalan masuk dari bagian serambi masjid, di bagian utara dan selatan, jalan masuk tidak dibatasi oleh pintu, sedangkan di bagian timur, diberi oleh tiga pintu
81 Bagian-bagian masjid kuno di Jawa, umumnya terdiri dari dua bagian, yaitu:
(49)
kayu sebagai pembatas jalan masuk. Adapun penjelasannya keempat bagian tersebut adalah:
A.Mihrab
Mihrab adalah ruangan kecil yang dikhususkan untuk imam memimpin sholat. Berbentuk lengkung four centred82 dengan sebuah jendela kecil di tengahnya. Bagian ini letaknya paling depan dan paling barat dari bagian dalam masjid. Bagian luar ruangan mihrab, langsung berhadapan dengan bagian makam yang dibatasi oleh dinding. Bagian makam langsung dapat dilihat dari sebuah jendela yang berada persis di depannya.
B.Ruang Shalat
Ruangan untuk sholat adalah ruangan utama dalam masjid yang berbentuk bujur sangkar. Ruangan ini dikhususkan untuk sholat laki-laki,
I’tikaf maupun mengaji. Ruangan ini berbatasan dengan mihrab, mimbar dan
pawestren. Di ruangan ini pembatas-pembatasnya ke bagian serambi berupa dinding, pintu dan teralis kayu.
C.Mimbar
Bagian ini terletak agak ke sebelah kanan (utara). Sebuah ruangan kecil yang sangat khusus di bagian dalam masjid, untuk khatib menyampaikan khutbah. Selain itu juga digunakan untuk para penceramah yang memberikan tausiyah jika ada perayaan hari-hari besar Islam yang diselenggarakan oleh pengurus masjid. Mimbar ini dilengkapi dengan sebuah tongkat yang dipakai khatib ketika memberikan khotbah. Ornamen pada mimbar ini terdapat pada bagian pegangan
82Four centred adalah bentuk lengkung yang memiliki sudut semu pada kedua
(50)
2. Bagian Luar
Bagian tambahan adalah bagian dimana aktifitas di dalamnya tidak berkaitan langsung dengan aktifitas ibadah. Bagian tambahan masih termasuk dalam lingkungan masjid, tetapi bukan tempat bagian utama dari inti aktifitas masjid, oleh karena itu dapat dinyatakan sifatnya hanya pelengkap (tambahan). Bagian tambahan masijid adalah bagian di luar bangunan utama masjid, yaitu serambi, kolam, jembatan penyeberangan, halaman dan makam.
Bagian tambahan ini di beberapa masjid kuno di Jawa, dapat diamati pada umumnya hampir selalu ada, yaitu kolam, jembatan penyeberangan, halaman dan makam. Namun di beberapa masjid, tidak ditemukan bagian tambahan berupa makam, seperti contohnya di masjid agung Kraton Yogyakarta dan Surakarta, karena para raja pewaris Mataram dan keluarganya, telah mempunyai tempat pemakaman sendiri, yaitu tempat pemakaman keluarga raja Mataram di Pajimatan Imogiri. Adapun penjelasan bagian tambahan masjid, yaitu:
A.Serambi
Bagian serambi adalah bagian yang terletak di antara bagian luar dan bagian dalam masjid, yang setengah meter lebih rendah dari ruang utama. Di serambi ini diletakkan beduk yang masih asli termasuk tempat untuk menggantungkannya. Adapun pembagian serambi terdiri dari tiga bagian, yaitu serambi bagian utara dan selatan, serambi bagian timur serta pawestren. Di sekeliling serambi terdapat selasar yang letaknya lebih rendah dari lantai serambi. Selasar tersebut dibatasi dengan pagar kayu yang berukuran setengah meter. Sedangkan batas bagian serambi dengan bagian dalam, dapat
(51)
dilihat dengan adanya pintu masuk dengan melalui beberapa anak tangga. Tiap bagian serambi mempunyai bagunan atapnya sendiri. Kedua bagian tersebut semuanya tertutup bangunan yang beratap limasan, kecuali bangunan serambi di bagian timur, beratap limasan lawakan. Penjelasan untuk kedua bagian serambi yaitu:
1. Serambi Bagian Timur
Serambi bagian timur terdiri dari dua tingkatan, dengan perbedaan ukuran dan ketinggian di setiap tingkatan. Penjelasan ukuran lebih detail pada bagian ini dapat dilihat di bab ini pada poin B. Serambi bagian timur terhubung melalui jembatan penyeberangan utama dengan bagian halaman. Sedangkan di bagian utara dan selatan, terhubung melalui jembatan penyeberangan dengan bagian halaman.
2. Serambi Bagian Utara dan Selatan
Serambi bagian utara dan selatan, hanya terdiri dari satu tingkat saja. Bagian serambi utara dan selatan yang terhubung dengan serambi bagian timur, tingkatan lantai yang pertama, sebab lantainya sejajar. Untuk mencapai tingkatan yang kedua dari serambi bagian timur, harus melalui beberapa anak tangga lagi, karena terdapat perbedaan tinggi lantai.
Bagian serambi utara dan selatan, dapat langsung berhubungan dengan bagian dalam masjid, karena tidak dibatasi oleh pintu. Sedangkan untuk mencapai bagian dalam masjid tersebut, jamaah harus menaiki beberapa anak tangga. Untuk mencapai serambi utara dan selatan dari bagian halaman, dapat dicapai melalui jalan lewat kolam atau jalan lewat jembatan penyeberangan.
(52)
3. Pawestren
Bagian pawestren terletak agak di sebelah kanan di dalam masjid. Bagian ini dibatasi oleh sebuah sekat dari dinding dan teralis kayu. Pawestren
dikhususkan untuk kaum wanita. Untuk masuk ke bagian ini dari luar, dapat dicapai melalui serambi bagian utara. Sedangkan untuk mencapai bagian ini dari dalam masjid, terdapat sebuah jalan tanpa pintu.
B.Kolam
Kolam air yang dibangun di Masjid Pathok Negoro Plosokuning dibuat mengitari bagian utara, timur dan selatan masjid. Pada bagian ini, ada tiga buah ruangan jalan untuk menyeberang tanpa harus melalui kolam air, yang terletak di bagian timur, utara dan selatan. Batas-batas bagian kolam air dengan bagian halaman dan bagian serambi, dibatasi oleh pagar yang mengelilingi kolam. Air yang terdapat dikolam dahulu berasal dari Sungai Gajahwong, yang berada dekat dengan masjid, namun seiring perubahan zaman dan berkembangnya pemukiman warga sekitar masjid, aliran sungai Gajahwong sudah tidak bisa lagi mengisi kolam yang ada di Masjid Pathok Negoro Plosokuning, dan sebagai gantinya air yang mengisi kolam berasal dari tempat wudhu dan air hujan disaat musim hujan datang.
C.Jembatan Penyeberangan
Pada bagian utara dan selatan Masjid Pathoknegoro Plosokuning, dibangun ruangan jalan (jembatan penyeberangan) khusus bagi pejabat tingkat bawah, seperti lurah, wedana (camat), carik (juru tulis) dan penghulu
(53)
masjid selain Masjid Agung Kraton yang ingin masuk ke dalam masjid. Pada bagian timur, terdapat juga sebuah jembatan penyeberangan, yang khusus diperuntukkan untuk pejabat tinggi Kraton Yogyakarta seperti bupati, patih, sultan beserta keluarganya maupun utusan khususnya.83
D.Halaman
Halaman masjid hanya berupa tempat lapang yang agak luas, yang mengelilingi bagian utama masjid. Bagian halaman lebih menjorok ke bagian timur, sedangkan ke bagian barat (halaman di bagian utara dan selatan dari bagian utama masjid), sisa halamannya tidak begitu luas. Pada bagian luar lingkungan masjid terdapat rumah induk untuk pengasuh masjid, yang dibangun sekitar awal dekade 1900-an.84 Pada bagian halaman terdapat empat buah pohon sawo, dua buah pohon sawo yang sudah tua dan dua buah lagi masih kecil. Pemisah antara bagian halaman masjid dengan lingkungan di luar masjid, dibatasi oleh dinding pagar dan pintu masuk berupa gapura
paduraksa, dengan pagar besi yang diapit oleh dua pintu kecil di sebelah kanan dan kiri pintu. Gapura tersebut mengikuti keadaan, seperti di Masjid Agung Kotagede dan Masjid Agung Kraton Yogyakarta.85
Batas antara makam dan halaman diberikan pembatas berupa dinding pagar dan pintu masuk dengan pintu besi. Dinding pembatas antara makam dan halaman adalah bangunan baru, begitupun gapura pintu masuk ke areal makam.
83 Hasil wawancara dengan bapak R Muh. Baghowi, pada tanggal 6 Juni 2015. 84 Setelah gempa besar terjadi di tahun 1867 di Yogyakarta, memporakporandakan
sebagian besar bangunan, termasuk Masjid, maka seluruh bangunan mendapatkan renovasi. Sayangnya tidak ada catatan, bagian konstruksi mana saja yang mendapatkan renovasi.
(54)
E. Makam
Bagian makam di lingkungan Masjid Pathok Negoro Plosokuning, terdapat di bagian barat masjid. Pada bagian dalam makam terdapat tiga buah bangunan, dua buah bangunan pertama merupakan bangunan lama, sedangkan satu buah bangunan lainnya merupakan bangunan baru. Bagian makam dibatasi oleh dinding yang dibangun keliling setinggi 2 meter, sedangkan pembatas makam dengan halaman, telah dijelaskan dalam poin sebelumnya. Makam hanya bisa dimasuki dari halaman masjid, karena halaman masjid adalah satu-satunya akses masuk ke areal makam. Akses ke bagian makam juga dibatasi, dengan izin yang diberikan secara khusus dari pengurus masjid. Pada acara hari besar tertentu, ziarah ke areal makam
dipenuhi oleh para jama’ah, tanpa atau dengan izin pengurus masjid.86
Pada areal makam terdapat kurang lebih 60 makam, yang merupakan keluarga besar dari pengasuh masjid, yang tertua tercatat adalah makam Kyai Mursodo. Kyai Mursodo adalah generasi pertama pengasuh Masjid Pathok Negoro Plosokuning.87 Makamnya dinaungi bangunan beratap genteng dan
berdinding tembok. Walau komplek makam dan masjid terpisah oleh tembok , namun secara keseluruhan baik komplek makam dan masjid terletak dalam satu kesatuan ruang. Komplek makam maupun masjid merupakan tanah milik kraton.
B. Komposisi Struktur Masjid
Komposisi struktur masjid adalah penjelasan tentang bahan-bahan utama (dasar), yang digunakan dalam konstruksi masjid. Adapun
86 Hasil pengamatan langsung dan wawancara dengan bapak Kamaludin, pada
tanggal 7 Juni 2015.
(1)
Makam Mbah Mustofa
Gerbang Makam Mbah Mustofa
(2)
Menara Masjid
Gerbang Selatan Masjid
(3)
Piagam Penghargaan
( Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia )
Piagam Penghargaan
(4)
Piagam Penghargaan
( Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata RI )
(5)
Atap Masjid Tampak Dari Dalam
Taman Kanak-Kanak Sulthoni
(6)