kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkindiadakan tuntutan pidana.
b. Jika dia adalah suami istri yang terpisah meja makan dan ranjang
atau terpisah harta kekayaan , atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang
derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
c. Jika menurut lembaga matriarkal, kekuasaan bapak dilakukan oleh
orang lain daripada bapak kandung sendiri, maka ketentuan ayat diatas berlaku juga bagi orang itu.
C. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP
1. Pengertian Pembuktian
Masalah pembuktian ini adalah merupakan yang pelik ingewikkeld dan
justru masalah pembuktian menempati titik sentral dalam hukum acara pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan
kebenaran materil, dan bukanlah untuk mencari kesalahan seseorang
39
39
Ansori Sabuan, Syarifuddin, Ruben Achmad , Hukum Acara Pidana, Penerbit Angkasa,
Bandung, 1990, hal.185.
. Van Bemmelen mengatakan bahwa maksud dari pembuktian
bewijzen adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
“Maka pembuktian adalah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim :
a. Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh
pernah terjadi; b.
Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi. Darisitu pembuktian terdiri dari :
1. Menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh pancaindera;
2. Memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima
tersebut; 3.
Menggunakan pikiran logis. Dengan demikian pengertian membuktikan sesuatu berarti menunjukkan hal-
hal yang ditangkap oleh pancaindera mengutamakan hal-hal tersebut, dan berpikir secara logika.
Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutuskan perkara. Dalam hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian konkret, bukan
sesuatu yang abstrak. Dengan adanya pembuktian itu maka hakim, meskipun tidak melihat dengan mata kepala sendiri kejadian sesungguhnya, dapat
menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut
40
40
Ibid, hal.186.
.
Universitas Sumatera Utara
2. Sumber-Sumber Hukum Pembuktian
Sumber-sumber hukum pembuktian adalah: a.
Undang-undang; b.
Doktrin atau ajaran; c.
Yurisprudensi. Karena hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana,
maka sumber hukum yang utama adalah Undang-undang No. 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 No. 76 dan Penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.
Apabila di dalam praktik menemui kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka dipergunakan atau
yurisprudensi
41
3. Sistem atau Teori Pembukt ian
.
a. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undan Secara
Positif Positive Wettelijk Bewijstheorie.
Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada , dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan
melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif,
karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut
41
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, CV.Mandar
Maju, Bandung, 2003, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal
formele bewijstheorie. Menurut D.Simons, sistem atau teori pmbuktian berdasar undang-
undang secara positif positief wettelijk ini berusaha untuk menyingkirkan
semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada
waktu berlakunya asas inkisitor inquisitoir dalam acara pidana
42
b. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu.
.
Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut
keyakinan hakim melulu. Teori ini disebut juga conviction time.
Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak
menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimana juga keyakinan hakim
sendiri
43
Bertolak pangkal pada pemikiran itulah , maka teori berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati
nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa
didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini dimuat oleh peradilan juri di Perancis.
.
42
Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua Cetakan Keempat, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hal.251.
43
Ibid, hal. 252.
Universitas Sumatera Utara
c. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas
Alasan Yang Logis Laconviction Raisonnee
Sebagai jalan tengah , muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu
la conviction raisonnee. Menurut teori ini , hakim dapat memutuskan
seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan
coclusive yang berlandaskan kepada peraturan-peratauran pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.
Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya
vrije bewijstheorie
44
44
Ibid, hal. 253.
. Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar
keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang
logis conviction raisonnee yang kedua adalah teori pembuktian berdasar
undang-undang secara negatif negatief wettelijk bewijstheorie.
Persamaannya adalah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim
bahwa ia bersalah.
Universitas Sumatera Utara
d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif
Negatif Wettelijk
HIR maupun KUHAP, begitu pula Ned, Sv. yang lama dan yang baru, semuanya menganut sistem atau teoti pembuktian berdasarkan undang-
undang negatif negatief wettelijk. Hal tersebut dapat disebut dapat
disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 249 HIR. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang , kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus diundangkan kepada undang-undang KUHAP, yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam
Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut
45
45
Ibid, hal.254.
. Hal tersebut dapat dikatakan sama saja dengan ketentuan yang tersebut
pada Pasal 294 ayat 1 HIR yang berbunyi sebagai berikut: “Tidak seorangpun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim
mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang
didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.” Sebenarnya sebelum diberlakukan KUHAP , ketentuan yang sama
telah ditetapkan dalam Undang-undang tentang Kekusaan Kehakiman UUKK Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
“Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat
keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.
Kelemahan rumus undang-undang ini ialah disebut alat pembuktian
bukan alat-alat pembuktian, atau seperti dalam Pasal 183 KUHAP disebut
dua alat bukti. Dalam sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang
secara negatif negatief wettelijke bewijsteorie ini, pemidanaan
didasarkan pada pembuktian berganda dubbel en grondslag, kata
D.Simons, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dasar keyakinan itu bersumberkan pada peraturan undang-
undang
46
4. Alat-Alat Pembuktian
.
Adapun alat-alat bukti yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 KUHAP ialah :
a. Keterangan Saksi
Dicantumkan dalam Pasal 1 Butir 27, yang menyatakan: ”Keterangan saksi ialah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana, yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan
menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu”.
46
Ibid, hal.256.
Universitas Sumatera Utara
Keterangan saksi ini harus memenuhi 2 syarat, yaitu : 1.
Syarat formil, dan 2.
Syarat materiil Keterangan seorang saksi dianggap sah, jika diberikan di bawah
sumpah Pasal 160 Ayat 3. Mengenai seorang saksi yang tidak mau di sumpah tidak dapat dijadikan alat bukti melainkan dipergunakan
sebagai tambahan alat bukti yang sah Pasal 185 Ayat 7 KUHAP
47
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
. Menurut Pasal 185 Ayat 6 KUHAP, dalam menilai kebenaran
keterangan seorang saksi , hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan :
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang
lain; c.
Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
b. Keterangan Ahli
Yang disebut ahli menurut Pasal 120 KUHAP , adalah ahli atau ahli yang mmpunyai keahlian khusus. Berdasarkan 132 KUHAP ,
adalah ahli yang mempunyai keahlian tentang surat dan tulisan palsu;
47
Ansori Sabuan, Op.cit., hal. 192.
Universitas Sumatera Utara
Dari ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut di atas tidak disebutkan secara jelas syarat-syarat tentang seorang ahli, kecuali
untuk dokter ahli kehakiman atau dokter. Sehingga dibuka kemungkinan seorang ahli dari kalangan tidak terdidik secara formal.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan Pasal 1 butir 28 KUHAP .
Apabila diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam sutu bentuk laporan, dn dibuat
dengan mengingat sumpah sewaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan penjelasan Pasal 186 KUHAP, maka keterangan ahli
tersebut sebagai alat bukti surat
48
48
Hari Sasangka, Op.Cit., hal 54.
. Sebelum memberi keterangan, ahli wajib mengucapkan sumpah
atau janji menurut cara agama yang dianutnya Pasal 179 Ayat 2 KUHAP. Dengan demikian selaku ahli, maka ia mempunyai
kewajiban : datang di persidangan, mengucapkan sumpah, dan memberikan keterangan menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.
Universitas Sumatera Utara
c. Surat
Aspek fundamental “surat” sebagai alat bukti diatur pada Pasal 184 ayat 1 huruf c KUHAP. Kemudian secara substansial tentang bukti
“surat” ini ditentukan oleh pasal 187 KUHAP yang selanjutnya berbunyi sebagai berikut
49
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang semua keterangan tentang kejadian atau keadaan yang di
dengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
:
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang di peruntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pejabat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
49
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana. Normatif, Teroritis, Praktik Dan Permasalahannya,
PT. Alumni. Bandung. 2007. hal. 186.
Universitas Sumatera Utara
d. Petunjuk
Menurut Pasal 188 petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuainnya, baik antara yang satu dengan
yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya
50
1. Keterangan saksi
. Petunjuk bukanlah merupakan alat pembuktian yang langsung
tetapi pada dasarnya adalah hal-hal yang disimpulkan dari alat-alat pembuktian yang lain, yang menurut Pasal 188 Ayat 2 KUHAP
hanya dapat diperoleh dari :
2. Surat
3. Keterangan terdakwa
Selanjutnya dalam Ayat 3 dari pasal yang sama menekankan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana.
e. Keterangan Terdakwa
Lain halnya dengan hukum acara pidana yang lama HIR yang mengenal pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang sah , maka
dakam KUHAP dipakai istilah keterngan terdakwa.
50
Andi Hamzah, Op.Cit., hal. 277.
Universitas Sumatera Utara
Pengakuan terdakwa Bekentenis ialah pernyataan terdakwa
bahwa ia melakukan tindak pidana dan menyatakan bahwa dialah yang bersalah; sedangkan keterangan terdakwa
erkentenis tidak usah merupakan pengakuan bersalah, pemungkiranpun dapat dijadikan
bukti, sehingga pengertiannya lebih luas daripada pengakuan terdakwa. Pasal 189 menyebutkan “Keterangan terdakwa adalah apa yang
dinyatakan terdakwa di sidang tentang tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahuinya sendiri atau dialaminya sendiri.
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus dinilai dengan alat buki yang lain
51
51
Hari Sasangka, Op.Cit., hal. 196.
. Dalam pemeriksaan di sidang kemungkinan terdakwa tidak mau
menjawab diam atau menolak memberikan jawaban. Hal yang demikian tidak boleh diterima sebagi bukti bahwa ia mengakui
kesalahannya. Dalam hubungannya dengan ini, Pasal 175 KUHAP menyatakan bahwa : “ jika terdakwa tidak mau menjawab atau
menolak untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan”
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang