4. Jaras Asenden
Serat saraf C dan A- δ aferen yang menyalurkan impuls nyeri masuk ke
medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat memisah sewaktu masuk ke korda dan kemudian kembali menyatu di kornu dorsalis posterior medula spinalis yang
menerima, menyalurkan, dan memproses impuls sensorik. Dari kornu dorsalis, impuls nyeri dikirim ke neuron-neuron yang
menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di komisura anterior dan kemudian menyatu di traktus spinotalamikus anterolateralis, yang naik ke
talamus dan struktur otak lainnya. Dua tipe nyeri yang disalurkan oleh nosiseptor, sehingga juga terdapat dua jalur spinotalamikus sejajar yang menyalurkan impuls-
impuls ini
ke otak,
yaitu traktus
neospinotalamikus dan
traktus paleospinotalamikus.
Traktus spinotalamikus merupakan suatu sistem langsung yang membawa informasi diskriminatif sensorik mengenai nyeri cepat atau akut dari nosiseptor A-
δ ke daerah talamus. Sistem ini terutama berakhir secara teratur di dalam nukleus posterolateral ventralis hipotalamus. Sebuah neuron di talamus kemudian
memproyeksikan akson-aksonnya melalui bagian posterior kapsula interna untuk membawa impuls nyeri ke korteks somatosensorik primer girus pascasentralis.
Traktur paleospinotalamikus menyalurkan impuls dari nosiseptor tipe C lambat-kronik, yang adalah suatu jalur multisinaps difus yang membawa impuls
ke formatio retikularis batang otak sebelum berakhir di nukleus parafasikularis dan nukleus intralaminar lain di talamus, hipotalamus, nukleus sistem limbik, dan
korteks otak depan.
Karena impuls yang disalurkan lebih lambat, maka nyeri yang ditimbulkannya berkaitan dengan rasa panas, pegal, dan sensasi yang
lokalisasinya samar. Sistem ini mempengaruhi ekspresi nyeri dalam hal toleransi, perilaku dan respons autonom simpatis. Kedua traktus ini tidak menyalurkan
impuls nyeri secara ekslusif.
5. Jalur Desenden
Daerah-daerah tertentu di otak itu sendiri mengendalikan dan mempengaruhi persepsi nyeri: hipotalamus dan struktur limbik berfungsi sebagai
pusat emosional persepsi nyeri, dan korteks frontalis menghasilkan interpretasi dan respons rasional terhadap nyeri. Jalur-jalur desenden serat eferen yang
berjalan dari korteks serebrum ke medula spinalis dapat menghambat atau memodifikasi rangsangan nyeri yang datang melalui suatu mekanisme umpan
balik yang melibatkan substansia gelatinosa dan lapisan lain kornu dorsalis. Zat-zat kimia, yang disebut neuroregulator neurotransmiter, juga
mungkin mempengaruhi masukan sensorik ke medula spinalis. Zat P, suatu neuropeptida, adalah neurotransmiter spesifik nyeri yang terdapat di antara kornu
dorsalis medula spinalis. Neurotransmiter SSP lain yang terlibat dalam transmisi nyeri adalah asetilkolin, norepinefrin, epinefrin, dopamin dan serotonin. Serotonin
5-HT dan norepinefrin diketahui terlibat dalam inhibisi terhadap sinyal nyeri yang datang.
Sinyal yang menghambat nyeri antinoseptif berasal dari korteks atau batang otak di daerah-daerah tempat norepinefrin dan serotonin merupakan
transmiter yang utama. Sinyal-sinyal ini diperkirakan bekerja dengan salah satu dari dua cara berikut: neuron-neuron yang membawanya dapat bersinaps pada
neuron yang melepaskan neuron antinoseptif asam -aminobutirat GABA, serotonin, atau asetilkolin; sinyal-sinyal desensens mungkin menghambat nyeri
dengan bekerja pada kornu dorsalis untuk menghambat pelepasan neurotrasmiter pronosiseptif dari neuron sensorik yang datang aferen.
Selain jalur-jalur modifikasi nyeri desendens serotonin dan norepinefin, juga terdapat peptida-peptida opioin endogen di semua bagian yang diperkirakan
terlibat dalam modulasi nyeri. Juga terdapat hubungan antara neuron serotonin dengan sel-sel yang mengandung opioid di substansia gelatinosa. Peptida-peptida
opioid, yang dikenal sebagai neuromodulator, adalah senyawa alami yang memiliki kualitas mirip morfin.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri
1. Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri
Cara seseorang berespons terhadap nyeri adalah akibat dari banyaknya kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa individu, nyeri dapat
saja menetap dan tidak terselesaikan, misalnya pasien dengan nyeri kronis. Individu yang mengalami nyeri selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun dapat menjadi murah marah, menarik diri dan depresi.
2. Ansietas
Ansietas yang relevan dan berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi terhadap nyeri. Sebaliknya, ansietas yang tidak berhubungan dengan
nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri.
Penggunaan rutin medikasi antiansietas untuk mengatasi ansietas pada seseorang dengan nyeri dapat membuat individu tersebut tidak melaporkan nyeri
karena sedasi yang berlebihan dapat merusak kemampuan pasien untuk melakukan napas dalam, turun dari tempat tidur, dan kerjasama dengan rencana
pemulihan. Sehingga, cara yang lebih efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan pada nyeri ketimbang ansietas.
3. Budaya
Budaya dan etnik mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri, namun tidak mempengaruhi persepsi nyeri Zatzick
Dimsdale, 1990 dalam Smeltzer Bare, 2001. Sejak dini pada masa kanak-kanak individu belajar dari sekitar mereka
respons nyeri yang bagaimana yang dapat diterima atau tidak diterima. Keyakinan ini beragam dari satu budaya dengan budaya lainnya, akibatnya orang dari budaya
yang berbeda yang mengalami nyeri dengan intensitas yang sama dapat tidak melaporkannya atau berespons terhadap nyeri tersebut dengan cara yang sama.
Harapan budaya tentang nyeri yang individu pelajari sepanjang hidupnya jarang dipengaruhi oleh pemajanan terhadap dengan nilai-nilai yang berlawanan
dengan budaya lainnya. Akibatnya, individu yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima.
4. Usia
Cara lansia berespons terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara berespons orang yang berusia lebih muda. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang
sebagai akibat perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakit. Lansia cenderung untuk mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat
dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan. Lansia mengatasi nyeri sesuai dengan gaya hidup, kepribadian dan
latar belakang budaya mereka. Namun demikian, penilaian tentang nyeri dan keadekuatan pengobatan harus didasarkan pada laporan nyeri pasien dan pereda
ketimbang didasarkan pada faktor usia.
5. Efek Plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespons terhadap pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut akan
memberikan hasil bukan karena tindakan atau pengobatan tersebut benar-benar bekerja. Efek plasebo timbul dari produksi alamiah endorfin dalam sistem kontrol
desenden. Efek ini merupakan respons fisiologis sejati yang dapat diputar balik oleh nasoklon, suatu antagonis narkotik.