Menurut UNESCO 1978 yang diacu dalam Suhendang 1985 bahwa kecenderungan penurunan kerapatan pohon pada kelas diameter yang lebih tinggi
seperti ini ternyata tidak sama untuk semua jenis, tergantung sifat toleransinya terhadap naungan. Dijelaskan pula bahwa untuk jenis pohon yang tidak tahan
terhadap naungan intoleran, maka kerapatan pohonnya tidak akan secara drastis berkurang dengan bertambah tingginya kelas diameter, bahkan bisa terjadi
kerapatan pohonnya akan rendah pada kelas diameter yang rendah, kemudian naik sampai pada kelas diameter tertentu tetapi selanjutnya turun kembali pada kelas
diameter yang lebih besar. Untuk jenis pohon yang tahan terhadap naungan toleran, kerapatan pohon akan menurun secara drastis dengan bertambah
tingginya kelas diameter. Gambar 15 menjelaskan bahwa rata-rata kerapatan pohon terbesar untuk
kelompok jenis torem berada pada selang kelas diameter 40-50 cm yaitu 2,3 pohonha atau sekitar 0,23 dan terkecil berada pada kelas diameter
30-40 cm, 110-120 cm dan 160-170 cm yaitu masing-masing 0,3 pohonha atau sekitar 0,03. Untuk kelompok jenis non torem, rata-rata kerapatan pohon
terbesar berada pada kelas diameter 10-20 cm yaitu 91 pohonha atau sekitar 0,48 dan terkecil berada pada kelas diameter 90-100 cm dan 170-180 cm yaitu
masing-masing 0,33 pohonha atau sekitar 0,002 Gambar 16.
5.3 Penerapan Struktur Tegakan dalam Menduga Dimensi Tegakan Hutan
Penerapan struktur tegakan dilakukan berdasarkan model sebaran terpilih untuk menduga dimensi tegakan hutan yaitu kerapatan pohon, luas bidang dasar
tegakan dan volume tegakan. Model sebaran yang digunakan merupakan model sebaran terbaik dari petak contoh gabungan yaitu famili sebaran lognormal untuk
kelompok jenis pohon torem.
5.3.1 Kerapatan Pohon Tegakan
Hasil perhitungan kerapatan pohon untuk kelompok jenis torem pada setiap kelas diameter yang dihitung dengan menggunakan struktur tegakan dan rata
hitung disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6 Kerapatan pohon jenis torem dihitung dengan menggunakan struktur tegakan dan dengan rata-rata hitung
Kelas Diameter cm Kerapatan Pohon NHa
Beda St
Rh 10 – 20
1,10 1,33
17,29 20 – 30
1,78 1,67
6,59 30 – 40
1,74 0,33
427,27 40 – 50
1,42 2,33
39,06 50 – 60
1,08 1,33
18,80 60 – 70
0,80 1,33
39,85 70 – 80
0,59 1,33
55,64 80 – 90
0,43 0,00
- 90 – 100
0,31 0,00
- 100 – 110
0,23 0,00
- 110 – 120
0,17 0,33
48,48 120 – 130
0,17 0,00
- 130 – 140
0,13 0,00
- 140 – 150
0,10 0,00
- 150 – 160
0,07 0,00
- 160 – 170
0,06 0,33
81,82 170 – 180
0,04 0,00
- Total
10,22 10,33
-1,06
Sumber : Data Primer Diolah dengan MS. Excel 2007
Keterangan : St = struktur tegakan, Rh = rata-rata hitung, B = perbedaan antara struktur tegakan dan rata-rata hitung.
Tabel 6 menjelaskan bahwa untuk kerapatan pohon jenis torem cara rata-rata hitung memiliki total kerapatan pohon lebih besar yakni 10,33 pohonha
dibandingkan dengan cara struktur tegakan yakni 10,22 pohonha dengan perbedaan sebesar -1,06. Perbedaan cukup besar terlihat pada selang kelas
30 – 40 cm yaitu 427,27 dengan kerapatan pohon 1,74 pohonha apabila menggunakan cara struktur tegakan dan 0,33 pohonha dengan menggunakan cara
rata-rata hitung. Perbedaan terkecil terlihat pada selang kelas diameter 20-30 cm yaitu 6,59 dengan kerapatan pohon 1,78 pohonha untuk cara struktur tegakan
dan 1,67 pohonha untuk cara rata-rata hitung. Untuk mengetahui apakah penentuan kerapatan pohon jenis pohon torem
berdasarkan kedua cara ini sama atau tidak, maka dilakukan uji kesesuaian model dengan menggunakan uji khi-kuadrat
χ
2
. Dari data dalam Tabel 3 diperoleh nilai
χ
2 hit
= 7,32 χ
2 0,05;16
= 26,30, sehingga berdasarkan kriteria pengujian seperti yang telah dikemukakan pada bab metodologi menunjukkan bahwa tidak
terdapat cukup bukti untuk mengatakan cara struktur tegakan dan rata-rata hitung berbeda pada taraf nyata 5. Hal ini mengindikasikan bahwa model sebaran
lognormal cukup sesuai digunakan untuk menduga kerapatan pohon jenis torem di lokasi penelitian.
5.3.2 Luas Bidang Dasar Tegakan