Struktur Tegakan Dan Sebaran Spasial Jenis Pohon Torem (Manilkara Kanosiensis H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) Di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat

(1)

STRUKTUR TEGAKAN DAN SEBARAN SPASIAL

JENIS POHON TOREM (

Manilkara kanosiensis

H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) DI PULAU YAMDENA

KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT

ARYANTO BOREEL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Struktur Tegakan dan Sebaran Spasial Jenis Pohon Torem (Manilkara kanosiensis, H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2009

Aryanto Boreel


(3)

ABSTRACT

ARYANTO BOREEL. Stand Structure and Spatial Distribution of Torem (Manilkara kanosiensis, H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) Tree Species in Yamdena Island, Regency of Maluku Tenggara Barat. Under direction of ENDANG SUHENDANG and ISTOMO

Quantitative information concerning stand growth for preparing management plan can be obtained from stand structure or the spatial distribution. The objectives of this research were obtaining model of stand structure and spatial distribution pattern of torem (M. kanosiensis) tree species in Yamdena island, regency of Maluku Tenggara Barat. Distribution model for estimating stand structure of species group of torem and non torem, consisted of negative exponential, gamma, lognormal and weibull distribution. These four models of distribution were analyzed, besides using maximum likelihood function, also by observing the acceptance tendency of distribution family by other experimental units for obtaining the best distribution model. On the other hand, spatial distribution pattern of torem tree species was analyzed by using Morisita index (IG). Research results showed that family of lognormal distribution constituted the

best distribution family for obtaining stand structure model of torem species group in sample plot A and B, whereas sample plot C was accepted by family of weibull distribution. For group of non torem species, family of lognormal distribution was accepted consistently without exception in all sample plots. Test of model validity explained that family of lognormal distribution was accepted consistently more than 60 % for torem species and 100 % for non torem species. It was found that spatial distribution pattern of torem tree species was random (IG= 0 ) and was

due to the homogeneous environment and non selective behavior of the individuals.

Keywords : stand structure, spatial distribution, maximum likelihood function, Morisita index


(4)

RINGKASAN

ARYANTO BOREEL. Struktur Tegakan dan Sebaran Spasial Jenis Pohon Torem (Manilkara kanosiensis, H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Dibimbing oleh ENDANG SUHENDANG dan ISTOMO.

Informasi kuantitatif mengenai pertumbuhan tegakan dalam rangka penyusunan rencana pengelolaan hutan dapat diketahui dari struktur tegakan dan sebaran spasialnya. Data mengenai kondisi tegakan baik struktur maupun sebarannya sangat diperlukan dalam pendugaan dimensi tegakan, sehingga model struktur tegakan lebih menekankan pada keterandalan dan keakuratan. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan jenis pohon torem (M. kanosiensis) maka data dan informasi mengenai komposisi dan struktur tegakannya mutlak diperlukan. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model struktur tegakan dan pola sebaran spasial jenis torem (M. kanosiensis) di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Data mengenai model struktur tegakan dan sebaran spasial diperoleh dari hasil pengukuran diameter dan kerapatan pohon dengan diameter • FP Pengukuran dilakukan pada ketiga petak contoh yang ditentukan secara purposive sampling dengan mempertimbangkan tingkat kerapatan vegetasi dan adanya ketersebaran jenis torem yaitu (1) areal dengan tingkat kerapatan vegetasi tinggi, (2) areal dengan tingkat kerapatan vegetasi rendah dan (3) areal dengan tingkat kerapatan vegetasi rendah.

Model sebaran untuk menduga struktur tegakan kelompok jenis torem dan non torem terdiri atas sebaran eksponensial negatif, gamma, lognormal dan weibull. Keempat model sebaran ini dianalisis selain menggunakan cara fungsi kemungkinan maksimum juga dilihat kecenderungan penerimaan famili sebaran oleh satuan percobaan lain untuk mendapatkan model sebaran terbaik. Sedangkan pola sebaran spasial jenis pohon torem dianalisis dengan menggunakan indeks Morisita (IG).

Hasil analisis vegetasi pada berbagai tingkat kerapatan vegetasi menunjukkan komposisi jenis dan struktur tegakan yang berbeda-beda. Jumlah jenis mulai dari yang terendah sampai tertinggi adalah 22 sampai 25 jenis dengan kerapatan pohon 112 pohon/ha sampai 307 pohon/ha. Apabila dilihat dari besarnya indeks nilai penting (INP), maka pada areal dengan kerapatan vegetasi tinggi di dominasi oleh jenis Canarium vulgare(37,31%), areal dengan kerapatan vegetasi sedang di dominasi oleh jenis D. lolin (81,32%) dan areal dengan kerapatan vegetasi rendah di dominasi oleh jenis M. kanosiensis (58,56%). pada berbagai tingkat kerapatan vegetasi sebaran jumlah pohon untuk kelompok jenis torem bervariasi menurut kelas diameter. Total jumlah pohon per hektar mulai dari yang terendah sampai tertinggi adalah 7 pohon/ha sampai 13 pohon/ha. Selanjutnya untuk kelompok jenis non torem secara keseluruhan jumlah pohon terbesar berada pada kelas diameter yang kecil dan menurun pada kelas diameter besar. Total jumlah pohon per hektar mulai dari yang terendah sampai terttinggi adalah 99 pohon/ha sampai 296 pohon/ha. Adanya variasi jenis dan struktur dalam suatu komunitas dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuhnya, yaitu semua


(5)

keadaan yang secara efektif berpengaruh terhadap pertumbuhan masyarakat tumbuhan dalam suatu komunitas.

Hasil penentuan fungsi sebaran terpilih berdasarkan nilai fungsi kemungkinan maksimum didapatkan bahwa untuk kelompok jenis torem pada

areal dengan kerapatan vegetasi tinggi diterima oleh famili sebaran gamma (L = 10-54,878

), areal dengan kerapatan vegetasi sedang diterima oleh famili sebaran lognormal (L = 10-31,716) dan untuk areal dengan kerapatan vegetasi rendah diterima oleh famili sebaran weibull (L = 10-54,485

). Sedangkan untuk kelompok jenis non torem, diterima secara konsisten oleh famili sebaran lognormal tanpa pengecualian. Namun dengan melihat kecenderungan penerimaan famili sebaran oleh ketiga kondisi hutan tersebut, ternyata famili sebaran lognormal merupakan famili sebaran yang lebih sering dipilih dalam satuan percobaan. Dengan demikian famili sebaran lognormal merupakan famili sebaran terbaik untuk menerangkan model struktur tegakan jenis pohon torem pada areal dengan kerapatan vegetasi tinggi.

Dari hasil uji konsistensi penerimaan model diperoleh bahwa untuk kelompok jenis pohon torem diterima dengan famili sebaran lognormal sebesar 66,67%, dan famili sebaran weibull sebesar 33,33%. Sedangkan untuk kelompok jenis non torem diterima oleh famili sebaran lognormal tanpa pengecualian. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk kelompok jenis pohon torem famili sebaran lognormal konsisten di areal dengan kerapatan tinggi dan sedang, namun tidak konsisten di areal dengan kerapatan rendah. Sedangkan untuk kelompok jenis pohon non torem terlihat bahwa adanya konsistensi penerimaan famili sebaran lognormal di ketiga kondisi tersebut. Adanya penerimaan famil sebaran yang tidak konsisten ini diduga karena pada kenyataannya ketiga petak contoh dengan tingkat kerapatan vegetasi yang berbeda saling bebas satu sama lain, sedangkan pada penyusunan petak contoh gabungan dianggap sebagai satu kesatuan.

Berdasarkan uji khi-kuadrat (F2) diperoleh nilai F2hit d F2tab pada taraf nyata 5%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat cukup bukti untuk mengatakan kedua penentuan dimensi tegakan baik dengan menggunakan cara struktur tegakan dan rata-rata hitung yang biasa digunakan berbeda. ini mengindikasikan bahwa model sebaran lognormal cukup sesuai digunakan untuk menduga dimensi tegakan jenis pohon torem di lokasi penelitian.

Dari hasil perhitungan indeks Morisita (IG) dan standarisasi indeks Morisita

(IP) pada ketiga lokasi penelitian diperoleh pola penyebaran pohon torem adalah acak dengan besarnya nilai standarisasi indeks Morisita lebih besar dari –0,5 dan kurang dari +0,5. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya pola acak dalam suatu organisme populasi diakibatkan karena kondisi lingkungan yang homogen dan atau pola tingkah laku yang tidak selektif.

Kata kunci : struktur tegakan, sebaran spasial, fungsi kemungkinan maksimum, indeks Morisita


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,

penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

STRUKTUR TEGAKAN DAN SEBARAN SPASIAL

JENIS POHON TOREM (

Manilkara kanosiensis

H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) DI PULAU YAMDENA

KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT

ARYANTO BOREEL

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

Judul Tesis : Struktur Tegakan dan Sebaran Spasial Jenis Pohon Torem (Manilkara kanosiensis, H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat

Nama : Aryanto Boreel

NRP : E151070041

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, M.S. Ketua

Dr. Ir. Istomo, M.S. Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2009 ini ialah struktur tegakan dan sebaran spasial, dengan judul Struktur Tegakan dan Sebaran Spasial Jenis Pohon Torem (Manilkara kanosiensis, H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, M.S. dan Bapak Dr. Ir. Istomo, M.S. selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan kontribusi pikir sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Rektor Universitas Pattimura, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Kehutanan yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengikuti pendidikan pascasarjana (S2) pada mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI), Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM) dan Yayasan Tahija yang telah memberikan dana pendidikan dan penyelesaian studi.

Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada PEMDA MTB, Dinas Kehutanan dan Perkebunan MTB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian dan semua pihak yang membantu penulis selama penelitian. Disamping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada teman-temanku (frets, boy, beno dan pak wem) yang membantu penulis di lokasi penelitian. Teman-teman IPH 2007, kanaf, ibu Insun, Sofie serta keluarga besar PERMAMA yang memberikan dorongan dan doa kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua terkasih beserta adik dan keluarganya yang telah memberikan semangat, dorongan dan doa bagi penulis selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana (S2) di Institut Pertanian Bogor.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2009


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 31 Januari 1977 dari ayah Edy Boreel dan ibu Susana Boreel. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ambon dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Pattimura Ambon melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister Sains pada mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor diperoleh pada Tahun 2007 melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari DIKTI .

Penulis bekerja sebagai dosen tetap pada Program Studi Manajemen Hutan, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, sejak tahun 2005.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Tegakan dan Struktur Tegakan ... 6

2.1.1 Pengertian ... 6

2.1.2 Kerapatan ... 8

2.1.3 Diameter ... 9

2.1.4 Model dan Kegunaan Struktur Tegakan Hutan ... 10

2.1.4.1 Model Struktur Tegakan Hutan ... 10

2.1.4.2 Kegunaan Struktur Tegakan Hutan ... 12

2.2 Distribusi Spasial ... 13

2.2.1 Beberapa Pola Sebaran Spasial ... 16

2.2.1.1 Pola Sebaran Poisson ... 16

2.2.1.2 Pola Sebaran Binomial Negatif ... 16

2.2.1.3 Pola Sebaran Positif Binomial ... 16

2.2.1.4 Indeks Morisita ... 17

2.3 Keadaan Umum Torem (Manilkara kanosiensis) ... 18

2.3.1 Ciri Umum Torem ... 18

2.3.2 Penyebaran dan Tempat Tumbuh ... 18

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 20

3.1 Letak dan Luas ... 20

3.2 Topografi ... 20

3.3 Geologi dan Tanah ... 20

3.4 Iklim ... 20

3.5 Vegetasi ... 21

IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 22

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

4.2 Bahan dan Alat ... 22

4.3 Metode Penelitian ... 22

4.3.1 Teknik Pengambilan Data ... 22


(13)

xi

4.3.2.1 Model Struktur Tegakan ... 25

4.3.2.2 Pola Sebaran Spasial ... 31

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

5.1 Komposisi dan Struktur Hutan ... 33

5.1.1 Komposisi Vegetasi ... 33

5.1.2 Struktur Tegakan ... 35

5.2 Model Penduga Struktur Tegakan Berdasarkan Sebaran Diameter Pohon ... 38

5.3 Penerapan Struktur Tegakan dalam Menduga Dimensi Tegakan Hutan ... 47

5.3.1 Kerapatan Pohon Tegakan ... 47

5.3.2 Luas Bidang Dasar Tegakan ... 49

5.3.3 Volume Tegakan ... 50

5.4 Pola Sebaran Spasial ... 51

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 56

6.1 Simpulan ... 56

6.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Analisis vegetasi semua jenis pohon yang berdiameter •FP

pada berbagai tingkat kerapatan ... 33 2 Informasi fisik areal penelitian menurut tingkat kerapatan vegetasi ... 34 3 Sebaran jumlah pohon (N/ha) untuk kelompok jenis torem dan non

torem menurut kelas diameter pada berbagai tingkat kerapatan vegetasi ... 35 4 Nilai fungsi kemungkinan maksimum (L) dari tiap famili sebaran untuk

kelompok jenis pohon torem dan non torem (dinyatakan dalam : -Log L) .. 39 5 Nilai fungsi kemungkinan maksimum (L) dari tiap famili sebaran untuk

kelompok jenis pohon torem dan non torem pada petak contoh gabungan (dinyatakan dalam : - Log L) ... 44 6 Kerapatan pohon jenis torem dihitung dengan menggunakan struktur

tegakan dan dengan rata-rata hitung ... 48 7 Luas bidang dasar tegakan jenis pohon torem dihitung dengan memakai

struktur tegakan dan dengan rata-rata hitung ... 49 8 Volume tegakan jenis pohon torem dihitung dengan memakai struktur

tegakan dan dengan rata-rata hitung ... 50 9 Pola sebaran jenis pohon torem pada berbagai tingkat kerapatan


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Garis besar kerangka pemikiran penelitian ... 5

2 Perbedaan sebaran jumlah pohon dikaitkan dengan sifat toleransinya terhadap naungan. 1, 2, dan 3 jenis pohon intoleran sedangkan 4 dan 5 jenis pohon toleran ... 7

3 Tipe-tipe pola spasial ... 14

4 Tipe model SPA berdasarkan pemilihan unit sampling ... 15

5 Bagan pembuatan petak coba di lapangan ... 24

6 Bagan pembuatan petak contoh penelitian dan sub petak contoh berukuran 20 m x 20 m dalam petak contoh seluas 1 ha (100 m x 100 m) ... 24

7 Bentuk struktur tegakan kelompok jenis pohon torem (a) dan non torem (b) pada areal dengan kerapatan vegetasi tinggi ... 37

8 Bentuk struktur tegakan kelompok jenis pohon torem (a) dan non torem (b) pada areal dengan kerapatan vegetasi sedang ... 37

9 Bentuk struktur tegakan kelompok jenis pohon torem (a) dan non torem (b) pada areal dengan kerapatan vegetasi rendah ... 37

10 Bentuk fungsi kepekatan sebaran eksponensial, gamma, lognormal dan weibull untuk kelompok jenis pohon torem (a) dan non torem (b) di areal dengan kerapatan vegetasi tinggi ... 41

11 Bentuk fungsi kepekatan sebaran eksponensial, gamma, lognormal dan weibull untuk kelompok jenis pohon torem (a) dan non torem (b) di areal dengan kerapatan vegetasi sedang ... 42

12 Bentuk fungsi kepekatan sebaran eksponensial, gamma, lognormal dan weibull untuk kelompok jenis pohon torem (a) dan non torem (b) di areal dengan kerapatan vegetasi rendah ... 42

13 Perbandingan bentuk histogram kerapatan pohon kelompok jenis torem dengan famili sebaran terbaik lognormal di areal dengan kerapatan vegetasi tinggi ... 43

14 Perbandingan bentuk histogram kerapatan pohon kelompok jenis torem dengan famili sebaran terbaik weibull di areal dengan kerapatan vegetasi rendah ... 44

15 Sebaran diameter jenis pohon torem untuk petak contoh gabungan ... 46

16 Sebaran diameter jenis pohon non torem untuk petak contoh gabungan ... 46

17 Penyebaran pohon torem di komunitas hutan kerapatan tinggi di dalam petak contoh berukuran 100 m x 100 m ... 52


(16)

xiv 18 Penyebaran pohon torem di komunitas hutan kerapatan sedang di

dalam petak contoh berukuran 100 m x 100 m ... 52 17 Penyebaran pohon torem di komunitas hutan kerapatan rendah di


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Peta lokasi penelitian ... 61 2 Data jumlah jenis pada tiap petak ... 62 3 Daftar jumlah jenis di lokasi penelitian ... 63 4 Analisa vegetasi dan indeks nilai penting (INP) pada areal dengan

kerapatan vegetasi tinggi ... 64 5 Analisa vegetasi dan indeks nilai penting (INP) pada areal dengan

kerapatan vegetasi sedang ... 65 6 Analisa vegetasi dan indeks nilai penting (INP) pada areal dengan

Kerapatan vegetasi rendah ... 66 7 Jenis dan jumlah pohon menurut kelas diameter pada areal dengan

Kerapatan vegetasi tinggi ... 67 8 Jenis dan jumlah pohon menurut kelas diameter pada areal dengan

Kerapatan vegetasi sedang ... 68 9 Jenis dan jumlah pohon menurut kelas diameter pada areal dengan

Kerapatan vegetasi rendah ... 69 10 Nilai dugaan bagi penduga titik famili sebaran eksponensial negatif,

gamma, lognormal dan weibull untuk masing-masing petak contoh

di lokasi penelitian ... 70 11 Nilai peluang untuk sebaran eksponensial negatif, gamma, lognormal

dan weibull berdasarkan kelas diameter untuk jenis pohon torem

... 71 12 Nilai peluang untuk sebaran eksponensial negatif, gamma, lognormal

dan weibull berdasarkan kelas diameter untuk jenis pohon non torem

... 72 13 Model sebaran diameter untuk famili eksponensial negatif, gamma,

lognormal dan weibull pada petak contoh A, B, C dan Gabungan

untuk kelompok jenis pohon torem (a) dan non torem (b) ... 73 2

1

1 2

( ( ) ( ) ) x

x

P x d X d x

³

f x dx

2

1

1 2

( ( ) ( ) ) x

x


(18)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan yang didominasi oleh pepohonan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu sebagai akibat dari pertumbuhan dan kematian yang terjadi secara alami maupun karena aktivitas penebangan yang dilakukan oleh manusia. Keadaan hutan yang demikian baik individu pohon maupun tegakan harus diketahui secara simultan melalui pengukuran terhadap karakteristik individu pohon maupun tegakan dengan tujuan mendapatkan data dan informasi. Data dan informasi tersebut dapat digunakan untuk memprediksi pertumbuhan dan hasil suatu tegakan hutan yang selanjutnya dipakai dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan. Simon (2007) mengatakan bahwa tanpa informasi tentang pertumbuhan, suatu rencana pengelolaan hutan tidak lebih dari sekedar petunjuk untuk menghadapi pekerjaan-pekerjaan di lapangan, bukan merupakan suatu rencana yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan pengelolaan.

Informasi mengenai pertumbuhan tegakan dalam rangka penyusunan rencana pengelolaan dapat diketahui dari struktur tegakannya selama suatu periode waktu. Suhendang (1995) menjelaskan bahwa struktur tegakan merupakan salah satu alat untuk mencapai kelestarian hasil. Struktur tegakan, menurut Meyer

et al. (1952) yang diacu dalam Wahjono dan Imanuddin (2007) dapat dipakai sebagai petunjuk dalam penentuan dapat tidaknya suatu tegakan hutan diadakan pemanenan.

Data mengenai kondisi tegakan baik struktur maupun sebarannya sangat diperlukan dalam pendugaan dimensi tegakan dan dapat digunakan sebagai informasi untuk kegiatan pengelolaan. Oleh sebab itu model struktur tegakan lebih menekankan pada keterandalan dan keakuratan. Suhendang (1985) mengatakan bahwa pengetahuan akan bentuk sebaran tegakan sangat diperlukan diantaranya untuk menjamin tingkat keterandalan tertentu dalam keperluan pendugaan dimensi tegakan dan berguna dalam menyusun rencana pengelolaan hutan, disamping potensi jenis dan kualitasnya. Dijelaskan juga oleh Laar dan Akca (1997) bahwa informasi kuantitatif tentang tegakan berhubungan langsung dengan keputusan silvikultur dan manajemen. Hal ini didukung oleh Husch et al. (2003) yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang struktur tegakan sangat berguna


(19)

2

untuk memutuskan tindakan silvikultur dan untuk menduga hasil berbagai produk yang dihasilkan dari tegakan.

Menurut Suhendang (1985), pemakaian struktur tegakan dalam pendugaan dimensi tegakan, terutama sebaran kerapatan pohon pada setiap kelas diameter, luas bidang dasar tegakan dan volume tegakan akan dapat lebih menguntungkan dipandang dari segi waktu, biaya dan tenaga yang diperlukan serta tingkat kepraktisan pekerjaannya. Sedangkan pola sebaran berkaitan dengan rencana pengambilan keputusan mengenai metode yang digunakan untuk menduga kerapatan populasi serta cara menganalisisnya (Krebs 1989). Hal ini dijelaskan juga oleh Iwao (1970) yang diacu dalam Susanti (2000) bahwa pola sebaran spasial merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya sehingga deskripsi kuantitatif dari pola sebaran tidak hanya penting untuk mengetahui dinamika sebaran tapi juga untuk menentukan teknik sampling dalam survei populasi.

Torem (M. kanosiensis) termasuk dalam famili Sapotaceae dan merupakan salah satu genus Manilkara. Genus ini terdiri atas 65 jenis, dimana 30 jenis terdapat di Amerika, 20 jenis di Afrika dan 15 Jenis di Asia, Australia dan Pasifik. Di Malesia terdapat 4 jenis yang tumbuh secara alami dan salah satu jenisnya ditemukan di India, Sri Lanka, Burma, Thailand dan Indo-China (Soerianegara dan Lemmens 1994).

Di Indonesia sebaran torem terdapat di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku dan tergolong kayu komersil utama (Soerianegara dan Lemmens 1994). Jenis ini digunakan sebagai kayu pertukangan, lantai papan, moulding (Faperta 1995), dan kerajinan (ukiran) (Torimtubun 2006).

Sampai saat ini, data dan informasi mengenai jenis pohon torem relatif belum banyak diketahui. Sementara itu, keberadaan jenis ini sebagai salah jenis yang memiliki nilai komersil tinggi mengalami perubahan baik struktur maupun komposisinya sebagai akibat dari pertumbuhan dan kematian serta aktivitas

penebangan yang dilakukan oleh manusia. Berdasarkan Permenhut No. : P.57/Menhut-II/2008 tentang “Arahan Strategis Konservasi Spesies


(20)

3

punah akibat penebangan (pengambilan kayu). Untuk itu, dalam upaya pemanfaatanya secara lestari maka data mengenai struktur dan komposisi tegakan jenis pohon torem harus diketahui sehingga dapat disusun rencana pengelolaan yang tepat dan terpadu agar diperoleh struktur tegakan yang stabil sehingga menghasilkan produktivitas hutan yang tinggi, baik kuantitas maupun kualitasnya secara berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah

Pertumbuhan masyarakat tumbuhan (termasuk pohon) sangat dipengaruhi oleh keadaan tempat tumbuhnya, yaitu totalitas dari semua keadaan yang secara efektif berpengaruh terhadap pertumbuhan masyarakat tumbuhan, sehingga bentuk struktur tegakan hutan yang sudah mapan (mencapai klimaks) akan bersifat khas untuk jenis tegakan dan kondisi tempat tumbuh yang tertentu. (Suhendang 1985).

Adanya pengaruh faktor lingkungan tempat tumbuh terhadap aktivitas hidup masyarakat tumbuh-tumbuhan yang secara ekologis menyebabkan munculnya pola sebaran spasial yang berbeda untuk masing-masing jenis atau kelompok jenis tergantung dari kemampuan individu tersebut berkompetisi dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan habitat tempat tumbuh disamping faktor internal individu itu sendiri.

Berkaitan dengan dinamika individu pohon maupun tegakan tersebut, maka perlu adanya informasi kuantitatif mengenai struktur tegakan dan pola sebaran dengan tingkat keterandalan yang tinggi sehingga dapat digunakan dalam penyusunan rencana pengelolaan di masa yang akan datang. Agar diperoleh tingkat keterandalan yang tinggi, maka proses pendugaan dimensi tegakan harus didasarkan kepada bentuk struktur tegakan yang terandalkan pula sehingga keyakinan dan kebenarannya dapat terjamin (Suhendang 1985).

Berdasarkan kenyataan diatas, maka permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana model struktur tegakan horisontal jenis pohon torem dalam hubungannya dengan pendugaan dimensi tegakan?

b. Bagaimana bentuk pola sebaran spasial jenis pohon torem apakah seragam, acak atau mengelompok?


(21)

4

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan model struktur tegakan dan pola sebaran spasial jenis pohon torem (M. kanosiensis).

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan data dan informasi bagi instansi terkait dalam rangka menyusun rencana pengelolaan hutan di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku dalam hubungannya dengan pemanfataan jenis-jenis komersil khususnya jenis pohon torem dan untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Keberadaan torem sebagai salah satu jenis komersil yang terdapat di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku relatif

masih belum banyak diketahui. Sementara itu yang terjadi sekarang adalah banyaknya tekanan terhadap ekosistem hutan akibat aktivitas penebangan maupun karena pertumbuhan dan kematian yang terjadi secara alami yang berimplikasi pada perubahan struktur dan komposisi tegakan torem.

Data mengenai struktur dan komposisi torem diperlukan dalam rangka penyusunan rencana pengelolaan sehingga dapat menghasilkan produktivitas hutan yang tinggi, baik kuantitas maupun kualitassnya secara berkelanjutan. Berikut ini disajikan alur pemikiran dari penelitian yang dilakukan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.


(22)

5

PERTUMBUHAN DAN KEMATIAN

AKTIVITAS PENEBANGAN HUTAN

PERUBAHAN STRUKTUR DAN

KOMPOSISI TEGAKAN (TOREM)

STRUKTUR TEGAKAN HORISONTAL

SEBARAN SPASIAL

MODEL SEBARAN INDEKS

MORISHITA

PEMILIHAN MODEL TERBAIK

MODEL TERPILIH

DATA

YA TIDAK

KEABSAHAN MODEL

STRUKTUR TEGAKAN DAN SEBARAN SPASIAL

RENCANA PENGELOLAAN

PENENTUAN JENIS SEBARAN


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tegakan dan Struktur Tegakan 2.1.1 Pengertian

Banyak pengertian yang dapat digunakan untuk menggambarkan tegakan dan struktur tegakan dalam bidang kehutanan. Menurut Suhendang (1995), jika dipandang dari kepentingan manajemen hutan, tegakan merupakan suatu hamparan lahan hutan secara geografis terpusat dan memiliki ciri-ciri kombinasi dari sifat-sifat vegetasi (komposisi jenis, pola pertumbuhan, kualitas pertumbuhan), sifat-sifat fisik (bentuk lapangan, kemiringan lapangan dan lain-lain) yang relatif homogen serta memiliki luasan minimal tertentu sebagaimana yang diisyaratkan. Laar dan Akca (1997) mendefenisikan tegakan hutan sebagai kelompok pohon yang menempati areal tertentu dan memiliki komposisi jenis, susunan umur yang cukup seragam serta kondisi yang dapat dibedakan dari hutan yang ada disekitarnya. Selanjutnya dijelaskan juga oleh Husch et al. (2003) bahwa tegakan adalah kelompok pohon yang menempati suatu areal dan umumnya memiliki beberapa karakteristik atau kombinasi karakteristik seperti asal-usul, komposisi jenis, ukuran atau umur yang dapat dibedakan dari kelompok pohon lain.

Oliver dan Larson (1990) mengemukakan bahwa struktur tegakan adalah penyebaran fisik dan temporal dari pohon-pohon dalam tegakan yang penyebarannya tersebut berdasarkan jenis, pola penyebaran vertikal atau horisontal, ukuran pohon termasuk volume tajuk, indeks luas daun, batang, penampang lintang batang, umur pohon atau kombinasinya. Dijelaskan pula bahwa struktur tegakan adalah distribusi jenis dan ukuran pohon dalam tegakan atau hutan yang menggambarkan komposisi jenis, distribusi diameter, distribusi tinggi dan kelas tajuk (Oliver and Larson 1996 ; Husch et al. 2003).

Struktur tegakan dapat dibedakan atas struktur tegakan vertikal, struktur tegakan horisontal dan struktur tegakan spasial. Menurut Richard (1964) yang diacu dalam Labetubun (2004) menjelaskan bahwa struktur tegakan vertikal adalah sebaran individu pohon dalam berbagai lapisan tajuk. Sedangkan struktur tegakan horisontal didefenisikan sebagai banyaknya pohon per satuan luas pada setiap kelas diameternya (Meyer et al. 1961; Davis dan Johnson 1987).


(24)

7

Tegakan tidak seumur dalam hutan cenderung tidak beraturan dan distribusi diameternya berbentuk kurva J-terbalik, akan tetapi struktur tegakan hutan alam tidak selamanya mengikuti bentuk huruf J-terbalik (Meyer et al. 1961; Davis dan Johnson 1987). Hasil penelitian di hutan alam hujan tropis di Imataca, mendapatkan fakta bahwa struktur tegakan untuk semua jenis mengikuti bentuk huruf J-terbalik, tetapi bila dibuatkan untuk setiap jenisnya maka bentuk struktur

tegakannya beragam sesuai dengan sifat toleransinya terhadap naungan (Gambar 2).

Dalam penelitian ini model struktur tegakan yang dimaksud adalah struktur tegakan horisontal, yaitu sebaran jumlah pohon per hektar pada berbagai kelas diameter.

Diameter

Jumlah Pohon per Hektar

4

2 5

3

1

Gambar 2 Perbedaan sebaran jumlah pohon dikaitkan dengan sifat toleransinya terhadap naungan. 1, 2, dan 3 jenis pohon

intoleran sedangkan 4 dan 5 jenis pohon toleran (UNESCO 1978;Suhendang 1985).


(25)

8

2.1.2 Kerapatan

Kerapatan tegakan atau kerapatan pohon didefenisikan sebagai jumlah pohon yang terdapat dalam suatu luasan tertentu dan biasanya dinyatakan dalam hektar. Kerapatan tegakan, menurut Daniel et al. (1987) merupakan faktor terpenting kedua setelah tempat tumbuh dalam penentuan produktivitas tempat tumbuh. Hal ini penting karena kerapatan tegakan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi dalam pengembangan tegakan.

Richards (1964) yang diacu dalam Suhendang (1985) mengemukakan bahwa kerapatan pohon pada hutan tanaman berbeda dengan kerapatan pohon pada hutan alam. Kerapatan pohon pada hutan tanaman biasanya teratur, oleh karena disesuaikan berdasarkan tuntutan ruang tumbuh yang dibutuhkan oleh setiap jenis pohon yang ditanam. Sedangkan kerapatan pohon pada hutan alam tidak teratur, sehingga sulit mendapatkan kerapatan seperti yang diinginkan. Pada tegakan hutan alam, biasanya kerapatan pohon akan tinggi pada kelas diameter kecil dan akan menurun pada kelas diameter yang makin besar. Hal ini terjadi oleh karena adanya kompetisi yang tinggi baik antar individu dalam satu jenis, maupun antar berbagai jenis, sehingga tidak setiap individu mendapatkan kesempatan untuk tumbuh secara wajar, walaupun tidak mati.

Kecenderungan penurunan kerapatan pohon pada kelas diameter yang lebih tinggi seperti ini ternyata tidak sama untuk semua jenis, tergantung kepada sifat toleransinya terhadap naungan (UNESCO 1978; Suhendang 1985). Lebih jauh dikemukakan bahwa untuk jenis pohon yang tidak tahan terhadap naungan (intoleran), maka kerapatan pohonnya tidak akan secara drastis berkurang dengan bertambah tingginya kelas diameter, bahkan bisa terjadi kerapatan pohonnya akan rendah pada kelas diameter yang rendah, kemudian naik sampai pada kelas diameter tertentu tetapi selanjutnya turun kembali pada kelas diameter yang lebih besar lagi. Pada jenis pohon yang tahan terhadap naungan (toleran), kerapatan pohon akan menurun secara drastis dengan bertambah tingginya kelas diameter pada selang kelas diameter rendah.

Sungguhpun terdapat bermacam-macam tipe sebaran kerapatan pohon, terdapat dugaan yang kuat bahwa pada umumnya terdapat hubungan yang kuat antara kerapatan pohon dengan diameter, baik pada jenis pohon yang toleran


(26)

9

maupun pada jenis pohon yang intoleran, sehingga akan terdapat hubungan fungsional antara kelas diameter dengan kerapatan pohonnya. Atas dasar ini maka struktur tegakan hutan akan dapat dipakai sebagai alat untuk menduga besarnya kerapatan pohon pada setiap kelas diameternya (Suhendang 1985).

2.1.3 Diameter

Diameter pohon merupakan parameter utama yang dapat menggambarkan struktur tegakan. Diameter pohon dinyatakan sebagai panjang garis lurus yang menghubungkan dua buah titik pada garis lingkaran luar pohon dan melalui titik pusat penampang melintangnya.

Diameter pohon merupakan salah satu parameter pohon yang mempunyai arti penting karena : (1) dapat digunakan sebagai pengganti dimensi umur pada hutan alam (Suhendang 1985), (2) sebagai data potensi hutan untuk keperluan pengelolaan (Simon 2007) dan (3) sebagai parameter struktur tegakan hutan yang secara langsung menentukan besarnya riap dan potensi tegakan (Wahjono dan Imanuddin 2007).

Menurut Suhendang (1985), umur pohon pada hutan alam hujan tropika secara pasti tidak dapat ditentukan oleh karena tidak dapat diketahui kapan pohon tersebut mulai bertumbuh (berkecambah). Atas dasar ini maka dalam setiap pembicaraan mengenai hutan alam hujan tropika, dimensi umur tidak pernah dipakai sebagai ciri. Diameter pohon biasanya dipakai untuk pengganti umur, walaupun tidak selamanya pohon dengan diameter kecil menunjukkan umur pohon yang masih rendah.

Besarnya diameter ini dalam satu pohon akan bervariasi pada berbagai ketinggiannya dari permukaan tanah. Biasanya yang dimaksud diameter pohon adalah diameter pohon pada ketinggian setinggi dada dan disebut sebagai diameter setinggi dada (Bruce dan Schumacher 1950) atau lebih dikenal dengan istilah diameter breast height (dbh). Pada prakteknya, pengertian diameter setinggi dada ini menjadi berkembang dan dipakai ketinggian yang berbeda-beda di setiap negara. Menurut Loetsch, Zohrer dan Haller (1973), di negara-negara yang memakai satuan metrik (termasuk Indonesia), pengertian diameter setinggi dada ini dibatasi sebagai diameter pada ketinggian 1,30 m di atas permukaan tanah, apabila pohon tidak berbanir sampai pada ketinggian tersebut. Apabila


(27)

10

pohon berbanir sampai ketinggian tidak kurang dari 1,30 m dari permukaan tanah, diameter pohon diukur pada ketinggian 20 cm di atas ujung banir (Ditjen Kehutanan Departemen Pertanian 1976).

2.1.4 Model dan Kegunaan Struktur Tegakan Hutan 2.1.4.1 Model Struktur Tegakan Hutan

Sebaran diameter pohon-pohon hutan alam tidak seumur dapat dibentuk model struktur tegakannya. Kramer dan Akca (1987) yang diacu dalam Mangkudisastra (1995), mengemukakan bahwa sebaran diameter dalam bentuk sebaran normal tidak dapat digunakan, sehingga pendekatannya dilakukan dengan menerapkan model matematis lainnya.

Beberapa model matematis yang digunakan dalam menduga sebaran diameter pohon antara lain :

1. Fungsi sebaran Eksponensial Negatif

Menurut Meyer (1952) yang diacu dalam Davis dan Johnson (1987), orang yang pertama kali mempublikasikan hasil studi numerik mengenai bentuk struktur tegakan hutan tidak seumur adalah de Liocourt (1989). Dari pengamatannya, diperoleh bahwa besarnya rasio pengurangan banyaknya pohon pada setiap peningkatan kelas diameternya cenderung sama. Dijelaskan bahwa jumlah pohon dalam kelas diameter yang berurutan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil akan membentuk deret geometri m, mq, mq2, mq3,…., dimana q adalah koefisien rasio pengurangan dari deret tersebut dan m adalah jumlah pohon dari kelas diameter yang diperhitungkan. Bentuk logaritmik yang menggambarkan hubungan antara jumlah pohon dan kelas diameter dari deret geometri diatas adalah sebagai berikut :

log N = log - k aD log e

Antilog dari persamaan diatas membentuk fungsi sebaran eksponensial negatif (bentuk J-terbalik) :

aD

N = k e

Dimana : N = jumlah pohon per kelas diameter (N/Ha) D = diameter (cm)


(28)

11

k = konstanta kerapatan relatif a = konstanta kemiringan garis

Istomo (1994) meneliti tentang hubungan antara komposisi struktur dan penyebaran ramin (Gonystylus bancanus (Miq) Kurz) dengan sifat-sifat tanah gambut pada areal HPH PT Inhutani III Kalimantan Tengah dan mendapatkan bahwa untuk jenis ramin pada ketiga lokasi penelitian mengikuti fungsi sebaran eksponensial negatif. Abdurachman (2006) juga melaporkan bahwa pola sebaran diameter pada hutan 1 tahun setelah penebangan dengan sistem konvensional di Berau Kalimantan Timur mengikuti fungsi sebaran eksponensial negatif.

2. Fungsi sebaran Gamma

Fungsi sebaran gamma mempunyai tiga parameter. Secara umum fungsi ini memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam hubungannya dengan data sebaran diameter.

Suhendang (1985) mempelajari model struktur tegakan hutan alam hujan tropika dataran rendah di Bengkunat, Lampung dan mendapatkan untuk jenis-jenis pohon damar asam dan simpur menyebar menurut sebaran gamma. Dalam penelitiannya, Mangkudisastra (1995) menemukan bahwa famili sebaran gamma-3, diterima secara konsisten tanpa pengecualian, baik untuk famili Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae.

3. Fungsi sebaran Lognormal

Fungsi sebaran lognormal metodenya didekati melalui transformasi data ke dalam bentuk log, sehingga sebarannya disajikan dalam bentuk sebaran normal.

Hasil penelitian yang dilakukan Suhendang (1985) di hutan alam hujan tropika dataran rendah Bengkunat Lampung dan mendapatkan untuk kelompok semua jenis pohon, kelompok jenis pohon komersil dan jenis pohon meluang, menyebar menurut famili sebaran lognormal. Ibie (1997) juga mempelajari dimensi tegakan hutan rawa gambut sekunder di Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya dan menemukan bahwa famili sebaran lognormal merupakan famili sebaran terpilih dan sesuai untuk famili Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae.


(29)

12

4. Fungsi sebaran Weibull

Husch et al. (2003) menyatakan bahwa fungsi sebaran weibull sangat luas diterapkan dalam pengukuran hutan oleh karena fungsi sebaran ini lebih fleksibel. Dikemukakan pula bahwa parameter sebaran weibull dapat diduga langsung dari daftar diameter atau dari tabel tegakan (jumlah pohon menurut kelas diameter).

Burkhart et al. (1974) yang diacu dalam Laar dan Akca (1997) membandingkan fungsi sebaran beta dan weibull untuk jenis pinus. Dikemukakan bahwa fungsi sebaran weibull lebih baik dan memberikan hasil yang tepat. Lei (2008) mempelajari tiga metode yakni metode fungsi kemungkinan maksimum, metode moment dan metode kuadrat terkecil untuk menduga parameter fungsi sebaran weibull jenis Pinus tabulaeformis dan mendapatkan bahwa metode moment lebih baik dalam menduga parameter fungsi sebaran weibull pada semua petak yang dicobakan.

2.1.4.2 Kegunaan Struktur Tegakan Hutan

Menurut Suhendang (1985), pengetahuan tentang struktur tegakan hutan berguna untuk penentuan kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, penentuan luas bidang dasar tegakan dan penentuan biomassa tegakan. Dikemukakan juga bahwa untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan potensi tegakan minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan ekologis dari struktur tegakan akan diperoleh gambaran mengenai kemampuan regenerasi dari tegakan yang bersangkutan (Suhendang 1993b; Krisnawati 2001).

Clutter dan Bennet (1965) yang diacu dalam Istomo (1994) mengatakan bahwa pengetahuan mengenai struktur tegakan hutan secara horisontal sangat penting karena dapat digunakan sebagai dasar : (1) penaksiran volume kayu yang dapat diproduksi per satuan luas pada berbagai kelas umur, bonita dan kerapatan, (2) penentuan jarak tanam pada berbagai kombinasi hasil yang diinginkan dan (3) penilaian biaya pemungutan hasil hutan pada berbagai umur, bonita dan kerapatan tegakan.

Struktur tegakan hutan juga dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis, mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon (Marsono dan Sastrosumarto 1981; Istomo 1994).


(30)

13

Dijelaskan pula bahwa dengan struktur tegakan dapat diduga tingkat mortalitas dan dengan mengetahui riap diameter pada tiap kelas diameter dapat diduga volume produksi pada rotasi tebang berikutnya berdasarkan azas kelestarian.

Ibie (1997) menguji penggunaan metode struktur tegakan dalam menduga dimensi tegakan hutan rawa gambut sekunder di arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya dan menemukan bahwa efisiensi metode inventarisasi dengan menggunakan struktur tegakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan dengan metode yang selama ini dipakai dalam pendugaan jumlah pohon, luas bidang dasar dan volume tegakan per hektar.

2.2 Distribusi Spasial

Suatu jenis tumbuhan dalam hubungannya dengan keadaan lingkungan dari suatu ekosistem akan membentuk sistem fungsi tertentu. Setiap individu jenis tersebut mempunyai toleransi yang berbeda dalam beradaptasi dengan lingkungan dan masing-masing individu tersebut mempunyai kondisi lingkungan tertentu dimana ia dapat tumbuh optimal. Oleh karena itu, pada umumnya penyebaran jenis tumbuhan akan berbeda terutama dalam hal kehadiran dan kelimpahannya (Poole 1974).

Cox (1972) yang diacu dalam Istomo (1994) mengatakan bahwa penyebaran jenis bersifat unik dalam tingkat komunitas dan organisasi ekologi. Penyebaran dalam komposisi jenis berhubungan dengan derajat kestabilan komunitas. Komunitas vegetasi dengan penyebaran jenis yang lebih besar memiliki jaringan kerja yang lebih kompleks daripada komunitas dengan penyebaran jenis yang rendah.

Dalam komunitas dikenal tiga tipe dasar pola spasial yaitu acak (random), kelompok (clumped) dan seragam (uniform) (Gambar 3). Pola acak dalam suatu organisme populasi diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang homogen dan atau pola tingkah laku yang tidak selektif. Pola non acak (kelompok dan seragam) menyatakan bahwa ada beberapa faktor pembatas dari lingkungan tempat tumbuhnya yang mempengaruhi kehadiran populasinya. Pola mengelompok menunjukkan bahwa individu-individu dikelompokkan dalam beberapa bagian pada habitat. Hal ini berkaitan dengan tingkah laku, lingkungan yang heterogen dan model reproduksi. Pola yang seragam dibentuk dari interaksi negatif antara


(31)

14

individu-individu seperti kompetisi dalam hal makanan dan ruang (Ludwig dan Reynolds 1988).

Distribusi suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku bagi organisme yang mempunyai kisaran kemampuan adaptasi yang sempit. Selanjutnya dijelaskan bahwa hewan atau tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain tingkah laku, suhu, hubungan timbal balik dengan organisme lain, kelembaban serta faktor fisik dan kimia lainnya (Bartholomew 1958; Krebs 1978; Susanti 2000).

Distribusi suatu spesies terpola baik dalam distribusi secara spasial maupun distribusi secara temporal. Distribusi spasial (menurut tempat) bagi hewan dan tumbuhan merupakan suatu karakteristik komunitas ekologi, sedangkan distribusi secara temporal mengikuti waktu atau musim (Ludwig dan Reynold 1988).

(a) Acak (b) Mengelompok (c) Seragam

Gambar 3 Tipe-tipe pola spasial (Ludwig dan Reynolds, 1988).

Ludwig dan Reynolds (1988) menyatakan bahwa Hutchinson (1953) merupakan orang ekologi pertama yang mempelajari pola penyebaran dalam komunitas dan mengidentifikasi faktor penyebab yang mungkin dalam pembentukan pola suatu organisme diantaranya:

(1) Faktor-faktor vektorial adalah hasil dari pengaruh kekuatan lingkungan luar (misalnya angin, arus air dan intensitas cahaya).

(2) Faktor reproduksi merupakan akibat dari cara-cara pembiakan dari organisme tersebut (misalnya regenerasi klon dan progenik).

(3) Faktor-faktor sosial yang merupakan hasil dari perilaku bawaan (misalnya perilaku daerah penyebaran atau teritorial).


(32)

15

(4) Faktor-faktor koaktif yang dihasilkan dari interaksi-interaksi intra spesifik (misalnya kompetisi).

(5) Faktor stokastik dihasilkan dari variasi acak di dalam suatu faktor.

Faktor-faktor penyebab pola spasial tanaman dikemukan juga oleh Kershaw (1964) yang diacu dalam Dale (2004). Dikatakan bahwa faktor penyebab pola spasial tanaman dapat dikelompokkan atas tiga kategori : (1) faktor morfologi, yang didasarkan pada ukuran dan pola pertumbuhan tanaman, (2) faktor lingkungan yang heterogen, dan (3) faktor fitososiologi yang membentuk pola hubungan antara satu jenis dengan jenis lain melalui interaksi.

Dalam menganalisis pola spasial baik hewan maupun tumbuhan bergantung pada pemilihan unit sampling sehingga penentuan skala merupakan hal yang penting (Ludwing dan Reynold 1988). Berikut disajikan beberapa tipe model analisis pola spasial berdasarkan pemilihan unit sampling (Gambar 4).

SPATIAL PATTERN ANALYSIS (SPA)

Choice of sampling unit

QUADRATS POINTS

NATURAL ARBITRARY

QUADRAT VARIANCE MODEL

DISTANCE MODEL DISTRIBUTION

MODELS

Poisson

Negative Binomial k parameter Indicates of Dispersion

Variance/Mean Ratio David & Moore Index Green’s Index Morishita’s Index

Blocked-quadrat Var. Paired-quadrat Var.

Eberhardt’s Index T-square Index

Gambar 4 Tipe model SPA berdasarkan pemilihan unit sampling (Ludwig dan Reynold 1988).


(33)

16

2.2.1 Beberapa Pola Sebaran Spasial 2.2.1.1 Pola Sebaran Poisson

Bliss (1953) yang diacu dalamSusanti (2000) menyatakan bahwa jika setiap unit dalam suatu seri memiliki peluang yang sama untuk ditempati oleh individu, maka pola sebaran spasialnya akan mengikuti pola sebaran spasial poisson, dimana setiap unit memiliki rata-rata populasi yang sama seperti frekuensi dugaannya.

Jika beberapa individu memiliki kelompok secara acak dan independen terhadap individu lain, dan total jumlah individu di dalam kelompok jauh lebih kecil daripada total jumlah kelompok yang ada, maka jumlah kelompok dengan jumlah individu adalah merupakan variasi sebaran poisson (Poole 1974).

Untuk sebaran populasi acak, model poisson memberikan probabilitas untuk jumlah individu per unit contoh, sesuai keadaan berikut : (1) setiap unit contoh memiliki peluang penyebaran individu yang sama, (2) keberadan individu dalam unit contoh tidak dipengaruhi oleh keberadaan individu lain, (3) setiap unit contoh tersedia secara sama, (4) jumlah individu per unit contoh relatif rendah terhadap jumlah maksimum yang mungkin ada di dalam unit contoh (Greig-Smith 1983; Ludwig dan Reynold 1988).

2.2.1.2 Pola Sebaran Binomial Negatif

Pola sebaran binomial negatif adalah pola sebaran spasial yang secara lengkap didefenisikan oleh dua parameter yaitu rata-rata (m) dan eksponen positif (k). Selain itu, pola sebaran spasial binomial negatif adalah suatu perluasan dari seri poisson dimana rata-rata populasi, yang merupakan parameter sebaran poisson, tidak konstan tetapi bervariasi secara kontinyu dalam proporsi distribusi terhadap X2 (Bliss 1953; Susanti 2000).

Dijelaskan pula bahwa jika kehadiran suatu individu dalam suatu divisi meningkatkan peluang individu lain berada pada divisi tersebut, maka binomial negatif akan dapat menggambarkannya dengan jelas.

2.2.1.3 Pola Sebaran Positif Binomial

Bliss (1953) yang diacu dalam Susanti (2000) menyatakan bahwa jika kehadiran suatu individu dalam suatu areal menurunkan peluang individu lain


(34)

17

berada pada areal tersebut, maka pola sebaran positif binomial akan dapat menerangkannya dengan jelas. Sementara itu Iwao (1972) yang diacu dalam Susanti (2000) menyatakan bahwa setiap kuadrat memiliki probabilitas yang sama untuk ditempati oleh individu tetapi kapasitas kuadrat terbatas, maka kita memiliki pola sebaran positif binomial.

2.2.1.4 Indeks Morisita

Indeks Morisita merupakan salah satu metode yang dapat dipakai untuk

melihat pola penyebaran individu dalam suatu ekosistem (Morisita 1962; Krebs 1989). Dalam penelitiannya, Myers (1978) yang diacu dalam Krebs (1989)

mengatakan bahwa standarisasi indeks Morisita merupakan salah satu indeks terbaik dalam mengukur penyebaran karena tidak bergantung pada kerapatan populasi dan ukuran sampel. Jika nilai indeks lebih besar dari satu, maka penyebaran akan menggerombol atau teragregasi. Jika penyebaran seragam dan teratur, maka indeks kurang dari satu (Michael 1994).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Seng et al. (2004) pada hutan Dipterocarpaeae dataran tinggi di Peninsular Malaysia menunjukkan bahwa pola sebaran jenis Shorea curtissii pada petak coba sebelum penebangan adalah kelompok dengan nilai Iδ = 1,63 pada selang kepercayaan 5%. Dari hasil penelitiannya, Hanum et al. (2007) mengemukakan bahwa pola sebaran jenis pohon pada kedua hutan primer yakni di Pahang dan Johor Malaysia adalah acak dan berkelompok.

Fordjour et al. (2008) mempelajari pola sebaran dari beberapa jenis tumbuhan pemanjat di Hutan Hujan Gugur Daun KNUST Botanic Garden, Ghana dan mendapatkan bahwa hampir sebagian besar yakni 82% jenis tumbuhan pemanjat memiliki pola sebaran kelompok, 16% berpola seragam dan 2% berpola acak. Pola seragam pada jenis dominan dan kodominan penyusun hutan kerangas bekas kebakaran di Taman Nasional Danau Sentarum Kalimantan Barat juga dilaporkan oleh Onrizal, dkk (2005). Dikemukan bahwa pola seragam yang terjadi disebabkan karena adanya persaingan dalam mendapatkan hara dan ruang.


(35)

18

2.3 Keadaan Umum Torem (Manilkara kanosiensis)

2.3.1 Ciri Umum Torem

Nama botani dari Torem (Manilkara kanosiensis) adalah Manilkara kanosiensis H. J. Lam & B. J. D. Meeuse. Taksonomi dari M. kanosiensis adalah sebagai berikut :

Kindom : Plantae

Divisi : Tracheophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Ebenales

Famili : Sapotaceae

Genus : Manilkara

Species : Manilkara kanosiensis

Torem mempunyai ciri-ciri tertentu yakni ciri pohon lurus dengan bentuk batang pohon umumnya lurus, bulat dan sedikit lancip ke atas. Tajuknya berbentuk kerucut tipis, sedangkan pohon tua berbentuk hampir bulat dan tebal, tetapi banyak juga yang berbentuk kerucut. Ketinggian pohon torem berkisar antara 15 – 25 m (Anonim 1984; Torimtubun 2006)

Daun pohon torem umumnya tebal dimana di atasnya berwarna hijau tua berkilau. Pohon ini umumnya bercabang rendah, tidak berbanir dan tidak mempunyai akar tunjang yang kuat.

Masa berbuah dari pohon torem adalah setiap tahun dan bulan berbuahnya bervariasi di setiap tempat. Ada yang musim berbuahnya pada bulan September sampai Desember dan ada pula yang jatuh pada bulan Februari, Maret sampai Juli.

Torem dapat memberikan manfaat untuk berbagai kebutuhan, diantaranya sebagai kayu pertukangan, lantai, papan, moulding, dan lain-lain (Supranto 1987; Torimtubun 2006).

2.3.2 Penyebaran dan Tempat Tumbuh

Torem tumbuh pada hutan tropis dan berada pada zone 23o27’ Lintang Utara dan 23o27’ Lintang Selatan yang meliputi 40% luas permukaan bumi atau

diperkirakan meliputi 50% luas areal hutan di dunia (Anonim 1984; Torimtubun 2006). Di daerah tropis Asia yaitu India dan Cina bagian selatan


(36)

19

termasuk miskin akan jenis ini dan makin ke selatan makin kaya jenisnya (Budi 1994; Torimtubun 2006). Pertumbuhan torem secara alami terdapat di Indonesia tepatnya di Pulau Yamdena. Dikatakan pula bahwa torem mudah berkembang biak walaupun di beberapa tempat yang kurang produksi sinar matahari. Wilayah lebih ke utara dari garis katulistiwa tidak banyak keanekaragaman jenisnya, namun pada wilayah bagian selatan dari garis katulistiwa, keanekaragaman jenisnya jauh lebih banyak.

Umumnya torem cocok bertumbuh pada ketinggian 300 dpl, namun pada ketinggian 700 dpl, torem tetap dapat berkembangbiak dengan bagus. Torem juga sangat fleksibel dan dapat tumbuh pada iklim tropis yang basah maupun kering Kondisi ini dipertegas dengan kebutuhan torem akan curah hujan 2000 mm/tahun hingga 3000 mm/tahun dan suhu berkisar antara 22oC hingga 32oC yang sangat membantu proses permudaan alamnya (Rukmana 1992; Sarbunan 2001; Torimtubun 2006).


(37)

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Letak dan Luas

Pulau Yamdena dengan luas 411.481,21 ha, secara geografis terletak pada posisi 131015’ - 131030’ lintang selatan dan 7015’ - 8000’ bujur timur dan dibatasi sebelah utara dan timur oleh laut Banda, sebelah selatan dan barat oleh laut Arafura. Secara administrasi pemerintahan areal penelitian termasuk dalam wilayah Kecamatan Wertamrian Kabupaten Maluku Tenggara Barat Propinsi Maluku dan merupakan kawasan hutan produksi.

3.2 Topografi

Areal penelitian termasuk daerah dataran rendah, dengan puncak-puncak bukit tertinggi hanya mencapai ketinggian 100-200 meter dari permukaan laut, merupakan daerah datar sampai curam.

Pada pesisir timur laut mulai dari tepi pantai adalah merupakan daerah curam dengan batuan-batuan karang yang menonjol dan dapat mencapai ketinggian 100-200 meter, kemudian menurun ke arah sebelah barat.

Pada umumnya puncak-puncak bukit tidak merupakan puncak yang terjal tetapi melandai, dengan kelas lereng tertinggi adalah 6-15%.

3.3 Geologi dan Tanah

Menurut peta geologi Indonesia (1965), pulau/kepulauan Maluku Tenggara Barat terbentuk/tersusun dari tanah dan batuan yang tercatat sebanyak 9 jenis tanah dimana 6 diantara berada di pulau Yamdena yaitu podzolik, aluvial hidromorfik, mediteran, brown foressoil, kambisol dan gleisol. 2 jenis batuan yang ada diantaranya kapur dan globeriro.

3.4 Iklim

Iklim pada areal penelitian termasuk ke dalam tipe hujan C (agak basah) mendekati tipe hujan D (sedang) menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) atau tipe iklim A (menurut Koppen). Tinggi curah hujan bulanan rata-rata adalah sebesar 157,86 mm/bulan, sedangkan jumlah hari hujan bulanan rata-rata adalah sebesar 12,83 hari hujan/bulan. Temperatur bulanan rata-rata adalah


(38)

21

sebesar 27,0 dengan penyinaran matahari bulanan rata-rata adalah sebesar 64,7%.

3.5 Vegetasi

Fisiognomi hutan yang ada di pulau Yamdena memiliki 4 (empat) strata tajuk dengan tajuk-tajuk dominan pada strata A dimana ketinggian pohonnya dapat mencapai 40 meter. Bentuk pertumbuhan hutan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik (tanah) dan komponen meteorologi terutama radiasi sinar matahari, curah hujan dan angin (Faperta 1995).

Hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Tim Universitas Pattimura Fakultas Pertanian tahun 1995 terhadap komposisi tegakan di hutan pulau Yamdena ditemukan sebanyak 58 jenis yang berasal dari 46 famili yang umumnya adalah vegetasi hutan hujan dataran rendah yang mendominasi 3 strata tajuk.

Vegetasi penyusun yang dominan pada tiap strata adalah sebagai berikut : strata A (25-40 meter) didominasi oleh jenis seperti kayu besi (Intsia bijuga), kenari (Canarium sp), gosale (Eugenia sp), torem (Manilkara kanosiensis), lenggua (Pterocarpus indicus), dungun (Heriteria littolaris), matoa (Pometia tomentosa) dan deriae (Pysoniaum bollifera). Strata B (15-24 meter) didominasi oleh ketapang (Terminalia cattapa), kayu arang (Dyospiros ferrea), Manilkara sp, Ley (Cruidia balanci), pulai (Alstonia scholaris), Podocarpus sphaeticus, Katimpe (Lagerstonia sp). Strata C (3-15 meter) didominasi oleh jenis gopasa (Vitex cofasus), kamamase (Albizia lebbeck), kayu merah (Eugenis sp), ware (Hibiscus tiliacens), natan (Evodia elleryana), ndrimbin (Avodia rosea), wawai (Cerbera manghas). Strata D (0-3 meter) merupakan lantai hutan yang terdiri dari semai dan sapihan tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground cover).


(39)

IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada areal hutan alam di pulau Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku selama bulan April sampai Juni 2009. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.2 Bahan dan Alat

Bahan penelitian ini berupa data diameter (dbh) dan kerapatan hasil pengukuran pohon di lapangan untuk kelompok jenis pohon torem dan non torem dengan diameter yang tidak kurang dari 10 cm.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa pita ukur/meteran gulung 50 m, phi band, clinonometer, spiegel relascope bitterlich, kompas, GPS, tambang plastik, tally sheet, alat tulis menulis, kantong plastik dan alat-alat pembuatan herbarium (alkohol, gunting, label, kertas koran dan sasak).

4.3 Metode Penelitian

4.3.1 Teknik Pengambilan Data

Tahap awal dalam pengambilan data di lapangan adalah menentukan luas minimum petak coba yang dianggap mewakili keadaan habitat dari areal penelitian dengan menggunakan metode kurva spesies area. Prosedurnya adalah sebagai berikut (Gambar 5) :

a. Membuat petak coba berbentuk kuadrat dengan ukuran minimal (100 m x 100 m).

b. Petak coba pertama dibuat dengan ukuran 10 m x 10 m. Data vegetasi yang dicatat meliputi nama jenis pohon, diameter, tinggi total dan tinggi bebas cabang dengan diameter yang tidak kurang dari 10 cm.

c. Petak coba kedua dan seterusnya dibuat yang besarnya dua kali lipat petak coba sebelumnya dan dilakukan pencatatan yang sama. Pembuatan petak coba dihentikan apabila penambahan jumlah jenis tidak lebih dari 5%.

d. Data dari setiap petak coba selanjutnya diproyeksikan pada salib sumbu X sebagai luas petak coba dan sumbu Y sebagai jumlah jenis.

e. Menentukan kriteria luas petak coba minimum sesuai yang dijelaskan oleh Soegianto (1994); Kusmana (1997) yang diacu dalam Indriyanto (2006)


(40)

23

bahwa luas minimum petak coba ditetapkan dengan dasar bahwa penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah jenis lebih dari 5%.

Setelah luas petak coba minimum diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah menentukan luas petak contoh penelitian (PCP). Petak contoh penelitian di lapangan ditentukan secara purposive sampling dengan mempertimbangkan tingkat kerapatan vegetasi dan adanya ketersebaran jenis torem. Tingkat kerapatan vegetasi pada areal penelitian terbagi atas tiga yaitu (1) areal dengan tingkat kerapatan vegetasi rapat, (2) areal dengan tingkat kerapatan vegetasi sedang dan (3) areal dengan tingkat kerapatan vegetasi rendah.

Untuk memudahkan pembuatan petak contoh penelitian di lapangan dan meningkatkan keterwakilan maka petak contoh penelitian ditentukan seluas 1 ha (100 m x 100 m). Petak contoh penelitian ini selanjutnya dibagi ke dalam sub petak contoh berukuran 20 m x 20 m secara sistematik, sehingga pada setiap petak contoh penelitian terdapat 25 sub petak contoh (Gambar 6).

Pengambilan data dilakukan terhadap kelompok jenis pohon torem dan non torem berupa nama jenis, diameter setinggi dada (dbh = 130 cm ), tinggi total dan tinggi bebas cabang pada setiap sub petak contoh yang terdapat di dalam petak contoh penelitian dan berdiameter tidak kurang dari 10 cm.

Semua jenis pohon torem dalam petak coba tersebut selanjutnya dipetakan ke dalam peta penyebaran pohon. Diameter pohon diukur dengan menggunakan

phi band dan tinggi pohon diukur dengan menggunakan clinometer, sedangkan untuk penentuan jenis pohonnya dipakai pengenal pohon setempat. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa pencatatan seluruh data dan informasi yang dibutuhkan.


(41)

24

Gambar 5 Bagan pembuatan petak coba di lapangan.

Gambar 6 Bagan pembuatan petak contoh penelitian dan sub petak contoh berukuran 20 m x 20 m dalam petak contoh seluas 1 ha (100 m x 100 m)


(42)

25

4.3.2 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan untuk menentukan (1) model struktur tegakan yang meliputi pemeriksaan data, pemilihan model, pengujian keabsahan serta penerapan model, (2) menentukan pola sebaran jenis pohon torem. Data diolah dengan menggunakan MS. Excel 2007, Matlab Ver 7.7.0.471 dan SAS 9.1

4.3.2.1 Model Struktur Tegakan a. Pemeriksaan data

Pemeriksaan data yang dilakukan adalah untuk melihat bentuk sebaran data yang akan dianalisis, sehingga dapat diperkirakan model yang akan dipilih. Pada

tahap ini setiap data dipetakan ke dalam koordinat salib sumbu dengan diameter (D) sebagai absis dan kerapatan pohon per hektar (N) sebagai ordinat.

Dalam pemeriksaan data ini diameter pohon dinyatakan dalam selang kelas diameter dengan banyaknya selang kelas yang akan dibentuk ditentukan berdasarkan kaidah sturge yaitu k = 1 + 3,3 log n (Sugiono, 2009), dimana k = banyaknya selang kelas yang dibentuk (cm) dan n = banyaknya angka pengamatan, yaitu jumlah pohon berdiameter ≥ 10 cm.

b. Pemilihan model

Tahap ini merupakan tahap pendugaan semua model yang dicobakan pada setiap kelompok jenis pohon torem dan non torem yang akan dibuat model struktur tegakannya, kemudian dipilih model yang paling baik dari seluruh model tersebut. Model yang akan dicobakan meliputi famili sebaran eksponensial, gamma, lognormal dan weibull. Pemilihan famili sebaran yang dianggap terbaik untuk kelompok jenis yang diuji dilakukan dengan prosedur cara kemungkinan maksimum. Ada tiga tahapan pekerjaan dalam pemilihan model dengan prosedur ini, yaitu : pendugaan titik bagi parameter famili sebaran, penentuan nilai fungsi kemungkinan maksimum dan penentuan model yang terpilih, yaitu dengan memilih model famili sebaran yang memiliki nilai fungsi kemungkinan tertinggi diantara famili sebaran yang dicobakan berikut prosedur pemilihan famili sebaran terbaiknya, dilakukan dengan menggunakan prosedur pembentukan model


(43)

26

struktur tegakan seperti yang dilakukan oleh Suhendang (1985) dalam membuat struktur tegakan hutan alam tropis di Bengkunat, sebagai berikut :

1. Famili sebaran eksponensial a. Bentuk :

(0,~) 1

( ) ex p x ( )

f x I x

θ θ

    =      

b. Pendugaan titik parameter θ :

( )

n 1 ˆ

θ = x = xi

n i=1

c. Fungsi Kemungkinan maksimumnya adalah :

- log( )

Log L= n eθ

2. Famili Sebaran Gamma a. Bentuk :

( )

( )

( )

( )

( )

-1exp

-0,~

x x

f x I x

α β α β α = Γ

b. Pendugaan titik parameter α dan β :

(1/Y) (0,5000876 + 0,164885Y – 0,0544274Y2); untuk 0 < Y ≤ 0,5772

(1/Y) (17,79728 + 11,968477Y + Y2)-1

(8,898919 + 9,05995Y + 0,9775373Y2); untuk 0,5772 < Y ≤ 17

dimana :

i n x

n i=1 Y = ln

1 n n x i i=1                   ˆ ˆ x β α =

c. Fungsi Kemungkinan maksimumnya adalah :

( )

(

)

( )

(

)

- log -1 log / log

1 - 1

n n

Log L n xi xi e

i i

α

β α α β

= Γ + ∑ ∑

= =

ˆ


(44)

27

3. Famili sebaran lognormal a. Bentuk :

( )

(

(

)

ln - 2

( )

( )

1 2 exp -1/ 2

0,

x

f x xδ π µ I x

δ

=   

 

 

 

b. Pendugaan titik parameter µ dan δ :

1 1 ˆ ln n i i x n

µ

=   =   

dan

(

)

2 1/ 2

1 1

ˆ n ln

i i x n δ µ =    =    

c. Fungsi kemungkinan maksimumnya adalah :

1 1

ln 1

log log 2 log log

2 n n i i i i x

L n δ π x µ e

δ = = −     = − − −  

4. Famili sebaran Weibull a. Bentuk :

1

(0,~)

( ) x ex p x ( )

f x I x

γ γ

γ

α α α

    

=   

    

b. Pendugaan titik parameter α dan γ adalah :

( )

( )

1 ˆ

ˆ 1 1 n n xi i γ γ

α = ∑

=       dan

(

)( )

( )

ˆ ln - 1 ln

1 1 1

n n n

xi xi xi n xi

i i i

γ = ∑ ∑ ∑

= = =

 

 

 

c. Fungsi kemungkinan maksimumnya adalah :

( ) ( )

n

( )

( )

γ n γ

i i

i=1 i=1

log L = n logγ α + γ-1 log x - n γ-1 log α ∑ - 1α ∑x log e


(45)

28

Setelah keempat model tersebut dicoba, dilakukan pemilihan model dengan prosedur sebagai berikut :

Suatu model acak X1, X2, ………, Xn, yang diduga menyebar berdasarkan famili

ke i (fi), dengan ciri fungsi kemungkinan maksimum L (fi ; X), maka prosedur

pemilihan modelnya adalah dengan cara :

= maksimum (ln L (fi ; X)), i = 1, 2, 3, 4

maka X ~ Fj

≠ maksimum (ln L (fi ; X)), i = 1, 2, 3, 4

maka X ~ selain Fj

dimana Fj adalah famili sebaran ke j

Apabila setiap satuan percobaan (petak contoh) telah diperoleh famili sebarannya, maka selanjutnya dilihat kecenderungannya dalam menerima famili sebaran lainnya. Prosedur ini diterapkan untuk setiap kelompok jenis yang diteliti. Famili sebaran yang terbaik adalah famili yang memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi. Jika ditemukan kasus mayoritas satuan percobaan cenderung menerima famili sebaran ke m, sedangkan satuan percobaan yang lain menerima famili sebaran ke (m+1), maka permasalahan ini dapat diputuskan melalui nilai fungsi kemungkinan maksimumnya. Misalnya famili sebaran yang terpilih adalah famili sebaran ke (m+1), sedangkan famili sebaran ke m memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum kedua terbesar yang selisihnya dengan nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Dengan demikian famili sebaran ke m dapat diterima sebagai famili sebaran terbaik. Apabila persyaratan ini tidak terpenuhi, maka famili sebaran yang terpilih tetap adalah famili sebaran yang memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi.

c. Pengujian Keabsahan Model

Prosedur pengujian tingkat keabsahan model famili sebaran, dicobakan untuk seluruh setiap kelompok jenis pohon yang diikutsertakan dalam penelitian ini dengan berdasarkan data yang diperoleh dari petak ukur gabungan dari setiap petak contoh.


(46)

29

Suatu model dianggap memiliki tingkat keabsahan yang tinggi jika cukup fakta adanya konsistensi penerimaan model tersebut, yaitu jika ia diterima oleh lebih dari 60% anggota populasi yang diselidiki untuk kelompok jenis pohon yang sama.

d. Penerapan Model Struktur Tegakan Hutan 1. Penentuan kerapatan tegakan

Kerapatan tegakan dapat ditentukan dengan rumus :

1 p i i N N =

=

pohon per ha

(

)

(

)

2

2

- 2 2

min

( ) .

. ( 10) 10 ( ) k i k i x k k

x i i

i xmaks

x

f x dx N

p x x x

N N x

p x f x dx

+       ≤ ≤ +   = = ≥ ≥      

pohon per ha

Dimana : N = kerapatan pohon tegakan rata-rata per hektar. f(x) = fungsi kepekatan dari famili sebaran terpilih. xi = diameter tengah kelas diameter ke-i.

k = selang kelas diameter.

Ni = kerapatan pohon pada kelas diameter ke-i.

2. Penentuan luas bidang dasar tegakan

Luas bidang dasar tegakan dapat ditentukan dengan rumus :

2 . . 4

i i

D =   

π

xi N

  m

2

/ha

Dimana Di = luas bidang dasar tegakan kelas diameter ke-i. xi2 = diameter tengah pohon pada kelas diameter ke-i.


(47)

30

Sehingga luas bidang dasar tegakan total adalah :

2 1 . 4 p i i i

D π x N

=

 

=   

m2/ha

Dimana p = jumlah kelas diameter pohon untuk masing-masing klasifikasi tebaran data yang diamati.

3. Penentuan volume tegakan

Volume tegakan kelas diameter ke-i ditentukan dengan rumus :

.

i i i

V

=

v N

m3/ha

Dimana : Vi = volume tegakan kelas diameter ke-i.

Ni = kerapatan pohon tegakan pada kelas diameter ke-i.

vi = tabel volume lokal untuk jenis pohon torem dibuat

berdasarkan data hasil penelitian dengan menggunakan persamaan regresi sederhana berbentuk non linier, yaitu

1

0

b

V =b D (Husch et al. 2003).

Sehingga besarnya nilai volume tegakan total adalah :

1 .

p

i i i

V v N

=

=

m3/ha Dimana p = banyaknya kelas diameter e. Pengujian kesesuaian model

Prosedur uji kesesuaian model dalam pemakaian struktur tegakan meliputi kerapatan pohon, luas bidang dasar tegakan dan volume tegakan, jika dibandingkan dengan cara rata-rata hitung biasa menurut cara yang selama ini diterapkan, untuk melihat apakah hasil yang diperoleh berdasarkan kedua cara ini berbeda atau tidak, dilakukan dengan uji khi-kuadrat (χ2) dengan rumus sebagai berikut :

(

)

2

2 2

~ ( 1)

1

x x

n st rh

hit i n

xrh

χ = ∑ − χα


(48)

31

Dimana :

x

st = nilai dugaan hasil penerapan struktur tegakan

rh

x

= nilai harapan hasil rata-rata hitung pada petak coba Kriteria pengujian yang digunakan adalah :

≤ , terima H0

> , tolak H0

4.3.2.2 Pola Sebaran Spasial

Untuk mengetahui pola sebaran spasial jenis torem digunakan Indeks Morishita (Iδ) (Morisita 1962 ; Krebs 1989) dengan persamaan sebagai berikut :

(

)

2 2 x x I n x x δ     =    

Dimana :

Iδ = Indeks Morisita

n = Jumlah total sampel

x = Jumlah individu pada sampel ke-i

Untuk menentukan apakah pola sebaran spasial tersebut bersifat acak, mengelompok, atau seragam digunakan Standarisasi Indeks Morishita = IP (Smith – Gill 1975; Krebs 1989) sebagai berikut :

a. Menentukan Indeks Seragam (Uniform Indeks = Mu) dan Indeks Kelompok (Clumped Indeks = Mc) dengan persamaan sebagai berikut :

(

)

2 .975 i i n x Mu x 1

χ − + = −

(

)

2 .025 i i n x Mc x 1

χ − + = −

2 hit χ 2 (n 1)

α

χ

2 (n 1)

α


(49)

32

Dimana : 2 .975;0.025

χ = Chi Square dua arah dengan selang kepercayaan 95% n = Jumlah plot/kuadrat

xi = Jumlah individu dalam plot/kuadrat

b. Menentukan IP dengan selang kepercayaan 95% (limit + 0,5 sampai – 0,5), dengan ketentuan :

Acak = IP : - 0,5 sampai + 0,5 Kelompok = IP : + 0,5 sampai 1 Seragam = IP : - 0,5 sampai -1


(50)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Komposisi dan Struktur Hutan 5.1.1 Komposisi Vegetasi

Penentuan ukuran luas petak coba minimum dilakukan dengan mempertimbangkan keterwakilan keadaan habitat suatu komunitas. Ukuran luas petak coba pada areal penelitian diperoleh melalui perhitungan penambahan jumlah sebaran jenis pohon terhadap luas petak coba (Lampiran 2). Dari penambahan jumlah jenis pohon terhadap luas petak coba diperoleh ukuran luas petak coba sebesar 0,64 ha (80 m x 80 m) dengan penambahan jumlah jenis adalah 4,8%. Oleh karena ukuran luas minimum petak coba yang didapatkan lebih kecil dari 1 ha (100 m x 100 m), maka untuk keperluan pengambilan data model struktur tegakan dan sebaran spasial jenis pohon torem (M. kanosiensis), ukuran luas petak contoh yang digunakan adalah 1 ha (100 m x 100 m).

Komposisi dan struktur hutan menggambarkan variasi jenis tumbuhan yang ada dalam suatu komunitas dan dapat dijadikan sebagai ciri dari suatu komunitas. Melalui analisis komunitas tumbuhan dapat diketahui komposisi dan struktur vegetasi suatu komunitas. Hasil analisis vegetasi pada berbagai tingkat kerapatan vegetasi di areal penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Secara lengkap hasil analisis vegetasi pada areal dengan kerapatan vegetasi tinggi, kerapatan vegetasi sedang dan kerapatan vegetasi rendah untuk semua jenis pohon yang berdiameter

≥ 10 cm disajikan pada Lampiran 4, 5 dan 6.

Tabel 1 Analisis vegetasi semua jenis pohon yang berdiameter ≥ 10 cm pada berbagai tingkat kerapatan.

Tingkat Kerapatan Vegetasi

Jumlah Jenis

Kerapatan

pohon/ha Jenis Dominan

INP (%) Tinggi 25 307 - Canarium vulgare 37,31

- Gymnacranthera paniculata 32,40

- Drypetes macrophylla 29,43 Sedang 23 186 - Diospyros lolin 81,32

- Pterocarpus indicus 28,45

- Xylopiasp 27,83

Rendah 22 112 - Manilkara kanosiensis 58,56

- D. lolin 34,45


(51)

34

Tabel 1 menjelaskan adanya variasi jumlah jenis dan kerapatan pohon per hektar untuk setiap tingkat kerapatan vegetasi. Jumlah jenis mulai dari yang terendah sampai tertinggi adalah 22 sampai 25 jenis dengan kerapatan pohon adalah 112 pohon/ha sampai 307 pohon/ha. Apabila dilihat dari persentase indeks nilai penting (INP) maka dapat dikatakan bahwa pada areal dengan tingkat kerapatan vegetasi tinggi di dominasi oleh jenis Canarium vulgare (37,31%), areal dengan tingkat kerapatan vegetasi sedang di dominasi oleh jenis D. lolin

(81,32%) dan areal dengan tingkat kerapatan vegetasi rendah di dominasi oleh jenis M. kanosiensis (58,56%). Indriyanto (2006) mengatakan bahwa INP merupakan parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi jenis dalam suatu komunitas. Jenis-jenis dalam suatu komunitas tumbuhan yang memiliki INP yang tinggi tentu saja merupakan jenis yang paling dominan.

Adanya variasi jenis dan struktur dalam suatu komunitas dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuhnya, yaitu semua keadaan yang secara efektif berpengaruh terhadap pertumbuhan masyarakat tumbuhan dalam suatu komunitas. Informasi mengenai lingkungan tempat tumbuh pada berbagai tingkat kerapatan vegetasi di areal penelitian tertera pada Tabel 2.

Tabel 2 Informasi fisik areal penelitian menurut tingkat kerapatan vegetasi.

Tingkat Kerapatan Vegetasi

Tinggi Sedang Rendah Posisi (LS/BT) 07

0

47’39,2”/ 131011’28,3”

07049’48,9”/ 131014’25,8”

07051’56,8’’/ 131016’24,3” Ketinggian (m dpl) 57 52 64

Tipe Iklim C C C

Jenis Tanah Mediteran Mediteran Mediteran Kondisi Hutan Primer Sekunder Bekas Tebangan

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa secara keseluruhan tipe iklim dan tanah pada ketiga tingkat kerapatan vegetasi adalah sama yaitu tipe iklim C dan jenis tanah mediteran dengan ketinggian 52 m dpl sampai 64 m dpl. Apabila dilihat dari kondisi hutan maka pada areal dengan tingkat kerapatan vegetasi tinggi merupakan hutan primer, yaitu hutan yang belum mendapatkan gangguan manusia, atau telah sedikit mengalami gangguan yang dampak kerusakannya tidak cukup berarti, sehingga hutan tersebut secara alami, mampu kembali kepada


(1)

Dari Tabel 7 diperoleh nilai χ2hit = 1,77 (χ2(0,05;16) = 26,30), sehingga tidak

terdapat cukup bukti untuk mengatakan bahwa cara struktur tegakan dan rata-rata hitung berbeda pada taraf nyata 5%. Dengan demikian, maka model sebaran lognormal cukup sesuai digunakan untuk menduga luas bidang dasar jenis torem di lokasi penelitian.

5.3.3 Volume Tegakan

Berdasarkan formula perhitungan tabel volume lokal dari data penelitian, diperoleh persamaan volume untuk jenis torem V = 0,004D2,23. Dari persamaan tersebut kemudian dihitung volume tegakan per hektar menurut perhitungan dengan memakai struktur tegakan dan rata-rata hitung seperti tertera pada Tabel 8. Tabel 8 Volume tegakan jenis pohon torem dihitung dengan memakai struktur

tegakan dan dengan rata-rata hitung

Kelas Diameter (cm) Volume Tegakan (m 3

/ha)

Beda (%)

St Rh

10 – 20 0,18 0,21 14,28

20 – 30 0,93 0,80 16,25

30 – 40 1,93 0,28 589,29

40 – 50 2,77 4,55 39,12

50 – 60 3,30 4,20 21,43

60 – 70 3,54 5,63 37,12

70 – 80 3,56 8,69 59,03

80 – 90 3,43 0,00 -

90 – 100 3,22 0,00 -

100 – 110 2,96 0,00 -

110 – 120 2,69 5,81 53,70

120 – 130 3,24 0,00 -

130 – 140 2,86 0,00 -

140 – 150 2,54 0,00 -

150 – 160 2,22 0,00 -

160 – 170 1,97 11,75 83,23

170 – 180 1,70 0,00 -

Total 43,03 41,92 2,65

Sumber : Data Primer (Diolah dengan MS. Excel 2007)

Keterangan : St = struktur tegakan, Rh = rata-rata hitung, B = perbedaan antara struktur tegakan dan rata-rata hitung.

Tabel 8 menunjukkan bahwa perbedaan keseluruhan volume tegakan per hektar untuk kelompok jenis torem sebesar 2,65% dengan volume tegakan per hektar yang diperoleh dengan struktur tegakan sebesar 43,03 m3/ha dan cara rata-rata hitung sebesar 41,92 m3/ha. Perbedaan volume tegakan per hektar cukup besar terlihat pada kelas diameter 30-40 cm yaitu sebesar 589,29% dengan


(2)

untuk cara rata-rata hitung. Perbedaan terkecil berada pada kelas diameter 10-20 cm yaitu sebesar 14,28% dengan volume tegakan per hektar yang diperoleh dengan memakai cara struktur tegakan dan rata-rata hitung berturut-turut adalah 0,18 m3/ha dan 0,21 m3/ha.

Hasil uji kesesuaian model berdasarkan data pada Tabel 5 diperoleh nilai nilai χ2hit = 24,36 (χ2(0,05;16) = 26,30), sehingga dapat dikatakan bahwa tidak

terdapat cukup bukti adanya perbedaan penggunaan cara struktur tegakan dan rata-rata hitung pada taraf nyata 5%. Oleh karena itu, maka model sebaran lognormal dapat dikatakan cukup sesuai digunakan untuk menduga volume tegakan per hektar jenis torem di lokasi penelitian.

Perlu dijelaskan juga bahwa walaupun pendugaan dimensi kerapatan pohon per hektar (N/ha) untuk jenis torem secara keseluruhan dengan memakai struktur tegakan lebih sedikit jika dibandingkan dengan memakai cara rata-rata hitung, namun untuk dimensi tegakan lainnya yakni luas bidang dasar tegakan (m2/ha) dan volume tegakan (m3/ha) memberikan hasil yang lebih besar jika dibandingkan dengan memakai cara rata-rata hitung.

Dari Tabel 6 sampai Tabel 8 terlihat bahwa adanya konsistensi perbedaan yang cukup besar pada kelas diameter 30-40 cm baik untuk kerapatan pohon, luas bidang dasar tegakan maupun volume tegakan per hektar. Hal ini disebabkan oleh penggunaan jumlah pohon per hektarnya yang dipakai sebagai acuan pendugaan dimensi tegakan dalam penelitian ini.

5.4 Pola Sebaran Spasial

Penyebaran pohon torem di komunitas hutan kerapatan tinggi, sedang dan rendah di dalam petak contoh berukuran 100 m x 100 m (1 ha) disajikan pada Gambar 17, 18 dan 19.


(3)

Gambar 17 Penyebaran pohon torem di komunitas hutan kerapatan tinggi di dalam petak contoh berukurran 100 m x 100 m.

Gambar 18 Penyebaran pohon torem di komunitas hutan kerapatan sedang di dalam petak contoh berukuran 100 m x 100 m.


(4)

Gambar 19 Penyebaran pohon torem di komunitas hutan kerapatan rendah di dalam petak contoh berukuran 100 m x 100 m.

Untuk mengetahui pola penyebaran pohon torem pada ketiga kondisi hutan tersebut digunakan indeks Morisita (Iδ)dan standarisasi indeks Morisita (IP) yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Pola sebaran jenis pohon torem pada berbagai tingkat kerapatan vegetasi Tingkat Kerapatan

Tinggi Sedang Rendah

Jumlah pohon 11 7 13

Indeks Morisita (Iδ) 0,45 0,00 0,48

Standarisasi indeks Morisita (IP) -0,24 -0,26 -0,26

Pola sebaran Acak Acak Acak

Sumber : Data Primer (Diolah dengan MS. Excel 2007)

Tabel 9 menunjukkan bahwa pola penyebaran pohon torem pada ketiga kondisi hutan di lokasi penelitian adalah acak dengan besarnya nilai standarisasi indeks Morisita adalah -0,24 sampai -0,26 (-0,5 < IP < 0,5). Pola acak dalam suatu organisme populasi, menurut Ludwig dan Reynolds (1988) diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang homogen dan atau pola tingkah laku yang tidak selektif. Hal ini dipertegas oleh Indriyanto (2006) yang menyatakan bahwa sebaran acak terjadi apabila kondisi lingkungan seragam, tidak ada kompetisi yang kuat antar


(5)

individu anggota populasi, dan masing-masing individu tidak memiliki kecenderungan untuk memisahkan diri.

Keadaan seperti ini memang ditemukan di ketiga lokasi penelitian dimana kondisi lingkungan dalam hal ini tanah dan iklim yang merupakan faktor penting dalam pertumbuhan jenis pohon torem adalah seragam. Jenis tanah yang menyebar di lokasi penelitian adalah mediteran (haplustalfs). Jenis tanah ini tersebar pada daerah berombak dan berkembang dari batuan induk napal kapur, Tanah ini telah memperlihatkan perkembangan profil yang baik dengan susunan horison A-B-C, berdrainase baik dan solumnya dalam (65 - 100 cm). Warna tanah ini adalah cokelat kemerahan, bertekstur halus sampai agak halus dan nilai pH berkisar antara 6,4 - 8,0 dengan kesuburan tanah rendah sampai sedang (Faperta 1995).

Iklim yang ada pada lokasi penelitian adalah iklim C dengan curah hujan antara 1000-2000 mm per tahun, suhu rata-rata 27,40C dengan suhu minimum

absolut rata-rata 21,60C dan suhu maksimum absolut rata-rata 32,80C (BPS 2008). Dalam hal ini, Rukmana (1992); Sarbunan (2001) yang diacu dalam

Torimtubun (2006) mengatakan bahwa kondisi tersebut diatas mendukung pertumbuhan jenis torem dimana kebutuhan jenis pohon torem akan curah hujan sebesar 2000-3000 mm per tahun dan suhu berkisar antara 220C – 320C.

Selain jenis tanah dan iklim, angin diduga merupakan faktor penyebab terjadi pola acak suatu individu, oleh karena berperan dalam proses penyebaran biji. Pohon torem merupakan salah satu jenis di areal penelitian yang menempati strata paling atas yakni strata A dengan ketinggian pohon mencapai 30 meter. Ini mengindikasikan bahwa saat pohon ini berbuah, biji yang jatuh akan dengan mudah terbawa oleh angin karena tidak ada pohon lain yang menghalangi. Hal ini sesuai dengan temuan di lapangan dimana tidak ditemukan adanya anakan pohon torem yang berdekatan dengan pohon induk. Menurut Hutchinson (1953) yang diacu dalam Ludwig dan Reynolds (1988) bahwa angin adalah faktor vektorial yang merupakan hasil dari pengaruh kekuatan lingkungan luar yang mungkin menyebabkan pembentukan pola suatu organisme.

Pola tidak selektif dari suatu individu yang menyebabkan terjadinya pola sebaran acak berhubungan dengan ketersediaan hara (makanan) dan ruang


(6)

suatu organisme di alam, karena kedua faktor ini diperlukan oleh organisme untuk hidup dan berinteraksi. Terjadinya pola sebaran acak pada pohon torem di lokasi penelitian diduga disebabkan ketersediaan hara dan ruang yang cukup dan memungkinkan jenis ini untuk bertumbuh dengan baik, sehingga kecenderungan jenis ini untuk berkompetisi dalam mendapatkan hara dan ruang sangat rendah.

Bentuk dan ukuran petak contoh juga diduga mempengaruhi pola penyebaran spasial individu dalam suatu populasi. Krebs (1989) mengatakan bahwa pola spasial tergantung pada ukuran dan bentuk kuadrat dari unit sampling yang digunakan. Lebih jauh dikemukakan bahwa untuk mengatasi hal tersebut maka sampel dalam populasi ditentukan dengan ukuran kuadrat yang bervariasi dan secara empiris dapat dilihat bagaimana indeks penyebaran dalam petak contoh akan berubah sesuai luasan yang digunakan. Dikatakan pula bahwa jika populasi menyebar secara acak seperti yang dilaporkan dalam penelitian ini, maka tidak ada perubahan dalam ukuran dan bentuk petak contoh yang digunakan, sehingga keadaan ini memang demikian dan merupakan kondisi yang cukup ideal ditemukan di alam.