HbA1C sebagai parameter kontrol DM

Pada sebuah analisis set data dari Diabetes Control and Complication Trial DCCT, dilaporkan hubungan lebih baik terhadap HbA1C didapatkan dari konsentrasi glukosa setelah makan siang dan rata-rata kadar glukosa per hari Rohlfing et al., 2002. Studi lain lagi melaporkan apabila pasien dibagi menjadi 5 kelompok menurut kuintil HbA1C, glukosa postprandial memberikan kontribusi terbesar 70 pada kuintil HbA1C yang lebih rendah pada pasien dengan kontrol diabetes baik hingga sedang. Sebaliknya, glukosa puasa tampaknya menjadi kontributor utama kadar glukosa sepanjang hari pada pasien diabetes tidak terkontrol HbA1C 8,4 Monnier et al., 2003 Untuk pasien dengan kadar HbA1C antara 7,3 dan 8,4, kontribusi glukosa puasa dan postprandial adalah sama Rohlfing et al., 2002. Kadar HbA1C memberikan informasi yang berguna pada kontribusi postprandial hiperglikemi dan basal hiperglikemi pada pasien DMT2. Karena glukosa postprandial adalah kontributor utama pada pasien dengan kadar HbA1C 6,5-7,5, maka logis untuk menurunkan glukosa postprandial mencapai kadar HbA1C di bawah 6,5. Sebaliknya, pada pasien dengan kadar HbA1C di atas 7,5, hiperglikemi basal menjadi yang utama, sehingga terapi perbaikan kontrol glikemik sebaiknya dimulai dengan obat yang bekerja menurunkan hiperglikemia basal dan interprandial. Saat ini, ada dua nilai HbA1C yang digunakan untuk menilai diabetes yang terkontrol yaitu: 7 oleh ADA dan 6,5 oleh AACE dan IDF Monnier Colette, 2009. Penelitian ADVANCE menunjukkan sedikit keuntungan bertahap pada mikrovaskular outcome dengan HbA1C mendekati normal; untuk pasien tanpa risiko hipoglikemi atau efek samping lain, kadar HbA1C yang diharapkan adalah 7 Monnier Colette, 2009. Sebaliknya penelitian ACCORD menunjukkan bahwa target HbA1C yang tidak terlampau ketat dari 7 lebih dianjurkan pada pasien yang mendapat terapi obat hipoglikemik seperti sulfonilurea dan atau insulin yang dapat mengakibatkan hipoglikemi. Rekomendasi lebih fleksibel sebaiknya diaplikasikan kepada pasien dengan harapan hidup rendah atau dengan komplikasi mikro dan makrovaskuler yang sudah lanjut Monnier Colette, 2009. Studi yang dilakukan oleh McCance et al. tahun 1994 dalam menilai kompilkasi mikrovaskular yakni kejadian retinopati pada pasien diabetes mendapatkan cut off point optimum HbA1C adalah ≥7 dengan nilai sensitivitas 78 dan spesifisitas 85. Cut off point glukosa puasa adalah ≥7,2 mmolL 126 mgdL dengan nilai sensitivitas 81 dan spesifisitas 80, sedangkan cut off point optimum dari glukosa 2JPP adalah ≥13.0 mmolL 234 mgdL dengan sensitivitas 88 dan spesifisitas 81 WHO, 2011.

2.5.3 Kelebihan dan kekurangan pemeriksaan HbA1C

Tidak ada tes diagnostik klinis yang sempurna. Untuk penggunaan klinis, tes yang ideal adalah akurat, spesifik, terstandardisasi, mudah dilakukan dan tidak mahal. Keuntungan dalam melakukan pemeriksaan HbA1C dalam mendiagosis DM antara lain tidak diperlukan puasa sehingga nyaman untuk pasien, hasil yang stabil untuk memantau kondisi hiperglikemik selama tiga bulan yang lalu tanpa dipengaruhi kondisi stres dan sakit. Selain itu, HbA1C dapat digunakan sebagai tes saring bagi seseorang dengan risiko tinggi terkena DM Gillett, 2009; Kilpatrick et al., 2009; WHO, 2011. Pada beberapa keadaan, HbA1C tidak dapat mencerminkan kontrol glukosa darah. Hal ini penting diketahui karena dapat menyebabkan under- atau over treatment. Meskipun saat ini HbA1C secara luas telah digunakan sebagai penanda kontrol glikemik, namun HbA1C tidak mencerminkan perubahan glikemia dalam periode yang relatif singkat, dan akurasinya dikatakan menurun jika disertai dengan abnormalitas metabolisme hemoglobin seperti anemia dan pada pasien penyakit ginjal kronis PGK tahap akhir atau end stage ranal disease ESRD Peacock et al., 2008; Nitin, 2010; Son et al., 2013; WHO, 2011.

2.6 Albumin Terglikasi Glycated Albumin GA

2.6.1 Metabolisme albumin

Dalam tubuh manusia dewasa albumin disintesa oleh hati sekitar 100-200 mikrogram per gram jaringan hati per hari. Albumin didistribusikan secara vaskuler dalam plasma dan secara ekstravaskuler dalam kulit, otot, dan beberapa jaringan lain. Sintesa albumin dalam sel hati dilakukan dalam dua tempat, pertama pada polisom bebas dimana dibentuk albumin untuk keperluan intravaskuler. Kedua, poliribosom yang berkaitan dengan retikulum endoplasma dimana dibentuk albumin untuk didistribusikan ke seluruh tubuh Kim Lee, 2012. Sintesa albumin dipengaruhi beberapa faktor, yaitu nutrisi terutama asam amino, hormon dan adanya suatu penyakit. Asam amino yang dapat merangsang terjadinya sintesa albumin adalah triptofan, arginin, ornitin, lisin, fenilalanin, treonin dan prolin. Sedangkan hormon yang dapat merangsang sintesa albumin adalah tiroid, hormon pertumbuhan, insulin, adrenokortikotropik, testosteron, dan korteks adrenal. Adapun yang dapat menghambat sintesa albumin adalah alkohol serta adanya suatu penyakit yang mengakibatkan gangguan sintesa albumin seperti