Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Kulit Akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) Terhadap Mencit (Mus musculus)

(1)

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK ETANOL KULIT

AKAR GINSENG KUNING (Rennellia elliptica Korth.)

TERHADAP MENCIT (Mus musculus)

SKRIPSI

FARICHAH MANSUROH

NIM. 109102000050

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2013


(2)

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK ETANOL KULIT

AKAR GINSENG KUNING (Rennellia elliptica Korth.)

TERHADAP MENCIT (Mus musculus)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

FARICHAH MANSUROH

NIM. 109102000050

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2013


(3)

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Farichah Mansuroh

NIM : 109102000050

Tanda tangan :


(4)

iv

Nama : Farichah Mansuroh

NIM : 109102000050

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Kulit Akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) Terhadap Mencit (Mus musculus)

Menyetujui :

Pembimbing I

Dr. Andria Agusta NIP. 196908161994031003

Pembimbing II

Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt.

Mengetahui,

Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(5)

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Farichah Mansuroh

NIM : 109102000050

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Kulit Akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) Terhadap Mencit (Mus musculus)

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. Andria Agusta ( )

Pembimbing II : Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. ( )

Penguji I : Yardi, Ph.D., Apt. ( )

Penguji II : Puteri Amelia, M.Farm., Apt. ( )

Ditetapkan di : Jakarta


(6)

vi ABSTRAK

Nama : Farichah Mansuroh

Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Kulit Akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) Terhadap Mencit (Mus musculus)

Akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) secara empiris telah digunakan sebagai zat afrodisiak, obat pegal linu dan tonik setelah melahirkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan nilai LD50 dan tingkat keamanan dari

ekstrak etanol akar tersebut dengan uji toksisitas akut terhadap mencit betina menggunakan metode dari OECD 425 (Up and Down Procedure), serta pengaruhnya terhadap histopatologi organ hati, ginjal, dan limpa mencit. Pada penelitian ini mencit diberikan ekstrak secara oral dengan dosis tunggal 2000 mg/kgbb. Mencit diamati secara individu meliputi, tanda-tanda toksisitas dan berat badan selama 14 hari. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat mencit yang mati ataupun mengalami tanda-tanda toksisitas, dan tidak terjadi perubahan yang bermakna pada bobot mencit pada dosis 2000 mg/kgbb (p≥0,05). Pada pengamatan histopatologi, tidak terdapat kerusakan pada organ hati dan limpa mencit akibat pemerian ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.), tetapi dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan ginjal yaitu mengkerutnya glomerulus (atrofi).


(7)

ABSTRACT

Name : Farichah Mansuroh

Program Study : Pharmacy

Tittle : Acute Toxicity Study of Ethanolic Extract of Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) roots peel to Mice (Mus musculus)

Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) roots extract was used empirically as an aphrodisiac, as for body aches and as a post natal tonic. The present study was aimed to determine LD50, to establish the safety of ethanolic extract of Ginseng

Kuning (Rennellia elliptica Korth.) roots peel by acute oral toxicity study in female mices as per OECD guideline 425 (Up and Down Procedure) and to know the histopathological effect on liver, kidney, and spleen of mice. Mices were administered the extracts per-oral in single dose of 2000 mg/kg of body weight. All the animals were individually studied for mortality, wellness parameters and body weight for 14 days. No mortality and no significant changes were observed in body weight (p≥0,05) and wellness parameters at 2000 mg/kg body weight doses, which reveal the safety of these extracts in the doses up to 2000 mg/kg body weight. Ethanolic extract of Ginseng Kuning roots peel did not caused histopathological effect on liver and spleen of mices. But, it caused shrinkage of glomerulus (atrophy) on kidney’s tissue.


(8)

viii

Alhamdulillahi Rabbi al-‘Aalamiin, puji syukur kehadirat Allah, Tuhan semesta alam atas karunia, hidayah, dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Kulit Akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) Terhadap Mencit (Mus musculus)”. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kami menyadari bahwa selama masa perkuliahan sampai penyelesaian penulisan skripsi ini tidaklah mudah, sehingga untuk menyelesaikan semua ini tidak terlepas dari doa, bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Dr. Andria Agusta selaku Pembimbing I atas izin yang diberikan pada penulis untuk melakukan penelitian di Lab. Fitokimia LIPI, atas nasehat, bimbingan, dan arahan selama penelitian dan penulisan skripsi. 2. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. selaku Pembimbing II sekaligus

Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, atas nasehat, bimbingan, dan arahan yang telah diberikan pada penulis.

3. Ibu Dr. Ir. Praptiwi, M.Agr., Teh Dewi Wulansari, M.Sc., Apt., Ibu Dra. Yuliasri Jamal, M.Sc., Mas Toni, Mbak Dewi, Pak Lukman, Kang Asep yang telah membantu penulis selama penelitian di Botani LIPI.

4. Ibu dr. Dyah Ayu Woro S. yang telah membantu penulis dalam membaca preparat histopatologi.

5. Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan “Beasiswa Santri Berprestasi” selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Bapak Prof. Dr. dr. (hc). MK. Tadjudin, Sp. And., selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

8. Bapak/Ibu Jajaran Dosen dan Staf Akademika Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan arahan kepada penulis selama masa perkuliahan.

9. Ibunda tercinta Ny. Nasriyah (Almh.) yang penulis yakin doanya masih mengalir untuk penulis, serta Ayahanda Kasman Sutikno atas kesabaran, doa yang tak pernah putus, dukungan, nasehat, dan kasih sayangnya, yang mengajarkan penulis untuk selalu berada dalam jalan-Nya

10.Mbak, mas, mas ipar dan mbak ipar (mbak Titin dan mas As, mbak Ana dan mas Khadafi, mbak Sofi dan mas Bin, mas Arif dan mbak Lia). Terimakasih atas doa dan support panjenengan semua, atas apa yang telah diberikan kepada penulis. Kehadiran para jagoan kecil kalian memberikan keceriaan dan semangat pada penulis.

11.Teman-teman penulis : Dyah, ning Indah, Leli, Nuyung, Neneng, Ema, Fina, Ainul, Nurul, Fery, Zaky, Umam, Fahmi, Farid, Seil, ka Alvin, ning Zuwi, Udin, sodara Fitri, Hanik, CSS MoRA 2009, Wafa, teman seperjuangan di LIPI (Dimas dan Lina), dan lainnya.

12.Teman-teman EDTA-C beserta keluarga besar Farmasi 09 atas semangat dan kebersamaan selama perkuliahan.

13.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu.

Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah swt. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis nantikan. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan yang berharga, bagi kepentingan keilmuan maupun aplikasi di dunia kesehatan.

Jakarta, 2 Oktober 2013 Penulis


(10)

x

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Farichah Mansuroh

NIM : 109102000050

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul :

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK ETANOL KULIT AKAR GINSENG KUNING (Rennellia elliptica Korth.) TERHADAP MENCIT (Mus musculus)

Untuk ditampilkan di Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 2 Oktober 2013

Yang menyatakan,


(11)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1. PENDAHULUAN . ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4Manfaat penelitian ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) ... 4

2.2 Hewan Percobaan... 5

2.3 Metode Ekstraksi ... 6

2.3.1 Cara Dingin ... 6

2.3.2 Cara Panas ... 7

2.4 Toksisitas ... 8

2.5 Uji Toksisitas ... 9

2.6 Penentuan LD50... 11

2.6.1 Penentuan LD50 berdasarkan OECD ... 12

2.6 Efek Toksik Teerhadap Organ Sasaran ... 16

2.6.1 Hati ... 16

2.6.2 Ginjal ... 16

2.6.3 Limpa ... 17

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 18

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 18

3.2.1 Alat ... 18


(12)

xii

3.3.1 Uji Kadar Air Simplisia ... 19

3.3.2 Ekstraksi Kulit Akar Ginseng Kuning ... 19

3.3.3 Hewan Percobaan ... 20

3.3.4 Uji Toksisitas Akut ... 20

3.3.5 Pengamatan Histopatologi Organ Mencit ... 21

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN . ... 24

4.1 Hasil penelitian ... 24

4.1.1 Kadar Air Simplisia dan Ekstrak Etanol Kulit Akar Ginseng Kuning ... 24

4.1.2 Pengamatan Tanda-tanda Toksisitas ... 24

4.1.3 Hasil Bobot Mencit ... 24

4.1.4 Hasil Uji Toksisitas ... 25

4.1.5 Hasil Pengamatan Organ Secara Makroskopis ... 25

4.1.6 Hasil Pengamatan Histopatologi ... 25

4.2Pembahasan ... 27

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

5.1 Kesimpulan ... 33

5.2 Saran ... 33


(13)

Tabel Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi toksisitas akut ... 10

Tabel 2.2 Perbandingan metode yang berbeda dalam penentuan nilai LD50 ... 11

Tabel 2.3 Prinsip penentuan LD50 pada tiga metode ... 15

Tabel 3.1 Perlakuan terhadap mencit ... 21

Tabel 4.1 Bobot Mencit... 24


(14)

xiv

Halaman Gambar 2.1 Akar, buah, dan daun Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) 4 Gambar 7.1 Nilai LD50 berdasar AOT 425 Stat Pgm... 44


(15)

Lampiran 1. Alur Kerja. ... 38

Lampiran 2. Penghitungan Kadar Air Simplisia, Rendemen Ekstrak, dan Pembuatan Larutan Uji ... 40

Lampiran 3. Hasil Pengamatan Tanda-tanda Toksisitas ... 42

Lampiran 4. Analisa Data Bobot Mencit ... 44

Lampiran 5. Hasil Uji Toksisitas Akut ... 47

Lampiran 6. Histopatologi Organ Hati... 48

Lampiran 7. Histopatologi Organ Ginjal ... 51

Lampiran 8. Histopatologi Organ Limpa ... 54


(16)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penggunaan obat tradisional memiliki sejarah yang sangat panjang. Hal ini merupakan suatu kekayaan pengetahuan, keterampilan dan praktik berdasarkan keyakinan dan pengalaman adat yang setiap daerah memiliki budaya yang berbeda. Praktik pengobatan tradisional sangat bervariasi dari satu negara ke negara, dan dari daerah ke daerah, karena hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti budaya, sejarah, sikap personal dan filsafat. Menurut WHO, 80% penduduk dunia masih bergantung pada pengobatan tradisional. Sejarah panjang menunjukkan bahwa terdapat banyak praktik pengobatan tradisional berdasarkan pengalaman, kemudian diteruskan dari generasi ke generasi, telah menunjukkan keamanan dan kemanjuran obat tradisional. Namun, diperlukan penelitian ilmiah untuk memberikan bukti keamanan dan kemanjuran dari obat tradisional tersebut (WHO, 2000).

Indonesia merupakan negara tropis dengan sumber tanaman obat yang berlimpah dan juga merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil, bahkan dapat menjadi posisi pertama jika keanekaragaman hayati laut juga dipertimbangkan. Sekitar 80% sumber tanaman obat di dunia terdapat di hutan tropis Indonesia (Handa, et al., 2006). Salah satu tanaman yang terdapat di hutan di Indonesia adalah Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.), tanaman ini merupakan tanaman dari genus Rennellia dan termasuk dalam Famili Rubiaceae. Tanaman tersebut tumbuh di daerah Sumatera dan Kalimantan (Suratman, 2008). Akar dari tanaman ini telah dimanfaatkan secara tradisional untuk mengobati nyeri badan, tonik setelah melahirkan, serta digunakan sebagai zat afrodisiak. Secara ilmiah, telah dilaporkan bahwa akar tumbuhan tersebut mengandung antrakuinon yang berfungsi sebagai antiplasmodial dengan nilai IC50 4,04 µg/mL (Osman, et al., 2010) dan juga


(17)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hakekatnya maksud obat tradisional ditelitikembangkan adalah untuk dimanfaatkan sebagai obat untuk manusia, karenanya uji toksisitas obat tradisional perlu dilakukan untuk menilai keamanan obat tradisional yang di uji. Uji toksisitas terdiri atas 2 jenis, yaitu: uji toksisitas umum (akut, subakut/subkronis, kronis) dan uji toksisitas khusus (teratogenik, mutagenic, dan karsinogenik) (Derkes RI, 2000).

Dalam rangka pengembangan pemanfaatan akar Ginseng Kuning sebagai bahan obat, perlu dilakukan penelitian mengenai efikasi dan keamanannya. Uji toksisitas ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian studi terhadap akar Ginseng Kuning yang juga meliputi evaluasi senyawa bioaktif dan studi preklinik sebagai afrodisiak guna mendukung penggunaan bahan tumbuhan ini sebagai bahan afrodisiak. Uji toksisitas bahan obat pada tahap preklinik meliputi uji toksisitas umum dengan dosis tunggal (akut) dan dosis berulang. Saat ini belum terdapat laporan tentang tingkat keamanan dalam penggunaan akar tumbuhan Ginseng Kuning. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dipelajari derajat efisiensi, keamanan dan efek-efek yang ditimbulkan pada penggunaan ekstrak akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) sebagai obat tradisional seperti yang telah digunakan, dengan menentukan dosis toksisitas akut (LD50) serta

melihat histopatologi yang terjadi pada organ hati, ginjal, dan limpa pada mencit.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pemberian dosis tunggal ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) memiliki efek toksik terhadap mencit?

2. Berapa nilai LD50 ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning (Rennellia

elliptica Korth.) yang diberikan per oral pada mencit?

3. Bagaimana pengaruh pemberian dosis tunggal ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) terhadap histopatologi organ hati, ginjal, dan limpa mencit?


(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1.3 Tujuan Penelitian

Menentukan toksisitas akut ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) yang diberikan per oral pada mencit dengan menentukan LD50 serta pengaruhnya terhadap histopatologi organ hati, ginjal, dan

limpa mencit.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penelitian lebih lanjut mengenai toksisitas akut pemberian ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) terhadap mencit dan memperkirakan resiko penggunaan ekstrak kulit akar Ginseng Kuning pada manusia, sehingga nantinya penggunaan ekstrak tersebut dapat dilakukan secara aman. Selain itu juga sebagai landasan bagi pengembangan lebih lanjut kulit akar Ginseng Kuning sebagai bahan obat yang dapat memperkaya khasanah bahan obat alam Indonesia.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.)

Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) merupakan tumbuhan dari famili Rubiaceae yang tumbuh di sepanjang tepi sungai dan hutan di dataran rendah, pada ketinggian 40-650 m di atas permukaan laut. Tumbuhan ini tersebar di bagian selatan Myanmar sampai Malaysia Barat, serta daerah Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Melayu. Di Sumatera, spesies ini terdapat di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Nama daerah dari tumbuhan ini dikenal dengan nama Jarum-Jarum Betina, Kayu Kuni, Kayu Kemik (Minangkabau). Di Malaysia dikenal dengan sebutan Segemuk atau Mengkudu Rimba, dan juga disebut dengan sebutan Ginseng Kuning karena berupa akar dengan warna kuning (Suratman, 2008; Osman, et al., 2010; Ismail, et al., 2012).

Gambar 2.1 Akar, buah, dan daun Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.)

(Ismail et al, 2012)

Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) memiliki bentuk pohon kecil atau semak belukar dengan tinggi 1,5-2 m, dengan batang lignosus. Daun berbentuk bulat panjang dengan panjang 8-23 cm, berwarna hijau tua atau hijau pucat, dengan tangkai yang panjang. Bunga berwarna putih atau ungu gelap dan beraroma sangat harum. Buah berbentuk bulat dan berwarna hijau (Suratman, 2008). Taksonomi dari Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) yaitu :


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae

Genus : Rennellia

Spesies : Rennellia elliptica Korth.

(Sumber:NCBI,http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/Browser)

Ekstrak akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) secara tradisional telah digunakan untuk berbagai tujuan, diantaranya sebagai zat afrodisiak, untuk mengobati nyeri badan dan untuk mengatasi sakit setelah melahirkan. Akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) mengandung antrakuinon yang berfungsi sebagai antiplasmodial dengan nilai IC50 4,04 µg/mL

(Osman, et al., 2010) dan juga sebagai antioksidan (Ahmad, et al., 2010). Senyawa yang terkandung dalam akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) adalah 1,2-dimetoksi-6-metil-9,10-antrakuinon, rubiadin, 1-hidroksi-2-metoksi-6-metil-9,10-antrakuinon, nordamnacanthal, damnacanthal, 3-formil-2-hidroksi-9,10-antrakuinon, lucidin-ω-metil eter, 3-hiodroksi-2-metil-9,10-antrakuinon, 2-hidroksi-3-metoksi-6-metil-9,10-3-hiodroksi-2-metil-9,10-antrakuinon, rubiadin-l-metil eter, 3-hidroksi-2-hidroksimetil-9,10-antrakuinon (Ismail, et al., 2012).

2.2 Hewan Percobaan

Pada dasarnya tidak ada satu hewan pun yang sempurna untuk uji toksisitas akut yang nantinya akan digunakan oleh manusia. Walaupun tidak ada aturan tetap yang mengatur pemilihan spesies hewan coba, yang lazim digunakan pada uji toksisitas akut adalah tikus, mencit, marmut, kelinci, babi, anjing, monyet. Tikus dan mencit merupakan hewan yang paling umum digunakan dalam penelitian dan pengujian. Sekitar 90% dari semua mamalia yang digunakan dalam


(21)

penelitian ilmiah, tikus dan mencit merupakan spesies hewan yang hampir 14 kali lebih banyak digunakan dibanding dengan spesies lainnya (Porter, 2000).

Pada awalnya, pertimbangan dalam memilih hewan coba hanya berdasarkan avaibilitas, harga, dan kemudahan dalam perawatan. Namun seiring perkembangan zaman tipe metabolisme, farmakokinetik, dan perbandingan catatan atau sejarah avaibilitas juga ikut dipertimbangkan. Hewan yang paling sering dipakai adalah mencit dengan mempertimbangkan faktor ukuran, kemudahan perawatan, harga, dan hasil yang cukup konsisten dan relevan (Jacobson, et al., 2004). Taksonomi dari mencit yaitu :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia Familia : Muridae Sub family : Murinae

Genus : Mus

Species : Mus musculus (Sumber :Schwiebert, 2007 )

2.3 Metode Ekstraksi (Depkes RI, 2000)

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Berikut adalah beberapa cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut:

2.3.1 Cara dingin a. Maserasi

Maserasi merupakan cara ekstraksi yang dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari (pelarut) dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prinsip perkolasi adalah serbuk simplisisa ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, kemudian melarutkan zat aktif dari sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh.

2.3.2 Cara panas a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Sokhlet

Sokhlet merupakan ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru umumnya dilakukan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C.

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit). Infus pada umumnya digunakan untuk menarik atau mengekstraksi zat aktif yang larut dalam air dan bahan-bahan nabati. Hasil dari ekstrak ini menghasilkan zat aktif yang tidak stabil dan mudah tercemar


(23)

oleh kuman dan kapang, sehingga ekstrak yang diperoleh dengan infus tidak boleh disimpan lebih dari 4 jam.

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (> 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.4 Toksisitas

Suatu zat kimia dikatakan toksik (beracun) diartikan sebagai zat yang berpotensi memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun pada reseptor, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme, dan bentuk efek yang ditimbulkan. Toksisitas merupakan istilah relatif dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organisme (Wirasuta, et al., 2007).

Pada umumnya pajanan zat kimia tidak dapat dihindari (pada kasus tertentu bahkan dikehendaki), seharusnya dilakukan evaluasi toksikologi terhadap kebanyakan zat kimia untuk menentukan tingkat pajanan yang kiranya tidak menimbulkan resiko. Umumnya uji toksisitas bertujuan untuk menilai resiko yang mungkin ditimbulkan dari suatu zat kimia toksikan pada manusia. Untuk mengenali suatu zat kimia maka perlu dikenali bahaya yang mungkin ditimbulkan. Hal ini dilakukan dengan mengumpulkan serta menyusun data toksisitas yang relevan dan data yang berkaitan (Lu, 1995).

Tujuan akhir dari uji toksikologi dan penelitian lainnya yang berkaitan dalam menilai keamanan/resiko toksikan pada manusia, idealnya data dikumpulkan dari manusia. Tetapi karena hambatan etik tidak memungkinkan langsung melakukan uji toksisitas pada manusia. Oleh karena itu uji toksikologi umumnya dilakukan pada binatang, hewan sel tunggal, atau sel kultur. Dari data-data tersebut dilakukan ekstrapolasi ke manusia, sehingga diperoleh batasan-batasan nilai yang dapat diterapkan pada manusia guna memenuhi tujuan akhir dari uji toksikologi tersebut (Hodgson, et al., 2000).


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.5 Uji Toksisitas

Pengujian toksisitas diperlukan untuk mengetahui dosis yang dapat menyebabkan keracunan. Pengujian toksisitas biasanya dibagi menjadi tiga kategori: (1) Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali, atau beberapa kali dalam waktu 24 jam; (2) Uji toksisitas jangka pendek (subakut atau subkronik) dilakukan dengan memberikan bahan tersebut berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu selama jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan; (3) Uji toksisitas jangka panjang (kronik) dilakukan dengan memberikan zat kimia berulang-ulang selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari hidupnya (Lu, 1995).

Menurut Gupta, et al. (2012), Uji toksisitas akut merupakan uji di mana dosis tunggal zat kimia yang diberikan pada hewan percobaan untuk menentukan LD50 (dosis yang menyebabkan kematian 50% dari kelompok hewan percobaan).

Hal ini merupakan langkah awal dalam penilaian dan evaluasi sifat toksik dari suatu zat kimia serta merupakan salah satu pemeriksaan awal yang dilakukan pada semua senyawa.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan nilai LD50

diantaranya yaitu, pengacakan hewan percobaan, selisih bobot antar hewan, pengosongan lambung (puasa), dan ketersediaan air. Selain itu juga dipengaruhi oleh penentuan dosis awal percobaan untuk meminimalkan hewan yang mati, sehingga mengurangi jumlah hewan yang digunakan dalam percobaan. Metode ini juga meningkatkan presisi dari nilai LD50 (Gupta, et al., 2012 ). Kategori dan

kriteria nilai toksisitas akut dinyatakan sebagai nilai LD50 atau sebagai estimasi


(25)

Tabel 2.1 Klasifikasi Toksisitas Akut

Kategori Kriteria Tingkat kebahayaan

1 Oral LD50: ≤ 5 mg/kgBB;

Dermal LD50: ≤ 50 mg/kgBB;

Inhalasi (gas) LC50: ≤ 100 ppm;

Inhalasi (uap) LC50: ≤ 0,5 mg/L;

Inhalasi (debu, kabut) LC50: ≤0,05 mg/L

Simbol

Tanda Bahaya

Pernyataan Oral : Fatal jika tertelan Dermal :Fatal jika terkena kulit Gas, udara, debu, kabut : Fatal jika terhirup

2 Oral LD50: 5 < mg/kgBB≤ 50;

Dermal LD50: 50 < mg/kgBB ≤ 200;

Inhalasi (gas) LC50: 100< ppm ≤ 500;

Inhalasi (uap) LC50: 0,5 < mg/L ≤ 2,0;

Inhalasi (debu, kabut) LC50 : 0,05< mg/L

≤0,5

Simbol

Tanda Bahaya

Pernyataan Oral : Fatal jika tertelan Dermal : Fatal jika terkena kulit Gas, udara. debu, kabut : Fatal jika terhirup

3 Oral LD50: 50 < mg/kgBB≤ 300;

Dermal LD50: 200 < mg/kgBB ≤ 1000;

Inhalasi (gas) LC50: 500< ppm ≤ 2500;

Inhalasi (uap) LC50: 2,0 < mg/L ≤ 10,0;

Inhalasi (debu, kabut) LC50: 0,5< mg/L ≤

1,0

Simbol

Tanda Bahaya

Pernyataan Oral : Toksik jika tertelan Dermal : Toksik jika terkena kulit Gas, udara. debu, kabut : Toksik jika terhirup

4 Oral LD50: 300 < mg/kgBB≤ 2000;

Dermal LD50: 1000 < mg/kgBB ≤ 2000;

Inhalasi (gas) LC50: 2500< ppm ≤ 20000;

Inhalasi (uap) LC50: 10,0 < mg/L ≤ 20,0;

Inhalasi (debu, kabut) LC50: 1,0< mg/L ≤

5,0

Simbol

Tanda Peringatan

Pernyataan Oral : Bahaya jika tertelan Dermal : Bahaya jika terkena kulit Gas, udara, debu, kabut : Bahaya jika terhirup

5 Oral atau dermal LD50 : 2000 < mg/kgBB

≤ 5000

Inhalasi (gas, udara dan/atau debu/kabut) LC50 sama dengan range LD50 pada oral

dan dermal (2000 < mg/kgBB ≤ 5000)

Kriteria tambahan:

a. Terdapat indikasi menimbulkan efek toksik yang signifikan pada manusia; b. Terdapat kematian pada kategori 4; c. Terdapat tanda-tanda klinis yang

signifikn pada kategori 4; d. Indikasi dari studi lain

Simbol Tidak ada simbol Tanda Peringatan

Pernyataan Oral : Mungkin bahaya jika tertelan

Dermal : Mungkin bahaya jika terkena kulit

Gas, udara. debu, kabut Mungkin bahaya jika terhirup


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.6 Penentuan LD50

Dalam menentukan nilai LD50 terdapat beberapa metode yang digunakan,

seperti metode grafik (Miller-Tainter), metode aritmatika (Karber), dan pendekatan statistik. Metode lain yang juga sering digunakan diantaranya adalah metode Litchfield dan Wilcoxson, serta metode Reed-Muench. Dari beberapa metode tersebut Paramveer. S, et al. (2010), menyimpulkan perbandingan dari metode-metode tersebut seperti pada tabel dibawah ini.

Table.2.2 Perbandingan metode yang berbeda dalam penentuan nilai LD50

Metode Karber Metode Miller – Tainter Metode Lorke Jumlah hewan Melebihi kebutuhan Melebihi kebutuhan Tepat

Pengeluaran Tinggi Tinggi Rata-rata (biasa)

Keakuratan hasil Tidak akurat Tidak akurat Meragukan

Sumber : Paramveer, S (2010)

Selain dari metode yang telah banyak digunakan, terdapat tiga metode alternatif yang diadopsi dimana menggunakan perlakuan yang lebih manusiawi terhadap hewan dan menggunakan lebih sedikit hewan. Metode tersebut merekam tanda-tanda toksisitas sampai menunjukkan kematian pada hewan percobaan. Menurut Paramveer. S, et al. (2010), tiga metode alternatif tersebut adalah metode dari OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) yaitu:

1. Prosedur Penetapan Dosis (Fixed Dose Procedure )- OECD 420 2. Metode Tingkat Toksik Akut (Acute Toxic Class method)-OECD 423 3. Prosedur peningkatan dan penurunan (Up-and-Down Procedure)-OECD

425

Ketiga metode uji toksisitas akut dari OECD tersebut merupakan pilihan yang dapat digunakan dalam penentuan nilai LD50. Seperti metode uji toksisitas akut

lainnya, Up and Down Procedure (UDP) merupakan metode yang dapat dipercaya dalam uji toksisitas akut. UDP adalah metode yang efisien dalam menentukan nilai LD50. Metode ini dapat memperkirakan klasifikasi tingkat bahaya dengan


(27)

Sehingga dalam hal ini penggunaan metode UDP dapat dipertimbangkan secara ekonomi, sains, dan etik (WHO, 2002).

2.6.1 Penentuan LD50 berdasarkan OECD

Panduan dari OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) yang membahas tentang uji toksisitas menjelaskan bahwa semua panduan dari OECD melibatkan pemberian dosis tunggal dari sampel uji untuk hewan dewasa muda yang sehat secara oral, pemgamatan dilakukan sampai 14 hari setelah pemberian dosis, dengan pencatatan berat badan dan nekropsi dari semua hewan. Dosis dapat diberikan berdasarkan pada volume konstan atau konsentrasi konstan tergantung pada kebutuhan toksikologi. Setiap hewan dipilih secara acak. Pada saat pemberian sampel uji, setiap hewan harus berumur antara 8-12 minggu dan beratnya harus dalam interval ± 20% dari berat rata-rata semua hewan. Titik akhir untuk Panduan 423 dan 425 adalah angka kematian, tetapi untuk Pedoman 420 itu adalah pengamatan tanda-tanda jelas yang menunjukkan toksisitas (evident toxicity) (OECD,2001).

Panduan 420 (Fixed Dose Procedure): Studi pengamatan untuk memilih dosis awal yang tepat dan meminimalkan jumlah hewan yang digunakan. Dosis yang digunakan adalah 5, 50, 300 atau 2000 mg/kgbb. Kelompok hewan dilakukan pemberian setiap tingkat dosis sampel secara bertahap, dengan dosis awal yang terpilih diharapkan menghasilkan beberapa tanda-tanda toksisitas. Kelompok hewan selajutnya diberikan dosis yang lebih tinggi atau lebih rendah, tergantung pada tanda-tanda toksisitas, sampai tujuan dicapai, yaitu, klasifikasi zat uji berdasarkan identifikasi dosis menyebabkan evident toxicity. Setiap kelompok dalam satu tingkat dosis terdiri dari lima hewan dewasa muda dari satu jenis kelamin. Hewan diamati secara individu pada tiap-tiap tingkatan dosis. Jumlah hewan yang digunakan antara 5-7 hewan, dan 5 hewan yang digunakan dalam uji limit dose (OECD,2001).

Panduan 423 (Acute Toxic Class): Dosis yang digunakan adalah 5, 50, 300 atau 2000 mg/kgbb. Pemberian sampel uji pada tiap kelompok hewan dilakukan secara bertahap, dengan dosis awal yang terpilih diharapkan menghasilkan mortalitas pada beberapa hewan. Kelompok hewan selanjutnya


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta diberikan dosis lebih tinggi atau lebih rendah, tergantung pada kematian, sampai tujuan dicapai, yaitu, klasifikasi zat uji berdasarkan identifikasi dosis yang menyebabkan kematian, kecuali bila tidak ada efek pada dosis tertinggi. Pengujian ini menggunakan 3 hewan dari satu jenis kelamin dalam tiap kelompok. Rata-rata jumlah hewan yang digunakan adalah 7, dan sekitar 6 hewan yang digunakan dalam uji limit dose (OECD,2001).

Panduan 425 (Up and Down Procedure): Pada metode ini terdapat dua macam cara pengujian toksisitas akut secara oral, yaitu limit test dan main test. Limit test digunakan ketika diketahui bahwa zat uji yang akan diujikan memiliki tingkat toksisitas yang rendah, mempunyai dosis toksik dibawah batas dosis yang telah ditentukan. Sedangkan ketika terdapat sedikit atau tidak ada informasi tentang toksisitas zat uji tersebut atau jika diduga toksik, maka digunakan main test (OECD, 2008).

Pada pengujian dengan limit test, digunakan satu hewan terlebih dahulu untuk diberikan sampel dengan dosis 2000 mg/kgbb. jika hewan tersebut mati maka dilakukan main test, tetapi jika hewan tersebut hidup maka digunakan empat hewan lainnya dan diberikan dosis yang sama. Dari kelima hewan tersebut jika terdapat tiga atau lebih hewan yang masih bertahan hidup maka dosis toksik sampel lebih dari 2000 mg/kgbb. tetapi jika terdapat tiga atau lebih hewan yang mati maka dilakukan pengujian main test (OECD, 2008).

Panduan ini juga merupakan prosedur yang bertahap, tetapi menggunakan hewan tunggal, dengan hewan pertama diberikan dosis di bawah estimasi dari LD50. Tergantung pada hasil dari hewan sebelumnya, dosis selanjutnya ditambah

atau dikurangi dengan faktor antilog 1/estimasi kemiringan (slope) pada kurva dosis respon, biasanya dengan faktor 3,2. Urutan ini berlanjut sampai ada pembalikan dari hasil awal, kemudian, dosis yang diberikan pada hewan selanjutnya mengikuti prinsip up-down sampai stopping criteria terpenuhi. Jika tidak ada pembalikan sebelum mencapai batas dosis yang dipilih (2000 atau 5000 mg/kgbb), maka hewan yang digunakan tidak lebih dari jumlah hewan yang ada pada limit test. Pilihan untuk menggunakan dosis batas atas 5000 mg/kgbb digunakan hanya jika dibenarkan oleh kebutuhan regulasi tertentu. Stopping criteria yan dimaksud diatas adalah sebagai berikut (OECD, 2008):


(29)

a. 3 hewan berturut-turut bertahan di atas batas dosis;

b. 5 pembalikan (reverse) terjadi pada setiap 6 hewan yang diuji berturut-turut; c. Sedikitnya terdapat 4 hewan telah mengalami pembalikan pertama.

Pengujian ini menggunakan satu hewan dari satu jenis kelamin. Pemodelan statistik menunjukkan bahwa rata-rata jumlah hewan yang digunakan dalam pengujian ini adalah sekitar 6-9 hewan dan 5 hewan yang digunakan dalam limit test (OECD, 2001).

Untuk ketiga panduan tersebut, pengamatan klinis yang cermat harus dilakukan setidaknya dua kali pada hari pemberian dosis atau lebih sering ketika menunjukkan respon dari hewan, dan setidaknya sekali sehari setelahnya. Pengamatan tambahan dilakukan jika hewan terus menunjukkan tanda-tanda toksisitas. Pengamatan meliputi perubahan kulit dan bulu, mata dan selaput lendir, pernapasan, peredaran darah, sistem saraf pusat dan otonom, aktivitas somatomotor dan tingkah laku. Pengamatan tambahan dibutuhkan jika terdapat hewan yang menunjukkan tanda-tanda keracunan, Pengamatan yang dilakukan meliputi tremor (gemetar), konvulsi (kejang), salivasi, diare, letargi (kelesuan), sedatif dan koma. Jika terdapat hewan yang dalam keadaan hampir mati dan menujukkan kesakitan yang hebat atau menunjukkan stress hebat sebaiknya dibunuh. Hewan yang dibunuh dianggap dalam interpretasi hasil dengan cara yang sama seperti hewan yang mati pada pengujian (OECD,2001).

Botham (2002), menyimpulkan ketiga alternatif metode tersebut dalam tabel berikut:


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Table 2.3 Prinsip penentuan LD50 pada tiga metode alternatif

OECD 420 (Fixed Dose Procedure)

OECD 423 (Acute Toxic Class Method)

OECD 425 (Up and Down Procedure)

Metode Dosis tunggal diberikan secara oral pada tikus atau mencit dengan satu jenis kelamin (biasanya betina), dengan pengamatan klinis, bobot, kematian lebih dari 14 hari, dan nekropsi

Pengamatan Iya Tidak Tidak

Tingkatan dosis

5 hewan pada setiap tingkatan dosis (5, 50, 300, 2000 (5000) mg/kgBB)

3 hewan pada setiap tingkatan dosis (5, 50, 300, 2000 (5000) mg/kgBB)

Dimulai dari perkiraan LD50

(175 mg/kgBB) dan menggunakan faktor peningkatan biasanya 3,2 kali, digunakan satu hewan sampai bertemu salah satu dari stopping criteria Tujuan Identifikasi dosis

dibawah dosis yang menyebabkan evident toxicity

Identifikasi dosis dibawah dosis yang telah ditentukan yang menyebabkan kematian

Estimasi LD50

Output Rentang perkiraan LD50

Tanda-tanda toksisitas akut

Organ target

Rentang perkiraan LD50

Tanda-tanda toksisitas akut

Organ target

Titik perkiraan LD50 dalam

interval

Tanda-tanda toksisitas akut Organ target

Sumber : Botham (2002)

Keterbatasan dari ketiga metode tersebut adalah (OECD,2001) :

1. Metode ini mungkin memiliki hasil klasifikasi yang melebihi atau kurang tepat terhadap nilai LD50 sesungguhnya dan hasil yang diperoleh cenderung

dipengaruhi oleh pemilihan dosis awal yang digunakan terutama pada zat yang memiliki dosis yang rendah.

2. Bisa saja zat uji dapat menyebabkan kematian tertunda (5 hari atau lebih setelah pemberian zat uji). Zat uji yang dapat menyebabkan kematian tertunda berpengaruh pada penggunaan panduan 425, dimana durasi pengujian lebih panjang dibanding dengan metode lain. Namun, dalam Panduan 420 dan 423,


(31)

temuan kematian tertunda mungkin memerlukan tambahan dosis dengan tingkat yang lebih rendah yang dilakukan secara berulang.

2.7 Efek Toksik Terhadap Organ Sasaran 2.7.1 Hati

Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, menempati hampir seluruh bagian atas rongga abdomen. Dalam hati terdapat 3 jenis jaringan yang penting, yaitu sel parenkim hati, susunan pembuluh darah, dan susunan saluran empedu. Ketiga jaringan ini berhubungan erat, sehingga kerusakan satu jenis jaringan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lain. Histologi hati terdiri atas lobulus. Lobulus berisi sel epitel khusus yang disebut hepatosit yang tersusun tidak teratur, bercabang-cabang dan selnya saling berhubungan mengelilingi vena sentralis. Pada kapiler terdapat celah garis endotel yang disebut sinusoid yang merupakan tempat perlintasan darah. Pada sinusoid terdapat sel fagositosis yang disebut sel Kuppfer yang berfungsi menghancurkan leukosit dan sel darah merah yang rusak, bakteri dan benda asing lain pada aliran pembuluh darah vena dari traktus gastrointestinalis (Tortora, 2005).

Pemeriksaan histopatologi meliputi perubahan berat organ dan penampilan warna hewan uji. Warna dan penampilan sering dapat menunjukkan sifat toksisitas, seperti perlemakan hati atau sirosis. Biasanya berat organ merupakan penunjuk yang sangat peka dari efek pada hati. Pemeriksaan mikroskopik dapat menggunakan mikroskop cahaya untuk mendeteksi berbagai jenis kelainan, seperti perlemakan, sirosis, nekrosis, nodul hiperplastik, dan neoplasia (Lu, 1995).

2.7.2 Ginjal

. Ginjal merupakan organ yang berperan mengatur keseimbangan cairan tubuh serta mengekskresi kelebihannya sebagai kemih. Nefron merupakan unit fungsional dan struktural dari ginjal dan ginjal terdiri dari ribuan nefron. Tiap nefron terdiri dari dua bagian, yaitu korpus renalis dimana plasma darah difiltrasi dan tubulus renalis yang mengabsorpsi dan mensekresi cairan yang lewat. Korpus renalis dibagi menjadi dua bagian yaitu glomerulus (kapiler glomerulus) dan kapsula Bowman yang mengelilingi kapiler glomerulus. Tubulus renalis dibagi


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi tiga bagian, yaitu tubulus proksimal, lengkung henle dan tubulus distalis (Tortora 2005).

Pemeriksaan patologi makroskopik dilakukan dengan menimbang berat ginjal hewan uji. Bila terdapat perbedaan dengan hewan pembanding sering menujukkan terjadinya lesi ginjal. Dan pemeriksaan mikroskopik dapat mengungkapkan tempat, luas, dan sifat morfologik lesi ginjal (Lu, 1995).

2.7.3 Limpa

Limpa merupakan organ limfoid terbesar dan terletak di antara fundus lambung dan diafragma. Limpa dibungkus oleh peritoneum dan berhubungan dengan lambung, diafragma, dan ginjal kiri oleh lipatan peritoneum yang disebut ligamen gastrolienal, frenikolienal dan lienorenal. Limpa berfungsi sebagai imun terhadap antigen yang terbawa oleh darah, mengakumulasi limfosit dan makrofag, dan degradasi eritrosit. Limpa dibungkus oleh kapsula, yang terdiri atas dua lapisan, yaitu satu lapisan jaringan penyokong yang tebal dan satu lapisan otot halus. Perpanjangan kapsula ke dalam parenkim limpa disebut trabekula. Trabekula mengandung arteri, vena, saraf, dan pembuluh limfe. Parenkim limpa disebut pulpa yang terdiri atas pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah berwarna merah gelap pada potongan limpa segar. Pulpa merah terdiri atas sinusoid limpa .Pulpa putih tersebar dalam pulpa merah, berbentuk oval dan berwarna putih kelabu. Pulpa putih terdiri atas pariarteriolar limphoid sheats (PALS), folikel limfoid, dan zona marginal (Fawcett, 2002).

Struktur intern limpa dan keterkaitan antara pulpa putih dan pulpa merah didasarkan atas penyebaran pembuluh darahnya. Pulpa putih parenkim limpa disusun sekitar arteri dan pulpa merah mengisi celah-celah diantara sinus-sinus venosus. Spesies dengan volume darah relatif kecil (kelinci, rodensia percobaan) memiliki banyak pulpa putih, kerangka jaringan ikat nyata, dan otot-otot polos yang kurang berkembang (Fawcett, 2002).


(33)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini di laksanakan di Laboratorium Biosains dan Laboratorium Reproduksi Pusat Penelitian Biologi LIPI yang berada di Jalan Raya Jakarta-Bogor Km.46 Cibinong Jakarta-Bogor, serta di Laboratorium Penelitian I FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Kertamukti No. 5 Pisangan Ciputat, yang dimulai dari bulan April sampai September 2013.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan terdiri dari gunting, gelas beker (pyrex), gelas ukur (pyrex), pipet tetes, spatula, batang pengaduk, erlenmeyer (pyrex), labu 100 ml (pyrex), kertas saring (whatman no.2), vial, timbangan analitik, rotary evaporator (heidolph WB 2000), freeze dryer (eyela), sonde, kandang mencit, masker, sarung tangan, timbangan hewan, papan bedah, alat bedah steril, mikrotom (yamato), oven, kaca objek, dan mikroskop (Olympus IX71).

3.2.2 Bahan Kimia

Bahan-bahan yang digunakan yaitu; aquadest, etanol 96%, Na CMC (Sigma), eter, Buffer Neutral Formalin (BNF) 10 %, alkohol, xylen, paraffin, dan pewarna haematoksilin-eosin.

3.2.3 Bahan Uji

Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini ialah kulit akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) yang berasal dari Pontianak Kalimantan Barat dan merupakan koleksi Laboratorium Fitokimia Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.2.4 Hewan Coba

Hewan percobaan yang digunakan dalam penentuan nilai LD50 merupakan

mencit (Mus musculus) galur Deutsch Denken Yokken (DDY) betina yang dalam keadaan nulipara (belum pernah melahirkan) dan tidak hamil. Hewan percobaan berkisar antara umur 2-3 bulan dengan bobot 25-35 gram. Mencit yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 7 ekor yang diperoleh dari Laboratorium Patologi FKH IPB.

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Uji Kadar Air Simplisia

1 gram kulit akar Ginseng Kuning segar dimasukkan dan ditimbang seksama dalam wadah yang telah ditara. Simplisia tersebut dikeringkan pada oven suhu 1050 C selama 30 menit, dibiarkan hingga suhu ruang dalam desikator, dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,001 g (Depkes, 2000).

3.3.2 Ekstraksi Kulit Akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.)

Kulit akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Kort.) segar sebanyak 259,94 gram ditimbang dan kemudian dirajang kecil. Hasil rajangan ini diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan etanol 96% yang telah didestilasi. Volume pelarut yang digunakan untuk maserasi adalah 600 mL yaitu sampai seluruh simplisia teremdam oleh pelarut. Simplisia direndam selama semalam (±24 jam). Proses ekstraksi ini dilakukan sebanyak lima kali dengan volume pelarut yang sama. Hasil maserasi disaring menggunakan kapas, dan selanjutnya disaring dengan kertas saring.

Filtrat yang diperoleh, pelarutnya diuapkan menggunakan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental yang kemudian dikeringkan dengan alat freez dryer selama 1 hari hingga diperoleh ekstrak kering sebanyak 19,7820 gram, dan selanjutnya dilakukan penghitungan persen rendemen ekstrak, yaitu:


(35)

3.3.3 Hewan Percobaan

Hewan percobaan (mencit) diaklimatisasi selama 10 hari terlebih dahulu sebelum diberikan perlakuan dengan ditempatkan dalam kandang pada suhu 230 C (±30 C). Hewan diberikan pellet untuk mencit dan air minum (ad libitum). Aklimatisasi dilakukan agar mencit dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selama proses aklimatisasi dilakukan pengamatan kondisi umum serta penimbangan bobot mencit.

3.3.4 Uji Toksisitas Akut

3.3.4.1Penentuan Nilai LD50 (OECD, 2008)

Penentuan nilai LD50 ini menggunakan metode Up and Down Procedure

dengan uji batas dosis (limit test), dimana sebelum diberikan perlakuan, tiga mencit dipuasakan (tidak diberikan makan) terlebih dahulu selama 3-4 jam dengan tetap diberikan minum (ad libitum). Setelah dipuasakan mencit ditimbang dan kemudian satu mencit diberikan secara oral dosis tunggal ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning dengan dosis 2000 mg/kgbb yang telah disuspensikan dalam Na CMC 1%. Volume Administrasi Obat (VAO) dihitung sesuai dengan bobot mencit, volume dosis tunggal yang diberikan pada mencit tidak lebih dari 1 ml/100 gram. Sedangkan 2 mencit yang lain digunakan sebagai kontrol. Untuk mencit kontrol hanya diberikan suspensi Na CMC 1% dengan volume pemberian sama dengan volume yang diberikan pada mencit yang diuji. Ketika sampel uji telah diberikan, mencit tidak diberikan makan (tetap diberikan minum) selama 1-2 jam, dan kemudian mencit diberikan makan kembali secara ad libitum. Mencit diamati setiap 30 menit selama 4 jam dan selanjutnya diamati setiap hari sampai 14 hari. Tanda-tanda toksisitas yang diamati meliputi, kulit dan bulu, mata, letargi (kelesuan), konvulsi (kejang), tremor (gemetar), diare, dan mati.

Dua hari berikutnya pengujian toksisitas ekstrak dilanjutkan pada empat mencit lain dengan perlakuan sebelum dan sesudah pemberian ekstrak sama seperti mencit sebelumnya. Pengujian ini dilakukan karena pada 48 jam setelah peberian ekstrak untuk mencit pertama masih hidup dan tidak menunjukkan tanda-tanda toksisitas ataupun kematian. Pengamatan bobot mencit dilakukan dengan menimbang bobot mencit setiap hari sampai hari ke 14.


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 3.1 Perlakuan terhadap mencit

Mencit Perlakuan Ket

1 Ekstrak : 2000 mg/kgbb Mencit yang diberi perlakuan 2 Ekstrak : 2000 mg/kgbb

3 Ekstrak : 2000 mg/kgbb 4 Ekstrak : 2000 mg/kgbb 5 Ekstrak : 2000 mg/kgbb

6 Na CMC 1% Kontrol

7 Na CMC 1%

3.3.4.2Pengolahan Data a) Penghitungan LD50

Perhitungan LD50 menggunakan software AOT 425 StatPgm.

b) Penghitungan Perbedaan Bobot Mencit

Data bobot mencit yang diperoleh diolah secara statistik menggunakan SPSS. Analisis yang dilakukan yaitu uji homogenitas dan uji kenormalan, selanjutnya dilakukan analisis varian one way ( ANOVA ) untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan bermakna antara mencit yang diberikan perlakuan terhadap mencit kontrol.

3.3.5 Pengamatan Histopatologi Organ Mencit 3.3.5.1 Pengambilan Organ Mencit

Pemeriksaan histopatologi ini dilakukan untuk melihat pengaruh dari pemberian ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning terhadap organ hati, ginjal, dan limpa mencit. Mencit yang masih bertahan hidup sampai hari ke 14, dimatikan dengan cara inhalasi menggunakan eter. Setelah mencit mati, kemudian dilakukan pembedahan untuk mengambil organ mencit. Pengambilan organ mencit dilakukan sebagai berikut:

a) Mencit yang telah mati ditelentangkan pada papan bedah.

b) Kulit perut bagian bawah diangkat dengan pinset, kemudian pada bagian tersebut digunting menggunakan gunting bedah untuk memberikan jalan bagi pembedahan.


(37)

c) Pengguntingan tersebut dilanjutkan kearah perut atas sisi kanan dan kiri hingga ke bagian bawah kedua kaki depan mencit sehingga seluruh bagian rongga perut mencit terlihat.

d) Organ yang diambil adalah hati, ginjal, dan limpa.

3.3.5.2 Pembuatan Preparat Histologi (Talukder, 2007)

a) Fiksasi  Organ direndam dalam Buffer Neutral Formalin (BNF) 10% . b) Dehidrasi  Organ yang telah difiksasi dalam BNF 10% di dehidrasi yaitu

dengan memotong organ kira-kira 1 cm kemudian direndam dalam alkohol bertingkat (alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, dan-100%), masing-masing selama sehari.

c) Clearing  Organ dibersihkan dengan diremdam dalam alkohol : xylen (3:1, 1:1, 1:3) masing-masing selama 30 menit, dan kemudian direndam dalam xylen selama sehari.

d) Infiltrasi  Organ dimasukkan dalam xylen : paraffin (1:1) selama 30 menit, dan kemudian dimasukkan dalam paraffin 1,2, dan 3 masing-masing 1 jam. Proses ini dilakukan didalam oven dengan suhu 580 C.

e) Embedding  Organ dimasukkan dalam cetakan yang sebelumnya telah diolesi dengan gliserol dan diisi dengan paraffin cair pada dasarnya. Organ yang akan diamati diletakkan melintang, kemudian paraffin cair dituang sampai cetakan penuh. Selanjutnya didiamkan pada suhu ruang selama sehari, sampai paraffin benar-benar mengeras, setelah itu didinginkan dalam lemari pendingin pada suhu 40 C.

f) Sectioning  Hasil cetakan dipotong dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 5 µm.

g) Afiksing  Irisan yang diperoleh dari pemotongan tersebut diletakkan di atas gelas objek yang telah ditetesi air. Kemudian dikeringkan di atas hotplate dengan suhu ± 400 C selama ± 2 hari.

h) Staining  Organ yang telah melekat pada gelas objek, direndam dalam xylen selama 1 jam, kemudian dilakukan rehidrasi dengan direndam dalam alkohol bertingkat (alkohol 100%, 95%, 90%, 80%, 70%) masing-masing selama ± 30 detik. Setelah itu direndam dalam aquadest. Kemudian


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta direndam dalam pewarna Hematoksilin selama ± 30 detik, selanjutnya dicuci pada air mengalir selama 15 menit. Setelah itu direndam dalam aquadest kembali. Dilanjutkan dengan direndam dalam pewarna eosin selama ± 30 detik dan kemudian direndam dalam alkohol bertingkat (alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, dan 100%) masing-masing selama ± 30 detik. Setelah itu direndam dalam xylen selama 15-30 menit.

i) Mounting  Preparat yang telah terwarnai ditetesi dengan entelan ± 1 tetes. Kemudian ditutp dengan cover glass.

j) Preparat diamati dibawah mikroskop cahaya untuk melihat organ secara mikroskopis dengan perbesaran 200 kali.


(39)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Kadar Air Simplisia dan Ekstrak Etanol Kulit Akar Ginseng Kuning Simplisia kulit akar Ginseng Kuning yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar air 3,771%. Sebanyak 259,94 gram kulit akar Ginseng Kuning yang diekstraksi dengan etanol 96% diperoleh ekstrak kering sebanyak 19,7820 gram, sehingga diperoleh nilai rendemen ekstrak sebesar 7,61% (Lampiran 2).

4.1.2 Pengamatan Tanda-Tanda Toksisitas

Pengamatan tanda-tanda toksisitas meliputi keadaan kulit dan bulu, mata, letargi (kelesuan), konvulsi (kejang), tremor (gemetar), diare, dan mati. Saat pengamatan tanda-tanda toksisitas, yaitu setelah pemberian dosis tunggal ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning 2000 mg/kgbb pada mencit tidak ditemukan tanda-tanda toksisitas tersebut. Mencit yang diberikan perlakuan mempunyai aktivitas yang sama dengan mencit kontrol (Lampiran 3).

4.1.3 Hasil Bobot Mencit

Tabel 4.1 Bobot Mencit

Mencit Bobot mencit (gram) pada hari ke-

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

1 29 30 31 31 31 31 32 32 33 33 33 33 34 34 33

2 29 30 29 30 31 31 32 32 33 33 33 33 33 33 33

3 28 29 29 29 30 30 31 31 30 31 31 32 31 31 31

4 29 29 29 30 30 30 31 32 32 32 32 32 31 32 32

5 30 31 32 32 33 33 35 35 37 36 35 35 34 35 36

6 29 30 30 32 33 32 31 33 34 32 33 33 33 33 34


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 4.1 Grafik perubahan bobot Mencit

Perubahan bobot mencit ini dianalisa menggunakan analisa varian one way ANOVA dan menunjukkan bahwa perbedaan bobot mencit kontrol dan bobot mencit dengan perlakuan 2000 mg/kgbb, tidak terjadi perbedaan yang bermakna (Lampiran 4).

4.1.4 Hasil Uji Toksisitas

Seluruh mencit yang digunakan dalam uji toksisitas dengan dosis 2000 mg/kgbb tidak mengalami kematian, sehingga nilai LD50 ekstrak etanol kulit akar

Ginseng Kuning adalah lebih dari 2000 mg/kgbb. Penentuan ini menggunakan software AOT 425 StatPgm (Lampiran 5).

4.1.5 Hasil Pengamatan Organ Secara Makroskopis

Dari pengamatan makroskopik yang meliputi bentuk dan warna organ diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang terjadi pada organ hati, ginjal, dan limpa mencit yang diberikan perlakuan terhadap mencit kontrol.

4.1.6 Hasil Pengamatan Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada organ hati, ginjal dan limpa mencit kontrol dan mencit perlakuan untuk melihat kelainan pada organ tersebut secara mikroskopik dilakukan pada perbesaran 200 kali.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

g

ram

Perubahan bobot Mencit

Mencit 1 Mencit 2 Mencit 3 Mencit 4 Mencit 5 Mencit 6 Mencit 7 Hari ke-


(41)

Tabel. 4.2 Hasil Pengamatan Histopatologi

Organ Mencit control Mencit perlakuan

Hati

1.Vena sentralis 2.Sel Hepatosit 3.Sinusoid

Jaringan normal, susuan sel-sel hepatosit bermuara ke vena sentralis. Tidak ditemukan tanda-tanda patologi.

1.Vena sentralis 2.Sel Hepatosit 3.Sinusoid

Jaringan normal seperti kontrol

Ginjal

1.Glomerulus

2.Tubulus Proksimal 3.Tubulus Distal

Jaringan normal, struktur glomerulus maupun tubular masih normal, dan tidak ditemukan gejala patologi.

1.Glomerulus

2.Tubulus Proksimal 3.Tubulus Distal


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Limpa

1.Pulpa Putih 2.Pulpa Merah 3.Trabekula

Jaringan normal, susunan folikel di

parakorteks dan medula tidak

menunjukkan peningkatan aktivitas dari sel imun.

1.Pulpa Putih 2.Pulpa Merah 3.Trabekula

Jaringan normal seperti kontrol

4.2 Pembahasan

Pada penelitian ini, sampel uji yang digunakan adalah ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.), dimana kulit akar tumbuhan tersebut merupakan koleksi yang ada di Laboratorium Fitokimia Puslit Biologi LIPI yang berasal dari Pontianak Kalimantan Barat. Kulit akar dari Ginseng Kuning yang masih segar dilakukan uji kadar air simplisia dan diperoleh kadar air simplisia kulit akar Ginseng Kuning sebesar 3,771%. Kulit akar tersebut diekstraksi dengan etanol 96% menggunakan metode maserasi. Etanol digunakan sebagai pelarut kareana senyawa mayor dari kulit akar Ginseng Kuning adalah rubiadin, dimana rubiadin ini merupakan polifenol. Etanol merupakan salah satu pelarut yang baik digunakan dalam ekstraksi senyawa polifenol, selain itu juga aman jika dikonsumsi (Dai, et al., 2010). Metode maserasi digunakan karena metode ini cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan (Depkes RI, 2000). Dari 259,94 gram kulit akar Ginseng Kuning segar yang diekstrak, diperoleh 19,7820 gram ekstrak kering. Sehingga diperoleh rendemen ekstrak sebanyak 7,61%. Ekstrak kering inilah yang digunakan untuk uji toksisitas akut.


(43)

Uji toksisitas akut ini dilakukan karena pada akar tumbuhan Ginseng Kuning ini telah digunakan secara tradisional serta telah terbukti memiliki aktivitas sebagai antiplasmodial dan sebagai antioksidan, dimana semua itu akan memiliki manfaat yang besar bagi manusia. Sehingga uji toksisitas ini perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan dari tumbuhan tersebut. Pada uji toksisitas akut dalam penelitian ini menggunakan metode Up and Down Procedure (UDP). Metode ini merupakan metode alternatif dalam pengujian toksisitas akut. Ketika dibandingkan dengan metode penentuan nilai LD50

konvensional, Up and down procedure ini menggunakan hewan yang lebih sedikit, bahkan sampai sepertiga dari jumlah hewan yang digunakan dalam metode konvensional (Erkekoglu, et al., 2011). Dalam analisa perbandingan dengan metode konvensional, UDP merupakan metode yang paling sederhana untuk digunakan dan menghasilkan nilai LD50 yang sangat bagus dibanding

dengan nilai LD50 dari metode konvensional (Lipnick, et al., 1995). Selain itu,

dalam Hanbook Non-Safety Clinical Testing menyebutkan bahwa WHO menyarankan untuk menggunakan metode ini dalam pengujian toksisitas akut. Hal ini dikarenakan bahwa metode tersebut merupakan metode yang fleksibel dan dapat dipertimbangkan secara ekonomi, sains, dan etik.

Pada penelitian ini penggunaan metode UDP dipilih uji batas dosis (limit test), dikarenakan ekstrak akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) tersebut telah digunakan oleh masyarakat. Sehingga dapat diasumsikan bahwa ekstrak tersebut memiliki tingkat toksisitas yang rendah. Dalam penggunaan limit test ini dipilih dosis 2000 mg/kgbb, karena dalam panduan internasional menyarankan bahwa untuk uji toksisitas akut dengan dosis tunggal disarankan untuk menggunakan dosis teratas (limit dose) 2000mg/kgbb (WHO, 2002). Selain itu juga dalam klasifikasi tingkatan toksik dalam GHS (The Globally Harmonized System of Classification and Labelling of Chemicals) disebutkan bahwa diatas dosis 2000 mg/kgbb termasuk dalam kategori toksisitas yang rendah dan sudah tidak terdapat simbol atau tanda peringatan keamanan dalam pelabelan yang perlu dicantumkan.

Pada penelitian ini digunakan mencit betina galur Deutsch Denken Yokken (DDY) sebagai hewan percobaan. Pemilihan hewan berupa mencit karena hewan


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut ekonomis, mudah didapat, perawatannya mudah (Harmita, 2006). Galur DDY dipilih karena memiliki reproduksi yang baik dan pertumbuhan yang unggul, selain itu galur ini sudah banyak digunakan dalam penelitian berbagai bidang, seperti studi farmakologi, farmakokinetik, dan toksikologi (NIBIO, 2005).

Mencit betina yang digunakan dalam keadaan nulipara (belum pernah melahirkan) dan tidak hamil. Hewan betina digunakan karena dalam pengujian toksisitas akut menggunakan hewan jantan dan betina akan diperoleh hasil yang sama. Ketika terdapat perbedaan respon yang diberikan antara jantan dan betina, secara umum hewan betina lebih sensitif dibanding dengan jantan (Lipnick, et al., 1995).

Mencit yang digunakan terlebih dahulu diaklimatisasi selama 10 hari untuk proses adaptasi dengan kondisi lingkungan baru (kandang mencit). Selama masa aklimatisasi tersebut, mencit diberi makan pellet dan minum (ad libitum) dan ditempatkan pada kandang dengan suhu 230 C (±30) (OECD, 2008). Aklimatisasi ini dilakukan agar mencit dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.

Pada pengujian ini mencit diberikan bahan uji secara oral menggunakan sonde. Rute oral dipilih karena disesuaikan dengan rute yang biasanya digunakan pada manusia dalam mengonsumsi ekstrak kulit akar Ginseng Kuning. Saat sampel diujikan pada mencit, ekstrak kering kulit akar Ginseng Kuning disuspensikan dengan Na CMC 1%, karena ekstrak tersebut tidak larut sempurna dalam air. Dalam Handbook of Exipience disebutkan bahwa Na CMC merupakan senyawa yang tidak toksik dan tidak menimbulkan iritan. Sehingga dapat dikatakan bahwa zat pembawa tersebut tidak berpengaruh pada pengujian toksisitas ini.

Uji toksisitas akut ini dilakukan terdapat 5 mencit perlakuan dan 2 mencit kontrol. Dalam metode UDP dengan pengujian limit test, hewan yang diberikan perlakuan bahan uji adalah maksimal 5 hewan (OECD, 2008), sedangkan digunakannya 2 mencit sebagai kontrol karena dalam ICCVAM (Interagency Coordinating Committee on the Validation of Alternative Methods) menyebutkan bahwa dalam penggunaan hewan kontrol sebaiknya tidak lebih dari empat hewan,


(45)

tetapi minimal menggunakan dua hewan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi penggunaan hewan yang berlebihan dalam suatu pengujian.

Uji toksisitas ini dilakukan pada satu mencit betina perlakuan yang telah dipuasakan (tidak diberi makan) selama 3-4 jam dengan tetap diberikan minum. Dipuasakannya mencit tersebut bertujuan agar nantinya ketika mencit tersebut diberikan sampel diharapkan sampel tersebut dapat langsung kontak dengan sistem pencernaan mencit dan tidak terganggu oleh adanya makanan yang ada di pencernaan mencit. Setelah diberikan ekstrak secara oral, mencit juga tidak diberi makan selama 1-2 jam, tetapi tetap diberi minum secara ad libitum. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan penyerapan ekstrak pada pencernaan mencit.

Pemgamatan terhadap tanda-tanda toksisitas dilakukan setiap 30 menit setelah pemberian ekstrak selama 4 jam. Dalam pengamatan diperoleh bahwa hewan beraktivitas seperti hewan kontrol yang tidak diberikan ekstrak. Setelah 24 jam dan 48 jam pengujian, satu hewan tersebut tidak mati ataupun menunjukkan tanda-tanda toksisitas. Kemudian pada hari tersebut dilakukan pemberian ekstrak pada 4 mencit yang lain dengan perlakuan yang sama pada mencit sebelumnya. Kelima mencit perlakuan ini sampai 14 hari tidak mati ataupun menunjukkan tanda-tanda toksisitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak kulit akar Ginseng Kuning memiliki nilai LD50 lebih dari 2000 mg/kgbb, dimana menurut kategori

dari GHS (The Globally Harmonized System of Classification and Labelling of Chemicals) dosis tersebut termasuk dalam kategori 5 yang dapat dikatakan memiliki tingkat toksisitas yang rendah. Selain itu, perubahan bobot mencit selama 14 hari tidak terjadi perbedaan yang bermakna jika dibandingkan dengan mencit kontrol, karena setelah data bobot mencit diolah secara statistik diperoleh p≥0,05.

Pada hari ke-15 dilakukan pembedahan terhadap hewan coba untuk mengamati organ hewan setelah diberikan ekstrak tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengamati patologi yang muncul pada organ hati, ginjal, dan limpa mencit ketika di amati secara mikroskopis akibat pemberian ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning. Pengamatan pada organ hati, ginjal, dan limpa mencit tersebut dilakukan karena hati merupakan organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan dan


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagian besar obat dan toksikan. Sedangan ginjal mencit diamati karena urin merupakan jalur utama ekskresi sebagian besar toksikan. Akibatnya ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasi toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui sel tubulus, dan megaktifkan toksikan tertentu. Selain itu, limpa juga merupakan organ sasaran karena limpa merupakan salah satu organ sistem imun. Berbagai toksikan diketahui dapat menekan fungsi imun. Penekanan ini akan mengakibatkan menurunnya resistensi pejamu terhadap infeksi dan menurunnya kemampuan mengendalikan neoplasma dan zat asing lain (Lu, 1995).

Hasil pengamatan histopatologi organ hati, ginjal, dan limpa menunjukkan bahwa organ hati mencit kontrol dan perlakuan tidak ditemukan kelainan pada jaringan hati tersebut. Pada hati mencit kontrol, susunan sel-sel hepatosit bermuara ke vena sentralis serta tidak ditemukan tanda-tanda patologi. Begitu juga pada jaringan hati mencit perlakuan terlihat normal seperti mencit kontrol. Pada histopatologi organ ginjal mencit kontrol menunjukkan bahwa struktur glomerulus maupun tubular masih normal, dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda patologi. Dari lima mencit perlakuan, terdapat 2 mencit dengan jaringan pada ginjal normal seperti pada jaringan ginjal mencit kontrol, dan terdapat 2 mencit yang mengalami atrofi glomerulus (glomerulus mengkerut), serta terdapat satu mencit yang mengalami udem (bengkak) yang bersifat reversibel dan disertai dengan atrofi glomerulus. Dimana hal tersebut dapat kembali normal bila penyebab kerusakan (paparan toksin) dihentikan.

Munculnya atrofi glomerulus menggambarkan adanya reaksi antara makromolekul yang terfiltrasi dengan dinding filter glomerulus. Atrofi glomerulus ditandai dengan mengecilnya glomerulus dalam kapsula Bowman sehingga ruang diantara glomerulus dan kapsula Bowman makin melebar. Atrofi glomerulus dapat terjadi akibat masuknya senyawa-senyawa yang bersifat toksik ke dalam filter glomerulus, yang menyebabkan pengecilan morfologi dan aktivitas sel-sel tubuli yang menjadi barier dari filter glomerulus (Jones, et al., 2006).

Pada histopatologi organ limpa mencit kontrol menunjukkan bahwa susunan folikel di parakorteks dan medulla tidak menunjukkan peningkatan aktivitas dari sel imun dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda patologi, dimana


(47)

hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat organism asing, neoplasma, dan zat-zat asing lain yang mengganggu sistem imun pada organ limpa mencit. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning dosis 2000 mg/kgbb tidak menyebabkan patologi pada organ hati dan limpa mencit, tetapi dapat menyebabkan atrofi glomerulus pada ginjal mencit.


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN 1.1Kesimpulan

1. Perubahan bobot mencit kontrol dan mencit yang diberikan perlakuan dari sebelum diberikan ekstrak dan 14 hari setelahnya tidak terjadi perbedaan yang bermakna. (p≥0,05)

2. Nilai LD50 yang didapat dari hasil uji toksisitas akut eksrak etanol kulit

akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.) yaitu lebih besar dari 2000 mg/kgbb. Sehingga dapat dikategorikan memiliki tingkat toksisitas yang rendah

3. Secara mikroskopis, ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning dengan dosis 2000 mg/kgbb tidak menyebabkan kerusakan pada organ hati dan limpa mencit, tetapi dapat menyebabkan glomerulus mengkerut (atrofi) pada ginjal mencit.

1.2Saran

Perlu dilakukan lebih lanjut mengenai uji toksisitas subkronik dan kronik untuk mengetahui pengaruhnya terhadap organ sasaran jika dipergunakan dalam jangka waktu yang lama dalam penggunaan atau konsumsi terhadap ekstrak etanol kulit akar Ginseng Kuning (Rennellia elliptica Korth.).


(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR PUSTAKA

Acute Oral Toxicity (OECD Test Guideline 425) Statistical Programme (AOT 425 StatPgm). Version: 1.0, 2001. [http://www.oecd.org/oecd/pages/home/ displaygeneral/0,3380,EN-document-524-nodirectorate-no-24-6775-8,FF.html]

Ahmad, Mahbob E.N.M., Noor Z.M., Ismail N.H., Lajis N.H., Shaari K. 2010. Evaluation of Antioxidant Potential of Medical Plants from Malaysian Rubiaceae (subfamily Rubiodeae).African Journal of Biotechnology, Vol. 9(46), pp. 7948-7954

Botham, Philip A. 2002. Acute Systemic Toxicity. Institute of Laboratory Animal Resource Journal, Vol. 43, pp. 527-530

Dai, Jin dan Russell J. Mumper. 2010. Plant Phenolics: Extraction, Analysis and Their Antioxidant and Anticancer Properties. .www.mdpi.com/journal/molecule (diakses 15 Mei 2013)

Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standard Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.

Erkekoglu, Pinar, Belma Kocer Giray, Nursen Basaran. 2011. 3R Principle and Alternative Toxicity Testing Methods. FABAD Journal of Pharmaceutical Science, Vol. 36, pp. 101-117.

Fawcett, Don W. 2002 Buku ajar Histologi (Alih Bahasa: Jan Tambayong). Jakarta: EGC

Globally Harmonized System (GHS) .2009.Globally Harmonized System of Classification and Labelling of Chemicals Third revised edition. New York dan Geneva : United Nation


(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gupta, Deepika, Bhardwaj.S. 2012. Study of Acute, Subacute and Chronic Toxicity test. International Journal of Advanced Research in Pharmaceutical & Bio Science.Vol.1(2), pp. 103-129

Harmita, Maksum Radji.2006. Buku Ajar Analisis Hayati. Ed.3. EGC, Jakarta.

Handa, Sukhdev Swami, Dev Dutt Rakesh, Karan Vasisht. 2006. Compendium of Medicinal and Aromatic Plants Volume II. Trieste : United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) – International Centre for Science and High Technology (ICS)

Hodgson, E., Levi P.E. 2000. A Textbook of Modern Toxicology 2nd Ed. Singapore: McGraw-Hill Higher Education

Ismail, Nor Handiani, Asmah Alias, Che Puteh Osman. 2011. Alkaloids and Anthraquinones from Malaysian Flora. Phytochemicals - A Global Perspective of Their Role in Nutrition and Health, Dr Venketeshwer Rao (Ed.), ISBN: 978-953-51-0296-0, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/ (diakses pada 4 Februari 2013 pukul 11.35 WIB)

Jacobson, Kram,. Keller KA. 2004. Toxicology Testing Handbook. Washington DC: Ork Basel

Jones, Thomas C, Ronald DH, Norval WK. 2006. Veterinary Pathology. Edisi ke-6. Blackwell Publishing. United State of America.

Lipnick, R. L.,J. A. Cotruvo, R. N. Hill, R. D. Bruce, K. A. Stitzel, A. P. Walker, I. Chu, M. Goddard, L. Segal, J.A. Springer, R. C. Myers. 1995. Comparison of the Up-and-Down, Coventional LD50, and Fixed-Dose Acute Toxicity Procedures.


(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lu, F. C., 1995, Toksikologi Dasar Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Risiko, (Alih bahasa: Edi Nugroho). Edisi kedua. Jakarta : UI Press

NCBI. ___. Rennellia elliptica Korth. , http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy /Browser/wwwtax.cgi?lvl=0&id=509950 (diakses pada tanggal 12 Februari 2013)

NIBIO (Laboratory Animal Resource Bank) .2005. DDY mice.

http://animal.nibio.go.jp/e_ddys.html (diakses pada 13 Maret 2013)

OECD.2008. OECD Guideline for Testing of Chemicals 425.Acute Oral Toxicity-Up and Down Procedure.Paris : OECD Environment Directorate, Environment, Health and safety Division

OECD.2001. OECD Series on Testing and assessment No.24. Guidance Document on Acute Oral Toxicity Testing. Paris : OECD Environment Directorate, Environment, Health and safety Division

OECD. 2000. OECD Series on Testing and assessment No.19. Guidance Document on the Recognition, Assessment, And Use of Clinical Signs As Humane Endpoints for Experimental Animals Used in Safety Evaluation. Paris : OECD Environment Directorate, Environment, Health and safety Division

Osman, Che Puteh, Nor Hadiani Ismail, Rohaya Ahmad, Norizan Ahmat, Khalijah Awang, Faridahanim Mohd Jaafar. 2010. Anthraquinones with Antiplasmodial Activity from the Roots of Rennellia elliptica Korth. (Rubiaceae) .www.mdpi.com/journal/molecule (diakses 12 Januari 2013 pukul 09.25 WIB)

Paramveer.S, Deora, Mishra Chanchal K., Mavani Paresh, Asha Rani, Shrivastava B., Rajesh Kumar Nema. 2010. Effective Alternative Methods of LD50 Help to Save Number of Experimental Animals. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. Vol. 2(6), pp. 450-453


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Porter, William, 2000. Rats and Mice: Introduction and Use in Research. USA : Washington University

Schwiebert, Rebecca. 2007. The Laboratory Mouse. Singapore : Nasional University of Singapore

Seidle, Troy, Sally Robinson, Tom Holmes, Stuart Creton, Pilar Prieto, Julia Scheel, Magda Chlebus. 2010. Cross-Sector Review of Drivers and Available 3Rs Approaches for Acute Systemic Toxicity Testing. http://toxsci.oxfordjournals.org/ (di akses pada tanggal 20 Mei 2013)

Suratman. 2008. The Indonesian Species of Rennellia Korth.(Rubiaceae). Surakarta: UNS

Talukder, SI. 2007. Histopathology Techniques: Tissue Processing and Staining. Department of Pathology Mymensingh Medical College Bangladesh.

Tortora GJ. 2005. Principles of Human Anatomy. Ed ke-10. USA: John wiley & sons, Inc.

WHO.2000. General Guidelines for Methodologies on Research and Evaluation of Traditional Medicine. Geneva:WHO

WHO. 2002. Non-Clinical Safety Testing Handbook. Geneva:WHO

Wirasuta, I Made Agus Gelgel., Rasmaya Niruri. 2007. Toksikologi Umum. Denpasar : Udayana


(53)

Lampiran 1. Alur Kerja 1. Penyiapan bahan uji

2. Uji Toksisitas

1 mencit  Ekstrak dengan dosis 2000 mg/kgbb (konsentrasi 60

mg/0,2 ml) 7 Mencit

diaklimatisasi 10 hari

Setelah 48 jam  Mencit hidup Diamati setiap 30 menit selama 4 jam, dilanjutkan setiap hari sampai 14 hari Diberikan pada mencit secara

oral menggunakan sonde

3 mencit dipuasakan selama 3-4 jam. (tetap diberikan minum)

Mencit tidak diberi makan (dipuasakan) selama 1-2 jam. (tetap

diberikan minum) 2 mencit (kontrol) 

Na CMC 1%

Pengamatan : kulit dan bulu, mata, letargi, konvulsi, tremor, diare, dan mati

Disuspensikan dalam Na CMC 1%

Kulit akar segar Ginseng Kuning dimaserasi dengan 600 mL etanol 96% selama sehari (dilakukan 5 kali)

Ekstrak kering

disaring filtrat Diuapkan (rotary evaporator)

Ekstrak kental Freez dry


(54)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Lanjutan)

3. Histopatologi Organ Mencit Pengamatan :

kulit dan bulu, mata, letargi, konvulsi, tremor, diare, dan mati

Mencit diberikan ekstrak dengan dosis 2000 mg/kgbb (konsentrasi 60

mg/0,2 ml) 48 jam

kemudian

Setelah 14 hari  7 Mencit hidup semua Diamati setiap 30 menit selama 4 jam, dilanjutkan setiap hari sampai 14 hari Diberikan pada mencit secara

oral menggunakan sonde

4 mencit dipuasakan selama 3-4 jam. (tetap diberikan minum)

Mencit tidak diberi makan (dipuasakan) selama 1-2 jam. (tetap

diberikan minum)

Mencit hidup hingga hari- 14

Inhalasi dengan eter

dibedah Mencit mati

Pembuatan preparat

Pembacaan preparat organ mencit  Mikroskop Organ yang diambil

hati, ginjal, limpa

Fiksasi Clearing Embedding Infiltrasi Sectioning Afiksing Staining Dehidrasi Mounting


(55)

Lampiran 2. Penghitungan Kadar Air Simplisia, Rendemen, dan Pembuatan Larutan Uji

1. Kadar Air Simplisia

Berat cawan kosong = 21,6220 gram Berat cawan + simplisia (W0) = 22,6887 gram

Setelah dimasukan ke dalam oven, berat cawan + simplisia menjadi (W1) 21,83317 gram

% Kadar Air =

x 100%

2. Rendemen Ekstrak

3. Pembuatan suspensi Na CMC 1%

Na CMC

4. Perhitungan VAO

Volume yang diberikan pada mencit maksimal 1ml/100gBB Maka :

=

=

sehingga volume maksimal yang diberikan pada mencit adalah 0,3 mL, yang digunakan 0,2 mL.


(56)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Lanjutan) 5. Pembuatan suspensi ekstrak

Dosis ekstrak yang diberikan = 2000 mg/kgbb

Mencit dengan bobot 30 gram, maka setara dengan 60 mg/30 grambb Volume yang diberikan pada mencit = 0,2 mL (kurang dari 0,3 mL)

VAO (mL) = 0,2 mL = ⁄

Konsentrasi = 60 mg/0,2 mL

= 300 mg/mL

VAO total = VAO x jumlah mencit yang diberi perlakuan

= 0.2 ml x 5 = 1 ml ≈ 2 ml Konsentrasi =

300 mg/mL =


(57)

Lampiran 3. Hasil Pengamatan Tanda-tanda Toksisitas

Pengamatan 30 menit 4 jam 24 jam

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7

Kulit dan bulu N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N

Mata N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N

Letargi - - - -

Konvulsi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Tremor - - - -

Diare - - - -

Mati - - - -

N: Normal, (-) : Tidak terjadi

Pengamatan 48 jam 1 minggu 2 minggu

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7

Kulit dan bulu N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N

Mata N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N

Letargi - - - -

Konvulsi - - - -

Tremor - - - -

Diare - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Mati - - - -


(58)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Keterangan :

Kulit dan bulu Bulu  Piloereksi : bulu hewan terlihat keras atau tegang. Ini bisa menjadi tanda adanya ketidaknormalan. Kulit  Kulit memar/ krepitus: mungkin karena pendarahan subkutan atau terdapat udara dibawah kulit

Mata Terdapat kemerahan disekitar mata, mungkin ada kotoran di daerah anogenital. Dalam keadaan ini, hewan mungkin dalam sakit parah dan tidak nyaman.

Letargi (kelesuan) Sikap tidak aktif, termasuk kelelahan, kelesuan dan atau keengganan untuk bergerak. Hewan yang sakit, mungkin akan mati jika disertai dengan hilangnya berat badan, dehidrasi, atau mata cekung.

Konvulsi (kejang) Otot-otot hewan mungkin kaku atau lembek. Hal ini berlangsung hanya selama beberapa detik atau mungkin lebih lama. Jika kejang berlangsung selama lebih dari satu menit dan diulangi selama lebih dari 5 kali sehari, maka hewan harus dibunuh.

Tremor (gemetar) Hewan dapat menunjukkan otot berkedut atau gerakan kulit yang cepat.

Diare Diare dapat berupa feses yang berair atau berdarah (disentri). Peningkatan frekuensi buang air besar bisa mengindikasikan keparahan yang lebih besar.

Mati Tahapan yang menyebabkan kematian memiliki ciri:

• Kematian yang diprediksi: adanya tanda-tanda klinis menunjukkan kematian sebelum akhir percobaan, misalnya: ketidakmampuan untuk mencapai air atau makanan.

• hampir mati ; ketika hewan yang hampir mati atau kematian yang diharapkan untuk pengamatan berikutnya yang telah direncanakan. Tanda-tanda indikatif ini pada hewan bisa termasuk kejang-kejang, penyerahan diri, dan tremor. • moribund (sekarat) : keadaan sekarat atau ketidakmampuan untuk bertahan hidup, bahkan jika dirawat.


(1)

4

Ginjal Mencit 2 2000mg/kgbb perbesaran 200x

1.Glomerulus

2.Tubulus Proksimal 3.Tubulus Distal

Jaringan Normal seperti kontrol

5

Ginjal Mencit 3 2000mg/kgbb perbesaran 200x

1.Glomerulus

2.Tubulus Proksimal 3.Tubulus Distal 4.Glomerulus

mengkerut (atrofi)

6

Ginjal Mencit 4 2000mg/kgbb perbesaran 200x

1.Glomerulus

2.Tubulus Proksimal 3.Tubulus Distal

Jaringan Normal seperti kontrol


(2)

7

Ginjal Mencit 5 2000mg/kgbb perbesaran 200x

1.Glomerulus

2.Tubulus Proksimal 3.Tubulus Distal 4.Udem

5.Glomerulus mengkerut (atrofi)


(3)

Lampiran 8. Histopatologi Organ Limpa

No. Gambar Histopatologi Keterangan

1

Limpa kontrol (1) perbesaran 200x

1.Pulpa Putih 2.Pulpa Merah 3.Trabekula

-Jaringan Normal

2

Limpa kontrol (2) perbesaran 200x

1.Pulpa Putih 2.Pulpa Merah 3.Trabekula

-Jaringan Normal

3

Limpa Mencit 1 (2000mg/kgbb) perbesaran 200x

1.Pulpa Putih 2.Pulpa Merah 3.Trabekula

Jaringan normal seperti kontrol


(4)

4

Limpa Mencit 2 (2000mg/kgbb) perbesaran 200x

1.Pulpa Putih 2.Pulpa Merah 3.Trabekula

Jaringan normal seperti kontrol

5

Limpa Mencit 3 (2000mg/kgbb) perbesaran 200x

1.Pulpa Putih 2.Pulpa Merah 3.Trabekula

Jaringan normal seperti kontrol

6

Limpa Mencit 4 (2000mg/kgbb) perbesaran 200x

1.Pulpa Putih 2.Pulpa Merah 3.Trabekula

Jaringan normal seperti kontrol


(5)

7

Limpa Mencit 5 (2000mg/kgbb) perbesaran 200x

1.Pulpa Putih 2.Pulpa Merah 3.Trabekula

Jaringan normal seperti kontrol


(6)

Lampiran 9. Gambar Alat dan Bahan

Gambar Keterangan Gambar Keterangan

Potongan/ rajangan kulit akar Ginseng Kuning yang akan

dimaserasi

Ekstrak kering Kulit akar Ginseng Kuning

Filtrat ekstrak Kandang

mencit

Rotary evaporator (Heidolph WB 2000)

Mencit yang telah diambil organnya

Freez Dryer (Eyela)

Fiksasi organ mencit dalam BNF 10%