Perbedaan Intimacy dalam Berpacaran Ditinjau dari Status Identitas pada Mahasiswa

(1)

PERBEDAAN INTIMACY DALAM BERPACARAN DITINJAU DARI STATUS IDENTITAS PADA MAHASISWA

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi

Oleh:

MAERI 041301040

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

ABSTRAK

Maeri dan Eka Ervika

Memasuki periode dewasa awal, individu memiliki tugas perkembangan yang berbeda dengan periode sebelumnya. Salah satu tugas perkembangan pada masa ini adalah membangun hubungan dengan lawan jenis dan kemudian menikah. Salah satu kelompok individu yang berada pada masa ini yaitu mahasiswa. Keintiman (intimacy) dengan lawan jenis tidak terbentuk begitu saja. Keintiman dipengaruhi oleh berhasil tidaknya sesorang dalam mencapai status identitas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan keintiman dalam berpacaran ditinjau dari status identitas pada mahasiswa.

Subjek dalam penelitian ini adalah 100 orang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Sampel yang memenuhi kategori penelitian sebanyak 86 orang. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah simple random sampling. Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel tergantung yaitu keintiman dan variabel bebas yaitu status identitas. Keintiman diukur melalui skala yang disusun oleh penulis berdasarkan kategori intimacy menurut Olforsky (1993). Status identitas juga diukur melalui skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan krisis dan komitmen yang terjadi pada area berpacaran sesuai dengan teori Marcia (1993). Koefisisen reliabilitas Skala keintiman yang digunakan dalam penelitian sebesar rxx’ = 0.911, sedangkan koefisisen reliabilitas skala status identitas yang juga digunakan dalam penelitian, kriteria krisis sebesar rxx’ =0.781 dan komitmen sebesar rxx’ =0.889.

Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan keintiman dalam berpacaran ditinjau dari status identitas pada mahasiswa (ρ = 0,0001). Status identitas memberikan pengaruh sebesar 27% terhadap keintiman.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada yang Maha mengetahui, Maha pemberi petunjuk dan pedoman, dan Maha pemilik dari semua yang ada di langit dan di bumi yaitu ALLAH SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah : “Perbedaan Intimacy dalam Berpacaran Ditinjau dari Status Identitas pada Mahasiswa”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat dalam memenuhi persyaratan ujian Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Tidak dapat disangkal butuh usaha yang keras, kegigihan, dan kesabaran untuk menyelesaikannya.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku Ketua Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Eka Ervika, M. Si. selaku dosen pembimbing seminar dan skripsi yang telah banyak memberikan masukan serta saran-saran yang sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. Mohon maaf apabila dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis telah merepotkan dan menyita banyak waktu Ibu. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Ibu.


(4)

3. Ibu Lili Garliah, M. Si dan Ibu Elvi Andriani M. Si selaku dosen penguji. Terima kasih karena Ibu telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji saya.

4. Ibu Etty yang membantu penulis dalam menyelesaikan Bab III dan membuat skala. Makasih banyak atas kesediaannya ya.

5. Orang tua tercinta, kepada ayahanda tercinta Alm. H. Jawahir atas dukungan dan cintamu yang selalu hidup dalam jiwa penulis dan kepada ibunda tercinta Hj. Rukini yang selalu memberi dukungan dan doa kepada penulis dan juga menjadi satu-satunya alasan penulis untuk segera menyelesaikan kuliah. Semua ini karena penulis ingin membahagiakan Ibu. Skripsi ini hadiah terindah buat Ibu yang dapat penulis berikan. Penulis berharap dapat membahagiakan dan membuat Ibu selalu tersenyum sesuai janji penulis.

6. Kakak dan Abang penulis, Maratun, Riad Horem, Joko, Subakir, Suwarti, Sudarsih, Agus Heriadi, Darsono, Yayah, Nugroho, Dedek, Semedi, Isworo, Welas, Kamaluddin, Asih dan Fendi yang telah memberi bantuan kepada penulis baik berupa materi maupun bantuan yang lainnya dan doa yang selalu mengiringi setiap langkah penulis. Terima kasih semuanya. 7. Teman-teman dari kelompok cinta, Erni, Ika, Juli, Elok dan Koko yang

selalu ada di saat penulis membutuhkan. Memberikan semangat dan dukungan yang tidak ternilai buat penulis. Kalian memberikan semangat baru buat penulis.


(5)

8. Desti Natalina, sahabat karib penulis yang menjadi teman belanja, yang mengingatkan penulis selalu dan menjadikan penulis lebih dewasa dalam menghadapi banyak hal, memberikan kebahagiaan kepada penulis, mengingatkan penulis akan kebaikan. Semoga desti juga dimudahkan dalam segala urusan..

9. Cahyanti, sahabat penulis yang berhati mulia. Terima kasih karena selalu mengingatkan dalam kebaikan dan mendoakan hal-hal yang baik untuk penulis.

10.Teman-teman sekelompok Labsos Onyak, Novri, Zuraidah, Destia, Desti dan Putri yang telah memberi dukungan semenjak penulis seminar dan juga menjadi teman dekat penulis sampai saat ini. Makasih buat perhatian dan semangatnya.

11.Mas Arie, makasih buat semua perhatian, semangat dan doa yang mas berikan buat penulis. Semoga Allah selalu memberikan dan menunjukkan hal-hal yang baik buat kita. Amin.

12.Misbah, Yunita dan Anita yang telah setia menjadi teman-teman penulis. Walaupun akhir-akhir ini kita jarang berkumpul tapi dihati penulis kalian masih sahabat penulis. Terima kasih atas segala pengertiannya.

13.Wahyu, Ipur dan Ial yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Laila Maya yang telah mengajak penulis berlibur selama sehari di rumahnya untuk membantu penulis menerjemah. Semoga kak maya dimudahkan seminarnya, dilancarkan skripsinya.


(6)

15.Wawa ’02, Novri ’02 yang telah membimbing penulis dan menyediakan waktunya untuk mengajari penulis memahami bagaimana cara untuk menyelesaikan skripsi dengan penuh kesabaran.

16.Ade perpus yang baik hati, yang sering membantu penulis ketika sedang kerepotan, meminjamkan buku dan berbagi kue lebaran kepada penulis. 17.Bonny, Ayu, Adri, Adit, Iboy, Ika, Hari, Dinah, Cindy, Kiki, Imam dan

Vina. Terima kasih buat dukungan dari keponakan-keponakan penulis. Semoga keluarga kita semakin bahagia, harmonis dan saling mendoakan untuk keberhasilan satu dan yang lain.

18.Pak Sugiman di Jogja, Senia di UNPAD, yang telah membantu mencarikan dan mengirimkan buku untuk penulis. Makasih banyak untuk segala bantuannya.

19.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu., terima kasih atas semuanya.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan Psikologi Perkembangan.

Medan, 11 Juni 2008


(7)

ABSTRAK

Maeri dan Eka Ervika

Memasuki periode dewasa awal, individu memiliki tugas perkembangan yang berbeda dengan periode sebelumnya. Salah satu tugas perkembangan pada masa ini adalah membangun hubungan dengan lawan jenis dan kemudian menikah. Salah satu kelompok individu yang berada pada masa ini yaitu mahasiswa. Keintiman (intimacy) dengan lawan jenis tidak terbentuk begitu saja. Keintiman dipengaruhi oleh berhasil tidaknya sesorang dalam mencapai status identitas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan keintiman dalam berpacaran ditinjau dari status identitas pada mahasiswa.

Subjek dalam penelitian ini adalah 100 orang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Sampel yang memenuhi kategori penelitian sebanyak 86 orang. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah simple random sampling. Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel tergantung yaitu keintiman dan variabel bebas yaitu status identitas. Keintiman diukur melalui skala yang disusun oleh penulis berdasarkan kategori intimacy menurut Olforsky (1993). Status identitas juga diukur melalui skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan krisis dan komitmen yang terjadi pada area berpacaran sesuai dengan teori Marcia (1993). Koefisisen reliabilitas Skala keintiman yang digunakan dalam penelitian sebesar rxx’ = 0.911, sedangkan koefisisen reliabilitas skala status identitas yang juga digunakan dalam penelitian, kriteria krisis sebesar rxx’ =0.781 dan komitmen sebesar rxx’ =0.889.

Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan keintiman dalam berpacaran ditinjau dari status identitas pada mahasiswa (ρ = 0,0001). Status identitas memberikan pengaruh sebesar 27% terhadap keintiman.


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk yang tidak pernah berhenti berubah. Semenjak pembuahan hingga akhir kehidupan selalu terjadi perubahan, baik dalam kemampuan fisik maupun kemampuan psikologis. Perkembangan kehidupan manusia terjadi secara bertahap, dan setiap tahap perkembangan tersebut memiliki karakteristik, tugas-tugas perkembangan serta risiko-risiko yang harus dihadapi. Setiap periode perkembangan dalam kehidupan manusia memiliki peranan yang sangat penting. Pemenuhan tugas-tugas perkembangan pada tahap awal perkembangan akan mempengaruhi perkembangan pada rentang kehidupan selanjutnya (Hurlock, 1999).

Memasuki periode dewasa awal, individu memiliki tugas perkembangan yang berbeda dengan periode sebelumnya. Salah satu tugas perkembangan pada masa ini adalah membangun hubungan dengan lawan jenis dan kemudian menikah. Salah satu kelompok individu yang berada pada masa ini yaitu mahasiswa.

Mahasiswa adalah sekelompok individu yang telah menyelesaikan SMU dan memasuki Perguruan Tinggi. Mahasiswa memasuki akhir dari tahap perkembangan remaja akhir dan memasuki awal dari tahap perkembangan dewasa awalnya (Erikson, 1999). Mahasiswa yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal mempunyai masalah sebagai mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial,


(9)

mahasiswa mengalami perkembangan psikososial dan salah satunya adalah dengan membentuk hubungan intim dengan lawan jenis (Papalia, 2003). Masalah ini berkaitan dengan tugas perkembangannya yang berada pada masa dewasa awal di mana sebagian besar mahasiswa berada pada rentang umur dari 18/19 tahun sampai 24/25 tahun (Winkel,1997).

Mahasiswa bukan hanya dituntut untuk sekedar menjalin hubungan dengan lawan jenis. Akan tetapi, mahasiswa juga dituntut untuk mengembangkan keintiman (intimacy) dalam hubungannya tersebut. Keintiman dengan lawan jenis ini akan membantu mahasiswa untuk memenuhi tugas perkembangannya dalam rangka persiapan untuk hidup berumah tangga. Sebelum berumah tangga mahasiswa akan memilih pasangan yang paling tepat untuk dijadikan pendamping. Biasanya mereka yang menikah adalah mereka yang telah melalui tahap-tahap berpacaran. Melalui pacaran, seseorang mendapat ilmu untuk memasuki dunia pernikahan. Pengertian pacaran itu sendiri menurut Reiss (dalam Duval & Miller, 1985) adalah hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai dengan keintiman. Keduanya terlibat perasaan cinta dan saling mengakui pasangan sebagai pacar.

Gembeck & Patherick (2006) mengatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam berpacaran yaitu keintiman dengan lawan jenis dan berbagi dengan orang lain yang merefleksikan tugas perkembangan pada masa ini. Terdapat dua bentuk utama dari keintiman yaitu keintiman dalam persahabatan dan keintiman dalam hubungan yang intim (Trenholm & Jensen, 1992). Salah satu contoh hubungan yang intim yaitu pacaran. Penelitian ini menggunakan keintiman dalam


(10)

berpacaran dalam kaitan menjalin hubungan dengan lawan jenis untuk persiapan tugas perkembangan dewasa awal dalam hidup berumah tangga.

Kematangan yang dimiliki mahasiswa dalam menjalin keintiman dengan lawan jenis tidak dapat terjadi bergitu saja. Menurut Erikson (1999), pencapaian keintiman harus terlebih dahulu melewati pencapaian identitas. Pendapat ini juga diperkuat oleh penelitian Fitch dan Adams (dalam Adams, 2005) yang meneliti hubungan antara identitas dan keintiman. Mereka menemukan bahwa terdapat hubungan antara status identitas yang baik (identity achievement) dengan level keintiman yang lebih tinggi.

Olforsky (dalam Marcia, Waterman, Matteson, Archer & Olforsky., 1993) mendefinisikan kemampuan keintiman sebagai kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan hubungan yang intim atau akrab, yang biasanya terlihat dalam bentuk kedekatan, penghargaan terhadap individualitas, keterbukaan, komunikasi, tanggung jawab, hubungan timbal balik, komitmen dan seksualitas.

Perilaku mahasiswa akan berubah ketika menjalin hubungan yang intim dengan lawan jenis. Mereka akan lebih sering berinteraksi dengan pasangannya, menghabiskan waktu lebih banyak untuk bersama-sama, saling terbuka dan juga saling memahami satu sama lain (Berscheid, Burgess & Huston dalam Fieldman, 1995).

Kenyataannya keintiman pada setiap individu berbeda-beda. Hal ini terlihat dari pengamatan yang dilakukan terhadap mahasiswa Psikologi Unika yang dilakukan dengan wawancara dan konsultasi pribadi oleh Suparmi & Setiono (2000) yang menemukan bahwa belum semua mahasiswa mampu menjalin


(11)

keintiman dengan lawan jenis. Akibatnya hanya mampu menjalin hubungan yang bersifat dangkal. Akhirnya, banyak yang suka berganti-ganti pasangan. Ada yang baru sebulan jadian, tiba-tiba putus dan seminggu kemudian sudah mendapatkan gandengan baru. Semuanya dilakukan karena alasan tertentu (Mulamawitri, 2003). Keintiman yang berbeda-beda juga terlihat dari wawancara yang dilakukan dengan YR (21 tahun), Mahasiswa semester 6 Jurusan Manajemen Fakultas UISU mengatakan bahwa,

”aku baru enam bulan pacaran. Dia pacarku yang keberapa ya? Aku lupa. Aku sering ganti pacar. Dalam setahun bisa empat kali ganti. Alasannya karena aku mencari pacar yang benar-benar pas dengan aku. Kalau dia gak mau dengerin yang aku bilang, aku paling males. Kali ini aku udah enam bulan pacaran, tapi kayaknya aku gak cocok juga ma dia. Dia kurang perhatian, kurang terbuka. Banyak banget rahasianya. Aku males pula jalanin hubungan yang seperti ini. Aku kemaren suka ma dia karena dia kayaknya orangnya lembut, baek gitu. Trus, dia lagi popular banget di kampus. Banyak teman aku yang suka ma dia, rupanya dia maunya jadi pacar aku. Ya udah, jadianlah kami. Eh, gak taunya kelembutan payah juga. Lemah lembut kali juga anaknya. Jadi ya, aku gak taulah. Kalau emang masih kayak gini terus mendingan putus aja. Akupun gak yakin ma pacarku kali ini, salah pilih juga mungkin. Tapi kan masih banyak yang lain. Hehehe.” (wawancara personal, 06 Februari 2008).

Berbeda dengan hasil wawancara yang dilakukan dengan Y.R yang mengatakan tentang hubungannya yang tidak terlalu baik dengan pasangannya. Seorang mahasiswi Jl (22 tahun) semester lima Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi UISU mengatakan bahwa,

” Aku baru dua kali pacaran. Pacaran yang pertama sampai lima tahun, terus yang kedua sampai sekarang. Udah empat tahun kami pacaran, susah seneng udah dijalani. Kadang terlintas pikiran pengen putus kalo ada masalah dikit tapi ujung-ujungnya balikan dan dekat lagi.ya karena masalah kecil aja, aku suka cemburu gitu deh. Rahasianya? Ehm yang penting saling percaya. Soalnya kalau udah gak ada kepercayaan itu uda susah menjalaninya. Terus, kalo ada hal-hal yang gak disukai dari pasangan dibicarain aja, jangan disimpen sendiri nanti jadi dongkol


(12)

sendiri. Kalo dibicarainkan bisa dicari solusinya. Rencana masa depan? Hehe,ya ada dunk. Secara kitakan udah empat tahun pacaran. Cuma masalahnya pacar aku belum kerja. Jadi aku belum berani kenalin ma keluarga.. tapi jujur aja untuk saat ini kami udah buat komitmen sih, pokoknya kalau dia da kerja nanti, terus aku udah selesai kuliah, ya udah,apalagi. hehe.” (Komunikasi personal, November 2007)

Berdasarkan hasil wawancara dengan YR yang mengatakan hubungannya tidak berjalan dengan baik karena merasa hubungan yang sedang dijalaninya tidak terdapat keterbukaan dari pasangan dan merasa pasangannya kurang memberi perhatian kepadanya. YR juga kurang yakin terhadap pilihannya. Hubungan Jl yang berlangsung lama terlihat keintiman di dalamnya. Keintiman yang terlihat dari lamanya mereka berpacaran, telah memiliki komitmen dalam hubungan yang sedang dijalani dan adanya keterbukaan dalam hubungan tersebut sehingga permasalahan yang terjadi dalam hubungan mereka diselesaikan secara bersama-sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Reis (1990) yang mengatakan bahwa keintiman diperlukan untuk mendirikan sebuah hubungan yang berlangsung lama

Menurut Erikson (dalam Newman, 2006), seseorang harus mencapai status identitas yang baik sebelum seseorang mampu untuk membuat komitmen terhadap diri sendiri untuk berbagi identitas dengan orang lain. Dewasa awal yang tidak mengenal dengan jelas dirinya terancam ketika memasuki suatu hubungan jangka panjang dengan orang lain, komitmen, atau keterikatan atau juga mereka memiliki ketegantungan yang berlebihan kepada pasangannya sebagai sumber identitas olehnya.

Menurut Marcia (2000), mahasiswa diharapkan mampu menyelesaikan periode pencarian identitas diri. Mahasiswa melakukan eksplorasi yang


(13)

mempertanyakan kembali, mengkaji dan mendalami berbagai hal mengenai masalah yang menimpanya. Seiring dengan eksplorasi maka mahasiswa melakukan suatu komitmen yaitu penentuan sikap atau pilihan yang pasti terhadap suatu permasalahan. Akan tetapi, di satu pihak mahasiswa begitu penuh harap, terbuka, bangga, tetapi dilain pihak mahasiswa dipenuhi ketakutan, keraguan, kecemasan, tidak yakin dirinya mampu atau tidak, tidak mengetahui tujuan hidupnya, tidak mengetahui akan menjadi apa dikemudian hari dan sebagainya. Mahasiswa sering dipenuhi konflik dan tantangan tentang masa depan. (Aryatmi dalam Kartono, 1985).

Erikson (dalam Kroger, 2001) mendefinisikan keintiman mengacu pada perasaan saling percaya dan saling berbagi dalam suatu hubungan. Keintiman dapat terjadi karena kita telah mengenal diri kita dan merasa cukup aman dengan identitas yang kita miliki. Ketika kita mengenali diri kita, mengetahui pilihan apa yang kita ambil, dalam hal memilih pasangan juga sama halnya. Seperti pada kasus YR yang tidak meyakini pilihannya sendiri dan hanya memilih pasangan berdasarkan penilaian teman-temannya. Hal ini mengindikasikan YR belum mengenali dengan benar pilihan yang akan diambilnya dan belum memiliki identitas diri yang baik. Individu yang bertanggung jawab dan mandiri akan memiliki keintiman yang lebih baik karena bertanggung jawab terhadap pilihan yang diambil serta memiliki kesadaran yang jelas mengenai dirinya.

Reis (1990) mengatakan keintiman juga baru dapat terjadi apabila kita telah mengenal diri kita sendiri dan nyaman dengan diri kita. Setelah itu barulah kita dapat mengizinkan orang lain untuk berbagi dengan kita, mengenal kelebihan dan


(14)

kekurangan kita. Rice (dalam Suparmi & Setiono, 2000) menyatakan bahwa salah satu faktor yang penting sekali bagi pembentukan keintiman adalah identitas diri. Hal ini sesuai dengan teori psikososial dari Erikson yang mengatakan bahwa kesuksesan suatu tahap perkembangan dipengaruhi oleh kesuksesan tahap perkembangan sebelumnya. Tahap perkembangan individu yang berada pada masa dewasa awal yaitu keintiman dengan keterasingan. Di mana perkembangan keintiman dipengaruhi oleh berhasil tidaknya seseorang mencapai perkembangan identitas pada tahap sebelumnya.

Marcia (1993), mengelompokkan identitas diri ke dalam empat kategori yaitu diffusion, foreclosure, moratorium dan achievement. Pengelompokan ini didasarkan atas krisis dan komitmen yang terbentuk. Pengertian dari krisis itu sendiri adalah sebuah periode pembuatan keputusan ketika pilihan-pilihan, kepercayaan-kepercayaan, dan pengidentifikasian yang telah ada sebelumnya dipertanyakan oleh individu dan informasi atau pengalaman yang berhubungan terhadap pilihannya untuk dilakukan pencarian. Krisis juga menggambarkan sejumlah pencarian untuk meninjau kembali atau mendefinisikan ulang mengenai dirinya.. Komitmen adalah keadaan di mana seseorang telah memiliki sejumlah pilihan-pilihan, kepercayaan dan nilai-nilai yang spesifik. Komitmen juga memperlihatkan suatu tanggung jawab pribadi terhadap apa yang mereka lakukan.

Status identitas diffusion, terdiri dari individu yang tidak mempunyai komitmen dan belum mengalami krisis dalam kehidupannya. Foreclosure merupakan status identitas yang terdiri dari individu yang memiliki komitmen tetapi belum melewati krisis dalam hidupnya. Moratorium terdiri dari individu


(15)

yang sedang mengalami krisis tetapi belum memiliki komitmen. Status identitas achivement ditandai oleh adanya komitmen, yang terbentuk melalui krisis yang dilalui.

Individu yang berada pada ke empat status identitas ini juga memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut Erikson (1999), Individu yang berada pada status identitas diffusion tidak bertanggung jawab, terlihat kurang memiliki tujuan dan merasa kebingungan. Mereka merasakan kesulitan untuk merencanakan suatu keputusan. Individu yang memiliki status identitas foreclosure digambarkan sebagai seseorang yang mengadopsi tujuan, nilai-nilai dan kepercayaan dari orangtua atau figur otoritas lainnya tanpa memikirkannya secara kritis. Misalnya seseorang yang memilih pasangan tanpa mengenali dengan baik pasangannya. Tetapi karena penilaian orangtua atau teman-teman maka individu tersebut mengikuti pilihan mereka tanpa melakukan penilaian secara kritis. Hal ini juga sama dengan kasus yang dialami YR. Individu yang berada pada status identitas moratorium mengalami keraguan terhadap dirinya, kebingungan dan mengalami konflik dengan orangtua atau figur otoritas lainnya. Mereka sering terlihat menyendiri, memikirkan dan mempertimbangkan pilihan yang telah diambilnya (Kaplan, 2000). Individu yang memiliki status identitas achievement mencapai kedewasaan dengan perasaan yang jelas mengenai siapa dirinya, kepercayaan-kepercayaan yang penting dan arah hidup yang jelas tujuannya, lebih mandiri, dapat memberikan respon yang baik terhadap kondisi stress, mempunyai cita-cita yang lebih realistik dan harga diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga status identitas lainnya. Individu pada status identitas ini bertanggung jawab,


(16)

memiliki kesadaran diri dan komitmen yang jelas terhadap sejumlah pilihan yang telah diambilnya. Individu pada status ini dapat meyakini pilihan yang diambilnya. Dalam hal memilih pasangan, mereka bertanggung jawab terhadap pasangan yang dipilih sehingga hubungan yang dijalani dapat bertahan lebih lama.

Individu yang memiliki identitas achievement dan moratorium memiliki keintiman yang lebih baik dari pada individu yang memiliki status identitas foreclosure dan diffusion. Gembeck & Patherick (2006) menyatakan bahwa mahasiswa yang mempunyai identitas achievement bersikap lebih terbuka dalam suatu hubungan, dan dapat menjalin hubungan yang intim dalam jangka waktu yang lebih lama dibanding status identitas yang lainnya. Fitch dan Adam (1983) dalam penelitiannya terhadap 78 orang individu menunjukkan bahwa identitas mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan keintiman. Mahasiswa yang berhasil mencapai status identitas akan memiliki kemampuan keintiman yang lebih baik karena mampu menjalin hubungan yang lebih dekat, dan lebih bersifat terbuka terhadap pasangan.

Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana perbedaan keintiman dalam berpacaran ditinjau dari status identitas pada mahasiswa.

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang ingin diketahui pada penelitian ini adalah bagaimana perbedaan keintiman dalam berpacaran ditinjau dari status identitas yang dimiliki pada mahasiswa.


(17)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan keintiman dalam berpacaran ditinjau dari status identitas pada mahasiswa.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan wacana dalam pengetahuan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang psikologi perkembangan

b. Memberikan informasi tambahan dalam melakukan penelitian-penelitian sejenis di bidang psikologi perkembangan.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah informasi mengenai pentingnya keintiman pada masa dewasa awal yang dapat dijalin melalui proses berpacaran yang nantinya bertujuan sebagai persiapan untuk hidup berumah tangga.

b. Memberikan gambaran kepada mahasiswa mengenai pentingnya memiliki identitas diri sebelum menjalin keintiman dengan orang lain.


(18)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I Pendahuluan

Bab ini akan dijelaskan latar belakang penelitian tentang perbedaan keintiman dalam berpacaran ditinjau dari status identitas pada mahasiswa, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian keintiman, kriteria keintiman, kategori keintiman, komponen keintiman, dan faktor-faktor yang mempengaruhi keintiman. Serta penjelasan mengenai pengertian identitas, pembentukan identitas, status identitas, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas, pengertian dewasa awal, tugas perkembangan dewasa awal, teori mahasiswa, perbedaan keintiman dalam berpacaran ditinjau dari status identitas pada mahasiswa dan hipotesa penelitian.

Bab III Metodologi Penelitian

Bab ini akan membahas mengenai identifikasi variabel-variabel penelitian, definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian, karakteristik sampel dan teknik pengambilan sampel, prosedur pelaksanaan penelitian, metode pengumpulan data serta metode analisis data.

Bab IV Analisa data dan interpretasi

Bab ini menguraikan gambaran subjek penelitian, hasil utama penelitian, hasil analisis dan hasil tambahan penelitian.


(19)

Bab V Kesimpulan, diskusi dan saran

Bab ini menguraikan tentang kesimpulan penelitian, diskusi dan saran praktis sesuai hasil dan masalah penelitian.


(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Keintiman

1. Pengertian Keintiman

Keintiman berasal dari bahasa latin intimus yang artinya terdalam. Erikson (dalam Kroger, 2001) mendefinisikan keintiman mengacu pada perasaan saling percaya, terbuka dan saling berbagi dalam suatu hubungan. Keintiman dapat terjadi karena kita telah mengenal diri kita dan merasa cukup aman dengan identitas yang kita miliki (Erikson dalam Shaffer, 2005). Menurut Erikson (dalam Marcia, dkk. 1993) individu yang memiliki kemampuan keintiman akan mampu berkomitmen pada pilihan yang telah diambilnya walaupun untuk mempertahankannya membutuhkan pengorbanan dan banyak perundingan.

Olforsky (dalam Marcia, dkk., 1993) mendefinisikan kemampuan keintiman sebagai kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan hubungan yang intim atau akrab, yang biasanya terlihat dalam bentuk kedekatan, penghargaan terhadap individualitas, keterbukaan, komunikasi, tanggungjawab, hubungan timbal balik, komitmen dan seksualitas. Seksualitas disini tidak mengacu pada hubungan seks, tetapi lebih kepada kepuasan yang dirasakan individu dalam berinteraksi dengan orang lain.

Levinger (dalam Masters, Johnson, & Kolodny, 1992) mendefinisikan keintiman sebagai sebuah proses dimana dua orang saling memberi perhatian


(21)

sebebas mungkin dalam pertukaran perasaan, pikiran dan tindakan. Keintiman secara umum ditandai oleh perasaan penerimaan, kedekatan, komitmen dan kepercayaan antara kedua belah pihak.

Keintiman menunjukkan bukti bahwa individu terhubung dan dekat dengan orang yang dicintainya. Keintiman merupakan emosi yang membuat individu merasa lebih dekat satu sama lain, emosi-emosi tersebut seperti menghargai, afeksi dan saling memberikan dukungan. Merasakan keintiman dimana dua orang individu berbagi banyak informasi personal (Lefrancois, 1993).

Stenberg (dalam Carrol, 2005) menyatakan bahwa keintiman melibatkan perasaan yang dekat, terikat dan saling berhubungan. Menurut Fieldman (1995), keintiman adalah proses dimana seseorang mengkomunikasikan perasaan-perasaan dan informasi yang penting mengenai dirinya kepada orang lain melalui sebuah proses keterbukaan diri.

Newman (2006) mendefinisikan keintiman sebagai kemampuan untuk memberi dukungan, terbuka dan mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain tanpa takut kehilangan identitas diri dalam prosesnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian keintiman adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menjalin hubungan yang dekat atau akrab dengan orang lain dengan menunjukkan perasaan saling percaya, saling berbagi (keterbukaan diri), adanya hubungan timbal balik dan terbentuknya komitmen dalam suatu hubungan.


(22)

2.Kriteria Keintiman

Orlofsky (dalam Marcia,dkk., 1993) mengidentifikasikan tiga kriteria utama untuk menentukan keintiman yaitu :

(1) Tingkat dimana individu terlibat dalam persahabatan dengan pria dan wanita. Apakah individu memiliki hubungan dengan lawan jenis dan apakah hubungan yang terjalin dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dapat terlihat melalui banyaknya waktu yang dihabiskan bersama-sama untuk saling mengenal pasangan lebih dalam, menerima kelebihan dan kekurangan yang dimiliki pasangan, dan kedekatan emosional mereka dalam suatu hubungan yang sedang dijalani.

(2) Apakah individu tersebut terlibat atau sudah terlibat dalam komitmen yang dibangun melalui hubungan, bertahan dalam suatu hubungan seperti pada pasangan yang berpacaran. Hal ini dapat terlihat dari pembicaran mengenai kelanjutan suatu hubungan di masa depan seperti ke jenjang pernikahan, dan komitmen yang terdapat dalam suatu hubungan yang membuat hubungan tersebut dapat bertahan ketika terdapat permasalahan dalam hubungan tersebut. Komitmen yang dapat digunakan untuk mendiskusikan dan memecahkan masalah yang terjadi dalam suatu hubungan.

(3) Kedalaman atau kualitas dari hubungan persahabatan dan cinta atau pacaran. Kriteria ini berfokus pada tingkat dimana individu sudah mencapai kapasitas dalam suatu hubungan yang dikarakteristikkan dengan keterbukaan,


(23)

kejujuran, perhatian, empati atau menerima dan mamahami perbedaan yang ada, sikap dan perilaku seksual.

3. Kategori Keintiman

Olforsky (dalam Marcia, dkk., 1993) membagi keintiman ke dalam lima kategori. Penelitian ini berfokus pada dua kutub yang berlawanan yaitu intimate versus isolated. Hal ini sesuai dengan tahap perkembangan dewasa awal yaitu keintiman dengan keterasingan Adapun kelima kategori keintiman tersebut yaitu :

1. Isolated

Individu pada status ini tidak memiliki hubungan yang dekat dengan teman sebaya, kenalan yang mereka miliki bersifat formal dan klise.Individu pada status ini jarang berpacaran dan bukan berarti bahwa mereka akan berpacaran dengan orang yang sama untuk waktu yang lama. Individu ini menyadari mereka jarang berpacaran sebagai sebuah keinginan untuk menghindari keterikatan atau dikarenakan kesibukan mereka. Sebaliknya, mereka ingin berpacaran lebih akan tetapi mereka tidak nyaman dengan apa yang mereka jalani atau melihat diri mereka sebagai seseorang yang sangat tidak menarik atau tidak ada orang lain yang tertarik pada mereka.

Individu ini cenderung menghindar dan kurang memiliki keahlian sosial. Mereka terlihat merasa tidak aman dan rendah diri, tidak puas dengan keadaan diri sendiri atau terlalu puas dengan keadaan diri sendiri, defensive, tinggal dalam sebuah dunia yang terasing dan menolak beberapa kebutuhan atau keinginan untuk dekat dengan orang lain.


(24)

2. Stereotyped

Individu ini memiliki teman-teman dan hubungan pacaran dengan lawan jenis akan tetapi belum memiliki komitmen yang kuat. Individu ini kurang terbuka atau kurang memiliki keterlibatan dan komunikasi yang dangkal dan bersifat konvensional.

Individu ini sering memiliki pacar, akan tetapi mereka jarang terlihat dengan orang yang dama dalam waktu lebih dari beberapa bulan. Mereka suka bermain-main, tidak mau terlibat terlalu dalam dan berkencan dengan beberapa orang dalam waktu yang bersamaan. Jarang menghabiskan waktu dengan berbicara dan mengenal satu sama lain. Individu ini secara seksual terhambat dan tidak matang, berganti-ganti pasangan dan melakukan aktivitas seksual sebagai suatu kegembiraan. Penekanan dalam hubungan berdasarkan apa yang mereka dapatkan dari orang lain dari pada menguntungkan satu sama lain. Secara umum, individu pada status ini dikarakteristikkan memiliki hubungan yang dangkal dan kurang memiliki kesadaran diri.

3. Pseudointimate

Individu ini telah memiliki hubungan dengan lawan jenis yang bertahan lama, akan tetapi hubungan yang dijalin kurang terdapat kedekatan dan tidak mendalam. Hubungan dengan lawan jenis atau hubungan yang


(25)

lainnya yang sedang dijalani memiliki komunikasi yang kurang terbuka dan kurang memiliki keterlibatan emosi.

Individu pada status ini menjalin hubungan yang cenderung dangkal. Mereka jarang membagi permasalahan pribadi mereka atau perasaan yang terdalam dengan orang lain. Rasa tanggung jawab yang mereka miliki sangat terbatas. Mereka hanya bersedia untuk menceritakan hal-hal yang baik. Mereka juga hanya mau mendengarkan permasalahan yang dimiliki orang lain apabila waktunya tepat untuk mereka. Pendekatan mereka terhadap suatu hubungan adalah suatu objek yang menyediakan status, kehormatan, materi atau lainnya. Ketika ditanya alasan mereka menikah atau bertunangan, mereka tidak mengetahuinya tetapi menggunakan alasan waktu yang akan menjawabnya.

Secara umum individu ini dikarakteristikkan dengan memiliki hubungan yang dangkal, kurang memiliki kesadaran diri. Mereka tidak terbuka terhadap nilai-nilai dan memiliki hubungan yang tidak jujur.

4. Preintimate

Individu ini memiliki satu atau lebih teman dekat tetapi belum memiliki hubungan dengan lawan jenis yang bertahan lama. Hubungan yang mereka jalani dikarakteristikkan dengan komunikasi yang terbuka, kasih sayang, perhatian dan menghormati pasangan.

Individu ini tidak sering berpacaran. Hubungan berpacaran yang mereka jalani dikarakteristikkan dengan keterbukaan dan kejujuran seperti


(26)

hubungan dengan teman-teman mereka. Mereka secara umum berpengalaman secara seksual tetapi mengalami konflik pada area ini. Individu ini memiliki permasalahan dengan komitmen, menginginkan hubungan yang dekat tetapi perasaan mereka belum siap menerima kelekatan yang terjadi. Individu ini sangat menghormati pasangannya, mempersepsikan mereka dalam cara-cara yang realistik.

Individu ini secara umum memiliki kesadaran diri yang baik dan benar-benar tertarik kepada orang lain. Mereka memberi kesan bahwa mereka mampu memiliki hubungan cinta yang lama dan berkeinginan untuk mewujudkannya di masa depan.

5. Intimate

Individu membentuk dan memelihara satu atau lebih hubungan cinta yang mendalam dan lama serta telah memiliki komitmen. Hubungan ini dikarakteristikkan dengan komunikasi yang terbuka, saling memberikan kasih sayang dan perhatian, saling bertanggung jawab, menghormati diri sendiri dan pasangan.

Mengembangkan hubungan personal yang saling menguntungkan. Mereka berbagi masalah dengan pasangan dan mampu mengekspresikan rasa marah dan kasih sayang kepada pasangannya. Terbuka terhadap perasaan-perasaan dan masalah yang ada dengan baik. Mempunyai komitmen yang kuat dengan pasangan dan berusaha untuk mengatasi permasalahan dan menyelesaikan perbedaan dengan cara yang tepat. Mereka mempersepsikan pasangan sebagai individu yang unik dan melihat


(27)

kelemahan dan kelebihan pasangan dengan cara yang realistik. Mereka menikmati aktivitas yang dilakukan dengan orang lain, akan tetapi mereka juga memiliki hobi sendiri dan kegiatan yang dilakukan sendiri dan peduli terhadap kebutuhan mereka sendiri. Mereka tidak bergantung, cemburu atau memanipulasi pasangan secara berlebihan. Individu ini secara umum dikarakteristikkan dengan individu yang memiliki kesadaran diri yang baik, benar-benar tertarik kepada orang lain.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keintiman

Keintiman tidak terjadi begitu saja, akan tetapi terdapat faktor-faktor yang dapat mendukung dan menghambat terbentuknya keintiman. Beberapa faktor yang dapat menghalangi terjalinnya keintiman (Cox, 1978) adalah :

1. Pengalaman masa lalu

Adanya peristiwa yang bagi sebagian orang merupakan peristiwa traumatis, seperti meninggalnya orang tua, perceraian dan sebagainya. Akibatnya, orang-orang yang demikian dapat menghindar untuk berhubungan secara dekat dengan orang lain untuk mencintai orang lain. Ketakutan ini dapat menghalangi terjalinnya keintiman.

2. Kecemasan akan identitas diri

Seseorang yang memiliki identitas diri yang belum mantap, belum mengetahui siapa dirinya sebenarnya, mengenai pilihan-pilihan yang akan diambilnya. Hal ini akan menyulitkan seseorang untuk menjalin keintiman dengan orang lain.


(28)

3. Ketakutan akan terungkapnya kelemahan

Ada orang yang menghindar menjalin hubungan dekat dengan orang lain karena merasa takut kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan mereka akan terungkap.

4. Membawa kekesalan atau dendam masa lalu ke masa kini

Mengungkapkan kembali peristiwa di masa lalu yang kurang berkenan, atau harapan-harapan di masa lalu yang tidak tercapai merupakan hal-hal yang dapat menghalangi terjalinnya keintiman.

5. Konflik masa kecil yang tidak terselesaikan

Konflik yang sering menimbulkan perasaan kompetitif, bersaing, iri dan sebagainya sehingga dapat mengganggu terjalinnya keintiman dengan baik.

6. Ketakutan akan mengungkapkan perasaan negatif

Ada orang yang mengalami ketakutan untuk mengungkapkan perasaan negatif seperti amarah, dendam, permusuhan dan sebagainya karena mereka merasa takut akan ditolak atau memperoleh penilaian yang kurang baik.

7. Harapan-harapan terhadap peran suami istri

Pasangan yang menikah belum tentu memiliki pandangan yang sama tentang peran suami istri sehingga akan menimbulkan konflik yang dapat menghalangi terjalinnya keintiman.


(29)

8. Pandangan tentang seks

Mereka yang sejak kecil mendapatkan penjelasan yang negatif tentang seks, dapat mempengaruhi pandangan mereka terhadap seks ketika mereka telah menikah. Sedangkan dalam pernikahan, seks merupakan hal yang penting karena merupakan salah satu cara yang tepat untuk mengurangi ketegangan dan menjalin keintiman.

B. Identitas

1. Pengertian Identitas

Identitas versus kebingungan identitas merupakan fase kelima dalam delapan fase perkembangan Erikson, yang terjadi pada kira-kira bersamaan dengan masa remaja. Inilah saatnya remaja mengetahui siapa dirinya, bagaimana dirinya, dan ke mana ia menuju dalam kehidupannya (dalam Santrock, 1995).

Erikson (dalam Lefrancois, 1993) mendefinisikan identitas sebagai keseluruhan pandangan mengenai diri yang berkembang dari masa lalu tetapi juga melibatkan tujuan dan rencana-rencana di masa depan. Erikson (dalam Gembeck & Patherick, 2006) juga mengatakan bahwa identitas digambarkan sebagai perasaan mengenai diri, menerima keadaan diri dan mengetahui tujuannya berada di dunia. Waterman (dalam Lefrancois, 1993) mendefinisikan identitas sebagai pendefinisian diri yang jelas mengenai tujuan-tujuan, nilai-nilai dan kepercayaan yang dipengang seseorang.


(30)

Identitas menurut Shaffer (2005) adalah pendefinisian diri yang matang, sebuah perasaan tentang siapa diri kita, kemana tujuan hidup kita dan bagaimana kita menyocokkan diri ke dalam masyarakat. Kaplan (2000) mendefinisikan identitas sebagai perasaan yang kita miliki ketika kita mengenal siapa diri kita yang sebenarnya.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian identitas yaitu perasaan mengenai diri, menerima keadaan diri dan pandangan mengenai tujuan hidup, nilai-nilai dan kepercayaan yang kita pegang.

2. Pembentukan Identitas

Pembentukan identitas diri membuat individu mulai mempertanyakan kembali tentang dirinya, meninjau dan mengevaluasi perubahan perasaan-perasaan dan penampilan yang terjadi dan mempertanyakan kembali bagaimana hubungan yang dilakukan dengan orangtua dan oranglain (Gardner, 2002).

Proses pembentukan identitas diri merupakan suatu proses yang berkepanjangan. Pembentukan identitas muncul sejak timbulnya kelekatan, perkembangan perasaan diri dan munculnya kemandirian pada masa bayi, dan mencapai fase akhirnya dengan tinjauan dan integrasi kehidupan pada masa lanjut usia. Pembentukan identitas tidak dimulai atau berakhir pada masa remaja (Santrock, 1995).

Perkembangan identitas oleh Marcia (1993) berfokus pada area ideologi yang merefleksikan pendekatan individu dalam konteks umum yaitu pada pekerjaan,


(31)

agama dan politik dan area interpersonal yang meliputi peran jenis kelamin, hubungan berpacaran dan hubungan persahabatan. Sejumlah pencarian dan komitmen yang dimiliki pada area interpersonal merupakan aspek yang penting dalam perkembangan identitas yang secara khusus berhubungan dengan pembentukan keintiman dalam hubungan berpacaran. Marcia (1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas dapat dilihat melalui kehadiran dari krisis dan komitmen.

3. Krisis

Krisis didefinisikan sebagai sebuah periode pembuatan keputusan ketika pilihan-pilihan, kepercayaan-kepercayaan, dan pengidentifikasian yang telah ada sebelumnya dipertanyakan oleh individu dan informasi atau pengalaman yang berhubungan terhadap pilihannya untuk dilakukan pencarian. Krisis juga menggambarkan sejumlah pencarian untuk meninjau kembali atau mendefinisikan ulang mengenai dirinya.

Masa ini biasanya ditandai dengan kebingungan, kecemasan dan ketidakkonsistenan dan sebuah usaha aktif untuk bekerja melalui konflik (dalam Kroger, 2001). Adapun kriteria yang digunakan untuk menggambarkan terjadinya krisis yaitu :

1. Kemampuan Mengetahui

Orang dewasa memiliki kemampuan mengetahui dengan standard yang lebih tinggi dari pada anak sekolah atau mahasiswa. Kehidupan yang lebih lama dan waktu yang lebih panjang dalam mengumpulkan informasi


(32)

berarti bahwa mereka melewati gambaran yang lebih spesifik tentang alternatif yang mereka pertimbangkan sebagai orang dewasa atau sudah mereka pertimbangkan sebelumnya. Kemampuan ini dapat dilihat dari keluasan dan kedalaman pengetahuan dalam menyelidiki berbagai pilihan yang tersedia.

2. Aktivitas Yang Bertujuan Untuk Mengumpulkan Informasi

Aktivitas yang dilakukan orang dewasa untuk mendapatkan informasi dan memperdalam pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu keputusan diantara berbagai alternatif yang ada.

3. Mempertimbangkan Alternatif Elemen Identitas yang Potensial

Bukti dari sejumlah eksplorasi yang dilakukan. Hal ini terlihat dari keputusan penting yang akan diambil seseorang yang mencerminkan eksplorasi yang dilakukan. Mengenai cara yang dilakukan seseorang dalam mempertimbangkan alternatif pilihan yang tersedia dalam rangka

mendapatkan komitmen yang jelas dalam hidupnya. 4. Bentuk-Bentuk Emosi

Ketika krisis identitas selama masa remaja awalnya menyenangkan dan proses eksplorasi dinikmati sebagai pengembangan pengalaman. Hal ini jarang menjadi masalah apabila seseorang menjelang masa dewasa dan memasuki krisis dengan kehidupan. Selama tahun-tahun dewasa krisis identitas biasanya melibatkan perubahan pola aktivitas yang sudah ada, berhenti melakukan apa yang telah diketahui dan mencoba hal lain yang belum diketahui. Meskipun tujuan atau nilai lama dipandang tidak lagi


(33)

sesuai dengan seseorang di situasi yang sekarang, prospek untuk menemukan pilihan yang baru lebih cenderung menghasilkan kecemasan daripada semangat.

4. Komitmen

Komitmen didefinisikan sebagai pilihan yang relatif stabil pada sejumlah pilihan dan ide-ide yang diambil. Komitmen juga menggambarkan keadaan di mana seseorang telah memiliki sejumlah pilihan-pilihan, kepercayaan dan nilai-nilai yang spesifik. Komitmen juga memperlihatkan suatu tanggung jawab pribadi terhadap apa yang mereka lakukan.

Masa dewasa berbeda dari masa remaja dimana masa dewasa adalah waktu untuk pelaksanaan keputusan yang dibuat pada tahap perkembangan sebelumnya. Komitmen pada masa sekolah dan masa mahasiswa fokus pada reward yang diasumsikan baik interinsik maupun eksterinsik dari segala macam komitmen. Sebaliknya, pada masa dewasa, orang dewasa hidup dengan reward dan pengorbanan yang sebenarnya yang dihasilkan dari mempraktekkan tujuan, nilai dan kepercayaan ke dalam kehidupan nyata. Adapun kriteria yang digunakan untuk menggambarkan komitmen yaitu :

1. Kemampuan Mengetahui

Kemampuan yang mendalam dan akurat tentang satu tujuan serta kemampuan untuk menjelaskan hal-hal yang diputuskan dalam hal ini pada area berpacaran.


(34)

2. Aktivitas yang Ditujukan untuk Memperoleh Informasi

Aktivitas yang ditujukan untuk melaksanakan elemen identitas yang sudah dipilih. Hal ini dikarenakan masa dewasa adalah suatu tahap di mana tujuan, nilai dan kepercayaan diharapkan, standard yang lebih tinggi untuk aktivitas harus diterapkan di sini dari pada tahap sebelumnya. Aktivitas ini berupa segala macam bentuk persiapan untuk menjalankan peran-peran kehidupan di masa akan datang pada elemen identitas seseorang.

3. Bentuk-Bentuk Emosi

Di antara orang dewasa, sifat emosional diasosiasikan dengan komitmen yang dapat bervariasi dari sifat yang antusias kepada realita kegembiraan akan antisipasi yang sering ditemukan pada remaja akan digantikan oleh satu perasaan yang lebih tenang karena sudah menemukan perhatian utama.

4. Identifikasi dengan Orang yang Penting

Figur identifikasi merupakan sumber informasi penting untuk memberikan berbagai alternatif melalui peniruan langsung atau dengan membandingkannya dengan orang lain. Figur identifikasi secara umum tidak memainkan peranan penting selama masa dewasa. Mungkin orang yang paling sering dimintai menjadi sumber bagi komitmen identitas yang potensial adalah pasangan responden. Perbedaan antara pasangan pernikahan dalam hal tujuan, nilai dan kepercayaan mungkin menjadi stimulus untuk memikirkan kembali ide-ide yang sebelumnya sudah


(35)

dibangun atau komitmen yang berkembang pertama kali pada satu area yang tidak menjadi sumber bagi perhatian personal.

5. Proyeksi dari Masa Depan Seseorang

Kemampuan untuk memproyeksikan gambaran diri sendiri (karakteristik pribadi) pada masa depan dan menggambarkan bermacam aktivitas (rencana) yang akan dilakukan pada lima sampai 10 tahun mendatang. 6. Ketahanan Terhadap Godaan

Orang dewasa dengan komitmen identitas harusnya menjadi yang paling bertahan terhadap usaha yang berasal dari luar untuk melemahkan tujuan, nilai dan kepercayaan yang sudah mereka ekspresikan karena mereka diperkirakan akan bertindak sesuai dengan elemen identitas yang sudah mereka bangun.

5. Status Identitas

Status identitas menggambarkan terbentuknya identitas diri seseorang. Berdasarkan kehadiran krisis dan komitmen, Marcia (1993) membagi status identitas menjadi empat, yaitu :

1. Diffuse

Identity diffusion menggambarkan individu yang belum mengalami krisis (yaitu mereka yang belum menjajaki pilihan-pilihan yang bermakna) atau membuat komitmen apapun. Individu pada status ini terlihat apatis, kurang terarah dan kurang memiliki ketertarikan.


(36)

Individu yang memiliki identitas ini tidak hanya belum memutuskan pilihan-pilihan pekerjaan dan ideologis, tetapi juga cenderung memperlihatkan minat yang kecil dalam sejumlah masalah. Erikson menyatakan bahwa individu pada status ini tidak bertanggung jawab, impulsive, spontan, tidak mempunyai tujuan yang jelas mengenai karirnya, tidak memiliki ketertarikan yang khusus, dan tidak memiliki nilai-nilai yang dapat mengarahkan pilihan hidupnya (dalam Kroger, 2001). Individu pada status identitas ini juga terlihat kurang memiliki tujuan dan merasa kebingungan. Mereka merasakan kesulitan untuk merencanakan suatu keputusan. Mereka sering menunjukkan ketergantungan yang berlebihan kepada teman sebaya (Kaplan, 2000).

2. Foreclosure

Identity foreclosure merupakan individu yang telah membuat suatu komitmen tetapi belum mengalami krisis. Status ini juga menggambarkan seseorang yang mengadopsi tujuan, nilai-nilai dan kepercayaan dari orangtua atau figur otoritas lainnya tanpa memikirkannya secara kritis. 3. Moratorium

Identity moratorium merupakan individu yang sedang aktif melakukan pencarian, tanpa memiliki komitmen. Individu pada status identitas ini menyadari pentingnya untuk membuat suatu pilihan, tapi pada kenyataannya mereka tidak melakukan hal yang sama. Individu pada masa ini membutuhkan waktu yang lebih untuk pembentukan identitas (Kroger, 2001). Individu pada status ini juga mengalami keraguan terhadap dirinya,


(37)

kebingungan dan mengalami konflik dengan orangtua atau figure otoritas lainnya. Mereka sering terlihat menyendiri, memikirkan dan mempertimbangkan pilihan yang telah diambilnya (Kaplan, 2000).

4. Achievement

Identity achievement adalah ketika individu telah mengalami suatu pencarian dan sudah membuat suatu komitmen. Adapun komitmen yang diambil pada masa ini berdasarkan sejumlah pencarian yang dilakukan. Individu pada status identitas ini mencapai kedewasaan dengan perasaan yang jelas mengenai siapa dirinya, kepercayaan-kepercayaan yang penting dan arah hidup yang jelas tujuannya.

Marcia (1993) mengatakan bahwa individu yang berada pada status identitas ini lebih mandiri, dapat memberikan respon yang baik terhadap kondisi stress, mempunyai cita-cita yang lebih realistik dan harga diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga status identitas lainnya.

Ke empat status identitas di atas, tidak saling berhubungan satu dengan yang lain. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu maka status identitas akan mengalami kemajuan dari tingkatan yang paling rendah menuju yang paling tinggi dan status identitas achievement sebagai hasil akhirnya (Adams, 2005).

Marcia (1993) mengatakan dari ke empat status identitas di atas, identitas diri yang terbaik adalah identity achievement. Status identitas diffusion, foreclosure dan moratorium adalah serangkaian status identitas yang dapat berubah menjadi status identitas achievement pada akhirnya.


(38)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai status identitas adalah suatu kesadaran dan penerimaan diri secara berkesinambungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Identitas diri diperoleh melalui kehadiran krisis dan komitmen dalam area ideologi yang merefleksikan pendekatan individu dalam konteks umum yaitu pada pekerjaan, agama dan politik dan area interpersonal yang meliputi peran jenis kelamin, hubungan berpacaran dan hubungan persahabatan.

Tabel 1.Status Identitas Menurut Marcia Status identitas Krisis Komitmen Identity diffusion

- -

Identity foreclosure

- +

Identity moratorium

+ -

Identity achievement

+ +

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas

Santrock (1995) membagi atas tiga faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya identitas, yaitu :

1. Pengaruh Keluarga

Orang tua adalah tokoh penting dalam perkembangan identitas. Pengasuhan yang demokratis mempermudah perkembangan identitas. Pengasuhan yang otokratis dan permisif tidak demikian. Cooper dan rekan-rekannya telah memperlihatkan bahwa kedua individuasi dan keterkaitan dalam relasi keluarga memberi kontribusi yang penting bagi perkembangan identitas. Hauser menunjukkan bahwa dengan


(39)

memperbolehkan perilaku-perilaku tertentu akan meningkatkan perkembangan identitas dari pada dibatasi dalam beberapa perilaku.

2. Pengaruh Kebudayaan dan Etnis

Erikson secara khusus tertarik terhadap peran kebudayaan dalam perkembangan identitas, yang menekankan bagaimana di seluruh dunia kelompok-kelompok etnis minoritas berjuang untuk mempertahankan identitas kebudayaan mereka saat bercampur dengan kebudayaan mayoritas. Etnis dan harapan dari lingkungan etnis tempat tinggal individu akan mempengaruhi pencapaian identitas.

3. Jenis Kelamin

Teori klasik Erikson mengusulkan perbedaan-perbedaan jenis kelamin dalam perkembangan identitas. Studi-studi terbaru memperlihatkan bahwa ketika kaum perempuan mengebangkan minat pekerjaan yang lebih kuat, perbedaan-perbedaan jenis kelamin dalam identitas beralih menjadi persamaan-persamaan. Ikatan relasi dan emosi lebih sentral dalam perkembangan identitas kaum perempuan dari ada kaum laki-laki,dan bahwa perkembangan identitas kaum perempuan dewasa ini lebih kompleks dari pada perkembangan identitas kaum laki-laki.

C. Dewasa Awal

1. Pengertian Dewasa Awal

Istilah Adult berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah adollescene-adolescer yang berarti ”tumbuh menjadi kedewasaan”. Akan tetapi, kata adult


(40)

berasal dari bentuk lampau partisipel dari kata kerja adultus yang berarti “telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna” atau “telah menjadi dewasa”. Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock,1999).

Dalam perkembangan psikososial, dewasa awal ditandai dengan adanya penemuan keintiman dengan keterasingan. Keintiman dapat terjadi karena kita telah mengenal diri kita dan merasa cukup aman dengan identitas yang kita miliki ( Erikson dalam Shaffer, 2005). Pada masa dewasa awal inilah individu membuat komitmen personal yang dalam dengan orang lain, yakni dengan membentuk keluarga. Apabila individu pada masa ini tidak mampu melakukannya, maka akan merasa kesepian dan krisis keterasingan.

Setiap kebudayaan membuat perbedaan usia dimana seseorang mencapai status dewasa secara resmi. Pada sebagian kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas sudah selesai atau hampir selesai dan apabila organ kelamin anak telah berkembang dan mampu bereproduksi. Saat ini, usia 18 tahun merupakan usia dimana seseorang dianggap dewasa secara syah. Dengan meningkatnya lamanya hidup atau panjangnya usia rata-rata orang maka masa dewasa sekarang mencakup waktu yang paling lama dalam rentang hidup.

Selama masa dewasa yang panjang ini, perubahan fisik dan psikologis terjadi pada waktu-waktu yang diramalkan seperti pada masa kanak-kanak dan individu yang juga mencakup periode yang cukup lama. Saat terjadinya perubahan-perubahan fisik dan psikologis tertentu, masa dewasa biasanya dibagi menurut


(41)

periode yang menunjukkan pada perubahan-perubahan tersebut, bersama dengan masalah-masalah penyesuaian diri dan tekanan-tekanan yang timbul akibat perubahan tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, Hurlock (1999) membagi masa dewasa dibagi kedalam tiga fase, yaitu :

1. Fase dewasa awal : usia 18 tahun sampai 40 tahun 2. Fase dewasa madya : usia 40 tahun sampai 60 tahun 3. Fase dewasa akhir : usia 60 tahun sampai kematian

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa awal yaitu masa yang ditandai dengan tercapainya perkembangan fisik yang optimal, mencapai kemandirian dan masa membangun hubungan yang baru dengan orang lain dalam rangka membentuk keluarga yang berusia 18 sampai 40 tahun.

2. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal

Harapan masyarakat untuk orang-orang dewasa awal cukup jelas digariskan dan telah diketahui oleh mereka bahkan sebelum mereka mencapai kedewasaan secara hukum. Memasuki masa dewasa, mereka benar-benar telah mengetahui harapan-harapan yang ditujukan masyarakat kepada mereka.

Menurut Havigurst (dalam Hurlock, 1999), setiap masa perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan. Tugas-tugas perkembangan memiliki peranan penting untuk menentukan arah perkembangan yang normal. Tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal yaitu mulai bekerja, memilih pasangan hidup, belajar hidup dengan tunangan, mulai membina keluarga, mengasuh anak,


(42)

mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara dan mencari kelompok sosial yang menyenangkan.

Tingkat penguasaan tugas-tugas ini pada tahun-tahun awal masa dewasa akan mempengaruhi tingkat keberhasilan mereka ketika mencapai puncak keberhasilan pada waktu setengah baya. Tingkat penguasaan ini juga akan menentukan kebahagiaan mereka saat itu maupun selama tahun-tahun terakhir kehidupan mereka.

D. Mahasiswa

Mahasiswa merupakan responden yang digunakan dalam penelitian ini, oleh karena itu akan dikemukakan teori tentang mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa adalah individu yang telah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas dan Memasuki Perguruan Tinggi. Masa mahasiswa meliputi rentang umur dari 18/19 tahun sampai 24/25 tahun (Winkel,1997). Menurut Hurlock (1999) masa ini termasuk ke dalam masa dewasa awal. Masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Rentang umur mahasiswa ini masih dapat dibagi-bagi atas periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester I s/d semester IV; dalam periode waktu 21/22 tahun sampai 24/25 tahun, yaitu mahasiswa dari semester V s/d semester VIII (Winkel,1997).

Mahasiswa memiliki berbagai permasalahan. Salah satunya masalah yang dihadapinya sebagai mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, mereka mengalami apa yang disebut dengan perkembangan psikososial yaitu membentuk hubungan


(43)

yang intim dengan lawan jenis (Papalia, 2003). Ditambahkan Antorucci (dalam Kail & Cavanaugh, 1999) bahwa salah satu kelompok yang tidak lepas dari masalah percintaan adalah individu yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal. Membentuk hubungan intim juga merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal (Erikson dalam Papalia, 2003), sehingga mahasiswa tidak merasa terasing dan terpisah dalam tahap perkembangan psikososial dewasa.

E. Perbedaan Keintiman Dalam Berpacaran Ditinjau Dari Status Identitas Pada Mahasiswa

Menurut teori psikososial Erikson, individu bergerak melalui delapan tahapan dalam perkembangan kepribadian yang dikarakteristikkan dengan adanya krisis dan komitmen. Tahap pertama pada masa kanak-kanak kepercayaan dengan ketidakpercayaan, otonomi dengan rasa malu dan keragu-raguan, insiatif dengan perasaan bersalah, ketekunan dengan rasa rendah diri dan identitas dengan kebingungan identitas. Tiga tahapan yang tersisa dikarakteristikkan dengan perkembangan kepribadian orang dewasa yang dinamai dengan keintiman dengan keterasingan, bangkit dengan mandeg dan integritas dengan kekecewaan.

Menurut Erikson (dalam Adams, 2005), keintiman membutuhkan perkembangan identitas terlebih dahulu. Kita harus mengetahui diri kita barulah kita dapat berbagi dan memahami orang lain. Mengetahui diri sendiri terlebih dahulu dapat membantu kita dalam menciptakan hubungan yang intim tanpa harus kehilangan diri kita sendiri dalam prosesnya.


(44)

Identitas menggambarkan transisi yang terjadi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Berdasarkan teori perkembangan identitas, Marcia (1993) membagi empat status identitas berdasarkan kehadiran dari krisis atau komitmen yang terjadi pada area ideologi yang merefleksikan pendekatan individu dalam konteks umum yaitu pada pekerjaan, agama dan politik dan area interpersonal yang meliputi peran jenis kelamin, hubungan berpacaran dan hubungan persahabatan. Penelitian ini berfokus pada area interpersonal tepatnya keintiman dalam hubungan berpacaran. Melalui pacaran, dewasa awal mendapat bekal untuk memasuki dunia pernikahan.

Mahasiswa yang merupakan sekelompok individu yang berada pada masa dewasa awal, selain memiliki tugas perkembangan untuk menjalin hubungan yang intim dengan lawan jenisnya juga diharapkan sudah mampu untuk menemukan identitas diri. Marcia (2000), mahasiswa menyelesaikan pencarian identitas dirinya dengan melakukan eksplorasi yang mempertanyakan kembali, mengkaji dan mendalami berbagai hal mengenai masalah yang menimpanya. Seiring dengan eksplorasi maka mahasiswa melakukan suatu komitmen yaitu penentuan sikap atau pilihan yang pasti terhadap suatu permasalahan. Akan tetapi, di satu pihak mahasiswa begitu penuh harap, terbuka, bangga, tetapi dilain pihak mahasiswa dipenuhi ketakutan, keraguan, kecemasan, tidak tahu apa yang dapat , tidak yakin dirinya mampu atau tidak, tidak mengethaui tujuan hidupnya, tidak mengetahui akan menjadi apa dikemudian hari dan sebagainya. Mahasiswa sering dipenuhi konflik dan tantangan tentang masa depan (Aryatmi dalam Kartono, 1985).


(45)

Empat status identitas yang disebutkan Marcia yang pertama yaitu identity diffusion menggambarkan individu yang belum mengalami krisis (yaitu mereka yang belum menjajaki pilihan-pilihan yang bermakna) atau membuat komitmen apapun. Individu pada status ini terlihat apatis, kurang terarah dan kurang memiliki ketertarikan. Kedua, identity foreclosure merupakan individu yang telah membuat suatu komitmen tetapi belum melakukan pencarian (exploration). Ketiga, identity moratorium merupakan individu yang sedang aktif melakukan pencarian, tanpa memiliki komitmen dan ke empat, Identity achievement ketika individu telah mengalami suatu pencarian dan sudah membuat suatu komitmen. Adapun komitmen yang diambil pada masa ini berdasarkan sejumlah pencarian yang dilakukan.

Tahap penemuan identitas merupakan periode yang berkembang pada masa remaja. Akan tetapi, identitas tidak hanya berkembang pada masa remaja. Pembentukan identitas merupakan proses yang berkepanjangan. Walaupun perkembangan identitas yang utama pada masa remaja, Erikson (dalam Adams, 2005) mengatakan bahwa pada masa remaja belum mampu untuk mengungkapkan dan mengekspresikan keintiman. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkannya bahwa seseorang tidak akan mampu untuk mengembangkan keintiman sebelum mereka mencapai status identitas yang baik. Kegagalan untuk mencapai keintiman sering menghasilkan rasa takut untuk berkomitmen yang merupakan elemen penting dalam hubungan yang intim.

Menurut Erikson (dalam Adams, 2005), individu yang mengalami kegagalan dalam memecahkan masalah dalam krisis perkembangan identitas akan memiliki


(46)

status identitas diffusion. Kegagalan ini nantinya akan menghambat seseorang untuk mencapai tahap perkembangan psikososial yang berikutnya yaitu keintiman dengan keterasingan. Keempat status identitas yang ada akan mempunyai dampak yang berbeda terhadap keintiman.

Hodgson (dalam Marcia, dkk., 1993) mengatakan bahwa pada wanita, keintiman berkembang sebelum identitas berkembang dengan jelas, bahkan pada area interpersonal. Kenyataannya sebagian besar dari wanita yang memiliki status identitas yang rendah memiliki kemampuan keintiman yang baik. Wanita pada umumnya lebih baik dalam keintiman daripada identitas.

Erikson (dalam Marcia, dkk., 1993) menjelaskan bahwa wanita cenderung untuk mendefenisikan identitasnya melalui sejumlah pencarian yang selektif terhadap pasangan prianya. Sangat sulit bagi wanita untuk mencapai status identitas achievement tanpa menjalin sebuah hubungan dengan orang lain.

Hodgson dan Fisher (dalam Adams, 2005) mengatakan bahwa pria mengembangkan identitas terlebih dahulu dari pada wanita. Alasan penundaan terbentuknya identitas pada wanita adalah dikarenakan wanita terlebih dahulu mengembangkan keintiman setelah itu mencapai identitas dirinya. Identitas merupakan faktor yang penting dalam perkembangan keintiman seorang pria, tetapi pada wanita hal ini tidak terjadi.

Mahasiswa yang sukses dalam pembentukan identitas diri akan memiliki kemampuan keintiman yang lebih baik dari pada mahasiswa yang mengalami kegagalan dalam pembentukan identitas diri. Mahasiswa yang memiliki identitas achievement dan moratorium memiliki kemampuan keintiman yang lebih baik


(47)

dari pada mahasiswa yang memiliki status identitas foreclosure dan diffuse (Kaplan, 2000). Gembeck & Patherick (2006) menyatakan bahwa mahasiswa yang mempunyai pencapaian identitas (achievement identity) bersikap lebih terbuka dalam suatu hubungan, dan dapat menjalin hubungan yang intim dalam jangka waktu yang lebih lama dibanding status identitas yang lainnya.

F. Hipotesa Penelitian

Peneliti membuat hipotesa bahwa terdapat perbedaan keintiman dalam berpacaran ditinjau dari status identitas pada mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki identitas achievement dan moratorium memiliki kemampuan keintiman dalam berpacaran yang lebih baik dari pada mahasiswa yang memiliki status identitas foreclosure dan diffuse.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian, karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data dan pengambilan keputusan hasil penelitian. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian komparatif. Selanjutnya dalam bab ini akan dibahas mengenai : identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, prosedur penelitian dan analisis data (Hadi, 2000).

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Identifikasi variable-variabel dalam penelitian, terdiri dari : Variabel Tergantung : Keintiman


(49)

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Keintiman

Keintiman adalah bagaimana seseorang dapat menjalin hubungan yang dekat atau akrab dengan orang lain dengan menunjukkan perasaan saling percaya, saling berbagi (keterbukaan diri), adanya hubungan timbal balik dan terbentuknya komitmen dalam suatu hubungan. Peneliti mengukur keintiman berdasarkan tiga kriteria yang dikemukakan oleh Olforsky (dalam Marcia,dkk., 1993) yaitu berdasarkan tingkat keterlibatan individu dalam hubungan dengan lawan jenis yang sedang dijalaninya yang terlihat melalui banyaknya waktu yang dihabiskan bersama-sama untuk saling mengenal pasangan lebih dalam, menerima kelebihan dan kekurangan yang dimiliki pasangan, dan kedekatan emosional mereka dalam suatu hubungan yang sedang dijalani dan apakah hubungan yang terjalin dapat berjalan dalam waktu yang lama atau relatif singkat, apakah individu tersebut terlibat atau sudah terlibat dalam komitmen yang dibangun melalui hubungan, bertahan dalam suatu hubungan seperti pada pasangan yang berpacaran yang dapat dilihat dari kehadiran pasangan saat dibutuhkan, pembicaran mengenai kelanjutan suatu hubungan di masa depan seperti ke jenjang pernikahan, dan komitmen yang terdapat dalam suatu hubungan yang membuat hubungan tersebut dapat bertahan ketika terdapat permasalahan dalam hubungan tersebut. Komitmen yang dapat


(50)

digunakan untuk mendiskusikan dan memecahkan masalah yang terjadi dalam suatu hubungan dan dari kedalaman atau kualitas hubungan persahabatan dan cinta atau pacaran yang dilihat dari karakteristik suatu hubungan yang di dalamnya terdapat keterbukaan yang meliputi keterbukaan diri mengenai kehidupannya, mengenai apa yang dirasakan, apa yang terjadi dalam suatu hubungan atau mengenai informasi lainnya, kejujuran yaitu dengan berkata yang sebenarnya kepada pasangan, empati yaitu memahami keadaan pasangan dan menerima segala perbedaan yang ada, saling memberikan perhatian yaitu berusaha untuk memberikan perasaan yang positif kepada pasangan, dan sikap dan perilaku seksual dalam hubungan tersebut.

Skor total yang tinggi dalam skala keintiman mengindikasikan bahwa individu tersebut memiliki keintiman yang tinggi, dan skor yang rendah mengindikasikan bahwa individu tersebut memiliki keintiman yang rendah.

2. Status Identitas

Status identitas seseorang adalah bagaimana seseorang dalam menentukan pilihan, kepercayaan dan nilai-nilai yang diambilnya dalam bidang ideologi dan interpersonal yang diperoleh melaui sejumlah krisis dan apakah telah mencapai komitmen terhadap bidang-bidang tersebut.

Skala status identitas disusun berdasarkan krisis dan komitmen yang terjadi dan kemudian menggolongkannya ke dalam status identitas tertentu. Marcia (1993) membagi status identitas ke dalam empat kategori berdasarkan krisis


(51)

dan komitmen yang dialami yaitu diffusion yaitu individu yang belum mengalami krisis dan belum memiliki komitmen. Foreclosure adalah individu yang sudah memiliki komitmen tanpa mengalami krisis sebelumnya. Moratorium yaitu individu yang sudah mengalami krisis akan tetapi belum memiliki komitmen dalam hidupnya dan achievement yaitu individu yang telah mengalami krisis dan telah memiliki komitmen.

Adapun pengertian krisis adalah suatu masa di mana seseorang melakukan sejumlah pencarian dengan cara mempertanyakan, mengkaji dan mencari tahu pilihan yang akan diambilnya. Kriteria yang digunakan untuk mengukur ada tidaknya krisis yaitu :

1. Kemampuan Mengetahui

Kemampuan untuk mengetahui secara luas dan mendalam dalam menyelidiki berbagai pilihan yang tersedia.

2. Aktivitas Yang Bertujuan Untuk Mengumpulkan Informasi

Kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi dalam rangka memperluas dan memperdalam pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu keputusan diantara berbagai pilihan yang tersedia.

3. Mempertimbangkan Alternatif Elemen Identitas yang Potensial

Kemampuan yang menggambarkan keuntungan serta kerugian dari setiap alternatif yang ada.


(52)

4. Bentuk-bentuk Emosi

Emosi yang dihasilkan ketika dewasa awal berusaha memilih nilai-nilai yang baru untuk menggantikan tujuan atau nilai-nilai yang telah dianut sebelumnya yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi yang ada pada saat ini. Kondisi emosi biasanya berupa kecemasan.

Komitmen adalah masa dimana seseorang sudah dapat bertanggungawab terhadap pilihan yang diambilnya dan tindakan yang dilakukannya. Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur ada tidaknya komitmen yaitu :

1. Kemampuan Mengetahui

Kemampuan yang mendalam dan akurat mengenai satu tujuan yang sudah dipilih dan yang sudah diputuskan.

2. Aktivitas yang Ditujukan untuk Memperoleh Informasi

Aktivitas yang dilakukan untuk mendukung nilai, tujuan atau kepercayaan yang telah diambil.

3. Bentuk-Bentuk Emosi

Emosi yang dimiliki dewasa awal lebih tenang karena mereka telah menemukan pilihan yang akan diambil. Pilihan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan untung dan rugi yang akan diperoleh ketika seseorang memutuskan untuk mengambil suatu pilihan.


(53)

4. Identifikasi dengan Orang yang Penting

Tokoh panutan menjadi sumber informasi penting untuk memberikan berbagai informasi mengenai keputusan yang telah diambil. Orang yang sering dijadikan tokoh panutan yaitu pasangan.

5. Proyeksi dari Masa Depan Seseorang

Kemampuan untuk memproyeksikan gambaran diri sendiri (karakteristik pribadi) pada masa depan dan menggambarkan berbagai aktivitas yang akan dilakukan pada masa yang akan datang.

6. Ketahanan Terhadap Godaan

Kemampuan untuk menghindari godaan-godaan yang berasal dari luar terhadap pilihan yang telah diambil.

Untuk skor krisis yang rendah dikategorikan krisis rendah jika skor krisis yang diperoleh individu berada di bawah skor total rata-rata kelompok dan skor krisis yang dikategorikan tinggi adalah jika skor krisis individu berada di atas skor rata-rata kelompok.

Untuk skor komitmen yang rendah dikategorikan komitmen rendah jika skor komitmen yang diperoleh individu berada di bawah skor total rata-rata kelompok dan skor komitmen yang dikategorikan tinggi adalah jika skor komitmen individu berada di atas skor rata-rata kelompok.

Penggolongan ke tiap-tiap status identitas berdasarkan hasil yang diperoleh subjek dari skor krisis dan komitmen, apabila skor krisis dan komitmen rendah maka subjek berada pada status identitas diffusion,


(54)

apabila skor krisis rendah dan skor komitmen tinggi maka subjek berada pada status identitas moratorium, apabila skor krisis tinggi dan skor komitmen rendah maka subjek berada pada status identitas foreclosure dan apabila skor krisis dan komitmen tinggi maka subjek berada pada status identitas achievement.

C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi sebuah penelitian adalah sejumlah individu yang paling sedikit mempunyai sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi yang ditentukan akan diambil wakil dari populasi yang disebut sampel penelitian. Populasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang sedang berpacaran. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 312 orang.

Adapun kriteria populasi dalam penelitian ini adalah : 1. Mahasiswa

Alasan peneliti memilih sampel mahasiswa karena pada masa ini diharapkan telah tercapai status identitas yang baik. Mahasiswa melakukan sejumlah pencarian untuk menemukan identitasnya. Mahasiswa juga memiliki tugas perkembangan untuk menjalin keintiman dengan lawan jenisnya yang direfleksikan melalui pacaran. Individu pada masa ini mempunyai motivasi, tujuan dan strategi tersendiri dalam berpacaran. Tujuan yang ingin diperoleh dari berpacaran pada masa ini adalah


(55)

keintiman dengan lawan jenis, berbagi dukungan satu sama lain, dan merefleksikan tugas perkembangannya pada masa ini (Gembeck & Patherick, 2006).

2. Dewasa Awal usia 18- 25 tahun

Masa mahasiswa meliputi rentang umur dari 18/19 tahun sampai 24/25 tahun (Winkel,1997). Menurut Hurlock (1999) masa ini termasuk ke dalam masa dewasa awal. Masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Rentang umur mahasiswa ini masih dapat dibagi-bagi atas periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester I s/d semester IV; dalam periode waktu 21/22 tahun sampai 24/25 tahun, yaitu mahasiswa dari semester V s/d semester VIII (Winkel,1997).

3. Status

Status yang digunakan dalam penelitian ini adalah dewasa awal yang sedang berpacaran. Hal ini dilakukan agar subjek penelitian dapat mengetahui bagaimana keintiman yang terjadi dalam hubungan berpacaran dengan lawan jenisnya.

2. Sampel dan Metode Pengambilan Sampel

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, peneliti hanya memilih sebagian dari keseluruhan populasi untuk dijadikan subjek penelitian yang dinamakan sampel (Azwar, 2004). Menurut Hadi (2000),


(56)

pengertian sampel adalah sebagian populasi yang digunakan untuk menentukan sifat-sifat serta ciri-ciri yang dikendalikan dari populasi.

Penelitian ini menggunakan probability technique sampling, yaitu dengan teknik sampel acak sederhana yaitu metode pengambilan sampel secara acak atau tanpa pandang bulu. Dalam tehnik sampel acak sederhana, semua individu dalam populasi, baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama, diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel penelitian (Hadi, 2000).

Teknik ini dilakukan dengan mendata jumlah mahasiswa angkatan 2004, 2005, 2006 dan 2007 yang sedang berada pada semester dua sampai semester delapan. Mahasiswa psikologi S-1 nantinya akan diberikan angket untuk mengetaui jumlah yang berpacaran. Kemudian hasilnya akan dirandom dengan menggunakan undian untuk mengisi skala yang akan diberikan tiap angkatan.. Jumlah sampel dalam penelitian ini minimal 60 orang. Hal ini sesuai dengan pendapat Azwar (2004) yang menyatakan bahwa sampel yang lebih dari 60 orang, secara statistika sudah cukup banyak dan representatif. Uji coba alat ukur penelitian dilakukan terhadap 100 orang mahasiswa.

D. Metode Pengumpulan Data

Usaha mengumpulkan data penelitian memerlukan suatu metode. Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala.


(57)

Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2004).

Azwar (2004) mengemukakan kebaikan-kebaikan skala dan alasan-alasan penggunaannya, yaitu :

1) Pertanyaan disusun untuk memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan subjek sendiri yang tidak disadari.

2) Skala digunakan untuk mengungkap suatu atribut tunggal

3) Subjek tidak menyadari arah jawaban yang sesungguhnya diungkap melalui pertanyaan skala.

Alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah skala status identitas dan skala keintiman.

1. Skala Status Identitas

Skala ini disusun berdasarkan beberapa area dalam teori perkembangan identitas oleh Marcia (1993) yaitu berdasarkan ada tidaknya komitmen dan krisis yang terjadi pada orang dewasa. Berdasarkan krisis dan komitmen yang terjadi seseorang dapat digolongkan ke dalam status identitas yang sesuai.


(58)

Tabel 2. Blue Print Skala Status Identitas Sebelum Uji Coba

No Krisis Komitmen Jlh

Kriteria F UF Kriteria F UF

1. Kemampuan mengetahui 9, 10, 26 3, 22, 23 Kemampuan mengetahui 15, 59, 46 16, 21, 24, 27, 13

2. Aktivitas yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi 5, 30, 37 41 47, 48, 55 Aktivitas yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi 6, 12, 28 7, 39, 45 13

3. Mempertimbangka n alternatif elemen identitas yang potensial 18, 32, 58, 52 56, 63 64 Bentuk-bentuk emosi 19, 42, 61 4, 34, 40 13

4. Bentuk-bentuk emosi 25, 43, 35 11, 33, 57 Identifikasi dengan orang yang penting 14, 31, 44 1, 38, 49 12

5. Proyeksi dari

masa depan seseorang 8, 29, 50 20, 62, 2 6

6. Ketahanan

terhadap pengaruh luar 17, 36, 51, 53, 13,54, 60 7

Jlh 14 12 19 19 64

Metode skala yang digunakan adalah metode rating yang dijumlahkan atau dikenal dengan metode Likert (Azwar, 2004). Pernyataan dalam skala ini terdiri dari pernyataan favorable (positif) dan unfavorable (negatif). Skala yang digunakan memiliki empat pilihan jawaban yaitu : SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai).

Untuk subskala favorable penilaiannya adalah STS (Sangat Tidak Sesuai) akan diberi skor 1, TS (Tidak Sesuai) akan diberi skor 2 , S (Sesuai) diberi


(59)

skor 3, SS (Sangat Sesuai) akan diberi skor 4. Subskala yang unfavorable penilaiannya adalah SS (Sangat Sesuai) akan diberi skor 1, S (Sesuai) akan diberi skor 2, TS (Tidak Sesuai) akan diberi skor 3, STS (Sangat Tidak Sesuai) akan diberi skor 4.

2. Skala keintiman

Skala ini disusun berdasarkan kriteria keintiman yang dikemukakan oleh Olforsky (dalam Marcia, dkk., 1993) menyebutkan bahwa terdapat tiga kriteria keintiman yaitu tingkat dimana individu terlibat dalam persahabatan dengan pria dan wanita. Apakah hubungan yang terjalin dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama, apakah individu tersebut terlibat atau sudah terlibat dalam komitmen yang dibangun melalui hubungan, bertahan dalam suatu hubungan seperti pada pasangan yang berpacaran, kedalaman atau kualitas dari hubungan persahabatan dan cinta atau pacaran. Kriteria ini berfokus pada tingkat dimana individu sudah mencapai kapasitas dalam suatu hubungan yang dikarakteristikkan dengan keterbukaan, kejujuran, perhatian, menerima dan mamahami perbedaan yang ada, sikap dan perilaku seksual.

Metode skala yang digunakan adalah metode rating yang dijumlahkan atau dikenal dengan metode Likert (Azwar, 2004). Pernyataan dalam skala ini terdiri dari pernyataan favorable (positif) dan unfavorable (negatif). Skala yang digunakan memiliki empat pilihan jawaban yaitu : SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai).


(60)

Untuk subskala favorable penilaiannya adalah STS (Sangat Tidak Sesuai) akan diberi skor 1, TS (Tidak Sesuai) akan diberi skor 2 , S (Sesuai) diberi skor 3, SS (Sangat Sesuai) akan diberi skor 4. Subskala yang unfavorable penilaiannya adalah SS (Sangat Sesuai) akan diberi skor 1, S (Sesuai) akan diberi skor 2, TS (Tidak Sesuai) akan diberi skor 3, STS (Sangat Tidak Sesuai) akan diberi skor 4.

Skor pada masing-masing dimensi skala saling bebas satu sama lain. Skor pada masing-masing dimensi tidak berhubungan dengan skor pada dimensi lainnya dan hanya menggambarkan bagaimana skor pada dimensi tersebut. Semakin tinggi skor yang dicapai seseorang dalam tiap dimensi berarti semakin tinggi pula keintimannya dalam dimensi tersebut. Skor yang tinggi menggambarkan individu yang intimate dan sebaliknya skor yang rendah menggambarkan individu yang isolated .

Tabel 3.Blue Print Skala Keintiman Sebelum Uji Coba

No. Kriteria Favourable Unfavourable Jumlah

1. Tingkat keterlibatan dengan teman pria atau wanita

1, 16, 29, 46 6, 20, 32, 45, 57 9 2. Komitmen 7, 19, 39, 47 10, 25, 37, 48, 53 9 3. Kualitas hubungan

a. Keterbukaan 2, 23, 31, 56 15, 28, 41, 44 8 b. Kejujuran 11, 18, 33, 49 3, 24, 40 7 c. Perhatian 8, 22, 38, 50 12, 27, 35, 54 8 d. Empati 4, 26, 34, 55,

21

14, 42, 52 8

e. Sikap & Perilaku Seksual 9, 17, 30, 51 5, 13, 36, 43 8

Jumlah 28 28 57


(1)

1. sSampel yang digunakan dalam penelitian ini kurang representatif karena perbandingan laki-laki dan perempuan tidak seimbang.

2. Rentang usia yang digunakan dalam penelitan ini kurang lebar sehingga data yang diperoleh kurang bervariasi.

D. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, ada beberapa saran yang dapat dijadikan hasil pertimbangan.

1. Saran metodologis

Berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan, berikut ini terdapat beberapa saran yang dirasa perlu untuk diperhatikan dalam penelitian selanjutnya:

1. Melakukan penelitian sebaiknya terlebih dahulu melakukan observasi lapangan untuk mendapatkan informasi yang sebanyak mungkin tentang berbagai hal yang berhubungan dengan variabel yang akan diteliti.

2. Dalam melakukan penelitian selanjutnya, peneliti hendaknya mempertimbangkan bagaimana populasi yang ada. Seperti dalam penelitian ini perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang sehingga kurang mengetahui bagaimana perbedaan keintiman ditinjau dari jenis kelamin.

3. Peneliti yang hendak melakukan penelitian mengenai keintiman dalam berpacaran juga hendaknya mempertimbangkan lamanya berpacaran sehingga dapat lebih menggali kualitas hubungan yang terjadi di dalamnya.


(2)

4. Peneliti juga menyarankan agar melakukan penelitian serupa dengan metode kualitatif. Hal ini dikarenakan keintiman dalam berpacaran bersifat pribadi. Apabila menggunakan metode penelitian kualitatif, peneliti dapat menggali informasi yang lebih mendalam mengenai dinamika hubungan yang dimiliki subjek penelitian sehingga memperoleh gambaran mengenai keintiman dan hal-hal apa saja yang menyebabkan terjadinya keintiman dalam suatu hubungan.

5. Peneliti menyarankan untuk memperlebar rentang usia dan tidak hanya melakukan penelitian pada kalangan mahasiswa. Dewasa awal yang bekerja juga sebaiknya diikutsertakan karena keintiman pada laki-laki biasanya diperoleh setelah bekerja.

2. Saran praktis untuk mahasiswa

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa saran praktis untuk mahasiswa, yaitu :

1. Keintiman yang dimiliki dipengaruhi oleh status identitas yang dimiliki. Mahasiswa hendaknya mengenali dirinya dengan baik, mengenali keputusan yang akan diambilnya ketika hendak menjalin hubungan yang intim dengan lawan jenis.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G. R. (2005). Gender Differences in Identity and Intimacy Development. (Available From the Departement of Family Studies at the University of Guelph).

Allinson, B.N., & Schultz, J.B. (2001). Interpersonal Idenitity Formation. Journal of Youth and Adolescene. Vol. 36, 143.

Azwar, S. (1997). Reliabilitas dan Validitas Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ________. (2004). Penyusunan Skala Psikologi (Cetakan Keenam). Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Bacho, dkk. (1997). Domain-Specific Gender Comparisons in Identity Development Among College Youth : Ideology and Relationship. Journal of Adolescene.

Brunell, A. B., Pilkington, Constance J., & Webster, Gregory D. (2007). Perception of Risk in Intimacy in Dating Couples. Journal of Social and Clinical Psychology, vol. 26 No.1, 2007, pp.92-119.

Carrol, J. L. (2005). Sexuality. Wadsworth : Thomson Learning, Inc.

Duvall, E. M & Miller, B. C. (1985). Marriage & Family Development. New York : Happer & Row Publisher.

Fieldman, R. S. (1995). Social Psychology. London : San Prantice Hall International (UK) Limited.


(4)

Gardner, J. E. (1992). Memahami Gejolak Masa Remaja. Jakarta : Mitra Utama.

Gembeck, M. J. & Patherick, J. (2006). Intimacy Dating Goal and Relationship Satisfaction During Adolescene and Emerging Adulthood Identity Formation, Age and Sex as Moderator. International Jurnal of Behavioural Development, 30; 167.

Hadi, S. (2000). Metodologi Research (Jilid 1). Yogyakarta: Penerbit Andi.

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kail, R.V., & Cavanaugh, J.C .(1999). Human Development A Life Span View. Wadsworth : Thomson Learning, Inc.

Kaplan, P. S. (2000). Child & Adolescent Development (3th ed.). Wadsworth : Thomson Learning, Inc.

Kartono, Kartini (1985). Kepribadian : Siapakah Saya?. Jakarta : Rajawali.

Kroger, J. (2001). Identity Development Adolescene Trough Adulthood. London : Sage Publication, Inc.

Lefrancois, G. R. (1993). The Life Span ( 4th ed.). Calfornia : Wadsworth, Inc. Marcia, J.E., Waterman, A.S., Matteson, D.R., Archer, S.L., Olforsky, J.L. (1993).

Ego Identity A Handbook for Psychosocial Research. New York : Springer- Verlag.

Masters, W. H., dkk. (1992). Human Sexuality (4th ed.). New York : Harper Collins Publisher, Inc.


(5)

Monks, F.J., Knoers, A. M. P., Haditono, S.R. (2001). Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Mulamawitri. (2003, September). Jangan Takut Ganti Pacar. [online]. FTP: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/26/muda/584131.htm (3 Desember 2007).

Newman, B. M., & Newman, P. R. (2006). Development Trough Life (9th ed.). New York : Thomson Learning, Inc.

Olforsky, J.L., Marcia, J.E., Lesser, I.M. (1973). Ego Identity Status and Intimacy Versus Isolation Crisis Of Young Adulthood. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 27 no.2, 211-219.

Papalia, D.E., dkk. (2000). Human Development(8th ed.). New York : Mc. Graw-Hill Inc.

Pietromonaco. (1998). Intimacy as an interpersonal process: the importance of self-disclosure, partner disclosure, and perceived partner responsiveness in interpersonal exchanges . Jounal of Personality and Social Psychology ,Vol. 74, Mo. 5, 1238-1251

Reis, H.T. (1990). The role of intimacy in interpersonal relations. Journal of Social and Clinical Psychology, 9(1), 15-30.

Santrock, J. W. (2002). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup (5th ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Schwartz, S. J. (2002). Convergent Validity in Objective Measure of Identity Status: Implication for Identity Status Theory. Journal of Adolescene, 37, 147.

Shaffer, D.R. Social & Personality Development (5th ed.). (2005). USA : Thomson Learning, Inc.


(6)

Stenberg, R. J. (1993). The Triangle of Love. New York : Basic Book, Inc.

Suparmi, & Setiono, K. 2000. Studi Mengenai Intimacy dan Status Identitas Dalam Domain Relasi Dengan Teman, Relasi Dengan Pacar, Dan Peran Pasangan/ Perkawinan Pada Remaja Akhir. Psikodimensia, Kajian Ilmiah Psikologi,Volume I, No. 1 hal.39-45

Trenholm, S. & Jensen, A. (1992). Interpersonal Communication (2nd edition). USA : Thomson Learning, Inc.

Tubbs, S., & Moss, S. (2003). Human Communication : Principles and Contexts (9th ed.). USA : Mc. Graw Hill Company.

Winkel, W. S (1997). Bimbingan dan konseling di institusi perguruan tinggi (edisi revisi). Jakarta : P. T. Garsindo