BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agency Theory
Teori keagenan mengemukakan hubungan kontrak kerja antara pemegang saham principal dengan pengelola perusahaan yang diwakili oleh direksi agent
Sutedi, 2012:13. Agent sendiri ditunjuk oleh pemegang saham untuk mengelola perusahaan demi kepentingan para pemegang saham.
Agency problem muncul akibat adanya asimetri informasi dan konflik kepentingan antara pemegang saham dengan manajemen sebagai pengelola
perusahaan Sutedi, 2012: 14. Pemegang saham menginginkan pengelolaan yang menghasilkan pendapatan maksimal atas dana yang telah diinvestasikan, namun
tidak memiliki informasi dan kekuasaan yang luas untuk memonitor dan mengontrol kegiatan manajemen. Di pihak lain, manajemen berkepentingan
terhadap insentif atas pengelolaan dana pemegang saham dan harus bertanggung jawab atas keputusan bisnis yang dilaksanakan yang disebabkan oleh
wewenangnya atas pengelolaan perusahaan. Konflik kepentingan tersebut secara alamiah akan terjadi dalam struktur
kepemilikan perusahaan yang tersebar dispersed ownership dan struktur kepemilikan dengan pengendalian pada beberapa pemegang saham saja
concentrated ownership. Untuk menekan potensi konflik kepentingan, perusahaan perlu menerapkan praktik corporate governance Surya, 2008:28.
Perusahaan dengan struktur kepemilikan yang tersebar kepada pemegang saham publik, perlu menerapkan corporate governance untuk meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
kewenangan yang dimiliki para pemegang saham publik sebagai penyeimbang pihak manajemen. Sedangkan perusahaan yang memiliki beberapa pemegang
saham pengendali, struktur kepemilikannya terkonsentrasi, perlu menerapkan corporate governance untuk meminimalkan potensi konflik kepentingan yang
timbul antara pengendali perusahaan dan pemegang saham publik Surya, 2008:6.
2.2 Intellectual Capital
Dalam kajian tentang intellectual capital, banyak definisi yang diajukan oleh para peneliti. Stewart dalam Ulum, 2009: 19 dalam artikelnya “Brain
Power – How Intellectual Capital Is Becoming America’s Most Valuable Asset” yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1980-an mendefinisikan intellectual
capital sebagai “The sum of everything everybody in your company knows that gives you a competitive edge in the market place. It is intellectual material –
knowledge, information, intellectual property, experience – that can be put to use to create wealth”.
Dalam kutipan tersebut Stewart menyatakan bahwa intellectual capital merupakan gabungan dari semua barang dan orang yang diketahui dapat
memberikan nilai pasar yang kompetitif. Intellectual capital juga mencakup pengetahuan, informasi, kekayaan intelektual, dan pengalaman yang dapat
digunakan untuk menciptakan kekayaan. Sementara itu International Federation of Accountant IFAC
mendefinisikan intellectual capital sebagai intellectual property, aset intelektual,
Universitas Sumatera Utara
knowledge asset yang dapat diartikan sebagai saham atau modal yang berbasis pada pengetahuan yang dimiliki perusahaan dalam Widiyaningrum, 2004.
Intellectual capital juga sering didefinisikan sebagai sumber daya pengetahuan dalam bentuk karyawan, pelanggan, proses atau teknologi yang dapat digunakan
oleh perusahaan dalam proses penciptaan nilai Bukh, et al., 2005: 715. Dari berbagai definisi yang ada, dapat disimpulkan secara umum bahwa
intellectual capital merupakan jumlah tiga elemen utama organisasi yaitu human capital, structural capital, dan customer capital. Ketiga elemen utama tersebut
berkaitan dengan pengetahuan dan teknologi yang dapat memberikan nilai tambah berupa keunggulan bersaing bagi perusahaan Sawarjuwono, 2003: 38. Berikut
ini disajikan tabel yang menunjukkan perbandingan konsep intellectual capital oleh beberapa peneliti:
Tabel 2.1 Perbandingan Konsep Intellectual Capital Menurut Beberapa Peneliti
Brooking UK Roos UK
Stewart USA Bontis Canada
Human-centered asset
Skills, abilities and expertise,
problem solving abilities and
leadership styles. Human capital
Competence, attitude and
intellectual agility. Human capital
Employees are organization’s
most important asset.
Human capital The individual
level knowledge that each
employee possess.
Infrastructure assets
All the technologies,
process and methodologies
that enable company to
function. Organizational
capital All organizational,
innovation, processes,
intellectual property and
cultural assets. Structural capital
Knowledge embedded in
information technology. All
patents, plans and trademarks.
Structural capital Non-human assets
or organizational capabilities used
to meet market requirements.
Universitas Sumatera Utara
Brooking UK Roos UK
Stewart USA Bontis Canada
Intellectual property
Know-how, trademarks and
patent. Renewal and
development capital
New patents and training efforts.
Customer capital Market
information used to capture and
retain customer. Intellectual
property Unlike, IC, IP is a
protected asset and has a legal
definition.
Market asset Brands,
customers, customer’s loyalty
and distribution channels.
Relational capital Relationship
which include
internal and external
stakeholders.
Relational capital Customer capital
is only one feature of the knowledge
embedded in organizational
relationships.
Sumber: Bontis, et al., 2000
2.2.1 Komponen Intellectual Capital
Bontis et al., 2000: 4 mengemukakan bahwa secara umum, para peneliti mengidentifikasi tiga konstruk utama dari intellectual capital, yaitu: human
capital HC, structural capital SC dan customer capital CC. Human capital diartikan sebagai kepemilikan terhadap kemampuan individu yang
direpresentasikan oleh karyawan yang dimiliki perusahaan. Structural capital meliputi seluruh sumber pengetahuan non-human dalam organisasi yang membuat
nilai perusahaan lebih besar daripada nilai materialnya. Sedangkan customer capital adalah pengetahuan yang melekat dalam jalur pemasaran dan hubungan
dengan pelanggan. Komponen-komponen yang terdapat dalam intellectual capital adalah
sebagai berikut:
1. Human Capital HC
Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-
Universitas Sumatera Utara
orang yang ada di dalam perusahaan tersebut. Melalui daya pikir serta kontribusi sumber daya manusia yang intelektual inilah tercipta sumber inovasi dan
kemajuan suatu perusahaan. Akan tetapi, human capital merupakan komponen modal intelektual yang sulit diukur. Human capital meliputi karyawan,
pendidikan, pelatihan, kompetensi, keterampilan, pengalaman, dan sebagainya. Human capital merupakan sumber utama dari inovasi dan pembaruan dalam
perusahaan Stewart, 2002: 79
2. Structural Capital SC
Structural capital merupakan kemampuan suatu perusahaan dalam menjalankan rutinitas kinerja yang didukung dengan operasi dan struktur yang
berkaitan juga dengan usaha karyawan untuk menciptakan kinerja intelektual perusahaan yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan. Structural
capital mengacu pada kekayaan intelektual dan infrastruktur perusahaan. Kekayaan intelektual meliputi hak cipta, hak paten, merek dagang, dan
sebagainya. Sedangkan infrastruktur perusahaan mencakup nilai, sistem, proses, filosofi manajemen, corporate culture dan sebagainya Sawarjuwono, et al.,
2003: 38. Kinerja perusahaan yang optimal tidak akan tercipta apabila sumber daya manusia intelektualnya tidak didukung oleh structural capital yang baik,
misalnya sistem operasi dan prosedur perusahaan yang buruk.
Universitas Sumatera Utara
3. Relational Capital atau Customer Capital CC
Elemen ini merupakan komponen intellectual capital yang memberikan nilai secara nyata. Relational capital merupakan hubungan yang harmonis yang
dimiliki perusahaan dengan para mitranya baik itu berasal dari pemasok, pelanggan, pemerintah maupun masyarakat. Relational capital dapat muncul dari
berbagai bagian di luar perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan Sawarjuwono, et al., 2003: 39.
2.2.2 Pengukuran Intellectual Capital
Penelitian tentang intellectual capital telah mengarah pada sejumlah kerangka untuk mengklasifikasikan dan mengukur konsep intellectual capital.
Tahun 1996, Petrash mengembangkan model klasifikasi yang dikenal dengan value platform model. Model ini mengklasifikasikan intellectual capital sebagai
akumulasi dari human capital, organizational capital dan customer capital. Edvinsson dan Malone 1997 mengembangkan The Skandia Value Scheme, yang
mengklasifikasikan intellectual capital ke dalam structural capital dan human capital. Haanes dan Lowendahl 1997 mengelompokkan intellectual capital ke
dalam competence dan relational resources. Model yang dikembangkan Lowendahl 1997 memperbaiki model di atas dan membagi kategori kompetensi
dan rasional menjadi dua sub-grup dalam Tan, et al., 2007: 1.
individual; dan 2.
collective.
Universitas Sumatera Utara
Stewart 2002 mengklasifikasikan intellectual capital ke dalam tiga format dasar, yaitu:
1. human capital;
2. structural capital;
3. customer capital
The Danish Confederation of Trade Unions 1999 mengelompokkan intellectual capital sebagai manusia, sistem dan pasar. Leilaert et al. 2003
mengembangkan the 4-leaf model, yang mengelompokkan intellectual capital ke dalam human capital, customer, structural capital dan strategic alliance capital
dalam Tan, et al., 2007. Metode pengukuran intellectual capital dapat dikelompokkan ke dalam
dua kategori Tan, et al., 2007, yaitu: 1.
kategori yang tidak menggunakan pengukuran moneter; dan 2.
kategori yang menggunakan ukuran moneter. Berikut adalah daftar ukuran intellectual capital yang berbasis moneter
Tan, et al., 2007: a.
The Balance Scorecard, dikembangkan oleh Kaplan dan Norton 1992; b.
Brooking’s Technology Broker method 1996; c.
The Skandia IC Report method oleh Edvinssion dan Malone 1997; d.
The IC-Index dikembangkan oleh Roos et al. 1997; e.
Intangible Asset Monitor approach oleh Sveiby 1997; f.
The Heuristic Frame dikembangkan oleh Joia 2000; g.
Vital Sign Scorecard dikembangkan oleh Vanderkaay 2000; dan
Universitas Sumatera Utara
h. The Ernst Young Model Barsky dan Marchant, 2000.
Sedangkan model penilaian intellectual capital yang berbasis moneter adalah Tan, et al., 2007:
a. The EVA and MVA model Bontis et al., 1999;
b. The Market-to-Book Value model beberapa penulis;
c. Tobin’s q method Luthy, 1998;
d. Pulic’s VAIC Model 1998, 2000;
e. Calculated intangible value Dzinkowski, 2000; dan
f. The Knowledge Capital Earning model Lev dan Feng, 2001.
2.2.3 Value Added Intellectual Coefficient VAIC
Metode value added intellectual capital coefficient VAIC dikembangkan oleh Pulic pada tahun 1997. VAIC merupakan instrumen untuk mengukur kinerja
intellectual capital perusahaan. Model ini dimulai dengan mengukur kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added VA. Value added adalah indikator
paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai. VA dihitung sebagai selisih antara output dan
input Ulum, 2009: 86. Tan,
et al., 2007: 79 menyatakan bahwa outputs OUT
merepresentasikan revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar. Inputs IN mencakup seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh
revenue. Hal penting dalam model ini adalah bahwa beban karyawan labor expenses tidak termasuk dalam input. Karena peran aktifnya dalam proses
Universitas Sumatera Utara
penciptaan nilai, intellectual potential yang direpresentasikan dengan labor expenses tidak dihitung sebagai biaya. Karena itu, aspek kunci dalam model Pulic
adalah memperlakukan tenaga kerja sebagai entitas penciptaan nilai value creating entity. Hasilnya adalah bahwa VA mengekspresikan the new wealth of a
period. VA dipengaruhi oleh efisiensi dari human capital dan structural capital.
Hubungan lainnya dari VA adalah capital employed CE, yang dalam hal ini dilabeli dengan VACA. VACA adalah indikator untuk nilai tambah yang
diciptakan oleh satu unit dari physical capital. Pulic mengasumsikan bahwa jika satu unit dari capital employed
menghasilkan return yang lebih besar daripada perusahaan yang lain, maka berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam memanfaatkan capital employed-nya.
Dengan demikian, pemanfaatan capital employee yang lebih baik merupakan bagian dari intellectual capital perusahaan Ulum, 2009: 87.
Hubungan selanjutnya adalah value added VA dengan human capital HC. Value Added Human Capital VAHU menunjukkan berapa banyak nilai
tambah dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Hubungan antara value added dan human capital mengindikasikan kemampuan
dari human capital untuk menciptakan nilai di dalam perusahaan Tan, et al., 2007: 80.
Hubungan ketiga adalah structural capital value added STVA yang menunjukkan kontribusi structural capital SC dalam penciptaan nilai. Structural
capital value added STVA mengukur jumlah structural capital yang dibutuhkan
Universitas Sumatera Utara
untuk menghasilkan satu rupiah dari value added dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan structural capital dalam penciptaan nilai. Structural
capital bukan ukuran yang independen sebagaimana human capital, melainkan dependen terhadap value creation Pulic, 1999. Artinya, semakin besar kontribusi
human capital dalam value creation, maka akan semakin kecil kontribusi structural capital dalam hal tersebut. Lebih lanjut Pulic menyatakan bahwa
structural capital adalah value added dikurangi human capital, yang hal ini telah diverifikasi melalui penelitian empiris pada sektor industri tradisional Pulic, 2000
dalam Ulum, 2009: 88. Rasio terakhir adalah menghitung kemampuan intelektual perusahaan
dengan menjumlahkan koefisien-koefisien yang telah dihitung sebelumnya. Hasil penjumlahan tersebut diformulasikan dalam indikator baru yang unik, yaitu VAIC
Tan, et al., 2007: 80. Keunggulan metode Pulic adalah karena data yang dibutuhkan relatif
mudah diperoleh dari berbagai sumber dan jenis perusahaan. Data yang dibutuhkan untuk menghitung berbagai rasio tersebut adalah angka-angka
keuangan yang standar yang umumnya tersedia dari laporan keuangan perusahaan. Alternatif pengukuran intellectual capital lainnya terbatas hanya
menghasilkan indikator keuangan dan non-keuangan yang unik yang hanya untuk melengkapi profil suatu perusahaan yang lain. Konsekuensinya, kemampuan
untuk menerapkan pengukuran intellectual capital alternatif tersebut secara konsisten terhadap sampel yang besar dan terdiversifikasi menjadi terbatas Firer
dan Williams, 2003: 353.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Corporate Governance
Dalam rangka pemulihan ekonomi pasca krisis finansial yang melanda Indonesia, pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund IMF
memperkenalkan konsep corporate governance yang baik sebagai tata cara kelola perusahaan yang sehat Sutedi, 2012: 2. Price Waterhouse Coopers dalam Surya,
2008: 26 mengemukakan bahwa Corporate governance terkait dengan pengambilan keputusan yang
efektif. Dibangun melalui kultur organisasi, nilai-nilai, sistem, berbagai proses, kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan untuk
mencapai bisnis yang menguntungkan, efisien, dan efektif dalam mengelola risiko dan bertanggung jawab dengan memerhatikan
kepentingan stakeholders.
Secara teoritis, praktik corporate governance dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh dewan
direksi dengan keputusan-keputusan yang menguntungkan diri sendiri, dan umumnya corporate governance dapat meningkatkan kepercayaan investor.
Sebaliknya corporate governance yang buruk menurunkan tingkat kepercayaan para investor Tjager, 2003: 4.
Organization for Economic Cooperation and Development OECD mendefinisikan corporate governance sebagai: “The structure through which
shareholders, directors, managers set of the board objective of the company, the means of attaining those objectives and monitoring performance.” Dari definisi
OECD di atas, dapat disimpulkan bahwa corporate governance merupakan struktur yang olehnya para pemegang saham, komisaris dan manajer menyusun
tujuan-tujuan perusahaan dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dan mengawasi kinerja Tjager, 2003: 28.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mewujudkan terciptanya corporate governance yang baik, prinsip- prinsip tersebut dapat dicapai dengan pihak di dalam maupun di luar perusahaan.
Rapat Umum Pemegang Saham yang mewakili pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, para karyawan dan struktur kepemilikan perusahaan merupakan
organ kunci dalam mewujudkan pelaksanaan corporate governance yang baik Waryanto, 2010.
2.3.1 Kode Corporate Governance Indonesia
Jensen dan Meckling 1976 menyatakan bahwa tujuan dari keseluruhan mekanisme corporate governance adalah untuk mengurangi agency cost yang
muncul akibat pemisahan kepemilikan dan kontrol pada perusahaan publik yang besar. Untuk itu pemerintah Indonesia melalui Komite Nasional Corporate
Governance telah mendesain sebuah instrumen yang disebut Kode Corporate Governance.
Kode corporate governance versi terakhir yang dipublikasikan oleh Komite Nasional Corporate Governance, terdiri atas dalam Kamal, 2011:
1. Penciptaan Situasi Kondusif untuk Melaksanakan Good Corporate Governance
Kode ini mewajibkan pemerintah, komunitas bisnis, dan masyarakat bekerja secara simultan sebagai governance tripod. Pemerintah sebagai regulator memiliki
tanggung jawab melahirkan hukum dan aturan-aturan yang relevan yang mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, di samping
menegakkan hukum dan aturan yang dibuat. Komunitas bisnis harus
Universitas Sumatera Utara
mengimplementasikan prinsip-prinsip corporate governance sebagai dasar dalam aktivitas bisnisnya. Kode juga menyatakan bahwa masyarakat diminta
menjalankan kontrol secara objektif dan bertanggung jawab dengan cara mengkomunikasikan pendapat atau keberatannya kepada komunitas bisnis dan
pemerintah.
2. Asas Good Corporate Governance
Prinsip-prinsip umum Kode Corporate Governance Indonesia tidak berbeda dengan prinsip umum corporate governance OECD, kecuali prinsip kewajaran
Tjager, 2003: 52-53. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a. Transparansi
Transparansi berkaitan dengan keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil
dan relevan mengenai perusahaan.
b. Kemandirian
Kemandirian yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan tekanan dari pihak manapun.
c. Akuntabilitas