Interprestasi Data dan Hasil Diskusi
Rumah Sakit Dr. wahidin Sudirohusodo Makasar diketahui pasien yang berumur 14-40 tahun yang mengalami kecemasan sedang sebanyak 6
orang 20, dan yang mengalami kecemasan berat sebanyak 7 orang 23,33, dan yang berumur 40 tahun yang mengalami kecemasan
ringan sebanyak 4 orang 13,33. Yang mengalami kecemasan sedang 9 orang 30, dan yang mengalami kecemasan berat sebanyak 4 orang
13,33. Menurut penelitian ini ada kecenderungan bahwa pasien- pasien dengan umur yang relative lebih muda lebih sulit beradaptasi
dengan lingkungan rumah sakit, karena harus berkumpul dengan orang- orang sakit, berpisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang-orang
terdekat. Emosi masih agak sulit untuk dikendalikan yang menyebabkan penerimaan terhadap lingkungan rumah sakit dan
penyakitnya masih kurang sehingga mudah khawatircemas dan emosi. Berdasarkan hasil penelitian dan teori-teori yang dikemukakan,
maka dapat dikatakan bahwa kecemasan yang dialami oleh pasien sebelum operasi lebih banyak yang dialami oleh pasien yang berusia
muda dari pada dewasa tua karean hal ini sesuai dengan teori yang di kemukan oleh Barbara C. Long 2001, bahwa semakin matang dalam
berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan diri, bahwa pasien yang akan dioperasi atau seseorang yang lebih dewasa akan lebih percaya diri dari
pada orang yang belum tinggi kedewasaannya. Makin tua umur seseorang makin konsentrasi dalam mengguanakan koping dalam
masalah yang dihadapi Long, 2001.
2 Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa responden yang berpendidikan SD dengan frekuensi 1 orang 2,7, responden yang
berpendidikan SMP dengan frekuensi 9 orang 24,3, responden yang berpendidikan SMA dengan frekuensi 25 orang 67,6, dan responden
yang berpendidikan SarjanaPT dengan frekuensi 2 orang 5,4, sedangkan responden yang berpendidikan SD dengan tingkat
kecemasan sedang 1 orang, responden yang berpendidikan SMP dengan tingkat kecemasan sedang 8 orang, kecemasan berat 1 orang, responden
yang berpendidikan SMA dengan tingkat kecemasan ringan 8 orang, kecemasan sedang 9 orang, kecemasan berat 8 orang, responden yang
berpendidikan SarjanaPT dengan kecemaan ringan 1 orang, kecemasan sedang 1 orang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gangka 2013, diperoleh bahwa pasien dengan tingkat pendidikan rendah yang mengalami
kecemasan sedang sebanyak 10 orang dan yang mengalami kecemasan berat sebanyak 11 orang 36,67, dan pasien dengan tingkat
pendidikan tinggi dengan kecemasan ringan sebanyak 3 orang 10, kecemasan sedang sebanyak 6 orang 20. Berdasarkan uji analisis
hubungan antara tingkat pendidikan terhadap tingkat kecemasan, ditemukan P-value = 0.00, jadi dapat disimpulkan H
ditolak dan H
1
diterima. Artinya ada pengaruh yang signifikan tingkat pendidikan terhadap tingkat kecemasan pasien bedah mayor digesif.
Hal ini sejalan dengan teori Soekidjo 2003, yang mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin luas pengetahuan yang
dimilki dan semakin baik tingkat pemahaman tentang suatu konsep disertai cara pemikiran dan penganalisaan yang tajam dengan
sendirinya memberikan persepsi yang baik pula terhadap objek yang diamati. Hal ini juga sejalan dengan Notoatmodjo yang dikutip
Nursalam 2005, menyatakan bahwa pendidikan dapat memepengaruhi seseorang termasuk akan pola hidup terutama akan memotivasi untuk
sikap berperan serta dalam membangun kesehatan, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga
semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. 3
Pekerjaan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa,
respoden yang bekerja dengan frekuensi 19 orang 51,4, dan responden yang tidak bekerja dengan frekuensi 18 orang 48,6,
sedangkan responden yang bekerja dengan tingkat kecemasan ringan 4 orang, kecemasan sedang 10 orang, kecemasan berat 5 orang,
responden yang tidak bekerja dengan tingkat kecemasan ringan 5 orang, kecemasan sedang 9 orang, kecemasan berat 4 orang.
Penelitian yang dilakukan Gangka 2013, diperoleh bahwa dari 30 responden yang akan menjalani operasi bedah mayor digesif pasien
yang mempunyai pekerjaan yang mengalami kecemasan ringan sebanyak 3 orang 10, yang mengalami kecemasan sedang sebanyak
18 orang 60, dan yang mengalami kecemasan berat sebanyak 4 orang 13,33. Dan pada pasien yang tidak bekerja, semuanya
mengalami kecemasan berat 5 orang 16,67. Berdasarkan uji analisis hubungan antara jenis pekerjaan dan tingkat kecemasan, ditemukan P
value = 0,01. Jadi dapat disimpulkan H ditolak dan H
1
diterima, artinya ada pengaruh yang signifikan pekerjaan terhadap tingkat kecemasan
pasien pre operasi bedah mayor digestif. Dan sejalan dengan teori Brunner dan Studdarth 2001, menyatakan bahwa pasien yang
mengalami pembedahan dilingkupi oleh kekhawatiran mengenai kehilangan waktu kerja. Kemungkinan kehilangan pekerjaan, tanggung
jawab mendukung keluarga dan ancaman ketidakmampuan permanen yang lebih jauh, dan memperberat ketegangan emosional.
b. Tingkat Kecemasan Responden
Berdasarkan tingkat kecemasan ibu paska histerektomi, diperoleh bahwa semua responden mengalami kecemasan dan mempunyai tingkat
kecemasan ringan dengan frekuensi 9 orang 24,3, tingkat kecemasan sedang dengan frekuensi 19 orang 51,4, dan tingkat kecemasan berat
dengan frekuensi 9 orang 24,3. Dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden masih mengalami kecemasan karena pengangkatan uterus atau
perubahan yang terjadi di bagian tubuh yang merupakan simbol penting secara tradisional dari sifat kewanitaan akan menyebabkan reaksi emosional
pada wanita dan identitas perannya akan terancam karena tidak dapat memuaskan pasangannya lagi.
Secara teoritis, kecemasan merupakan reaksi pertama yang muncul atau dirasakan oleh pasien dan keluarganya di saat pasien harus dirawat
mendadak atau tanpa terencana begitu mulai masuk rumah sakit. Kecemasan akan terus menyertai pasien dan keluarganya dalam setiap
tindakan perawatan terhadap penyakit yang diderta pasien. Cemas adalah emosi dan merupakan pengalaman subjektif individual, mempunyai
kekuatan tersendiri dan sulit untuk diobservasi secara langsung Nursalam, 2012.
Konsep kecemasan memegang peranan penting yang sangat mendasar dalam teori-teori tentang stres dan penyesuaian diri kecemasan adalah
perasaan was-was, khawatir, atau tidak nyaman seakan-akan terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman. Kecemasan merupakan suatu perasaan
yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernapasan. Kecemasan melibatkan persepsi
tentang perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi fisiologis, dengan kata lain kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya
Purba et al., 2008. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Sastrawinata 2009,
tentang “Perubahan Kualitas Hidup Ditinjau Dari Aspek Psikoseksual Paska Histerektomi Total Abdominal”, diketahui bahwa terdapat kecemasan
sebelum operasi 70,4 dan menurun setelah operasi, sedangkan tidak ada pembatasan peranan emosi sebelum operasi 25,9, dan meningkat setelah
operasi. Kecemasan yang terjadi sebelum operasi dalam hal ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan karena pasien dipengaruhi oleh
penafsiran-penafsiran yang salah terhadap dampak histerektomi. Sedangkan tidak adanya pembatasan emosi meningkat dari praoperasi dan paskaoperasi
dikarenakan pasien merasakan hilangnya gejala nyeri, perdarahan yang dialami praoperasi sehingga rasa percaya diri pasien bertambah.
Menurut hasil penelitian Hadono dan Wiknjosastro 2001, mengatakan bahwa komplikasi psikologis histerektomi dapat mengakibatkan disintegrasi
yang bermanifestasi dalam depresi dan keributan dalam kehidupan
pernikahan, kekeluargaan maupun ditempat kerja. Terutama pada wanita muda yang belum menikah, yang baru pertama kali melahirkan, atau yang
akan menikah kembali. Hilangnya kemampuan untuk menjadi hamil dan tidak adanya haid dirasakan merupakan hal yang tidak wajar bagi wanita.
Hasil penelitian Ghozali 2004, menunjukkan bahwa masalah psikologis dari tindakan bedah histerektomi dapat menimbulkan stress
tersendiri bagi wanita karena berkaitan erat dengan organ reproduksi sebagai alat seksual. Wanita akan merasa cemas Karena kehilangan organ
reproduksi. Swarsono 2001, menambahkan bahwa seorang wanita yang telah dilakukan histerektomi akan merasa kehilangan rahim yang
merupakan organ reproduksi penting karena pada umumnya budaya masyarakat Indonesia memandang bahwa tanpa adanya rahim wanita
dianggap kurang mampu memuaskan pasangannya. Jochimsen dalam Branolte Bos 2001, menemukan bahwa 82 dari
pasien yang mengalami histerektomi melaporkan terjadinya gambaran diri yang buruk sebagai dampak dari kehilangan organ tersebut. Proses
sosialisasi yang menanamkan nilai berharga dari uterus dan fungsi bagian tubuh secara keseluruhan menyebabkan persepsi terhadap gambaran diri
yang buruk serta perasaan tidak mampu. Seorang wanita yang tidak dapat menghasilkan seorang anak dipandang sebagai seorang wanita yang tiak
sempurna dan akan menempatkan wanita tersebut pada status yang rendah dalam keluarganaya, begitu juga di dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan
wanita tersebut akan mengkaji kembali makna serta tujuan pernikahannya. Khalid dalam Farooqi 2005, menambahkan bahwa kehilangan kemampuan
untuk melahirkan anak memungkinkan terjadinya peningkatan tekanan dari
keluarga, pada akhirnya akan menyebabkan perceraian dengan pasangannya.
Masalah fisik sebagai dampak dari stress yang berkepanjangan akan dirasakan ibu dalam berbagai bentuk gejala seperti penurunan berat badan,
gangguan menelan, muntah, lemah, sakit kepala, pusing, gangguan penglihatan, konsentrasi, pola makan, pola tidur, aktivitas, komunikasi,
palpitasi, nyeri dada, dispnea dan infeksi. Gejala yang paling menonjol dan berkaitan dengan masalah reproduksi adalah penurunan libido, gangguan
pola seksual dan gangguan pola menstruasi. Masalah psikologis dimanifestasikan dalam bentuk perasaan khawatir, firasat buruk, mudah
tersinggung, mudah terkejut, tegang, gelisah dan cemas Malacrida, 2003.