berkeluh kesah atau menunjuk sikap-sikap lemah lembut yang identik dengan perempuan. Sedari kecil laki-laki diberikan hak istimewa oleh
masyarakat, mereka didahulukan dalam banyak hal dan diberikan kebebasan unutk melakukan apa saja yang bagi perempuan dilarang dan
itu dianggap sebagai suatu kewajaran. Mereka diajarkan bahwa mereka adalah makhluk yang lebih berkuasa dibanding lawan jenisnya, dituntut
unutk selalu tampil kuat, tidak terlihat lemahHumm, 2007:273. Maskulinitasseringkali dimaknai dengan mengacu pada ciri-ciri
yang melekat pada laki-laki. Maka muncul imaji maskulinitas seperti tubuh yang berotot, penuh lelehan keringat, perkasa, pemberani, petualang
dan sebagainya. Maskulinitas diidentikkan dengan mobilitas, gerak, gairah kompetisi atau bertanding. Stereotip maskulinitas lantas acapkali
disejajarkan dengan aktifitas olah raga dan jiwa sportif Humm, 2007:275.
2.1.8 Teori Norma-norma Budaya
Pada hakikatnya, teori norma-norma budaya menganggap bahwa media massa melalui pesan-pesan yang disampaikannya secara tertentu
dapat menumbuhkan kesan-kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan norma-norma budayanya. Perilaku individu umumnya didasarkan pada
norma-norma budaya yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapi, dalam hal ini media akan bekerja secar tidak langsung untuk
mempengaruhi sikap individu tersebut Suprapto, 2006:20.
Dalam teori ini ada tiga cara untuk mempengaruhi norma-norma
budaya yang dapat ditempuh oleh media massa. Pertama, pesan-pesan
komunikasi massa dapat memperkuat pola-pola budaya yang berlaku dan membimbing masyarakat untuk mempercayai bahwa pola-pola tersebut
masih tetap berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat. Kedua, media dapat
menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentangan dengan pola
budaya yang ada, bahkan menyempurnakannya. Ketiga, media massa
dapat mengubah norma-norma budaya yang berlaku dan dengan cara demikian mengubah perilaku individu-individu dalam masyarakat
Suprapto, 2006:20. Dalam penelitian ini, media massa dalam hal ini iklan Nescafe secara tidak langsung menggunakan cara ketiga dalam
menggambarkan kepada masyarakat akan adanya persoalan yang sedang terjadi.
2.1.9 Teori Kode Nonverbal
Para ahli komunikasi mengakui bahwa bahasa dan perilaku manusia yang sering kali tidak dapat bekerja sama dalam menyampaikan pesan, dan
karenanya teori tanda nonverbal theories of nonverbal signs atau komunikasi nonverbal merupakan elemen penting dalam tradisi semiotika.
Koden nonverbal adalah sejumlah perilaku yang digunakna untuk menyampaikan makna. Menurut Jude Burgoon, kode nonverbal memiliki
tiga dimensi, yaitu dimensi semantic, sintaktik, dan pragmatik. Semantik, yaitu dimensi yang mengacu pada makna dari suatu tanda. Misalnya,
seorang ibu dengan wajah cemberut meletakkan jari telunjukknya di deoan bbirnya meminta anda yang sedang ngobrol untuk berhenti bicara karena
anak bayinya sedang tidur. Sintaktik, yaitu dimensi yang mengacu pada cara tanda disusun atau diorganisir dengan tanda lainnya di dalam sistem.
Misalnya, orang yang meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya itu tidak menunjukkna wajah cemberut, tetapi malah tersenyum sambil berkata
dengan suara lembut, ‘Maaf, ada bayi yang sedang tidur,’ Di sini, gerak tubuh, tanda vokal suara yang lembut, ekspresi wajah, dan bahasa menyatu
untuk menciptakan makna keseluruhan. Pragmatik, yaitu dimensi yang mengacu pada efek atau perilaku yang ditunjukkan oleh tanda, sebagaimana
contoh orang yang meminta anda diam, namun yang pertama anda terima sebagai menunjukkan sikap tidak suka antipati kepada anda, sedangkan
lainnya diterima sebagai sikap yang ramah atau bersahabat Morrisan, 2009 :93.
Sistem tanda nonverbal sering dikelompokkan menurut tipe aktivitas atau kegiatan yang digunakan di dalam tanda tersebut, menurut Burgoon
terdiri atas tujuh tipe, yaitu bahasa tubuh kinesics, suara vocalics atau paralanguage, tampilan fisik, sentuhan haptics, ruang pro-xemics, waktu
chronemics, dan objek artifacts Morrisan, 2009:93.
2.1.10 Semiotik