REPRESENTASI STEREOTIP LAKI-LAKI PADA IKLAN TELEVISI. (Studi Semiotik Representasi Stereotip Laki-laki pada Iklan Nescafe Classic rasa Lebih Hitam di Televisi).

(1)

iii

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul REPRESENTASI SETEOTIP LAKI-LAKI DALAM IKLAN TELEVISI (Studi semiotik Representasi Stereotip Laki-laki pada Iklan Nescafe Classic Versi Rasa Lebih Hitam di Televisi) ini dapat disusun dengan baik dan lancar. Penulisan penelitian skripsi ini bertujuan unutk memenuhi prasyarat bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Pembangunan Nasional ”VETERAN” Jawa Timur.

Peneliti menyadari bahwa laporan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang dengan kesabaran telah memberikan petunjuk dan bimbingan sehingga penyusunan laporan proposal skripsi ini dapat terselesaikan. Peneliti sadar bahwa sejak melakukan tugas akhir ini bnayak kekurangan, dan peneliti menucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra.Ec. Hj. Suparwati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional ”VETERAN” Jawa Timur.


(2)

iv

membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Keluargaku yang telah memberikan bantuan moril dan materiil yang tak ternilai.

5. Teman dan sahabat-sahabatku yang telah memberikan motivasi dan semangat serta dorongan untuk menyelesaikan studi.

Dengan menyadari kemampuan yang terbatas dalam penulisan laporan skripsi ini, peneliti meminta maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kesalahan. Dan peneliti mengharapakan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan dari penelitian ini.

Surabaya, 23 November 2010


(3)

v

Lembar Pengesahan...ii

Kata Pengantar ...iii

Daftar Isi ...v

Abstraksi...ix

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah……….………1

1.2 Perumusan Masalah ...10

1.3 Tujuan Penelitian ...10

1.4 Kegunaan Penelitian ...10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...12

2.1 Landasan Teori ...12

2.1.1 Iklan Televisi ...12

2.1.2 Periklanan sebagai bentuk Komunikasi Massa ...15

2.1.3 Representasi ...16

2.1.4 Stereotip ...17

2.1.5 Stereotip Laki-laki ...20

2.1.6 Macho ...23


(4)

vi

2.1.11 Semiotik John Fiske ...31

2.1.12 Komunikasi non Verbal ……….……….46

2.1.13 Psikologi Warna ...47

2.2 Kerangka Berpikir ...53

BAB III METODE PENELITIAN ...55

3.1 Metode Penelitian ...55

3.2 Kerangka Konseptual ...56

3.2.1 Stereotip laki-laki ...56

3.2.2 Korpus Penelitian ...56

3.2.3 Teknik Pengumpulan data ...57

3.2.4 Teknik Analisis Data ...58

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...59

4.1 Gambaran Umum Objek dan Penyajian data………...59

4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian………...59

4.1.2 Penyajian Data………...61

4.2 Analisis Data………62

4.2.1 Analisis John Fiske………62


(5)

vii

5.2 Saran...75

DAFTAR PUSTAKA ...77 LAMPIRAN...v


(6)

viii

1. Iklan Nescafe Classic Versi Rasa Lebih Hitam 2. Korpus Penelitian


(7)

Representasi Stereotip Laki-laki pada Iklan Nescafe Classic rasa Lebih Hitam di Televisi)

Penelitian ini didasarkan pada kurangnya pemahaman dan penjelasan akan stereotip laki-laki dalam masyarakat terutama di Indonesia. Iklan Nescafe Classic ini menyajikan gambaran lain akan stereotip laki-laki yang seharusnya masyarakat pahami dan mengerti. Penggambaran berbeda dari stereotip laki-laki dijabarkan dalam iklan ini. Iklan dalam media massa itu menyampaikan pesan tertentu kepada masyarakat. Penelitian ini dilakukan unutk mendeskripsikan representasi stereotip laki-laki dalam iklan tersebut.

Stereotip laki-laki sangat identik dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan, kepribadian dan ciri laki-laki itu sendiri. Sebagai landasan teori, penelitian ini menggunakan pendekatan Semiotik John fiske, iklan televisi, Macho, Maskulinitas, Periklanan sebagai bentuk Komunikasi Massa, penggunaan warna dalm iklan, komunikasi non verbal, representasi.

Penelitian ini, merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode semiotik. Korpus penelitian adalah iklan kopi Nescafe Classic versi Rasa lebih Hitam 5 scene. Data analisi dalam penelitian ini melalui 3 level yakni level realitas menekankan pada unsur penampilan, kostum, make-up, setting dan gerak tubuh. Level representasi yang berunsur pada teknik kamera, editing, pencahayaan dan suara. Level ideologi merupakan perngorganisasian dalam kesatuan dan penerimaan sosial seperti individualisme patriarki, umur, ras, pluralisme, dan sebagaianya.

Dari data yang dianalisis peneliti menemukan representasi stereotip laki-laki yang berbeda dalam iklan Nescafe Classic. Perbedaan representasi itudigambarkan sebagai bentuk dan ciri laki-laki yang sebenarnya bukan bentuk stereotip laki-laki pada umumnya. Laki-laki yang digambarkan dalam iklan itu memiliki kemampuan sebagai kepribadian, ciri dan karekter stereotip laki-laki secara umum. Karena kegiatan dan alat yang digunakan menunjang mereka untuk menjadikan mereka dalam stereotip laki-laki.


(8)

1 1.1Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, kegiatan periklanan sangat melekat di kehidupan masyarakat. Di Indonesia dunia periklanan berkembang pesat seiring berkembangnya teknologi dan informasi. Meningkatnya kegiatan periklanan membuata optimis berbagai kalangan, terutama industri atau perusahaan. Dalam ilmu komunikasi pemasaran, iklan merupakan investasi untuk menjaga hubungan yang berkesinambungan antara perusahaan dan konsumennya. Bahkan menurut Bedjo Riyanto, iklan sama pentingnya dengan investasi di bidang pengemasan (packaging), distribusi maupun penelitian pasar (market research) yang sasaran akhirnya mencapai perolehan laba penjualan secara maksimal (Riyanto, 2001:18).

Pesatnya laju pertumbuhan tersebut tamapaknya juga dipicu dengan adanya proliferasi media, yaitu bertambahnya jumlah media yang diakibatkan reformasi pemerintah dibidang komunikasi, dimana pendirian medai baru, baik cetak maupun elektronik televisi dan radio sangat dipermudah dibanding dengan masa Orde Baru (Widyatama, 2007:5). Iklan dianggap sebagai teknik penyampaian pesan yang efektif dalam menjual dan menawarkan produk. Hal ini menyebabkan berbagai produk dengan bermacam merek untuk


(9)

berlomba-lomba memenangkan pasar. Semua produk ingin menghendaki dirinya menjadi Market Leader. Para kreator iklan dituntut untuk lebih kreatif dalam menghadirkan konsep iklan dan mengemas pesan-pesan iklan tersebutdengan semaksimal mungkin guna menarik perhatian calon konsumen. Oleh karenanya dalam mengiklankan suatu produk tertentu harus mengandung daya tarik tersendiri. Maka untuk menampilkan kekuatan iklan atau pesan, tidak hanya sekedar menampilkan kekuatn pesan verbal melainkan juga menampilkan kekuatan pesan non verbal. Pesan verbal adalah pesan yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan. Dan semua yang bukan pesan verbal ialah pesan non verbal, sepanjang bentuk non verbala tersebut mengandung arti maka ia dapat disebut sebagai sebuah pesan komunikasi.

Komunikasi iklan pada dasarnya sama, yakni bentuk komunikasi persuasi terhadap komoditi atau produk dan jasa yang erta kaitannya dengan masalah pemasaran. Tujuan dasar iklan adalah memberikan informasi tentang suatu produk layanan dengan cara dan strategi persuasif. Agar pesan dapat dipahami, diterima, disimpan dan diingat serta adanya tindakan tertentu (membeli), yang ditingkatkan dengan cara menarik perhatian konsumen serta menimbulkan asosiasi yang dapat mengugah selera agar bertindak sesuai keinginan komunikator (Cialdini, 2007:124). Dalam beberapa iklan yang ditayangkan di televisi, banyak terdapat perbedaan gender.

Perbedaan gender (gender differences) berlangsung terus-menerus dalam sejarah yang sangat panjang dan kompleks hingga sekarang. Ia dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bhakan dikonstruksikan secara sosial


(10)

hingga banyak yang dianggap sebagai ketentuan Tuhan (seolah-olah bersifat biologis dan tidak dapat diubah-ubah lagi), sehingga perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat (Mansour Fakih, 2001). Menurut Judith Waters dan George Ellis (1996), gender merupakan kategori dasar dalam budaya, yaitu sebagai proses dengan identifikasi tidak hanya orang, tetapi juga perbendaharaan kata, pola bicara, sikap dan perilaku, tujuan, dan aktifitas seperti ”maskulinitas” atau ”feminitas”. Berbagai perbendaharaan itu akhirnya memunculkan stereotip tertentu yang disebut dengan stereotip gender (Widyatama, 2006:4).

Menurut Priyo Soemandoyo (1999) kata stereotip berarti citra baku. Citra baku merupakan gambaran atau imaji yang seolah-olah menetap, khas dan tidah berubah-ubah. Jallaludin Rakhmat (1986) menuliskan bahwa stereotip seringkali klise, timpang dan tidak benar. Sehingga stereotip gender bisa diartikan sebagai gambaran laki-laki dan perempuan yang khas, tidak berubah-ubah, klise seringkali timpang dan tidak benar. Ia bersumber dari ola pikiran manusia. Atau menurut Judith dan Ellis, stereotip gender sebagai bagan atau schemata (struktur kognitif) tentang sifat dan perilaku yang diterima sebagai tipe rata-rata pria (dalam hal ini laki-laki) dan wanita (Judith Waters dan George Ellis, 1996).

Dalam iklan televisi, perempuan umumnya direpresentasikan harus tampil menawan pandai mengurus rumah tangga, memasak, tampil prima untuk menyenangkan suami dan pantas diajak ke berbagai acara. Menekankan pada figur dan pakaian cantik, lemah lembut, anggun, pandai memasak, lebih


(11)

emosional, keibuan, berantung pasif, lemah dll. Sementara pria, dalam hal ini laki-laki, digambarakan sebagai sosok agresif, dominan, superior, dimitoskan sebagai pelindung, kuat, rasional, jantan perkasa. Representasi tersebut sangat menonjol dan merupakan penggambaran yang bersifat tradisional (Widyatama, 2006:28). Penggambaran pria ataupun laki-laki pada iklan tampak pada tampilan atau visual melalui tanda dan simbol-simbolnya. Contohnya : pria bertubuh atletis pada iklan kebugaran, berambut panjang pada iklan motor besar atau otomotif, berbadan bagus pada iklan alat kesehatan dan alat kontrasepsi, berparas seorang petualang pada iklan rokok, dll.

Dalam perspektif gender, maskulinitas maupun feminitas sebenarnya merupakan pilihan. Artinya pria maupun wanita dapat secara bebas memilih penampilannya sendiri sesuai dengan yang disukainya. Tidak ada kewajiban bahwa pria harus menampilkan dirinya sebagai sosok maskulin dan feminim bagi perempuan. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan satu dengan yang lain. Pria dapat berpenampilan feminim sementara wanita dapat memilih penampilan sebagai sosok yang maskulin (Widyatama, 2006:6). Stereotip muncul seiring denga perubahan zaman, berbagai konstruksi gender itu bergantung pada konstruksi sosial dan budaya masyarakat. Ciri dan sifat pria bisa berubah dan berbeda antara masyarakat satu dengan yang lainnya dan antara zaman yang satu dengan yang lainnya. Sekalipun demikian terdapat kecenderungan yang sama tentang pandangan manusia terhadap perempuan dan laki-laki.


(12)

Dalam berbagai budaya, posisi pria selalu berada diatas perempuan termasuk juga dalam budaya patriakal. Dalam masyarakat patriakal perempuan ditempatkan dalam posisi sub-ordinasi terhadap pria. Sistem patrilineal dalam masyarakat Indonesia masih tumbuh subur, karena masih berkembang warna sisa-sisa feodalistik. Paham yang menempatkan hubungan perempuan dan pria bersifat hierarkis. Pria lebih dominan dan menentukan sementara perempuan lebih sub-ordinat, yang dalam beberapa hal lebih ditentukan oleh pria daripada memberikan andil penguasaan pada perempuan (Priyo Soemandoyo, 1999). Budaya tersebut sangat luas dianut dalam masyarakat jawa sehingga mempengaruhi banyak sendi kehidupan (Widyatama, 2006:9).

Dalam budaya barat pun hampir sama, pria ditunjukkan dengan karakter pemimpin, kuat. Walaupun bingkai perempuan dalam televisi telah berubah lebih dari 30 tahun, perempuan di televisi kurang terwakili, lebih sedikit karakter perempuan daripada karakter laki-laki yang muncul (Signorielli & Bacue, 1999). Tidak semua pembingkaian itu seimbang : karakter perempuan lebih muda, lebih disukai karyawan, dan sering muncul kedua dan mengatur komedi. Walapun jumlah karakter perempuan dan peran mereka yang beralih sejak awal 1970an, peralihan ini tidak terus berubah dengan kekinian dalam jabatan perempuan. Jadi perempuan dalam televisi sedikit terlihat dan penting daripada pria. Karakter pria dalam televisi lebih tua dan menempati posisi yang lebih berharga daripada kerekter perempuan (Signorielli & Bacue, 1999).


(13)

Pria juga sering menjadi karakter pemimpin dalam drama dan program petualangan, aktifitas yang membuat mereka jauh dari rumah dan hubungan keluarga. Namun fenomena yang ada sekarang lebih mempertanyakan tentang kelelakian seorang laki-laki, hal ini dapat dibuktikkan dengan pencarian pasangan bagi wanita. Kebanyakan pria atau laki-laki berupaya memenuhi tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan itu dengan mencoba mnyenangkan hati semua orang (terutama wanita). Akibatnya mereka mengebiri jati diri mereka sendiri, sehingga menjadi pria yang tidak efektif dan ”mandul”. Berlawanan dengan hasil yang mereka harapkan, hampir setiap orang justru tidak menyukai mereka. Tidaklah mengherankan kalau kaum pria atau laki-laki bingung mengenai jati diri pria yang sesungguhnya (Cole, 1992:6). Menurut KBBI, laki-laki itu adalah [n] (1) orang (manusia) yang mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan adakalanya berkumis: baik ~ maupun perempuan berhak dicalonkan menjadi anggota DPR; (2) jantan (untuk hewan); (3) ki orang yang mempunyai keberanian; pemberani: ia bertindak sbg ~ (sumber : www.KamusBahasaIndonesia.org, tanggal 15-06-2010 pukul 11.00). Pria sejati (laki-laki sejati) bukanlah hasil yang dapat diperoleh dari luapan emosi sesaat belak. Selain itu kesejatian seorang pria atau laki-laki juga tidak terletak pada kegagahan dan ketampanan lahiriyah. Juga tidak pada kepribadian, talenta, kecerdasan, penampilan, ataupun profesi yang dimiliki oleh seorang pria. Sejati tidaknya seotang pria ditentukan oleh hatinya atau ”manusia batinia”nya, karakter moralnya, yaitu ”manusia asli”


(14)

dalam diri seorang yang meskipun disembunyikan dibalik berbgai selubung lahiriah, apda waktu-waktu tertentu tetap akan dapat dilihat oleh orang lain.

Wanita sering menstereotipkan laki-laki dalam berbagai bentuk kepribadian, akan tetapi stereotip laki-laki itu sendiri belum mewakili laki-laki secara keseluruhan. Stereotip ialah ringkasan kesan mengenai sebuah kelompok orang dimana semua anggota dalam kelompok dilihat memiliki sifat yang sama. Bagaimanapun juga, stereotip merefleksikan perbedaan antar orang, dan mereka juga mendistorsikan kenyataan dalam tiga cara (Judd dkk., 1995). Pertama, mereka melebih-lebihkan perbedaan kelompok, membuat kelompok yang distereotipkan terlihat aneh, asing, atau berbahaya, tidak seperti ”kami”. Kedua, mereka menghasilkan persepsi selektif, orang cenderung untuk melihat bukti yang sesuai dengan stereotip dan menolak adanya persepsi yang tidak sesuai dengan stereotip. Ketiga, mereka mengabaikan perbedaan masing-masing anggota dalam kelompok asing ini. Namun stereotip laki-laki ialah persepsi atau kesan tentang sesorang yang mempunyai sifat, kemampuan yang maskulin, kuat, tenang, logika serta pemberani. Stereotip laki-laki seperti ini yang sering diinginkan oleh kebanyakan pria, namun banyak juga wanita yang menmukan dan menentukan stereotip laki-laki di dalam diri pria idamannya. Stereotip pria atau laki-laki yang diinginkan wanita didistorsikan dalam sebuah citra oleh media massa dengan menggambarkan dan mensahkan itulah stereotip laki-laki sebenarnya.

Iklan televisi yang menampilkan stereotip laki-laki pada produk-produk yang tercitrakan sebagai karakter laki-laki. Pada masa dahulu, pria


(15)

terstereotipkan pada produk-produk yang menggambarkan maskulinitas, keberanian, petualang dan kejantanan. Produk-produk yang dulu hanya dikonsumsi oleh pria itu sekarang ditereotipkan oleh media massa. Produk-produknay anatara lain : rokok, kopi, alkohol dan kondom. Produk kopi yang dulu mengstigma masyarakat dengan cara yakni yang hanya boleh memakai atau menggunakannya ialah para pria atau laki-laki, karena kopi menggambarkan kedewasaan, kebijakan dan kekuatan. Hal ini terbuktikan dengan pengkonsumsi kopi yang dahulu hanya para pekerja, buruh, sopir angkot atau truck, kuli bangunan, orang tua, hansip, dll., kerena itu mereka menggambarkan secara sempurna bahwa kopi ialah alat atau citra dari pria atau laki-laki. Stereotip yang sudah memasyarakat tersebut sangat berbeda dengan keadaan saat ini. Dimana penikmat kopi bukan para kaum adam lagi, perkembangan teknologi informasi dan moderenisasi serta globalisasilah yang telah merubahnya. Karena semakin banyak bukti bahwa yang bisa mengkonsumsi atau menikmati kopi bukan para pria atau laki-laki lagi. Buktinya dengan kemunculan iklan kopi dengan model seorang wanita atau remaja perempuan bukan laki-laki atau pria.

Iklan produk yang kini memberikan kesadaran (awareness) tentang persepsi masyarakat akan stereotip laki-laki adalah iklan kopi Nescafe. Pada iklan produknya yang terbaru, Nescafe menampilkan persepsi umum akan prasangka masyarakat, yakni stereotip. Stereotip yang sudah mengakar dan membudaya pada pola pikir masyarakat itu dapat berakibat atau berefek yang kurang menguntungkan bagi masyarakat. Pada iklannya, nescafe menampilkan


(16)

penggamabran beberapa jenis pria dilaihat dari keadaan fisiknya. Menurut stereotip atau persepsi masyarakat, pria atau laki-laki yang digambarkan oleh nescafe itu merupakan citra lelaki atau laki-laki tradisional yang sudang mengakar dan membudaya pad apola pikir masyarakat. Tindakan diskriminatif seperti ini menimbulkan konflik dan halangan dalam kehidupan sosial di masyarakat. Potensi akan perkembangan masyarakat itulah yang terhambat dengan adanya prasangka-prasangka atau stereotip pada masyarakat. Dan mengenai tanda (sign) yang digunakan, citra (image) atapun immbol yang ditampilkan, informasi yang disampaikan, makna yang diperoleh serta bagaiaman semuanya berpengaruh pada persepsi, pemahaman dan tingkah lakumasyarakat.

Berbagai macam tanda dalam iklan tersebut meruapkan sistem tanda yang membawa sejumlah ide tertentu yang dikehendaki perbautanya (komunikator, pengiklan, nescafe) agar masyarakat paham dan tahu yang diinginkannya. Tanda-tanda tersebut dibangun dalam berbagai tingkatan, mulai dari sangat sederhana hingga kompleks dan melibatakan banyak sekali sistem tanda. Sebagaiaman yang dituliskan oleh Kasiyan, iklan adalah teks yang dibangun oleh seperangkat tanda baik audio maupun visual yang berfungsi untuk menyampaikan sejumlah pesan (Kasiyan, 2001). Apapun tingkat kekompleksitasan tanda yang digunakan pada dasarnya iklan televisi selalu berupaya agar bisa dipahami oleh khalayaknya (Widyatama, 2006:20).

Dari uraian tersebut iklan Nescafe Classic Rasa lebih Hitam memberikan gambaran bahwa segala stereotip, baik kita sadari maupaun tidak,


(17)

yang kita gunakan sehari-hari tidaklah menggambarakan realitas. Melainkan hanyalah pengklisean persepsi atau prasangka dari pemikiran dan pengetahuan yang dimiliki oleh individu, kelompok tertentu ataupun masyarakat. Untuk itulah memahami iklan tidak semudah dan sesingkat menikmati iklan tersebut (Adrian Dektisa hangijanto, 2003). Demikian pula bias gender yang ada di dalamnya (Widyatama, 2006:22). Maka peneliti akan menggunakan sebuah studi semiotik unutk mengkaji dan memahaminya.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah ”Bagaiamana representasi Stereotip Laki-laki dalam Iklan Nescafe Classic versi Rasa lebih Hitam di Televisi ?”

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah di atas adalah untuk mengetahui Representasi Stereotip laki-laki dalam iklan Nescafe Classic versi Rasa Lebih Hitam di Televisi.

1.4Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Praktis, yaitu membantu permirsa dalam memahami makna tentang Stereotip laki-laki dalam iklan Nescafe Classic.


(18)

2. Manfaat Akademis, menambah khasanah kawasan wawasan dalam subjek periklanan dan mengetahui stereotip dalam iklan.

3. Manfaat Metodologis, yaitu memberikan referensi bagi penelitian lain sebagai acuan pengemabngan penelitian selanjutnya.


(19)

12 2.1 Landasan Teori

2.1.1 Iklan Televisi

Iklan merupakan bagian dari reklame yang berasal dari bahasa Prancis, yaitu re-clame yang berarti “meneriakkan berulang-ulang”. Terdapat berbagai macam definisi serta pengertian dari iklan. Namun, pada hakikatnya iklan adalah pesan yang disampaikan dari komunikator pada komunikan. Oleh karena itu iklan adalah bentuk kegiatan komunikasi.

Komunikasi iklan pada dasarnya sama, yakni bentuk komunikasi persuasi terhadap komoditi atau produk dan jasa yang erat kaitannya dengan masalah-masalah pemasaran. Iklan merupakan ‛media’ pemilik produk yang diciptakan oleh biro iklan untuk disebarluaskan kepada khalayak dengan berbagai tujuan, diantaranya sebagai informasi produk dan mendorong penjualan. Karena mendorong penjualan, maka iklan merupakan bagian dari pemasaran produk (Widyatama, 2006: 13).

Tujuan dasar iklan adalah pemberian informasi tentang suatu produk layanan dengan cara dan strategi persuasif. Menurut medianya iklan dibagi dalam dua kategori besar, yaitu iklan above the line


(20)

advertising (lini atas) dan bellow the line advertising (lini bawah). Above the line advertising adalah jenis-jenis iklan yang disebarluaskan melalui media massa, misalnya surat kabar, majalah, radio, dan televise. Sementara bellow the line advertising adalah kegiatan periklanan yang tidak melibatkan pemasangan iklan di media massa dan tidak memberikan komisi terhadap perusahaan. Umumnya, kegiatan periklanan lini bawah ini bersifat penjualan promosi, yaitu kegiatan pemasaran yang dilakukan di tempat penjualan. (Widyatama, 2006: 13-14).

Sesuai medianya, iklan televisi (television commercial) adalah iklan yang ditayangkan televisi. Melalui media ini, pesan dapat disampaikan dalam bentuk audio, visual, dan gerak. Sejalan dengan itu menurut Wells, Burnet & Mariarty terdapat beberapa bagian dalam iklan yang ditayangkan di televisi, terdiri dari video, suara (audio), model (talent), peraga (props), latar (settings), pencahayaan (lighting), grafik (grapich), kecepatan (pacing) (Wells, Burnet & Mariarty, 1999: 391-394). 1. Video yaitu segala sesuatu yang ditampilkan di layar yang bisa

dilihat pada iklan di televisi merupakan stimulus yang merangsang perhatian khalayak atau dijadikan perhatian karena pada dasarnya manusia secara visual tertarik pada obyek yang bergerak. Dengan kata lain manusia lebih tertarik pada iklan display yang bergerak. 2. Suara atau audio dalam iklan televisi, pada dasarnya sama dengan

di radio, yaitu dengan memanfaatkan musik, lagu-lagu singkat (jingle), atau suara orang (voice). Misalnya, seorang model iklan


(21)

menyampaikan pesan, langsung kepada khalayak melalui dialog yang terekam pada kamera.

3. Aktor atau model iklan (talent) juga menjadi bagian penting dalam iklan. Sebagaimana banyak studi yang menunjukkan bahwa keefektifan komunikasi juga ditentukan oleh ciri-ciri dari komunikator, seperti kredibilitas dan daya tarik.

4. Alat peraga (props) adalah peralatan-peralatan lain yang digunakan untuk mendukung pengiklan sebuah produk. Unsur utama alat peraga ini harus merefleksikan karakter, kegunaan, dan keuntungan produk, seperti logo, kemasan dan cara penggunaan suatu produk. 5. Latar atau suasana (setting) adalah tempat atau lokasi dimana

pengambilan gambar (shooting) ketika adegan itu berlangsung. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan tema iklan.

6. Pencahayaan (lighting) sangat penting untuk menarik perhatian khalayak dalam menerima suatu obyek tentang kejelasan gambar. 7. Gambar atau tampilan yang bisa dilihat pada iklan di televisi

merupakan stimulus yang merangsang perhatian khalayak dalam menerima kehadiran sebuah obyek, dan diharapkan khalayak lebih mudah menerima dan mempersepsikan makna yang disampaikan. Unsur gambar ini misalnya mengandalkan komposisi warna atau bahasa tubuh (gesture) dari pemeran iklan.

Kecepatan atau pengulangan merupakan unsur yang sering dipakai, yaitu dengan melakukan pengulangan slogan-slogan atau kata-kata.


(22)

Sebagai contoh misalnya pengulangan nama merk atau keunggulan produk dibandingkan yang lain. Sebagaimana teori dalam gaya bahasa bahwa sesuatu yang disampaikan berkali-kali bila disertai variasi akan menarik perhatian orang.

2.1.2 Periklanan sebagai bentuk Komunikasi Massa

Menurut Harold Lasswell, unsur-unsur komunikasi massa terdiri dari sumber (source), pesan (message), saluran (channel), penerima (receiver), dan efek (effect). Dalam sudut pandang periklanan, sumber disini tidak lain adalah komunikator atau sponsor tertentu secara jelas. Komunikator dalam iklan dapat datang dari perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga atau organisasi, bahkan negara. Yang kedua adalah pesan. Sebuah iklan tidak akan ada tanpa adanya pesan. Pesan yang disampaikan oleh sebuah iklan, dapat berbentuk perpaduan antara pesan verbal dan non verbal. Pesan verbal adalah pesan yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan. Semua pesan yang bukan pesan verbal adalah pesan non verbal. Sepanjang bentuk non verbal tersebut mengandung arti, maka ia dapat disebut sebagai pesan komunikasi (Widyatama, 2007: 17).

Unsur saluran menyangkut media yang dipakai untuk menyebarluaskan pesan-pesan baik itu media cetak, elektronik maupun internet. Selanjutnya adalah unsur penerima. Iklan diciptakan karena ingin ditujukan kepada khalayak tertentu. Sifat-sifat dari khalayak sasaran ini antara lain: luas dan banyak (large), beragam (heterogen), dan antara


(23)

audience dengan komunikator tidak saling mengenal (anonim). Oleh karena itu, dalam dunia periklanan khalayak sasaran cenderung bersifat khusus. Pesan yang disampaikan tidak dimaksudkan untuk diberikan kepada semua orang, melainkan kelompok target audience tertentu. Dengan demikian, pesan yang diberikan harus dirancang khusus sesuai dengan target khalayak (Widyatama, 2007: 22).

Yang terakhir adalah unsur efek. Semua iklan yang dibuat oleh pengiklan dapat dipastikan memiliki tujuan tertentu, yaitu berupa dampak tertentu di tengah khalayak. Dampak tertentu yang diharapkan oleh pengiklan dapat berupa pengaruh ekonomis maupun dampak sosial. Pengaruh ekonomis adalah dampak yang diharapkan dapat diwujudkan oleh iklan untuk maksud mendapatkan keuntungan ekonomi. Misalnya, bertambahnya penjualan produk sehingga mendapatkan keuntungan materi. Sementara dampakk sosial adalah keuntungan non ekonomi, yaitu terbangunnya citra baik berupa penerimaan sosial oleh masyarakat (Widyatama, 2007: 24).

2.1.3 Representasi

Representasi adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian. Representasi adalah proses sosial dari “representing”. Dan juga merupakan produk dari proses sosial “representing”. Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep yang


(24)

abstrak dalam bentuk-bentuk yang konkret, jadi pandangan-pandangan hidup kita tentang perempuan, anak-anak, atau laki-laki, misalnya akan dengan mudah terlihat dari cara kita memberi hadiah ulang tahun kepada teman kita yang laki-laki, perempuan dan anak-anak. Begitu juga dengan pandangan-pandangan hidup kita terhadap cinta, perang, dan lain-lain akan tampak dari hal-hal yang praktis juga. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia; dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa.

Bagaimana representasi menghubungkan makna dan bahasa dalam kebudayaan? Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi modal, yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua adalah Representasi ‛bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‛bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

2.1.4 Stereotip

Stereotip (Stereotype) ialah ringkasan kesan terhadap sekelompok orang dimana semua anggota dalam kelompok dilihat memiliki sifat-sifat yang sama. Stereotip dapat saja bersifat negatiif, positif atau juga netral.


(25)

Stereotip tidak selalu buruk, mereka terkadang sebagaimana disebut oleh para psikolog, merupakan alat yang berguna dalam kontak mental yaitu alat penghemat energi yang memungkinkan kita membuat keputusan secara efektif (Macrae & Bodenhausen, 2000). Pandangan stereotip mengaburkan pandangan masnusia secara pribadi, karena memasukkan setiap jenis manusia ke dalam kotak-kotak stereotip. Oleh karena itu, setiap pribadi merasa tidak pantas apabila ”keluar dari kotak”, dan merasa bersalah bila tidak memenuhi kehendak sosial. Salah satu bentuk dari stereotip ialah seterotip negatif yakni prasangka. Prasangka ialah stereotip negatif dan ketidaksesuaian atau kebencian yang kuat dan tidak rasional terhadap suatau kelompok. Prasangka merupakan peristiwa yang universal karena memiliki banyak sumber dan fungsi, antara lain :

1. Fungsi Psikologis

Seringkali prasangka melindungi kita dari perasaan ragu, takut, dan tidak aman. Prasangka meningkatkan perasaan rendah diri dengan mengembangkan ketidaksesuaian atau kebencian pada kelompok yang mereka lihat sebagai lebih rendah dan inferior (Islam & Hewstone, 1993; Stephan dkk., 1994).

2. Fungsi Sosial dan Budaya

Prasangka atau stereotip diperoleh melalui tekanan sosial untuk mengikuti pandangan teman, relasi maupun rekan kerja, dan tidak semuanya berakar dari segi psikologis. Akan tetapi turunan dari generasi ke generasi pun juga mempengaruhi. Secara implisit dapat


(26)

diturunkan dari iklan, acara televisi dan laporan berita yang memuat gambar yang menunjukkan adanya stereotip negatif dari kelompok tertentu. Dalam tjuan budaya, melekatkan orang-orang pada budayanya masing atau kelompok nasional dan cara hidupnya masing-masing.

3. Fungsi Ekonomi

Prasangka membuat perilaku diskriminatif dalam hal ini perilaku stereotip seolah-olah sah, dengan membenarkan dominasi, status, ataupun kesejahteraan kelompok mayoritas (Sidanius, Pratto & Bobo, 1996). Setiap kelompok mayoritas dari-etnis , gender, atau bangsa apa pun-yang mendiskriminasi (menstereotipkan) kelompok minoritas akan berupaya menjadikan prasangka sebagai suatu yang membenarkan perilakunya (Islam & Hewstone, 1993).

Stereotip juga bisa berasal dari dalam alam bawah sadar kita yakni persepsi. Kemmapuan orang dalam mempersepsikan sesuatu berasal dari ”bawaan” mereka sejak lahir dan pengalaman membentuknya. Beberapa proses persepsi tampak sebagai kemampuan bawaan tidak berarti orang mempersepsikan dunia secara serupa ataupun sama. Namun sebagai manusia, kita peduli pada apa yang kita lihat, dengar, cicipi, cium dan rasakan. Karena faktor-faktor psikologis (kebutuhan, kepercayaan, emosi dan ekspektasi) dapat mempengaruhi bagaimana kita mempersepsi serta apa yang kita persepsikan. Terdapat kesamaan antara persepsi, prasangaka dan streotip yakni kemampuan orang untuk memarginalkan (membatasi)


(27)

sesuatu dengan cara yang sudah dipengaruhi oleh budaya dimana kita tinggal.

Stereotip mengenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang-orang lain yang dikenai prasangka itu. Biasanya, stereotip terbentuk padanya berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif (Genigan, 2004:181). Gambaran stereotip tidak mudah berubah serta cenderung unutk dipertahankan olehorang berprasangka. Meskipun demikian, stereotip dan atau prasangka sosial dapat pula berubah, yaitu dengan usaha-usaha intensif secar langsung atau karena perubahan keadaan masyarakat pada umumnya, misalnya karena peprangan dan revolusi (Genigan, 2004:182).

2.1.5 Stereotip Laki-laki

Salah satu kebutuhan pokok manusia ialah kebutuhan untuk melambangkan atau menyimbolkan dalam membedakan manusia yang satu dengan lainnya. Konsep ini mengacu pada pengertian bahwa segala bentuk sikap dan pandangan tentang karakteristik dan kemampuan manusia bisa disimbolkan dari apa yang mereka gunakan. Dalam hal ini laki-laki atau pria, bisa disimbolkan dengan bentuk fisiknya maupun tingkah laku atau perilakunya. Seorang pria bisa disimbolkan atau dipotret dengan ciri maskulin, jantan, gagah, mandiri, kuat, keras, dll. Beberapa bentuk simbol atau tanda laki-laki yang secara tradisional ialah seorang


(28)

yang berbeda bentuk fisiknya (dalam hal ini berzakun, dan mempunyai zakar) dengan yang lain serta berkarakteristik secara sempurna (bijak, kuat, tangguh, jantan, dewasa). Laki-laki, beruntung atau tidak, selalu menempati posisi lebih tinggi dari perempuan dipandang dari budaya dan agama apapun dan dari manapun.

Laki-laki secara tradisional distereotipkan sebagai sesorang berkemampuan dan berkepribadian yang macho, jantan, bertanggung jawab, pelindung. Namun itu semua masih belum bisa menggambarkan laki-laki seutuhnya. Sedangkan media menggambarkan seterotip laki-laki sebagai sosok yang independen, agresif dan berkuasa, dan media juga mengajarkan laki-laki dan pria untuk menjadi ”lelaki sejati” yang artinya menjadi berkuasa dan mempunyai kontrol (Wood, 2005:262). Lelaki sejati yang digambarkan oleh media berdasarkan perkembangan dan kebudayaan pria atau laki-alaki secara umum memiliki sifat atau karakteristik yang maskulin, jantan, berani, macho, dll. Banyak pria atau lelaki berbondong-bondong untuk mendapatkan stereotip tersebut, hal ini tidak lain hanya untuk mendapatkan perhatian dari lawan jenis yang disukainya. Seorang laki- laki harus mempunyai keunikan.

la harus berbeda dari teman- temannya yang lain. Sikap ekstrim-menentang aturan dan nilai-nilai yang berlaku di rumah, sekolah atau masyarakat-dan sikap eksentrik, bisa membuat seorang laki-laki (artikel "Jadi Populer di Mata Cewek" {HAI, 26/2/1999}. Sumber : http://www.archive.org/stream/NewsletterKunci8Maskulinitas/Newsletter


(29)

_KUNCI_8_Maskulinitas_djvu.txt, diakses 4-8-2010 pukul 9.50pm).Dalam keberanian cowok atau pria atau laki-laki yang mendapat giliran pertama, walapun ada beberapa orang perempuan atau wanita yang bisa dibilang berani. Laki-laki dianggap lebih berani dari perempuan bila melakukan kegiatan- kegiatan keras dan cenderung menyerempet bahaya seperti panjat tebing, tinju, arung jeram, tampak lebih lazim jika dilakukan laki-laki. Perempuan yang kegiatan olahraganya tinju dan sepak bola misalnya, akan dianggap seperti anak laki-laki dan berbeda dari perempuan lain. Pendeknya, cowokatau laki-laki harus kelihatan berani.

Dan konsep berani disini berarti siap membela dan menjaga pasangan perempuannya, berani menjadi diri sendiri, dan berani bertanggungjawab atas apa yang sudah diperbuatnya. Semuanya adalah sikap yang seharusnya dimiliki oleh semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut Peter Irons keberanian adalah suatu tindakan memperjuangkan sesuatu yang dianggap penting dan mampu menghadapi segala sesuatu yang dapat menghalanginya karena percaya kebenarannya. Kode-kode kejantanan tidak berhenti pada sifat intrinsik yang melekat pada diri manusia, ia juga ikut dilekatkan pada asesoris kulit, metal, motor besar harley davidson, dan pilihan musik tertentu. Musik rock sempat menjadi jenis musik yang identik dengan laki-laki, meskipun kemudian banyak juga perempuan yang menggemari jenis musik ini.

Namun banyak juga laki-laki atau pria yang senang akan musik-musik jenis melankolis.Dalam hal macho, pria atau laki-laki secara


(30)

tradisional disimbolkan dengan tubuh yang berotot, atletis dan kekar. Ciri-ciri ini yang kemudian dipotret oleh media dan menjadi stereotip yang melekat di masyarakat. Jika pada diri perempuan terdapat stereotipe bahwa bentuk tubuh ideal yang harus dikejar adalah tubuh yang kurus, tinggi, langsing, lengkap dengan rambut lurus panjang, maka pada diri seorang laki-laki pun sebenarnya juga terdapat stereotipe bentuk tubuh tertentu yang berlaku.

Bahwa seorang laki-laki sebaiknya harus mempunyai bentuk tubuh yang kuat, berotot, dan sehat. Ini sesuai dengan tuntutan bahwa setiap laki-laki harus mempunyai sikap mental yang jantan dan macho. Laki-laki-laki yang bertubuh lemah gemulai, kurus, dan lembek dianggap tidak sepenuhnya laki-laki, karena diragukan kemampuannya bisa menjaga perempuan

2.1.6 Macho

Macho, kata ini nampaknya menjadi suatu tujuan dan menunjuk pada citra tradisional pria atau laki-laki yang mencapai ekstremnya. Arti kata ini disampaikan dalam empat karakteristik : (1) Hindari dengan taruhan apapun juga segala sesuatu yang bahkan sedikit saja menyerupai sesuatu yang feminin, seperti hal-hal yang berkait dengan perasaan, kata-kata yang menyangkut perasaan, air mata, kelemahan, dll. (2) Raihlah status dengan taruhan apapun yang mempunyai suatu arti bagi pria atau laki-laki lain. (3) Pastikan bahwa anda tampil keras, kuat dan, lebih-labih, tidak bergantung pada apapun. (4) jadilah seagresif mungkin. Citra ini


(31)

yang ditumbuhkan dan ditampilkan tidak hanya berakar pada kepribadian genetis pria, tapi juga dikembangkan secara luas dengan apa yang diajarkan, ditampilkan dan dijejalkan dalam masyarakat kita (Wright,2000:47). Pria diajar oleh pria lain dan masyarakat untuk memerlukan orang lain,untuk bersikap independen. Mereka diberitahu untuk tidak berbuat lemah.

Dalam ’Men: A Book for Women’, kecenderungan budaya ini digambarkan sebagai berikut :

Ia tak’kan menagis.

Ia tak’kan menunjukkan kelemahan.

Ia tak’kan perlu kasih sayang atau kelembutan atau kehangatan Ia akan menghibur tapi tak memerlukan hiburan.

Ia akan diperlukan tapi tak memerlukan. Ia akan menyentuh tapi tak tersentuh.

Ia akan laksana besi dan bukan darah-daging. Ia tak’kan tergoyahkan dalam kejantanannya Ia akan berdiri seorang diri.

Seorang pria macho adalah sesorang yang berusaha terlalu keras untuk menyamai standar yang keliru yang dibuat oleh masayrakat kita untuk sebuah kejantanan (Wright,2000:48). Para pria macho berupaya untuk menampilkan sebuah citra tanpa kelemahan. Yang tergambar adalah citra sebuah rumah tanpa pintu, sebuah puri tanpa gerbang, sorang pria yang tak dapat disentuh. Setiap pria atau laki-laki mempunyai kecenderungan untuk tampil menjadi sosok yang macho. Ini adalah akibat yang didapatkan dari didikan-didikan yang didapatkan seorang laki-laki menurut tradisi yang biasa ada karena keadaannya yang khas seorang laki-laki. Masayarakat telah mempersempit jalan bagi para pria unutk dengan


(32)

bebasnya melepaskan perasaannya. Sejak kecil mereka belajar bahwa untuk menjadi pria sejati berarti menyembunyikan perasaan mereka(Eisenman,~:37).

Laki-laki di jaman ini hanya dididik untuk bersaing, untuk ditanamkan dalam dirinya bahwa kemenangan harus dikejarnya berapapun harganya, baik itu kemenangan dalam arti kemanusiaan ataupun dalam keTuhanan. Laki-laki dididik untuk mandiri. Tergantung pada orang lain adalah tanda kelemahan. Laki-laki dididik untuk tidak puas hanya yang ada ditangan nya, dan bahwa terus menerus berusaha untuk maju atau untuk menyelesaikan beberapa proyek adalah jauh lebih penting daripada meneruskan suatu persahabatan.

Kenyataan praktis yang harus kita hadapi adalah ciri kewanitaan dan ciri kelaki-lakian itu mutlak penting untuk kesinambungan vitalitass dan kesehatan baik pribadi kita maupun keluarga kita. Dengan jelas kita tahu bahwa kesehatan mental masayarakat kitapun sangat tergnatung pada bagaiamna kita membedakan peran yang tepat bagi kepemimpinan pria atau wanita. Seorang laki-laki bukannya lemah, tapi kuat, apabila ia dengan bijaknya memilih untuk membiarkan pedangnya tetap pada sarungnya. Sikap ini bukan sikap yang cengeng. Inilah sikap laki-laki sejati yang telah menyerahkan semua keangkuhan makhoismenya...( Eisenman,~:57).


(33)

2.1.7 Maskulin

Identitas jenis kelamin merupakan soal pilihan. Orang meyakini bahwa dirinya pria atau wanita, namun tedapat perbedaan yang mencolok tentang persepsi individu terhadap diri mereka sendiri. Maskulinitas adalah karakteristik tubuh laki-laki yang gagah, jantan, keras dan kuat sehingga bertanggung jawab dalam memimpin, berpolitik dan urusan sejenisnya yang menggambarkan superioritas laki-laki dalam segenap aspek kehidupan sehari-hari. Dalam peran tradisional pria harus jadi seorang pemimpin, baik di rumah maupun masyarakat luas. Helen Andelin mengemukakan bentuk dominasi pria yang amat baik, menyatakan wanita harus mematuhi suami mereka dan menikmati perlindungan yang diberikan. Pria harus menjadi kepala keluarga yang tidak boleh digugat, istri harus menerima suami sebagai pemimpin mendukung dan mematuhinya(Sears et al., 1991:218).

Laki-laki atau pria sebagai penguasa dianggap memiliki kesewenangan unutk mengatur perempuan dan apabila ia kehilangan kekuasaan tersebut, maka hilang pula harga dirinya. Hal ini sebenarnya merupakan bumerang bagi laki-laki itu sendiri. Alam bawah sadar mereka mendorong untuk selalu mempertahankan kekuasaan dan keistimewaan yang diberikan masayarakat pada mereka. Orang yang sangat maskulin adalah orang yang menganggap dirinya memiliki ciri-ciri minat, kegemaran dan ketrampilan bermasayrakat yang secara khusus dikaitkan dengan sifat kejantanan. Laki-laki tidak diperkenankan unutk menangis,


(34)

berkeluh kesah atau menunjuk sikap-sikap lemah lembut yang identik dengan perempuan. Sedari kecil laki-laki diberikan hak istimewa oleh masyarakat, mereka didahulukan dalam banyak hal dan diberikan kebebasan unutk melakukan apa saja yang bagi perempuan dilarang dan itu dianggap sebagai suatu kewajaran. Mereka diajarkan bahwa mereka adalah makhluk yang lebih berkuasa dibanding lawan jenisnya, dituntut unutk selalu tampil kuat, tidak terlihat lemah(Humm, 2007:273).

Maskulinitasseringkali dimaknai dengan mengacu pada ciri-ciri yang melekat pada laki-laki. Maka muncul imaji maskulinitas seperti tubuh yang berotot, penuh lelehan keringat, perkasa, pemberani, petualang dan sebagainya. Maskulinitas diidentikkan dengan mobilitas, gerak, gairah kompetisi atau bertanding. Stereotip maskulinitas lantas acapkali disejajarkan dengan aktifitas olah raga dan jiwa sportif (Humm, 2007:275).

2.1.8 Teori Norma-norma Budaya

Pada hakikatnya, teori norma-norma budaya menganggap bahwa media massa melalui pesan-pesan yang disampaikannya secara tertentu dapat menumbuhkan kesan-kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan norma-norma budayanya. Perilaku individu umumnya didasarkan pada norma-norma budaya yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapi, dalam hal ini media akan bekerja secar tidak langsung untuk mempengaruhi sikap individu tersebut (Suprapto, 2006:20).


(35)

Dalam teori ini ada tiga cara untuk mempengaruhi norma-norma budaya yang dapat ditempuh oleh media massa. Pertama, pesan-pesan komunikasi massa dapat memperkuat pola-pola budaya yang berlaku dan membimbing masyarakat untuk mempercayai bahwa pola-pola tersebut masih tetap berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat. Kedua, media dapat menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentangan dengan pola budaya yang ada, bahkan menyempurnakannya. Ketiga, media massa dapat mengubah norma-norma budaya yang berlaku dan dengan cara demikian mengubah perilaku individu-individu dalam masyarakat (Suprapto, 2006:20). Dalam penelitian ini, media massa dalam hal ini iklan Nescafe secara tidak langsung menggunakan cara ketiga dalam menggambarkan kepada masyarakat akan adanya persoalan yang sedang terjadi.

2.1.9 Teori Kode Nonverbal

Para ahli komunikasi mengakui bahwa bahasa dan perilaku manusia yang sering kali tidak dapat bekerja sama dalam menyampaikan pesan, dan karenanya teori tanda nonverbal (theories of nonverbal signs) atau komunikasi nonverbal merupakan elemen penting dalam tradisi semiotika. Koden nonverbal adalah sejumlah perilaku yang digunakna untuk menyampaikan makna. Menurut Jude Burgoon, kode nonverbal memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi semantic, sintaktik, dan pragmatik. Semantik, yaitu dimensi yang mengacu pada makna dari suatu tanda. Misalnya,


(36)

seorang ibu dengan wajah cemberut meletakkan jari telunjukknya di deoan bbirnya meminta anda yang sedang ngobrol untuk berhenti bicara karena anak bayinya sedang tidur. Sintaktik, yaitu dimensi yang mengacu pada cara tanda disusun atau diorganisir dengan tanda lainnya di dalam sistem. Misalnya, orang yang meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya itu tidak menunjukkna wajah cemberut, tetapi malah tersenyum sambil berkata dengan suara lembut, ‘Maaf, ada bayi yang sedang tidur,’ Di sini, gerak tubuh, tanda vokal (suara yang lembut), ekspresi wajah, dan bahasa menyatu untuk menciptakan makna keseluruhan. Pragmatik, yaitu dimensi yang mengacu pada efek atau perilaku yang ditunjukkan oleh tanda, sebagaimana contoh orang yang meminta anda diam, namun yang pertama anda terima sebagai menunjukkan sikap tidak suka (antipati) kepada anda, sedangkan lainnya diterima sebagai sikap yang ramah atau bersahabat (Morrisan, 2009 :93).

Sistem tanda nonverbal sering dikelompokkan menurut tipe aktivitas atau kegiatan yang digunakan di dalam tanda tersebut, menurut Burgoon terdiri atas tujuh tipe, yaitu bahasa tubuh (kinesics), suara (vocalics atau paralanguage), tampilan fisik, sentuhan (haptics), ruang (pro-xemics), waktu (chronemics), dan objek (artifacts) (Morrisan, 2009:93).

2.1.10 Semiotik

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji suatau tanda. Semiotika atau dalam istilah barthes semiologi pada


(37)

dasarnya mempelajari bagaiamana kemanusiaan (humanity) memakai hal (thing). Memaknai berarti tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi (Sobur, 2004:15).

Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Jika diterapakan dalam tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri.tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signified). Sebuah teks baik itu lagu, musik, surat cinta, cerpen, puisi, komik, kartun semua hal itu mungkin terjadi ”tanda” dapat dilihat dari aktifitas penanda : yaitu suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi.

Semiotika modern mempunyai dua orang bapak yaitu Charles Sanders Pierce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913). Terdapat perbedaan anatar Pierce dan Saussure anatra lain : Pierce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah tokoh cikal bakal linguistik umum (Sobur, 2004:110).

Sehingga perlu di garis bawahi dari berbagai definisi di atas adalah para ahli melihat semiotika sebagai ilmu atau proses yang berhubungan dengan tanda. Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama, yang pertama yakni tanda itu sendiri. Studi yang pertama ini mengenai studi


(38)

tenatng tanda yang ebrbeda, cara tanda-tanda yang erbbeda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. Kedua , kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikemangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. Ketiga, kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Studi ini bergantung pada penggnaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri (Fiske, 2006:61).

2.1.11 Semiotik John Fiske

Menurut John Fiske, pokok perhatian tentang studi semiotika ialah tentang tanda. Semiotika membahas tiga elemen atau bidang studi yang sama, antara lain:

1. Sign atau tanda

Tanda ialah konstruksi manudaia dan hanya bisa dipahami dalam artian manisia yang menggunakannya. Pada wilayah ini akan dipelajari tentang macam-macam tanda. Cara seseorang dalam memproduksi tanda, macam-macam makna yang terkandung didalamnya dan juga bagaimana mereka saling terhubung dengan orang-orang yang menggunakannya.


(39)

Kode atau system yang mengorganisasikan tanda. Studi tentang system yang terdiri dari berbagai macam tanda yang terorganisasikan dalam usaha memenuhi kebutuhan masyarakat atau budaya untuk mengekploitasi media komunikasi yang sesuai dengan transmisi pesan mereka.

3. Budaya

Lingkungan dimana tanda dank ode itu berada. Kode dan lambing tersebut segala sesuatunya tidak apat lepas dari latar belakang budaya dimana tanda dan lambing itu digunakan.

Menurut John Fiske dalam Introduction to Communication Studies (Fiske, 2006 : 69) komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih lama dikenal namun hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mempelajari komunikasi kita dapat membaginya dalam dua perspektif, yaitu : segi proses, serta sisi produk dan pertukaran makana. Berkaitan dengan penelitian iini, maka peneliti hanya akan menggunakan perspektif yang kedua, yaitu dari sisi produksi dan pertukaran makna.

Perspektif produksi dan pertukaran makana memfokuskan bahasannya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya untuk dapat menghasilakan sebuah makan. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringakali menimbulkan kegagalan berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima


(40)

pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan yang disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks (iklan) dan budaya ini danamakan pendekatan semiotik.

Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda. Studi ini tidak hanya mengarah pada “tanda” dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut. Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, gambar (images), suara, gerak tubuh dan objek. Bila kita mempelajari tanda yang satu dengan tanda-tanda yang lain membentuk sebuah system, dan kemudian dibuat system tanda. Lebih sederhananya semiotic mempelajari bagaimana system tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske, konsentrasi semiotic adalah pada hubungan yang timbulantara sebuah tanda dan makna yang terkandung di dalamnya, juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode.

Menurut James Monaco, seseorang ahli yang lebih berafiliasi dengan gramatika (tata bahasa) mengatakan bahwa film (iklan) tidak mempunyai gramatika (film has no grammar). Untuk itu ia menawarkan kritik bahwa teknik yang digunakan dalam film (iklan) dan gramatika pada sifat kebahasaannya adalah tidak sama. Akan sangat beresiko apabila memaksa dengan menggunakan kajian linguistic untuk menganalisa sebuah film (iklan), karena film (iklan) terdiri dari kode-kode yang beraneka ragam.  Menurut  Daniel  Chancler  (2002),  model linguistic


(41)

seringakali mengarahkan unit analisi media audio visual pada analogi-analogi linguistik. Pada semiotika film (iklan), model ini menggeneralisasikan secara kasar bahwa dalil-dalil dalam film (iklan) sama dengan bahasa tulis, seperti : frame sebagai morfem atau kata, shot sebagai kalimat, scene sebagai paragraph, dan sequence sebagai bab.

Penerapan Semiotik pada iklan televise, berarti kita harus memperhatikan aspek medium televise yang berfungsi sebagai tanda. Maka dari sudut pandang ini jenis ambilan kamera (selanjutnya disebut shot saja) dan krja kamera (camera work). Dengan cara ini, peneliti bisa memahami shot apa saja yang muncul dan bagaimana maknanya. Misalnya, close-up (CU) shot berarti pengambilan kamera dari leher ke atas atau menekankan bagian wajah, makna dari CU shot adalah keintiman dan sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja yaitu bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya panning-up atau pan-up yaitu gerak kamera mendingak pada poros horizontal. Pan-up berarti kamera melihat ke atas, dan ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada objek yang diambil (Berger, 1987 : 37).

Lebih jauh yang harus diperhatikan tidak hanya shot dan camera work tetapi juga suara. Suara meliputi sound effect dan music. Televisi sebagai media audio visual tidak hanya mengandung unsure visual, namun juga suara, karena suara merupakan aspek kenyataan hidup. Suara yang keras, menghentak, lemah, memliki makna yang berbesa-beda. Setiap suara mengekspresikan sesuatu yang unik (Sumarno, 1996:71).


(42)

Diasumsikan pembuatan iklan televise sama dengan pembuatan film ccerita. Analisi semiotik yang dilakukan pada cinema atau film layar lebar menurut John Fiske disetarakan dengan analisa film (iklan) yang ditayangkan di televisi. Sehinggga yang dilakukan pada iklan kopi Nescafe Classic versi Rasa Lebih Hitam, menurut John Fiske dibagi menjadi tiga level, yaitu:

1. Level Realitas

Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian, dan make up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, peerilaku, ucapan, gerak tubuh (gesture), ekspresi, suara, dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronika melalui kode-kode teknis. Kode-kode-kode social yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat berupa :

a. Penampilan

Penampilan, kostum, dan make-up yang digunakan oleh tokoh di iklan kopi Nescafe Classic versi Rasa Lebih. Dalam penelitian ini tokoh yang menjadi objek penelitian adalah beberapa orang pria atau laki-laki. Bagaimana pakaian dan tata rias yang digunakan, serta apakah kostum dan make-up yang ditampilkan tersebut memberikan signifaksi tertentu menurut kode sosial dan kultural.


(43)

Lingkungan atau setting yang ditampilkan dari cerita masing-masing tokoh tersebut, bagaimana symbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya. Setting mengacu kepada tempat di mana sebuah aksi film berlangsung. Tempat-tempat yang dipilih sifatnya beragam, bisa jadi Tempat-tempat yang ditayangkan merupakan imaginary places (bersifat khayalan) ataupun nyata. Fungsi utama dari setting adalah untuk membangun tempat dan waktu, untuk mengenalkan ide dan tema, dan untuk menciptakan mood (Prammagiore, 2005 : 62).

c. Gesture

Gesture atau gerak tubuh, apa makna dari gerak tubuh dari masing-masing tokoh iklan tersebut

2. Level Representasi

Meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, music, dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk-bentuk representasi yang bersifat konvensional. Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting, casting, dan sebagainya. Level Representasi meliputi : 

a) Teknik Kamera, Teknik-teknik kamera diuraikan sebagai berikut : 1) Camerawork

Penggunaan kamera dalam pembuatan film (iklan) tidak saja berfungsi untuk menangkap gambar, akan tetapi hasil dari


(44)

tangkapan kamera dapat menciptakan makna. Unsur-unsur yang difungsikan dalam penggunaan kamera adalh sebagai berikut:

a) Scene

Naratif yang lengkap dalam sebuah film (iklan), temasuk awal, pertengahan hingga akhir film. Biasanya scene adalah sebuah rangkaian yang dibedakan melalui waktu dan setting (Pramaggiore, 2005 : 103).

b) Take

Istilah penggunaan kamera yang digunakan dalam sebuah produksi film yang menandai kapan sebuah rangkaian frame yang berisi gambar bergerak. Pembuat film biasanya melakukan beberapa kali take untuk sebuah scene dan kemudian film editor akan memilih salah satu take yang terbaik untuk dipergunakan (Pramaggiore, 2005 : 104).

2) Shot, Beberapa jenis Shot gambar meliputi : a) Eye-level shot

Pengambilan gambar yang dilakukan dari jarak kamera 5’ hingga 6’ dari dasar (ground). Teknik ini menggambarkan figure pameran sebelum melakukan action (Pramaggiore, 2005 : 109).


(45)

Shot yang diambil pada posisi kamera berada di atas atau lebih tinggi daripada subjek, sehingga penonton melihat kea rah bawah dan juga berfungsi memperkecil tampilan subjek (Pramaggiore, 2005 : 110).

c) Low-angle shot

Pengambilan gambar dengan menempatkan kamera diposisi lebih rendah dari pada subjek. Biasanya menjadikan subjek menjadi lebih besar (Pramaggiore, 2005 : 110).

d) Zoom shot

Teknik memindahkan lensa dari wide-angel position menuju telephoto position, yang menghasilkan pembesaran objek dalam frame, dan menjaga objek dalam focus, biasa desebut zoom in. Sedangkan kebalikannya adalah zoom out, yaitu teknik untuk memindahkan lensa dari telephoto position menuju wide-angel position, sehingga objek yang besar menjadi lebih kecil dalam frame tetapi tetap dalam fokus.

e) Long Shot

Shot yang menghasilkan gambar dimana objek menjadi berukuran kecil atau hamper sama tinggi dengan layar. Teknik ini sangat dapat menampilkan pergerakan


(46)

yang dilakukan objek tanpa harus berganti tampilan (Pramaggiore, 2005 : 112).

f) Medium Long Shot

Shot yang menampilkan objek / figure manusia lutut kaki ke atas (Pramaggiore, 2005:112).

g) Extreme Long Shot

Pengambilan framing dimana skala dari objek diperlihatkan sangat kecil; gedung, landscape atau kerumunan orang akan mengisi layar. Dapat juga berfungsi sebagai establishing shot yaitu berguna untuk mengenalkan environment (setting).

h) Medium Shot

Pengambilan gambar yang menampilkan objek atau figure manusia dari bagian bahu ke atas (Pramaggiore, 2005 : 112).

i) Close Up

Shot yang menghasilkan gambar objek menjadi besar dan memnuhi frame dan dekat dengan tubuh objek seperti dada, wajah, kaki, ataupun tangan (Pramaggiore, 2005 : 104)

j) Medium Close Up

Shot yang diambil dari bagian dada manusia hingga ke atas (Pramaggiore, 2005 :113)


(47)

k) Extreme Close Up

Pengambilan shot dengan skala objek yang ditunjukkan amat besar dan berfokus pada bagian tubuh tertentu

3) Sedangkan untuk teknik pergerakan kamera (camera movement) antara lain :

a. Pan

Pergerakan kamera ke kanan dan kekiri dalam pengambilan gambar. Pan berfungsi untuk menghubungkan dua tempat atau karakter dan menimbulkan kesadaran penonton pada hubungan antara keduanya (Pramaggiore, 2005 :116).

b. Swish pan

Pergeseran kamera yang dilakukan secara cepat sehingga menghasilkan gambar buram pada beberapa bagian gambar (Pramaggiore, 2005 :116).

c. Tilt

Pergerakan kamera pada pengambilan gambar mengayun kea rah atas atau ke bawah dengan tumpuan yang kuat (Pramaggiore, 2005: 116).

d. Tracking shot

Pergerakan kamera yang menghasilkan tampilan bergerak maju, mundur atau menyamping. Tracking shot


(48)

mengikuti pergerakan karakter secara utuh sehingga seolah-olah penonton ikut bergerak bersama karakter (Pramaggiore, 2005 :117).

e. Follow shot

Pengambilan gambar dengan kamera bergerak berputar untuk mengikuti pameran dalam adegan (Effendy,2002 :138)

b) Teknik editing

Editing merupakan proses pemilihan potongan film yang telah dihasilkan dan digunakan sehingga membentuk urutan kesatuan cerita yang koheran. Beberapa teknik editing yaitu : 

1) Cut

Transisi instan dari suatu gambar ke gambar lainnya. Menunjukkan bahwa tidak ada jeda waktu.

2) Cut back

Mengubah gambar dalam film (iklan) secara cepat dari adegan saat ini ke adegan lain yang telah dilihat sebelumnya. Pemotongan ini dilakukan tanpa adanya transisi.

3) Cut to....

Secara cepat mengubah gambar dalam film (iklan) dari adegan masa kini ke adegan lainnya, tanpa adanya transisi (Effendy, 2002:133).


(49)

Melakukan pemotongan dari suatu pengambilan gambar ke gambar lainnya pa dasebuah film (iklan) tanapa adanay penyesuaian (Effendy, 2002:140). Biasanya cut ini bertujuan membuat adegan dramatis.

c) Pencahayaan (Lighting)

Merupakan kebutuhan yang bersifat dalam pembuatan sebuah film (iklan). Tanpa adanya cahaya yang masuk ke lensa kamera, maka tidak akan ada gambar yang terekam ke dalamnya. Lighting memiliki kemampuan menrangi bagian set dan aktor, pencahayaan juga bisa didesain sedemikian rupa untuk membentuk mood dan efek tertentu. Pencahayaan berfungsi untuk menimbulkan pengertian penonton terhadap sebuah karakter, memberikan perhatian terhadap action tertentu, mengembangkan tema dan juga membantu mood. Beberapa jenis Lighting yang bisa dipergunakan dalm pembuatan film (iklan) adalah sebagai berikut :

1. Three-point lighting

Sebuah sistem pencahayaan efisien yang digunakan untuk pembuatan film (iklan). Three-Point Lighting terdiri atas 3 pencahayaan, yaitu key-light, fill-light dan back-light. Pada set up standar pencahayaan, key-light berfungsi menerangi subjek dari adegan, biasanya diletakkan tepat disebelah kanan atau kiri kamera, kira-kira 45º dari poros kamera. Fill-light


(50)

berfungsi menghilangkan bayangan yang dihasilkan dari terpaan key-light, sedangkan back-light berfungsi untuk memisahkan antara subjek dengan latar belakang yang digunakan (Pramaggiore, 2005:79).

2. High-key lighting

Jenis pencahayaan dimana fungsi fill-light hampir menyamai level key-light. Gambar yang dihasilkan menjadi sangat terang dan hanya menghasilkan sedikit bayangan dari subyek adegan. Biasanya digunakan dalam adegan yang menggambarkan keceriaan dan komedi (Pramaggiore, 2005:81).

3. Natural-key lighting

Pada sistem pencahayaan ini, key-light sedikit banyak digunakan lebih terang dibandingkan fill-light sehingga fill-light tidak perlu menghilangkan bayangan. Gambar yang dihasilkan menjadi lebih ceria dibandingkan high key-light. Biasanya digunakan untuk pengambilan gambar diluar ruangan (Pramaggiore, 2005:81).

4. Low-key lighting

Pencahayaan denagn menggunakan fill-light yang sangat sedikit, sehingga menghasilkan kontras yang sangat kuat anatar bagian gambar yang paling terang dan yang gelap.


(51)

Biasanya digunakan untuk film yang bertema menegangkan atau film noir (Pramaggiore, 2005:81).

d) Sound

Mempunyai fungsi integral dalam perannya untuk turut mengkonstruksi gambar-gamabr sistematis. Suara atau sound memegang peranan yang kritis dalam menjelaskan bagaimana pemirsa bereaksi ketika menyaksiskan iamge atau gambar di layar. Oleh sebab itu, pendalaman tentang bagaimana berpikir, berbicara dan menulis tentang sound menggunakna bahasa analisis yang konkrit diperlukan dalam pemaknaan sebuah film (iklan).

1) Direct sound

Suara yang direkam dalam set, dalam lokasi, jika dalma film dokumenter direkam dalam kejadian yang sesungguhnya (Pramaggiore, 2005:207).

2) Looping

Sebuah teknik yang digunakan untuk merekam dialog, menggunakan mesin yang difungsikan merekam maju dan mundur (Pramaggiore, 2005:207).

3) Offscreen space

Suara yang datang dari sember asli berada dalam lingkup ruang dalam sebuah scene tetapi tidak terlihat. Seperti dalam shot/reverse-shot ketika karakter mendengarkan suara lawan


(52)

bicaranya. Karakter tersebut terlihat, tetapi suara lawan bicaranya hanya terdengar (Pramaggiore, 2005:209).

4) Diegetic / non-diegetic

Diegetic membantu penempatan musik atau sound effect yang dipresentasikan secara langsung dalam dunia di dalam film (iklan), sedangkan non Diegetic suara berasal dari dunia di luar film (iklan) (Pramaggiore, 2005:210).

5) Voice over

Apabila suara yang biasanya berasal dari karakter film, terdengar ketika pemirsa melihat image dalam ruang dan waktu yang pada saat tersebut sebenarnya karakter tersebut tidak berbicara disebut voice over. Suara karakter terdengar, tetapi sebenarnya berada di tempat lain (Pramaggiore, 2005:218).

6) Music

Hampir semua film naratif menambahkan unsur musik untuk menarik perhatian penontonnya, walau begitu musik juga mampu memanipulasi kenyataan dengan cara tertentu (Pramaggiore, 2005:226).

3. Level Ideologi

Level ini diorganisasikan ke dalam kesatuan (coherence) dan penerimaan sosial (social acceptability) seperti individualisme, kelas patriarki, pluralisme, umur, ras dan sebagaianya.


(53)

2.1.12 Komunikasi non Verbal

Komunikasi non verbal adalah proses mengirim dan menerima informasi secara interpersonal, baik dengan sengaja maupun tidak disengaja, tanpa menggunakan bahas atertulsi atau lisan. Sinyal non verbal memainkan tiga peran penting dalam komunikasi. Pertama, melengkapai bahasa verbal. Sinyal non verbal dapat memperkuat pesan verbal (saat sinyal non verbal sesuai dengan kata-kata yang digunakan), sinyal non verbal juga dapat memperlemah pesan verbal (saat sinyal non verbal tidak sesuai dengan kata-kata yang digunakan).

Peran kedua sinyal non verbal adalah mengemukakan yang sebenarnya. Orang-orang berpendapat bahwa berbohong dengans inyal non verbal akan jauh lebih susah. Sesungguhnya, komunikasi non verbal sering kali menyampaikan leih banyak hal pada para pendenagr atau komnikan daripada kata-kata yang diucapkan. Peran ketiga sinyal non verbal ialah menyampaikan informasi dengan efisien. Sinyal non verbal dapat menyampaikan nuansa dan banyak sekali informasi secara instan (Bovee & Thill, 2007:72).

Secara umum terdapat lima fungsi pesan non verbal menurut Mark L. Knapp. Pertama repetisi yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disampaikan secara verbal. Contohnya anak kecil yang menjawab mau diajak ke dufan akan mengiyakan sambil melompat-lompat senang. Kedua, subsitusi yaitu menggantikan simbol atau lambang verbal.


(54)

Contohnya, tanap mengatakan sepath kata pun di Indonesia bila menggelengkan kepala maka lawan bicaranya akan tahu bahwa itu sebagai tanda tidak setuju. Ketiga, kontradiksi yaitu menolak sebuah pesan verbal denngan memberikan makna lain menggunakan pesan non verbal. Contohnya, seseorang mengiyakan dan menganggukkan kepala saat diminta mendekat namun lalu mengambil langkah seribu dan lari secepat-cepatnya. Bahasa tubuhnya yang menghindari kontak dengan melarikan diri menandakan bahw ia takut, kontradiktif dengan awal pesan verbalnya saat mengiyakan. Keempat, pelengkap yaitu melengkapi dan memperkaya pesan non verbal. Contohnya, air muka yang menunjukkan rasa sakit luar biasa tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kelima, aksentuasi atau menegaskan pesan verbal.

2.1.13 Psikologi Warna

Warna digunakan secara artistik sebagai alat ekspresi manusia, warna mempunyai latar belakang sejarah tersendiri yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah seni, sejak zaman prasejarah hingga zaman modern kini. Sejak lama para ilmuwan telah memfokuskan perhatian besar terhadap warna yang kemudian bersama dengan seniman mencoba memperhitungkan semua aspek dan mempelajari bagaimana warna saling berpengaruh dalam pencampuran maupun dalam penggunaan yang lainnya.


(55)

Saat ini, pemilihan warna pada diri seseorang tidak hanya sekedar mengikuti selera pribadi berdasarkan perasaan saja, tetapi telah memilihnya dengan penuh kesadaran akan kegunaanya. Da Vinci menemukan warna utama yang fundamental, yang disebut sebagai warna utama psikologis, yaitu merah, kuning, hijau, biru, hitam dan putih. Saat ini ilmuwan memperkenalkan keterlibatan warna terhadap cara otak menerima serta menginterpretasikan warna (Darmaprawira, 2002:31).

Dalam konterks warna dan hubungannya dengan kepribadian seseorang, berikut adalah warna-warna yang mempunyai asosiasi dengan pribadi seseorang menurut Marian L. David :

1. Merah : cinta, nafsu, kekuatan, berani, primitif, menarik, bahaya, dosa, pengorbanan dan vitalitas

2. Merah Jingga : semangat, tenaga, kekuatan, pesat, hebat, dan gairah 3. Jingga : hangat, semangat muda, ekstrimis dan menarik

4. Kuning Jingga : kebahagiaan, penghormatan, kegembiraan, optimisme dan terbuka

5. Kuning : cerah, bijaksana, terang, bahagia, hangat, pengecut dan pengkhianatan

6. Kuning Hijau : persahabatan, muda, kehangatan, baru, gelisah dan berseri

7. Hijau Muda : kurang pengalaman, tumbuh, cemburu, iri hati, kaya, segar, istirahat dan tenang


(56)

9. Biru : damai, setia, konservatif, pasif, terhormat, depresi, lembut, menahan diri dan ikhlas

10. Biru Ungu : spiritual, kelelahan, hebat, kesuraman, kematangan, sederhana, rendah hati, keterasingan, tersisih, tenang dan sentosa 11. Ungu : misteri, kuat, supremasi, formal, melankolis, pendiam dan

mulia

12. Merah Ungu : tekanan, intrik, drama, terpencil, penggerak, teka-teki

13. Coklat : hangat, tenang, alami, bersahabat, kebersamaan, sentosa dan rendah hati

14. Hitam : kuat, duka cita, resmi, kematian, keahlian dan tidak menentu

15. Putih : senang, harapan, murni. Lugu, bersih, spiritual, pemaaf, cinta dan terang (Darmaprawira, 2002:38).

Berikut ini adalah beberapa warna yang mempunyai arti dan perlambangan secara umum :

1. Merah

Merah dibandingkan dengan warna yang lain, warna ini terkuat dan paling menarik perhatian, bersifat agresif dan lambang primitif. Warna merah diasosiasikan sebagai darah, marah, berani, seks, bahaya, kekuatan, kejantanan, cinta dan kebahagaian.


(57)

Warna ini mempunyai karakteristik mulia, agung, kaya, bangga, sombong dan mengesankan. Lambang serta asosiasinya merupakan kombinasi warna merah dan biru, sifatnya juga merupakan kombinasi dari kedua warna tersebut.

3. Ungu

Karakteristiknya ialah sejuk, negatif, dan atau mundur. Hampir sama dengan biru, tetapi lebih tenggelam dan khidmat, serta mempunyai karakter murung dan menyerah. Warna ini melambangkan duka cita, kontempelatif, suci atau lambang agama. 4. Biru

Warna ini berkarakteristik sejuk, pasif, tenang, dan damai. Goethe menyebutnya sebagai warna yang mempesona, spiritual, monoteis, kesepian, saat ini memikirkan masa lalu dan masa mendatang. Biru merupakan warna perspektif, menarik kita pada kesendirian, dingin, membuat jaraj dan terpisah. Biru melambangkan kesucian, harapan dan kedamaian.

5. Hijau

Karakter warna ini hampir sama dengan warna biru, dibandingkan dengan warna lain warna ini relatif lebih netral. Pengaruh terhadap emosi hampir mendekati pasif dan lebih bersifat istirahat. Hijau melambangkan perenungan, kepercayaan, dan keabadian. Dalam penggunaan sehari-hari, warna hijau mengungkapkan kesegaran, mentah, muda, belum dewasa,


(58)

pertumbuhan, kehidupan, harapan, kelahiran kembali dan kesuburan. Sifat negatif dari warna ini adalah warna yang tidak disukai oleh anak-anak karena diasosiasikan sebagai warna penyakit, rasa benci, racun dan cemburu.

6. Kuning

Warna ini adalah kumpulan dua fenomena penting dalam kehidupan manusia, yaitu kehidupan yang diberikan oleh matahari dan emas sebagai kekyaan bumi. Kuning adalah warna cerah, karena sering dilambangkan dengan jantung dan roh, maka kuning adalah lambang intelektual. Kuning adalah warna paling terang setelah putih, tapi tidak semurni putih. Kenuing bermakna kemuliaan cinta serta pengertian yang mendalam dalam hubungan manusia.

7. Putih

Warna putih memiliki karakter positif, merangsang, cemerlang, ringan dan sederhana. Putih melambangkan kesucian, polos, jujur dan murni. Putih juga melambangkan kekuatan, maha tinggi, lambang cahaya dan kemenangan yang mengalahkan kegelapan.

Warna putih juga mengimajinasikan kebalikan dari warna hitam, seperti ungkapan ”hati yang putih” yang berarti tanda bersihnya hati dari iri dan dengki. Ada pula yang disebut ”ilmu putih” sebagai kebalikan dari ilmu hitam. Bila ilmu hitam


(59)

dimaksudkan untuk mencelakakan seseorang, maka ilmu putih dimaksudkan untuk menangkal dan membersihkan sesorang dari pengaruh ilmu hitam.

8. Abu-abu

Berbagai macam warna abu-abu dengan berbagai tingkatan melambangkan ketenangan, sopan dan sederhana. Karena itu warna abu-abu sering melambangkan orang yang telah berumur dengan kepasifan, sabar dan rendah hati. Warna ini juga melambangkan intelegensia, tetapi juga mempunyai lambang negatif yaitu keragu-raguan serta tidak dapat membedakan mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting. Karena sifatnya yang netral, warn abu-abu sering dilambangkan sebagai penengah dalam pertentangan. 9. Hitam

Warna hitam melambangkan kegelapan dan ketidakhadiran cahaya. Hitam menandakan kekuatan yang gelap, lambang misteri, warna malam dan selalu diindikasikan denagn kebalikan dari sifat warna putih atau berlawanan dengan cahaya terang. Warna ini juga sering dilambangkan sebagai warna kehancuran atau kekeliruan. Umumnya warna hitam diasosiasikan denagn sifat negatif. Ungkapan-ungkapan seperti kambing hitam, ilmu hitam, daftar hitam, pasar gelap atau daerah hitam menunjukkan perlambangan negatif dari warna ini. Tetapi warna hitam juga menunjukkan


(60)

sifat-sifat positif seperti sikap tegas, kukuh, formal, elegan, elit, mempesona dan struktur yang kuat.

Dari uraian perlambangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa warna memiliki arti perlambangan yang tidak dapat dikesampingkan dalam hubungan dan penggunaannya. Dalam kehidupan modern dewasa ini, lambang-lambang yang menggunakan warna tetap dipergunakan, bahkan kadang bergeser dalam nilai simbolisnya (Darmaprawira, 2002:49).

2.2 Kerangka Berpikir

Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam memaknai suatau peristiwa atau objek. Hal ini dikarenakan latar belakang pengalaman (field of experince) dan pengetahuan (field of reference) yang berbeda-beda pada setiap individu. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini pesan disampaikan dalam bentuk iklan, komunkator atau pengiklan dan pemilik produk ingin memberikan pemahaman akan baik dan buruknya sebuah penganggapan atau prasangka. Prasangka atau stereotip hampir selalu digunakan sebagai alat untuk menilai ada memberi referensi unutk terbentuknya keputusan akan hal-hal atau segala sesuatau yang berbentuk dab berasa. Stereotip seirngkali memberikan gambaran palsu dan keputusan yang tidak baik untuk kita, karena kontek pengalaman dan pengetahuna yang berbeda tiap orang.


(61)

Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan di atas, sehubungan untuk memahami dan mengungkapkan makan mengenai representasi stereotip laki-laki yang terkandung dalam iklan Nescafe Classic versi Rasa Lebih Hitam, peneliti akan menggunakan nalisa semiotik oleh John Fiske. Dimana kategori semitok John Fiske ada tiga lever, antara lain: level realitas, level representasi dan level ideologi. Bersama dengan proses tersebut, kode dan konteks dari luar seperti konteks sosial, ideologi dan budaya yang dikaitkan secara bersamaan sebagai alat bantu. Dari proses pemaknaan melalui pembacaaan kode-kode tersebut, maka akan diungkapkan makana mengenai representasi stereotip laki=laki dibalik iklan Nescafe Classic versi Rasa Lebih Hitam.


(62)

55

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif merupakan metode penelitian yang menggunakan data yang bersifat verbal dan tidak terdiri atas angka-angka. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2002:3) menggunakan metode kualitatif karena ”Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada individu secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan kedalam variabel atau hipotesis tetapi memandangnya sebagai keutuhan”.

Data verbal dalam ilan kopi Nescafe Calssic versi Rasa Lebih teridi dari video, suara (audio), model (talent), peraga (props), latar (settings), dan juga berupa objek visual yang disertai sound dan pesan audiotoris (berupa narasi, audio, atau soundtrack) yanga da dalam iklan dan kemudian akan menjadi korpus dalam penelitian ini. Selanjutnya data-data kualitatif tersebut akan diinterpretasikan dengan acuan dan referensi ilmiah.

Peneliti akan secara khusus menggunakan analisis semiotika John Fiske untuk membedah dan menyingkap pemaknaan stereotip laki-laki yang


(63)

ada di dalam iklan kopi Nescafe Classic versi Rasa Lebih dengan menjadikan tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi.

3.2 Kerangka Konseptual 3.2.1 Stereotip Laki-laki

Sterotip laki-laki yang tercipta oleh media kini sangat digandrungi oleh masyarakat. Mereka mencoba melakukan hal-hal yang dapat memebuktikan bahwa mereka ada lah stereotip laki-laki masa kini. Stereotip laki-laki yang tradisional kini telah berubah menjadi stereotip yang dibuat oleh media, walaupun pada umumnya hampir sama. Stereotip laki-laki itu sendiri masih banyak disangsikan oleh kebanyakan lawan jenis dikarenakan banyak yang belum terpenuhi atau mencakup stereotip laki-laki yang sesuai dengan yang mereka inginkan.

Hal iniliah yang membuat para pria atau laki-laki mulai mengambarkan atau menstereotipkan sendiri, stereotip laki-alaki yang menjadi pilihannya. Karena stereotip itu sungguh bisa menyesatkan mereka dan mambuat mereka tidak menjadi ketegori laki-laki idaman.

3.2.2 Korpus Penelitian

Dalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahsan masalah yang disebut korpus. Korpus merupakan kumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis dengan semacam kesemenaan, bersifat sehomogen mungkin dengan harapan bahwa


(64)

unsur-unsurnya dapat dianalisa sebagai keseluruhan (Kurniawan, 2001:70). Sifat yang sehomogen ini diperlukan unutk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya dapat dianalisis sebagai keseluruhan. Tetapi sebagai analisis, korpus itu bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam. Sehingga memungkinkan unutk memahami banyak aspek dari sebuah teks yang tidak dapat ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari unsur tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri dari teks yang bersangkutan. Kelebihannya ialah bahwa dalam mendekati teks, kita tidak didahului oleh pranggapan atau interpretasi sebelumnya.

Korpus dalam penelitian ini adalah iklan Nescafe Classic versi Rasa Lebih Hitam, yang terdiri dari 16 scene. Namun yang diambil hanyalah scene satu, dua, tiga dan empat yang mengandung representasi stereotip laki-laki.

3.2.3 Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini didapatkan dari 2 jenis data, yaitu :

1. Data Primer, yaitu data yang didapatkan dari korpus penelitian berupa objek visual dan audio yang kemudian akan dianalisis menggunakan analisis semiotik John Fiske.

2. Data Sekunder, yaitu data yng didapat dari referensi berupa buku, jurnal online, E-Book, artikel dan referensi lain yang berhubungan


(65)

dengan penelitian dan dapat dijadikan panduan dan acuan dalam penelitian ini.

3.2.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan ialah metode deskriptif kualitatif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan warna yang terdapat pad aiklan kopi Nescafe Classic versi Rasa Lebih. Peneliti akan menggunakan metode Semiotik John Fiske, yang mana akan mengkategorikan iklan menjadi tiga level yakni level realitas, level reprsentasi dan level ideologi. Data yang diperoleh akan diinterpretasikan dan dianalisis berdasarkan kajian dan konsep-konsep teoritis yang dipakai dalam penelitian ini.


(66)

59

4.1 Gambaran Umum Objek dan Penyajian data 4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Merasa prihatin dengan tingginya angka mortalitas bayi di akhir abad 19 di Swiss, Henri Nestlé, seorang ahli kimia Jerman yang berdomisili di Vevey,Swiss berhasil menciptakan makanan pendamping bagi bayi yang tidak mendapat cukup ASI. “Farine Lactee” berhasil menyelamatkan banyak jiwa bayi pada saat itu dan Nestlé pun mendapatkan kepercayaan masyarakat. Henri Nestlé kemudian memanfaatkan nama keluarganya menjadi logo perusahaannya. Dalam dialek Jerman Swiss, "Nestlé" berarti sarang burung kecil (little nest). Logo itu menjadi lambang rasa aman, kasih sayang, kekeluargaan dan tradisi.

Perusahaan Nestlé terus mengembangkan produk-produknya dan kemudian menjadi pelopor beberapa produk seperti susu kental di Eropa tahun 1905, susu coklat tahun 1929, kopi instant tahun 1938 dan lain-lain. Produk-produk Nestlé telah beredar di Bumi Nusantara sejak akhir Abad ke-19, dimana salah satunya ialah susu kental manis yang dikenal dengan sebutan "Tjap Nona" (sekarang "Nestlé Milkmaid"). Kantor pusat Nestlé di Swiss, Nestlé S.A., bersama sejumlah mitra lokal mendirikan anak perusahaan di Indonesia pada bulan Maret 1971. Saat ini PT.Nestlé


(67)

Indonesia mengoperasikan tiga pabrik yang berlokasi di daerah Tangerang (Banten), Panjang (Lampung), dan Kejayan (Jawa Timur). Beberapa merek produk Nestlé yang dipasarkan di Indonesia antara lain : susu bubuk Nestlé Dancow, kopi instant Nescafé, Nestlé Milo, Nestlé Bubur Bayi, Kit Kat, Polo, dan lain-lain (Sumber : https://www.sahabatnestle.co.id/sejarah.aspx, di akses jam 10. 30 am, tanggal 05 november 2010).

Nescafe mulai di produksi di Indonesia tepatnya di Pabrik Panjang di Lampung tahun 1979. Nescafe adalah salah satu merek kopi terbesar di dunia yang telah dinikmati oleh begitu banyak konsumen di seluruh dunia. Di Pabrik Panjang, Nescafe di produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumen di Indonesia dan Lampung adalah wilayah pengekspor biji kopi terbesar di Indonesia. Pada masa awal operasional Pabrik Panjang, para spesialis pencicip kopi menggunakan keahliannya untuk menyeleksi contoh biji kopi yang diserahkan oleh para pedagang kopi dan hanya menerima biji kopi yang memenuhi standar rasa Nescafe yang begitu tinggi. Selama periode itu, telah terbentuk sebuah persepsi diantara para pedagang bahwa biji kopi yang baik hanya ditentukan oleh kualitas fisiknya, yaitu bagaimana rupa biji kopi itu sendiri. Di awal tahun 90an, Pabrik Panjang melakukan pelatihan Coffee Tasting bagi para pedagang kopi setempat untuk menanamkan pengertian pada mereka tentang pentingnya rasa dalam produksi kopi (Sumber :


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa representasi stereotip laki-laki yang ditampilkan dalam sebuah iklan televisi yaitu iklan Nescafe Classic versi Rasa Lebih Hitam. Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi terhadap representasi stereotip laki-laki dalam iklan tersebut, peneliti menarik kesimpulan bahwa pesan iklan yang disampaikan akan stereotip laki-laki merupakan gambaran atau tanggapan yang bersifat klise atau semu.

Selain dari kostum, akesoris, make-up yang dikenakan, karakteristik stereotip laki-laki, juga ditampilkan gesture dan pemilihan setting dan sound. Dari berbagai macam aspek tersebut, peneliti menemukan berbagai macam karakteristik laki-laki yang berbeda dari stereotip laki-laki secara umum.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pria menjadi maskulin, jantan, kuat tidak berdasarkan pada tampilan wajah atau postur fisik pria tersebut. Pengertian stereotip laki-laki itu masih belum terwakili seluruhnya dalam pribadi pria seutuhnya. Hal ini sangat kontras dengan keadaan masyarakat serta membudayanya stereotip laki-laki itu harus sempurna, yakni memeiliki tubuh ideal yang atletis dan tegap, mempunyai kekuatan, kendali dan kuasa, macho dan maskulin, tegas, rasional, tampan, pekerja keras yang sukses layaknya eksekutif muda atau enterpreneur.


(2)

Stereotip yang ada masih belum menunjukkan bahwa semua itu harus dimilki oleh pria. Pria atau laki-laki dimanapun belum tentu secara pasti memiliki kesemua ciri tersebut. Namun mereka diuntungkan dengan diasosiasikannya kegiatan yang mereka jalani sebagai bentuk stereotip laki-laki yang masih belum tercitra dari pribadi mereka. Hal ini memberikan kita petunjuk bahwa penilaian laki-laki yang terstereotip secara sempurna dan divisualisasikan oleh media massa belum tentu seutuhnya benar dan pasti.

Media terutama iklan biasanya akan menampilkan pria yang ganteng, tampan, macho, dan maskulin. Masyarakat akan mempersepsi bahwa gambaran laki-laki itu harusya seperti yang ditampilkan oleh televisi. Iklan Nescafe Classic telah memberikan pandangan baru bahwa stereotip laki-laki itu tidak berdasarkan pada ciri fisik secara kodrat namun bisa secara pikiran, mental dan aktifitas yang dijalaninya.

5.2 Saran

Dewasa ini, fungsi iklan bukan hanya sebagai sarana promosi atau marketng dari produk saja, namum juga sebagai media penyalur informasi dan edukasi yang efektif dan efisien dalam membangun serta memajukan pengetahuan dan pemahaman dalam kehidupan bermasyarakat. Terutama mengenai stereotip-stereotip gender, baik stereotip laki-laki maupun stereotip perempuan. Pemahaman yang sesungguhnya dapat membuat masyarakat khususnya Indonesia memiliki penilaian dan sikap sendiri untuk menerima


(3)

76

atau menolak, sehingga meminimalisir diskriminasi yang akan timbul akbit stereotip-stereotip yang berkepanjangan.

Masyarakat secara keseluruhan dapat dirugikan olehnya karena tidak semua potensi dirinya tidak berkembang dalam pergaulan antargolongan dan bisa memecah kerja sama yang wajar anatar golongan-golongan tersebut. Maka peneliti menyarankan kepada para pembuat iklan dan pihak produsen produk khususnya di Indonesia untuk semakin aktif dan kreatif dalam mengangkat isu-isu atau permasalah yang manjadi polemik dalam masyarakat menjadi iklan yang mendidik dan menarik. Dan diharapkan tidak lagi iklan menjadi media dalam membentuk pemahaman yang salah dalam memberikan kontribusinya terhadap permasalahan yang berkembang.


(4)

Bovee, Courtland. L, dan John V. Thill, 2007, Komunikasi Bisnis, Edisi kedelapan, PT. INDEKS, Jakarta

Darmaprawira, Sulasmi, 2002, Warna : Teori dan Kreatifitas Penggunannya, Penerbit ITB, Bandung

Effendy, Onong Uchayana, 2002, Ilmu teori dan Filsafat Komunikasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Eisenman, Tom L., ~ , Godaan kaum pria, Yakun, Surabaya

Fiske, John, 2006, Introduction to Communication Studies, Routledge, London

Genigan, Dipl Psych, Dr W.A, 2004, Psikologi Sosial, PT. Refika Aditama, Bandung

Humm, Maggie, 2007, Ensiklopedia Feminisme : Edisi kedua, Fajar Pustaka baru

Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Indonesiatera, Magelang

McQuail, Denis, 1994, Teori Komunikasi Massa Suatau Pengantar, Erlangga, Jakarta

Moleong, Lexy J, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung

Morrisan, M.A. dan Dr. Andy Corry Wardhany, M.Si., 2009, Teori Komunikasi, Ghalia Indonesia, Bogor


(5)

78

Pramaggiore, Maria dan Tom Wallis, 2005, Film : A Critical Introduction, Laurence King, United Kingdom

Sears, David Jonathan L., et al, 1991, Psikologi Sosial, Erlangga, Jakarta

Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, PT. Rosdakarya, Bandung

Sumarno, 1996, Prinsip-prinsip Periklanan dalam Perpekstif Gender, Prenage Media, Jakarta

Suprapto, Ms., Tommy, Drs., 2006, Pengantar Teori Komunikasi, Media Presindo, Yogyakarta

Wells, William, John Burnett, dan Sandra Moriarty, 1999, Advertising : Principles and Practice, Prentice Hall

Widyatama, Rendra, 2006, Bias Gender, Media Pressindo, Yogyakarta

Widyatama, Rendra, 2007, Pengantar Periklanan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta

Wood, Julia T., 2005, Gendered Lives: communication, gender & culture, Wadsworth Engage Learning, Amerika

Wright, H. Norman, 2000, Apa yang diinginkan Pria : What men want, PT Interwacana Niagatama, Jawa Tengah

Non Buku :

Skripsi :

Paskanonka, Caludia Sastris, 2009, Representasi Kekerasan dalam film ”Punk in Love”, Universitas Pembangunan Nasional ”VETERAN” Jawa Timur


(6)

Utami, Friliya Warisca, 2010, Pemaknaan iklan produk rokok Gudang Garam Merah versi ”Sarjana Ojek”, Universitas Pembangunan Nasional ”VETERAN” Jawa Timur

Internet :

http://www.archive.org/stream/NewsletterKunci8Maskulinitas/Newsletter_KUNCI_8 _Maskulinitas_djvu.txt, diakses 4-8-2010 pukul 9.50pm

https://www.sahabatnestle.co.id/sejarah.aspx, di akses jam 10. 30 am, tanggal 05 november 2010


Dokumen yang terkait

REPRESENTASI LAKI-­LAKI DALAM IKLAN DI TELEVISI(Studi Semiotik pada Iklan L­Men dan Gatsby Body Lotions)

0 16 3

REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM IKLAN PRODUKPERAWATAN TUBUH UNTUK LAKI-LAKI REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM IKLAN PRODUK PERAWATAN TUBUH UNTUK LAKI-LAKI.

0 2 15

REPRESENTASI LAKI-LAKI METROSEKSUAL DALAM IKLAN VASELINE MEN FACE MOISTURIZER.

0 0 2

REPRESENTASI LAKI – LAKI PADA IKLAN PRODUK KECANTIKAN NATASHA VERSI KULIT KERIPUT (Representasi Model Laki – laki Pada Iklan Natasha Versi “kulit keriput”).

2 5 76

“PEMAKNAAN IKLAN EXTRA JOSS VERSI LAKI DI TELEVISI” (Studi Semiotik Tentang Pemaknaan Iklan Extra Joss Versi Laki di Media Televisi).

1 7 96

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN PRODUK LAKI-LAKI (Studi Semiotik Mengenai Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Axe Deodorant Bodyspray versi ”Harga Minim” di Media Televisi).

2 8 86

KATA PENGANTAR - REPRESENTASI STEREOTIP LAKI-LAKI PADA IKLAN TELEVISI. (Studi Semiotik Representasi Stereotip Laki-laki pada Iklan Nescafe Classic rasa Lebih Hitam di Televisi)

0 0 18

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN PRODUK LAKI-LAKI (Studi Semiotik Mengenai Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Axe Deodorant Bodyspray versi ”Harga Minim” di Media Televisi)

0 0 19

STEREOTIP LAKI-LAKI PADA IKLAN TELEVISI PARFUM AXE TERHADAP MASKULINITAS PRIA METROSEKSUAL (Analisis Semiotika Iklan Parfum Axe Versi “Dark & Gold Temptation”) - Unika Repository

0 0 13

STEREOTIP LAKI-LAKI PADA IKLAN TELEVISI PARFUM AXE TERHADAP MASKULINITAS PRIA METROSEKSUAL (Analisis Semiotika Iklan Parfum Axe Versi “Dark & Gold Temptation”) - Unika Repository

0 0 9