1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keterampilan berbahasa merupakan keterampilan yang sangat penting untuk dimiliki oleh seorang anak. Konsep, pikiran dan imajinasi seorang anak
dapat diungkapkan melalui bahasa lisan maupun tulisan. Membaca dan menulis merupakan salah satu aspek keterampilan
berbahasa yang diajarkan di sekolah dasar dengan tujuan agar siswa dapat mengerti maksud yang terkadung dalam bacaan sehingga dapat memahami isi
bacaan dengan baik dan benar. Tanpa memiliki keterampilan membaca yang memadai sejak dini, anak akan mengalami kesulitan belajar di kemudian hari
karena kemampuan membaca menjadi dasar utama tidak saja bagi pengajaran bahasa itu sendiri melainkan juga bagi mata pelajaran lain.
Selain itu, keterampilan menulis juga penting bagi seorang anak. Ketika seorang anak menulis maka berarti anak menciptakan sesuatu, anak
memulai proses kreatif untuk melontarkan pertanyaan, mengalami kebingungan dan akhirnya menemukan pemecahan dengan sendirinya.
Di sisi lain, setiap anak memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional pada pasal 5 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pen didikan yang bermutu”. Pada Undang- Undang Dasar tahun 1945 Pasal 31
2
ayat 1 amandemen juga disebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Berdasarkan landasan tersebut maka setiap warga
negara Indonesia berhak untuk mendapatkan hak memperoleh pendidikan yang sama bahkan pendidikan yang bermutu dan tidak terdapat diskriminasi.
Hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi juga berlaku untuk anak berkebutuhan khusus. Sesuai dengan Undang- Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 Pasal 5 ayat 2 menyebutkan bahwa “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental
intelektual, danatau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Hal ini bermakna bahwa anak berkebutuhan khusus berhak memperoleh pendidikan
khusus sesuai dengan kebutuhannyadan kemampuan masing masing. Di Indonesia, anak berkebutuhan khusus memperoleh hak pendidikan
khusus di sekolah luar biasa dan sekolah inklusi. Pada sekolah luar biasa, semua anak berkebutuhan khusus dikelompokkan menjadi satu sesuai
kebutuhannya masing-masing dan mendapatkan pendidikan khusus secara penuh dari guru dengan kompetensi pendidikan khusus yang telah
dipersiapkan sedangkan di sekolah inklusi, anak berkebutuhan khusus digabung bersama siswa normal di kelas reguler dan mengikuti proses
pembelajaran yang sama dengan siswa normal. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009
tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan danatau bakat istimewa, dalam pasal 1
3
disebutkan bahwa dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan danatau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”.
Dalam pelaksanaaan pendidikan di sekolah inklusi, ada pula kendala yang harus dihadapi. Kendala yang biasanya muncul di sekolah inklusi yaitu
terbatasnya guru pendamping khusus untuk anak berkebutuhan khusus dan peran guru kelas yang kurang untuk memberikan bimbingan kepada anak
berkebutuhan khusus.
Dilansir dalam
Harian Dikpora
www.dikpora.jogjaprov.go.id pada tanggal 12 Desember 2014, Sultan Hamengkubuwono X mengungkapkan bahwa siswa yang berkebutuhan
khusus banyak menemui hambatan untuk maju, terutama dalam akses pendidikan. Karena itu, 350 sekolah di DIY harus bersedia menerima siswa
berkebutuhan khusus. Bahkan, Pemda DIY menyediakan 400 orang guru dengan latar belakang berpendidikan luar biasa untuk mengakomodir para
siswa berkebutuhan khusus. Jangan sampai ada sekolah yg menolak siswa yang berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusif berarti pengintegrasian anak yang menyandang kecacatan fisik, sensori dan intelektual ke dalam sekolah reguler. Sekolah
Dasar Negeri Giwangan merupakan salah satu SD inklusi dari 5 SD inklusi
4
lain yang terletak di Kota Yogyakarta. Sekolah Dasar Negeri Giwangan sudah memiliki fasilitas dan layanan bimbingan khusus untuk anak berkebutuhan
khusus. Walaupun telah terdapat banyak guru pendidikan khusus di SD tersebut namun belum semua anak berkebutuhan khususmendapatkan guru
pendidikan khusus. Hal ini berarti peran guru kelas menjadi sangat penting untuk memberikan bimbingan kepada anak berkebutuhan khusus tersebut.
Namun pada kenyataannya, guru kelas yang seharusnya memiliki peran ganda untuk memberikan bimbingan belajar pada anak normal dan anak
berkebutuhan khusus juga masih kurang karena memang guru kelas tidak disiapkan untuk memiliki kompetensi itu.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember 2014, ditemukan delapan belas siswa berkebutuhan khusus di SD Negeri
Giwangan dengan rincian sebagai berikut: 1 lima anak terindikasi tuna grahita, 2 satu anak terindikasi cerebral palsy, 3 satu anak terindikasi autis,
4 tiga anak terindikasi slow learner, dan 5 delapan anak terindikasi anak berkesulitan belajar. Bila dihitung, di SD Negeri Giwangan terdapat lebih dari
lima siswa bekesulitan belajar namun hanya beberapa yang mendapatkan pelatihan di ruang bimbingan khusus karena siswa yang lain masih dapat
mengikuti pembelajaran di kelasnya tanpa bimbingan individual. Salah satu dari siswa berkesulitan belajar yang masih harus mendapatkan bimbingan
individual adalah seorang siswa perempuan kelas III B, siswa tersebut bernama MPD.
5
Sekolah Dasar Negeri Giwangan telah melakukan assesmen kepada anak berkesulitan belajar dan membuat perencanaaan program pembelajaran
khusus namun kegiatan tersebut justru dilakukan oleh guru pendidikan khusus. Dalam pendidikan inklusif, seharusnya kegiatan tersebut merupakan
tanggung jawab guru kelas yang berkolaborasi dengan guru pendidikan khusus.
Pada studi berikutnya yang dilaksanakan pada 8 Januari 2015, peneliti menemukan bahwa MPD tidak menulis secara lengkap kalimat yang
didiktekan oleh guru kelasnya. MPD hanya menulis “mand” untuk kata
“mandi”, menulis “berkeja” untuk “bekerja”, “utuk” pada kata “untuk”, “berima” pada kata “bermain” dan kata lainnya. Penulis juga melakukan
wawancara kepada guru kelas III B, beliau memaparkan bahwa bila MPD menulis sebuah kata yang didiktekan, maka tulisan yang dihasilkan selalu
kacau dan ada huruf yang kurang. Ketika menulis dengan mencontoh tulisan di hadapannya, maka MPD bisa menulis secara lengkap namun membutuhkan
waktu yang lama. Ketika MPD disuruh membaca sebuah tulisan, MPD juga membutuhkan waktu yang cukup lama sekitar 30-60 detik untuk dapat
membacanya. Otomatis guru kelas memainkan peran gandanya untuk memberikan bimbingan kepada MPD. Namun karena guru kelas tidak
dibekali kompetensi tersebut sebelumnya sehingga MPD mendapat kesulitan untuk mengikuti pelajaran di kelasnya.
6
Pada studi berikutnya tanggal 13 Januari 2015, peneliti mencoba untuk mengumpulkan dokumen tulisan MPD. Di dokumen tersebut terlihat
bahwa selalu ada huruf yang kurang pada kata yang ditulis oleh MPD. Sebagai contoh, MPD menulis kata
“lnga” pada kata “lunga”, “dipimpi” untuk kata
“dipimpin”, “poho” untuk kata “pohon”, “seti hari” untuk “setiap hari
”. Peneliti ingin membuktikan kesulitan yang dihadapi MPD, maka dari
itu pada studi tanggal 17 Januari 2015, peneliti mencoba untuk mendikte sebuah kalimat untuk ditulis oleh MPD, dan MPD memang tidak menulis
secara lengkap, sebagai contoh untuk menulis kata “halaman”, MPD menulis
kata “halman”, sehingga peneliti mencoba untuk menekankan intonasi dan
kejelasan pelafalan yang berulang-ulang agar MPD menulis kata halaman dengan benar. Penelitimencoba memberikan sebuah soal yang terdapat di
dalam buku siswa kelas 2 halaman 49, dan MPD menulis “bucis” untuk kata
“buncis” pada kolom nama sayuran yang disukai. Peneliti juga mencoba memberi kesempatan kepada MPD untuk membaca. Pada awalnya ada
beberapa kata yang dapat dibaca oleh MPD dengan lancar. Namun untuk kata kelima, MPD membutuhkan waktu sekitar 40 detik untuk membacanya.
Sebagai contoh, pada kata kelima ada kata sabun, MPD membutuhkan waktu 30 detik untuk membaca kata
“sabun” itu, kemudian pada kata kesembilan di kalimat yang sama terdapat kata
“sabun” lagi, MPD membutuhkan waktu lebih dari 30 detik untuk membaca kata
“sabun”.
7
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Januari 2015 tersebut, didapati fakta bahwa belum terdapat pembelajaran dan pendampingan khusus
yang dilakukan oleh guru kelas untuk anak berkesulitan belajar membaca menulis di kelas.
Hasil observasi tersebut juga mengindikasikan bahwa MPD tergolong sebagai anak berkesulitan belajar membaca menulis, padahal kemampuan
membaca dan menulis sangat dibutuhkan oleh siswa sekolah dasar di kelas awal sebagai dasar untuk memahami materi pelajaran. I. G.A.K. Wardani
1995: 47 menuliskan bahwa untuk dapat membaca maka seorang anak dituntut agar mampu membedakan bentuk huruf, mengenal arti tanda baca,
mengucapkan bentuk huruf dan kata yang benar dan menyuarakan tulisan yang sedang dibaca dengan benar. Anak dituntut untuk menulis dengan huruf
yang sempurna, dan menulis dengan ejaan yang benar agar anak dapat menulis. Apabila seorang anak yang belum mencapai kemampuan di atas
maka dapat diindikasikan bahwa anak tersebut mengalami kesulitan belajar membaca dan menulis.
Hal ini juga didukung oleh teori pengelompokkan anak berkesulitan belajar yang disampaikan oleh Kirk dan Gallagher dalam Mulyono
Abdurrahman 2012: 47 bahwa kesulitan belajar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu developmental learning disabilities dan
academic learning disabilities. Developmental learning disabilities terdiri dari perhatian, memori, dan gangguan bahasa sedangkan kesulitan belajar
8
akademis meliputi membaca menulis, mengeja. Dilansir pula dari http:edukasi.kompasiana.com20130311anak-kesulitan-belajar-di-
sekolah-formal-intervensi-dan-penanganannya-541102. html
pada 12
Desember 2014 , “Fenomena anak kesulitan belajar jenis apapun ataupun
anak berkebutuhan khusus di sekolah formal dapat mencapai 10 dari populasi di sekolah. Fenomena tersebut khususnya adalah banyak ditemui
anak hiperaktif di sekolah formal di tingkatan SD dan perlu penanganan yang tuntas sehingga tidak mengganggu siswa lainnya serta aktivitas belajar dan
mengajar di sekolah.” Berdasarkan permasalahan di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian d engan judul “Pembelajaran pada anak berkesulitan
belajar membaca menulis di kelas III B SD Negeri Giwangan.”
B. Identifikasi Masalah