34
bahasa language-rich seperti isyarat signing dan keterangan gambar caption menyulitkan dalam melihat perubahan di luar pusat perhatian saat itu Cavender, et al.,
2009. Ada beberapa fitur yang relevan dalam subjudul menurut Gambier dalam Neves
2005. Fitur-fitur ini berupa keberterimaan acceptability, legibilitas, keterbacaan readability, sinkronisitas synchronicity, dan relevansi relevance. Legibilitas
berhubungan dengan huruf, posisi subjudul, dan kecepatan subjudul. Keberterimaan berhubungan dengan norma bahasa, pemilihan gaya, dan pola retorika. Keterbacaan
berhubungan dnegan kecepatan baca, kompleksitas teks, kepadatan informasi, dan lain-lain. Sinkronisitas berhubungan dengan kecepatan pergerakan bibir. Selanjutnya
relevansi berhubungan dengan informasi yang disampaikan, dihapus, atau diklarifikasi. Lebih lanjut, fitur lain yang relevan menurut Gambier dalam Neves
2005 adalah strategi domestic bagaimana menerima moda narasi dan profil penerima.
Aspek penting yang harus diperhatikan dalam keterbacaan adalah aspek isi content dan bentuk. Dalam hal ini harus memperhatikan karakteristik siswa tuna rungu
pada umumnya tidak menikmatimenyukai membaca dan umumnya kurang dalam keahlian membaca yang merupakan keahlian dasar dalam membaca subjudul. Selain
itu tuna rungu belum mengembangkan keahlian yang memungkinkan untuk maju dari langkah sederhana dalam pengolahan kata menuju proses yang lebih tinggi seperti
pengambilan kesimpulan dan prediksi, perencanaan, pemantauan, pertanyaan ke diri sendiri self questioning, dan peringkasan. Aspek penting yang berhubungan dengan
keterbacaan adalah isi content dan bentuk. Hal pertama, yakni isi, berhubungan dengan bagaimana rangkaian kata
ditempatkan pada layar monitor. Penempatan isi ini haruslah mempertimbangkan bagaimana siswa tuna rungu membaca. Neves 2005 menegaskan bahwa tuna
rungu hanya mengandalkan referensi visual untuk mendukung proses pembacaan. Lebih lanjut ini berarti orang tuna rungu perlu menangkap semua pesan visual yang
didapatkan dari ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan komposisi filmik Neves, 2005. Hal kedua yang berhubungan dengan keterbacaan adalah bentuk. Bentuk yang dimaksud ini
adalah bagaimana aspek-aspek teknis seperti huruf, warna, dan penempatannya pada layar monitor.
Pemilihan huruf, warna, dan penempatannya pada layar monitor akan dijelaskan sebagai berikut:
35
1. HurufFon. Salah satu faktor penting dalam membaca subjudul adalah ukuran
huruffon dan kualitas gambar. Untuk menjamin legibilitas pemilihan fon yang tepat akan membantu orangtuna rungu untuk membaca teks. Contoh
huruf yang dapat membantu legibilitas ini adalah Tiresias Screenfont. 2.
Warna. Selain pemilihan huruffon, pemilihan warna juga berperan penting. Teks dengan warna putih dan latar belakang hitam lebih dipilih oleh
sebagian besar orang diikuti oleh posisi kedua diikuti oleh teks putih pada latar belakang biru gelap Silver dalam Neves 2005.
3. Kecepatan Teks. Isu penting lain yang berhubungan dengan legibilitas adalah
kecepatan teks. Luyken et al dalam Neves 2005 mengatakan bahwa kecepatan baca pada subjudul adalah antara 150
—180 kata per menit. Penelitian kecepatan baca juga telah dilakukan oleh Jensema 1998 dan Jensema 2000. Lebih lanjut
Neves 2005 mengatakan bahwa aturan enam detik secara luas diterima sebagai aturan standar untuk subjudul yang mudah dibaca. Implementasi aturan
ini adalah tiga detik per baris dan lima sampai enam detik untuk dua baris. Namun D’Ydewalle dalam Neves 2005 menegaskan bahwa aturan enam
detik ini seharusnya diganti menjadi aturan sembilan detik karena orang tuna rungu biasanyacenderung lambat membaca.
4. Animasi. Animasi yang berlebihan dapat mengganggu fokus. Cavender
2009 menyarankan menggunakan animasi tertentu anchored ancimation yang hanya muncul pada atau dekat jendela target target window untuk
menekankan bahwa pesan yang disampaikan pada dasarnya hanya merupakan saran dan tidak menuntut perhatian segera.
5. Tata Letak Jendela window layout. Mengubah tata letak jendela window
layout dapat membingungkan dan merusak suasana kelas lihat Cavender, 2009. Lebih lanjut, Cavender 2009 mencontohkan perubahan tata letak
dengan merotasi jendela seperti merupakan solusi yang baik, padahal bersifat mengganggu.
6. Fokus. Hal penting lain dalam rancangan audiovisual adalah fokus. Hindari
menganggu pengguna dari fokus yang sedang dilakukan pengguna pada saat konsentrasi fokus yang sedang dilakukan Cavender, et al., 2009. Lebih lanjut
Cavender et al. 2009 mengatakan bahwa efek visual masking dapat mengaburkan informasi pada latar belakang atau informasi pada layar lainnya.
36
Penyajian Teks. Neves 2005 menegaskan bahwa penyajian teks memegang peranan penting dalam kualitas subjudul. Presentasi teks ini meliputi jenis huruf, warna,
dan tata letak. Pemilihan huruf untuk subjudul biasanya adalah jenis huruf sans serif. Lebih lanjut subjudul menggunakan huruf balok cenderung susah dibaca dan orang
yang suka subjudul dengan huruf capital tidak menyukai subjudul dengan kombinasi huruf kapital dan kecil. Hal penting selanjutnya adalah pemilihan warna.
Warna putih pada kotak teks hitam merupkan warna paling legible dari semua kombinasi warna diikuti oleh warna kuning, cyan, dan hijau. Baker dalam Neves 2005
menyarankan bahwa warna magenta, merah, dan biru harus dihindari. Tata letak menyangkut banyak baris, posisi, dan penjajaran alignment. Banyak baris misalkan dua
sampai tiga baris. Selanjutnya posisi bias di tengah-tengah, rata kiri, atau rata kanan. Komponen Verbal. Komponen verbal meliputi transposisi dari oral ke mode
tulis. Menurut Neves 2005 orang yang mengalami susah pendengaran hard-of-hearing akan selalu melihat subjudul sebagai perwujudan ujaran oral oral speech, namun
orang tuna rungu yang tidak pernah menggunakan bahasa dalam bentuk oral hanya menganggap sebagai pesan tertulis.
Komponen nonverbal meliputi informasi tentang efek suara dan musik. Neves 2005 menegaskan bahwa cendikiawan dan professional menjustifikasi pengunaan
informasi tentang efek suara dan music dengan harapan bahwa orang tuna rungu akan kehilangan informasi aural yang penting.
5.3 Hasil Evaluasi Pelaksanaan Program 1. Hasil Evaluasi Efektivitas Media Audiovisial yang Telah Dibuat
Selama proses pendampingan, telah dilakukan Penelitian Tindakan Kelas yang bertujuan untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan media audiovisual efektif
untuk meningkatkan hasil belajar siswa tuna rungu dibandingkan dengan pembelajaran dengan metode konvensional. Penelitian dilaksanakan menggunakan
model rancangan pre eksperimental design quasi experiment dengan jenis desain one shot case study. Penelitian jenis ini peneliti hanya menggunakan perlakuan satu kali
yang diperkirakan sudah mempunyai pengaruh, kemudian dilakukan post test. Perlakuan yang diberikan berupa pemberian materi pecahan senilai untuk kelas IV SDLB
dengan media visual dan pembelajaran konvensional. Perlakuan diterapkan pada 2 kelompok siswa yang masing-masing terdiri dari tujuh orang siswa. Soal pre test dan post
37
test terdiri dari sepuluh soal pecahan senilai. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa peningkatan hasil belajar siswa dengan metode konvensional berbeda dengan metode pembelajaran dengan bantuan
media visual. Kelompok siswa yang memperoleh perlakuan metode konvensional mempunyai rata-rata 10 pada skor pre test dan 21,25 pada nitai post test. Nilai skor pre
test dan post test dalam penelitian ini dengan skala 0 – 100. Sedangkan untuk kelompok
siswa yang memperoleh perlakuan pembelajaran dengan bantuan media audiovisual mempunyai rata-rata skor post test 50, mengalami peningkatan dari rata-rata skor pre test
11,43. Rata-rata persentase peningkatan hasil belajar siswa untuk kelompok memperoleh pembelajaran dengan metode konvensional sebesar 112,5, sedangkan metode dengan
media audiovisual terjadi peningkatan hasil belajar sebesar 337,4. Berdasarkan peningkatan hasil belajar dengan kedua metode, disimpulkan bahwa pembelajaran
dengan bantuan media audiovisual lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa dibandingkan dengan metode pembelajaran konvensional, untuk siswa tuna
tungu pada pokok bahasan pecahan senilai. Hasil observasi selama pembelajaran dengan kedua metode, diketahui bahwa pembelajaran dengan media visual lebih bisa
dimengerti oleh peserta didik tuna rungu karena karakter siswa tuna rungu lebih mengerti dengan materi yang bersifat kongkrit dan sulit mengerti hal yang bersifat
abstrak. Apresiasi dan motivasi siswa dalam pembelajaran jika diamati, antara kedua
kelompok siswa dengan pembelajaran konvensional dan pembelajaran visual terlihat perbedaan yang sangat signifikan. Siswa yang diberikan pembelajaran secara
konvensional konsentrasinya lebih rendah dari pada siswa yang diberikan pembelajaran dengan media visual. Hal itu disebabkan karena pada penelitian ini
mengambil sampel siswa tuna rungu yang mengalami keterbatasan dalam bidang komunikasi dan informasi, serta keterbatasan dalam hal-hal yang bersifat abstrak.
Untuk menjelaskan sesuatu agar lebih dapat dimengerti, lebih efektif menggunakan media kongkrit atau nyata visual sehingga lebih mudah dimengerti oleh siswa yang
berkebutuhan khusus dalam hal ini siswa tuna rungu.
38
2. Hasil Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan
Pengetahuan awal peserta pelatihan tentang media audiovisual dilihat dari jawaban peserta pelatihan terhadap pre test yang diberikan. Pengetahuan awal peserta pelatihan
mengenai perlunya dikembangkan inovasi metode pembelajaran untuk mengoptimalkan pembelajaran di kelas khususnya SLB.B. Seluruh peserta pelatihan men
jawab ―perlu‖ dengan alasan-alasan antara lain: 1 karena siswa mengalami kekurangan audionya
sehingga perlu inovasi metode pembelajaran; 2 karena hasil belajar siswa akan lebih baik dan lebih optimal jika dilakukan inovasi metode pembelajaran; 3 karena anak-anak
yang memiliki kebutuhan khusus lebih cepat menyerap dengan metode pembelajaran yang inovatif; 4 inovasi metode pembelajaran perlu untuk meningkatkan pemahaman
siswa yang mengalami keterbatasan; 5 agar siswa tidak bosan dengan metode pembelajaran yang diberikan oleh guru dan karena ilmu pengetahuan itu berkembang
seiring kemajuan teknologi; 6 perlu karena inovasi metode pembelajaran memudahkan siswa maupun guru dalam kegiatan belajar mengajar; 7 karena siswa akan lebih
semangat belajar jika metodenya inovatif, dan juga anak tidak akan cepat bosan; 8 untuk menggugah minat belajar siswa sehingga mereka tertantang untuk ingin tahu lebih jauh
9 dengan inovasi metode pembelajaran akan mempermudah pencapaian pembelajaran sesuai karakteristik kekhususan siswa; 10 karena siswa tuna rungu sangat sulit
memahami hal-hal yang bersifat abstrak, sehingga sangat diperlukan inovasi agar hal-hal yang abstrak menjadi nyata; 11 semestinya semua penyampaian materi pembelajaran
dibantu alatmedia audiovisual agar tidak terlalu panjang waktu yang diperlukan mengingat keterbatasan siswa tuna rungu.
Jawaban peserta pelatihan pada pre test mengenai pertanyaan ―apakah inovasi metode pembelajaran dengan memanfaatkan media audiovisual dapat mengatasi
permasala han pembelajaran di kelas, sehingga hasil belajar menjadi optimal?‖. Seluruh
peserta pelatihan menjawab ―ya‖, dengan alasan-alasan yang dikemukakan sebagai berikut: 1 sebab dengan melihat, siswa dapat mengingat sebagian pengetahuan yang
diberikan; 2 karena dengan audiovisual model pembelajaran bisa dibuat lebih menarik sehingga siswa bisa berkonsentrasi dan lebih memahami maksud dari materi
pembelajaran yang disampaikan; 3 audiovisual sangat membantu anak memahami konsep-konsep pembelajaran; 4 karena siswa tuna rungu dan tuna grahita sangat sulit
memahami materi secara abstrak, sehingga akan lebih mudah untuk memahami hal-hal yang disampaikan secara visual; 5 dengan dengan media audiovisual anak akan lebih
39
cepat mengerti materi yang disampaikan oleh guru; 6 siswa, khususnya yang bagian B tidak mampu berimajinasi, jadi sangat diperlukan media audiovisual disamping melatih
pendengaran dan melihat materi; 7 media audiovisual membantu siswa menerima informasi melalui indera yang masih berfungsi normal; dan 8 untuk kasus dimana siswa
total hilang pendengarannya lebih optimal menggunakan media visual saja. Soal pre test untuk pertanyaan apakah pernah memanfaatkan media audiovisual
untuk proses pembelajaran di kelas dan pada pembelajaran apa diberikan, sebagain besar 79,2 dari 72 orang peserta pelatihan menyatakan
―tidak‖ dan sebagian kecil saja menjawab ―ya‖ 20,8 . Diantara peserta pelatihan yang menjawab tidak pernah
memanfaatkan media audiovisual, mereka menggunakan media kartu gambar untuk pembelajaran Bahasa Indonesia dan matematika, media gambar, dan software paint dalam
pembelajaran . Sedangkan untuk sebagian kecil peserta yang menyatakan pernah menggunakan media audiovisual, mereka memanfaatkan: 1 VCD tentang baca tulis dan
hitung, dengan isyarat, ucapan, tulisan dan gambar; 2 Microsoft powerpoint untuk: penjelasan materi mengenal huruf, benda, dan angka; menjelaskan tentang bagian-bagian
tubuh hewan manusia; 3 Memanfaatkan YouTube untuk pelajaran Penjasorkes, atletik lompat jauh, cakram, dan tolak peluru; 4 Video interaktif untuk mengenal
membaca, menulis, berhitung. Post test diberikan pada akhir kegiatan, setelah pemberian materi pelatihan selesai
diberikan. Beberapa pertanyaan yang diberikan hampir sama dengan pretest, dan ditambah dengan pertanyaan baru mengenai minat para guru kedepannya untuk
menggunakan media audiovisual dalam pembelajaran siswa di SLB.B. Skor jawaban peserta pada pre test dan post test disajikan pada table 2.
Analisis statistika inferensial untuk data pre test dan post test peserta pelatihan SLB.B Tabanan bertujuan untuk melihat apakah pelatihan media audiovisual efektif
meningkatkan pemahaman guru-guru dalam merancang media pembelajaran audiovisual. Misalkan
pretest
adalah nilai rata-rata guru sebelum mendapatkan pelatihan nilai pre test
dan
post test
adalah nilai rata-rata guru setelah mendapat pelatihan nilai post test. Secara
formal hipotesis berbentuk
. :
, :
post test test
pre 1
post test test
pre
H H
1
40
dengan statistik uji yang akan digunakan adalah statistik uji t untuk data berpasangan paired samples.
Tabel 2. Skor Pre Test dan Post Test Peserta Pelatihan di SLB.B Tabanan
No Peserta
Skor Pre Test Skor Post Test
1 50
75 2
50 75
3 50
75 4
50 75
5 100
100 6
50 75
7 75
100 8
75 100
9 50
75 10
50 75
11 50
75 12
75 100
13 50
75 14
50 75
15 75
100
Asumsi yang harus dipenuhi dalam menggunakan statistik uji t untuk data berpasangan adalah data nilai prauji dan pascauji berdistribusi normal. Uji kenormalan
menggunakan uji Shapiro-Wilk diperoleh p-value untuk skor pre test dan post test masing-masing 0,0001137 dan
-5
10 ×
2,38
. Hal ini mengindikasikan tidak cukup bukti untuk menerima hipotesis null tentang kenormalan. Dengan kata lain, data tidak
menyebar normal. Selanjutnya akan dilakukan pengujian dengan metode nonparametrik. Uji nonparametrik yang analog dengan uji t adalah uji peringkat bertanda Wilcoxon
Wilcoxon signed ranks test. Untuk melakukan uji peringkat bertanda Wilcoxon diasumsikan beda atau selisih data simetrik dan data diukur pada skala ordinal, interval,
atau rasio. Uji peringkat bertanda Wilcoxon menguji median selisih data. Untuk melihat apakah pelatihan berpengaruh secara positif meningkatkan pemahaman guru
hipotesisnya adalah sebagai berikut: ,
: ,
:
1
D D
M H
M H
2 dengan D menyatakan selisih antara nilai sebelum mengikuti pelatihan dan setelah
mengikuti pelatihan. Hipotesis alternatif :
1
D
M H
berarti bahwa pelatihan akan
41
berhasil apabila selisih nilai sebelum pelatihan pre test dan setelah pelatihan post test negatif. Dengan kata lain selisih nilai pascauji dan prauji lebih besar daripada nol. Hasil
pengujian dengan uji peringkat bertanda Wilcoxon diperoleh p-value = 0,0001053. Pada tingkat signifikansi
05 ,
diperoleh .
05 ,
value p
Berikut ini adalah luaran R untuk uji peringkat bertanda Wilcoxon untuk SLB.B Tabanan.
wilcox.testtbnpre.tbn,tbnpos.tbn,paired=TRUE,alternative=less Wilcoxon signed rank test with continuity correction
data: tbnpre.tbn and tbnpos.tbn V = 0, p-value = 0.0001053
alternative hypothesis: true location shift is less than 0
Jadi dapat disimpulkan pada tingkat signifikansi 05
,
hipotesis null diterima. Dengan kata lain, pelatihan efektif meningkatkan pemahaman guru-guru SLB. B Tabanan
dalam merancang media audiovisual. Selanjutnya analisis data dilakukan terhadap data SLB.B Denpasar Tabel 3.
Hipotesis untuk data di SLB.B Denpasar juga seperti pada persamaan 1. Namun, terlebih dahulu akan dilakukan uji kenormalan. Uji kenormalan menggunakan uji
Shapiro-Wilk diperoleh p-value untuk skor pre test dan post test masing-masing
-8
10 ×
3,601 dan
-5
10 ×
1,203
. Hal ini mengindikasikan tidak cukup bukti untuk menerima hipotesis null tentang kenormalan. Dengan kata lain, data tidak menyebar normal.
Selanjutnya akan dilakukan pengujian dengan metode nonparametric yaitu uji peringkat bertanda Wilcoxon Wilcoxon signed ranks test. Untuk melakukan uji peringkat bertanda
Wilcoxon diasumsikan beda atau selisih data simetrik dan data diukur pada skala ordinal, interval, atau rasio. Uji peringkat bertanda Wilcoxon menguji median selisih data. Untuk
melihat apakah pelatihan berpengaruh secara positif meningkatkan pemahaman guru hipotesisnya adalah sebagai berikut seperti pada persamaan 2. Hasil pengujian dengan
uji peringkat bertanda Wilcoxon diperoleh p-value =
-7
10 ×
2,522
. Berikut ini adalah luaran R untuk uji peringkat bertanda Wilcoxon untuk SLB.B
Sidakarya.
wilcox.testsdkpre.sid,sdkpos.sid,paired=TRUE,alternative=less Wilcoxon signed rank test with continuity correction
data: sdkpre.sid and sdkpos.sid V = 0, p-value = 2.522e-07
alternative
hypothesis: true
location shift
is less
than
42
Pada tingkat signifikansi 05
,
diperoleh .
05 ,
value p
Jadi dapat disimpulkan pada tingkat signifikansi
05 ,
hipotesis null diterima. Dengan kata lain, pelatihan efektif meningkatkan pemahaman guru-guru di SLB.B Denpasar dalam merancang media
audiovisual. Tabel 3. Skor Pre Test dan Post Test Peserta Pelatihan di SLB.B Denpasar
No Peserta
Skor Pre Test Skor Post Test
1 75
100 2
50 75
3 50
75 4
50 50
5 75
100 6
75 100
7 75
100 8
50 100
9 50
100 10
75 100
11 50
75 12
50 50
13 75
100 14
50 75
15 75
100 16
50 75
17 50
75 18
50 75
19 50
75 20
50 75
21 50
75 22
75 100
23 50
75 24
50 75
25 50
75 26
50 75
27 50
75 28
50 75
29 50
75
Selanjutnya analisis data dilakukan terhadap data SLB.B Jimbaran Tabel 4. Hipotesis untuk data di SLB.B Denpasar juga seperti pada persamaan 1. Namun,
terlebih dahulu akan dilakukan uji kenormalan. Uji kenormalan menggunakan uji Shapiro-Wilk diperoleh p-value untuk skor pre test dan post test masing-masing
-8
10 ×
1.622
dan
-8
10 ×
5,66
. Hal ini, seperti halnya pada data SLB.B Tabanan dan SLB.B Sidakarya, mengindikasikan tidak cukup bukti untuk menerima hipotesis null tentang
43
kenormalan. Dengan kata lain, data tidak menyebar normal. Selanjutnya akan dilakukan pengujian dengan metode nonparametric yaitu uji peringkat bertanda Wilcoxon
Wilcoxon signed ranks test. Tabel 4. Skor Pre Test dan Post Test Peserta Pelatihan di SLB.B Jimbaran
No Peserta
Skor Pre Test Skor Post Test
1 50
100 2
75 100
3 50
75 4
50 75
5 50
75 6
50 75
7 50
75 8
50 75
9 50
75 10
50 75
11 50
75 12
50 75
13 75
100 14
50 75
15 50
75 16
50 75
17 75
100 18
50 75
19 50
75 20
50 75
21 25
50 22
50 75
23 50
75 24
50 75
25 50
75 26
50 75
27 50
75 28
50 75
Untuk melakukan uji peringkat bertanda Wilcoxon diasumsikan beda atau selisih data simetrik dan data diukur pada skala ordinal, interval, atau rasio. Uji peringkat
bertanda Wilcoxon menguji median selisih data. Untuk melihat apakah pelatihan berpengaruh secara positif meningkatkan pemahaman guru hipotesisnya adalah sebagai
berikut seperti pada persamaan 2. Hasil pengujian dengan uji peringkat bertanda Wilcoxon diperoleh p-value =
-7
10 ×
1.,2
.
44
Berikut ini adalah luaran R untuk uji peringkat bertanda Wilcoxon untuk SLB.B Jimbaran.
wilcox.testjimpre.jim,jimpos.jim,paired=TRUE,alternative=less Wilcoxon signed rank test with continuity correction
data: jimpre.jim and jimpos.jim V = 0, p-value = 1.02e-07
alternative
hypothesis: true
location shift
is less
than
Pada tingkat signifikansi 05
,
diperoleh .
05 ,
value p
Jadi dapat disimpulkan pada tingkat signifikansi
05 ,
hipotesis null diterima. Dengan kata lain, pelatihan efektif meningkatkan pemahaman guru-guru di SLB.B Jimbaran dalam merancang media
audiovisual. Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa pelatihan yang
diberikan memberikan manfaat bagi peningkatan pengetahuan guru-guru di ketiga sekolah mitra kegiatan SLB.B Tabanan, SLB.B Sidakarya, dan SLB.B Jimbaran tentang
cara-cara mengembangkan media pembelajaran audiovisual berbasis IT untuk pengajaran Matematika dan IPA siswa tuna rungu di Sekolah Luar Biasa Bagian B.
5.4 Luaran yang Dihasilkan dari Pelaksanaan Program
Keseluruhan kegiatan, dari awal sampai akhir menghasilkan luaran berupa: 1.
Buku Panduan Perancangan Media Pembelajaran Audiovisual untuk Siswa Tuna Rungu. Buku panduan ini disusun oleh pelaksana kegiatan yang diperuntukkan
untuk guru-guru di SLB.B dalam pengembangan media pembelajaran audiovisual. Materi yang disajikan dalam buku ini meliputi: Bab I. Prinsip Komunikasi Total
Latar Belakang, Contoh-Contoh Bentuk Komunikasi Total, Kelemahan dan Kelebihan Komunikasi Total, Media Pembelajaran Audiovisual; Bab II. Prinsip
Desain Audio Visual Latar Belakang, Subjudul Subtitle, Keterbacaan Readability, HurufFont, Warna, Kecepatan Teks, Animasi, Tata Letak Jendela
Window Layout, Fokus, Penyajian Teks, Komponen Verbal, Komponen Nonverbal; Bab III. Panduan Memanfaatkan Fasilitas Microsoft Powerpoint 2013
untuk Perancangan Media Audiovisual; dan Bab IV. Membuat Animasi Sederhana
dengan Marcomedia Flash.
2.
Bahan Ajar Matematika Kelas IV SDLB.B
3.
Bahan Ajar IPA Kelas IV SDLB.B
45
4. Artikel Ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelas yang dilakukan oleh guru di SLB.B
Denpasar yang merupakan hasil pendampingan dari Pelaksana kegiatan program IbM ini. Artikel ini sudah dipresentasikan pada siding paralel Seminar Nasional
Matematika 2014, yang diselenggarakan oleh Jurusan Matematika FMIPA
Universitas Udayana, di Kampus Jl. PB Sudirman pada tanggal 6 November 2014.
5.
Media Audiovisual untuk pembelajaran IPAKelas IV SDLB
6.
Media Audiovisual untuk pembelajaran Matematika Kelas IV SDLB
7.
Draft Artikel Ilmiah hasil kegiatan program IbM
8. Poster
9. Laporan Akhir Program IbM I
b
M Kelompok Guru Mata Pelajaran Matematika dan IPA Sekolah Luar Biasa Bagian B SLBB
46
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan pada pelaksanaan kegiatan dari awal sampai akhir, bebrapa hal yang
dapat disimpulkan adalah sebagai berikut: 1.
Tahapan pelaksanaan In House Training secara umum dapat dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama, merupakan persiapan pembelajaran dan tahap kedua
adalah tahap pengamatan dan diskusi. Pada tahap persiapan pembelajaran, kegiatan yang dilaksanakan adalah: Pelaksanaan pelatihan; Menyiapkan,
mengembangkan, dan mengoperasionalkan lesson plan dan perangkat pembelajaran; Menyamakan konsep dasar matematika dan IPA yang akan dipakai
dalam pembelajaran terkait media pembelajaran audiovisual untuk siswa tuna tungu; Melakukan simulasipeer teaching dengan guru sebelum pelaksanaan real
teaching di kelas; Mendiskusikan dan refleksi hasil real teaching; dan Menindak lanjuti hasil diskusi dan refleksi.
2. Pelaksanaan pelatihan Pengembangan Media Pembelajaran Audiovisual di ketiga
sekolah mitra dilaksanakan dengan materi yang disajikan meliputi: 1 Tujuan program, manfaat bagi sekolah mitra, teknis pelaksanaan program pendampingan,
dan evaluasi program; 2 Prinsip perancangan media audiovisual untuk siswa tuna rungu, meliputi materi prinsip komunikasi total dan prinsip desain media
audiovisual; dan 3 Penyajian contoh media audiovisual, dengan mengambil materi mata pelajaran matematika untuk SDLB.B pokok bahasan pecahan senilai.
3. Kegiatan menyiapkan dan mengembangkan perangkat pembelajaran berupa
penyusunan bahan ajar matematika dan IPA Kelas IV SDLB. Materi-materi yang disajikan dalam bahan ajar ini disesuaikan dengan karakteritik siswa yang
berkebutuhan khusus di SDLB dan dibuat diupayakan di bawah standar dari siswa normal. Disesuaikan dengan silabus dan RPP yang dipergunakan di SLB.B, materi
Matematika Kelas IV SDLB.B dan IPA Kelas IV SDLB.B. 4.
Simulasipeer teaching dengan guru sebelum pelaksanaan real teaching di kelas, dilakukan dengan simulasi mengajar dengan media pembelajaran audiovisual.
Dalam simulasi ini guru-guru diarahkan untuk selama penayangan media audiovisual, guru membantu dengan komunikasi total dalam menjelaskan materi.