GAMBARAN PROGRAM SKRINING TUBERKULOSIS MENGGUNAKAN GEJALA DAN RONTGEN PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI KOTA DENPASAR.

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

GAMBARAN PROGRAM SKRINING TUBERKULOSIS

MENGGUNAKAN GEJALA DAN RONTGEN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI KOTA DENPASAR

Dewa Gede Aditya Rama Prayoga

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(2)

UNIVERSITAS UDAYANA

GAMBARAN PROGRAM SKRINING TUBERKULOSIS

MENGGUNAKAN GEJALA DAN RONTGEN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI KOTA DENPASAR

Dewa Gede Aditya Rama Prayoga NIM. 1220025007


(3)

UNIVERSITAS UDAYANA

GAMBARAN PROGRAM SKRINING TUBERKULOSIS

MENGGUNAKAN GEJALA DAN RONTGEN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI KOTA DENPASAR

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

DEWA GEDE ADITYA RAMA PRAYOGA NIM. 1220025007

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 9 Juni 2016

Tim Penguji Skripsi Penguji I

Dr. drh. I Made Subrata, M.Erg NIP. 19681120 200801 1 013


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 9 Juni 2016

Pembimbing

dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid. NIP. 19810404 200604 1 005


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas berkat dan rahmat-Nya dapat diselesaikannya Skripsi yang berjudul “Gambaran Program Skrining Tuberkulosis Menggunakan Gejala dan Rontgen pada

Pasien Diabetes Mellitus di Kota Denpasar” ini tepat pada waktunya.

Ucapan terima kasih diberikan atas kerjasamanya dalam penyusunan proposal ini kepada:

1. Bapak dr. Md. Ady Wirawan, MPH, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Ibu Ni Luh Putu Suariyani, SKM, M.Hlth&IntDev selaku Kepala Bagian Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Bapak dr. Ketut Suarjana, MPH selaku dosen Pembimbing Akademis yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penyusunan skripsi ini. 4. Bapak dr. Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing serta memberi masukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH selaku Ketua Tim penelitian “Peningkatan Notifikasi Kasus TB dengan Menerapkan Skrining TB pada Pasien DM serta Eksplorasi Pendukung dan Penghambat Pelaksanaannya di Puskesmas di Kota Denpasar” yang telah memberi masukan dan dukungan


(7)

7. Keluarga yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam penyusunan proposal penelitian ini.

8. 11 Orang teman-teman yang luar biasa sebagai Petugas Lapangan Program Skrining TB-DM yang telah membantu dan meluangkan waktunya dalam proses pengambilan data di seluruh puskesmas di Kota Denpasar.

9. Semua teman - teman PSKM angkatan 2012 yang selalu memberikan saran, kritik dan membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.


(8)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

SKRIPSI MEI 2016

Dewa Gede Aditya Rama Prayoga

GAMBARAN PROGRAM SKRINING TUBERKULOSIS

MENGGUNAKAN GEJALA DAN RONTGEN PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI KOTA DENPASAR

ABSTRAK

Diabetes melitus merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Tuberkulosis. Penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan prevalensi TB pada pasien DM sebesar 28,2%. Case Notification Rate (CNR) TB di Provinsi Bali belum memenuhi target peningkatan tiap tahunnya. Pemeriksaan rontgen dan gejala klinis mampu meningkatkan angka penemuan kasus TB aktif sebesar 2,5 kali dibandingkan pemeriksaan gejala klinis saja. Program skrining TB pada pasien DM merupakan pilot project yang mulai dilaksanakan di Kota Denpasar. Maka dari itu penting untuk melihat gambaran hasil skrining TB menggunakan gejala dan rontgen sebagai pintu masuk penemuan kasus TB.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan rancangan cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini yaitu 104 pasien DM yang menjalani skrining TB secara tuntas di Kota Denpasar. Sampel dipilih secara consecutive sampling. Data dikumpulkan melalui wawancara dan dianalisis secara univariabel dan bivariabel

Hasil penelitian menunjukkan dari 104 pasien DM yang bersedia mengikuti skrining secara tuntas, pasien DM yang terdiagnosis TB BTA (+) yaitu 1,92%, Non TB (88,46%), TB Klinis (9,62%). Pasien DM yang terdiagnosis TB sebagian besar menunjukkan gejala klinis TB yaitu batuk produktif (100%), batuk lama > 1 Minggu (100%), batuk berdarah (50,00%), demam (subfebril) hilang timbul (50,00%), keringat malam tanpa aktivitas (100%), serta penurunan berat badan (50,00%). Berdasarkan hasil pemeriksaan rontgen menunjukkan 50,00% pasien DM yang terdiagnosis TB menunjukkan hasil abnormal sugestif TB.

Diperlukan adanya KIE secara terpadu kepada pasien DM terutama terkait kormobiditi TB-DM. Selain itu sangat penting untuk mengadakan building workshop kepada stakeholder terkait tentang prosedur skrining TB pada pasien DM dan diagnosis tepat penyakit TB.


(9)

SCHOOL OF PUBLIC HEALTH

FACULTY OF MEDICINE UDAYANA UNIVERSITY MAINSTREAM OF EPIDEMIOLOGY

MINI THESIS MAY 2016

Dewa Gede Aditya Rama Prayoga

THE OVERVIEW OF SCREENING PROGRAM OF TUBERCULOSIS USING SYMPTOMS AND RONTGEN IN PATIENTS WITH DIABETES

MELLITUS IN DENPASAR CITY ABSTRACT

Diabetes mellitus is one of the risk factors of tuberculosis (TB). Research conducted in Indonesia showed the prevalence of TB in Patients with DM was 28,2%. Case notification rate (CNR) TB in Bali Province didn’t meet the target which have to increase in every year. Examination of Rontgen and clinical symptoms able to increase the discovery the TB active cases 2.5 times higher than just examination of clinical symptoms. Screening program of TB in Patients with DM is a pilot project started in the Denpasar City. Therefore, it is important to know the overview of screening results of TB using symptoms and rontgen as an entrance of discovery TB cases.

The design of research was observational descriptive with cross-sectional approach. Sample size in this research was 104 patients with DM who joined screening of TB holistically in Denpasar City. Sample selected through consecutive sampling. Data was collected through interviews and analyzed using univariable and bivariable.

The research results showed of 104 patients with DM who were willing to follow screening holistically, patients with DM diagnosed TB smear (+) (1,92%), Non TB (88,46%), clinical TB (9,62%). Most of the patients with DM diagnosed TB showed signs of TB clinical symptoms such as productive cough (100%), coughing long more than 1 week (100%), bloody expectoration (50,00%), fever (50,00%), night sweat without activity (100%), and weight lost (50,00%) .Based on the results of the examination of x-ray showed 50,00% of patients with DM diagnosed TB showed abnormal suggestive of TB.

Needs of communication, information, and education (CIE) to the patients with DM especially towards comorbidity TB-DM. Beside of that, it is very important to conduct building workshop to stakeholders to discuss about procedure of screening tb in patients with DM and appropriate diagnose of TB.

Keywords: screening pulmonary tuberculosis, symptoms, rontgen, diabetes mellitus


(10)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Pertanyaan Penelitian... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.4.1 Tujuan Umum ... 6

1.4.2 Tujuan Khusus... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 7

1.5.2 Manfaat Praktis ... 7

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Penyakit Tuberkulosis ... 8

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis ... 8

2.1.2 Cara Penularan Tuberkulosis ... 8

2.1.3 Klasifikasi Tuberkulosis ... 9


(11)

2.3.3 Pemeriksaan dahak mikroskopis (sputum) ... 20

2.3.4 Skrining Tuberkulosis pada Pasien DM ... 21

2.3.5 Algoritma Pemeriksaan dan Diagnosis TB pada pasien DM ... 23

2.4 Karakteristik pasien DM yang terdiagnosis TB... 24

2.4.1 Karakteristik Sosio Demografi ... 24

2.4.2 Karakteristik Klinis ... 26

2.5 Diagnosis Tuberkulosis pada Pasien DM ... 27

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 29

3.1 Kerangka Konsep ... 29

3.2 Variabel dan Definisi Operasional Penelitian ... 30

3.2.1 Variabel Penelitian ... 30

3.2.2 Definisi Operasional Variabel ... 31

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN... 38

4.1 Desain Penelitian ... 38

4.2 Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian ... 38

4.3 Populasi dan Sampel ... 38

4.3.1 Populasi ... 38

4.3.2 Sampel ... 38

4.3.3 Perhitungan Besar Sampel dan Teknik Sampling ... 39

4.4 Kriteria Sampel ... 40

4.4.1 Kriteria Inklusi ... 40

4.4.2 Kriteria Eksklusi ... 40

4.5 Pengumpulan Data ... 40

4.6 Pengolahan Data ... 42

4.7 Analisis Data ... 43

BAB V HASIL PENELITIAN ... 45

5.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 45

5.2 Gambaran Secara Keseluruhan Hasil Skrining Tuberkulosis pada Pasien Diabetes Melitus di Seluruh Puskesmas Kota Denpasar ... 46

5.3 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian ... 50

5.3.1 Gambaran Karakteristik Sosio Demografi Subjek Penelitian ... 52


(12)

5.4 Gambaran Hasil Pemeriksaan Gejala Klinis Tuberkulosis pada Subjek

Penelitian ... 58

5.5 Gambaran Hasil Pemeriksaan Rontgen Subjek Penelitian ... 59

5.6 Gambaran Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Subjek Penelitian ... 61

5.7 Gambaran Hasil Diagnosis Skrining Tuberkulosis pada Pasien Diabetes Melitus ... 62

5.8 Gambaran Spektrum Klinis Tuberkulosis Berdasarkan Karakteristik Subjek Penelitian ... 63

5.8.1 Gambaran Spektrum Klinis Tuberkulosis Berdasarkan Karakteritik Sosiodemografi Subjek Penelitian ... 63

5.8.2 Gambaran Spektrum Klinis Tuberkulosis Berdasarkan Karakteristik Klinis Subjek Penelitian ... 65

5.9 Gambaran Spektrum Klinis Tuberkulosis Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Gejala Klinis Tuberkulosis Subjek Penelitian ... 66

5.10 Gambaran Spektrum Klinis Tuberkulosis Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Rontgen Subjek Penelitian ... 68

BAB VI PEMBAHASAN ... 70

6.1 Gambaran Program Skrining Tuberkulosis Menggunakan Gejala dan rontgen pada Pasien Diabetes Mellitus ... 70

6.2 Keunggulan dan Kelemahan Penelitian ... 89

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 91

7.1 Simpulan ... 91

7.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Nilai Sensitivitas dan Nilai Spesitivitas Skrining TB menggunakan Gejala Klinis ……….16 Tabel 2.2 Nilai Sensitivitas dan Nilai Spesitivitas Skrining TB menggunakan

rontgen Paru………...19

Tabel 2.3 Nilai Sensitivitas dan Nilai Spesitivitas Alat Diagnosis TB Menggunakan Pemeriksaan Dahak Mikroskopis ………..21 Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian ………...31 Tabel 5.1 Jumlah Subjek Penelitian di Seluruh Puskesmas Kota Denpasar ……..51 Tabel 5.2 Karakteristik Sosiodemografi Subjek Penelitian ………...…....53 Tabel 5.3 Akses Geografis Subjek Penelitian ….………..55 Tabel 5.4 Karakteristik Klinis Subjek Penelitian ………..57 Tabel 5.5 Hasil Pemeriksaan Gejala Klinis Tuberkulosis Pada Subjek Penelitian ………59 Tabel 5.6 Hasil Pemeriksaan rontgen Subjek Penelitian ...……… 60 Tabel 5.7 Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Subjek Penelitian …………....61 Tabel 5.8 Hasil Diagnosis Berdasarkan Spektrum Klinis Tuberkulosis …………62 Tabel 5.9 Spektrum Klinis Tuberkulosis Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi Subjek Penelitian ………...64 Tabel 5.10 Spektrum Klinis Tuberkulosis Berdasarkan Karakteristik Klinis Subjek

Penelitian ...………65

Tabel 5.11 Spektrum Klinis Tuberkulosis Berdasarkan Pemeriksaan Gejala Klinis Tuberkulosis Subjek Penelitian ……….67 Tabel 5.12 Spektrum Klinis Tuberkulosis Berdasarkan Pemeriksaan Rontgen Subjek Penelitian ………...69


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Algoritma Pemeriksaan dan Diagnosis TB pada pasien DM Disesuaikan dengan Protap TB DOTS ………...23 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ………..29 Gambar 5.1 Hasil Skrining TB disesuaikan Protap Algoritma Skrining TB pada Pasien DM ……….47


(15)

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Daftar Lambang

oC : Derajat Celcius.

% : Persen

> : Lebih besar < : Lebih kecil

≥ : Lebih besar sama dengan ≤ : Lebih kecil sama dengan.

x : Kali

: : Titik dua

+ : Positif

- : Negatif

Daftar Singkatan

BB : Berat badan

BTA : Bakteri Tahan Asam CI : Confidence Interval CNR : Case Notification Rate

CT : Computed Tomography

Depkes : Departemen Kesehatan Dinkes : Dinas Kesehatan DM : Diabetes Melitus

DOTS : Directly Observed Treatment Shortcourse

dsb : dan sebagainya


(16)

FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama HIV : Human Immunodeficiency Virus

IFN : Interferon

IMT : Indeks Masa Tubuh Kemenkes : Kementrian Kesehatan KGB : Kelenjar Getah Bening MDR : Multi Drug Resistan NPN : Nilai Prediktif Negatif NPP : Nilai Prediktif Positif OAT : Obat Anti Tuberkulosis

OR : Odds Ratio

PA : Postero-Anterior

PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia SPS : Sewaktu, Pagi dan Sewaktu

SR : Succes Rate

TB : Tuberkulosis

TNF : Tumor Necrosis Factor WHO : World Health Organization


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Jadwal Penelitian

2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden (Informed Consent) 3. Kuesioner Penelitian

4. Form 1. Ceklist Pemeriksaan Pasien TB-DM 4. Ethical Clearance Penelitian

5. Dokumentasi Penelitian 6. Analisis Data Penelitian


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Pada umumnya Tuberkulosis terjadi pada paru, tetapi dapat pula menyerang organ lain pada sepertiga kasus. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang menjadi penyebab utama kematian di dunia. Berdasarkan data Global Tuberculosis Report, pada tahun 2014 sebanyak 6 juta kasus baru TB telah dilaporkan dengan jumlah 1,5 juta kasus kematian. Diperkirakan kurang dari 63% dari 9,6 juta penduduk di dunia merupakan penderita TB, hal ini menandakan bahwa sekitar 37% kasus baru masih belum terdiagnosa (WHO, 2015).

Di Indonesia, Tuberkulosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan merupakan negara dengan penderita ke-2 terbanyak di dunia setelah India. Berdasarkan data Global Tuberculosis Report, angka insiden TB di Indonesia tahun 2014 yaitu 399 per 100.000 penduduk (WHO, 2015). Hal tersebut menujukkan adanya peningkatan angka insiden TB pada tahun 2013 yaitu 183 per 100.000 penduduk (WHO, 2014). Selain itu angka kematian yang disebabkan oleh penyakit TB menunjukkan adanya peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan WHO, angka kematian TB yaitu mencapai 25 per 100.000 penduduk pada tahun 2013 dan meningkat menjadi 41 per 100.000 penduduk pada tahun 2014.


(19)

2 kasus TB salah satunya yaitu adanya trend peningkatan kasus TB pada pasien DM. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pealing et al tahun 2015 dengan rancangan penelitian kohort diketahui bahwa insiden kasus TB pada penderita DM yaitu 16,2 per 100.000 penduduk per tahun (Pealing et al, 2015). Selain itu berdasarkan studi di Taiwan disebutkan bahwa DM merupakan komorbid dasar tersering pada pasien TB yang telah dikonfirmasi dengan kultur dengan persentase kasus sekitar 21,5% pasien (Dooley, 2009). Sedangkan di Indonesia berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan oleh Wijayanto et al pada tahun 2015, diperoleh hasil bahwa sebanyak 28,2% pasien DM terdiagnosis TB (Wijayanto, et al, 2015). Hal ini menunjukkan timbulnya permasalahan baru dalam penatalaksanaan program penanggulangan TB di dunia khususnya di Indonesia.

Penyakit DM merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB. Telah banyak penelitian yang menyatakan adanya hubungan antara penyakit DM yang meningkatkan risiko TB. Dalam suatu penelitian menggunakan rancangan penelitian kohort, diketahui bahwa penyakit DM mempunyai risiko 3,11 kali untuk terkena TB (Jeon, 2008). Selaras dengan penelitian yang diakukan oleh Alavi, et al tahun 2012 menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara DM dan TB dengan odds ratio (OR=2,95). Kegagalan sistem imun diduga merupakan penyebab kerentanan pasien DM untuk terinfeksi TB (Cahyadi et al, 2011)

Salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TB adalah Case Notification Rate (CNR), yaitu angka yang menunjukkan jumlah seluruh pasien TB yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu (Kemenkes RI, 2015a). CNR digunakan untuk menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di suatu wilayah. Secara global, angka


(20)

3 penemuan kasus TB saat ini masih dikatakan sangat rendah. Berdasarkan data WHO tahun 2011, angka penemuan kasus TB pada populasi umum hanya mencapai 78 per 100.000 penduduk (WHO, 2011). Namun berdasarkan penelitian skrining TB pada populasi DM yang dilakukan di China pada tahun 2012, angka CNR pada 3 kuarter skrining diperoleh hasil bahwa CNR TB pada populasi DM berturut-turut mencapai 391, 352 dan 774 per 100.000 penduduk (Lin et al, 2012). Hal tersebut menunjukkan angka penemuan kasus TB pada populasi DM lebih tinggi dibandingkan angka penemuan kasus TB pada populasi umum.

Di Provinsi Bali berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2014, CNR kasus TB pada populasi umum telah mengalami peningkatan selama 3 tahun berturut-turut, namun CNR TB pada tahun 2013 dan 2014 diketahui belum mengalami peningkatan secara signifikan dengan target peningkatan 5% tiap tahunnya (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2015). Oleh karena itu sangat diperlukan adanya penapisan TB pada pasien DM sebagai pintu masuk dalam upaya penemuan kasus TB lebih terpadu. Selain itu belum adanya data yang menyatakan angka CNR TB pada populasi DM di Provinsi Bali.

Skrining TB pada populasi DM merupakan salah satu upaya untuk mengintensifikasi penemuan kasus TB sehingga dapat meningkatkan angka CNR TB. Penemuan kasus TB pada populasi DM dapat dilakukan dengan menerapkan skrining yang didasarkan pada beberapa pemeriksaan. Berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis (2014), skrining TB dilakukan melalui


(21)

4 TB mampu meningkatkan angka penemuan kasus TB aktif sebesar 2,5 kali dibandingkan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan gejala klinis saja. Hal ini disebabkan melalui adanya kelainan pada hasil pemeriksaan rontgen dapat meningkatkan sensitivitas dalam penemuan Mycobacterium tuberculosis.

Melalui penerapan skrining TB dengan melakukan beberapa pemeriksaan merupakan dasar yang digunakan dalam penetapan dan diagnosis kasus TB. Oleh karena itu untuk dapat menggambarkan degradasi berat ringannya penyakit TB maka diagnosis TB dispesifikasikan ke dalam beberapa klasifikasi diagnosis yang dikenal dengan Spektrum klinis TB. Berdasarkan literatur menyebutkan spektrum klinis TB dibedakan menjadi beberapa klasifikasi TB yaitu Non TB, TB BTA (+), TB BTA (-), TB Klinis, dan pasien pernah TB (CDC, 2012). Sehingga untuk memudahkan dalam penatalaksanaan dan pengobatan yang tepat pada pasien, maka penting untuk mengklasifikasikan spektrum klinis TB untuk mengurangi angka mobiditas dan mortalitas TB.

Saat ini Provinsi Bali khususnya Kota Denpasar bersama dengan Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana telah mulai melaksanakan konsensus pengelolaan TB-DM. Program ini merupakan salah satu pilot project program penemuan dan penatalaksanaan kasus TB yang difasilitasi oleh Kemenkes RI mulai Januari tahun 2016. Melihat angka CNR TB di Provinsi Bali yang belum mencapai target maka salah satu upaya yang dilakukan yaitu melakukan skrining TB pada populasi DM. Disisi lain tingginya kasus TB pada pasien DM pada beberapa penelitian menunjukkan tingginya potensi pasien DM untuk terjangkit TB. Berdasarkan data STP Dinas Kesehatan Kota Denpasar periode Januari hingga Agustus Tahun 2015, tercatat total kunjungan penderita DM di Puskesmas Kota


(22)

5 Denpasar mencapai angka 2496 pasien DM, sedangkan di rumah sakit mencapai 1896 pasien DM (Data STP Dinkes Kota Denpasar, 2015). Angka tersebut menujukkan masih tingginya angka kejadian pasien DM yang tercatat di Kota Denpasar yang memiliki kemungkinan untuk menderita TB.

Deteksi awal dapat meningkatkan penemuan dan penatalaksanaan terhadap kedua penyakit ini. Maka dari itu, sangat penting untuk melihat gambaran pelaksanaan program skrining menggunakan pemeriksaan gejala dan rontgen pada pasien DM di Kota Denpasar, sehingga diharapkan melalui pelaksanaan program skrining dapat meningkatkan angka CNR TB pada pasien DM yang kemungkinan menderita TB.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diketahui bahwa pada saat ini selain adanya peningkatan kasus TB pada populasi umum, saat ini juga diketahui mulai adanya peningkatan tren kasus TB pada pasien yang menderita DM. Penemuan kasus TB pada populasi DM diketahui lebih besar dibandingkan angka penemuan kasus TB pada populasi umum. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa DM merupakan salah satu faktor risiko TB. Di Provinsi Bali pada tahun 2014, angka CNR TB pada populasi umum masih belum mencapai target peningkatan 5% dari tahun 2013. Dalam upaya meningkatkan CNR TB sangat penting untuk melakukan skrining TB pada populasi DM sebagai pintu penemuan kasus TB. Selain itu sebagai upaya dalam mendukung pelaksanaan program kolaborasi TB-DM di Kota


(23)

6 “Bagaimana gambaran hasil skrining TB dengan menggunakan gejala dan rontgen pada pasien DM di Kota Denpasar?”

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik pasien DM yang melakukan skrining TB di Kota Denpasar?

2. Bagaimana gambaran spektrum klinis TB berdasarkan karakteristik pasien DM di Kota Denpasar?

3. Bagaimana gambaran spektrum klinis TB berdasarkan gejala klinis TB pada pasien DM di Kota Denpasar?

4. Bagaimana gambaran spektrum klinis TB berdasarkan pemeriksaan rontgen pada pasien DM di Kota Denpasar?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan program skrining TB menggunakan pemeriksaan gejala klinis TB dan pemeriksaan rontgen pada pasien DM di Kota Denpasar.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien DM yang melakukan skrining TB di Kota Denpasar.

2. Untuk mengetahui gambaran spektrum klinis TB berdasarkan karakteristik pasien DM di Kota Denpasar.

3. Untuk mengetahui gambaran spektrum klinis TB berdasarkan pemeriksaan gejala klinis TB pada pasien DM di Kota Denpasar.

4. Untuk mengetahui gambaran spektrum klinis TB berdasarkan pemeriksaan rontgen pada pasien DM di Kota Denpasar.


(24)

7 1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah informasi di bidang kesehatan terkait penemuan kasus TB dengan melakukan skrining menggunakan gejala dan rontgen pada pasien DM. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan penatalaksanaan kasus TB pada pasien DM lebih awal. 1.5.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam upaya pengembangan program kolaborasi TB-DM di Kota Denpasar.

2. Melalui penelitian ini dapat diketahui karakteristik pasien DM yang kemungkinan mengalami TB di Kota Denpasar.

3. Penelitian dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk meningkatkan kinerja program kolaborasi TB-DM di Kota Denpasar.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini merupakan penelitian di Bidang Epidemiologi sebagai upaya penatalaksanaan dan penemuan kasus TB melalui skrining TB menggunakan pemeriksaan gejala klinis dan rontgen pada pasien DM di Kota Denpasar.


(25)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Tuberkulosis 2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Secara umum bakteri ini berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron dan lebar 0,2-0,6 mikron. (Kemenkes RI, 2014). Terdapat dua jenis tuberculosis yaitu tuberculosis laten dan tuberculosis aktif. Tuberculosis laten yaitu manusia pembawa bakteri tidak mengalami sakit dan tidak menularkan bakteri Mycobacterium tuberculosis kepada orang lain, sedangkan tuberkulosis aktif yaitu penderita yang terinfeksi mengalami sakit dan menularkan bakteri Mycobacterium tuberkulosis kepada orang lain melalui droplet.

2.1.2 Cara Penularan Tuberkulosis

Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif yang ditularkan melalui penderita TB yang batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain. Basil Tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak dengan masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Kemenkes RI, 2014). Namun pada pasien dengan hasil pemeriksaan BTA negatif pula mampu menularkan penyakit Tuberkulosis. Tingkat penularan TB pada pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur postif adalah 26% dan bila dibandingkan dengan TB BTA negative dengan hasil negatif yaitu 17%.


(26)

9 2.1.3 Klasifikasi Tuberkulosis

Berdasarkan Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis Indonesia, klasifikasi TB dibedakan menjadi:

1. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi dari Penyakit

Berdasarkan lokasi anatomi penyakit, pasien TB dibedakan menjadi dua yaitu: Tuberkulosis paru dan Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis Paru adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru tidak termasuk Pleura. Tuberkulosis Paru ditandai dengan adanya lesi pada jaringan paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru (Kemenkes RI, 2014). Sedangkan tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. 2. Klasifikasi Berdasarkan Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis TB Paru dibedakan menjadi TB Paru BTA positif (+) dan TB Paru BTA negatif (-). Kriteria pasien TB paru dikatakan sebagai BTA (+) apabila minimal terdapat 1 dari 3 spesimen dahak SPS (sewaktu pagi sewaktu) dengan hasil (+) positif. Sedangkan TB Paru BTA negatif (-) yaitu dengan kriteria semua hasil dari 3


(27)

10 a. Baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kambuh (Relaps) adanya pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

d. Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya. f. Lain-lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.

Kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif (+) setelah selesai pengobatan ulangan. 2.1.4 Spektrum Klinis Tuberkulosis

Spektrum klinis TB merupakan klasifikasi yang menggambarkan degradasi berat ringannya penyakit TB. Pengklasifikasian spektrum TB berdasarkan pathogenesis penyakit TB yang diketahui melalui pemeriksaan gejala klinis TB, rontgen dan pemeriksaan dahak mikroskopis. Spektrum klinis TB digunakan sebagai dasar operasional dalam program penatalaksanaan kasus TB di masyarakat. Selain itu klasifikasi spektrum klinis TB ini dapat memberikan dasar kepada dokter untuk menggambarkan tingkat keparahan penyakit TB sehingga dapat digunakan sebagai


(28)

11 pengembangan penyakit dan pengobatan yang tepat penyakit TB. Adapun klasifikasi spektrum klinis TB dibedakan menjadi beberapa klasifikasi meliputi:

1. Non TB/ no TB exposure/no infected

Pasien Non TB/no TB exposure adalah pasien yang tidak memiliki riwayat menderita TB sebelumnya yang didukung dengan tidak adanya infeksi bakteri mycobacterium tuberculosis sehingga tidak menunjukkan gejala klinis TB pada pasien (CDC, 2012)

2. TB BTA Positif (+)

Pasien dikatakan TB BTA positif apabila pasien menunjukkan ada atapun tidak nya gejala klinis TB yang dialami. Selain itu untuk mengatahui keberadaan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis sewaktu, pagi dan sewaktu (SPS). Apabila salah satu menunjukkan hasil positif maka hasil BTA (+). Pemeriksaan radiologis/ rontgen menunjukkan hasil positif (abnormal). Kombinasi yang menunjukkan TB BTA positif yaitu pemeriksaan dahak mikroskopis ++, pemeriksaan dahak mikroskopis +, biakan +, dan pemeriksaan dahak mikroskopis +, rontgen + (PDPI, 2006)

3. TB BTA Negatif (-)

TB BTA negatif (-) apabila hasil pemeriksaan menunjukkan hasil positif pada gejala klinis TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis menunjukkan hasil negatif (-). Kriteria pasien TB BTA (-) didasarkan pada kombinasi yaitu


(29)

12 tidak ada gejala klinis TB ataupun pemeriksaan radiolografi tidak merujuk pada TB aktif atau gambaran lesi TB inaktif.

5. Suspect TB/ TB Klinis

Pasien dikatakan suspect TB apabila terdapat tanda-tanda dan gejala klinis TB, namun belum lengkap melakukan pemeriksaan skrining (CDC, 2012). 2.1.5 Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis

Secara global, prevalensi TB paru telah meingkat tiap tahunnya. Prevalensi TB di dunia dinyatakan meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan laporan Global Tuberculosis Report Pada tahun 2012, prevalensi TB di dunia mencapai 169 per 100.000 penduduk dan menjadi 174 per 100.000 penduduk per tahun pada tahun 2014. Di sisi lain TB merupakan penyebab kematian 1,5 juta penduduk tiap tahunnya (WHO, 2015). Di Iran prevalensi TB 23 per 100.000 penduduk pada tahun 2010 (WHO, 2010). Penyakit DM juga mengalami peningkatan prevalensi tiap tahunnya terutama DM tipe 2. Pada tahun 2010 jumlah penderita diabetes di dunia mencapai 285 juta orang dan menyebabkan 3,5 juta kematian (Ruslami, 2010a). Asia merupakan pusat perkembangan DM dimana kontribusi terbesar berasal dari India dan china (Harries, 2011). Di dunia sebanyak 70% penderita TB berada pada negara yang mengalami endemik DM (Lonroth, 2010). Sebanyak 8 dari 10 negara yang dengan insiden DM yang tinggi juga merupakan negara dengan insiden TB terbesar menurut WHO (Restrepo, 2007).

Indonesia merupakan negara sebagai penyumbang penderita TB terbesar kedua di dunia (WHO, 2015). Studi pada negara berkembang dan maju menemukan bahwa diabetes berhubungan dengan peningkatan risiko TB (Ruslami, 2010b). Berdasarkan 13 hasil penelitian observasional


(30)

13 ditemukan bahwa orang dengan DM memiliki risiko 3.11 kali lebih besar terkena TB diabnding orang tanpa DM (Jeon, 2008). Dalam studi terbaru di Taiwan disebutkan bahwa diabetes merupakan komorbid dasar tersering pada pasien TB yang telah dikonfirmasi dengan kultur, terjadi pada sekitar 21,5% pasien (Dooley, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alisjahbana et al di Indonesia pada tahun 2001-2005, DM lebih banyak ditemukan pada pasien baru TB paru dibandingkan dengan non TB (Alisjahbana, 2006). Berdasarkan data WHO tahun 2011, angka penemuan kasus TB pada populasi umum hanya mencapai 78 per 100.000 penduduk (WHO, 2011). Apabila dibandingkan dengan angka penemuan kasus TB pada populasi DM yang lebih tinggi. Berdasarkan penelitian skrining TB pada populasi DM yang dilakukan di China, angka CNR pada 3 kuarter skrining diperoleh hasil bahwa CNR TB pada populasi DM berturut-turut mencapai 391, 352 dan 774 per 100.000 penduduk (Lin et al, 2012).

2.2 Penyakit Tuberkulosis Pada Pasien Diabetes Mellitus

Peningkatan risiko tuberkulosis aktif pada penderita DM diduga akibat dari gangguan sistem imun yang ada pada penderita DM, peningkatan daya lekat kuman Mycobacterium tuberculosis pada sel penderita DM, adanya komplikasi mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati, dan banyaknya intervensi medis pada pasien tersebut. Gangguan fungsi dari endotel kapiler vaskular paru, kekakuan korpus sel darah merah, perubahan kurva disosiasi oksigen akibat kondisi


(31)

14 Kegagalan sistem imun menjadi penyebab DM sebagai faktor risiko aktivasi TB laten. Dikatakan bahwa DM memiliki potensi untuk bermanifestasi ke dalam bentuk klinis yang lebih berat (Restrepo, et al, 2008). Respons selular baik innate maupun adaptive menyebabkan gangguan fungsi pada pasien DM, padahal respons selular merupakan respons yang paling penting untuk membatasi infeksi TB. Secara umum pada penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan jumlah sel limfosit, makrofag, monosit, namun satu penelitian menunjukkan jumlah limfosit yang menurun pada pasien TB dengan DM dibandingkan pasien TB tanpa DM (Aweis, et al, 2010). Kadar sitokin TNF- dan IFN- meningkat pada pasien dengan TB dan DM, kedua sitokin ini penting untuk aktivasi makrofag dan membatasi infeksi. Sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun baik innate immunity maupun adaptive immunity sangat berperan dalam pertahanan tubuh terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis yang kemudian dapat menginduksi imunitas seluler tipe 1, yang merupakan respons utama tubuh untuk melawan TB. Hal ini menunjukkan bahwa respons sel imun selular menurun dan membutuhkan rangsangan yang lebih tinggi untuk optimalisasi respons imun (Restrepo, et al, 2008).

2.3 Skrining Tuberkulosis

Skrining merupakan salah satu upaya mengidentifikasi penyakit- penyakit yang tidak diketahui/tidak terdeteksi dengan menggunakan berbagai test/uji yang dapat diterapkan secara tepat dalam sebuah skala yang besar. Skrining merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan antara orang yang mungkin menderita penyakit dengan orang mungkin tidak menderita penyakit.


(32)

15 Dalam melakukan penampisan dan diagnosis, akan memberikan beberapa kemungkinan hasil yang meliputi positif benar, positif semu, negatif semu dan negatif benar (Sastroasmoro, 2011). Penyajian data kemungkinan hasil yang diperoleh dari skrining tersebut ditampilkan dalam tabel 2x2. Indikator yang digunakan untuk melihat keakuratan suatu uji skrining dan diagnosis yaitu adanya nilai sensitivitas dan nilai spesitivitas. Sensitivitas merupakan kemampuan alat diagnosis untuk mendeteksi suatu penyakit dengan hasil tes positif. Sedangkan nilai spesitivitas merupakan kemampuan suatu alat diagnosis untuk menentukan bahwa subyek tidak sakit (Sastroasmoro, 2011).

Skrining TB adalah salah satu identifikasi sistematik dalam melakukan penemuan kasus suspek TB aktif pada populasi yang berisiko dengan menerapkan suatu test, uji atau prosedur lain yang membantu menentukan penemuan kasus lebih cepat (WHO, 2013). Tujuan utama dilaksanakannya skrining TB adalah untuk mendeteksi TB aktif lebih awal dengan cara: mengurangi resiko kegagalan pengobatan, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan pada pasien yang menderita TB. Hal ini tentunya akan mengurangi penderitaan, prevalensi TB dan kematian yang diakibatkan oleh TB. Mengurangi penyebaran TB dengan memperpendek masa penularan TB. Hal ini akan mengurangi insiden penularan TB yang tentunya akan mempengaruhi berkurangnya kasus TB.

Tujuan lain dilaksanakannya skrining TB yaitu mengendalikan TB aktif untuk mengidentifikasi orang yang memenuhi syarat perawatan TB laten. Selain


(33)

16 dilakukannya skrining (WHO, 2013). Berdasarkan rekomendasi WHO, skrining dan diagnosis TB dapat dilakukan melalui 3 pemeriksaan meliputi berikut:

2.3.1 Pemeriksaan Gejala Klinis TB

Pemeriksaan gejala klinis TB merupakan salah satu metode penemuan kasus TB pada tingkat awal dengan melihat gejala klinis TB pada seseorang. Pelaksanaan skrining gejala TB dilakukan dengan melakukan wawancara atau anamnesis kepada pasien untuk mengetahui ada tidaknya gejala yang dialami mengacu pada gejala-gejala TB. Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, gejala utama pasien TB adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih pada pasien. Selain itu gejala TB lain meliputi: mengalami demam yang hilang timbul (subfebris), keringat malam disaat tidak melakukan aktivitas, adanya penurunan berat badan, batuk berdarah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun dan demam meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes RI, 2014).

WHO telah menetapkan nilai sensitivitas dan spesitivitas skrining TB Paru berdasarkan gejala klinis TB. Adapun angka sensitivitas dan spesititas skrining menggunakan gejala ditampilkan dalam tabel berikut:

Tabel 2.1 Nilai Sensitivitas dan Nilai Spesitivitas Skrining TB menggunakan Gejala Klinis.

No Skrining Gejala Sensitivitas % (95% CI)

Spesitivitas % (95% CI) 1. Batuk produktif (>2-3

minggu) 35 (24-46) 95 (93-97)

2. Batuk lain 57 (40-74) 80 (69-90)

3. Gejala TB lain (Pada populasi

HIV rendah) 70 (58-82) 61 (35-87)

4. Gejala TB lain (Pada populasi

HIV tinggi) 84 (76-93) 74 (53-95)

5. Gejala TB lain (Pada populasi

HIV tinggi atau rendah) 77 (68-86) 68 (50-85) Sumber: WHO, 2013


(34)

17 Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa skrining gejala yang memiliki nilai sensitivitas tertinggi yaitu pada gejala TB lain yang dilakukan pada prevalensi HIV tinggi dengan sensitivitas 84%. Hal ini berarti kemampuan skrining menggunakan gejala lain menggambarkan kejadian TB dengan gejala positif yaitu sebesar 84%. Pada gejala utama TB batuk produktif > 2-3 minggu, memiliki nilai sensitivitas terendah yaitu 35% namun nilai spesitivitas tertinggi diantara skinning menggunakan gejala TB lain yaitu 95%. Hal ini berarti kemampuan skrining menggunakan gejala utama TB batuk produktif mampu menggambarkan orang yang tidak terdiagnosis TB dengan hasil gejala negatif yaitu sebesar 95%.

Beberapa penelitian terkait nilai sensitivitas dan spesitivitas skrining menggunakan gejala klinis TB telah banyak dilakukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan den Boon, et al, yang melakukan evaluasi skrining menggunakan gejala dan rontgen paru dalam survey prevalensi TB diperoleh hasil bahwa, skrining gejala utama batuk produktif >2 minggu memiliki nilai sensitivitas 54%, sedangkan skrining gejala TB lain memiiki nilai sensitivitas tertinggi pada pasien dengan penemuan bakteri positif (+) yaitu 69%. Dalam penelitian tersebut juga diketahui bahwa gejala utama batuk produktif >2 minggu memiliki nilai spesitivitas 82%, sedangkan gejala TB lain memiliki nilai spesitivitas 68% (den Boon, et al, 2006).


(35)

18 diinterpretasikan oleh ahli radiologi tanpa mengetahui status DM pasien. Hasil dari computed tomography (CT) scans tidak digunakan sebagai analisis penelitian. Interpretasi radiologi dibagi berdasarkan luas lesi (lesi minimal, lesi luas), letak lesi (upper field, lower field, multilobaris), karakteristik lesi (tipikal, atipikal), respons terapi (perbaikan, perburukan, menetap), dan gambaran lesi (bayangan berawan/nodular, kavitas, efusi pleura, milier, scwarte, fibrotik, dan kalsifikasi) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2010).Luasnya lesi yang tampak pada rontgen paru dapat dibagi sebagai berikut:

a. Lesi minimal (Minimal lesion) Bila proses TB paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra toracalis IV dan tidak dijumpai kavitas.

b. Lesi sedang (moderately advance lession) Proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas proses tidak boleh luas dari satu paru atau jumlah dari proses yang paling banyak seluas satu paru atau bila proses tadi mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat/tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas maka diameter semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm.

c. Lesi Luas (Far Advance) Kelainan lebih luas dari lesi sedang.

Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk. Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB paru aktif: Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah paru, kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi


(36)

19 bayangan opak berawan atau nodular, adanya bayangan bercak milier, dan efusi Pleura. Sedangkan gambaran radiologi yang dicurigai TB paru inaktif: Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau segmen superior lobus bawah, kalsifikasi, dan penebalan pleura.

Berdasarkan data WHO, nilai sensitivitas dan nilai spesitivitas skrining menggunakan chest radiography/rontgen paru ditampilkan dalam tabel berikut:

Tabel 2.2.3 Nilai Sensitivitas dan Nilai Spesitivitas Skrining TB Menggunakan Rontgen Paru

No Skrining rontgen Sensitivitas % (95% CI)

Spesitivitas % (95% CI) 1. Kelainan hasil rontgen yang

menunjukkan penyakit TB (TB aktif atau TB laten)

98 (95-100) 75 (72-79) 2. Kelainan hasil rontgen yang

merujuk pada TB aktif 87 (79-95) 89 (87-92) 3. Hasil positif pada skrining

gejala 90 (81-96) 56 (54-58)

Sumber: WHO, 2013

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai sensitifitas skrining menggunakan rontgen paru dengan melihat kelainan hasil rontgen yang menunjukkan penyakit TB memiliki nilai sensitivitas tertinggi yaitu 98%. Hal ini berarti kemampuan skrining menggunakan rontgen paru dengan melihat kelainan hasil rontgen yang menunjukkan penyakit TB untuk dapat menggambarkan orang yang terdiagnosis TB paru dengan hasil skrining positif (+) yaitu sebesar 98%. Sedangkan skrining menggunakan rontgen paru


(37)

20 aktif untuk menggambarkan orang yang tidak terdiagnosis TB paru dengan hasil skrining negatif (-) yaitu sebesar 89%.

Dalam penelitian yang dilakukan den Boon, et al diperoleh hasil bahwa nilai sensitivitas skrining menggunakan rontgen paru dalam mendeteksi bakteri positif TB yaitu sebesar 97% dengan nilai spesitivitas 67% (den Boon, et al, 2006). Dalam penelitian tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan skrining menggunakan rontgen paru untuk mendeteksi bakteri positif TB yaitu sebesar 97%. Sedangkan kemampuan skrining menggunakan rontgen dalam mendeteksi bakteri negatif yaitu sebesar 67%.

2.3.3 Pemeriksaan dahak mikroskopis (sputum)

Pemeriksaan dahak mikroskopis sputum merupakan salah satu alat diagnosis paling spesifik dan pemeriksaan primer dalam menegakkan diagnosis TB (Khogali et al, 2013). Dalam menegakkan diagnosis TB secara mikroskopis dibutuhkan tiga contoh uji dahak. Pengumpulan spesimen dahak dilakukan dalam waktu 2 hari yaitu Sewaktu – Pagi – Sewaktu (SPS):

1. Dahak Sewaktu hari -1 (A)

Dahak pertama diambil sewaktu pada saat pasien berkunjung ke fasyankes. Beri pot dahak pada saat pasien pulang untuk keperluan pengumpulan dahak pagi hari berikutnya.

2. Dahak Pagi (B)

Pasien mengeluarkan dahak kedua pada pagi hari setelah bangun tidur dan membawa contoh uji dahak ke laboratorium.

3. Dahak Sewaktu hari -2 (C)

Kumpulkan dahak ketiga sewaktu di laboratorium pada saat pasien kembali ke laboratorium pada hari kedua saat membawa dahak pagi (B).


(38)

21 Berdasarkan data WHO nilai sensitivitas dan spesitivitas alat diagnosis TB dengan menggunakan pemeriksaan dahak mikroskopis dengan pemeriksaan kultur sebagai gold standard sesuai penelitian yang telah dilakukan ditampilkan dalam tabel berikut:

Tabel 2.3 Nilai Sensitivitasdan Nilai Spesitivitas Alat Diagnosis TB Menggunakan Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

No Alat Diagnosis Sensitivitas % (95% CI)

Spesitivitas % (95% CI)

1. Pemeriksaan kultur 100 100

2. Pemeriksaan Dahak

Mikroskopis 61 (31-89) 98 (93-100) Sumber: WHO, 2013

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa diagnosis TB menggunakan pemeriksaan mikroskopis dahak memiliki nilai sensitivitas yaitu 61%. Angka tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemeriksaan mikroskopis dahak untuk mendiagnosis penderita TB dengan hasil tes positif (+) yaitu sebesar 61%. Sedangkan nilai spesitivitas alat diagnosis menggunakan pemeriksaan mikroskopis dahak yaitu sebesar 98%. Angka ini menujukkan bahwa kemampuan pemeriksaan mikroskopis dahak dalam mendiagnosis orang yang tidak TB dengan hasil tes negatif (-) yaitu sebesar 98%.

2.3.4 Skrining Tuberkulosis pada Pasien DM

Skrining TB pada pasien DM merupakan salah satu upaya penampisan TB yang dilakukan pada penyandang DM di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL)


(39)

22 Pasien dengan penyakit DM yang datang melakukan kontrol penyakit ke FKTP dilakukan wawancara untuk mencari salah satu gejala/faktor risiko TB. Gejala klinis TB yang diwawancarai yaitu Batuk, terutama batuk

berdahak ≥2 minggu, Demam hilang timbul, tidak tinggi (subfebris),

Keringat malam tanpa disertai aktivitas, Penurunan berat badan. Sedangkan gejala/faktor risiko TB ekstra paru ditandai dengan adanya gejala: pembesaran kelenjar getah bening (KGB), Sesak, nyeri saat menarik napas, atau rasa berat di satu sisi dada. Pemeriksaan anamnesa gejala klinis TB dilakukan oleh dokter ataupun petugas kesehatan di FKTP. Pemeriksaan selanjutnya yaitu pemeriksaan rontgen untuk mencari abnormalitas paru apapun. Jika fasilitas tidak tersedia di FKTP, maka pasien dirujuk ke FKRTL atau lab radiologi jejaring.

Sedangkan penapisan TB pada penyandang DM di FKRTL dilakukan melalui wawancara mencari salah satu gejala/faktor risiko TB di bawah ini: Batuk, terutama batuk berdahak ≥2 minggu, Demam hilang timbul, tidak tinggi (subfebris), Keringat malam tanpa disertai aktivitas, Penurunan berat badan dan gejala TB ekstra paru ditandai dengan adanya pembesaran kelenjar getah bening (KGB), Sesak, nyeri saat menarik napas, atau rasa berat di satu sisi dada. Pemeriksaan selanjunya yaitu pemeriksaan foto toraks (rontgen) untuk mencari abnormalitas paru apapun. Indikasi pemeriksaan foto toraks ulang ditentukan oleh klinisi spesialis radiologis (Sp.Rad) (Kemenkes RI, 2015b).


(40)

23 2.3.5 Algoritma Pemeriksaan dan Diagnosis TB pada pasien DM

Pasien DM (>15 tahun)

GD Puasa ≥126 mg/dl GD S atau GD 2JP P≥200 mg/dl

Gejala TB lain atau tanpa Gejala i. Demam hilang timbul, tidak tinggi (subfebris) ii. Keringat malam tanpa disertai aktivitas iii. Penurunan berat badan

iv. TB ekstra paru antaralain: pembesaran kelenjar getah bening (KGB) v. Sesak, nyeri saat menarik napas, atau rasa berat di satu sisi dada

Gejala + Rontgen + PEMERIKSAAN DAHAK MIKROSKOPIS Gejala + Rontgen - Gejala - Rontgen + Gejala - Rontgen -

- Wawancara gejala TB tiap kunjungan berikutnya - KIE Pencegahan

TB PENGOBATAN

Klinik DOTS TB

Rontgen

Wawancara Gejala TB

Gejala TB i. Batuk produktif,

terutama batuk berdahak ≥ 1

minggu

dengan atau tanpa gejala lain

Foto Rontgen *) Rontgen dibaca oleh SpRad

BTA + BTA -

Non TB TB

Rontgen + Rontgen -

PEMERIKSAAN DAHAK MIKROSKOPIS Rontgen +/- BTA + Rontgen + BTA - Rontgen - BTA- Non TB


(41)

24 2.4 Karakteristik pasien DM yang terdiagnosis TB

2.4.1 Karakteristik Sosio Demografi 1. Umur

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto, et al pada tahun 2015, diketahui bahwa dari 49 pasien DM yang terdiagnosis TB Paru, sebanyak 39 (79,6%) dikategorikan dalam umur <60 tahun. Penelitian lain menyebutkan bahwa sebagian besar umur pasien DM yang terdiagnosis TB yaitu pada kelompok umur 55-74 tahun dengan persentase sebesar 45% (Dobler, 2012).

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto, et al pada tahun 2015, diketahui bahwa jenis kelamin laki-laki yang menderita DM lebih berisiko 1,3 kali terkena TB dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan namun tidak berpengaruh bermakna (p=0,555). Sebanyak 55,1% penderita DM berjenis kelamin laki-laki dan 44,9% penderita DM berjenis kelamin perempuan dinyatakan terdiagnosis TB (Wijayamto, et al, 2015).

3. Pendapatan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto et al, karakteristik pendapatan pasien DM yang terdiagnosis TB sebagian besar pada golongan ekonomi menengah (pendapatan 2-4 juta per bulan) dengan persentase 49%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Amare et al, menyebutkan bahwa pada pasien DM dengan pendapatan >68 US Dolar sebanyak 9,3% terdiagnosis TB Paru (Amare et al, 2013).


(42)

25 4. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan salah satu karakteristik sosiodemografi dalam menggambarkan pasien DM yang terdiagnosis TB. Pada penelitian yang dilakukan Amare, et al di Rumah sakit Dessie, status pekerjaan pasien DM dibedakan menjadi pekerja pemerintah atau private, petani, pedagang dan buruh. Diperoleh hasil bahwa sebanyak 7,8% pekerja pemerintahan atau private terdiagnosis TB (Amare, et al, 2013).

5. Tempat Tinggal

Penelitian yang dilakukan Amare et al mengelompokkan pasien DM yang terdiagnosis TB berdasarkan tempat tinggal yang terdiri dari perkotaan dan pedesaan. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tempat tinggal merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB pada pasien DM. Sebagian besar pasien DM yang bertempat tinggal di pedesaan terdiagnosis TB. Dari Pasien DM yang bertempat tinggal di pedesaan, sebanyak 8% terdiagnosis TB (Amare, et al, 2013).

6. Tingkat Pendidikan

Penelitian yang dilakukan Amare et al mengelompokkan pasien DM yang terdiagnosis TB berdasarkan tingkat pendidikan yang terdiri dari tidak sekolah, SD, SMP, Pendidikan tinggi (SMA-Perguruan tinggi). Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada sebagian besar pasien DM yang terdiagnosis TB pada kelompok tidak sekolah dan tingkat SMP (5,2% dan


(43)

26 2.4.2 Karakteristik Klinis

Karakteristik klinis merupakan karakteristik pasien yang berhubungan dengan kejadian penyakit TB pada pasien DM berdasarkan kriteria klinis pasien. Adapun karakteristik klinis yang dimaksud meliputi:

1. Riwayat kontak dengan penderita TB

Riwayat kontak TB merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penularan TB. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto, et al disebutkan bahwa dari pasien DM tipe 2 yang terdiagnosis TB Paru, sebanyak 30,6% diketahui memiliki riwayat kontak dengan penderita TB. Penelitian lain yang dilakukan Indreswari, SA dan Suharyo pada tahun 2014, diketahui pula bahwa pada kelompok kontak serumah, 25% menunjukkan gejala klinis suspek tuberkulosis paru (Indreswari, SA dan Suharyo, 2014) 2. Indeks Masa Tubuh (IMT)

Indeks masa tubuh (IMT) merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian TB pada pasien DM. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto, et al, karakteristik pasien yang terdiagnosis TB Paru sebagian besar pada pasien DM tipe 2 dengan kategori IMT normal. Diketahui bahwa sebanyak 51% pasien DM tipe 2 dengan IMT normal terdiagnosis TB Paru (Wijayanto, et al, 2015). Penelitian lain dengan hasil yang tidak jauh berbeda yang dilakukan oleh Amare et al, diperoleh hasil bahwa dari pasien DM dengan IMT normal (18,5-24,99), sebanyak 7,8% terdiagnosis TB (Amare, et al, 2013).

3. Lama DM

Lama pasien menderita DM merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian TB pada pasien DM. Dalam penelitian yang dilakukan oleh


(44)

27 Wijayanto, et al, diketahui bahwa pada pasien dengan DM<1 tahun lebih berisiko 23,13 kali untuk terkena TB dibandingkan dengan pasien dengan DM >10 tahun. Penelitian ini menyebutkan pada pasien DM yang terdiagnosis TB, sebagian besar terjadi pada pasien dengan DM<1 tahun dengan persentase 36,7% (Wijayanto et al, 2015)

4. Riwayat Merokok

Dalam penelitian yang dilakukan Wijayanto, et al, diketahui bahwa karakteristik berdasarkan riwayat merokok pasien DM yang terdiagnosis TB sebagian besar pada kelompok tidak merokok yaitu 53%. Namun tidak memiliki pengaruh bermakna (p=0,107) (Wijayanto, et al, 2015). Penelitian lain menyebutkan pada pasien DM yang terdiagnosis TB paru sebanyak 53,3% memiliki riwayat merokok (Saraswati, 2014).

2.5 Diagnosis Tuberkulosis pada Pasien DM

Diagnosis Tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan gejala klinis TB, pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan dahak mikroskopis (Kemenkes RI, 2014). Dalam melakukan diagnosis TB, hanya diperbolehkan pada dokter/ klinisi yang bertugas di FKTP/FKTRL. Sesuai dengan prosedur tetap TB DOTS, diagnosis TB diawali dengan skrining gejala klinis TB yang dialami pasien DM. Berdasarkan algoritma pemeriksaan dan diagnosis kasus TB pada pasien DM diawali dengan wawancara adanya gejala klinis TB


(45)

28 pasien DM didasarkan pada anamnesis dokter atau petugas kesehatan di FKTP/ FKRTL.

Pasien DM dengan gejala utama TB yaitu batuk produktif ≥1 minggu

dengan atau tanpa gejala lain dilakukan diagnosis langsung dengan menggunakan pemeriksaan dahak mikroskopis. Apabila hasil pemeriksaan dahak mikroskopis diperoleh hasil BTA (+) maka pasien DM didiagnosis TB. Sedangkan apabila hasil yang diperoleh BTA (-), selanjutnya dilakukan diagnosis menggunakan rontgen paru dengan melakukan rujukan di FKRTL/laboratorium radiologi. Penegakan diagnosis TB pada pasien dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu BTA (-) didasarkan pada hasil (+) pada pemeriksaan rontgen dan judgement klinis dari dokter.

Pasien DM dengan gejala lain atau tanpa gejala, dilakukan diagnosis menggunakan rontgen paru. Terdapat empat kemungkinan hasil yang diperoleh melalui wawancara gejala dengan diagnosis menggunakan pemeriksaan rontgen paru yaitu: Gejala (+) dan rontgen (+), Gejala (+) dan rontgen (-), Gejala (-) dan rontgen (+) dan Gejala (-) dan rontgen (-). Pada pasien dengan salah satu saja pemeriksaan dengan hasil positif (+), dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis. Pasien DM dengan salah satu hasil positif (+) pada pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan dahak mikroskopis didiagnosis sebagai kasus TB. Apabila hasil yang diperoleh BTA (-), selanjutnya dilakukan diagnosis menggunakan rontgen paru dengan melakukan rujukan di FKRTL/laboratorium radiologi. Penegakan diagnosis TB pada pasien dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu BTA (-) didasarkan pada hasil (+) pada pemeriksaan rontgen dan judgement klinis dari dokter. (Kemenkes RI, 2015).


(1)

2.3.5 AlgoritmaPemeriksaan dan Diagnosis TB pada pasien DM

Gambar 2.1 AlgoritmaPemeriksaan dan Diagnosis TB pada pasien DM

Disesuaikan dengan Protap TB DOTS.

Pasien DM (>15 tahun)

GD Puasa ≥126 mg/dl GD S atau GD 2JP P≥200 mg/dl

Gejala TB lain atau tanpa Gejala i. Demam hilang timbul, tidak tinggi (subfebris) ii. Keringat malam tanpa disertai aktivitas iii. Penurunan berat badan

iv. TB ekstra paru antaralain: pembesaran kelenjar getah bening (KGB) v. Sesak, nyeri saat menarik napas, atau rasa berat di satu sisi dada

Gejala + Rontgen + PEMERIKSAAN DAHAK MIKROSKOPIS Gejala + Rontgen - Gejala - Rontgen + Gejala - Rontgen -

- Wawancara gejala TB tiap kunjungan berikutnya

- KIE Pencegahan

TB PENGOBATAN

Klinik DOTS TB

Rontgen

Wawancara Gejala TB

Gejala TB i. Batuk produktif,

terutama batuk berdahak ≥ 1

minggu

dengan atau tanpa gejala lain

Foto Rontgen *) Rontgen dibaca oleh SpRad

BTA + BTA -

Non TB TB

Rontgen + Rontgen -

PEMERIKSAAN DAHAK MIKROSKOPIS Rontgen +/- BTA + Rontgen + BTA - Rontgen - BTA- Non TB


(2)

2.4 Karakteristik pasien DM yang terdiagnosis TB

2.4.1 Karakteristik Sosio Demografi

1. Umur

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto, et al pada tahun 2015, diketahui bahwa dari 49 pasien DM yang terdiagnosis TB Paru, sebanyak 39 (79,6%) dikategorikan dalam umur <60 tahun. Penelitian lain menyebutkan bahwa sebagian besar umur pasien DM yang terdiagnosis TB yaitu pada kelompok umur 55-74 tahun dengan persentase sebesar 45% (Dobler, 2012).

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto, et al pada tahun 2015, diketahui bahwa jenis kelamin laki-laki yang menderita DM lebih berisiko 1,3 kali terkena TB dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan namun tidak berpengaruh bermakna (p=0,555). Sebanyak 55,1% penderita DM berjenis kelamin laki-laki dan 44,9% penderita DM berjenis kelamin perempuan dinyatakan terdiagnosis TB (Wijayamto, et al, 2015).

3. Pendapatan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto et al, karakteristik pendapatan pasien DM yang terdiagnosis TB sebagian besar pada golongan ekonomi menengah (pendapatan 2-4 juta per bulan) dengan persentase 49%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Amare et al, menyebutkan bahwa pada pasien DM dengan pendapatan >68 US Dolar sebanyak 9,3% terdiagnosis TB Paru (Amare et al, 2013).


(3)

4. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan salah satu karakteristik sosiodemografi dalam menggambarkan pasien DM yang terdiagnosis TB. Pada penelitian yang dilakukan Amare, et al di Rumah sakit Dessie, status pekerjaan pasien DM dibedakan menjadi pekerja pemerintah atau private, petani, pedagang dan buruh. Diperoleh hasil bahwa sebanyak 7,8% pekerja pemerintahan atau private terdiagnosis TB (Amare, et al, 2013).

5. Tempat Tinggal

Penelitian yang dilakukan Amare et al mengelompokkan pasien DM yang terdiagnosis TB berdasarkan tempat tinggal yang terdiri dari perkotaan dan pedesaan. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tempat tinggal merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB pada pasien DM. Sebagian besar pasien DM yang bertempat tinggal di pedesaan terdiagnosis TB. Dari Pasien DM yang bertempat tinggal di pedesaan, sebanyak 8% terdiagnosis TB (Amare, et al, 2013).

6. Tingkat Pendidikan

Penelitian yang dilakukan Amare et al mengelompokkan pasien DM yang terdiagnosis TB berdasarkan tingkat pendidikan yang terdiri dari tidak sekolah, SD, SMP, Pendidikan tinggi (SMA-Perguruan tinggi). Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada sebagian besar pasien DM yang terdiagnosis TB pada kelompok tidak sekolah dan tingkat SMP (5,2% dan 11%) (Amare, et al, 2013).


(4)

2.4.2 Karakteristik Klinis

Karakteristik klinis merupakan karakteristik pasien yang berhubungan dengan kejadian penyakit TB pada pasien DM berdasarkan kriteria klinis pasien. Adapun karakteristik klinis yang dimaksud meliputi:

1. Riwayat kontak dengan penderita TB

Riwayat kontak TB merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penularan TB. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto, et al disebutkan bahwa dari pasien DM tipe 2 yang terdiagnosis TB Paru, sebanyak 30,6% diketahui memiliki riwayat kontak dengan penderita TB. Penelitian lain yang dilakukan Indreswari, SA dan Suharyo pada tahun 2014, diketahui pula bahwa pada kelompok kontak serumah, 25% menunjukkan gejala klinis suspek tuberkulosis paru (Indreswari, SA dan Suharyo, 2014) 2. Indeks Masa Tubuh (IMT)

Indeks masa tubuh (IMT) merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian TB pada pasien DM. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto, et al, karakteristik pasien yang terdiagnosis TB Paru sebagian besar pada pasien DM tipe 2 dengan kategori IMT normal. Diketahui bahwa sebanyak 51% pasien DM tipe 2 dengan IMT normal terdiagnosis TB Paru (Wijayanto, et al, 2015). Penelitian lain dengan hasil yang tidak jauh berbeda yang dilakukan oleh Amare et al, diperoleh hasil bahwa dari pasien DM dengan IMT normal (18,5-24,99), sebanyak 7,8% terdiagnosis TB (Amare, et al, 2013).

3. Lama DM

Lama pasien menderita DM merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian TB pada pasien DM. Dalam penelitian yang dilakukan oleh


(5)

Wijayanto, et al, diketahui bahwa pada pasien dengan DM<1 tahun lebih berisiko 23,13 kali untuk terkena TB dibandingkan dengan pasien dengan DM >10 tahun. Penelitian ini menyebutkan pada pasien DM yang terdiagnosis TB, sebagian besar terjadi pada pasien dengan DM<1 tahun dengan persentase 36,7% (Wijayanto et al, 2015)

4. Riwayat Merokok

Dalam penelitian yang dilakukan Wijayanto, et al, diketahui bahwa karakteristik berdasarkan riwayat merokok pasien DM yang terdiagnosis TB sebagian besar pada kelompok tidak merokok yaitu 53%. Namun tidak memiliki pengaruh bermakna (p=0,107) (Wijayanto, et al, 2015). Penelitian lain menyebutkan pada pasien DM yang terdiagnosis TB paru sebanyak 53,3% memiliki riwayat merokok (Saraswati, 2014).

2.5 Diagnosis Tuberkulosis pada Pasien DM

Diagnosis Tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan gejala klinis TB, pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan dahak mikroskopis (Kemenkes RI, 2014). Dalam melakukan diagnosis TB, hanya diperbolehkan pada dokter/ klinisi yang bertugas di FKTP/FKTRL. Sesuai dengan prosedur tetap TB DOTS, diagnosis TB diawali dengan skrining gejala klinis TB yang dialami pasien DM. Berdasarkan algoritma pemeriksaan dan diagnosis kasus TB pada pasien DM diawali dengan wawancara adanya gejala klinis TB

kepada pasien DM yaitu batuk produktif ≥1 minggu dengan atau tanpa gejala

lain. Sedangkan gejala TB lain yaitu ditandai adanya demam hilang timbul (subfebris), keringat malam tanpa disertai aktivitas, adanya penurunan berat badan, pembesaran kelenjar getah bening (TB Ekstra Paru), sesak, nyeri saat menarik nafas dan rasa berat di satu sisi dada. Wawancara gejala TB pada


(6)

pasien DM didasarkan pada anamnesis dokter atau petugas kesehatan di FKTP/ FKRTL.

Pasien DM dengan gejala utama TB yaitu batuk produktif ≥1 minggu

dengan atau tanpa gejala lain dilakukan diagnosis langsung dengan menggunakan pemeriksaan dahak mikroskopis. Apabila hasil pemeriksaan dahak mikroskopis diperoleh hasil BTA (+) maka pasien DM didiagnosis TB. Sedangkan apabila hasil yang diperoleh BTA (-), selanjutnya dilakukan diagnosis menggunakan rontgen paru dengan melakukan rujukan di FKRTL/laboratorium radiologi. Penegakan diagnosis TB pada pasien dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu BTA (-) didasarkan pada hasil (+) pada pemeriksaan rontgen dan judgement klinis dari dokter.

Pasien DM dengan gejala lain atau tanpa gejala, dilakukan diagnosis menggunakan rontgen paru. Terdapat empat kemungkinan hasil yang diperoleh melalui wawancara gejala dengan diagnosis menggunakan pemeriksaan rontgen paru yaitu: Gejala (+) dan rontgen (+), Gejala (+) dan rontgen (-), Gejala (-) dan rontgen (+) dan Gejala (-) dan rontgen (-). Pada pasien dengan salah satu saja pemeriksaan dengan hasil positif (+), dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis. Pasien DM dengan salah satu hasil positif (+) pada pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan dahak mikroskopis didiagnosis sebagai kasus TB. Apabila hasil yang diperoleh BTA (-), selanjutnya dilakukan diagnosis menggunakan rontgen paru dengan melakukan rujukan di FKRTL/laboratorium radiologi. Penegakan diagnosis TB pada pasien dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu BTA (-) didasarkan pada hasil (+) pada pemeriksaan rontgen dan judgement klinis dari dokter. (Kemenkes RI, 2015).