Faktor yang Memengaruhi Pasien Diabetes Mellitus Melakukan Skrining Tuberkulosis Paru di Kota Denpasar.

(1)

i

UNIVERSITAS UDAYANA

FAKTOR YANG MEMENGARUHI PASIEN DIABETES

MELLITUS MELAKUKAN SKRINING TUBERKULOSIS PARU

DI KOTA DENPASAR

I GUSTI NGURAH EDI PUTRA

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(2)

ii

UNIVERSITAS UDAYANA

FAKTOR YANG MEMENGARUHI PASIEN DIABETES

MELLITUS MELAKUKAN SKRINING TUBERKULOSIS PARU

DI KOTA DENPASAR

I GUSTI NGURAH EDI PUTRA NIM. 1220025027

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(3)

iii

UNIVERSITAS UDAYANA

FAKTOR YANG MEMENGARUHI PASIEN DIABETES

MELLITUS MELAKUKAN SKRINING TUBERKULOSIS PARU

DI KOTA DENPASAR

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

I GUSTI NGURAH EDI PUTRA NIM. 1220025027

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(4)

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan di hadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 8 Juni 2016

Tim Penguji Skripsi Ketua (Penguji I)

dr. Ketut Tangking Widarsa, MPH NIP. 19480120 197903 1 001

Anggota (Penguji II)

dr. Ida Bagus Gede Ekaputra NIP. 19641026 199103 1 004


(5)

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa di hadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 8 Juni 2016

Pembimbing

dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid. NIP. 19810404 200604 1 005


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat Beliau, skripsi yang berjudul “Faktor yang Memengaruhi Pasien Diabetes Mellitus Melakukan Skrining Tuberkulosis Paru di Kota Denpasar” dapat saya selesaikan tepat waktu dengan hasil yang jauh dari sempurna.

Dalam penyusunan skripsi ini berbagai bantuan, petunjuk, serta saran dan masukan penulis dapatkan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. dr. I Made Ady Wirawan, MPH., Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

2. dr. I Made Sutarga, M.Kes. selaku dosen pembimbing akademis yang telah meluangkan waktunya memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 3. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid. selaku dosen yang telah bersedia

meluangkan waktunya dalam memberikan saran yang positif dalam penyusunan skripsi ini.

4. Seluruh dosen peminatan Biostatistik dan Kependudukan, dr. Ketut Tangking Widarsa, MPH, dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH (the best lecturer who I’ve ever met), Bapak Ketut Hari Mulyawan, S.Kom., MPH, dan Kak Made Dian Kurniasari, S.KM., MPH yang telah banyak berbagi ilmu, saran, dan nasihat sejak peminatan hingga penyusunan skripsi ini.


(7)

vii

5. dr. Ida Bagus Gede Ekaputra selaku penguji skripsi yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi ini.

6. Teman-teman Biostatistics’12 Team atau sebut saja “Lucky 7” yang selalu kompak mengemban “misi sosial membantu sesama.

7. Teman-teman IKM 12 yang selalu kompak dalam memberi motivasi kepada sesama.

8. Keluarga: I Gusti Ngurah Kertayasa (ayah), Jero Nyoman Tirta (ibu), dan I Gusti Ngurah Ambara Putra, S.E. (kakak) yang selalu sabar membimbing dan

memberikan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Ni Nyoman Astri Artini yang selalu menemani secara psikologis, dan rekan-rekan mahasiswa yang penulis banggakan, dan pihak-pihak yang turut mendukung baik secara moral maupun material, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Denpasar, 8 Juni 2016


(8)

viii

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA PEMINATAN BIOSTATISTIK DAN KEPENDUDUKAN SKRIPSI

JUNI 2016

I Gusti Ngurah Edi Putra

FAKTOR YANG MEMENGARUHI PASIEN DIABETES MELLITUS MELAKUKAN SKRINING TUBERKULOSIS PARU DI KOTA DENPASAR

ABSTRAK

Latar belakang: Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Tuberkulosis (TB) Paru. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa Case Notification Rate (CNR) TB pada pasien DM jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan populasi umum. Maka dari itu, perlu penerapan skrining TB Paru pada pasien DM. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian skrining TB-DM yang bertujuan untuk mengetahui tingkat partisipasi dan faktor yang memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru berupa pemeriksaan foto rontgen thorax.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini yaitu 365 pasien DM yang menjalani pengobatan di sebelas puskesmas di Kota Denpasar. Sampel dipilih secara consecutive sampling dari pasien DM yang terjaring dalam penelitian skrining TB-DM. Data dikumpulkan melalui wawancara dan dianalisis secara univariabel serta bivariabel dan multivariabel dengan menggunakan uji regresi poisson.

Hasil: Dari 365 pasien DM, diperoleh median umur 62 tahun dan 52,05% berjenis kelamin perempuan. Proporsi pasien DM yang melakukan skrining TB Paru yaitu sebanyak 45,48%. Sebagian besar pasien DM memiliki pengetahuan yang kurang (83,84%) mengenai komorbiditi TB-DM dan sikap yang kurang (61,10%) mengenai skrining TB-DM. Faktor yang memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru

berdasarkan analisis multivariabel yaitu tingkat pendidikan ≥ SMA (PR=1,34;

95%CI=1,07-1,67), memiliki riwayat anggota keluarga menderita TB (PR=1,47; 95%CI=1,12-1,93), waktu tempuh ke pelayanan kesehatan untuk melakukan skrining

≤15 menit (PR=1,6; 95%CI=1,26-2,03), memiliki jaminan kesehatan (PR=2,69; 95%CI=1,10-6,56), dan memperoleh dukungan yang baik dari petugas kesehatan (PR=1,45; 95%CI=1,06-1,70).

Kesimpulan: Partisipasi skrining TB Paru masih rendah di bawah 50%. Diperlukan pelatihan konseling bagi petugas kesehatan untuk memberikan KIE, melibatkan anggota keluarga dalam pelaksanaan skrining, serta meningkatkan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan agar pasien DM dapat mengakses layanan skrining TB Paru.


(9)

ix SCHOOL OF PUBLIC HEALTH

FACULTY OF MEDICINE UDAYANA UNIVERSITY

MAINSTREAM OF BIOSTATISTICS AND DEMOGRAPHY MINI THESIS

JUNE 2016

I Gusti Ngurah Edi Putra

FACTORS INFLUENCING PATIENT WITH DIABETES MELLITUS SCREENING FOR PULMONARY TUBERCULOSIS IN DENPASAR CITY

ABSTRACT

Background: Diabetes mellitus (DM) is one of risk factors which contributes to infection of pulmonary tuberculosis (TB). Many studies show Case Notification Rate (CNR) of TB on patients with DM is higher than general population. Therefore, screening for pulmonary TB on patient with DM is needed. This study is a part of study of TB-DM screening which aims to know the participation of patient with DM and factors influencing patient with DM screening for pulmonary TB especially examination by photo rontgen.

Methods: The design of study was observational analytic with cross-sectional approach. Sample size was 365 patients with DM who were joining treatment in eleven puskesmas (public health centres) in Denpasar City. Sample was chosen by consecutive sampling among patients with DM joining study of TB-DM screening. Data was collected using interview and analyzed using univariable and also bivariable and multivariable by poisson regression test.

Results: Among 365 patients with DM, median of age was 62 years old and 52,05% was female. The proportion of patient with DM screening for pulmonary TB was 45,48%. Most of patient with DM have lack of knowledge (83,84%) towards comorbidity of TB-DM and lack of attitude (61,10%) towards screening of TB-DM. Factors significantly influencing patient with DM screening for pulmonary TB based on multivariable analysis were had high education level (PR=1,34; 95%CI=1,07-1,67), had family history who suffered TB (PR=1,47; 95%CI=1,12-1,93), the duration to reffered health service center ≤ 15 minutes (PR=1,6; 95%CI=1,26-2,03), had health insurance (PR=2,69; 95%CI=1,10-6,56), and got good support from health provider (PR=1,45; 95%CI=1,06-1,70).

Conclusions: The participation of screening for pulmonary TB is still low under than 50%. Needs of training of counseling for health provider in communication, information, and education (CIE), involving family members to support screening for pulmonary TB on patient with DM, and increasing universal health coverage to make patients with DM have access services of screening for pulmonary TB.


(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN JUDUL DENGAN SPESIFIKASI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN UJIAN SKRIPSI ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERBAIKAN SKRIPSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.4.1 Tujuan Umum ... 7

1.4.2 Tujuan Khusus ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.5.2 Manfaat Praktis ... 8

1.6 Ruang Lingkup Penelitian... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Tuberkulosis ... 10

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis ... 10


(11)

xi

2.1.3 Epidemiologi Tuberkulosis ... 12

2.1.4 Penularan Tuberkulosis ... 13

2.1.5 Komorbiditi Tuberkulosis-Diabetes Mellitus ... 14

2.1.6 Skrining Tuberkulosis pada Pasien Diabetes Mellitus ... 16

2.1.7 Penegakan Diagnosis Tuberkulosis pada Pasien Diabetes Mellitus ... 18

2.2 Melakukan Pemeriksaan (Skrining) Tuberkulosis Paru ... 19

2.2.1 Pengertian Melakukan Pemeriksaan (Skrining) Tuberkulosis Paru ... 19

2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Melakukan Pemeriksaan (Skrining) Tuberkulosis Paru ... 20

2.3 Metode Regresi Poisson ... 27

2.3.1 Pengertian Regresi Poisson ... 27

2.3.2 Model Regresi Poisson ... 28

2.3.3 Penentuan Faktor Risiko ... 28

2.3.4 Asumsi Regresi Poisson ... 29

2.3.5 Cara Seleksi Variabel Bebas ... 29

2.3.6 Modifikasi Regresi Poisson untuk Penelitian Cross-Sectional ... 30

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 31

3.1 Kerangka Konsep ... 31

3.2 Variabel Penelitian ... 32

3.2.1 Variabel Tergantung ... 32

3.2.2 Variabel Bebas ... 32

3.3 Definisi Operasional Variabel... 33

3.4 Hipotesis Penelitian ... 37

BAB IV METODE PENELITIAN ... 39

4.1 Desain Penelitian ... 39

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 39

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 39

4.3.1 Populasi Penelitian ... 39

4.3.2 Sampel Penelitian ... 40

4.3.3 Perhitungan Besar Sampel ... 40

4.3.4 Teknik Sampling ... 41


(12)

xii

4.4.1 Data ... 42

4.4.2 Cara Pengumpulan Data ... 43

4.4.3 Alat Pengumpulan Data ... 44

4.5 Pengolahan dan Teknik Analisis Data ... 45

4.5.1 Pengolahan Data ... 45

4.5.2 Teknik Analisis Data ... 46

BAB V HASIL PENELITIAN ... 48

5.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 48

5.2 Gambaran Karakteristik Responden Penelitian ... 49

5.3 Gambaran Pengalaman Pasien DM Mengenai TB Paru ... 51

5.4 Gambaran Akses Pasien DM untuk Melakukan Skrining TB Paru ... 52

5.5 Deskripsi Pengetahuan Pasien DM ... 53

5.6 Deskripsi Sikap Pasien DM ... 56

5.7 Deskripsi Dukungan Petugas Kesehatan pada Pasien DM ... 59

5.8 Gambaran Partisipasi Pasien DM dalam Melakukan Skrining TB Paru ... 61

5.9 Pengaruh Karakteristik Pasien DM terhadap Keputusan Melakukan Skrining TB Paru ... 63

5.10 Pengaruh Pengalaman Pasien DM Mengenai TB Paru terhadap Keputusan Melakukan Skrining TB Paru ... 64

5.11 Pengaruh Akses Pasien DM terhadap Keputusan Melakukan Skrining TB Paru ... 66

5.12 Pengaruh Pengetahuan, Sikap, dan Dukungan Petugas Kesehatan terhadap Keputusan Melakukan Skrining TB Paru ... 67

5.13 Analisis Multivariabel Faktor yang Memengaruhi Pasien DM Melakukan Skrining TB Paru di Kota Denpasar ... 69

BAB VI PEMBAHASAN ... 72

6.1 Faktor yang Memengaruhi Pasien DM Melakukan Skrining TB Paru ... 72

6.2 Keunggulan dan Kelemahan Penelitian ... 85

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 86

7.1 Simpulan ... 86

7.2 Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel ... 33 Tabel 5.1 Jumlah Responden Penelitian (Pasien DM) pada Setiap Puskesmas

di Kota Denpasar ... 49 Tabel 5.2 Gambaran Karakteristik Pasien DM di Kota Denpasar ... 50 Tabel 5.3 Gambaran Pengalaman Pasien DM Mengenai TB Paru

di Kota Denpasar ... 51 Tabel 5.4 Deskripsi Akses Pasien DM untuk Melakukan Skrining TB Paru

di Kota Denpasar ... 52 Tabel 5.5 Deskripsi Indikator Pengetahuan Pasien DM Mengenai TB Paru

di Kota Denpasar ... 53 Tabel 5.6 Proporsi Pengetahuan Pasien DM mengenai TB Paru di Kota Denpasar .. 56 Tabel 5.7 Deskripsi Indikator Sikap Pasien DM Mengenai TB Paru

di Kota Denpasar ... 56 Tabel 5.8 Proporsi Sikap Pasien DM Mengenai TB Paru di Kota Denpasar ... 59 Tabel 5.9 Deskripsi Indikator Dukungan Petugas Kesehatan pada Pasien DM

di Kota Denpasar ... 60 Tabel 5.10 Proporsi Dukungan Petugas Kesehatan pada Pasien DM

di Kota Denpasar ... 61 Tabel 5.11 Proporsi Pasien DM Melakukan Skrining TB Paru di Kota Denpasar .... 61 Tabel 5.12 Alasan Pasien DM Tidak Melakukan Skrining TB Paru

di Kota Denpasar ... 62 Tabel 5.13 Pengaruh Karakteristik Pasien DM terhadap Keputusan Melakukan

Skrining TB Paru ... 63 Tabel 5.14 Pengaruh Pengalaman Pasien DM Mengenai TB Paru terhadap

Keputusan Melakukan Skrining TB Paru... 65 Tabel 5.15 Pengaruh Akses Pasien DM terhadap Keputusan Melakukan

Skrining TB Paru ... 66 Tabel 5.16 Pengaruh Pengetahuan, Sikap, dan Dukungan Petugas Kesehatan


(14)

xiv

Tabel 5.17 Hasil Analisis Multivariabel Faktor yang Memengaruhi Pasien DM Melakukan Skrining TB Paru ... 70


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Algoritma Skrining TB pada Pasien DM ... 17 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Faktor yang Memengaruhi Pasien DM

Melakukan Skrining TB Paru (Modifikasi dari Teori Lawrence Green)... 31 Gambar 4.1 Alur Pengumpulan Data ... 44


(16)

xvi

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Daftar Lambang °C : derajat Celcius. % : persen

> : lebih besar < : lebih kecil

≥ : lebih besar sama dengan

≤ : lebih kecil sama dengan x : kali

: : titik dua + : tambah = : sama dengan

Daftar Singkatan

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome ARTI : Annual Risk of Tuberculosis

BTA : Bakteri Tahan Asam CI : Confidence Interval CNR : Case Notification Rate Depkes : Departemen Kesehatan Dinkes : Dinas Kesehatan DM : Diabetes Melitus

FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama FKTL : Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut HIV : Human Immunodeficiency Virus IMT : Indeks Masa Tubuh

Kemenkes : Kementrian Kesehatan

KIE : Komunikasi, Informasi, dan Edukasi JKN : Jaminan Kesehatan Nasional


(17)

xvii

OR : Odds Ratio

PR : Prevalence Ratio RR : Relative Risk

SPS : Sewaktu, Pagi, dan Sewaktu

TB : Tuberkulosis

UPK : Unit Pelayanan Kesehatan WHO : World Health Organization


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Penelitian

2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden (Informed Consent) 3. Kuesioner Penelitian

4. Ethical Clearance Penelitian 5. Dokumentasi Penelitian 6. Hasil Analisis Data


(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2014). TB saat ini masih menjadi salah satu penyebab kematian di dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang (Prayitno et al., 2006). Menurut World Health Organization (WHO) dalam Global Tuberculosis Report 2015, diperkirakan 9,6 juta orang mengidap TB dan 1,5 juta orang meninggal karena TB pada tahun 2014. Selain itu, diperkirakan sekitar 58% kasus TB di dunia terjadi di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sampai saat ini sedang berjuang menghadapi permasalahan global TB. WHO menyebutkan bahwa pada tahun 2014, diperkirakan jumlah kasus TB di Indonesia yaitu mencapai 700.000 sampai 1.400.000 kasus dengan jumlah kematian akibat TB mencapai 100.000 orang. Hal tersebut menyebabkan Indonesia saat ini menempati peringkat ke-2 sebagai negara dengan beban TB tertinggi (high-burden countries) di dunia setelah negara India, yang menyumbang 10% dari kasus TB di dunia dengan angka insiden mencapai 399 per 100.000 penduduk dan angka prevalensi mencapai 647 per 100.000 penduduk (WHO, 2015).

Dalam menanggulangi tingginya angka morbitas dan mortalitas akibat TB, maka upaya penemuan kasus TB lebih dini merupakan hal yang perlu dilakukan agar proses pengobatan penderita semakin cepat dan penularan TB yang semakin luas


(20)

2

dapat dicegah. Namun, saat ini diperkirakan ada 1 dari setiap 3 kasus TB yang belum terdeteksi program (Pusdatin, 2015). Selain itu, hal yang dikhawatirkan yaitu setiap penderita TB Paru aktif dapat menularkan kuman TB kepada 5-10 orang di sekitarnya (Rye et al., 2009). Berlakunya fenomena gunung es pada penyakit TB dan seiring dengan munculnya epidemi HIV-AIDS di dunia, maka diperkirakan jumlah penderita TB Paru akan terus meningkat. Selain trend meningkatnya kasus koinfeksi HIV/TB, masalah baru yang kini menjadi perhatian para praktisi kesehatan saat ini yaitu mulai meningkatknya infeksi TB pada pasien DM.

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB (Elloriaga et al., 2014). Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa DM dan TB memiliki hubungan yang kuat. DM diduga dapat meningkatkan frekuensi maupun tingkat keparahan suatu infeksi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam sistem imun yang menyebabkan penurunan fungsi fagitosis sehingga lebih mudah terinfeksi TB (Cahyadi et al., 2011). Sedangkan, TB dapat menyebabkan

kenaikan gula darah dan memacu terjadinya “laten diabetes” atau menjadi faktor dekompensasi DM (Reviono et al., 2013).

Sampai saat ini, belum ada laporan resmi mengenai jumlah kasus infeksi TB pada pasien DM di dunia. Namun, kasus TB cenderung lebih banyak ditemukan pada negara-negara dengan angka prevalensi DM yang cukup tinggi. Pada 22 negara yang dinyatakan dengan beban TB tertinggi di dunia, prevalensi DM pada populasi umum berkisar 2-9% (Baghaei et al., 2013). Selain itu, 8 dari 10 negara dengan insiden DM tertinggi di dunia juga diklasifikasikan sebagai negara dengan beban TB tertinggi di dunia (Restrepo, 2007). Data hasil skrining TB Paru pada pasien DM di China tahun 2012 menunjukkan bahwa Case Notification Rate (CNR) TB pada pasien DM jauh


(21)

3

lebih tinggi yaitu berkisar antara 334 sampai 804/100.000 dibandingkan CNR TB pada populasi umum yang hanya 78/100.000 penduduk (Lin et al., 2012).

Di Indonesia, data infeksi TB pada pasien DM belum banyak dilaporkan. Namun, diperkirakan peningkatan kasus TB pada pasien DM juga terjadi seiring dengan peningkatan prevalensi DM di Indonesia (Cahyadi et al., 2011). Hasil penelitian oleh Livia et al. (2015) menunjukkan bahwa dari 738 pasien DM yang diperiksa di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, 28% diantaranya terjangkit TB dan 9,3% memiliki riwayat pernah menderita TB. Berdasarkan hal tersebut, mengingat adanya potensi penemuan kasus TB Paru pada pasien DM, maka diperlukan upaya skrining TB Paru pada pasien DM dalam rangka meningkatkan CNR TB dan pengobatan kombinasi TB-DM yang lebih dini.

Salah satu kunci keberhasilan penemuan kasus TB Paru pada pasien DM yaitu tindakan atau keputusan pasien DM untuk melakukan skrining TB Paru. Belum ada penelitian yang mengungkapkan faktor yang memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru. Namun, penelitian hampir terkait yang sama-sama meneliti tentang keputusan melakukan skrining TB Paru yaitu penelitian Kurniawan (2015) mengenai faktor yang memengaruhi pemeriksaan kontak serumah pada penderita TB. Hasil penelitian tersebut mendapatkan hanya 55,7% anggota keluarga penderita TB yang melakukan skrining TB Paru. Mereka yang tidak melakukan skrining beralasan bahwa skrining TB hanya diperlukan pada orang yang sudah tertular atau telah menunjukkan gejala TB. Hasil penelitian tersebut mendapatkan bahwa perilaku skrining dipengaruhi persepsi pribadi terkait risiko menderita penyakit (p=0,01).

Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak semua atau 100% yang melakukan skrining TB Paru. Tingginya risiko tertular TB pada anggota


(22)

4

keluarga penderita tentunya sebanding dengan risiko penularan TB pada pasien DM karena pasien DM mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga lebih mudah terinfeksi TB. Maka dari itu, penerapan skrining TB Paru perlu juga dilakukan pada pasien DM. Namun, jika bercermin pada hasil penelitian tersebut yaitu tingkat partisipasi melakukan skrining hanya sebesar 55,7%, maka kemungkinan partisipasi pasien DM melakukan skrining TB Paru juga akan rendah.

Skrining TB Paru pada pasien DM merupakan program yang mulai dilaksanakan pada bulan Januari 2016 di sebelas puskesmas yang ada di Kota Denpasar sebagai hasil konsensus pengendalian kasus TB-DM yang difasilitasi oleh Kementrian Kesehatan RI. Program ini bertujuan untuk meningkatkan notifikasi kasus mengingat rendahnya CNR TB di Provinsi Bali pada tahun 2014 yang hanya sebesar 74/100.000 penduduk dari yang ditargetkan sebesar 78/100.000 penduduk (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2015). Nantinya, dalam program ini akan dilihat pula feasibility penerapan skrining TB Paru pada pasien DM dengan melihat tingkat partisipasi pasien DM dalam melakukan prosedur pemeriksaan TB Paru. Sejalan dengan kemungkinan rendahnya partisipasi pasien DM melakukan skrining TB Paru, maka penting untuk mengetahui faktor yang memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru. Selain itu, mengingat belum ada penelitian terkait faktor yang memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru yang pernah dilakukan di Kota Denpasar.

Penelitian yang mempelajari hubungan beberapa variabel bebas dengan satu variabel tergantung kategorikal dikotom tidak dapat dianalisis menggunakan uji Chi Square. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, maka dikembangkan suatu model analisis multivariabel berupa Regresi Poisson (Poisson Regression). Metode regresi


(23)

5

poisson dipilih dalam penelitian ini karena dapat mengetahui pengaruh variabel bebas secara parsial atau simultan terhadap variabel tergantung dengan memakai ukuran asosiasi berupa prevalence ratio (PR). Berdasarkan hal tersebut, maka

peneliti tertarik untuk mengangkat judul penelitian berupa “Faktor yang Memengaruhi Pasien Diabetes Mellitus (DM) Melakukan Skrining Tuberkulosis (TB) Paru di Kota Denpasar” dengan memanfaatkan regresi poisson dalam analisisnya.

1.2 Rumusan Masalah

Beberapa penelitian menunjukkan kecendrungan pasien DM terinfeksi TB Paru sehingga perlu dilakukan skrining TB Paru pada pasien DM. Skrining TB Paru pada pasien DM merupakan program yang mulai dilaksanakan di Kota Denpasar dalam upaya meningkatkan notifikasi kasus yang belum mencapai target. Dalam program ini, akan dilihat pula feasibility penerapan skrining TB Paru pada pasien DM dengan melihat tingkat partisipasi pasien DM dalam melakukan skrining TB Paru. Penelitian terkait tindakan skrining TB Paru menunjukkan bahwa hanya 55,7% anggota keluarga penderita TB yang berpartisipasi melakukan skrining yang seharusnya diikuti oleh 100% anggota keluarga. Hal tersebut cukup menjadi cerminan kemungkinan rendahnya partisipasi saat penerapan program skrining TB Paru pada pasien DM dilakukan di Kota Denpasar. Maka dari itu, penting untuk mengetahui tingkat partisipasi dan faktor yang memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru di Kota Denpasar. Hal ini mengingat belum ada penelitian sejenis yang pernah dilakukan di Kota Denpasar. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui tingkat partisipasi pasien DM dalam melakukan skrining TB Paru dan faktor yang memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru di Kota Denpasar.


(24)

6

1.3 Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan penelitian berdasarkan rumusan masalah tersebut yaitu sebagai berikut.

1. Bagaimana tingkat partisipasi pasien DM dalam melakukan skrining TB Paru? 2. Apakah karakteristik sosio-demografi seperti umur, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, status bekerja, dan pendapatan perkapita memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru?

3. Apakah pengalaman mengenai TB seperti riwayat menderita TB dan riwayat anggota keluarga pernah menderita TB memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru?

4. Apakah pengetahuan mengenai TB memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru?

5. Apakah sikap mengenai TB memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru?

6. Apakah akses geografis yaitu jarak dan waktu tempuh ke pelayanan kesehatan memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru?

7. Apakah akses finansial yaitu jenis pembiayaan pelayanan kesehatan memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru?

8. Apakah dukungan petugas kesehatan memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru?


(25)

7

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat partisipasi pasien DM dalam melakukan skrining TB Paru dan mengidentifikasi faktor yang memengaruhi pasien diabetes mellitus (DM) melakukan skrining TB Paru di Kota Denpasar.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian ini yaitu sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui tingkat partisipasi pasien DM dalam melakukan skrining TB Paru.

2. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik sosio-demografi seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status bekerja, dan pendapatan perkapita terhadap keputusan pasien DM melakukan skrining TB Paru.

3. Untuk mengetahui pengaruh pengalaman mengenai TB seperti riwayat menderita TB dan riwayat anggota keluarga pernah menderita TB terhadap keputusan pasien DM melakukan skrining TB Paru.

4. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan mengenai TB terhadap keputusan pasien DM melakukan skrining TB Paru.

5. Untuk mengetahui pengaruh sikap mengenai TB terhadap keputusan pasien DM melakukan skrining TB Paru.

6. Untuk mengetahui pengaruh akses geografis yaitu jarak dan waktu tempuh ke pelayanan kesehatan terhadap keputusan pasien DM melakukan skrining TB Paru.


(26)

8

7. Untuk mengetahui pengaruh akses finansial yaitu pembiayaan pelayanan kesehatan terhadap keputusan pasien DM melakukan skrining TB Paru.

8. Untuk mengetahui pengaruh dukungan petugas kesehatan terhadap keputusan pasien DM melakukan skrining TB Paru.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmiah yang menyangkut bidang kesehatan masyarakat khususnya mengenai infeksi TB pada pasien DM serta faktor yang memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan awal bagi penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.

1.5.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis penelitian ini yaitu sebagai berikut. 1. Bagi Institusi Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi Dinas Kesehatan atau Puskesmas dalam pengembangan program skrining TB Paru pada pasien DM sebagai upaya meningkatkan Case Notification Rate (CNR) TB Paru. Selain itu, dapat diketahui faktor yang menyebabkan pasien DM tidak melakukan skrining TB Paru sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam upaya meningkatkan partisipasi pasien DM dalam melakukan skrining TB Paru.

2. Bagi Masyarakat

Sebagai sumber informasi bagi masyarakat mengenai risiko pasien DM untuk menderita TB Paru sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan penularan ke orang lain.


(27)

9

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian di bidang kesehatan masyarakat untuk mengetahui tingkat partisipasi pasien DM melakukan skrining TB Paru dan menganalisis faktor yang memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru di Kota Denpasar.


(28)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2014). Bakteri M. tuberculosis paling banyak ditemukan di lokasi yang kering dan lembab dan memiliki sifat tidak tahan panas dan akan mati pada suhu 6°C dalam waktu 15-20 menit. Biakan bakteri ini dapat mati jika terkena sinar matahari lansung selama 2 jam. Dalam dahak, bakteri M. tuberculosis dapat bertahan selama 20-30 jam (Hiswani, 2009).

Masa inkubasi kuman M. tuberculosis biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Daya tahan tubuh yang baik dapat menghentikan perkembangan kuman. Namun, ada beberapa kuman yang dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun dalam jaringan tubuh. Kuman tersebut akan beraktivitas kembali pada saat daya tahan tubuh yang buruk sehingga individu yang bersangkutan dapat menjadi penderita TB (Werdhani, 2008).

Gejala utama seseorang yang menderita TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Suarni, 2009). Setiap orang yang datang ke pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB.


(29)

11

2.1.2 Klasifikasi Tuberkulosis

Pada umumnya penderita TB pada diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi penyakit dan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu meliputi sebagai berikut. a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

Pada umumnya kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Maka dari itu, TB dapat dibedakan menjadi dua, yaitu TB Paru dan TB Ekstra Paru (WHO, 2014). TB Paru adalah TB yang menyerang parenkim (jaringan) paru, tidak termasuk pleura. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru (Kemenkes RI, 2014).

TB Ekstra Paru adalah TB yang menyerang organ lain selain paru. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu TB ekstra paru ringan dan TB ekstra paru berat. TB ekstra paru ringan yaitu meliputi TB kelenjar limfe, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal, sedangkan TB ekstra paru berat yaitu meliputi meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin (Werdhani, 2008).

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, TB Paru dibagi menjadi TB Paru BTA positif, dengan kriteria minimal 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif, sedangkan TB Paru BTA negatif yaitu dengan kriteria semua hasil dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif (Kemenkes RI, 2014).


(30)

12

2.1.3 Epidemiologi Tuberkulosis

Menurut World Health Organization (WHO) dalam Global Tuberculosis Report 2015, diperkirakan 9,6 juta orang mengidap TB dan 1,5 juta orang meninggal karena TB pada tahun 2014. Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan negara yang menyumbang sekitar 58% dari total kasus TB di dunia. Selain itu, seperempat kasus TB di dunia terjadi di Afrika yang juga merupakan wilayah dengan angka morbitas dan mortalitas TB tertinggi di dunia. Negara dengan insiden TB tertinggi di dunia yaitu berturut-turut India, Indonesia, dan China.

Indonesia saat ini menempati peringkat ke-2 sebagai negara dengan insiden TB tertinggi di dunia. Selain itu, Annual Risk of Tuberculosis (ARTI) di Indonesia berkisar antara 1-3% yang menunjukkan 10-30 orang diantara 1000 penduduk berisiko terinfeksi TB setiap tahunnya (Indreswari et al., 2014). WHO menyebutkan bahwa pada tahun 2014, diperkirakan jumlah kasus TB di Indonesia yaitu mencapai 700.000 sampai 1.400.000 kasus dengan jumlah kematian akibat TB mencapai 100.000 orang. Angka insiden TB di Indonesia mencapai 399 per 100.000 penduduk dan angka prevalensi mencapai 647 per 100.000 penduduk (WHO, 2015).

Secara global, mortalitas akibat TB menurun sebesar 47% selama periode 1990 sampai 2014. Begitu pula, prevalensi TB menurun sebesar 42% pada periode yang sama (WHO, 2015). Namun, masalah yang cukup serius terkait penanggulangan TB yang saat ini dihadapi yaitu meningkatnya trend infeksi TB pada penderita HIV (ko-infeksi HIV/TB). Diperkirakan pada tahun 2014, sebanyak 1,2 juta (12%) dari 9,6 juta orang yang mengidap TB merupakan penderita HIV. Selain trend meningkatnya kasus ko-infeksi HIV/TB, masalah baru yang kini menjadi perhatian yaitu mulai meningkatknya infeksi TB pada pasien DM.


(31)

13

Laporan resmi mengenai kejadian infeksi TB pada pasien DM (ko-morbiditi DM/TB) belum banyak dilaporkan. Namun, kasus TB cenderung lebih banyak terjadi pada negara dengan angka prevalensi DM yang cukup tinggi. Pada 22 negara yang dinyatakan dengan beban TB tertinggi di dunia, prevalensi DM pada populasi umum berkisar antara 2-9% (Baghaei et al., 2013). Selain itu, 8 dari 10 negara dengan insiden DM tertinggi di dunia juga diklasifikasikan sebagai negara dengan beban TB tertinggi di dunia (Restrepo, 2007).

Hasil skrining TB Paru pada pasien DM di China tahun 2012 menunjukkan bahwa Case Notification Rate (CNR) TB pada pasien DM jauh lebih tinggi yaitu berkisar antara 334 sampai 804/100.000 penduduk dibandingkan CNR TB pada populasi umum yang hanya 78/100.000 penduduk (Lin et al., 2012). Selain itu, penelitian di Ethiopia pada tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi TB Paru BTA positif pada penderita DM suspek TB yaitu sebesar 6,2% dibandingkan pada populasi umum yang hanya sebesar 0,39% (Amare et al., 2013).

2.1.4 Penularan Tuberkulosis

Paru-paru merupakan tempat masuk lebih dari 98% kasus infeksi TB (Werdhani, 2008). Penyakit TB hanya dapat ditularkan oleh pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei) (Kemenkes RI, 2009). Dalam sekali batuk, penderita TB akan mengeluarkan sekitar 3000 droplet (Kemenkes RI, 2014). Ketika droplet kontak dengan udara, droplet ini akan cepat kering dan menjadi partikel yang sangat ringan. Droplet dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab (Hiswani, 2009). Droplet yang lebih besar jatuh ke lantai, sedangkan yang berukuran 1 hingga 10 μm tetap melayang di udara selama periode waktu tertentu tergantung dari kondisi lingkungan (Aditama et al., 2008).


(32)

14

Pada umumnya, penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. (Werdhani, 2008). Setelah masuk ke sistem pernafasan (paru-paru), bakteri M. tuberculosis dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya seperti otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening dan lain-lain (Suarni, 2009). Penyebaran ini melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh (Aditama et al., 2008).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari paru-paru. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, maka makin menular penderita tersebut (Werdhani, 2008). Seseorang dengan kondisi daya tahan tubuh yang baik, maka bakteri M. tuberculosis akan dorman sepanjang hidupnya. Namun, pada orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang kurang, maka bakteri ini akan berkembang biak. Bakteri tersebut akan berkumpul membentuk ruang di dalam rongga paru yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat bakteri), maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Kemenkes RI, 2009).

2.1.5 Komorbiditi Tuberkulosis-Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelainan metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, sebagai akibat kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Secara klinis, berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM, baik keluhan klasik maupun keluhan tambahan. Keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan tambahan lainnya berupa lemah badan, kesemutan, gatal, pandangan kabur,


(33)

15

disfungsi ereksi pada laki-laki, serta pruritus vulva pada perempuan (Wulandari et al., 2013).

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, bila keluhan klasik ditemukan dan pemeriksaan glukosa darah puasa >126 mg/dL, maka pasien dapat didiagnosis DM. Ketiga, yaitu dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) (Cahyadi et al., 2011).

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa DM merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB (Elorriaga et al., 2014). DM diduga dapat meningkatkan frekuensi maupun tingkat keparahan suatu infeksi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam sistem imun yang menyebabkan penurunan fungsi fagitosis sehingga lebih mudah terinfeksi TB (Cahyadi et al., 2011). Sedangkan, TB

dapat menyebabkan kenaikan gula darah dan memacu terjadinya “laten diabetes”

atau menjadi faktor dekompensasi DM (Reviono et al., 2013). Selain itu, penderita yang mengalami ko-morbiditi cenderung memiliki konversi yang lebih lama daripada penderita TB tanpa DM sehingga meningkatkan risiko penularan, resistensi kuman, kegagalan pengobatan TB, dan risiko kematian yang jauh lebih tinggi (Baghaei et al., 2013).

Hasil skrining TB Paru pada pasien DM di China tahun 2012 menunjukkan bahwa Case Notification Rate (CNR) TB pada pasien DM jauh lebih tinggi yaitu berkisar antara 334 sampai 804/100.000 dibandingkan CNR TB pada populasi umum yang hanya 78/100.000 penduduk (Lin et al., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Dobler et al. (2015) dengan rancangan cohort mengungkapkan bahwa besarnya risiko (RR) penderita DM untuk terkena TB yaitu 1,5 kali dan pada penderita DM yang menggunakan insulin yaitu jauh lebih tinggi mencapai 2,27 kali.


(34)

16

2.1.6 Skrining Tuberkulosis pada Pasien Diabetes Mellitus

Skrining adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan antara orang yang mungkin menderita penyakit dengan orang yang mungkin tidak menderita (Indreswari et al., 2014). Kegiatan skrining bertujuan untuk mendeteksi secara dini mereka yang diduga menderita penyakit tertentu sehingga dapat segera ditindaklanjuti dan mencegah meluasnya penyakit menjadi lebih serius. Skrining TB paru merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam menemukan penderita TB Paru dari suatu pupulasi tertentu. Dalam melakukan skrining TB Paru, maka prosedur pertama yang dilakukan yaitu melihat gejala yang tampak.

Berdasarkan konsensus pengendalian TB-DM di Indonesia, prosedur skrining TB Paru pada pasien DM yang dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL) adalah dengan melaksanakan kedua langkah berikut.

1. Wawancara untuk mencari salah satu gejala/faktor risiko TB pada pasien DM yaitu sebagai berikut.

- Batuk produktif, terutama batuk berdahak ≥ 1 minggu - Demam hilang timbul, tidak tinggi (subfebris)

- Keringat malam tanpa disertai aktivitas - Penurunan berat badan

- TB ekstra paru antara lain: pembesaran kelenjar getah bening (KGB) - Sesak, nyeri saat menarik napas, atau rasa berat di satu sisi dada

2. Pemeriksaan lanjutan berdasarkan gejala yang dialami pasien DM. Apabila pasien

DM mengalami gejala batuk produktif, terutama batuk berdahak ≥ 1 minggu,


(35)

17

pasien DM yang tidak mengalami gejala tersebut selanjutnya akan dirujuk untuk pemeriksaan foto toraks untuk mencari abnormalitas paru. Jika fasilitas tidak tersedia di FKTP, maka pasien dirujuk ke FKRTL atau lab radiologi jejaring.


(36)

18

2.1.7 Penegakan Diagnosis Tuberkulosis pada Pasien Diabetes Mellitus

Pasien DM dengan gejala batuk produktif, terutama batuk berdahak ≥ 1

minggu, maka akan langsung mengikuti prosedur pemeriksaan dahak mikroskopis. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Kemenkes RI, 2014).

• S (Sewaktu):

Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

• P (Pagi):

Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di unit pelayanan kesehatan (UPK).

• S (Sewaktu):

Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila satu dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila ketiga spesimen SPS BTA hasilnya negatif, maka dilakukan pemeriksaan foto toraks (rontgen) dada. Bila hasil rontgen mendukung TB Paru maka penderita itu dinyatakan sebagai penderita TB Paru BTA negatif rontgen positif dan jika hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, maka dapat dinyatakan sebagai bukan penderita TB dan skrining pada pasien DM tersebut dapat dilakukan setiap kunjungan berikutnya dengan menelusuri gejala atau faktor risiko.


(37)

19

Pada pasien DM dengan gejala lain selain batuk produktif atau tanpa gejala, maka akan dirujuk untuk pemeriksaan foto rontgen. Jika salah satu baik gejala atau hasil pemeriksaan rontgen memberikan hasil positif, maka tatalaksana selanjutnya yaitu pasien melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis secara SPS, sedangkan jika gejala dan hasil pemeriksaan rontgen sama-sama memberikan hasil negatif, maka pasien DM dapat dinyatakan tidak menderita TB.

Pada pasien dengan hasil pemeriksaan foto rontgen positif dan pemeriksaan dahak mikroskopis secara SPS menunjukkan hasil yang positif, maka pasien DM dapat didiagnosis menderita TB, sedangkan jika hasil rontgen positif, tetapi hasil pemeriksaan mikroskopis negatif, maka pasien DM dapat dinyatakan penderita TB Paru BTA negatif rontgen positif. Pada pasien DM yang dinyatakan tidak menderita TB, maka petugas kesehatan di FKTP/FKTL dapat melakukan wawancara gejala TB tiap kunjungan berikutnya dan memberikan KIE pencegahan TB.

2.2 Melakukan Pemeriksaan (Skrining) Tuberkulosis Paru

2.2.1 Pengertian Melakukan Pemeriksaan (Skrining) Tuberkulosis Paru

Melakukan pemeriksaan (skrining) TB Paru merupakan suatu tindakan atau perilaku seseorang untuk mengikuti prosedur pemeriksaan (skrining) TB Paru. Perilaku merupakan hasil antara stimulus (faktor eksternal) dengan respon (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut (Notoadmojo, 2010a). Maka dari itu, perilaku seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek.

Melakukan skrining TB Paru sebagai salah satu wujud tindakan atau perilaku dapat dijelaskan melalui teori Teori Preced-Proceed yang dicetuskan oleh Lawrence Green pada tahun 1991. Dari sekian banyak teori perilaku kesehatan yang ada, Teori Lawrence Green merupakan yang paling populer dan paling banyak digunakan


(38)

20

karena mudah dimengerti. Selain itu teori ini dapat menjelaskan pengaruh faktor-faktor di luar individu yang dapat mempengaruhi keputusan individu untuk berperilaku. Teori Lawrence Green membagi faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor).

Predisposing factor merupakan faktor yang mempermudah atau

mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, seperti karakteristik sosio demografi, pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan lainnya. Enabling factor yaitu faktor yang mendukung atau memfasilitasi perilaku atau tindakan artinya yang meliputi sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, seperti akses pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat. Reinforcing foctor yaitu faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong seseorang untuk berperilaku yang berasal dari orang lain, seperti dukungan keluarga atau petugas kesehatan (Notoadmojo, 2010b).

2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Melakukan Pemeriksaan (Skrining) Tuberkulosis Paru

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi melakukan skrining TB Paru sebagai hasil penjabaran teori Lawrence Green yaitu sebagai berikut.

1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) a. Karakteristik Sosio Demografi

Karakteristik sosio demografi merupakan karakteristik yang melekat atau ada pada diri individu yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan karakteristik lainnya. Karakteristik ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi pengetahuan, sikap, dan perilaku individu dalam memberikan respon atau mengambil suatu keputusan. Beberapa


(39)

21

penelitian di bidang kesehatan menunjukkan bahwa karakteristik sosio demografi berhubungan erat dengan kejadian penyakit atau memengaruhi pola pemanfaatan pelayanan kesehatan pada individu (Martini, 2013).

Penelitian kesehatan yang menggambarkan kejadian penyakit atau pengambilan keputusan dalam pencarian pengobatan berdasarkan karakteristik sosio demografi sudah cukup banyak. Namun, khusus yang menggambarkan hubungan karakteristik sosio demografi dengan keputusan melakukan skrining TB pada pasien DM masih belum ada. Beberapa penelitian yang dapat dijadikan bahan rujukan yaitu penelitian yang menghubungkan karakteristik sosio demografi dengan kepatuhan berobat pada penderita TB Paru. Penelitian yang dilakukan oleh Erawatyningsih et al. (2009) dengan rancangan case control di Wilayah Kerja Puskesmas Dompu Barat, Provinsi NTB mendapatkan bahwa proporsi pendidikan tinggi yang patuh sebesar 46,7% dan pada yang tidak patuh hanya sebesar 10%, serta terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan berobat (p=0,007).

Selain penelitian kepatuhan berobat pasien yang hampir mirip dengan keputusan melakukan skrining TB Paru karena sama-sama merupakan wujud perilaku, penelitian yang juga dapat dijadikan rujukan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Thomas et al. (2007) mengenai kesediaan test HIV pada pasien TB di India. Hasil tersebut mengungkapkan bahwa jenis kelamin laki-laki meningkatkan odd untuk bersedia menjalani tes HIV 1,9 kali dibandingkan jenis kelamin perempuan dan bermakna secara statistik (p<0,001). Selain itu, pada pasien TB yang bekerja juga meningkatkan odd untuk bersedia menjalani tes HIV 1,2 kali dibandingkan pada mereka yang belum bekerja dan hubungan tersebut bermakna secara statistik (p=0,023).


(40)

22

b. Pengalaman Mengenai TB

Pengalaman dapat diartikan sebagai sekumpulan hal yang pernah dialami atau dirasakan pada diri seseorang. Pengalaman mengenai TB dapat diperoleh seseorang dari dirinya sendiri maupun hasil interaksi dengan lingkungan sekitar. Pengalaman mengenai TB yang berasal dari diri sendiri yaitu dapat berupa riwayat pernah menderita TB, sedangkan pengalaman yang merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sekitar dapat berupa pengalaman kontak dengan anggota keluarga yang pernah menderita TB. Pengalaman mengenai TB yang didapat seseorang dari dirinya sendiri maupun lingkungan akan memengaruhi proses pembentukan pengetahuan pada diri seseorang.

Beberapa penelitian di bidang pencegahan dan pengendalian TB yang ada hanya terbatas mempelajari tentang pengalaman atau riwayat kontak dengan anggota keluarga terhadap kejadian TB Paru. Penelitian yang dilakukan oleh Anugrah (2012) mendapatkan bahwa riwayat kontak dengan anggota keluarga meningkatkan peluang untuk terkena TB 1,7 kali dan hubungan tersebut bermakna secara statistik (p=0,01).

Penelitian yang khusus mempelajari hubungan antara pengalaman mengenai TB, baik berupa pengalaman pernah menderita TB atau pengalaman anggota keluarga pernah menderita TB dengan keputusan melakukan skrining TB masih belum ada. Namun diduga pengalaman mengenai TB yang dimiliki seseorang merupakan bentuk keterpaparan informasi sehingga akan memengaruhi sikap dan pengetahuan mengenai TB. Hal tersebut tentu merupakan faktor predisposisi yang akan memengaruhi pengambilan perilaku kesehatan, salah satunya yaitu keputusan untuk bersedia melakukan skrining TB Paru.


(41)

23

c. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan objek. Pengetahuan merupakan faktor penting yang memengaruhi prilaku seseorang karena perilaku terbentuk didahului oleh pengetahuan dan sikap yang positif (Notoatmodjo, 2010b). Pengetahuan mengenai TB dan TB-DM dapat diperoleh melalui penglihatan seperti melihat dan membaca informasi dari media massa atau media elektronik. Selain itu, bisa juga didapat melalui mendengarkan informasi dari penyuluhan atau konseling yang dilakukan oleh petugas kesehatan.

Pengetahuan mengenai TB dan TB-DM dibentuk dari terpaparnya informasi mengenai TB dan TB-DM. Berbeda dengan keterpaparan informasi yang hanya dinilai apakah pasien DM mendapat informasi yang cukup, pengetahuan dinilai dengan menggunakan pertanyaan untuk mengukur tingkat pengetahuan pasien DM yang meliputi penyebab, gejala, cara penularan, pengobatan, pencegahan TB, serta mengenai TB-DM. Pasien DM yang memiliki pengetahuan yang cukup diharapkan bersedia untuk melakukan prosedur skrining TB Paru.

Penelitian tentang pengetahuan TB sudah cukup banyak dilakukan, tetapi yang khusus mempelajari pengetahuan TB dan TB-DM pada pasien DM masih belum ada. Penelitian yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Erawatyningsih et al. (2009) mengenai faktor yang memengaruhi kepatuhan berobat pada penderita TB Paru. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa proporsi pengetahuan tinggi pada


(42)

24

yang patuh yaitu sebesar 71%, sedangkan proporsi pengetahuan tinggi pada yang tidak patuh hanya sebesar 19%. Selain itu, terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan berobat (p=0,0002).

Penelitian yang serupa terkait hubungan pengetahuan dengan tindakan melakukan skrining dilakukan oleh Kedebe et al. (2014) yaitu mengenai penerimaan tes HIV pada pasien TB di wilayah Ethiopia Barat. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa mereka yang berpengetahuan baik mengenai penyakit dan prosedur test meningkatkan odd untuk mengikuti tes HIV sebesar 8,09 kali dibandingkan pada mereka yang berpengetahuan buruk dan hubungan tersebut bermakna secara statistik (p=0,017).

d. Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010b). Dalam konteks kesehatan, sikap dapat berupa pendapat seseorang terhadap program atau upaya yang sedang diterapkan. Ungkapan pendapat dapat berupa pernyataan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang. Sikap juga merupakan kesiapan seseorang untuk berperilaku.

Sikap tentang TB-DM merupakan sikap yang mengacu pada Teori Health Belief Model, yaitu bahwa tindakan dapat muncul karena adanya persepsi individu meliputi kerentanan untuk menderita TB (perceived of susceptibility), keseriusan penyakit (percieved of severity), persepsi penghalang untuk mengikuti skrining dan terapi TB-DM (percieved of barrier), dan keuntungan mengikuti skrining dan terapi TB-DM (percieved of benefit) (Rawlett, 2011). Pasien DM yang memiliki sikap positif terhadap TB-DM, skrining, dan terapi TB-DM diharapkan bersedia mengikuti prosedur skrining TB Paru.


(43)

25

Berdasarkan penelusuran penelitian kesehatan yang mempelajari sikap terhadap perilaku, belum ada penelitian yang khusus mempelajari tentang sikap terhadap keputusan melakukan skrining TB Paru. Penelitian kesehatan di bidang pencegahan dan penanggulangan TB yang dapat digunakan sebagai rujukan diantaranya yang dilakukan oleh Kurniawan (2015) mengenai hubungan sikap atau persepsi terkait TB dengan tindakan skrining pada anggota keluarga penderita TB. Hasil penelitian tersebut mendapatkan bahwa persepsi pribadi terkait kerentanan terinfeksi TB memengaruhi tindakan skrining TB (p=0,01).

Penelitian lainnya yang dapat dijadikan bahan rujukan yaitu penelitian Dhewi et al. (2012) mengenai hubungan sikap terkait TB dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB. Sebagian besar yaitu 77% pasien dengan sikap yang baik cenderung patuh minum obat, sedangkan pada sikap yang kurang hanya 10% yang patuh minum obat. Sikap yang baik meningkatkan peluang untuk patuh minum obat sebesar 3,4 kali dan hubungan tersebut bermakna secara statistik (p=0,001).

2. Faktor Pemungkin (Enabling Factor) a. Akses ke Pelayanan Kesehatan

Akses ke pelayanan kesehatan merupakan faktor pendukung (enabling factor) yang memengaruhi keputusan sesorang dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Akses ke pelayanan kesehatan secara garis besar dapat dibedakan menjadi akses geografis dan akses finansial. Akses geografis pemanfaatan pelayanan kesehatan meliputi jarak tempat tinggal ke fasilitas pelayanan kesehatan dan waktu tempuh untuk menjangkau pelayanan kesehatan tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan akses finansial berupa biaya yang dikeluarkan di pelayanan kesehatan (Sari et al., 2013).


(44)

26

Berkaitan dengan keputusan melakukan skrining TB Paru pada pasien DM, maka akses ke pelayanan kesehatan dapat ditinjau dari jarak tempat tinggal dan waktu tempuh menuju ke fasilitas kesehatan terkait, serta adanya pembiayaan yang dikeluarkan di pelayanan kesehatan untuk tujuan skrining. Penelitian yang dapat dijadikan referensi yaitu penelitian yang dilakukan oleh Asmariani (2012) mengenai hubungan jarak tempat tinggal ke pelayanan kesehatan dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB. Hal ini disebabkan karena belum ada penelitian yang khusus mempelajari pengaruh akses pasien DM ke pelayanan kesehatan terhadap keputusan melakukan skrining TB Paru. Hasil penelitian tersebut cukup menjelaskan bahwa pasien yang dengan akses jarak ke pelayanan kesehatan yang mudah akan meningkatkan peluang untuk patuh sebesar 8,7 kali dan hubungan tersebut bermakna secara statistik (p=0,008).

3. Faktor Penguat (Reinforcing Factor) a. Dukungan Petugas Kesehatan

Dukungan petugas kesehatan merupakan salah satu bentuk faktor dorongan (reinforcing factor) yang memengaruhi pengambilan keputusan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh petugas kesehatan yaitu dukungan melalui penyampaian informasi dan dukungan emosional yang dapat memotivasi seseorang dalam memilih perilaku kesehatan. Dukungan petugas kesehatan terkait dengan keputusan melakukan skrining TB pada pasien DM dapat berupa penyampaian informasi secara jelas mengenai besarnya risiko untuk menderita TB, tahapan atau prosedur mengikuti skrining, serta dukungan emosional berupa merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan skrining TB Paru.


(45)

27

Penelitian khusus yang mempelajari hubungan dukungan petugas kesehatan dengan keputusan melakukan skrining TB Paru pada pasien DM masih belum ada. Namun, penelitian terkait yang dapat dijadikan bahan rujukan yaitu penelitian mengenai hubungan dukungan petugas kesehatan dengan kepatuhan penggunaan obat TB yang dilakukan oleh Manuhara (2012) di Puskesmas Kota Surakarta. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa faktor dominan yang memengaruhi kepatuhan pada pasien TB yaitu dukungan petugas kesehatan yang memberikan informasi tentang pengobatan TB yang sedang dijalani (78,9%). Berkaitan dengan hal tersebut, maka peran petugas kesehatan dalam memberikan dukungan sangat penting karena berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan pada pasien.

2.3 Metode Regresi Poisson 2.3.1 Pengertian Regresi Poisson

Regresi poisson merupakan bagian dari analisis regresi yang menganalisis hubungan satu atau beberapa variabel bebas terhadap satu outcome variabel binary (nominal dengan 2 kategori) dengan asumsi probabilitas kejadian outcome berdistrubusi poisson. Data berdistribusi poisson yang dimaksud yaitu rate atau banyaknya kejadian dalam interval waktu tertentu (Rodriguez, 2007). Analisis regresi poisson digunakan untuk melakukan estimasi rate ratio dengan membandingkan kelompok terpapar dan tidak terpapar.

Berdasarkan jumlah variabel bebas yang akan dianalisis, regresi poisson dibedakan menjadi dua, yaitu regresi poisson sederhana (simple poisson regression) dan regresi poisson ganda (multiple poisson regression). Regresi poisson sederhana digunakan apabila ingin mempelajari hubungan antara satu variabel bebas dengan satu variabel tergantung. Sedangkan regresi poisson ganda digunakan apabila ingin


(46)

28

mempelajari hubungan antara beberapa variabel bebas dengan dengan satu variabel tergantung.

2.3.2 Model Regresi Poisson

Model regresi poisson menggunakan logaritma dari rate dengan variabel tergantung merupakan persamaan model regresi. Adapun model regresi poisson dengan variabel X sebagai variabel bebas yaitu sebagai berikut.

e X b a Rate

Log   1 1  (untuk regresi poisson sederhana)

e X b X b a Rate

Log   1 12 2 ... (untuk regresi poisson ganda) atau RateExp

ab1X1b2X2 ...e

Keterangan:

a = intercept/ konstan

i

b = koefisien regresi untuk variabel bebas i

i

X = variabel bebas ke i e = error

2.3.3 Penentuan Faktor Risiko

Ada tidaknya faktor risiko dari variabel bebas terhadap variabel tergantung dapat dilihat dari rate ratio (RR). Rate merupakan perbandingan antara probabilitas kejadian (event) dibagi dengan jumlah orang waktu pengamatan (person-time). Sedangkan rate ratio (RR) merupakan rasio antara rate kelompok terpapar dengan rate pada kelompok tidak terpapar. Adapun persamaan nilai RR yang diturunkan dari model regresi poisson yaitu sebagai berikut.

 Rate kelompok terpapar (X=1) yaitu RateExp

ab.1

Exp (ab)


(47)

29 ) ( ) ( ) ( )

( Exp b

a Exp b a Exp terpapar tidak Rate terpapar Rate RR Ratio

Rate    

2.3.4 Asumsi Regresi Poisson

Berbeda dengan regresi linier, regresi poisson tidak memerlukan asumsi-asumsi seperti linieritas, homoskedastisitas, tidak terdapat autokorelasi, dan tidak terdapat multikolineritas. Asumsi yang harus dipenuhi dalam regresi poisson yaitu bahwa data fit dengan analisis regresi poisson. Metode yang sering dipakai yaitu Goodness of Fit. Pada metode ini, akan dibandingkan antara hasil observasi dengan prediksi hipotetik secara sempurna. Perbedaan antara hasil observasi dengan hasil prediksi mempunyai distribusi Chi Square. Bila nilai p-value > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data fit dengan model regresi poisson.

2.3.5 Cara Seleksi Variabel Bebas

Metode-metode yang digunakan untuk pemilihan variabel bebas dalam regresi poisson yaitu sebagai berikut.

1. Metode Enter

Pada metode ini semua variabel bebas dimasukkan secara serentak tanpa melewati kriteria tertentu. Kemudian pengeluaran variabel dari model didasarkan kepada pertimbangan peneliti baik secara substansi atau dari aspek statistik. 2. Metode Forward

Pada metode ini dimasukkan satu per satu dari hasil pengkorelasian variabel dan memenuhi kriteria kemaknaan statistik untuk masuk ke dalam model, sampai semua variabel yang memenuhi kriteria masuk. Variabel yang pertama kali masuk adalah variabel yang mempunyai korelasi parsial terbesar dengan variabel tergantung. Standar kriteria yaitu jika variabel mempunyai nilai p < 0,05 maka dapat masuk ke dalam model.


(48)

30

3. Metode Backward

Metode dengan memasukkan semua variabel ke dalam model, kemudian satu per satu variabel yang tidak memenuhi kriteria kemaknaan statistik tertentu dikeluarkan dari model. Variabel pertama yang dikeluarkan adalah variabel yang mempunyai korelasi parsial terkecil dengan variabel tergantung atau mempunyai nilai p (p-value) terbesar. Variabel bebas yang berpengaruh secara independen terhadap variabel tergantung jika nilai p < 0,05.

4. Metode Stepwise

Metode stepwise merupakan kombinasi metode antara backward dan forward. Pada metode ini, dimulai dari tanpa variabel sama sekali dalam model. Kemudian satu per satu variabel hasil pengkoreksial variabel dimasukkan ke dalam model dan dikeluarkan dari model dengan kriteria yang sudah ditetapkan. Variabel yang pertama masuk adalah variabel yang mempunyai korelasi parsial terbesar. Setelah masuk variabel pertama ini diperiksa apakah sudah memenuhi kriteria atau perlu keluar dari model seperti pada metode backward.

2.3.6 Modifikasi Regresi Poisson untuk Penelitian Cross-Sectional

Regresi poisson pada umumnya digunakan pada penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian cohort dan hasil analisis akan mendapatkan ukuran asosiasi berupa incidence rate ratio (IRR). Namun, pada rancangan cross-sectional study, tidak ada variabel interval waktu pengamatan dan ukuran asosiasi yang digunakan yaitu prevalence ratio (PR). Maka dari itu, diperlukan modifikasi regresi poisson untuk rancangan penelitian cross-sectional study yang dilakukan dengan membuat variabel waktu dengan nilai yang sama untuk semua subjek,

misalnya “1”. Hasil analisis akan menunjukkan ukuran asosiasi dalam rancangan cross-sectional study, yaitu berupa prevalence ratio (PR).


(1)

Berdasarkan penelusuran penelitian kesehatan yang mempelajari sikap terhadap perilaku, belum ada penelitian yang khusus mempelajari tentang sikap terhadap keputusan melakukan skrining TB Paru. Penelitian kesehatan di bidang pencegahan dan penanggulangan TB yang dapat digunakan sebagai rujukan diantaranya yang dilakukan oleh Kurniawan (2015) mengenai hubungan sikap atau persepsi terkait TB dengan tindakan skrining pada anggota keluarga penderita TB. Hasil penelitian tersebut mendapatkan bahwa persepsi pribadi terkait kerentanan terinfeksi TB memengaruhi tindakan skrining TB (p=0,01).

Penelitian lainnya yang dapat dijadikan bahan rujukan yaitu penelitian Dhewi et al. (2012) mengenai hubungan sikap terkait TB dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB. Sebagian besar yaitu 77% pasien dengan sikap yang baik cenderung patuh minum obat, sedangkan pada sikap yang kurang hanya 10% yang patuh minum obat. Sikap yang baik meningkatkan peluang untuk patuh minum obat sebesar 3,4 kali dan hubungan tersebut bermakna secara statistik (p=0,001).

2. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)

a. Akses ke Pelayanan Kesehatan

Akses ke pelayanan kesehatan merupakan faktor pendukung (enabling factor) yang memengaruhi keputusan sesorang dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Akses ke pelayanan kesehatan secara garis besar dapat dibedakan menjadi akses geografis dan akses finansial. Akses geografis pemanfaatan pelayanan kesehatan meliputi jarak tempat tinggal ke fasilitas pelayanan kesehatan dan waktu tempuh untuk menjangkau pelayanan kesehatan tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan akses finansial berupa biaya yang dikeluarkan di pelayanan kesehatan (Sari et al., 2013).


(2)

Berkaitan dengan keputusan melakukan skrining TB Paru pada pasien DM, maka akses ke pelayanan kesehatan dapat ditinjau dari jarak tempat tinggal dan waktu tempuh menuju ke fasilitas kesehatan terkait, serta adanya pembiayaan yang dikeluarkan di pelayanan kesehatan untuk tujuan skrining. Penelitian yang dapat dijadikan referensi yaitu penelitian yang dilakukan oleh Asmariani (2012) mengenai hubungan jarak tempat tinggal ke pelayanan kesehatan dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB. Hal ini disebabkan karena belum ada penelitian yang khusus mempelajari pengaruh akses pasien DM ke pelayanan kesehatan terhadap keputusan melakukan skrining TB Paru. Hasil penelitian tersebut cukup menjelaskan bahwa pasien yang dengan akses jarak ke pelayanan kesehatan yang mudah akan meningkatkan peluang untuk patuh sebesar 8,7 kali dan hubungan tersebut bermakna secara statistik (p=0,008).

3. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)

a. Dukungan Petugas Kesehatan

Dukungan petugas kesehatan merupakan salah satu bentuk faktor dorongan (reinforcing factor) yang memengaruhi pengambilan keputusan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh petugas kesehatan yaitu dukungan melalui penyampaian informasi dan dukungan emosional yang dapat memotivasi seseorang dalam memilih perilaku kesehatan. Dukungan petugas kesehatan terkait dengan keputusan melakukan skrining TB pada pasien DM dapat berupa penyampaian informasi secara jelas mengenai besarnya risiko untuk menderita TB, tahapan atau prosedur mengikuti skrining, serta dukungan emosional berupa merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan skrining TB Paru.


(3)

Penelitian khusus yang mempelajari hubungan dukungan petugas kesehatan dengan keputusan melakukan skrining TB Paru pada pasien DM masih belum ada. Namun, penelitian terkait yang dapat dijadikan bahan rujukan yaitu penelitian mengenai hubungan dukungan petugas kesehatan dengan kepatuhan penggunaan obat TB yang dilakukan oleh Manuhara (2012) di Puskesmas Kota Surakarta. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa faktor dominan yang memengaruhi kepatuhan pada pasien TB yaitu dukungan petugas kesehatan yang memberikan informasi tentang pengobatan TB yang sedang dijalani (78,9%). Berkaitan dengan hal tersebut, maka peran petugas kesehatan dalam memberikan dukungan sangat penting karena berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan pada pasien.

2.3 Metode Regresi Poisson

2.3.1 Pengertian Regresi Poisson

Regresi poisson merupakan bagian dari analisis regresi yang menganalisis hubungan satu atau beberapa variabel bebas terhadap satu outcome variabel binary (nominal dengan 2 kategori) dengan asumsi probabilitas kejadian outcome berdistrubusi poisson. Data berdistribusi poisson yang dimaksud yaitu rate atau banyaknya kejadian dalam interval waktu tertentu (Rodriguez, 2007). Analisis regresi poisson digunakan untuk melakukan estimasi rate ratio dengan membandingkan kelompok terpapar dan tidak terpapar.

Berdasarkan jumlah variabel bebas yang akan dianalisis, regresi poisson dibedakan menjadi dua, yaitu regresi poisson sederhana (simple poisson regression) dan regresi poisson ganda (multiple poisson regression). Regresi poisson sederhana digunakan apabila ingin mempelajari hubungan antara satu variabel bebas dengan satu variabel tergantung. Sedangkan regresi poisson ganda digunakan apabila ingin


(4)

mempelajari hubungan antara beberapa variabel bebas dengan dengan satu variabel tergantung.

2.3.2 Model Regresi Poisson

Model regresi poisson menggunakan logaritma dari rate dengan variabel tergantung merupakan persamaan model regresi. Adapun model regresi poisson dengan variabel X sebagai variabel bebas yaitu sebagai berikut.

e X b a Rate

Log   1 1  (untuk regresi poisson sederhana) e

X b X b a Rate

Log   1 12 2 ... (untuk regresi poisson ganda) atau RateExp

ab1X1b2X2 ...e

Keterangan:

a = intercept/ konstan i

b = koefisien regresi untuk variabel bebas i i

X = variabel bebas ke i e = error

2.3.3 Penentuan Faktor Risiko

Ada tidaknya faktor risiko dari variabel bebas terhadap variabel tergantung dapat dilihat dari rate ratio (RR). Rate merupakan perbandingan antara probabilitas kejadian (event) dibagi dengan jumlah orang waktu pengamatan (person-time). Sedangkan rate ratio (RR) merupakan rasio antara rate kelompok terpapar dengan rate pada kelompok tidak terpapar. Adapun persamaan nilai RR yang diturunkan dari model regresi poisson yaitu sebagai berikut.

 Rate kelompok terpapar (X=1) yaitu RateExp

ab.1

Exp (ab)


(5)

) ( )

( ) ( )

( Exp b

a Exp

b a Exp terpapar

tidak Rate

terpapar Rate

RR Ratio

Rate    

2.3.4 Asumsi Regresi Poisson

Berbeda dengan regresi linier, regresi poisson tidak memerlukan asumsi-asumsi seperti linieritas, homoskedastisitas, tidak terdapat autokorelasi, dan tidak terdapat multikolineritas. Asumsi yang harus dipenuhi dalam regresi poisson yaitu bahwa data fit dengan analisis regresi poisson. Metode yang sering dipakai yaitu Goodness of Fit. Pada metode ini, akan dibandingkan antara hasil observasi dengan prediksi hipotetik secara sempurna. Perbedaan antara hasil observasi dengan hasil prediksi mempunyai distribusi Chi Square. Bila nilai p-value > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data fit dengan model regresi poisson.

2.3.5 Cara Seleksi Variabel Bebas

Metode-metode yang digunakan untuk pemilihan variabel bebas dalam regresi poisson yaitu sebagai berikut.

1. Metode Enter

Pada metode ini semua variabel bebas dimasukkan secara serentak tanpa melewati kriteria tertentu. Kemudian pengeluaran variabel dari model didasarkan kepada pertimbangan peneliti baik secara substansi atau dari aspek statistik. 2. Metode Forward

Pada metode ini dimasukkan satu per satu dari hasil pengkorelasian variabel dan memenuhi kriteria kemaknaan statistik untuk masuk ke dalam model, sampai semua variabel yang memenuhi kriteria masuk. Variabel yang pertama kali masuk adalah variabel yang mempunyai korelasi parsial terbesar dengan variabel tergantung. Standar kriteria yaitu jika variabel mempunyai nilai p < 0,05 maka dapat masuk ke dalam model.


(6)

3. Metode Backward

Metode dengan memasukkan semua variabel ke dalam model, kemudian satu per satu variabel yang tidak memenuhi kriteria kemaknaan statistik tertentu dikeluarkan dari model. Variabel pertama yang dikeluarkan adalah variabel yang mempunyai korelasi parsial terkecil dengan variabel tergantung atau mempunyai nilai p (p-value) terbesar. Variabel bebas yang berpengaruh secara independen terhadap variabel tergantung jika nilai p < 0,05.

4. Metode Stepwise

Metode stepwise merupakan kombinasi metode antara backward dan forward. Pada metode ini, dimulai dari tanpa variabel sama sekali dalam model. Kemudian satu per satu variabel hasil pengkoreksial variabel dimasukkan ke dalam model dan dikeluarkan dari model dengan kriteria yang sudah ditetapkan. Variabel yang pertama masuk adalah variabel yang mempunyai korelasi parsial terbesar. Setelah masuk variabel pertama ini diperiksa apakah sudah memenuhi kriteria atau perlu keluar dari model seperti pada metode backward.

2.3.6 Modifikasi Regresi Poisson untuk Penelitian Cross-Sectional

Regresi poisson pada umumnya digunakan pada penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian cohort dan hasil analisis akan mendapatkan ukuran asosiasi berupa incidence rate ratio (IRR). Namun, pada rancangan cross-sectional study, tidak ada variabel interval waktu pengamatan dan ukuran asosiasi yang digunakan yaitu prevalence ratio (PR). Maka dari itu, diperlukan modifikasi regresi poisson untuk rancangan penelitian cross-sectional study yang dilakukan dengan membuat variabel waktu dengan nilai yang sama untuk semua subjek, misalnya “1”. Hasil analisis akan menunjukkan ukuran asosiasi dalam rancangan cross-sectional study, yaitu berupa prevalence ratio (PR).