Efektivitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor pada Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat (Suatu Kajian Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara).

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Sejak diberlakukannya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 dan kemudian dirubah menjadi Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai penganti Undang Undang No. 5 Tahun 1974, diskusi tentang efektivitas pelayanan publik dalam otonomi daerah menjadi semakin menarik untuk dibicarakan.

Permasalahannya karena sudah 2 (dua) kali perubahan undang-undang tersebut dilakukan, namun peningkatan pelayanan publik publik sebagai sasarannya selalu dipertanyakan, bahkan ada diskusi yang membahas bahwa Undang Undang No. 32 Tahun 2004 perlu lagi perubahan.

Undang-undang ini merupakan implimentasi pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang dibagi atas daerah-daerah propinsi dan propinsi terdiri dari daerah kabupaten dan kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya, pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa pemerintah daerah propinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas perbantuan. Dalam menjalankan otonomi dan tugas perbantuan, kecuali urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain sesuai dengan ketentuan berlaku.

Pada dasarnya, maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,


(2)

pemberdayaan dan peran serta masyarakat.1 Selanjutnya dijelaskan bahwa

pemerintahan daerah dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan antar susunan pemerintahan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan RI. Dalam berbagai aspek UU No. 32 Tahun 2004 mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara adil dan selaras.

Di samping itu, dalam menjalankan perannya, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan Otonomi Daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.2

Masalah pelayanan publik di Indonesia masih sangat memprihatinkan, karenanya pemerintah masih perlu membuat strategi dan kebijakan agar dapat memenuhi hak azazi warga negara dan membutuhkan solusi menyeluruh untuk membuat pelayanan publik yang baik.3 Sebagai gambaran dan fenomena pelayanan

publik di Provinsi Sumatera Barat saat ini seperti terlihat rendahnya tingkat kinerja aparatur penyelenggara pemerintahan di daerah. Indikasi menunjukan bahwa Pemerintah Daerah melalui Peraturan Gubenur Sumatera Barat Nomor 74 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2006 - 2010 menempatkan hal ini sebagai skala prioritas utama. Dalam bagian IV, (Agenda penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik dan bersih Bab II diatur

11 Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

Publik CV. Jaya Jakarta, Cetakan Pertama, 2004. hal. 125.

22 Ibid, hal. 123, 124

3 Wacana HAM, Pandangan Publik yang memprihatinkan Edisi 17, Tahun III, 15 Oktober


(3)

tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik)4 yang menerangkan bahwa

berdasarkan hasil identifikasi dalam pembinaan pelayanan publik masih banyak permasalahan yang perlu ditindaklanjuti dan diselesaikan seperti : belum kompetitif, transfaran dan akuntabilitas proses pelayanan publik, rendahnya etos kerja aparatur, pelayanan publik belum didukung oleh teknologi informasi serta belum ada instrumen yang jelas untuk mengevaluasi kualitas pelayanan.

Sasaran yang hendak dicapai dalam peningkatan kualitas pelayanan publik tahun 2006-2010 ke depan adalah :

1. Terlaksananya pelayanan publik kepada masyarakat sesuai dengan standar layanan yang ditetapkan.

2. Tercapainya transparansi dalam proses pelayanan publik.

3. Meningkatnya etos kerja, profesionalisme dan kompetensi aparatur.

4. Meningkatnya kemandirian masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik.

5. Meningkatnya pengguna teknologi informasi dalam pemberian pelayanan publik.

6. Meningkatnya peran masyarakat terhadap penilaian kinerja aparatur pelayanan publik.

Dalam RPJMD tersebut ditetapkan arah kebijakan, program pengembangan pelayanan publik dan pengembangan partisipasi publik (masyarakat) yang berada dalam agenda penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih bersamaan dengan sub-sub agenda lainnya, yaitu : peningkatan kemampuan pemerintah daerah, peningkatan kualitas pelayanan publik, pemberantasan korupsi, kolusi dan


(4)

nepotisme, pembangunan hukum dan perlindungan hak azazi manusia, peningkatan keamanan dan ketertiban.

Dengan demikian "masalah" Pelayanan publik sudah diakomodir dalam suatu konsepsi dan strategi kebijakan untuk kurun waktu 2006-2010 mendatang yakni dengan isu bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan publik tersebut dari tahun ke tahun yang disinyalir seakan-akan berjalan di tempat.

Berdasarkan fakta dalam RPJMD Propinsi Sumatera Barat, betapa rendahnya kualitas pelayanan publik tersebut, salah satu diantaranya terdapat pada Perangkat Daerah/Dinas (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yaitu Dinas Pendapatan Daerah. Fakta lain menjelaskan, walaupun jumlah penerimaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung menunjukan peningkatan dan memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan daerah, pencapaian hasil relatif masih dibawah target. Khususnya pencapaian target (realisasi) penerimaan pajak daerah dari sub-sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB).

Bertitik tolak dari fakta dan kenyataan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan ilmiah dengan menyingkap dan menganalisanya secara mendalam dengan penekanan yang diarahkan kepada peningkatan pelayanan publik terutama terhadap sub sektor pajak daerah yang berasal dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor melalui Dinas Pendapatan Daerah Cq. UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di Padang, melalui Kantor Bersama SAMSAT.

Pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh unit pelayanan Kantor Bersama SAMSAT ini terdapat 3 unit kerja yang terkait dan berhubungan,


(5)

yaitu pihak Pemerintah Provinsi c.q. Dinas Pendapatan Daerah, Polri c.q. Kepolisian Daerah dan PT. AK Jasa Raharja. Dengan adanya 3 unit kerja masalah yang ditemukan dalam pelayanan adalah bertemunya 3 (tiga) kepentingan yang berbeda yang saling membutuhkan dan saling berhubungan, namun menyatu dan saling berkaitan (Simbiose Mutualistis).

Ketiga unit kerja ini sama-sama bertujuan memberikan pelayanan publik secara prima kepada masyarakat. Pihak Pemda dalam memberikan pelayanan bertujuan untuk peningkatan penerimaan daerah yang diperlukan bagi keperluan dana pembangunan yang berasal dari sumber-sumber PAD, sedangkan di pihak lain Polda lebih berkepentingan dalam masalah pengidentifikasian kepemilikan dan keamanan.

Pengelolaan kebijakan melalui Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) sudah sesuai dengan maksud Undang Undang 32 Tahun 2004, namun efektivitas keberadaan pola dan sistem SAMSAT masih perlu penyempurnaan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan kajian karena sepengatahuan penulis belum ada yang menelaahnya, terutama bila dikaitkan dengan suasana dan nuansa tuntutan tatanan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good Governance and Clean Government). Penulisan dan penganalisaan mempedomani teori-teori menurut Ilmu Hukum Administrasi Negara, dikaitkan dengan aspek normatif dari berbagai ketentuan peraturan perundangan dengan judul : Efektivitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor pada Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat (Suatu Kajian Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara).


(6)

B. Rumusan Permasalahan

Adapun pokok bahasan penelitian ini, akan ditinjau dari perspektif Hukum Administrasi Negara yakni :

a. Sejauh mana pelayanan publik di bidang perpajakan pada Dispenda cq. UPTD Pelayanan Pendapatan Prop. Sumbar di Padang melalui Kantor Bersama Samsat terhadap Pengelolaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (PKB dan BBN-KB) efektivitasnya (efektif dan efisien) mewujudkan "Pemerintahan Yang Baik dan Bersih (Good Governance and Glean Government)?

b. Faktor-faktor dominan apa saja yang mempengaruhi efektivitas pelayanan sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) kepada wajib pajak agar sejalan dengan peningkatan pemasukan pendapatan daerah (pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui efektivitas pelayanan umum yang diberikan oleh instansi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Cq. Dinas Pendapatan Daerah cq. UPTD PPP di Padang, melalui kantor bersama SAMSAT kepada wajib pajak (masyarakat pemilik kendaraan bermotor).

Mengetahui peranan dan fungsi UPTD PPP di Padang dalam mengelola kewenangannya dalam mengelola sumber pendapatan daerah yang menjadi tugas dan urusan sesuai dengan kewenangan dalam kompetensi wilayah administratifnya sesuai ketentuan perundang-undangan.


(7)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sumbangan pemikiran untuk pengembangan Hukum Administrasi Negara di Bidang Tata Pemerintahan Daerah pada umumnya, serta Hukum Perpajakan/Pajak Daerah pada khususnya.

Manfaat Praktis

Manfaat praktis, hasil penelitian diharapkan sebagai kontribusi sumbangan pemikiran dalam upaya meningkatkan kinerja SKPD serta kualitas kerja aparat pemerintahan daerah dalam memberikan pelayanan publiknya kepada wajib pajak/masyarakat.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1 Kerangka Teoritis

1) Otonomi Daerah

Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, setiap orang bias hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat.5

5 Parjoko, Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan dengan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Nomor 25 Tahun 1999, makalah, Makalah Falsafah Sains (Pps 720) Program Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor, Februari, 2002, hal. 1.


(8)

Oleh karena itu keperluan otonomi di tingkat lokal pada hakekatnya adalah untuk memperkecil intevensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat.6 Berbeda halnya

dengan otonomi daerah di Negara federal, dimana otonomi daerah sudah melekat pada negara-negara bagian.

Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pihak lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu system yang dipakai dalam system pemerintahan merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam system sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat.7

Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi kewenangan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang

6 Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka SInar Harapan, Jakarta, Cetakan 1, Juli, 1999.


(9)

satu dengan negara yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang menganut negara kesatuan.8

Philip Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otorisasi dalam wilayah tertentu suatu negara.9

Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi sebagai proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah yang mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah pusat diisyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Daerahseagai wujud pelaksanaan desentralisasi.10

Tujuan desentralisasi secara umum oleh Smith dibedakan atas 2 (dua) tujuan utama, yakni tujuan politik dan ekonomis. Secara politis, tujuan desentralisasi antara lain untuk memperkuat pemerintah daerah, untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, dan untuk mempertahankan integritas nasional. Sedangkan secara ekonomi, tujuan desentralisasi, antara lain adalah untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and service, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di daerah.11

8 Bambang Yudoyono, makalah Telaah Kritis Implementasi UU NO. 22/1999, Upaya Mencegah

Desintegrasi Bangsa, disampaikan pada seminar dalam rangka kongres ISMAHI di Bengkulu, 22 Mei 2000.

9 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. 10Ibid.


(10)

Sedangkan D. Juliantara, dkk memberikan pengertian desentralisasi dengan merujuk pada asal katanya, bahwa istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin, de artinya lepas dan centrum artinya pusat.12 Lebih jauh ia

menyebutkan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks yang lebih luas, bahwa konstek negara-negara demokrasi modern, kekuasaan politik diperoleh melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara regular dan serentak di setiap daerah untuk memberikan legitimasi terhadap tugas dan wewenang lembaga-lembaga politik di tingkat nasional dan juga di tingkat local sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah daerahlah yang memintah dan menarik kembali sebagian kewenangan yang telah diberikan kepada pemerintah pusat, bukan karena kebaikan hati pemerintah pusat.13

Dengan demikian jelaslah, bahwa desentralisasi akan melahirkan otonomi daerah dan bahkan kadangkala sulit untuk membedakan pengertian diantara keduanya secara terpisah. “Desentralisasi dan otonomi daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu sama lainnya. Lebih spesifik, ungkin tidak berlebihan ila dikatakan ada atau tidaknya otonomi daerah sangat ditentukan oleh beberapa jauh wewenang yang telah didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Itulah sebabnya, dalam studi Pemerintahan Daerah, para analis sering menggunakan istilah desentralisasi dan otonomi daerah secara bersamaan, interchange”.

12 D. Juliantara, dkk. Desentralisasi Kerakyatan, Gagasan da Praksis, Pondok Edukasi, Bantul,

2006.


(11)

Adanya otonomi daerah dalam negara, dilatarbelakangi oleh pengalaman masa lalu dimana keberadaan negara hanya dianggap sebagai instrument oleh kaum kapitalis. Kondisi ini kemudian melahirkan konsep Marxis tentang Instrumental State. Demikian halnya paham Sosialis yang menghendaki adanya otonomi dari pengaruh partai politik (partai komunis) yang cenderung mengintervensikan kehidupan negara. Dalam hubungan ini negara menginginkan otonomi untuk memperkecil dan bahkan menghilangkan pengaruh-pengaruh ataupun intervensi kaum-kaum kapitalis dan sosialis. Berbeda halnya dengan pemberian otonomi dengan pemerintah local, yaitu untuk memperbesar kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.14

Oleh karena itu, keperluan otonomi di tingkat local pada hakikatnya adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal, di mana otonomi daerah sudah melekat pada negara-negara bagian.

Reuter, mengemukakan, desentralisasi adalah sebagian pengakuan atas penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dalam pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi. 14 Sarundajang, op cit.


(12)

Dalam hal itu Rondineli, mengatakn bahwa desentralisasi dari arti luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah.15

Koeswara, mengemukakan, bahwa pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makan bahwa melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yang semua termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat, sebagian diserahkan kepada badan/lembaga pemerintahan di daerah.16

Prakarsa untuk menemukan prioritas, memilih alternatif dan mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik dalam hal menentukan kebijaksanaan, perencanaan, maupun pelaksanaan sepenuhnya diserahkan kepada daerah.

Lebih dalam lagi, bila kita cermati prinsip-prinsip hukum dalam pengelolaan masalah-masalah bangsa (nation affairs) ke depan governance dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien serta aspiratif yang didasarkan kepada transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat serta rule of law.

Oleh karena itu pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah layanan tersebut perlu memperhatikan prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumber daya yang 15 Oentara Sm, dkk, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, Samitra Media Utama,

Jakarta, 2004.

16 Koeswara, Prospek Pengembangan desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II, Badan Pendidikan dan Latihan Departemen Dalam Negeri, 1996.


(13)

dimiliki, seperti prinsip good governance, subsidiarity, equity, privaty use, prier appropriation (first in time, first in right), sustainable development, good sustainable development govermance dan participatory development.

Menurut peneliti prinsip subsidiarity dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan dan tepat dipedomani dan diterapkan dalam pengelolaan sumber daya pendapatan daerah, karena menurut teori subsidiarity secara lugas dan tegas dikatakan bahwa kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah tingkat lebih atas (pusat) kepada pemerintah tingkat lebih rendah (seperti provinsi dan atau kabupaten/kota) akan dapat ditarik kembali oleh tingkat lebih atas bila ternyata tingkat lebih rendah yang menerimanya tidak dapat melaksanakan kewenangan (urusan/administrasi)-nya sebagai mana mestinya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan pemerintah provinsi dalam menjalankan urusan otonomi daerahnya di bidang perpajakan including/ termasuk di dalamnya pemberian pelayanan publik yang baik terhadap wajib pajak sektor tertentu jelas akan menjadi ukuran tingkat kemampuan yang realistas bagi suatu pemerintah provinsi tersebut.

Artinya bila pemerintah provinsi ternyata tidak mampu mengelola kewenangan dan administrasi pengelolaannya dengan baik, maka pemerintah pusat memiliki otoritas penuh untuk menarik kembali penyerahan/pemberian kewenangan untuk mengelola urusan seperti kewenangan mengelola/memungut pajak daerah tertentu.


(14)

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa salah satu tujuan otonomi yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang semakin baik. Untuk itu dengan desentralisasi diharapkan daerah akan memberikan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah dengan sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah di era otonomi, diharapkan akan lebih baik dan aspiratif, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sasaran dari kemandirian daerah adalah agar daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kertergantungan daerah terhadap pusat dalam pengambilan berbagai keputusan publik diminimalkan. Diharapkan keputusan publik yang dibuat oleh daerah bagi kepentingan masyarakatnya akan lebih cermat, lebih tepat dan lebih cepat atau dengan kata lain pelayanan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna.17

Kemandirian daerah ini adalah dimaksudkan untuk tujuan pemberian pelayanan yang efisien, partisipatif dan akhirnya peningkatan daya saing daerah. Keputusan publik yang cermat, tepat dan cepat itu adalah merupakan cerminan dari efisiensi pelayanan. Pendirian sebuah sekolah dikatakan efisien bila daya tampungnya terpenuhi. Keputusan pembuatan jalan raya efisien bila jalan tersebut bermanfaat oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Begitu juga halnya dengan pendirian rumah sakit pada lokasi tertentu.

17 Syahruddin dan Werry Darta Taifur, Peranan DPRD untuk Mencapai Tujuan Desentralisasi dan Perspektif tentang Pelaksanaan Desentralisasi, Laporan penelitian Iris Indonesia dan Pusat Studi Kependudukan UNAND Padang, Tahun 2002, hal. 28.


(15)

Dalam rangka itu reposisi daerah hendaknya dipahami sebgai upaya mengaktualisasikan berbagai potensi dan aspirasi masyarakat daerah, sehingga rakyat di daerah dapat mengekspresikan kepentingan dan kehendaknya. Untuk itu pemerintah daerah perlu menyusun kerangka kerja yang memungkinkan terserapnya berbagai potensi dan aspirasi rakyat terutama prinsip pelayanan.

Mengingat tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga sistem ketertiban di dalam masyarakat, sehingga bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintah diadakan tidaklah untuk melayani dirinya sendiri tetapi juga untuk melayani masyarakat,18 dalam

mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama.

Untuk mencapai pelaksanaan pelayanan umum tersebut dibutuhkan oaparatur yang berkualitas, memiliki kemampuan dalam melayani, memenuhi kebutuhan, menanggapi keluhan masyarakat secara memuaskan, sesuai dengan ekspektasi (harapan) mereka melalui kebijaksanaan, perangkat hukum yang berfungsi sebagai acuan dalam pengendalian, pengaturan agar kekuatan sosial dan aktivitas masyarakat tidak membahayakan negara dan bangsa.

Teori pemerintahan modern mengajarkan bahwa untuk mewujudkan good governance perlu dijalankan desentralisasi pemerintahan.19 Dengan desentralisasi pemerintahan maka pemerintahan

18 Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan : Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, PT. Yarsif

Watampone, Jakarta, 1997.


(16)

akan semakin dekat dengan rakyat. Asumsinya pemerintahan yang dekat denagn rakyat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat, murah, responsif, inovatif, akomodatif dan produktif. Ryaas Rasyid mengatakan ”the closer givernment, the better it service”.20 Dalam

desentralisasi terkandung makna otonomi dan demokratisasi. Dua kata tersebut yakni otonomi dan demokrasi tidak mungkin dipisahkan, ia ibarat dua sisi mata uang yang satu dan yang lain saling memberi nilai. Otonomi tanpa demokratisasi merupakan suatu keniscayaan21 dan sebaliknya

demokratisasi tanpa otonomi adalah kebohongan. Dalam sejarah otonomi di Indonesia sejak kemerdekaan memang sarat dengan kebohongan. Yuridis formal dalam undang-undang pemerintahan daerah otonomi diakui, tetapi dalam implementasinya terjadi pemasungan-pemasungan melalui filter-filter yuridis peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut, akibatnya kemandirian dan otoaktivitas daerah menjadi tersumbat. Hal itulah yang kemudian melahirkan resistensi daerah terhadap pusat yang sangat menguras energi menyelesaikannya. Adanya otonomi kebijakan otonomi khusus bagi Propinsi Aceh dan Irian Jaya memang lahir di tengah derasnya tuntutan disintegrasi. Hal itu jika pusat menyadari secara filosofis dan sosiologis otonomi yang dibangun bikan linear atau simetris tetapi suatu asymmetric decentralization.22

20 M. Ryaas Rasyid, Desentralisasi dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah, dalam

Administrasi Pembangunan Indonesia, LP3ES, 1998, hal. 140.

21 Yuslim, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, Tesis, Pascasarjana Unpad, 1997. Kasus

Pemilihan Gubernur Riau tanggal 2 September 1985 di mana Ismail Suko yang memperoleh dukungan DPRD dengan 19 suara, sementara H. Imam Munandar yang memperoleh dukungan 17 suara, karena kuatnya arus sentralisasi Ismail Siko menyatakan mundur dari pencalonan Gubernur setelah diminta menghadap Ketua Golkar, waktu itu Wakil Presiden Sudarmono.

22 Kebijakan otonomi yang uniformitas tidak sesuai dengan esensi kebhinekaan di Indonesia, dan


(17)

2) Pelayanan Umum

Pelayanan pemerintahan daerah merupakan tugas dan fungsi utama pemerintah daerah. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan tugas pemerintahan secara umum, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat, maka pemerintah akan dapat mewujudkan tujuan negara yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tersebut terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.23

Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN/BUMD. Ketiga komponen yang menangani sektor publik tersebut menyediakan layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran.24 Dengan demikian yang dimaksud pelayanan publik

adalah pelayanan yang diberikan oleh negara/daerah dan perusahaan milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah baik pusat maupun daerah mempunyai tiga fungsi utama : 1) memberikan pelayanan (service) baik pelayanan perorangan maupun pelayanan publik/khalayak, 2) melakukan pembangunan fasilitas ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (development for economic growth), dan 3) memberikan perlindungan (protective)

23 Hanif Nurcholish, Teori dan Pratek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, 2005,

hal. 175.


(18)

masyarakat.25 Sebagai fungsi public services, pemerintah wajib

memberikan pelayanan publik secara perorangan maupun khalayak/publik. Pelayanan untuk orang perorangan misalnya pemberian KTP, SIM, IMB, Sertifikat tanah, paspor, surat izin dan keterangan. Pelayanan publik misalnya pembuatan lapangan sepakbola, taman kota, hutan lindung, trotoar, waduk, taman nasional, panti anak yatim/jompo/cacat/miskin, tempat pedagang kaki lima dan lain-lain.26

Oleh karena itu pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan perorangan dengan biaya murah, cepat dan baik, harus mendapatkan pelayanan yang sama. Disamping itu juga harus diperlakukan oleh petugas dengan sikap yang sopan dan ramah. Semua orang tanpa kecuali baik kaya, miskin, pejabat, orang biasa, orang desa atau kota, harus diperlakukan sama.

Tidak boleh dibeda-bedakan baik dengan sikap, biaya maupun waktu penyelesaian. Pelayanan pemerintah daerah kepada khalayak juga harus adil dan merata. Pemerintah Daerah tidak boleh menganakemaskan atau menganaktirikan kelompok masyarakat tertentu, sehingga yang satu diberi lebih dan yang lain diberi sedikit.27

Dengan demikian pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus dapat memuaskan publik. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah bisa diukur dengan indikator-indikator : mudah, murah, cepat, tidak berbelit, petugasnya

25Ibid, hal. 178. 26Ibid.


(19)

murah senyum, petugasnya membantu jika ada kesulitan, adil dan merata serta memuaskan.

3) Kualitas Pelayanan

Vincent Gesperz, mengemukakan bahwa kualitas pelayanan, meliputi dimensi-dimensi berikut :28

- Ketaatan waktu pelayanan, berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu proses

- Akurasi pelayanan, berkaitan dengan keakuratan pelayanan dan bebas dari kesalahan-kesalahan.

- Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, berkaitan dengan prilaku orang-orang yang berintegrasi langsung kepada pelanggan eksternal.

- Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan pelanggan eksternal (masyarakat).

- Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya petugas yang melayani dan fasilitas pendukung.

- Kenyamanan mendapat pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruangan tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan informasi dan petunjuk panduan lainnya.

- Atribut pendukung lainnya, seperti lingkungan, kebersihan, ruang tunggu, fasilitas musik, AC, dan lain-lain.

Vincent Gesperz juga mengemukakan manajemen perbaikan kualitas yang dikenal dengan konsep Vincent.


(20)

Konsep ini terdiri dari strategi perbaikan kualitas yaitu : - Visionary transformation (tranformasi misi) - Infrastructure (infrastruktur)

- Need for Improvement (kebutuhan untuk perbaikan)

- Customer Focus (Fokus Pelanggan)

- Empowerment (Pemberdayaan)

- NewViews of Quality (pandangan baru tentang kualitas)

- Top Management ( Komitmen manajemen puncak)

4) Prinsip Good Governance

Word Bank maupun UNDP mengembangkan istilah baru yaitu ”governace” sebagai pendamping kata ”government”. Istilah tersebut sekarang sedang sangat populer digunakan dikalangan akademisi maupun masyarakat luas. Kata ”governace” kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dalam berbagai kata. Ada yang menterjemahkan menjadi ”tata pemerintahan”, ada pula yang menterjemahkan menjadi ”kepemerintahan”.29

Perubahan penggunaan istilah dengan pengertiannya akan mengubah secara mendasar pratek-pratek penyelenggaraan pemerintahan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Perubahannya akan mencakup tiga dimensi yaitu dimensi struktural, dimensi fungsional serta dimensi kultural. Perubahan struktural menyangkut struktur hubungan antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, struktur hubungan antara eksekutif dan legislatif maupun struktur hubungan antara pemerintah 29 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqprint Jatinangor,


(21)

dengan masyarakat. Perubahan fungsional menyangkut perubahan fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun masyarakat. Sedangkan perubahan kultural menyangkut perubahan pada tata nilai dan budaya-budaya yang melandasi hubungan kerja intraorganisasi, antarorganisasi maupun eksraorganisasi.30

United Nation Development Programe (UNDP), memberikan batasan pada kata governance sebagai “pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa”. Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya publik dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien, yang merupakan respon terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan yang efektif dan efisien dan responsive terhadap kebutuhan rakyat menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan, pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan masalah-masalah publik yang didasarkan pada keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan.

Governance berarti pelaksanaan pemerintahan. Ini berarti good governance adalah pemerintahan yang baik (lembaga), sedangkan (good governance) adalah pelaksanaan pemerintahan yang baik (penyelenggaraannya). Clean government mengandung arti pemerintahan yang bersih (lembaga), sedangkan Clean government berarti pelaksanaan pemerintahan yang bersih.


(22)

Baik buruknya suatu pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance sebagaimana tersebut di bawah ini.31

Partisipasi (Participation)

Sebagai pemilik kedaulatan rakyat, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam bernegara, berpemerintahan serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun melalui institusi intermediasi seperti DPRD, LSM dan lain sebagainya. Partisipasi rakyat warga negara dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi, tetapi secara menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat utama warga negara disebut transparansi dalam kegiatan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan, yaitu :

- Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan) - Ada keterlibatan secara emosional

- Memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya.

Penegakan Hukum (Rule of Law)

Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan demokratisasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan 31 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqaprint

Jatinangor, Bandung, hal. 27, lihat juga dalam Agung Hendarto, nazar Suhendar (eds), Good government dan Penguatan Institusi Daerah, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), 2002, hal 2-3.


(23)

dilaksanakan tanpa pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yang tegas, tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, melainkan anarki. Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain, termasuk menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal penciptaan good governance adalah membangu sistem hukum yang sehat, baik perangkat lunak (software), perangkat keras (hardware) maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya (human ware).

Transparansi (Transparancy)

Salah satu karakteristik good governance adalah keterbukaan. Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik mulai dari proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik sampai pada tahap evaluasi.

Daya Tanggap (Responsiveness)

Sebagai konsekwensi logis dari keterbukaan, maka setiap komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance perlu memiliki daya tanggap terhadap keinginan maupun keluhan para pemegang saham (satake holder). Upaya peningkatan daya tanggap tersebut terutama ditujukan pada sektor publik yang selama ini cendrung tertutup, arogan serta berorientasi pada kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan


(24)

oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survey tingkat kepuasan konsumen (custumer satisfaction).

Berorientasi pada Konsenseus (Consensus Orientation)

Kegiatan bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat pada dasarnya adalah kreatifitas politik, yang berisi dua hal utama yaitu konflik dan konsensus. Di dalam good governance, pengambilan keputusan maupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan kesedian untuk konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan bersama. Konsensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru, karena nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah melalui “musyawarah”.

Keadilan (Equity)

Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi karena kemampuan masing-masing warga negara berbeda-beda, maka sektor publik perlu memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring sejalan.

Keefektifan dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)

Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia, kegiatan domain dalam governance perlu mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik karena sektor ini


(25)

menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa adanya kompetensi tidak akan tercapai efisiensi.

Akuntabilitas (Accountability)

Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu mempertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja melainkan juga pada para pemegang saham (stake holder), yakni masyarakat luas. Secara teoritis, akuntabilitas itu sendiri dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu sebagai berikut :

- Akuntabilitas Organisasional / administratif. - Akuntabilitas legal

- Akuntabilitas politik - Akuntabilitas profesional - Akuntabilitas moral

Visi Strategis (Strategic Vision)

Dalam era yang berubah secara dinamis seperti sekarang ini, setiap domain dalam good governance perlu memiliki visi yang strategis. Tanpa adanya visi semacam itu, maka suatu bangsa dan negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu sendiri dapat dibedakan antara visi jangka panjang (long term vision) antara 20 sampai 25 tahun (satu generasi) serta visi jangka pendek (short term vision) sekitar 5 tahun.

2 Kerangka Konseptual


(26)

Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan saat ini telah diperlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membawa berbagai implikasi sebagai akibat adanya pergeseran kewenangan yang semua bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Artinya kewenangan –kewenangan yang semua diatur dan ditentukan oleh Pemerintah Pusat otonotis berpindah dan telah menjadi kewenangan dan tanggung jawab Daerah.

Dalam pada itu, bila dicermati pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 diterangkan bahwa kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional, disebutkan bahwa posisi pemerintah pusat hanya sebatas menyiapkan dan berbuat yang bersifat kebijakan-kebijakan saja, dengan pengertian tidak lagi bertindak sebagai menetapkan setiap kebutuhan daerah.

Bila pergeseran kewenangan termasuk kewenangan yang bertalian dalam menerbitkan berbagai bentuk tata usaha negara atau administrasi negara yang semula terpusat/terkonsentrasi (dikuasai) oleh pemerintah pusat tentu pergesaran tersebut akan termasuk berbagai kewenangan tata usaha negara atau administrasi negara yang selama ini ditangani pusat akan menjadi kewenangan dan tanggung jawab daerah.


(27)

Selain itu, dalam Undang-Undang Pemerintaha Daerah disebutkan pula bahwa otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi tersebut berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.

Makna pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan pengertian otonomi bertanggung jawab, akan terlepasnya hak dan kewenangan pusat berupa ijin yang meliputi pengesahan, penghapusan, persetujuan, penetapan dan berbagai kewenangan lain bergeser/berpindah menjadi hak dan kewenangan Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota.

Begitupun dalam pengertian otonomi luas vide Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dari Daerah dalam sistem Negara Kesatuan RI inilah prinsip dari otonomi seluas-luasnya itu yaitu berdasarkan asas otonomi dan urusan pembantuan.

Menurut Bagir Manan,32 ketentuan ini memberikan gambaran

bahwa otonomi daerah itu merupakan wewenang dari daerah.

2) Efektivitas Reformasi Perpajakan

32 Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, makalah disampaikan

pada Penataran Dosen Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum BKS-PTN bidang Hukum se-Wilayah Barat, Fakultas Hukum Universitas Lampung di Bandar Lampung, tanggal 11 November 1994, hal 2


(28)

Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak salah satunya melalui:

Reformasi perpajakan (1983) dengan perubahan sistem perpajakan yaitu dari sistem official assesment, menjadi sistem self assesment. Perubahan sistem perpajakan didikuti dengan penyempurnaan administrasi perpajakan melalui perubahan struktur organisasi melalui reorganisasi, harus terus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan harapan dapat meningkatkan kinerja yang dapat diukur berdasarkan produktivitas, responsivitas dan akuntabilitas.

Sasaran Administrasi perpajakan adalah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak (Toshiyuki). : Target Akhir administrasi perpajakan adalah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, bahwa dalam sistem self assesment aktifitas utama administrasi perpajakan adalah untuk mengawasi kepatuhan dan meyakinkan bahwa wajib pajak menjalankan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal:

- Pendaftaran wajib pajak - Penilaian

- Menjalankan Prosedur pemungutan

- Pelaporan penghindaran dan penggelapan pajak

Menurut Bird dan Jantscher terdapat hubungan antara administrasi perpajakan dengan kepatuhan wajib pajak yang dapat memperkecil angka


(29)

ketidak patuhan. Bukan hanya melihat dari aspek peningkatan penerimaan saja.33

Administrasi pajak yang baik pada dasarnya tidak mampu mengumpulkan penerimaan pajak sebesar-besarnya. Administrasi perpajakan yang mudah ditagih, seperti gaji pegawai, tetapi tidak mampu untuk menagih pajak dari perusahaan-perusahaan dan profesional, jadi penerimaan pajak bukan merupakan ukuran yang tepat atas efektivitas administrasi perpajakan. Pengukuran lebih akurat untuk mengetahui efektivitas administrasi perpajakan adalah berapa besarnya jurang kepatuhan, yaitu selisih antara penerimaan pajak yang sesungguhnya dengan penerimaan pajak potensial dengan tingkat kepatuhan dari masing-masing sektor perpajakan.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa kepatuhan wajib pajak saat ini masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari aspek pemenuhan kewajiban perpajakan, khususnya yang berkaitan dengan kewajiban; pendaftaran, pelaporan SPT dan pelunasan pajak terhutang, pendeknya kepatuhan WP dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

Pertama : Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri, jumlah wajib pajak yang terdaftar pada administrasi pajak masih sangat rendah (pada tahun 2002 dari 210 juta jumlah penduduk wajib pajak orang pribadi dan badan yang terdaftar hanya 2.583.960 wajib pajak. Artinya Sistem Perpajakan Nasional belum dapat meningkatkan pembayaran beban pajak 33 Chaizi Nasuha, Reformasi Administrasi Publik Teori dan Praktek, Grasindo, Jakarta, 2004,


(30)

yang terdistribusi secara merata, karena hanya 10 % lebih wajib pajak yang menanggung beban pajak (Tax Corverage Ratio).

Kedua : Kepatuhan wajib pajak untuk menyetor kembali Surat Pemberitahuan (SPT).

Ketiga : Kepatuhan wajib pajak dalam perhitungan dan pembayaran pajak terhutang masih rendah (1.068.467 WP atau 41,35% dari keseluruhan wajib pajak efektif yaitu 2.583.960 wajib pajak).

Keempat : Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan pajak, akumulasi jumlah nominal tunggakan pajak cukup besar (sampai tahun 2000 Rp. 17,3 Triliun, besarnya jumlah tunggakan dan rendahnya pencapaian penagihan pajak tiap tahun menunjukkan bahwa penegakkan hukum melalui penagihan aktif belum dilaksanakan secara optimal sesuai dengan ketentuan.

Dengan demikian menurut Chaizi Naruha tersebut terlihat bahwa ada hubungan/korelasi antara reformasi perpajakan dengan tingkat kepatuhan wajib pajak.

Menurut Andreoni et, al; Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: Pelayanan Publik, kebijakan dan keuangan publik, penawaran tenaga kerja, jenis pekerjaan, bentuk organisasi, moral wajib pajak, tarif pajak, demografi (jenis kelamin dan umur), kondisi sosial


(31)

masyarakat, penegakan hukum (audit dan penalti), kompleksitas dan amnesti pajak.

Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, untuk membatasi permasalahan penelitian ini hanya difokuskan pada pengaruh efektivitas reformasi administrasi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak yang meliputi reformasi organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi dan budaya organisasi.

Berdasarkan gambaran di atas, terlihat bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh bagaimana administrasi perpajakan dijalanka.34

Administrasi perpajakan yang lemah, baik yang menyangkut aspek struktur organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi maupun budaya organisasi dapat menyebabkan akuntabilitas organisasi dan tingkat kepatuhan wajib pajak rendah dan ini berdampak juga pada rendahnya kinerja perpajakan.

Permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apakah reformasi administrasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini sudah atau belum secara menyeluruh mencakup perubahan dari aspek struktur organisasi, prosedur, strategi organisasi, dan budaya organisasi, sehingga berpengaruh terhadap akuntabilitas organisasi, (SAMSAT/UPTD) dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

3) Kinerja Sektor Publik


(32)

Kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi menurut, Rue dan Bryan, kinerja adalah tingkat pencapaian (the degree of accomplishment).

Kinerja bagi setiap organisasi sangat penting terutama penilaian ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam batas waktu tertentu. Berbagai pendapat menyamakan kinerja (performance) dengan prestasi kualitas pelaksanaan tugas atau aktivitas pencapaian tujuan dan misinya.35

Di samping itu ada pula pendapat yang menyamakan pengertian kinerja dengan efisiensi dan efektivitas. (Miles dan Snow 1978, 77-78). (Interplant, 1969 : 15)36

Atmo Sudirjo, berpendapat bahwa kinerja dapat berarti prestasi kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu.

Levine, Lima indikator untuk mengukur kinerja sektor publik, produktifitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas.37

a. Produktivitas adalah ukuran seberapa pelayanan publik itu menghasilkan yang diharapkan, dari segi efisiensi dan efektivitas. b. Kualitas pelayanan adalah ukuran-ukuran citra yang diakui masyarakat

mengenai pelayanan yang diberikan yaitu masyarakat merasa puas atau tidak puas.

35Ibid, hal. 24 36Opcid, hal 24 37Loc cit


(33)

c. Responsivitas adalah ukuran kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

d. Responsibilitas adalah ukuran apakah pelaksanaan kegiatan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar.

e. Akuntabilitas adalah ukuran seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau konsisten dengan kehendak rakyat.

4) Pelayanan Publik dalam Administrasi Negara

Pengertian pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan.38 Sedangkan

pelayanan umum menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara ( Men-Pan ) No. 81 Tahun 1993 adalah segala bentuk pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, bai dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari pengertian tentang pelayanan umu di atas, terkait beberapa istilah dalam administrasi Negara, seperti instansi pemerintah, tata laksana, tata kerja, prosedur kerja, sistem kerja, kewajiban dan seterusnya yang diuraikan di bawah ini.39

38 Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri, 39Ibid, hal.3


(34)

1. Instansi Pemerintah

Yang dimaksud dengan instansi pemerintah di sini adalah sebutan kolektif yang meliputi satuan kerja atau satuan organisasi suatu departemen, lembaga pemerintah bukan departemen, instansi pemerintah lainnya, baik instansi pemerintah di tingkat pusat maupun instansi pemerintah di tingkat daerah, termasuk BUMN dan BUMD.

2. Tata Laksana

Yang dimaksud dengan tata laksana adalah segala aturan yang ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah yang menyangkut tata cara, prosedur dan sistem kerja dalam melaksanakan kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah dan pembangunan pelayanan di bidang umum.

3. Tata Kerja

Tata kerja dimaksudkan sebagai cara-cara pelaksanaan kerja yang efisien mengenai satu atau serangkaian tugas dengan memperhatikan segi-segi tujuan, peralatan, fasilitas, tenaga waktu, ruang, biaya yang tersedia.

4. Prosedur Kerja

Yang dimaksud dengan prosedur kerja adalah rangkaian tata kerja yang berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukkan adanya urutan secara jelas dan pasti serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka penyelesaian suatu bidang tugas.


(35)

Sistem kerja di sini diartikan dengan rangkaian tata kerja dan prosedur kerja yang membentuk suatu kebulatan pola kerja tertentu dalam rangka mencapai hasil kerja yang diharapkan.

6. Kewajiban

Kewajiban di sini diartikan sebagai aparatur penyelenggaraan pelayanan umum untuk mengambil tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka memuaskan masyarakat sebagai pelanggan, kewajiban bukan hanya melekat pada pejabat, tetapi setiap aparatur dalam lingkungan kerja ketika bertemu dengan pelanggan. Misalnya wajib untuk menanyakan apa yang diinginkan pelanggan yang hadir pada waktu itu. Artinya harus proaktif dalam menyambut kedatangan pelanggan.

F Metode Penelitian a. Pendekatan

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan empiris menurut penelitian hukum sosiologis untuk mengetahui efektivitas dan dampak hukum dari adanya kebijaksanaan publik pelayanan di bidang perpajakan. Yang diukur dari standar waktu dan biaya berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dalam hal ini secara normatif apakah telah berhasil atau gagal menciptakan kinerja (pencapaian target penerimaan/ pemungutan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor) secara bersamaan yang ditilik dari aspek kepatuhan wajib pajak (kesadaran hukum masyarakat) dan pemahaman aparat perpajakan dalam memberikan pelayanan saat mengemban tugasnya sehari-hari. Penelitian


(36)

ini menggunakan data kuantitatif dan kualitatif yang diperdapat saat survey deskriptif, yang disampaikan dalam bentuk deskripsi kualitatif.

b. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada Kantor Bersama SAMSAT/ UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di Padang dengan wilayah kerja meliputi wilayah otonom dan Administratif Kota Padang yang terdiri dari sebelas Kecamatan, yaitu Kecamatan Padang Timur, Padang Barat, Padang Utara, Padang Selatan, Lubuk Begalung, Kuranji, Nanggalo, Koto Tangah, Teluk Kabung, Lubuk Kilangan dan Pauh dengan 103 kelurahannya. Pengambilan sampel penelitian diambil dari lima kecamatan tertentu yang padat penduduknya di Kota Padang, sedangkan kecamatan lain (6 kecamatan) hanya 2 kecamatan (diambil/dipilih) secara acak, sesuai dengan kompetensi keperluan situasi dan kondisi sampel.

c. Metode dan Alat Pengumpulan bahan hukum.

Teknik pengumpulan data yang digunakan tergantung kepada data dan sumber data yang dibutuhkan, antara lain adalah :

1) Dokumentasi; untuk mengumpulkan data primer dan sekunder, penulis menganalisa dokumen-dokumen dalam bentuk tulisan. Data yang dikumpulkan antara lain tentang APBD, Pendapatan Asli Daerah, Hukum Pajak Daerah, data kepegawaian, data statistik berupa PDRB, laporan-laparan dan lain-lain yang berkaitan dengan tujuan penelitian. 2) Observasi; untuk memperoteh informasi serta gambaran empirik

tentang data-data yang diperlukan dengan mengadakan pengamatan langsung pada obyek penelitian.


(37)

3) Wawancara; adalah percakapan langsung dengan maksud untuk memperkuat data sekunder yang diperlukan dalam penelitian. Percakapan itu dilakukan aleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (responden). Tehnik wawancara yang digunakan adalah wawancara terbuka (open interview) dengan maksud agar responden tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula maksud wawancara tersebut. Untuk itu instrumen penelitian yang digunakan adalah pedoman wawancara (indepth interview) yang merupakan penuntun bagi peneliti dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi responden untuk menyampaikan pendapatnya.

4) Untuk melengkapi sumber data primer dalam penelitian ini, juga ditetapkan para fungsionaris pejabat terkait yang berkompeten mengambil kebijakan terhadap kinerja Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat dan UPTD Samsat Padang yakni pejabat yang menempati tingkatan (top management, middle management, dan lower rrranagement' serta staf) serta para penentu kebijakan pada Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dan Jajaran Polda Sumatera Barat.

d. Populasi dan Sampel

Dari populasi 420 yang didapatkan dari jumlah rata-rata wajib pajak dan aparat perpajakan terkait setiap harinya, diambil sebagai sampel sebanyak 42 orang (10%), yang ada pada Kantor Bersama SAMSAT/UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di


(38)

Padang, dari para wajib pajak dipilih sampelnya sebanyak 42 orang yang berasal dari masyarakat Kota Padang dalam wilayah 5 kecamatan sampel/terpilih yaitu Kecamatan Padang Timur 8 orang, Kecamatan Padang Barat 8 orang, Kecamatan Koto Tangah 8 orang, Kecamatan Lubuk Begalung 8 orang dan Kecamatan Bungus 28 orang dan 2 orang dari aparat pajak yang berdomisili di luar Kota Padang.

Teknik yang dipakai dalam pengambilan sampel adalah Stratified random sampling, karena dcngan cara ini sub kelompok yang spesifik akan memiliki jumlah yang cukup terwakili dalam sampel, serta menyediakan jumlah sampel sebagai sub analisis dari anggota kelompok tersebut. Dalam strategi ini populasi dikategorikan dalam kelompok-kelompok yang memiliki strata yang sama sesuai karakteristik masing-masing responden.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden (wajib pajak) dan petugas pajak serta pejabat yang berwenang/ terkait. Untuk melengkapi data yang diperoleh secara langsung dari responden tersebut, data juga diperoleh dari beberapa informan tertentu, yaitu orang-orang yang relevan dianggap mengetahui masalah objek penelitian dengan melakukan wawancara.

Sedangkan Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari buku referensi dan data yang ada di Dispenda Provinsi Sumatera Barat, Ditlantas Polda Sumatera Barat, PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang Sumatera Barat dan Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat di Padang. Data yang diperoleh antara lain yang berkaitan dengan situasi dan Kondisi


(39)

Samsat, seperti sumber daya yang tersedia, meliputi manusia (kualitas dan kuantitas) dan prasarana serta wajib pajak yang dilayani.

Selain itu, Data Sekunder ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari :

1. Bahan Hukum Primer, antara lain :

a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman

Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.

c. Instruktur Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan.

d. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintahan Kepada Masyarakat.

e. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP/ M.PAN/2003 tentang Pedoman Umum Penyeleng-garaan Pelayanan Publik.

f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah.

g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

h. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara : Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.


(40)

i. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. Kep/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

j. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor PoI/KEP/13/XII/1976, Nomor KEP.1693/MK/TU/12/1976 dan Nomor 311 Tahun 1976, tentang Peningkatan Kerjasama antara Pemerintah Daerah Tingkat I, Komando Daerah Kepolisian dan Aparat Departemen Keuangan dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta peningkatan Pendapatan Daerah khususrya mengenai Pajak Kendaraan Bermotor;

k. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

l. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

m. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;

n. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1973 tentang Pembentukan Dinas Pendapatan Daerah;

o. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Provinsi Sumatera Barat;


(41)

p. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 57 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

q. Surat Keputusan Bersama Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Sumatera Barat dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat dan Kepala Cabang Jasa Raharja ( Persero ) Sumatera Barat Nomor : B/24/I/2006/DITLANTAS per Nomor: 973/043/ PAJAK-2006/ Nomor: P/1/SPP/2006, tanggal 24 Januari 2006, tentang Standar Pelayanan Minimal Penerbit STNK, Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor ( PKB ), Bea Balik Nama Kendaraan Bermtor ( BBNKB ), dan Sumbangan Wajib dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan ( SWDKLLJ ). Pada Kantor Bersama SAMSAT Di Sumatera Barat.

r. Surat Edaran Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 065/181/Dipenda-2006, 28 Februari Tahun 2006 tentang Standar Pelayanan Minimal ”Penerbitan Naskah Dinas dalam bentuk surat yang berkaitan dengan Pelayanan Umum yang diberikan oleh Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat.

s. Produk hukum yang berlaku dan relevan lainnya. 2. Bahan Hukum Sekunder

Dihimpun melalui kegiatan penelitian dengan memanfaatkan media cetak dan elektronik berupa buku-buku, tesis, majalah, surat kabar, internet dan sebagainya.


(42)

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, seperti ensiklopedi, kamus, dan lain-lain

d. Teknik Analisis Bahan Hukum (Kualitatif)

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Setelah data primer terkumpul, dilakukan pengelompokan data dan pengeditan guna mengidentifikasi data yang relevan dengan pokok permasalahan penelitian. Setelah itu data dianalisis.

Analisis data dimaksudkan adalah untuk menyederhana-kan data agar menjadi informasi yang dapat digunakan dalam menjelaskan permasalahan penelitian. Pada tahap ini analisis data dilakukan setelah semua informasi dianggap cukup memadai oleh peneliti. Langkah yang dilakukan untuk menganalisi data yaitu melakukan penyederhanaan informasi yang diperoleh dengan memilah-milah informasi berdasarkan kategori yang telah disiapkan dalam blanko tanggapan dan daftar wawancara dengan menggunakan aturan positif yang ada dan teori-teori maupun pendapat yang disinggung dalam tinjauan pustaka, sehingga dapat ditafsirkan untuk merumuskan kesimpulan penelitian.

BAB II

PELAYANAN PUBLIK DIBIDANG PERPAJAKAN


(43)

1. Pengertian

Pelayanan adalah suatu cara melayani, membantu menyiapkan, mengurus dan menyelesaikan keperluan kebutuhan mayarakat, baik secara perorangan, kelompok dan atau golongan, organisasi ataupun sekelompok anggota organisasi).40

Dalam pengertian pelayanan tersebut terkandung suatu kondisi bahwa yang melayani memiliki suatu keterampilan, keahlian dibidang tertentu. Berdasarkan keterampilan dan keahlian tersebut pihak aparat yang melayani mempunyai posisi atau nilai lebih dalam kecakapan tertentu, sehingga mampu memberikan bantuan dalam menyelesaikan suatu keperluan, kebutuhan individu atau organisasi.

Dalam pengertian pelayanan tersebut secara konkrit diutarakan :

1) Pelayanan merupakan salah satu tugas utama aparatur pemerintah, termasuk pelaku bisnis.

2) Obyek yang dilayani : masyarakat (publik)

3) Bentuk pelayanan itu berupa barang dan jasa yang sesuai dengan kepentingan kebutuhan masyarakat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama yang berkaitan dengan kepentingan umum dan kepentingan golongan atau individu dalam bentuk barang dan jasa.

40Sianipar, J.PG. Manajemen Pelayanan Masyarakat, (Jakarta:Lembaga Administrasi Negara


(44)

Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat dan daerah maupun BUMN dan BUMD dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dinyatakan bahwa pelayanan publik adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain.41

Dalam pelaksanaannya pelayanan dilakukan secara pelayanan profesional, dan prima artinya dilakukan secara konkrit bahwa yang melayani harus memiliki suatu kemampuan dalam melayani, menanggapi kebutuhan khas (unik, khusus, istimewa) orang lain agar mereka puas. Pelayanan prima merupakan pelayanan yang memenuhi standar pelayanan terhadap permintaan, keinginan, dan harapan masyarakat yang mempunyai nilai yang tinggi dan bermutu (berkualitas).

Selanjutnya, Drs. H. Tamaruddin dalam Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima menyebutkan : Tujuan dari pelayanan prima adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Untuk mencapai hal itu, diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan atau keinginan pelanggan. Zeithaml et el, (1990) seperti dikutip Yun, Yong, dan Loh (1998) menyatakan bahwa mutu pelayanan didefinisikan oleh pelanggan, yaitu kesesuaian antara harapan dan atau keinginan dengan kenyataan.

2. Konsepsi Pelayanan

41 Tamaruddin, Pengembangan Polaksanaan Polayanan Prima (Padang: Badan Pendidikan


(45)

Kekuasaan dan wewenang pemerintah bersumber dari rakyat. Oleh karena itu, maju atau mundurnya suatu pemerintah ditentukan dukungan rakyat. Untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan diperlukan dukungan, kepercayaan, loyalitas masyarakat, seyogyanya aparat pemerintah pada semua bidang dan tingkat menerapkan suatu konsep pelayanan berwawasan pada pemenuhan kebutuhan, keperluan, kepentingan masyarakat. Segala kebijakan, peraturan, program yang ditetapkan hendaknya berorientasi kepada kepuasan masyarakat. 42

Menurut Sianipar aparatur pemerintah hendaknya selalu lebih mengutamakan kepentingan masyarakat, lebih mempercepat proses penyelesaian urusan masyarakat, memberikan yang lebih berkualitas, lebih baik, lebih murah, lebih cepat, lengkap dan tuntas.

Aparat pemerintah hendaknya sudah meninggalkan konsep menjual, yakni menawarkan secara agresif produk-produk yang dihasilkan berupa kebijaksanaan, peraturan, program yang belum tentu kondusif dengan kebutuhan masyarakat yang berubah cepat, keinginan dan kepuasan masyarakat. Aparat harus cepat tanggap terhadap tuntutan dan perubahan kebutuhan masyarakat. Melakukan berbagai perbaikan, perubahan atas berbagai cara, prosedur kerja, peraturan, kebijakan, program pada semua bidang kehidupan.43

Selanjutnya Sianipar menyebutkan bahwa sejalan dengan konsepsi pelayanan yang berwawasan masyarakat, maka timbul cara pandang baru yakni merubah posisi masyarakat yang dilayani dari di bawah manajemen 42 Sianipar, Manajemen Pelayanan Masyarakat, Opcid hal 14


(46)

garis depan menjadi diatas manajemen. Konsepsi memposisikan masyarakat pada puncak manajemen, merupakan suatu cara pengaktualisasian fungsi aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Konsepsi ini juga merupakan pencerminan pemikiran bahwa pelanggan adalah raja.

Semua aparatur pemerintah mereformasi konsepsi, wawasan berfikir, merubah paradigma, dan -prilaku mereka dari dilayani menjadi melayani. Melayani dengan cepat, tepat pada setiap level dibidang masing-masing sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Cara kerja lama yang terkesan lamban diubah, dirancang menjadi pelayanan yang cepat, tepat, lebih efektif, lebih efisien. Cara-cara berfikir yang kurang terbuka, yang kaku dalam mengartikan, menerapkan peraturan, disiplin, direformasi menjadi pemikir yang kreatif, inovatif, dan adaptif terhadap perubahan. Peraturan kebijakan yang kurang kondusif terhadap tuntutan masyarakat, dikaji, disempurnakan, atau diganti.

3. Sistem Pelayanan Nasional

Sebagai titik tolak, esensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang perlu disadari adalah masalah pelayanan publik bersumber pada :

- Adanya kewajiban pada pihak administrasi negara untuk menjalankan fungsi dan wewenangnya berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan bersih.

- Adanya pengakuan terhadap hak-asasi setiap warganegara atas pemerintahan, perilaku administratif, dan kualitas hasil pelayanan yang baik.


(47)

- Adanya keanekaragaman jenis serta bidang pelayanan publik di Indonesia sebagai akibat dari adanya keragaman urusan dan kepentingan masyarakat yang harus dipenuhi.

Terlepas dari perbedaan jenis dan bidang pelayanan di atas, aktivitas pelayanan publik hampir selalu berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan, di mana semua tugas yang harus diselenggarakan dalam rangka merealisasikan kebijakan umum (public policies) pemerintah harus dapat didelegasikan pada pihak-pihak atau institusi tertentu yang memiliki kewenangan (authority), kompetensi (competensi), dan sumber-sumber daya (resources) untuk menyelenggarakan pelayanan publik.

Sejalan dengan itu, beberapa hal pokok yang selalu melekat sebagai ciri dari Pelayanan Publik dan Penyelenggaraan Pelayanan Publik (public servants) adalah :

a. Umumnya diselenggarakan sebagai pengejawantahan dari dan dalam rangka realisasi kebijaksanaan negara yang ditujukan untuk masyarakat umum (dalam wujud penetapan hak dan kewajiban bagi warga masyarakat) yang ditetapkan melalui aturan-aturan dan perundang-undangan.

b. Diselenggarakan oleh petugas-petugas atau instansi yang berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan diberi kewenangan serta diwajibkan untuk memenuhi kualifikasi tertentu dalam memberikan pelayanan.


(48)

c. Menyangkut penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat yang dijalankan berdasarkan kerangka prosedural tertentu yang telah distandarisasi dari segi kinerja maupun kualitasnya.

d. Menyangkut pelbagai urusan dan kepentingan masyarakat pada berbagai bidang kehidupan pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, dan penyelenggaraannya dapat berkenaan dengan pelayanan administratif, penyediaan barang, penyediaan jasa bagi masyarakat44 atau gabungan dari

jenis-jenis pelayanan itu.

e. Tingkat keberhasilannya diukur dari tingkat kepuasan masyarakat penerima pelayanan, baik dari segi kualitas pelayanan, praktikabilitas, tingkat biaya pelayanan yang harus dikeluarkan, kualitas produk (barang/jasa/status), tingkat responsitivitas terhadap keanekaragaman kepentingan dan kebutuhan masyarakat, serta tingkat responsivitas terhadap keluhan-keluhan yang disampaikan oleh masyarakat.

f. Selalu harus diselenggarakan berdasarkan standar kualitas hasil kerja tertentu yang mengikat para penyelenggara pelayanan publik sehingga dapat dijamin pencapaian tingkat kepuasan masyarakat penerima pelayanan publik yang minimal seragam secara nasional dan atau seragam di pelbagai sektor pelayanan publik yang ada.

g. Selalu berhadapan dengan pluralitas di dalam masyarakat, baik dari segi kepentingan (interest), kebutuhan (necessities), latar belakang ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya, sehingga dalam

4410  Bahkan   apabila   sebagian   dari   tugas­tugas   kepolisian   hendak

dikategorikan sebagai pelayanan publik, maka tugas­tugas ini dapat dilihat sebagai pelayanan   publik   yang   khusus,   yaitu   pelayanan   untuk   penegakan   hukum   dan ketertiban di dalam masyarakat.


(49)

penyelenggaraannya tercakup pula adanya jaminan untuk bersifat non-diskriminatif, proporsional, obyektif dan imparsial.45 Artinya, apabila

terdapat penyimpangan hanya dapat dibenarkan bila terdapat justifikasinya di dalam hukum.

h. Karena pada tingkat realisasinya dilaksanakan oleh petugas atau pejabat publik tertentu, adanya standar perilaku yang mencakup standar etik maupun manajerial dalam wujud code of good conduct menjadi keharusan. Standar semacam itu menjadi pedoman perilaku bagi para petugas/pejabat dan pedoman penilaian terhadap pemenuhan hak-hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan prima.

Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik Indonesia perlu bersinergi dan saling mengisi dalam mendukung bekerjanya keseluruhan sistem itu secara optimal. Faktor-faktor penentu meliputi :

a) Regulasi tentang Pelayanan Publik

Regulasi pelayanan publik berwujud seperangkat peraturan perundang-undangan, yang sebagian besar merupakan kaidah-kaidah hukum administrasi negara, yang memberikan dasar hukum dari beroperasinya

45 Sebagai perbandingan, di dalam wacana tentang Pelayanan Publik di luar

Indonesia, dikenal konsep ”citizenry” yang mengandung makna bahwa pelayanan

publik lebih dari sekedar menyediakan pelayanan pada pelanggan atau kline, bukan sekedar   memberikan   layanan   konsultasi   pada   pihak­pihak   yang   berkepentingan, dan   bahkan   lebih   dari   sekedar   mengupayakan   efisiensi   demi   kepentingan   para pembayar   pajak.   Pelayanan   publik   menyediakan   pelayanan   kepada   masyarakat secara   keseluruhan,   tanpa   melihat   pribadi­pribadi   atau   kelompok­kelompok

kepentingan yang berada di belakangnya.  Disarikan  dari : Shergold, Peter, Ethics

and the Changing Natur of Public Service, makalah pada The Fifth International Conferences on Public Sector Ethics – Between Past and Future, Aurtralia, 1996. 


(50)

sistem palayanan publik. Peraturan-peraturan hukum yang menjadi dasar keabsahan adalah :

1) Keberadaan hukum (legal existence) institusi-institusi administrasi negara penyelenggara pelayanan publik.

2) Bekerjanya struktur organisasi, pengisian jabatan dan fungsi penyelenggara pelayanan publik dengan pejabat dengan kualifikasi dan kompetensi tertentu.

3) Penetapan dan pelaksanaan tugas, tanggung jawab, kewenangan dan hak-hak penyelenggaraan pelayanan publik.

4) Pengakuan kedudukan, dan penegakan hak, kewajiban, serta tanggung jawab warga masyarakat pengguna pelayanan jasa publik.

5) Penetapan berlakunya proses/prosedur penyeleng- garaan pelayanan jasa publik serta standar minimum pelayanan (tolok ukur kinerja/hasil kerja kualitas produk) termasuk indeks kepuasan masyarakat dan proses/prosedur pengajuan dan pelayanan keluhan publik (publik complaint/public grievance).

6) Berlakunya standar perilaku (standard of conduct) para penjabat penyelenggara pelayanan publik.

b) Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Dimaksud dengan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik adalah prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan dalam pengorganisasian, acuan kerja, serta pedoman penilaian kerja bagi setiap lembaga penyelenggara pelayanan publik. Asas-asas penyelenggaraan dikategorikan


(51)

sebagai asas-asas umum administrasi publik yang baik (general principles of good administra-tion) dan azas bersifat adaptif.

Bersifat umum karena asas ini secara langsung menyentuh hakekat pelayanan publik sebagai wujud dari upaya melaksanakan tugas pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak dan/atau tugas pelaksanaan perintah peraturan perundang-undangan.

Bersifat adaptif, karena asas-asas ini secara tidak langsung bersentuhan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat umum, baik di bidang pelayanan administratif, pelayanan jasa, pelayanan barang, ataupun kombinasi dari pelayanan-pelayanan tersebut.

Menurut Cadbury Committee di Inggris ( 1992) Asas-asas utama, yang melekat secara inherent pada esensi Pelayanan Publik adalah :46

1) Asas Keterbukaan (openness)

Keterbukaan menjadi salah satu asas utama untuk menjamin bahwa para stakeholders47 yang mengandalkan proses pengambilan keputusan,

tindakan-tindakan oleh institusi publik, pengelolaan aktivitas, serta pengelolaan sumber daya manusia dalam melaksanakan pelayanan publik. Keterbukaan (mungkin setara dengan asas transparansi) yang diwujudkan melalui pembinaan komunikasi secara penuh, terinci dan

46  Asas­asas   ini   merupakan   hasil   modifikasi   dari   asas­asas   yang

dikembangkan oleh:  Lihat :”Report of the Committee on the Financial Aspects of

Corporate   Governance”,   dengan   asas­asas   Administrasi   yang   Baik   (General

Principles of Good Administration) yang ditetapkan oleh European Commission dalam : Code of Good Administrative Behavior: Relations ewith the Public, Official Journal of the European Communities: OJ L 267, 20.20.2000.

47  Dalam konteks penelitian ini,  stakeholders  pada dasarnya adalah warga


(52)

jelas dengan para stakeholders yang menjadi salah satu prinsip utama dari suatu good governance.

2) Asas Integritas

Integritas mengandung makna ”berurusan secara langsung” (straightforward dealings) dan ketuntasan (completeness) dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan publik. Asas moral yang mendasari asas integritas ini terutama adalah kejujuran, obyektivitas dan standar kesantunan yang tinggi, serta tanggung jawab atas penggunaan dana-dana dan sumber daya publik.

3) Asas Akuntabilitas

Asas ini berkenaan dengan proses di mana unit-unit pelayanan publik dan orang-orang yang berfungsi di dalamnya harus bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan yang dibuatnya. Singkatnya, akuntabilitas melahirkan kewajiban untuk bertanggung jawab atas fungsi dan kewenangan yang secara sah dipercayakan kepada setiap public servant. 4) Asas Legalitas

Berdasarkan asas lawfulness ini, setiap tindakan, pengambilan keputusan, serta pelaksanaan fungsi suatu institusi pelayanan publik harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dijalankan sesuai dengan aturan dan prosedur yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

6) Asas Non-Diskriminasi dan Perlakuan yang Sama

Institusi penyelenggara pelayanan publik harus bekerja atas dasar prinsip pemberian pelayanan yang sama dan setara kepada masyarakat,


(1)

melalui SAMSAT pada Kantor Bersama SAMSAT Padang, harus mampu merealisir sesuai dengan potensi yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Walaupun UPTD Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di Padang berhasil merealisir sumber pendapatan daerah yang menjadi kewenangannya dengan melampaui sejumlah beban target yang ditetapkan oleh instansi induknya (Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat), namun UPTD Padang belum dapat dikatakan berhasil dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya wajib pajak yang tidak membayar pajak serta masih banyaknya potensi yang menjadi sumber pendapatan daerah yang belum terdata.

Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat wajib pajak, UPTD Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di Padang melalui Kantor Bersama Samsatnya belum efektif dan efisien mampu memberikan pelayanan seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat. Keluhan-keluhan masyarakat masih dijumpai baik dari pelayanan yang diberikan oleh aparat itu sendiri, maupun terhadap sarana dan prasarana yang tersedia sehingga secara umum dapaat dikatakan bahwa efektivitas pelayanan pengelolaan PKB dan BBN-KB belum sesuai dengan SPM dan Kepmen PAN No. 63 Tahun 2003.

Pelayanan Kantor bersama samsat selama ini sering mendapat sorotan tajam dari masyarakat, terutama yang berurusan dengan kantor tersebut. Sorotan dilakukan karena lambatnya proses pelayanan pengurusan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB), Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan


(2)

(SWDKLLJ), maupun Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), serta masih adanya pungutan-pungutan yang tidak resmi atau pungutan liar, sarana, prasarana dan fasilitas yang tidak memadai, banyaknya calo, sikap petugas yang kurang simpatik dalam melayani masyarakat sampai kepada tidak terampilnya petugas dalam melaksanakan pekerjaannya.

Karena adanya kritikan, terutama pelayanan dalam pengurusan pembayaran pajak berkaitan dengan pemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor oleh masyarakat, Kantor Bersama Samsat Khusunya di Provinsi Sumatera Barat bertekat untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, dengan mencanangkan pelayanan satu hari selesai atau yang dikenal dengan One day Service dan bahkan diwacanakan denga pelayanan cepat One Hour Service ( Pelayanan 1 Jam ).

Kantor Bersama Samsat telah memiliki acuan lamanya pelayanan disetiap loket, yang dikeluarkan oleh kapolri melalui Petunjuk Pelaksanaan, yaitu selama 22 (dua puluh dua) menit untuk setiap wajib pajak. Agar jangka waktu yang telah ditentukan dapat terealisir, diperlukan pengawasan dari atasan,terutama oleh Pembina SAMSAT di tingkat Provinsi Sumatera Barat ( Gubernur dan Kapolda ).

Dengan dioperasikannya sistim 2 (dua) loket di Samsat Padang dan Samsat-Samsat di seluruh Propinsi Sumatera Barat berarti pelayanan kepada Pemilik kendaraan bermotor dalam membayar pajak kendaraan bermotornya sudah sesuai dengan INBERS tahun 1999 berarti tercermin bahwa pelayanan Samsat lebih cepat dan mudah serta akan tercipta team works yang solid, efektif dan efisien.


(3)

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi belum tercapainya kepuasan pelayanan dan waktu penyelesaian dalam pembuatan STNK adalah karena kurangnya pengawasan petugas oleh atasan, sehingga tidak sesuai dengan waktu pelayanan menurut juklak. Koordinasi antar tiga instansi yang berada pada SAMSAT ( Dispenda, Polri, dan PT. Jasa Raharja / Persero ) kurang cepat dan delapan kriteria pelayanan yang belum terpenuhi dengan baik, seperti efisiensi dan kesederhaan prosedur yang kurang lengkap serta pemahaman wajib pajak terhadap mekanisme prosedur pelayanan yang masih relatif rendah. Disamping itu karena SAMSAT adalah kantor kerja bersama, dimana masig – masing membawa nama instansi, maka ego sektoral masih terasa cukup kental.

Penilaian terhaap delapan kriteria standar pelayanan yang dilaksanakan SAMSAT Provinsi Sumatera Barat pada tingkatan cukup baik, artinya berdasarkan hasil analisis data, prosentase dominan memilih kategori mudah, sedang, efisien, cukup baik, cukup adil dan aman. Artinya pilihan responden adalah baik, walaupun belum pada tingkatan sangat baik. Sedangkan kriteria pelayanan mengenai ketepatan waktu yang sesuai dengan standar pelayanan, masih dalam kategori harus ditingkatkan. Kondisi ini masih dapat diterima, karena mayoritas responden menyatakan bahwa pelaksanaan one day service belum berjalan dan belum dapat dirasakan oleh wajib pajak.

Upaya yang dilakukan untuk peningkatan one day service, meliputi aktivitas meciptakan budaya pelayanan yang tinggi, berusaha menciptakan budaya kinerja melalui pemahaman tugas masing – masing, menghidupkan paengawasan dan memperkuat unit – unit pelayanan dengan melihat kendala dan peluang yang ada melalui supervisi dan evaluasi pelayanan yang optimal.


(4)

Fungsi manajemen pada Kantor Bersama SAMSAT belum dapat berjalan sebagaimana seharusnya untuk suatu organisasi yang baik. Hal ini dapat dilihat dari jumlah waktu yang diperlukan oleh masyarakat untuk berurusan pada setiap loket pelayanan yang masih relatif lama dibandingkan dengan juklak yang telah ditetapkan. Begitu juga adanya pungutan tidak resmi yang dilakukan oleh petugas di Loket II. Berarti fungsi pengawasan tidak berjalan dengan baik.

B. Saran -Saran

1. Regulasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagai acuan bagi aparatur Dinas Pendapatan Daerah dalam memberikan Pelayanan PKB dan BBN-KB bagui Wajib Pajak dan untuk menerbitkan surat dinas yang dibutuhkan oleh penerima pelayanan, agar dapat dievaluasi oleh Gubernur Sumatera Barat selaku unsur Pembina SAMSAT dan atau bahkan ditinjau kembali, sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebagai penerima pelayanan sesuai dengan yang diharapkannya.

2. Dalam rangka rneningkatkan pendapatan Daerah, UPTD Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di Padang dapat lebih berperan aktif lagi dalam rnengelola sumber pendapatan Daerah yang ada dalam wilayah kerjanya. Aparat UPTD dapat lebih jeli dalam memantau, mendata dan sekaligus menagih terhadap objek pajak yang masih menunggak dan belum terpantau dan terdata, karena masih banyak tunggakan kendaraan bermotor yang tidak membayar pajak dan BBN–KB.

3. Apabila dilakukan perbandingan antara Samsat-Samsat yang ada di Propinsi Sumatera Barat khususnya Samsat di Padang dengan Samsat-Samsat Propinsi


(5)

lainnya di Indonesia yang sudah mendapatkan penilaian pelayanan yang berstandar Internasional (ISO 1999-2001), maka Samsat yang ada di Sumatera Barat perlu berbenah diri dalam beberapa sisi pelayanan. Untuk itu disarankan agar system pelayanan yang ada sekarang ini masih memakai sistem 5 (lima) Loket harus dirobah menjadi Sistem 2 (dua) loket dan system pelayanan lainnya harus ditingkatkan terus sehingga samsat yang ada di Propinsi Sumatera Barat tidak jauh tertinggal dari daerah lainnya di Wilayah Indonesia serta peningkatan pelayanan tersebut diharapkan sebagai cikal untuk mempersiapkan diri meraih pelayanan prima yang berstandar lnternasional seperti yang diprogramkan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara. 4. Sehubungan dengan hal tersebut, Kantor Bersama SAMSAT melalui

Pemerintah Daerah perlu memperbaharui struktur organisai UPTD dan sekaligus ada penegasan Unit Kerja UPTD. Idealnya struktur UPTD tersebut salah satu seksinya adalah Seksi PKB/BBN KB yang langsung bertugas di SAMSAT sedangkan Kasubag Tata Usaha dan seksi lainnya bertugas di UPTD. 5. Pemisahan ruang kerja UPTD dengan SAMSAT, yaitu Kepala UPTD tidak lagi fokus pada kerja di SAMSAT akan tetapi tugas utamanya lebih banyak koordinasi, pengawasan, melahirkan kebijakan, penyusunan rencana kerja/kegiatan, penentuan kebijakan dan lain-lain yang bersifat strategis. 6. Perlunya adanya penetapan atau produk hukum yang disepakati oleh ketiga

instansi di Kantor SAMSAT tentang tata cara penunjukan personil masing-masing yang akan bertugas di SAMSAT sehingga diharapkan jumlah personil yang bertugas di SAMSAT sebanding dengan beban kerja yang ada, dan hubungan kerja antara satu dengan lainnya berjalan harmonis.


(6)