Usulan mengolah materi pendidikan iman anak dalam kursus persiapan perkawinan dengan katekese model pengalaman hidup.
USULAN MENGOLAH MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN
DENGAN KATEKESE MODEL PENGALAMAN HIDUP
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Rosita Dangin NIM: 061124048
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2013
(2)
(3)
(4)
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
Ayahku tercinta (Aloysius Savang Ingan), ibu tercinta (Fransiska Husun Liah), Ayah angkatku tercinta (Andim)
kedua saudaraku terkasih (Rominus Romiyanus), (Rosa Ayu Riska Manin), dan teman-teman seperjuanganku angkatan 2006
Kekasihku (Wibisono), Omku (Oktavianus Bang Liah), tanteku (Emiliana Hanya) dan Dinas Pendidikan Kutai Barat
serta
(5)
v MOTTO
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13)
(6)
(7)
(8)
viii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Usulan Mengolah Materi Pendidikan Iman Anak Dalam Kursus Persiapan Perkawinan Dengan Katekese Model Pengalaman Hidup”. Penulis memilih judul ini berdasarkan keprihatinan penulis tentang pendidikan iman anak. Banyak orang tua lebih mempercayakan dan menyerahkan sepenuhnya pendidikan iman anak kepada guru di sekolah. Orang tua kurang memahami dan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman yang utama dan pertama. Dalam kursus persiapan perkawinan materi pendidikan iman anak belum mendapatkan porsi yang khusus. Suami-istri tidak hanya perlu mendapatkan pembekalan mengenai bagaimana membangun keluarga kristiani yang baik tetapi juga tentang pendidikan iman anak, sehingga mereka semakin siap untuk menanggapi panggilannya sebagai orang tua kristiani. Oleh karena itu persoalan skripsi ini bagaimana materi PIA bisa diolah secara khusus dalam KPP, sehingga menjadi bekal yang membantu calon suami-istri dalam mempersiapkan dan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik utama dan pertama.
Keluarga sebagai komunitas iman tidak terbentuk dengan sendirinya. Keluarga perlu dipersiapkan melalui KPP yang terlaksana dengan baik. Materi-materi dalam kursus persiapan perkawinan hendaknya membantu calon suami-istri dalam memahami dasar-dasar keluarga kristiani, serta hal-hal yang bisa dilakukan untuk membangun keluarga kristiani. Materi PIA perlu diberikan secara khusus dengan tekanan tentang pada pentingnya pendidikan iman anak dalam keluarga, panggilan orang tua dan upaya-upaya mendidik iman anak dalam keluarga.
Katekese model pengalaman hidup dapat dipilih sebagai alternatif untuk mengolah materi PIA dalam KPP. Keunggulan katekese model pengalaman hidup ini terletak pada titik tolak katekese, yaitu dari pengalaman hidup peserta, katekese yang kontekstual, dan katekese yang menggarisbawahi peran keberadaan pendamping KPP sebagai falisitator dan perserta sebagai subyek yang aktif. Untuk memperjelas proses katekese model pengalaman hidup dalam KKP dalam mengolah materti PIA, maka penulis pada bagian akhir skripsi menyampaikan contoh proses katekese. Melalui contoh proses katekese tergambar dengan jelas bahwa materi PIA dalam KPP tidak diolah secara informatif atau transfer pengetahuan tetapi melalui sharing yang mendalam antar peserta dengan pendamping dalam terang Kitab Suci.
(9)
ix ABSTRACT
This writing entitled “A Proposal To Include The Children Faith Formation in Courses Of Preparing Matrimony With Catechesis Of Life Experience Model”. Writer choose this title due to the concern of children’s faith education. Many parents tend to entrust all their children faith formations to the school just take a bit of role. The parent do not understand their duties as the first and main faith educator to their children. The course of marriage preparation the children’s faith education has not enough portion. The couple need courage not only on education do that are ready to become christian parents how the children faith formation teaching can be include in marriage preparation courses so that it can be sources that can help future parent to prepare and do their job as a main and first educator.
Family as faith community is formed by itself. Family need ought to be prepared through marriage preparation Courses in the marriage preparation help future parent to understand the foundation of christian family. Children faith formation lesson need to be given especially with stresses on the importance of faith education, and how parent can make efforts to educate children faith.
Catechesis of experience of life this model can be as an alternate to give children faith formation lessons in marriage preparation Courses. The excellence of this model takes place on the start line of catechesis the life experience of participants, contextual catechesis and the importance of the facilitator and participant a active. The writer offers an example of catechesis process at the cad of the writing. The children faith formation are presented an deep sharing in the light of the scripture.
(10)
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya yang berlimpah pada penulis. Atas rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul USULAN MENGOLAH MATERI
PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN
PERKAWINAN DENGAN KATEKESE MODEL PENGALAMAN HIDUP. Penulisan skripsi ini bertolak dari keprihatinan penulis akan kurangnya kesadaran dan penghayatan orang tua dalam pendidikan iman anak. Pasangan suami-istri yang akan menikah perlu dibekali pemahaman tentang pendidikan iman anak. Penulis berharap dengan penulisan skripsi ini dapat membantu pendamping KKP dalam membantu calon suami-istri yang akan menikah untuk membangun sebuah keluarga yang beriman terutama dalam segi pendidikan iman anak, sehingga semakin siap sedia dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada demi mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam sebuah keluarga dan dapat membangun keluarga sebagai komunitas iman.
Penulis menyadari bahwa proses penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan, bimbingan, dukungan, motivasi dan doa dari banyak pihak. Oleh karena itu maka dari hati yang paling dalam penulis menyampaikan terima kasih kepada:
(11)
xi
1. Drs. F.X. Heryatno W. W., SJ. M.Ed selaku Kaprodi, Pembimbing akademik sekaligus dosen penguji II dengan setulus hatinya memberi perhatian, memberikan dukungan kepada penulis dan selalu menjadi inspirasi buat penulis. 2. Y.H. Bintang Nusantara, SFK., M.Hum, selaku dosen pembimbing utama
penulis yang telah dengan sabar, setia, penuh perhatian, penuh semangat dan selalu berusaha menyediakan waktu dalam membimbing penulis. Beliau juga dengan sepenuh hati senantiasa memotivasi, mencintai dan menumbuhkan kepercayaan diri pada penulis. Semangat beliau menjadi inspirasi bagi penulis agar mau berusaha untuk maju dan berkembang menjadi lebih baik. Banyak saran dan kritikan yang menjadikan penulis berkembang baik segi pengetahuan maupun kematangan pribadi sebagai calon katekis.
3. P. Banyu Dewa HS, S. Ag. M.Si, selaku penguji III yang juga senantiasa memberi motivasi, dukungan, saran dan kritikan yang membangun bagi penulis baik dalam proses penulisan skripsi ini maupun selama menjalani kuliah di IPPAK.
4. Drs. H.J. Suhardiyanto, SJ yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis selama kuliah di IPPAK dan selama proses menyelesaikan skripsi ini.
5. Dinas Pendidikan Kutai Barat yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk kuliah di IPPAK.
6. Segenap dosen prodi IPPAK dan Staf karyawan yang selama ini telah mendidik dan mengajarkan banyak hal demi perkembangan iman dan juga kepribadian penulis. Mereka juga dengan setia membimbing dan mengarahkan penulis
(12)
(13)
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penulisan... 5
D. Manfaat Penulisan ... 6
E. Metode Penulisan ... 6
F. Sistematika Penulisan... 7
BAB II. MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN ... 9
A. Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas Iman ... 9
1. Pengertian Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas Iman... 9
2. Dasar-dasar Membangun Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas iman ... 12
(14)
xiv
3. Ciri-ciri Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas Iman ... 17
4. Persiapan-persiapan Untuk Membangun Keluarga Kristiani... 22
B. Kursus Persiapan Perkawinan Sebagai Usaha Untuk Membangun Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas Iman... 24
1. Pengertian Kursus Persiapan Perkawinan... 24
2. Tujuan Kursus Persiapan Perkawinan ... 25
3. Materi Kursus Persiapan Perkawinan ... 27
C. Pengolahan Materi Pendidikan Iman Anak (PIA) Dalam KPP... 40
1. Pentingnya Materi Pendidikan Iman Anak Diolah Dalam KPP ... 40
2. Tujuan Materi Pendidikan Iman Anak Diolah Dalam KPP ... 45
3. Materi-materi PIA Yang Perlu Diolah Dalam KPP ... 47
a. Panggilan Orang Tua Sebagai Pendidik Iman Anak ... 47
b. Upaya-upaya Untuk Mendidik Iman Anak Dalam Keluarga... 52
BAB III. KATEKESE MODEL PENGALAMAN HIDUP UNTUK MENGOLAH MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN ... 58
A. Katekese Model Pengalaman Hidup ... 58
1. Pengertian Katekese Model Pengalaman Hidup ... 58
2. Keunggulan Katekese Model Pengalaman Hidup Untuk Mengolah Materi PIA Dalam KPP... 59
a. Pengalaman Hidup Peserta Sebagai Titik Tolak... 59
b. Katekese Yang Kontekstual... ... 60
c. Peran Pendamping KPP Sebagai Fasilitator Dan Peserta Sebagai Subyek Yang Aktif ... 61
B. Unsur-unsur Katekese Model Pengalaman Hidup ... 62
1. Pengalaman Hidup ... 63
2. Pengalaman Iman Dalam Kitab Suci Dan Tradisi Kristiani ... 63
3. Komunikasi Iman ... 64
4. Arah Keterlibatan Baru ... 65
C. Pengembangan Langkah-langkah Katekese Model Pengalaman Hidup Untuk Mengolah Materi PIA ... 65
(15)
xv
1. Mengungkapkan Pengalaman Hidup Peserta ... 66
2. Pendalaman Pengalaman Hidup... 66
3. Menggali Pengalaman Iman Kristiani ... 67
4. Penerapan Iman Kristiani Dalam Situasi Konkrit ... 67
5. Mengusahakan Suatu Aksi Konkrit... 67
BAB IV. CONTOH SATUAN PERTEMUAN KATEKESE MODEL PENGALAMAN HIDUP UNTUK MENGOLAH MATERI PIA DALAM KPP ... 69
A. Usulan Tema-tema Tentang Materi Pendidikan Iman Anak Dalam KPP ... 69
1. Panggilan Dan Perutusan Orang Tua Katolik ... 69
2. Pendidikan Iman Anak Dalam Keluarga... 70
3. Upaya-upaya Dalam Mendidik Iman Anak ... 72
B. Contoh Satuan Pertemuan ... 73
BAB V. PENUTUP... 85
A. Kesimpulan ... 85
B. Saran ... 87
(16)
xvi
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci KS : Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan yang terdapat dalam daftar singkatan Alkitab Deuterokanonika (1995) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia.
B. Singkatan Dokumen Gereja
DV :Dei Verbum(Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi) FC :Familiaris Consortio
GS :Gaudium et Spes(Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia)
KHK : Kitab Hukum Kanonik(Codex Iuris Canonici)
LG :Lumen Gentium(Konstitusi Dogmatis tentang Gereja) GE :Gravissimum Educationis
AA :Apostolicam Actuositatem
C. Singkatan lainnya
Art : Artikel
(17)
xvii PIA : Pendidikan Iman Anak Pasutri : Pasangan Suami-Istri
SP : Satuan Persiapan
Kan : Kanon
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia KOMKAT : Komisi Kateketik
Ay : Ayat
Pasutri : Pasangan suami-istri
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
(18)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Keluarga adalah basis terkecil dalam Gereja dan masyarakat. Keluarga yang baik dan harmonis akan sangat membantu terciptanya suatu tatanan hidup yang baik di dalam masyarakat maupun dalam hidup menggereja. Dalam keluarga Kristiani orang tua menjadi teladan untuk menerapkan nilai-nilai Kristiani dalam diri setiap anggota keluarganya baik hidup di tengah masyarakat maupun dalam hidup Gerejani.
Kebahagiaan suami-istri menjadi tujuan utama dalam hidup berkeluarga. Selain kebahagiaan suami-istri, pendidikan iman anak juga menjadi tujuan perkawinan. Dalam sebuah keluarga, pasangan suami-istri tentunya yang sangat berperan untuk terciptanya kebahagian keluarga dan keberlangsungan pendidikan iman anak-anaknya. Tugas orang tua dalam mendidik anak berakar dari panggilan suami-istri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah.
Untuk mencapai kebahagiaan suami-istri dan keberhasilan pendidikan iman anak, pentinglah persiapan perkawinan seperti ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II melalui anjuran apostolik yang berjudul Familiaris Consortio, (1993:66).
Oleh karena itu, Gereja harus mengembangkan program-program persiapan pernikahan yang lebih intensif, untuk sedapat mungkin menyingkirkan kesulitan-kesulitan, yang dialami oleh cukup banyak pasangan suami istri; malahan lebih lagi: untuk secara positif mendukung mewujudkannya pernikahan-pernikahan yang makin mantab dan berhasil.
(19)
Perkawinan perlu direncanakan oleh suami-istri sejak lama sebelum menikah. Apabila tidak direncanakan secara matang maka keluarga yang akan dibangun bisa saja akan menjadi rapuh, sehingga kebahagiaan keluarga tidak terpenuhi dan pendidikan anak-anak juga terabaikan. Oleh sebab itu sangatlah penting pemahaman dan penghayatan perkawinan dengan rencana yang sedemikian matang untuk pasangan calon suami-istri yang akan membangun sebuah bahtera rumah tangga.
Mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum menjalani hidup berkeluarga amat sangat penting untuk pasangan-pasangan yang akan menikah. Dalam hidup berumah tangga akan timbul berbagai macam permasalahan atau tantangan yang akan dihadapi. Salah satu permasalahan dan tantangan tersebut adalah pendidikan iman anak, karena pasangan suami-istri mempunyai peranan penting dalam membina iman anaknya. Pasangan suami-istri berperanan dalam pendidikan iman anak untuk pendidikan iman dalam keluarga dapat memampukan anak dengan penuh tanggung jawab mengikuti panggilannya dan menentukan status hidupnya (GS, art 52). Untuk dapat melaksanakan perannya pasangan suami-istri perlu dipersiapkan secara matang dalam hal pendidikan iman anak. Mereka perlu dibekali pemahaman tentang tugas suami-istri sebagai orang tua untuk selalu memperhatikan dan mendampingi anak, agar melalui semua cara pendidikan anak dapat berkembang menjadi manusia cerdas dan penuh inisiatif guna membangun hidupnya sendiri (KWI, 1996: 56).
(20)
Orang tua menjadi pengayom dan pegangan serta pedoman bagi anak-anaknya terutama dalam hal pendidikan iman anak. Pasangan suami-istri sebagai orang tua hendaknya penuh kepercayaan dan keberanian membina anak-anaknya mengamalkan nilai-nilai manusiawi dan iman. Nilai-nilai ini akan mengantar anak pada minat dan perhatian yang tulus serta mengabdi tampa pamrih terhadap sesama sehingga anak dapat mempertanggungjawabkan imannya dan berdaya guna dalam lingkungan masyarakat luas (FC, art. 37).
Tujuan akhir dari pembekalan yang diikuti pasangan suami-istri yang akan menikah, supaya mereka bisa menghayati peran mereka sebagai orang tua, karena harus diakui bahwa dalam tugas mereka sebagai orang tua adalah pelaku pertama dan utama. Sebagai orang tua, suami-istri berkewajiban menciptakan lingkup keluarga yang diliputi oleh semangat bakti kepada Allah dan sesama, serta mengembangkan keluarga sebagai komunitas iman untuk melayani Gereja dan masyarakat. Keluarga merupakan suatu komunitas iman yang menjadi tempat Kristus membaharui hubungan-hubungan dengan iman dan sakramen-sakramen. Partisipasi keluarga dalam pengutusan Gereja harus mengikuti pola persekutuan suami-istri sebagai pasangan hidup harus mengikuti pola persekutuan Gereja serta persekutuan orang tua dan anak-anak. Mereka harus menghayati pelayanan mereka pada Gereja dan masyarakat. Mereka harus sehati sejiwa (Kis 4:32).
Di dalam kursus persiapan perkawinan materi tentang pendidikan iman anak perlu diolah secara menarik guna membantu pasangan calon suami-istri
(21)
yang akan menikah dalam membekali diri mereka masing-masing dalam hal pendidikan iman anak. Orang tua diingatkan untuk menyalurkan kehidupan kepada anak-anaknya dan ini merupakan tugas berat. Keluarga menjadi lingkungan pendidikan pertama dalam menanamkan keutaman-keutaman sosial yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat (FC, art. 36).
Realitas yang terjadi materi pendidikan iman anak kurang diolah secara khusus dalam KPP. Gambaran ini penulis lihat di Paroki tempat tinggal penulis sendiri yaitu Paroki Keluarga Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur, materi yang diolah dalam KPP tentang pendidikan anak secar umum belum pendidikan iman padahal materi pendidikan dalam keluarga sangat penting karena merupakan hal yang pokok di dalam keluarga untuk bekal bagi suami-istri dalam mempersiapkan diri menjadi orang tua khususnya sebagai pendidik iman pertama yang utama.
. Berkaitan dengan pendidikan iman anak dan kenyataan pendidikan iman anak maka pendidikan iman anak perlu diolah dalam KPP. Pengolahan materi pendidikan iman anak dalam KPP akan membantu pasangan calon suami-istri untuk lebih menghayati tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua dalam menjalankan perannya mendidik iman anak agar semakin terlibat di Gereja dan masyarakat. Sebagai calon orang tua, tugas pasangan suami-istri tidak hanya mengajarkan tentang iman pada anak-anaknya saja melainkan mereka sungguh-sungguh menghayati imannya dalam hidup sehari-hari serta
(22)
melaksanakannya dalam keluarga. Mereka dapat menjadi teladan dan saksi iman bagi anak-anaknya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mendalami judul skripsi “Usulan Mengolah Materi Pendidikan Iman Anak Dalam Kursus Persiapan Perkawinan dengan Katekese Model Pengalaman
Hidup”
B. Rumusan Permasalahan
Permasalahan dalam skiripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Gereja mengenai pentingnya kursus persiapan perkawinan bagi calon pasangan suami-istri untuk membangun keluarga Kristiani?
2. Mengapa materi PIA perlu diolah dalam KPP?
3. Metode apa yang cocok untuk diterapkan dalam mengolah materi pendidikan iman anak dalam KPP untuk membantu calon pasangan suami-istri mempersiapkan dalam melaksanakan tugas sebagai orang tua?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pandangan Gereja mengenai kepentingan kursus persiapan perkawinan yang ada dalam rangka mempersiapkan calon pasangan suami-istri membangun keluarga beriman Kristiani.
(23)
2. Menguraikan alasan pokok perlunya materi pendidikan iman untuk diolah dalam Kursus persiapan perkawinan.
3. Mengurauikan usaha apa yang cocok untuk mengolah materi pendidikan iman anak dalam membantu calon pasangan suami-istri dalam melaksanakan tugasnya sebagai orang tua.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan skripsi ini, adalah:
1. Dapat mengetahui pentingnya pendidikan iman anak dalam membangun keluarga sebagai komunitas iman.
2. Calon pasangan suami-istri dapat memahami, menghayati dan mewujudkan tugasnnya sebagai orang tua dalam mendidik iman anak.
3. Memberi sumbangan pemikiran melalui katekese model pengalaman hidup untuk mengolah materi PIA dalam KPP dalam membangun keluarga sebagai komunitas iman.
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskripsi analitis. Metode analitis adalah suatu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang dianalis melalui data yang telah diperoleh dari sumber kepustakaan (Sugiono, 2009: 29). Dalam
(24)
skripsi ini penulis mendeskripsikan tentang keluarga kristiani sebagai komunitas iman, pemahaman mendalam mengenai kursus persiapan perkawinan dan secara khusus upaya-upaya untuk mengolah materi PIA dalam KPP melalui katekese model pengalaman hidup.
F. Sistimatika Penulisan
Pada Bab pertama merupakan pendahuluan. Pada bagian ini, penulis memaparkan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistimatika penulisan.
Bab kedua, penulis menguraikan materi kursus persiapan perkawinan dan pendidikan iman anak dalam kursus persiapan perkawinan yang meliputi: pengertian kursus persiapan perkawinan dan tujuan kursus persiapan perkawinan Materi kursus persiapan perkawinan, Pentingnya pendidikan iman dan materi-materi pendidikan iman anak yang perlu diolah di dalam kursus persiapan perkawinan.
Bab ketiga, penulis menguraikan tentang katekese model pengalaman hidup untuk mengolah materi pendidikan iman dalam kursus persiapan perkawinan, keunggulan katekese model pengalaman hidup, unsur-unsur katekese model pengalaman hidup dan pengembangan langkah-langkah katekese model pengalaman hidup untuk mengolah materi pendidikan iman anak.
(25)
Bab empat, tema-tema materi pendidikan iman anak yang perlu diolah dalam kursus persiapan perkawinan dan contoh persiapan mengolah materi pendidikan iman anak dalam kursus persiapan perkawinan.
Bab lima merupakan penutup seluruh skripsi ini, pada bab ini penulis memaparkan mengenai kesimpulan dan saran.
(26)
BAB II
MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN
A. Keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman
1. Pengertian keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman
Keluarga secara umum terdiri dari suami-istri dan anak-anak mereka yang hidup secara terpisah dari orang lain dan terikat secara khusus. Keluarga menjadi kesatuan sosial terkecil. Keluarga sebagai kesatuan sosial artinya ada hubungan yang terjalin erat antara suami-istri, orangtua dan anak-anak. Begitu eratnya hubungan ini sehingga antara suami-istri tidak dapat dipisahkan. Mereka tidak dapat hidup sendiri, setiap anggota keluarga membutuhkan orang lain. Keluarga sebagai kesatuan sosial sekaligus juga kesatuan pribadi. Dalam keluarga ikatan perkawinan antara pria dan wanita yang menyatukan mereka sebagai pasangan telah menjadi tanda kesatuan Kristus dengan Gereja. Tanda ini tampak dalam relasi timbal balik antara suami dan istri yang menunjukkan hubungan timbal balik antara Kristus dengan GerejaNya.
Konferensi Waligereja Indonesia (1996:54), juga menekankan pandangan keluarga sebagai komunitas iman. Keluarga diartikan sebagai kesatuan hidup setiap anggotanya. Keluarga betanggung jawab atas dirinya sendiri, orang tua terhadap anaknya dan anak-anak terhadap orangtuanya. Dengan rasa tanggung jawab ini, setiap pribadi belajar untuk saling mencintai, mengampuni, dan memahami orang lain. Dengan melaksanakan tugas tersebut, keluarga disebut “Komunitas iman”.
(27)
Katekismus Gereja Katolik (1995:563) menyatakan bahwa Keluarga Kristiani merupakan satu penampilan dan pelaksanaan khusus dari persekutuan Gereja. Dalam keluarga kristiani ditampilkan persekutuan pribadi-pribadi, satu tanda, citra dan persekutuan Bapa dan Putera dalam Roh Kudus. Keluarga dipanggil, supaya mengambil bagian dalam doa dan kurban kristus. Keluarga kristiani mempunyai suatu tugas mewartakan dan menyebarluaskan Injil. Injil yang menjadi sumber kekuatan dalam keutuhan keluarga. Dimana Injil menjadi sebuah saksi dalam kehidupan berkeluarga. Keluarga kristiani diharapkan mampu menjadi pengikut Yesus Kristus yang sejati dengan mewartakan dan menyebarluaskan Injil dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan bermasyarakat.
Keluarga sebagai Komunitas iman mengemban tugas-tugas Gereja. Menurut Konsili Vatikan II,
Keluarga sendiri menerima perutusan dari Allah, untuk menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakannya, bila melalui iman timbal balik para anggotanya dan doa mereka bersama Allah, keluarga membawa diri bagaikan ruang ibadat Gereja di rumah; bila segenap keluarga ikut serta dalam ibadat liturgi Gereja, akhirnya bila keluarga ikut serta dalam ibadat liturgis Gereja, akhirnya bila keluarga secara nyata menunjukkan kerelaannya untuk menjamu, dan memajukan dan amal-perbuatan baik lainnya untuk melayani semua saudara yang sedang menderita kekurangan (AA,art 11). Keluarga turut ambil bagian dalam sakramen suci ekaristi, melaksanakan doa-doa keluarga dan lingkungan, membina dan mengajarkan anak-anak tentang cinta kasih dan terutama memperhatikan saudara-saudara yang miskin dan menderita. Keluarga menjadi sekolah yang pertama bagi kehidupan katolik dimana angota
(28)
keluarga belajar dengan tekun, gembira dengan pekerjaan, mengalami cinta persaudaraan dan memperoleh rahmat pertobatan melalui doa dan ibadat.
Menurut Paus Yohanes Paulus II, sebuah keluarga kristiani hanya layak disebut sebagai komunitas iman bila hidup anggotanya dijiwai oleh iman. Keluarga sebagai komunitas iman memiliki kekhasan sebagai Gereja mini. keluarga kristiani merupakan unsur pembentukan Gereja, yang pertama ditandai oleh sikap hormat dan kasih kepada Kristus dan Gereja-Nya. Sebagai komunitas iman diharapkan, keluarga turut serta dalam tugas perutusan Gereja mewartakan Kerajaan Allah. Iman keluarga hendaknya diyakini, dipahami, diungkapkan, dirayakan, diwartakan, dan diamalkan secara terus-menerus, baik di dalam maupun di luar rumah. Konsili Vatikan II mengatakan bahwa:
Kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan ketaatan iman. Demikian manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan dengan sukarela menerima sebagian kebenaran, wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya”. (DV art. 5).
Dari pemaparan di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa keluarga sebagai komunitas iman adalah keluarga yang dijiwai oleh iman dan senantiasa mengembangkan hidup beriman kristiani. Dalam keluarga kritiani, seluruh anggotanya melaksanakan hidup kesehariannya dengan pola hidup seperti Yesus. Pola hidup Yesus itu terwujud dalam perjuangan berani memanggul salib yakni dengan: mau menderita, berkorban, siap berjuang dalam kesulitan, tidak egois, tidak mudah tergoda dan akhirnya siap melawan arus yang berlawan dengan kehendak Allah.
(29)
2. Dasar-dasar Membangun Keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman a.Cinta suami-istri
Suami-istri dipertemukan untuk saling mencintai dan hidup bersatu dalam jiwa dan badan, guna saling membahagiakan satu sama lain, itulah dasar membangun keluarga sebagai komunitas iman. Keluarga hendaknya dibangun dengan cinta dan penyerahan secara total seluruh hidup suami-istri pada kehendak Allah. Sejarah keselamatan dipenuhi dengan tema perjanjian nikah yang merupakan satu ungkapan penting bagi kesatuan cinta kasih antara Allah dan manusia, serentak sebagai satu pengertian kunci untuk memahami dalam simbolisme tahap-tahap perjanjian besar yang diadakan Allah dengan umat-Nya. Perkawinan berlandaskan cinta merupakan gambaran perjanjian kasih Allah antara Kristus dan Gereja-Nya. Dikatakan suami-istri yang diberkati melalui perkawinan menjadi gambaran dan tanda pernjanjian Allah dengan umatNya. Maka pria dan wanita yang telah menikah saling terikat dan terpisahkan.
Suami-istri sebagai mahluk pribadi dan bermartabat pada hakikatnya adalah sama. Pernyataan tersebut dijelaskan dalam Kitab Kejadian: “maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakan laki-laki dan perempuan” (Kej 1:27). Hendaknya suami-istri saling mencintai, karena dengan saling mencintai suami-istri karena seturut dengan Allah. menciptakan manusia pria dan wanita untuk hidup saling melengkapi, sehingga antara pria dan wanita memiliki posisi yang sama di mata Allah yakni mahluk pribadi yang bermartabat. Inilah hak setiap orang yang tak dapat dihapus di hadapan Tuhan dan juga manusia (FC art 22). Kesadaran manusia itu sebagai
(30)
citra Allah hendaknya suami-istri saling mencintai, bahwa cinta yang melandasi dasar keluarga itu maka harus dirasakan lewat komunikasi, karena komunikasi yang baik adalah ekpresi cinta sehingga keluarga bisa membangun keluarga sebagai komunitas iman.
Dengan menyadari tugas dan perannya masing-masing (suami-istri) dan dilandaskan cinta untuk membangun keluarga, situasi keluarga yang damai, tentram dan bahagia dapat terwujud. Untuk mewujudkan suasana damai, tentram dan bahagia diperlukan komunikasi yang baik. Komunikasi ini dapat dilakukan bila suami-istri bersedia mendengarkan pasangannya dengan rendah hati dan terbuka, sehingga permasalahan yang terjadi dalam keluarga dapat dibicarakan dalam suasana yang damai.
b. Sakramen Perkawinan
Perkawinan katolik bukanlah merupakan perkawinan biasa. Perkawinan memiliki sifat penting lebih mendalam yakni bersifat sakramen. Sakramen Perkawinan menjadi dasar dari keluarga kristiani. Kitab Hukum Kanonik kanon 1055 $ 1 menyatakan:
Perjanjian (foedus) perkawinan, denganya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut cirri kodratinya terarah pada kesejahteran suami-istri (bonum coniugum)serta kelahiran dan pendidikan anak antara orang-orang yang baptis oleh kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
berdasarkan sifat sakramental, perkawinan katolik bersifat tak terceraikan dan monogami.
(31)
1) Tak terceraikan
Penceraian dalam gereja katolik merupakan pengingkaran janji. Perkawinan antara suami-istri bersumber dari cinta Ilahi. Cinta kasih suami-istri akan terpancar melalui kesetiaan mereka dalam perkawinan. Suami-istri mengusahakan kesetiaan untuk mempertahan hubungan dalam perkawinan. Dengan kesetiaan suami-istri akan semakin saling memahami dan menciptakan perkawinan yang bahagia (GS art 48).
Perkawinan katolik bukanlah suatu kontrak hidup bersama antara pria dan wanita, bila tidak sesuai dengan ketentuan kontrak dapat diputuskan sewaktu-waktu. Namun perkawinan katolik telah mendapatkan keteguhan dalam masyarakat dan dikukuhkan oleh hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hukum-hukum ini menjamin setiap orang yang menikah terhindar dari pihak-pihakyangmencari keuntungan sendiri.
2) Monogami
Ciri perkawinan katolik selain tak terceraikan adalah monogam yaitu perkawinan katolik di tuntut untuk menikah dengan satu orang saja. Kitab Hukum Kanonik kanon 1056 menyatakan:
Ciri-ciri Hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolusbilitas (sifat tidak dapat diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.
dalam perkawinan Kristus yang mempersatukan suami-istri, maka perkawinan kristiani bukan hanya melibatkan dua pihak yaitu suami dan istri tetapi juga
(32)
Kristus. Kristus yang mengikat suami-istri dalam perjanjian yang sifatnya monogam, seperti perjanjian antara Kristus dengan Gereja.
c. Kebisaan Hidup Beriman
Kebiasaan hidup beriman menjadi dasar keluarga Kristiani. Kebiasaan doa pribadi dan bersama tetapi juga kebiasaan juga membaca Kitab Suci keluarga secara otomatis dapat berkomunikasi dengan Tuhan, tidak hanya melalui doa keluarga juga mendapatkan kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam perayaan Ekaristi, membaca dan menemukan dasar iman. Pembinan iman tidak hanya didapatkan dari orang tua saja tetapi bisa di dapatkan melalui pembinaan iman yang meliputi:
1. Kebiasan hidup doa
Menyadari keluhuran panggilan hidup berkeluarga untuk membangun hidup suci, kita tidak menutup mata terhadap berbagai tantangan yang dialami suami-istri dalam membangun keluarganya. Banyak keluarga mengalami berbagai kesulitan dalam hal materi, relasi atau yang lain. Lebih tragis lagi situasi tersebut membawa keluarga kristiani masuk dalam sebuah tragedi yang sulit untuk diselamatkan.
Sebagai umat beriman sangat penting membawa berbagai persoalan hidup dalam doa. Pelaksanaan doa ini bisa secara pribadi atau bersama dalam keluarga. Melalui doa bersama (Gilarso, 1996: 159-160) anggota keluarga saling
(33)
mendoakan satu dengan yang lain sehingga doa mempunyai daya kekuatan yang lebih di hadapan Tuhan (Mat 18:19).
Perkawinan sebagai sakramen akan semakin terwujud dalam kegiatan doa keluarga. Sebagai keluarga beriman kristiani, harus percaya bahwa kekuatan doa mampu memberi daya bagi seluruh anggota keluarga dalam mengahadapi sebuah “tragedi”. Melalui hidup doa, keluarga mampu mempersatukan hidup mereka sehari-hari sebagai kurban rohani yang berkenan kepada Allah (FC art 59).
2. Ikut pembinaan iman
Sebagai anggota Gereja keluarga ikut terlibat dalam pembinaan iman dan memberikan pendidikan iman serta menumbuhkan sikap menggereja dalam diri kelurga Kristiani yang baru dibangun. Dengan iman yang kuat keluarga katolik diharapkan bisa saling memperkembangkan iman dalam keluarga sehingga terciptanya kedamaian, kerjasama dan kerukunan dalam keluarga, dengan demikian Tuhan pun turut hadir di tengah-tengah keluarga untuk membawa keselamatan dan rahmat-Nya (Gilarso :1996:-11).
3. Ikut ambil bagian dalam Rekoleksi, Retret, Ziarah
Rekoleksi, Retret, Ziarah sudah dikembangkan cukup lama dalam Gereja dan menghasilkan buah-buah yang baik. Maka, keluarga Kristiani hendaknya mendorong dan mendukung seluruh anggota keluarganya untuk mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan tersebut demi pengembangan hidup beriman mereka.
(34)
4. Mengikuti Perayaan Liturgi
Keluarga Kristiani sudah terbiasa mengambil bagian aktif dalam perayaan liturgi, terutama ekaristi. Dengan demikian iman mereka akan Tuhan Yesus Kristus semakin besar. Keluarga Kristiani sejak dini diharapkan mengajak anak-anaknya mengambil bagian dalam setiap perayaan Ekaristi, karena perayaan Ekaristi membantu mereka untuk terlibat didalamnya, bila mereka sudah mampu memahami, orang tua sebaiknya menjelaskan makna perayaan Ekaristi, yaitu perjamuan kasih Tuhan. Dalam perjamuan itu Tuhan memberikan diri-Nya, maka menyambut Tubuh Kristus dalam komuni berarti bersatu dengan Tuhan dan Gereja yang adalah Tubuh Mistik Kristus.
3. Ciri-ciri keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman a. Keluarga sebagai sakramen
Keluarga kristiani sebagai komunitas iman menjadi tanda dan sarana kehadiran Allah bagi anggota keluarga maupun bagi masyarakat atau keluarga yang lain (Gilarso, 1996: 154-158). Tanda dan sarana kehadiran Allah yang mencintai manusia melalui perkawinan terwujud dalam keluarga dan janji pernikahan mereka sekali mereka dipersatukan Allah dengan saling menerima sakramen perkawinan, mereka telah dipersatukan oleh Tuhan untuk menjadi tanda dan sarana cintaNya. Tanda dan saluran rahmat dalam sakramen perkawinan itu tidak hanya untuk suami-istri yang bersangkutan, melainkan berlaku bagi seluruh umat. Sebab kesatuan dan kesetiaan yang nampak dalam cinta sejati mereka
(35)
merupakan tanda kasih setia dan rahmat Allah bagi seluruh umatNya (Gilarso, 1996:158)
b. Keluarga sebagai persekutuan hidup
keluarga menjadi tempat berkumpulnya suami-istri, anak dan saudara. Keluarga sebagai komunitas iman hidup sebagai persekutuan ada relasi yang dalam seluruh keluarga dalam persekutuan iman. Iman menjadi dasar dalam membina keluarga yang merupakan tempat berkumpulnya pribadi suami-istri, orang tua dan anak-anak serta sanak saudara. Melihat bahwa keluarga sangat penting sebagai pusat iman yang hidup dan menjadi saksi di tengah dunia yang sering berada jauh dari iman dan bahkan justru bermusuhan dengan-Nya. Seluruh anggota keluarga dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman bagi anggota yang lain. Dalam keluargalah, pelaksanaan imamat katolik yang diterima melalui pembaptisan dapat diwujudkan oleh keluarga melalui hidup doa dan syukur.
Keluarga adalah tempat pribadi belajar iman. Dengan beriman pasangannya dan anak-anak setiap pribadi melepaskan diri dari rasa ego dan harga diri, bersedia untuk mengampuni dan mau melaksanakan tugas-tugas harian dalam rumah tangganya.
Iman yang mempersatukan suami-istri untuk saling mencintai dan saling setia. Iman yang menuntut kesetiaan, hal ini bertujuan demi kesejahteraan dan masa depan anak-anak. Allah adalah kasih setia, Ia setia pada umatnya walaupun
(36)
manusia ingkar janji. Karena Allah itu setia maka suami-istri harus setia pada pasangannya dan juga keluarga, baik dalam suka maupun duka.
Sebagai komunitas iman, masing-masing memiliki peranannya didalam keluarga. Pria dan wanita memiliki derajat yang sama. Kederajatan ini sudah dan selalu diwahyukan dalam sejarah keselamatan (Kej 1:27), dalam panggilan Maria sebagai ibu Yesus, dan hormat Yesus kepada kaum perempuan berarti juga pengakuan bahwa mereka punya hak ikut berperan dalam masyarakat (FC art 23). Namun perannya sebagai istri dan ibu harus tetap diakui dan dihargai sehingga kerja mereka dirumahpun dihargai (FC art 23).
Laki-laki terutama berperan sebagai suami dan ayah. Ia harus mencitai istrinya sama seperti Kristus mencintai Gereja (FC art 25). Kehadiran seorang ayah diperlukan dalam keluarga terutama bagi anak-anak. Sejak masa pembuahan, anak harus dilindungi, dihargai dan dicintai. Martabat pribadinya diakui, dijadikan pusat perhatian orangtua (FC art 26).
Sebagai komunitas iman, keluarga memiliki perhatian dan kepedulian kepada mereka yang lanjut usia, sakit dan menderita. Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan pertolongan orang-orang terdekatnya dan arena mereka memiliki perannya dalam keluarga (FC art 27).
3. Keluarga yang ikut serta dalam tugas perutusan Gereja
Keluarga merupakan unsur pembentukan Gereja. Melalui keluarga, Gereja hadir dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan perkawinan dan keluarga setiap individu diperkenalkan dengan keluarga Allah yang lain. Dengan kelahiran dan
(37)
pendidikan, anak dihantar masuk kedalam komunitas iman. Melalui pembaptisan, anak masuk dalam keluarga Allah, yakni Gereja.
Keluarga sebagai unsur pembentuk Gereja, menjadikan rumah mereka sebagai gereja mini ( Ecclesia Domestika ), yang ikut serta dalam tugas perutusan Gereja. Keluarga ditengah situasi dunia yang tidak menentu diharapkan dapat membawa setitik harapan demi terciptanya kedamaian dan terwujudanya Kerajaan Allah.
4. Keluarga Sebagai Gereja Mini
Konsili Vatikan II mengartikan keluarga kristiani sebagai persekutuan hidup sebagai “Gereja Mini” (AA 11:4). Keluarga diharapkan bisa memperkembangkan Iman akan Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan sehari-hari, dengan demikian keluarga kristiani akan tumbuh dengan sendirinya. Keluarga kristiani satu penampilan dan pelaksanaan khusus dari persekutuan Gereja. Dalam keluarga kristiani ditampilkan persekutuan pribadi-pribadi, satu tanda, citra dan persekutuan Bapa dan Putera dalam Roh Kudus. Keluarga dipanggil, supaya mengambil bagian dalam doa dan kurban kristus. Keluarga kristiani mempunyai suatu tugas mewartakan dan menyebarluaskan Injil . Injil yang menjadi sumber kekuatan dalam keutuhan keluarga.
Keluarga kristiani diharapkan mampu menjadi pengikut Yesus Kristus yang sejati dengan mewartakan dan menyebarluaskan Injil dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan bermasyarakat. Keluarga kristiani adalah keluarga yang membangun persekutuan hidup berdasarkan persaudaraan dan iman akan
(38)
Yesus. Dalam keluarga kristiani ditampakkan kasih suami dan istri melalui kesediaan untuk berkorban, kesetiaan dan kerjasama yang penuh kasih antara semua anggotanya. Dengan demikian keluarga tersebut menampilkan cinta kasih Allah kepada Gereja-Nya.
Awal dari perkembangan sebuah gereja adalah keluarga, maka keluarga yang sungguh-sungguh berkembang dengan baik akan menjadi kehidupan menggereja juga akan berkembang dengan baik. Disinilah titik tolak yang membutuhkan perhatian dari setiap keluarga juga gereja untuk saling bekerjasama dalam memperkembangkan Gereja dalam keluarga.
Dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (FC), Art. 17 Sri Paus Yohanes Paulus II mengatakan:
Dalam rancangan Allah, Sang pencipta dan penebus, keluarga bukan hanyamenemukan jatidirinya, keluarga itu apakah sebenarnya, melainkan juga Perutusannya, yakni: apa yang dapat dan harus dijalankannya. Peranan, yang seturut panggilan Allah harus dijalankan oleh keluarga disepanjang sejarah, dijabarkan dari jatidiri keluarga. Peranan itu merupakan pengembangan dinamis dan eksistensial jatidirinya. Setiap keluarga menemukan dalam dirinya suatu undangan, yang tidak dapat diabaikan, dan yang kongkritkan martabatnya maupun tanggung jawabnya: keluarga, jadilah sebagaimana seharusnya. (FC art 17).
Keluarga sebagai komunitas iman dapat memaksimalkan fungsinya sebagai keluarga kristiani yang berpatokan pada keluarga Nazaret. Jati diri sebagai keluarga kristiani menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari, lewat interaksi dengan lingkungan sekitar juga dengan masyarakat baik yang seiman maupun yang berbeda iman. Disinilah peranan keluarga sebagai komunitas iman dapat diungkapkan dan interaksinya dengan lingkungan masyarakat juga iteraksinya dengan alam sekitar yang mencerminkan iman yang total tanpa perbedaan.
(39)
Semangat kristiani yang tumbuh dalam keluarga diharapkan semakin dikembangkan oleh masing-masing keluarga baik itu melalui ajaran orang tua terhadap anaknya, maupun tingkah laku sehari-hari dalam keluarga itu sendiri.
Dengan kebijaksanaan kedua pasangan sebagai penggerak berkembangnya sebuah keluarga yang seimbang yaitu hubungan dalam keluarga harmonis begitu pula hubungan keluarga masyarakat disekitarnya. Titik tolak perjalanan sebuah keluarga terletak pada pasangan suami-istri yang menjadi kepala keluarga. Oleh karena itu bukan hanya dalam kursus persiapan perkawinan hal tersebut dijabarkan melainkan dalam pendampingan-pendampingan keluarga. Motivasi dan dukungan dari Gereja menjadi pemicu yang positif bagi sebuah keluarga karena mereka akan merasa dipahami dan dihargai serta diperhatikan. Akhirnya keluarga bukan hanya sebagai tujuan pewartaan, melainkan juga dapat mengambil peran sebagai pewarta.
4. Persiapan-persiapan untuk Membangun Keluarga Kristiani a. Persiapan perkawinan jangka jauh
Persiapan ini diadakan jauh sebelum perkawinan yaitu dimulai sejak kanak-kanak. Persiapan tercipta melalui keluarga untuk menciptakan situasi keluarga yang sehat, serasi, pendidikan, kegiatan sosial dan mengajarkan keterampilan yang berguna bagi mereka.
Oleh karena itu, materi persiapan perkawinan ini tidak langsung berhubungan dengan masalah perkawinan, melainkan menanamkan sifat-sifat dan sikap-sikap yang akan diperlukan bagi mereka untuk membangun hidup.
(40)
Penanggungjawab persiapan perkawinan jangka jauh adalah orang tua masing-masing.
b. Persiapan perkawinan jangka dekat
Persiapan ini sering disebut juga persiapan perkawinan dalam arti khusus atau sempit. Persiapan perkawinan jangka dekat, terutama diberikan kepada remaja yang masih duduk dibangku sekolah tingkat atas. Dalam persiapan ini, remaja diberi penjelasan tentang hal-hal yang bermanfaat untuk hidup berkeluarga. Tekanan utama dalam persiapan perkawinan ini adalah pembinaan kepribadian remaja dan muda-mudi supaya mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hidup perkawinan.
c. Persiapan akhir menjelang perayaan sakramen
Persiapan akhir tersebut persiapan perkawinan dalam arti teknis. Yang dimaksud dengan persiapan perkawinan dalam arti teknis adalah persiapan yang diadakan selama satu pekan. Persiapan perkawinan diberikan oleh tim kursus persiapan perkawinan dengan menggunakan program dan jadwal yang telah diatur dan dipersiapkan oleh Gereja. Persiapan akhirnya ini dilakukan untuk meneguhkan dan membantu pasutri dalam membangun sebuah keluarga karena sebuah perkawinan perlu dihayati bukan sebagai kewajiban atau syarat semata tetapi sebagai suatu rekoleksi dan permenungan yang sederhana untuk mempersiapkan diri lebih baik dan memantapkan niat memasuki jenjang perkawinan (Adi Hardana, 2010: 7).
(41)
B. Kursus Persiapan Perkawinan sebagai Usaha untuk Membangun Keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman
1. Pengertian Kursus Persiapan Perkawinan
Kursus persiapan perkawinan adalah bentuk persiapan jangka pendek bagi calon pasangan suami-istri katolik yang akan menikah untuk mempersiapkan dan membekali diri dalam membangun hidup berkeluarga guna membangun keluarga yang harmonis dan berhasil. Persiapan ini sangat dianjurkan Paus Yohanes II melalui anjuran apostoliknya yang berjudul Familiaris Consortio, (1993:66).
Gereja harus mengembangkan program-program persiapan pernikahan yang lebih baik dan lebih intensif, untuk sedapat mungkin menyingkirkan kesulitan-kesulitan, yang dialami oleh cukup banyak pasangan suami istri; malahan lebih lagi: untuk secara positif mendukung terwujudanya pernikahan-pernikan yang makin mantab dan berhasil.
Kursus persiapan perkawinan ini perlu dihayati bukan sebagai kewajiban atau syarat semata, tetapi sebagai suatu rekoleksi dan permenungan yang sederhana untuk mempersiapkan diri lebih baik dan memantapkan niat memasuki jenjang perkawinan. Kursus persiapan perkawinan perlu disadari sebagai kebutuhan bukan hanya sebagai formalitas belaka demi memenuhi syarat pernikahan. Diharapkan melalui kegiatan kursus ini pasangan calon suami-istri sungguh-sungguh sadar akan manfaatnya.
Dalam KPP, semua hal yang berhubungan dengan hidup keluarga akan diberikan kepada calon pasangan suami-istri. Seperti yang dinyatakan dalam Konsili Vatikan II yang secara khusus memberikan perhatian terhadap keutuhan keluarga. Para uskup mencemaskan keutuhan keluarga-keluarga terutama keluarga Kristiani seperti yang dinyatakan dalam dokumen Gadium et Spes:
(42)
Akan tetapi tidak dimana-mana martabat lembaga itu sama-sama berseri semarak, sebab disuramkan oleh poligami, malapetaka penceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat cendera lainnya. Selain itu cinta perkawinan sering disematkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu situasi ekonomis, sosio-psikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tidak ringan terhadap keluarga. Akhirnya diwilayah-wilayah tertentu didunia ini dengan cukup prihatin disaksikan munculnya masalah akibat pertambahan penduduk. Itu semua serba menggelisahkan suara hati” (Art 47).
2. Tujuan Kursus Persiapan Perkawinan
Keluarga yang baik perlu dipersiapkan dengan baik dan persiapan itu sering kali memerlukan waktu yang lama (Adi Hardana 2010: 6). Tujuan persiapan menjelang perkawinan itu sangat penting karena keadaan keluarga yang baik adalah faktor mutlak untuk tercapainya kesejahteraan (keselamatan) bagi orang perorangan, masyarakat umum maupun Gereja (GS, 47). Persiapan itu diberikan dalam bentuk kursus persiapan perkawinan sebagai langkah persiapan bagi muda-mudi untuk membangun hidup berkeluarga yang baik dan suatu usaha memberi bekal dalam membangun keluarga Kristiani. Adapun tujuan kursus persiapan perkawinan yaitu:
1. Mempersiapkan muda-mudi yang akan menikah atau hidup berkeluarga
Menurut Adi Hardana (2010: 2) persiapan calon pasutri diberikan dalam bentuk kursus perkawinan sebagai langkah persiapan dan sebagai usaha untuk memberikan bekal bagi muda-mudi untuk membangun hidup berkeluarga yang baik. Melengkapi kebutuhan mereka dalam pengetahuan teologi, psikologi, moral,
(43)
seksualitas, kesehatan, ekonomi, dll, yang berkaitan erat dengan hidup berkeluarga sehingga mereka siap untuk membangun keluarga. Selain itu memberikan pegangan bagi mereka untuk mengambil tindakan dan mengatur hidupnya sendiri menurut azas dan moral Kristiani.
2. Memberikan penerangan bagi mereka tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah perkawinan dan kehidupan keluarga
Dalam kursus perkawinan tidak hanya bekal mengenai membangun hidup berkeluarga tetapi memberikan informasi mendalam mengenai berbagai macam hal yang berkaitan dengan masalah hidup berkeluarga informasi ini menjadi penerangan menjadi penerangan menjadi bekal pasutri dalam hidup keluarga (Adi Hardana, 2010:5). Karena itu, kursus persiapan perkawinan hendaknya diselenggarakan oleh tim yang terdiri dari beberapa orang dengan keahlian yang berbeda sehingga informasi yang disampaikan akan menjadi luas.
3. Menanamkan kesadaran akan hidup perkawinan sebagai panggilan
Kursus persiapan perkawinan juga mempersiapkan para calon pasutri untuk membangun keluarga kristiani dalam arti luas, yaitu membangun Kerajaan Allah (Adi Hardana, 2010:4). Penting untuk membuka wawasan baru dan luas bagi calon pasutri untuk membuka wawasan baru dan luas bagi calon pasutri untuk mampu melihat adanya panggilan hidup lain (hidup sebagai imam, suster, bruder) selain panggilan untuk hidup berkeluarga dan bahwa setiap orang katolik bertanggung jawab dalam menumbuh kembangkan panggilan itu.
(44)
Keluarga-keluarga ikut berperan serta dalam menumbuhkan panggilan hidup sebagai imam, suster, bruder, melalui kegiatan-kegiatan kerohanian mulai dari usia dini.
3. Materi Kursus Persiapan Perkawinan
Dalam upaya menjawab harapan serta tujuan diadakannya kursus persiapan perkawinan, maka materi kursus persiapan perkawinan meliputi: hakikat perkawinan Kristiani, tujuan Perkawinan Kristiani, sakramen perkawinan, moral perkawinan, mengenal pribadi pasangan, psikologi Pria dan Wanita, komunikasi suami-istri, pendidikan anak, seksualitas manusiawi, biologi pembiakan manusia, keluarga berencana alamiah, pengaturan ekonomi keluarga, prosedur perkawinan (Tukan, 1988: 17). Sejalan membantu pasangan suami-istri dalam membekali mereka dalam membangun sebuah keluarga, maka materi kursus persiapan perkawinan meliputi:
a. Hakikat Perkawinan
Dalam kursus persiapan perkawian materi ini diberikan agar pasangan suami-istri yang akan menikah perlu mendapatkan pemahamana mengenai perkawinan sebagai persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita, atas dasar ikatan cinta kasih yang total, dengan persetujuan bebas dari keduanya untuk tidak dapat ditarik kembali, dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan. Perkawinan dapat di pandang dari empat sudut pandang yaitu perkawinan merupakan hidup dan cinta, perwkawinan merupakan lembaga hukum negara, dan perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen.
(45)
1. Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta
Perkawinan merupakan persekutuan hidup yang menytukan seorang pria dan wanita dasar persetujuan bebas (Gilarso, 2011: 9). Mereka bersekutu membentuk suatu keluarga atas dasar cinta kasih yang tulus dalam kesatuan lahir-batin yang mencakup seluruh hidupnya. Persetujuan bebas merupakan syarat mutlak untuk terjadinya dan sahnya perkawinan. Cinta mensyaratkan kebebasan serta tanggung jawab, tidak ada cinta yang dipaksa atau terpaksa dan ini harus dinyatakan secara jelas di depan saksi-saksi yang sah. Unsur pokok dalam cinta perkawinan adalah kesetian kepada pasangannya dalam untun dan malang dan bertanggung jawab dalam segala hal
2. Perkawinan merupakan lembaga sosial
Dalam masyarakat umumnya perkawinan dipandang satu-satunya lembaga yang mengizinkan persekutuan pria dan wanita, hubungan seks dan keturunan (Gilarso 2011: 10). Maka dari itu perkawinan dilindungi dan diatur oleh hukum adat dan hukum negara, perkawinan juga melibatkan masyarakat luas, baik sanak-saudara maupun tetangga dan kenalan. Keluarga adalah sel masyarakat, sebab masyarakat ikut ambil bagian dalam urusan perkawinan karena mereka ikut berperan dalam keutuhan kehidupan keluarga.
3. Perkawinan merupakan lembaga hukum negara
Perkawinan adalah ikatan resmi dan harus di sahkan (Gilarso 2011: 10). Perkawinan bukan ikatan bebas menurut selera sendiri melainkan soal
(46)
masyarakat, soal sosial, soal keluarga, dan masa depan bangsa. Maka dari itu negara ikut campur tangan dalam masalah perkawinan warganya. Negara mengatur perkawinan sebagai lembaga hukum resmi.
4. Perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen
Menurut Gilarso (2011: 10) dengan dibaptis berarti ia telah bersatu secara pribadi dengan Kristus. Maka perkawinan antara dua pribadi yang dibaptis merupakan perayaan iman Gerejawi, yang membuahkan rahmat bagi kedua mempelai. Ikatan cinta setia yang mempersatukan mereka menjadi lambing, tanda perwujudan kasih setia Kristus kepada Gereja dan satuan rahmat bagi mereka. Sakramen Pekawinan tidak hanya sebatas upacara di Gereja saja tetapi berlangsung terus-menerus selama hidup mereka berdua. Maka Tuhan sendiri berkenan hadir di dalam keluarga mereka. Rahmat yang mereka terima adalah rahmat yang menguduskan mereka berdua, rahmat yang menyempurnakan cinta dan mempersatukan mereka, dan rahmat yang membantu dan membimbing mereka dalam hidup berkeluarga hingga semakin dekat dengan Tuhan.
b. Tujuan Perkawinan
Perkawinan dapat dilaksanakan dengan tujuan yang berbeda-beda (Gilarso 2011: 11-12). Tujuan materi ini diberikan agar suami-istri dapat memahami pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak, pemenuhan kebutuhan seksual, dan lain-lain.
(47)
1. Pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri
Kasih yang ada masih harus dikembangkan dan dimurnika, sehingga sungguh-sungguh dapat membahagiakan (Gilarso 2011: 11). Cinta adalah keputusan pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebagian pasangannya, bukan semata-mata dorongan nafsu, rasa tertarik, rasa simpati atau asmara. Suami-istri bukan sekedar pasangan melainkan belahan jiwa serta teman seperjalanan.
2. Kelahiran dan pendidikan anak
Perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang sah untuk pemenuhan keinginan mempunyai anak (Gilarso 2011: 11). Suami-istri yang normal mempunyai kerinduan untuk memiliki keturunan. Perlu disadari bahwa anak adalah anugerah Tuhan. Bila Tuhan belum memberikan anak, perkawinan tidak kehilangan artinyaa. Menurut Adi Hardana (2010 : 14) cinta kasih suami-istri tidak hanya tertuju pada mereka sendiri, tetapi juga kepada orang lain dalam hal ini tertuju pada kelahiran anak, karena itulah dengan bantuan rahmat Allah, suami-istri dipanggil oleh Allah untuk bekerja sama dalam penerusan generasi baru dengan sikap keterbukaan untuk menerima karunia (hidup baru) yang diberikan Tuhan.
3. Pemenuhan kebutuhan seksual
Pria dan wanita yang dewasa dan normal merasakan kebutuhan seksual (Gilarso 2011: 12). Kebutuhan itu layak dipenuhi melalui hubungan seks antara
(48)
suami-istri dalam lembaga perkawinan yang sah. Gereja menolak dengan tegas setiap hubungan seks di luar lembaga perkawinan yang resmi, itu berarti bahwa persetubuhan diadakan dengan kesadaran dan tanggung jawab penuh, sehingga kebutuhan itu terpenuhi dalam suasana cinta kasih, dan disertai kerelaan untuk menerima hidup bru sebagai hasil perpaduan cinta kasih mereka.
4. Lain-lain
Perkawinan juga mempunyai maksud tujuan antara lain, misalnya: kesejahteraan keluarga, jaminan perlindungan dan keamanan demi ketenangan nama baik, kerukunan keluarga; jaminan nafkah atau ekonomi, sah dan sehatnya keturunan dsb (Gilarso 2011: 12).
d. Sakramen Perkawinan
Menurut Konseng & Tukan (1991: 36) materi ini diberikan yaitu untuk membantu pasangan suami-istri memahami inti pokok perkawinan katolik adalah sebagai bahasa perkawinan. Katolik bersifat sakramental. Berdasarkan sakramen ini, mereka melambangkan dan mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan cinta yang subur antara Kristus dan Gereja. Perkawinan adalah tanda keselamatan. Dengan sakramen perkawinan maka suami-istri bersedia menghayati perkawinan kristiani. Dalam perkawinan katolik terdapat tiga pribadi yang terlihat: suami-istri dan Tuhan. Oleh karena itu suami-istri Kristiani dikuatkan dan bagaikan dikuduskan untuk tugas-kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan sakramen khas.
(49)
e. Moral Perkawinan
Dalam memberikan materi ini ada dua dasar yang menjadi sumber dan titik pijak pertimbangan moral yaitu Kitab Suci dan ajaran sosial Gereja, serta pengalaman, penalaran akal budi manusia, dan ilmu pengetahuan. Moral perkawinan tidak hanya berisikan larangan-larangan, tetapi mencoba memberikan pedoman positif (Adi Hardana 2010: 32). Menurut Gilarso (1990: 45) ada beberapa pokok ajaran Kitab Suci dan Gereja Katolik seperti Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya sendiri, Allah menciptakan pria dan wanita dan memanggil mereka untuk bersatu dalam keluarga. Maka tujuan pokok dari perkawinan adalah agar Pria dan wanita menjadi satu. Kesatuan antara suami-istri harus dibangun setiap hari, dengan saling memperhatikan, keterbukaan, dan kerelaan berkomunikasi dan saling menerima apa adanya, dengan kasih sayang, kelembutan dan kesabaran, dengan kerelaan berkorban dan saling membantu, maaf-memaafkan, doa bersama, dan saling menanggung beban. Segala sesuatu yang mendukung, menunjang mewujudkan, atau memperkuat kesatuan suami-istri, adalah baik. Segala sesuatu yang merusak, melanggar, mengancam, atau meretakkan kesatuan itu, adalah tindakan tidak baik.
f. Psikologi Pria dan Wanita
Tuhan menciptakan manusia sebagai pria dan wanita dengan perbedaan masing-masing yang melekat pada diri mereka. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang berkelamin, maksudnya supaya pria dan wanita saling melengkapi dan membahagiakan (segi psikologis) dan upaya umat manusia
(50)
berlangsung terus di dunia ini (segi biologis) (Adi Hardana 2010: 63). Panggilan hidup kaum pria terarah menjadi seorang ayah/bapak, sedangkan wanita menjadi seorang ibu. Sejak semula Allah memberikan perlengkapan yang berbeda pada kodrat pria dan wanita, baik perlengkapan jasmaniah/biologis maupun rohaniah/psikologis. Perbedaan adalah anugrah Tuhan dengan maksud agar pria dan wanita saling melengkapi dalam hidup berkeluarga. Perbedaan pria dan wanita harus disyukuri sebagai anugerah Ilahi. Dengan perbedaan itu mereka dapat saling mengisi dan melengkapi satu sama lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagai pasangan suami-istri yang dicita-citakan oleh Gereja dan masyarakat.
g. Komunikasi suami-istri
Dalam kursus komunikasi suami-istri diberikan agar mereka memahami pentingnya komunikasi merupakan kunci dalam membangun relasi. Apabila suami-istri semula berusaha untuk tetap berkomunikasi, segala persoalan akan dapat dihadapi bersama. Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 30) komunikasi adalah suatu proses antara dua orang yang memberikan informasi/isyarat dan yang lain menerima informasi tersebut sehingga terjadi kesatuan pemahaman. Agar komunikasi biasa berlangsung, yang pertama-tama perlu diusahakan adalah suasana yang mendukung, yaitu relasi dengan istri/suami dinomorsatukan di atas segalanya. Cinta itu lebih dari sekedar perasaan tetapi suatu keputusan untuk tetap setia. Dalam keluarga kristiani sangat penting diadakan doa malam bersama. Masalah-masalah yang menyangkut
(51)
kepentingan keluarga mesti dirundingkan bersama sampai tercapai mufakat, atau paling tidak saling pen gertian. Hendaknya kedua belah pihak, minimal sehari sekali, saling mengucapkan sepatah kata manis atau kata pujian. Komunikasi dalam keluarga menjadi mutlak dan harus selalu terus-menerus dibangun.
h. Keluarga Berencana Alamiah
Keluarga yang baik perlu direncanakan melalui KB, dalam kursus Kb diberikan salah satu perkawinan itu adanya tentang anak. sangat di anjurkan dalam keluarga katolik untuk memanfaatkan kb alamiah, secara khusus Paus Yohanes II menegaskan:
Tanggung jawab bersama yang harus diemban suami-istri dalam menggunakan metode KB-alamiah. Dengan menggunakan KB alamiah tanggung jawab itu dibebankan di atas pundak kedua belah pihak.
secara psikologis, hubungan seks merupakan ungkapan cinta dan penyerahan diri antara suami-istri, tetapi secara biologis, dimaksudkan untuk mendapatkan keturunan. Jika tidak menginginkan anak, suami-istri jangan mengadakan hubungan seks tepat pada waktu istri dalam masa subur. Di luar waktu itu, hubungan seks tetap dilakukan sebagai ungkapan cinta satu sama lain.
apabila suami-istri menginginkan anak maka perhatikan hari-hari ketika tampak atau terasa adanya lendir yang basah, licin, dan mulur apabila direntangkan di antara dua jari. Jika hari-hari digunakan untuk senggama, kemungkinan besar kehamilan akan terjadi (Brayat Minulyo 2007: 65). Untuk mempertinggikan kesuburan sebaiknya suami mengadakan tentang sanggama selama beberapa hari.
(52)
Jika suami-istri tidak menginginkan anak maka jangan mengadakan senggama waktu haid karena lendir kesuburan tidak akan kelihatan meskipun ada (Brayat Minulyo 2007: 65). Jangan mengadakan sanggama apabila ada tanda-tanda lendir keluar, sekurang-kurangnya 3 hari sesudahnya. Jangan mengadakan sanggama apabila ada pengeluaran darah dua siklus (bukan haid) sampai dengan 3 hari 3 malam sesudahnya. Cara ini dapat dipakai pada siklus menstruasi yang tidak teratur, masa haidanya (menopause). Ada banyak keuntungan metode ovulasi Billings yaitu memungkinkan setiap kelahiran direncanakan, termasuk jenis kelamin anak. Aman karena tidak ada efek samping. Alamiah karena tidak memakai alat kontrasepsi atau obat-obat kimia. Ekonomis dan mandiri penuh serta dapat diandalkan keberhasilannya. Selain itu dapat digunakan oleh setiap perempuan dalam setiap fase hidup.
i. Pengaturan Ekonomi Keluarga
Hal yang penting ini perlu di bahasa dalam kursus yaitu tentang pengaturan ekonomi rumah tangga. Orang yang bijak mengatur rumah tangganya sedemikian rupa sehingga dari penghasilan yang tertentu dan terbatas semua kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Dapat makan setiap hari, dapat berpakaian pantas, punya rumah kediaman yang layak, mendapatkan pendidikan secukupnya, dan bila ada anggota keluarga yang sakit mendapatkan pengobatan dan perawatan sepenuhnya. Menurut Gilarso (2011: 138) keluarga harus mampu mengatur ekonomi keluarga. Dengan cara mampu mengatur pengeluaran sesuai dengan keadaan keuangan yang ada dan rencana yang telah disusun. Mampu mengadakan
(53)
pilihan atau seleksi atas kebutuhan-kebutuhan, mana yang betul-betul dibutuhkan saat maupun saat mendatang, mana yang tidak atau kurang perlu. Mampu mengadakan tabungan untuk merealisasikan keinginan serta kebutuhan-kebutuhan masa mendatang yang sudah direncanakan. Mampu mengatur keungan sedemikian rupa sehingga tidak terjebak hutang maupun membeli secara kredit.
j. Persiapan Perkawinan
Persiapan perkawinan menurut Gereja Katolik mencakup empat persiapan yaitu persiapan awal (tiga bulan sebelum perkawinan), persiapan pertengahan (dua bulan sebelum perkawinan), persiapan tahap akhir (paling lambat satu bulan sebelum perkawinan), dan persiapan untuk pelaksanaan pada saat perkawinan. Persiapan ini penting untuk mereka yang memang akan menjalani hidup berkeluarga (Brayat Minulyo 2007: 77).
1. Persiapan Awal
Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 77) minimal tiga bulan sebelum perkawinan, calon pasangan suami-istri perlu bersama-sama menghadapi pastor paroki pihak calon mempelai putri. Jika salah seorang bukan katolik, hendaknya menghadap pastor paroki pihak calon yang Katolik. Yang perlu dibicarakan ialah rencana hari, tanggal perkawinan, waktu dan tempat perkawinan akan dilaksanakan, kapan diadakan penyelidikan kanonik, dan bagaimana liturgi perkawinannya.
(54)
2. Persiapan Pertengahan (Kursus Persiapan Perkawinan)
Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 77) calon mempelai hendaknya menghubungi sekretariat Paroki untuk menanyakan persyaratan administrasi yang perlu dipenuhi, baik perkawinan gerejawi maupun catatan sipil, untuk mencatatkan tanggal perkawinan dan imam yang akan meneguhkan perkawinan, untuk meminta informasi dan mendaftarkan kursus persiapan perkawinan. Sekretariat paroki akan memberikan catatan yang perlu disiapkan dan memberikan beberapa blangko persyaratan yang perlu diisi dan dikembalikan ke sekretariat paroki. Melalui persiapan ini akan memudahkan para calon pasangan suami-istri merencanakan pernikahannya.
3. Persiapan Tahap Akhir
Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 78) persiapan tahap terakhir yaitu calon suami-istri menghadap pastor paroki untuk penyelidikan kanonik. Pastor akan memeriksa, apakah ada halangan dalam perkawinan yang dapat dihilangkan dengan dispensasi dari Gereja, dan apakah mereka sungguh-sungguh bebas tanpa unsur paksaan dalam menentukan perkawinan mereka. Selanjutnya, diadakan pengumuman tiga kali di Gereja. Apabila kurang dari tiga kali, perlu adanya dispensasi. Agar upacara perkawinan di Gereja biasa mengenai liturgi perkawinan dengan pastor Paroki dalam rangka menyusun buku upacara liturgi perkawinan. Selanjutnya, disiapkan paduan suara untuk memeriahkan pernikahannya di Gereja, disiapkan putra/I altar, dan lektor untuk membaca bacaan dan doa umat.
(55)
4. Persiapan untuk pelaksanaan pada saat perkawinan
Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 78) agar upaca pernikahan di Gereja dapat terlasana dengan baik teratur, dan lancar calon mempelai perlu memikirkan adanya panitia pelaksana upacara pernikahan di Gereja. Untuk keperluan ini, calon memperlai perlu melibatkan kaum keluarganya, atau ketua dan umat lingkungan. Mereka diharapkan biasa membantu menyiapkan beberapa hal, seperti buku panduan liturgi perkawinan, lektor yang membaca bacaan 1 dan doa umat, menyiapkan putra/i altar, menyiapkan wakil orang tua, mempersiapkan paduan suara, mengingatkan perlunya disediakan dua cincin perkawinan, dll.
k. Pendidikan Anak
Menurut Budiyono Hadi (2012: 7) pendidikan dalam keluarga dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu pendidikan di dalam keluarga, pendidikan di sekolah dan pendidikan nonformal. Perlu disadari oleh Keluarga Katolik bahwa pendidkan yang paling dasar ialah pendidikan dalam keluarga. Orang tua sedapat mungkin menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik tempat suasana pengembangan iman terjamin. Bila anak sudah agak besar, baiklah disadarkan agar mengikuti kegiatan pramuka, putra-putri altar, koor,legio maria,dll.
Suami-istri adalah sepasang pria dan wanita yang disatukan oleh Allah, sehingga mereka “tidak lagi dua melainkan satu” (Mat: 19). Maka mereka berdua merupakan satu pasangan yang berkenan pada Allah dan terhormat di mata
(56)
masyarakat. Kepada pasangan suami-istri Allah menyerahkan anak, sebagai sebuah “titipan” dari-Nya. Sebagai titipan Allah, dan sekaligus juga sebagai citra Allah, setiap anak haruslah sepenuh-penuhnya mereka hargai, mereka cintai, mereka asuh, dan mereka didik, sehingga kelak dikemudian hari anak mampu dan berhasil mengasihi Allah dan sesamanya. Allah menghendaki bahwa keluarga menjadi tempat utama bagi lahir dan tumbuh kembang setiap anak, beliau juga menghendaki bahwa keluarga menjadi tempat pertama untuk pendidikan anak, sebelum ia dididik lebih lanjut di sekolah dan di tempat-tempat lain.
Kedua orang tua diharap mau dan mampu memberi teladan dan ajaran tentang kebaikan dan kebenaran. Pendidikan anak adalah usaha usaha orang-orang dewasa membantu anak muda dalam memperkembangkan kepribadian mereka. Usaha tersebut menyangkut berbagai dimensi, yakni: dimensi fisik, dimensi mental, dimensi moral, dimensi sosial, dan dimensi spiritual.
Karena kompleksnya kepribadian setiap anak, maka pendidikan anak merupakan proses yang panjang dan menuntut perhatian orang tua dalam berbagai hal yakni:
1. Pemberian Teladan Hidup
Melahirkan anak-anak itu tidaklah terlalu sulit. Yang lebih sulit adalah membuat mereka menjadi orang-orang yang baik. Untuk itu, orang tua harus memberikan teladan hidup yang baik. Kalau orang tua ingin bahwa anak-anak mereka menjadi orang-orang yang rajin, ramah, dan saleh, mereka harus memberikan teladanan kerajinan, keramahan dan kesalehan.
(57)
2. Perhatian dan Kasih Sayang
Setiap orang membutuhkan perhatian dan kasih sayang demi orang lain. Anak-anak pun membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Tetapi, tentang hal ini, haruslah disadari betul bahwa perhatian dan mengasihi tidaklah berarti memanjakan. Orang tua yang memanjakan anak-anak justru mereka menjadi orang-orang yang “lemah”, orang-orang yang tidak memiliki “semangat juang” mereka tidak tahan banting.
3. Simpati dan Empati
Mendidik anak-anak tidaklah berarti hanya memberikan informasi mengenai hal-hal yang diwajibkan dan hal-hal yang dilarang, melainkan juga ber-simpati dan ber-ber-simpati pada anak-anak itu. Ber-empati bearti menunjukan perhatian dan penghargaan. Sedangkan ber-empati berarti berusaha merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak-anak. orang tua yang bisa simpati dan ber-empati pada anak-anak tidaklah hanya mengasihi mereka, melainkan juga mengenal dan memehami mereka.
C. Pengolahan Materi Pendidikan Iman Anak (PIA) dalam KPP 1. Pentingnya materi pendidikan iman anak diolah dalam KPP
Dalam tujuan kursus persiapan perkawinan calon suami-istri sejak dini dibekali dalam persiapan membangun sebuah keluarga. Ada berbagai materi yang diberikan kepada calon suami-istri untuk melengkapi kebutuhan dan pengetahuan mereka tentang teologi, psikologi, moral, seksualitas, ekonomi, pendidikan anak,
(58)
dll, yang berhubungan untuk membangun sebuah keluarga. Dalam kursus persiapan perkawinan materi tentang pendidikan iman anak belum mendapatkan porsi yang lebih, calon suami-istri tidak hanya perlu mendapatkan pengetahuan tentang cara membangun keluarga yang baik tetapi mereka perlu juga mendapatkan pembekalan mengenai penting membangun keluarga secara Kristiani salah satunya adalah melalui pendidikan iman anak.
Calon suami-istri perlu mempersiapkan dan membekali diri dalam hal pendidikan anak karena sebagai orang tua mereka memiliki tanggung jawab dalam hal pendidik iman anak yang di titipkan Tuhan kepada mereka setelah menikah, maka penting dipersiapkan sejak dini dalam hal pendidikan anak, karena sebagai orang tua mereka adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga perlu memperhatikan setiap perkembangan sikap dan prilaku anak dalam keluarga. Perkembangan sikap dan prilaku yang dimaksud disini adalah perkembangan fisik, mental, dan spiritual.
Awal kehidupan dan lingkungan utama anak adalah keluarga. Dalam keluarga ini, anak belajar dasar-dasar kepribadian, sikap, dan prilaku yang akan dipergunakan untuk berhubungan dengan orang lain di luar keluarga (Adiyanti, 2003: 93). Apabila suami-istri sebagai orang tua telah memperhatikan dasar-dasar kepribadian, sikap, dan prilaku anak dalam keluarga dengan memberi kasih sayang dan perhatian penuh, maka iman anak akan bertumbuh dan berkembang kearah yang lebih baik terutama ketika anak berada di luar keluarga.
Melihat kenyataan sekarang dalam kehidupan setiap hari sering kali orang tua salah mengartikan peran mereka sebagai pendidik iman anak yang pertama
(59)
dan utama dalam keluarga. Mereka berpikir bahwa, tugas yang paling pertama dan utama adalah mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan memberi uang dan materi tugas mereka dianggap sudah selesai tanpa ada waktu sedikitpun untuk berdialog dan bersahabat dengan anak-anak untuk mengetahui situasi hidup mereka, jadi tidak mengherankan bila anak-anak mereka lebih mengasihi pembantu dari pada orang tua sendiri.
Dalam buku pedoman Gereja katolik Indonesia dikatakan bahwa:
Arus besar di dalam masyarakat sering menciptakan gambaran seakan-akan yang terpenting dalam hidup adalah mengumpulkan uang dan materi, kedudukan dan kekuasaan. Lalu tidak sedikit orang tua yang mengira bahwa dengan menyediakan materi bagi keluarga tugasnya selesai padahal anak pertama-tama memerlukan perhatian, kehangatan, dan kemesraan hubungan dengan orang tua dan saudara-saudara mereka. Anak-anak memerlukan keleluasaan isi hati, emosi dan pengalaman harus juga dapat bertindak sebagai sahabat bagi anak-anaknya. Orang tua perlu menggunakan cara-cara yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan kedewasaan anak. Mereka perlu dilatih supaya bersikap dan bertindak secara langsung bertanggung jawab. Apabila anak tidak menemukan suasana kekerasan tersebut di dalam keluarga mereka akan lari ketempat lain, kepergaulan di luar rumah,yang mungkin akan membahayakan perkembangan jasmani dan rohaninya (Pedoman Gereja Katolik, 1995: 23).
Dokumen ini sangat jelas mengutarakan bagaimana perlunya perhatian orang tua akan pentingnya pendidikan iman anak serta peran dan tanggung jawab mereka sebagai orang tua dalam keluarga terutama menciptakan suasana yang harmonis bersama anak-anaknya, bukan pertama-tama uang dan materi yang anak inginkan tetapi perhatian dan kasih sayang dari orang tualah yang mereka inginkan.
Memang kebutuhan yang lain sangat menunjang, tetapi yang paling penting dan mendasar dalam hidup anak yang masih kecil dalam keluarga adalah
(60)
perhatian dan kasih sayang, karena sikap inilah yang akan mempengaruhi seluruh hidup anak selanjutnya dalam bertindak dan membuat sesuatu yang lebih berguna bagi hidupnya.
Sebagai orang tua yang bijaksana perlu memperhatikan sebagaimana cara terbaik yang dapat menciptakan suasana keluarga yang kondusif, terutama membantu pertumbuhan dan perkembangan iman anak dalam keluarga. Anak akan melihat dan belajar banyak dari kehidupan keluarga di mana mereka tinggal. Seorang tokoh yang cukup terkenal namanya Dorothy Law Nolti mengatakan:
Jika seorang anak hidup dalam kecaman, ia belajar untuk menyalahkan. Jika seorang anak hidup dalam permusuhan, ia belajar untuk berkelahi. Jika seorang anak hidup dalam ketakutan, ia belajar untuk gelisah.
Jika seorang anak hidup dalam belas kasihan, ia belajar mudah memaafkan dirinya sendiri.
Jika seorang anak hidup dalam ejekan, ia belajar untuk malu.
Jika seorang anak hidup dalam kecemburuan, ia belajar bagai mana iri hati.
Jika seorang anak hidup dalam rasa malu, ia belajar untuk merasa bersalah. Jika seorang anak hidup dalam jiwa besar dan bersemangatt, ia belajar untuk percaya diri.
Jika seorang anak diterima apa adanya, ia beajar untuk mencintai.
Jika seorang anak hidup dalam suasana rukun, ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri.
Jik seorang anak hidupnya dihargai, ia belajar bahwa hal itu sangat baik berhasil mencapai cita-cita.
Jika seorang anak hidup dalam suasana adil, ia belajar akan kemurahan hati.
Jika seorang anak hidup dalam kejujuran dan lurus hati, ia belajar akan kebenaran dan keadilan.
Jika seorang anak hidup dalam keamanan, ia belajar mendapatkan kekuatan dalam diri orang lain d sekitarnya.
Jika seorang anak hidup dalam persahabatan, ia belajar bahwa dunia ini merupakan suatu tempat untuk hidup.
Jika anak hidup dalam ketentraman, ia akan belajar dalam ketenangan pikiran.
(1)
sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama. Dialog yang terjadi dalam pertemuan akan membantu calon pasangan suami-istri dalam hal pelaksanaan pendidikan iman anak sehingga mereka lebih termotivasi untuk selalu memberikan perhatian yang lebih kepada anaknya. Iman yang diteguhkan melalui pertemuan pembekalan ini hendaknya diwujudkan secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari.
B. Saran
Bertitik tolak dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan dalam setiap bab, akhirnya penulis mencoba mengusulkan beberapa saran yang dapat membantu mempersiapkan pasangan suami-istri dalam membangun kelurga sebagai komunitas iman. Saran ini dapat menjadi pertimbangan dan perhatian semua pihak.
1. Kepada para pendamping dan Paroki
a. Para calon pasangan suami-istri perlu dibekali secara sungguh-sungguh melalui kursus perkawinan, dengan memberikan pembekalan pendidikan iman anak sehingga dalam berumah tangga nantinya dapat mengetahui dan memahami serta melaksanakan dengan baik bagaimana cara-cara dalam membina suatu keluarga dan mendidik iman anak-anaknya.
b. Pendidikan iman anak penting untuk diupayakan sejak dini. Maka paroki perlu memberi perhatian lebih terhadap pendidikan iman anak bukan hanya melalui kursus persiapan perkawinan, pembekelan pada remaja tentang seksualitas dan panggilan hidup bisa diupayakan. Serta dilakukannya pendamping lanjutan
(2)
guna membantu suami-istri dalam menjalankan tugas mereka sebagai orang tua dalam pendidikan iman anak.
c. Pendamping harus memberi perhatian terhadap pendampingan iman anak untuk pasangan suami-istri sehingga membantu pasangan suami-istri dalam tugasnya sebagai orang tua.
2. Buat calon pasangan suami-istri
a. Calon suami-istri yang akan menikah wajib mengikuti kursus persiapan perkawinan guna membekali diri dalam membangun keluarga yang bahagia dan sesuai dengan ajaran Gereja.
b. Ketika telah menikah pasangan suami-istri meluangkan waktu untuk berkumpul dengan anak agar sebagai orang tua dapat mengetahui perkembangan iman anaknya.
c. Sebagai orang tua perlu untuk belajar dari orang tua lain untuk saling berbagi pengalaman dan saling meneguhkan satu sama lain dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka hal ini membantu orang tua untuk lebih membekali diri dalam hal pendidikan iman anak untuk membangun keluarga Kristiani
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Adi Hardana, MSF. Dr. Timotius I Ketut. (2010).Kursus Persiapan Perkawinan.
Jakarta: Obor
Bernadet, Sr. Ch. (1981).Membangun Keluarga Kristiani.Yogyakarta: Kanisius. Budiyono Hadi, A.P. (2003).Keluargaku.Yogyakarta Kanisius.
Bagus Irawan, MSF. Al (2007). Menyikapi Masalah-masalah Keluarga.
Yogyakarta: Pustaka Nusatama.
Brayat Mulyo (Tim). (2007). Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius.
Cooke, Bernard, SJ. (1972). Iman dan Keluarga-keluarga Kristen. Seri Puskat No. 99. Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta.
Darmawijaya, Pr. (1994). Mutiara Iman Keluarga Kristiani. Yogyakarta: Kanisius.
Fowler, James W. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan.Yogykarta: Kanisius.
Groome, Thomas H. (1988). Lima Langkah Pedagogis dalam Pendidikan Iman Kristen (P. Hutabarat, Penyadur). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat.
Gilarso BT. SJ (Ed). (1996). Membangun Keluarga Kristiani. Yogyakarta : Kanisius
Huber, TH, SJ. (1980).Katekese Umat.Yogyakarta: Kanisius.
Hadiwiratno. J. MSF. (1989). Menuju Kelurga BertanggungJawab. Semarang: Obor.
Heryatno Wono Wulung, F.X. SJ (1994). Menuju suatu Katekese di antara Kelompok Bawah.Umat Baru.
Konseng, Anton & Tukan, Johan Suban. (1991). Seks, Memillih Teman Hidup, Keluarga.Jakarta: Luceat.
Konferensi Wali Gereja Indonesia. (1996). Iman Katolik: Buku Informasi dan Refrensi.Yogyakarta: Kanisius.
Konsili Vatikan II. (2002). Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Obor.
KWI (2006). Kitab Hukum Kanonik, Edisi Resmi Gereja. Bogor : Grafika Mardi Yuana.
LAI. (1995).Alkitab.Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Purwa Hadihardoyo. Al. Dr. MSF. (1994). Ajaran Gereja Katolik Tentang Perkawinan dan Keluarga.Yogyakarta : Kanisius.
Rubiyatmoko. R, (2001). Hukum Perkawinan Katolik. Mata Kuliah Pengantar Hukum Gereja Perkawinan Untuk Mahasiswa IPPAK-JIP-FKIP-USD Yogyakarta.
Sewaka, A, SJ (1991).Ajaran dan Pedoman Gereja Tentang Pendidikan Katolik.
Jakarta: Grasindo.
Suwinto, Pr. (2006).Panduan Kesejahteraan dan Kebahagian Keluarga. Malang: Dioma.
(4)
Sumarno Ds. M. (2009). Program Pengalaman Lapangan Pendidikan Agama Katolik Paroki. Diktat Mata Kuliah Pengatar Agama Katolik Paroki untuk Mahasiswa semester VI, Fakultas Ilmu Pendidikan Agama, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Tukan, Johan Suban. (1988).Memilih Teman Hidup. Jakarta: Obor.
Yohanes Paulus II. (1981). Familiaris Consortio (keluarga). Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI.
Yohanes Paulus II, (1992).Catechesi Trandendae. Ter. R. Hardiwaryana. Jakarta: Dokpen KWI.
Wignyasumarta, MSF. Ig. (2010) Panduan Rekoleksi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius.
--- (2006).Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici).Bogor. Grafika Mardi Yuana.
(5)
viii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Usulan Mengolah Materi Pendidikan Iman Anak Dalam Kursus Persiapan Perkawinan Dengan Katekese Model Pengalaman Hidup”. Penulis memilih judul ini berdasarkan keprihatinan penulis tentang pendidikan iman anak. Banyak orang tua lebih mempercayakan dan menyerahkan sepenuhnya pendidikan iman anak kepada guru di sekolah. Orang tua kurang memahami dan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman yang utama dan pertama. Dalam kursus persiapan perkawinan materi pendidikan iman anak belum mendapatkan porsi yang khusus. Suami-istri tidak hanya perlu mendapatkan pembekalan mengenai bagaimana membangun keluarga kristiani yang baik tetapi juga tentang pendidikan iman anak, sehingga mereka semakin siap untuk menanggapi panggilannya sebagai orang tua kristiani. Oleh karena itu persoalan skripsi ini bagaimana materi PIA bisa diolah secara khusus dalam KPP, sehingga menjadi bekal yang membantu calon suami-istri dalam mempersiapkan dan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik utama dan pertama.
Keluarga sebagai komunitas iman tidak terbentuk dengan sendirinya. Keluarga perlu dipersiapkan melalui KPP yang terlaksana dengan baik. Materi-materi dalam kursus persiapan perkawinan hendaknya membantu calon suami-istri dalam memahami dasar-dasar keluarga kristiani, serta hal-hal yang bisa dilakukan untuk membangun keluarga kristiani. Materi PIA perlu diberikan secara khusus dengan tekanan tentang pada pentingnya pendidikan iman anak dalam keluarga, panggilan orang tua dan upaya-upaya mendidik iman anak dalam keluarga.
Katekese model pengalaman hidup dapat dipilih sebagai alternatif untuk mengolah materi PIA dalam KPP. Keunggulan katekese model pengalaman hidup ini terletak pada titik tolak katekese, yaitu dari pengalaman hidup peserta, katekese yang kontekstual, dan katekese yang menggarisbawahi peran keberadaan pendamping KPP sebagai falisitator dan perserta sebagai subyek yang aktif. Untuk memperjelas proses katekese model pengalaman hidup dalam KKP dalam mengolah materti PIA, maka penulis pada bagian akhir skripsi menyampaikan contoh proses katekese. Melalui contoh proses katekese tergambar dengan jelas bahwa materi PIA dalam KPP tidak diolah secara informatif atau transfer pengetahuan tetapi melalui sharing yang mendalam antar peserta dengan pendamping dalam terang Kitab Suci.
(6)
ABSTRACT
This writing entitled “A Proposal To Include The Children Faith Formation in Courses Of Preparing Matrimony With Catechesis Of Life Experience Model”. Writer choose this title due to the concern of children’s faith education. Many parents tend to entrust all their children faith formations to the school just take a bit of role. The parent do not understand their duties as the first and main faith educator to their children. The course of marriage preparation the children’s faith education has not enough portion. The couple need courage not only on education do that are ready to become christian parents how the children faith formation teaching can be include in marriage preparation courses so that it can be sources that can help future parent to prepare and do their job as a main and first educator.
Family as faith community is formed by itself. Family need ought to be prepared through marriage preparation Courses in the marriage preparation help future parent to understand the foundation of christian family. Children faith formation lesson need to be given especially with stresses on the importance of faith education, and how parent can make efforts to educate children faith.
Catechesis of experience of life this model can be as an alternate to give children faith formation lessons in marriage preparation Courses. The excellence of this model takes place on the start line of catechesis the life experience of participants, contextual catechesis and the importance of the facilitator and participant a active. The writer offers an example of catechesis process at the cad of the writing. The children faith formation are presented an deep sharing in the light of the scripture.