TRANSFORMASI NILAI-NILAI RELIGI SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PANJI : Studi Etnografi Di Desa Riding Panjang, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka.

(1)

TRANSFORMASI NILAI-NILAI RELIGI SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PANJI

(Studi Etnografi Di Desa Riding Panjang, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Departemen Pendidikan Kewarganegaraan

Oleh:

SUZANA PARANITA NIM. 1302479

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015


(2)

TRANSFORMASI NILAI-NILAI RELIGI SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PANJI

(Studi Etnografi Di Desa Riding Panjang, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka)

Oleh Suzana Paranita

S.Pd. UNSRI Palembang, 2012

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana

©Suzana Paranita 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Rumusan Masalah ... 10

1.4 Tujuan ... 11

1.4.1 Tujuan Umum ... 11

1.4.2 Tujuan Khusus ... 11

1.5 Manfaat ... 11

1.5.1 Segi Teori ... 11

1.5.2 Segi Praktik ... 12

1.6 Struktur Organisasi Tesis ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transformasi Budaya ... 14


(6)

2.2.1 Pengertian Budaya ... 16

2.2.2 Manusia dan Kebudayaan ... 20

2.2.3 Masyarakat Panji ... 23

2.2.4 Kebudayaan Masyarakat Panji ... 24

2.3 Sistem Religi Masyarakat Panji ... 25

2.3.1 Sistem Religi ... 25

2.3.2 Nilai Religi ... 28

2.3.3 Upacara-Upacara Kegamaan Masyarakat Panji ... 31

2.4 Kearifan Lokal ... 33

2.4.1 Pengertian Kearifan Lokal ... 33

2.4.2 Kearifan Lokal di Indonesia ... 37

2.4.3 Budaya Masyarakat Panji Wujud Kearifan Lokal... 39

2.5 Penelitain Terdahulu ... 41

2.6 Kerangka Penelitian ... 54

BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Subjek Penelitian ... 55

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 55

3.1.2 Subjek Penelitian ... 56

3.2 Desain Penelitian ... 57

3.3 Metode Penelitian... 58

3.4 Penjelasan Istilah ... 61

3.5 Instrumen Penelitian... 64

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 65

3.6.1 Observasi ... 65

3.6.2 Wawancara ... 66

3.6.3 Dokumentasi ... 67

3.7 Teknik Analisis Data ... 68

3.7.1 Reduksi Data ... 68


(7)

3.7.3 Pengambilan Kesimpulan/Verifikasi Data ... 69

3.8 Uji Keabsahan Data... 70

3.8.1 Uji Kredibilitas ... 70

3.8.2 Uji Transferability ... 72

3.8.3 Uji Depenability ... 73

3.8.4 Uji Konfirmability ... 73

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 74

4.1.1 Keadaan Geografis Desa Riding Panjang Belinyu ... 74

4.1.2 Masyarakat Panji ... 76

4.1.3 Tingkat Pendidikan Masyarakat Panji di Desa Riding Panjang ... 78

4.1.3 Agama dan Kepercayaan Masyarakat Panji di Desa Riding Panjang . 79 4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan... 81

4.2.1 Masyarakat Panji Memaknai Sistem Religi Sebagai Salah Satu Dari Kearifan Lokal Mereka... 84

4.2.2 Transformasi Nilai-Nilai Ketuhanan Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Panji Disosialisasikan di Dalam Pendidikan ... 109

4.2.3 Tarik Ulur Persepsi Budaya Masyarakat Panji Dalam Mentrasformasikan Nilai-Nilai Ketuhanan... 129

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan ... 148

5.1.1 Simpulan Umum ... 148

5.1.2 Simpulan Khusus ... 149

5.2 Implikasi ... 150


(8)

DAFTAR PUSTAKA ... 154 DAFTAR LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel. 4.1 Masyarakat Panji Memaknai Sistem Religi Sebagai

Salah Satu Dari Kearifan Lokal Mereka ... 98 Tabel. 4.2 Triangulasi Masyarakat Panji Memaknai Sistem Religi Sebagai

Salah Satu Dari Kearifan Lokal Mereka ... 99 Tabel. 4.3 Transformasi Nilai-Nilai Ketuhanan Sebagai Kearifan

Lokal Masyarakat Panji Disosialisasikan Di Dalam

Pendidikan ... 119 Tabel. 4.4 Triangulaasi Transformasi Nilai-Nilai Ketuhanan Sebagai Kearifan

Lokal Masyarakat Panji Disosialisasikan Di Dalam

Pendidikan ... 121 Tabel. 4.5 Tarik ulur persepsi budaya masyarakat Panji

dalam mentrasformasikan nilai-nilai Ketuhanan ... 136 Tabel. 4.6 Triangulasi tarik ulur persepsi budaya masyarakat Panji


(10)

DAFTAR BAGAN


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Matrik Instrumen Penelitian Lampiran 2 Format Observasi Lapangan Lampiran 3 Pedoman Wawancara

Lampiran 4 Rangkuman Hasil Wawancara Lampiran 5 Filed Note

Lampiran 6 Dokumentasi

Lampiran 7 Paradigma Penelitian Lampiran 8 Surat Keterangan Penelitian


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang beranekaragam suku bangsa, bahasa, etnis, agama serta adat istiadat yang masing-masing memiliki keunikan. Keanekaragaman kebudayaan Indonesia itulah yang menjadi daya tarik bangsa lain dari belahan dunia untuk mengetahuinya bahkan tidak sedikit mereka juga mempelajarinya.

Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada didaerah tersebut. Oleh karenanya tidak dipungkiri setiap suku memiliki kebudayaan yang berbeda. Sebagaimana yang dikemukakan Boas (1938, hlm.159) bahwa:

Culture may be defined as the totality of the mental and physical reactions and activities that characterize the behavior of the individuals composing a social group collectively and individually in relation to their natural environment, to other groups, to members of the group itself and of each individual to himself.

Boas mendefinisikan bahwa budaya merupakan keseluruhan dari reaksi mental, fisik dan aktifitas karakter perilaku dari individu yang mengubah suatu kelompok sosial secara bersama dan secara individu dalam hubungannya terhadap lingkungan alami, kelompok yang lain, kelompoknya, dan terhadap dirinya sendiri. Adapun, Geertz (1973, hlm.89) memberikan pengertian bahwa:

Culture is an historically transmitted pattern of meanings embodied in symbols, a system of inherited concepts expressed in symbolic forms by means of which men communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and their attitudes toward life.

Dalam hal ini, kebudayaan menurut Geertz sesuatu yang semiotik, yaitu hal-hal berhubungan dengan simbol dan dikenal serta diberlakukan oleh masyarakat bersangkutan. Sementara, menurut Peursen (1976, hlm.10) kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang.


(13)

Dari beberapa pendapat yang telah dijabarkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan simbol yang mempunyai makna dan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi ide dan gagasan yanng dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.

Adapun fungsi kebudayaan sebagaimana diungkapkan Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1987, hlm. 171) bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Sementara itu, Alfan (2013, hlm.85) mengemukakan kebudayaan berfungsi mengatur agar manusia dapat memahami cara bertidak, berbuat, menentukan sikap saat berhubungan dengan orang. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan berfungsi sebagai kontrol bagi manusia dan pemuas kebutuhan naluri manusia. Maka dari itu, keanekaragama dan keunikan kebudayaan Indonesia harus tetap dijaga dan dilestarikan. Karena selain berfungsi sebagai pemuas kebutuhan naluri manusia, kebudayaan Indonesia juga mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lain, dimana Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi sebagai bagian dari kebudayaan nasional.

Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional yang harus dihormati dan dijaga serta perlu dilestarikan. Adapun tentang kebudayaan nasional dimuat pada Pasal 32 UUD 1945 ayat (1): “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangan nilai-nilai budayanya”. Berdasarkan pasal 32 ayat (1) tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, kebudayaan daerah merupakan bagian dari kebudayaan nasional.

Adapun menurut Nuraeni dan Alfan (2013, hlm.26) “kebudayaan sebagai identitas nasional menunjukkan betapa kebudayaan aspek yang sangat penting bagi suatu bangsa, karena jelas bahwa kebudayaan juga merupakan jati diri dari

bangsa tersebut”. Sehubungan dengan kebudayaan nasional sebagai identitas,

dimana kebudayaan yang berasal dari berbagai suku dan etis di seluruh wilayah nusantara, maka semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai semboyan pemersatu bangsa. Kebhinekaan menjadi bahan perbandingan untuk menemukan


(14)

persamaan pandangan hidup yang berkaitan dengan nilai kebajikan dan kebijaksanaan (virtue and wisdom) (Alfan, 2013, hlm.157).

Namun pada kenyataannya saat ini, kebudayaan lokal semakin termarginalisasi. Adapun faktor yang menyebabkan termarginalisasinya budaya lokal yaitu rendahnya kesadaran masyarakat dan anak bangsa akan pentingnya menjaga dan melestarikan budaya lokal. Sebagaimana dikemukakan Nuraeni&Alfan (2012, hlm.110) ”...yang menjadi masalah saat ini kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya peranan budaya lokal sebagai identitas bangsa yang harus terus dijaga keaslian ataupun kepemilikannya”. Hal ini disebabkan, adanya anggapan bahwa budaya lokal lebih bersifat statis dibandingkan budaya global yang lebih bersifat dinamis atau mengikuti perkembangan zaman. Oleh karenanya, tidak jarang mengakibatkan budaya lokal terlupakan, sehingga cenderung masyarakat pengguna kebudayaan itu sendiri tidak lagi mengenal budaya lokalnya. Dimana masyarakat mengalami disorientasi terhadap budaya lokal yang dianggap kuno dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Faktor lainnya yang menyebabkan termarginalisasinya budaya lokal, yaitu globalisasi. Globalisasi menyebabkan masyarakat tidak begitu peduli dengan kebudayaan lokal. Hal ini menunjukkan bahwa masuknya budaya asing ke Indonesia melalui media massa (elektronik, cetak) serta melalui dunia maya (internet) sangat mempengaruhi perkembangan budaya lokal masyarakat Indonesia. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi. Sebagaimana dikemukakan Kalidjernih (2011, hlm.55) proses globalisasi telah memperlemah atau melonggarkan bentuk-bentuk identitas kultural suatu bangsa. Adapun, Jeniarto (2013, hlm.23) mengatakan:

Efek dari perjumpaan antar manusia yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi adalah kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan cara pikir suatu masyarakat, termasuk kemungkinan pengaruhnya terhadap local wisdom.

Selain itu, Alfan (2013, hlm.85) mengemukakan terdapat tiga sebab perubahan kebudayaan, yaitu:

Pertama, sebab yang berasal dari masyarakat dan kebudayaan sendiri. Kedua, sebab perubahan lingkungan dan alam dan fisik tempat mereka


(15)

hidup. Ketiga, adanya difusi kebudayaan, penemuan-penemuan baru khususnya teknologi dan komunikasi.

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa globalisasi merupakan salah satu faktor penyebab termarginalisasinya budaya lokal yang mengakibatkan perubahan cara berpikir masyarakat yang pada akhirnya berdampak pada budaya lokal. Hal ini memperjelas, globalisasi memberikan pengaruh bagi kebudayaan bangsa Indonesia, sehingga nilai budaya lokal yang mengandung pedoman etika, pandangan hidup, tradisi, falsafah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai identitas akan terkikis.

Proses globalisasi yang mengarah pada pembunuhan kebudayaan harus dilawan, karena itu akan menjadi faktor pelenyapan atas sumber lokal yang diawali dengan krisis identitas lokal. Selain itu, globalisasi akan membuat dunia menjadi seragam, menghapus identitas dan jati diri suatu masyarakat, yang pada akhirnya kebudayaan lokal akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. Adapun yang dikemukakan Zuriah (2012, hlm.171) bahwa:

Kemajemukan atau heterogenitas bangsa Indonesia yang langka dimiliki oleh negara lain tersebut, menjadi modal sosial dengan konstruksi budayanya yang berbasis kearifan lokal. Heterogenitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab tentunya harus dijaga dan dilestarikan sebagai khasanah budaya nasional.

Untuk itulah pendekatan pada aspek budaya sangat perlu dilakukan untuk menciptakan kesadaran bersama untuk penguatan budaya lokal, sebab budaya lokal memiliki nilai-nilai kearifan lokal didalamnya. Sebagaimana dikemukakan Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986, hlm.40) unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Selain itu, “kearifan dapat dipahami sebagai suatu pemahaman kolektif, pengetahuan dan kebijaksanaan yang mempengaruhi suatu keputusan penyelesaian atau penanggulangan suatu masalah kehidupan” (Marfai, 2013, hlm.33).

Selanjutnya, Nuraeni dan alfan (2012, hlm.68) mengemukakan secara substansial kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat. Jadi kearifan lokal merupakan manifestasi


(16)

kebudayaan yang harus digali dan dianalisis mengingat faktor perkembangan budaya yang pesat. Sebab kearifan lokal bangsa Indonesia sesugguhnya adalah causa prima (sebab keberadaan) dari nilai-nilai luhur Pancasila. Oleh sebab itu, jika nilai-nilai kearifan lokal makin berkurang atau makin hilang, maka nilai-nilai Pancasila juga makin menghilang. Karena, Pancasila pada hakikatnya bukan hanya hasil perenungan atau pemikiran seseorang, namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara (Budimansyah, 2008, hlm.14). Adapun Dewantara (2013, hlm.10) mengemukakan

Nilai-nilai Pancasila merupakan norma kehidupan berupa nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis yang termanifestasi pada budaya dan kearifan lokal. Meskipun bersifat sangat baik, dalam praktek nyata kehidupan tergantung dari para pelaku yang bersangkutan. Apabila Pancasila yang merupakan ajaran ideologis idealistik yang diyakini kebenarannya dan dilaksanakan oleh segenap bangsa Indonesia maka akan terwujud kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan lebih baik.

Berdasarkan yang dikemukakan Dewantara, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Pancasila adalah norma kehidupan yang termanifestasi pada budaya dan kearifan lokal yang tidak lain dan tidak bukan dari pandangan hidup masyarakat Indonesia yang telah menjadi tradisi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, salah satu bentuk pelestarian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sosial dapat dilakukan dengan menjaga budaya lokal yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal dan diharapkan nilai-nilai luhur dari setiap keanekaragaman kearifan lokal tersebut dapat memberi arahan bagi perwujudan identitas nasional dan jati diri bangsa yang sesuai dengan Pancasila. Selain itu, dengan menjaga budaya lokal yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal dapat menyadarkan masyarakat bahwa nilai Pancasila harus tetap dilestarikan dan dihidupkan kembali melalui nilai-nilai budaya lokal yang tentunya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung setiap wilayah di provinsi ke-33 ini memiliki kebudayaan yang berbeda. Di bagian utara, yang masuk dalam wilayah administratif kabupaten Bangka kecamatan Belinyu, memiliki tiga masyarakat yakni masyarakat Panji, Lum dan Sekak. Masyarakat Panji umumnya mendiami di dua desa: Desa Riding Panjang dan Desa Gunung Muda, akan tetapi


(17)

sebagian masyarakat Panji juga mendiami di desa-desa lainnya seperti Desa Lumut dan Desa Gunung Pelawan. Keunikan masyarakat Panji dalam budayanya yaitu sistem religi masyarakat setempat. Namun, saat ini budaya lokal masyarakat Panji juga telah banyak ditinggalkan, hanya sebagian kecil dari komunitas itu masih melaksanakan budaya lokal sampai sekarang. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja, sebab sebagaimana yang dikemukakan Suyitno (2012, hlm.2) “kehidupan masyarakat yang memiliki karakter dan budaya yang kuat akan semakin memperkuat eksistensi suatu bangsa dan negara”. Maka dari itu, masyarakat Panji jangan sampai kehilangan budaya lokalnya, sebab budaya lokal masyarakat Panji merupakan ciri khas dan identitas mereka yang tentunya setiap budaya lokal Panji memiliki nilai-nilai yang diakui sebagai pedoman masyarakat setempat dalam kehidupannya. Sebagaimana yang dikemukakan Yudhasari (2011, hlm.15) bahwa:

Mengeksplorasi terhadap adanya praktik budaya membuat kita sadar akan adanya nilai atau norma yang menjadi tradisi dalam sebuah masyarakat. Ketika tradisi diagungkan, nilai tersebut akan menjadi normatif dalam bentuk budaya yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Nilai-nilai budaya yang berusaha dipertahankan oleh masyarakat akhirnya akan menjadi sebuah tradisi sekaligus merupakan identitas budaya bagi masyarakat tersebut. Adapun nilai yang terdapat dalam budaya lokal disebut sebagai suatu bentuk kearifan lokal.

Oleh sebab itu, peneliti tertarik melakukan penelitian pada masyarakat Panji, terutama budaya yang masih dilaksanakan oleh masyarakat panji terkait dengan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal mereka yaitu nilai religi masyarakat Panji. Penelitian terfokus pada nilai religi, sebab manusia bertingkah laku dan berkeyakinan yang berbeda-beda terutama terkait hubungan manusia dan Tuhannya, paradigma budaya dan agamanya serta sistem kebudayaannya. Sebagaimana menurut Kahmad (2006:13) bahwa

Pengertian agama itu, mengikuti inti maknanya yang khusus, dapat disamakan dengan kata religion dalam Bahasa Inggris; religie dalam Bahasa Belanda; dan keduanya berasal dari Bahasa Latin, religio, dari akar kata religare, yang berarti ”mengikat”.

Lebih lanjut, dikemukakan Madjid (1995:124), dalam arti teknis dan terminologis, ketiga istilah tersebut mempunyai arti yang sama, walaupun masing-masing


(18)

mempunyai etimologis dan sejarahnya sendiri. Sementara Geertz (1973 hlm.90) mendefinisikan bahwa:

Religion is a system of symbols which acts to establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by formulating conceptions of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic.

Geertz mendefinisikan bahwa agama sebuah sistem simbol yang berlaku dan memotivasi serta merumuskan konsep dan membungkus konsep dengan semacam pancaran faktualisasi sehingga motivasi itu tampak realitas. Adapun Haviland, dkk (2008, hlm.297) mengemukakan “Religion is an organized system of ideas about spiritual reality, or the supernatural, along with associated beliefs andceremonial practices”. Hal yang hampir sama dikemukakan Alfan, (2013, hlm.104) secara antropologis „agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos dan menggerakkan kekuatan supranatural dengan maksud mencapai atau menghindari suatu perubahan keadaan pada manusia dan alam‟.

Berdasarkan paparan di atas, pemaknaan religi lebih luas yang mencakup semua keyakinan masyarakat dan hubungan masyarakat dengan Tuhan, tidak saja menggambarkan agama samawi saja tetapi juga agama ardhi. Adapun pendapat R. Linton (1984) bahwa budaya materil akan lebih cepat berubah bila dibandingkan dengan budaya non-materil, termasuk agama. Hal ini menunjukkan bahwa dalam perkembangannya transformasi aspek religi sangat sulit dilihat bahkan hampir tidak nampak. Sehubungan dengan nilai religi masyarakat Panji, saat ini sebagian masyarakat Panji masih melaksanakan upacara ritual adat kuno yang merupakan warisan leluhur mereka yang merupakan bagian dari budaya lokal masyarakat Panji. Selain itu, keyakinan dan sifat keyakinan keagamaan masyarakat kian berubah seiring dengan semakin majunya pengetahuannya. Sebagaimana diungkapkan Dewi (2012, hlm.114)

Pengetahuan yang semakin maju dan berkembang menyebabkan semakin banyak fenomena-fenomena alam yang diungkap, yang sebelumnya di-Tuhan-kan, segala sesuatu yang dulunya dianggap supra empiris sekarang menjadi bagian dari realitas biasa, karena „manusia selalu memerlukan keyakinan maka manusia mulai mencari totem-totem, sampai akhirnya ditemukan agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam)


(19)

Adapun Ali Syar‟iyati (Dewi, 2012, hlm.114) memaparkan bahwa agama dengan semangat yang dikandungnya bisa menjadi faktor yang berperan untuk mengangkat manusia dari perjalanan hidup yang kian tidak menentu. Namun fungsi agama telah dirubah oleh orang-orang yang hanya menjadikan agama sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan akhirat saja dan agama dipisahkan dari kehidupan, sehingga agama kehilangan makna dan agama telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya.

Selanjutnya, Berger (dalam Dewi, 2012, hlm.116) menyebutkan bahwa modernisasi merupakan kebobrokan yang membawa muatan rasionalisasi dan sekularisasi. Berger juga melihat bahwa peran agama sudah jauh bergeser dari kedudukan yang semestinya dalam kehidupan masyarakat moderen. Oleh karena itu, Berger mendorong manusia untuk dapat keluar dari tirani (penjara) struktur sosial yang mengikatnya dengan jalan transformasi.

Sehubungan hal tersebut di atas, nilai-nilai religi masyarakat Panji perlu dikaji karena telah terjadinya transformasi religi, dimana dahulunya bersifat kepercayaan sekarang lebih kearah tauhid atau agama. Hal ini sejalan, dengan aspek religiusitas masyarakat Indonesia, dimana masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sangat religius, namun dalam realitasnya masyarakat selalu bertransformasi terutama dalam sisi bentuk, dari primitif, kepercayaan berkembang lebih pada kearah tauhid atau agama. Adapun transformasi dapat dilihat baik dari fisik atau substansi, dimana dahulu bersifat takhayul kini lebih cenderung kemonotaistik. Oleh sebab itu, apabila tidak mendapat perhatian dari seluruh elemen masyarakat Panji akan menyebabkan hilangnya budaya mereka yang memilki nilai religius. Selain itu, mengingat begitu pentingnya nilai religi yang terkandung dalam budaya lokal masyarakat Panji, tidak menutup kemungkinan juga transformasi nilai religi masyarakat Panji disosialisasikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa agar terbentuk “warga negara yang memiliki wawasan global tetapi tidak melupakan tradisi-tradisi lokal sebagai dasar utama dalam menjalankan hidup berbangsa dan bernegara” (Wahab, 1996, hlm.27), dalam (Yunus, 2014.hlm. 9)

Adapun yang dikemukakan Alwasilah, dkk (2009, hlm.40) “pendidikan tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) kepada


(20)

peserta didik, tetapi lebih dari itu yakni menstransfer nilai (transfer of value)”. Maka dari itu, Pendidikan mempunyai peran dalam mensosialisasikan nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat Panji. Sebab kearifan lokal tidak hanya sebagai identitas, tetapi juga memiliki peranan penting dalam menangkal pengaruh globalisasi, baik globalisasi ekonomi, politik maupun budaya yang dikhawatirkan dapat merusak nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Untuk itu, peneliti memilih pendekatan ini karena ingin mengetahui secara langsung dan mendalam mengenai transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal Masyarakat Panji, dimana masyarakat Panji berusaha mentransformasikan nilai keislaman masuk dalam budaya lokal mereka agar hidup di dalam masyarakat Panji. Adapun nilai religi yang hidup dalam budaya lokal Panji diharapkan dapat menjadi kajian etnopedagogi didalam pendidikan, seperti pendidikan kewarganegaraan yang merupakan program pembelajaran nilai dan moral Pancasila yang bermuara pada terbentuknya watak, budaya dan karakter bangsa Indonesia juga memegang peranan penting, baik di tingkat persekolahan maupun perguruan tinggi dalam membina nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme (Maftuh, 2008, hlm.143). Selain itu, menurut Winataputra (2008:31) Pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia, secara filosofik dan substansif, pedagogis andragogis, merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Transformasi Nilai-Nilai Religi Sebagai Kearifan Lokal

Masyarakat Panji (Studi Etnografi di Desa Riding Panjang, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka)

1.2 Identifikasi Masalah

1. Termarginalisasinya budaya lokal yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya peranan budaya lokal sebagai identitas bangsa yang harus terus dijaga kemurniannya maupun kepemilikannya sehingga mengakibatkan nilai-niai kearifan lokal ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.


(21)

2. Globalisasi menyebabkan masyarakat tidak begitu peduli dengan kebudayaan lokal, sehingga pergeseran nilai-nilai budaya yang mengakibatkan nilai-nilai budaya lokal terlupakan dan sekaligus kearifan lokal yang tumbuh dari budaya masyarakatnya, terutama di perkotaan mengalami degradasi, sehingga cenderung masyarakat pengguna kebudayaan itu sendiri tidak lagi mengenal kearifan lokal.

3. Pudarnya pengamalan nilai-nilai kearifan lokal makin berkurang atau makin hilang, maka nilai-nilai Pancasila juga makin menghilang. Masyarakat seakan lupa betapa pentingnya nilai-nilai Pancasila yang harus tetap dilestarikan. Pancasila bukan hanya dihapalkan tetapi harus diamalkan karena Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius masyarakat Indonesia

4. Aspek religiusitas masyarakat Indonesia selalu bertransformasi terutama dalam sisi bentuk yang dahulu primitif, kepercayaan berkembang lebih pada kearah tauhid atau agama. Karena mengingat begitu pentingnya nilai religi yang terkandung dalam budaya lokal masyarakat, tidak menutup kemungkinan juga transformasi nilai religi masyarakat disosialisasikan dalam pendidikan.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

“Bagaimana transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat

Panji?”

Untuk memudahkan pembahasan hasil penelitian rumusan masalah pokok tersebut, peneliti membaginya menjadi beberapa sub masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana masyarakat Panji memaknai sistem religi sebagai salah satu dari

kearifan lokal mereka?

2. Bagaimana transformasi nilai-nilai Ketuhanan sebagai kearifan lokal masyarakat Panji disosialisasikan didalam pendidikan?

3. Bagaimana tarik ulur persepsi budaya masyarakat Panji dalam mentrasformasikan nilai-nilai Ketuhanan?


(22)

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umun

Untuk mengetahui bagaimana transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat panji.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui bagaimana masyarakat Panji memaknai sistem religi sebagai salah satu dari kearifan lokal mereka

2. Mengetahui bagaimana transformasi nilai-nilai Ketuhanan sebagai kearifan lokal masyarakat Panji disosialisasikan didalam pendidikan 3. Mengetahui bagaimana tarik ulur persepsi budaya masyarakat Panji

dalam mentrasformasikan nilai-nilai Ketuhanan

1.5 Manfaat 1.5.1 Segi Teori

Dari segi teori penelitian ini akan menggali dan mengkaji transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat Panji.

1.5.2 Segi Praktik

Selain memberikan manfaat dari segi teori, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari segi praktik bagi beberapa pihak berikut:

1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menjaga dan mempertahankan budaya lokal sebagai identitas nasional.

2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat digunakan dalam pemanfaatan, pelestarian serta pemertahanan kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai Pancasila sehingga dapat diterapkan dalam setiap aspek kehidupannya.

3. Bagi pendidikan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana sosialisasi budaya lokal dan sebagai tolak ukur dalam pengambilan keputusan pada penyusunan kurikulum agar peserta didik mengatahui


(23)

bahwa kearifan lokal merupakan identitas bangsa, sehingga tradisi adat pada suatu masyarakat tidak dipandang negatif oleh peserta didik.

4. Bagi Peneliti, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pandangan atau perspektif baru mengenai transformasi budaya lokal yang mengandung nilai-nilai pancasila sebagai pemersatu bangsa dan dasar negara karena nilai-nilai dasar Pancasila terkandung dalam tradisi suatu masyarakat atau suku bangsa.

5. Bagi Pembaca, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai studi lebih lanjut mengenai hubungan antara pemertahanan budaya masyarakat atau suku bangsa dengan Pancasila sebagai pemersatu bangsa.

1.6 Struktur Organisasi Tesis

Berikut sistematika penulisan yang disajikan penulis dengan berpedoman pada kerangka penulisan karya ilmiah.

Bab I, berisikan kajian pendahuluan yang dibagi dalam bentuk sub bab sebagai berikut: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Rumusan Masalah, (1.4) Tujuan Penelitian, (1.5) Manfaat Penelitian, dan (1.6) Sistematika Penulisan.

Bab II, pada bagian ini akan mengkaji secara mendalam mengenai kajian pustaka yang berisi gambaran (deskripsi), analisis dan rekonseptualisasi dari penulis yang bersumber dari pendapat para ahli. Bab kajian pustaka ini terdiri dari beberapa sub bab berikut: (2.1) Transformasi Budaya. (2.2) Kebudayaan Masyarakat Panji, yang terbagi dalam beberapa poin; (2.2.1) Pengertian Budaya, (2.2.2) Manusia dan Kebudayaan, (2.2.3) Masyarakat Panji, (2.2.4) Kebudayaan Masyarakat Panji. (2.3) Sistem Religi Masyarakat Panji, yang terbagi daam beberapa poin; (2.3.1) Sistem Religi, (2.3.2) Nilai Religi, (2.3.3) Upacara-upacara Keagamaan Masyarakat Panji. (2.4) Kearifan Lokal, yang terbagi dalam beberapa poin; (2.4.1) Pengertian Kearifan Lokal, (2.4.2) Kearifan Lokal di Indonesia, (2.4.3) Budaya Masyarakat Panji Wujud Kearifan Lokal. (2.5) Penelitian Terdahulu. (2.6) Kerangka Penelitian

Bab III, merupakan bagian tentang metodologi penelitian. Dalam bab ini, metodologi penelitian akan diuraikan dalam beberapa sub bab berikut: (3.1)


(24)

Lokasi dan Subjek Penelitian, (3.2) Desain Penelitian, (3.3) Metode Penelitian, (3.4) Penjelasan Istilah, (3.5) Instrumen Penelitian, (3.6) Teknik Pengumpulan Data, (3.7) Analisis Data, dan (3.8) Uji Keabsahan Data.

Bab IV yang merupakan inti dari penelitian ini, dalam bab nya ini akan membahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri (4.1) Gambaran umum lokasi penelitian, (4.2) Deskripsi hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian.

Bab V, merupakan bab penutup yang terdiri dari sub bab yaitu, (5.1) Simpulan, yang akan menyajikan uraian singkat mengenai hasil dan pembahasan penelitian dalam bentuk rekonseptualisasi penulis, dan (5.2) Implikasi (5.3) Rekomendasi.


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Subjek 3.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi yang dituju oleh peneliti untuk mendapatkan informasi selengkapnya mengenai transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat Panji yaitu Desa Riding Panjang Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Terdapat beberapa alasan bagi peneliti untuk menjadikan Desa Riding Panjang sebagai lokasi karena sebagian masyarakat Panji masih melaksanakan upacara ritual adat kuno, namun saat ini sifat keyakinan masyarakat mulai berubah lebih kearah tauhid, selain itu peneliti memilki alasan lain, dimana;

Pertama, ditengah arus globalisasi dan modernisasi masyarakat Panji khususnya yang mendiami desa Riding Panjang disebagian kampung masih melaksanakan budayanya yang berkitan dengan sistem religi dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Sebab sebagian masyarakat Panji lainnya telah meninggalkan budaya lokal yang telah diwarisi secara turun temurun, padahal budaya lokal tersebut merupakan kearifan lokal yang merupakan identitas dari masyarakat tersebut.

Kedua, budaya yang masih dilesatrikan dan dijaga nilai-nilai kearifan lokalnya oleh sebagian masyarakat Panji. Selain itu, adanya perpedaan persepsi, dalam pemaknaan budaya lokal mereka yang berkaitan dengan sistem religi dimana dalam prosesnya masih menggunakan simbol dan lantra yang dinilai bertentangan dengan ajaran agama, sebab mayoritas masyarakat Panji telah memeluk agama Islam. Sehingga peneliti merasa hal ini menarik untuk dikaji, bagaimana mereka tetap mempertahankan budaya lokal mereka ditengah perbedaan persepsi dan perkembangan zaman.

Ketiga, sistem religi yang diangkat dalam penelitian ini karena sistem religi merupakan salah satu unsur yang sering bermasalah dan sering menimbulkan pertentangan dibandingkan keenam unsur kebudayaan yang lainnya (bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan


(26)

teknologi, sistem mata pencaharian dan kesenian). Sehingga peneliti mengangkat sistem religi yang berkaitan dengan nilai Ketuhanan, sebab saat kearifan lokal dicanangkan untuk dipertahankan sebagai identitas nasional dan pemerkaya khasanah budaya Indonesia tetapi kenapa ada kearifan lokal yang mengandung unsur religi dan tetap mempertahankannya mendapat kritikan padahal kearifan lokal yang ada dalam suatu budaya lokal merupakan identitas dan jati diri bangsa yang merupakan causa prima (sebab keberadaan) dari nilai-nilai luhur Pancasila termasuk sila pertama yang berkaitan dengan nilai Ketuhanan.

Keempat, Masyarakat Panji saat ini sedang menagalami kebingungan, untuk tetap dapat melestarikan budaya lokal sebagai kearifan lokal mereka. Selain itu, peneliti menjadikan desa Riding Panjang sebagai lokasi penelitian karena belum adanya penelitian terdahulu yang melakukan penelitian pada masyarakat Panji.

Kelima, alasan peneliti memilih SMPN 5 Belinyu sebagai lokasi penelitian karena di desa Riding Panjang hanya ada satu Sekolah Menengah Pertama sedangkan dua sekoah lainnnya adalah Sekolah Dasar. Sementara untuk melihat transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat Panji peneliti lebih memilih SMPN 5 sebab sekolah ini masih tergolong baru karena baru empat tahun berdiri dan berhasil mengeluarkan lulusan pertaanya pada tahun 2014. Sehingga, dapat melihat bagaimana pengaruh SMPN 5 terhadap masyarakat Panji di Desa Riding Panjang. Selain itu, siswa/siswi yang bersekolah di SMPN 5 Belinyu merupakan anak-anak dari masyarakat Panji yang tinggal di Desa Riding Panjang.

3.1.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah pihak-pihak yang dapat memberikan informasi secara detail dan mendalam mengenai hal-hal yang akan dicari informasinya oleh peneliti. Adapun peneliti memilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa data yang diberikan dapat menjawab pertanyaan penelitian yang ada. Sebagaimana yang dikemukakan Kuntjara (2006, hlm.55) “Dalam Penelitian kebudayan yang penting bukan jumlahnya tetapi mutu sampel yang dipakai, apakah sampel tersebut dapat memberi informasi yang banyak dan mendalam


(27)

tentang masalah yang dihadapi”. Adapun menurut Sprandley (2007, hlm.68) ada lima persyaratan minimal untuk memilih informan yang baik, yakni:

(a)Enkulturasi penuh, artinya mengetahui budaya miliknya dengan baik, (b)Keterlibatan langsung, artinya ketika informan terlibat dalam suasana budaya, informan mengguanakan pengetahannya untuk membimbing tindakannya, informan meninjau hal-hal yang diketahuinya dan informan menerapkannya setiap hari (c)Suasana budaya yang tidak dikenal, biasanya akan semakin menerima tindak budaya sebagaimana adanya, dia tidak akan basa basi, (d)Memiliki waktu yang cukup, (e)Non-analitis, dimana informan menggunakan bahasa mereka untuk menggambarkan berbagai kejadian dan tindakan dengan cara yang hampir tanpa analisis.

Untuk subjek penelitian ini yaitu masyarakat Panji, Desa Riding Panjang, Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Peneliti mendatangi subjek secara langsung dan mewawancara subjek penelitian. Peneliti melaukan wawancara dengan mereka melalui pendektan-pendekatan secara khusus agar mereka dapat memberikan data yang akurat. Adapun subjek penelitian difokuskan pada masyarakat Desa Riding Panjang yang masih menjaga warisan budayanya yakni berkaitan dengan sistem religi atau kepercayaan masyarakat setempat dibandingkan dengan masyarakat Panji di desa-desa lain. Diantaranya, tetua adat atau orang yang dituakan, masyarakat Panji yang masih melakukan atau melaksanakan budayanya, pemuka agama desa Riding Panjang, Budayawan Bangka, wakil dari Pemerintah Kabupaten Bangka, dalam hal ini Dinas pariwisata dan kebudayaan Bangka, masyarakat Bangka serta guru di SMP Negeri 5 Belinyu serta beberapa masyarakat Panji lainnya yang ikut terlibat dalam perayaan budaya lokalnya sebagai data pembanding. Adapun, peneliti dengan sengaja memilih informan tersebut sebagai subjek penelitian karena peneliti menganggap jika mereka cukup banyak memiliki pengetahuan dan informasi yang dapat peneliti gunakan untuk menggali informasi yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang ada.

3.2 Desain Penelitian

Desain dalam penelitian ini dibagi kedalam tiga bagian yaitu dimulai dari tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan peneltian dan tahapan penyusunan laporan penelitian. Tahap persiapan dimulai dari penentuan masalah, penentuan


(28)

objek penelitian dan penyusunan proposal. Tahapan selanjutnya yaitu pelaksanaan penelitian terdiri dari proses pengumpulan data sampai dengan pengolahan data. Sedangkan tahapan terakhir ialah penyusunan laporan penelitian dari hasil pengolahan data.

Arikunto (2010, hm.13) mengemukakan alur penelitian apapun jenis penelitiannya selalu dimulai dari adanya permasalahan atau ganjalan yang merupakan suatu kesenjangan yang dirasakan oleh peneliti. Kesenjangan tersebut terjadi karena terdapat perbedaan antara kondisi nyata dengan kondisi harapan. Dengan adanya kesenjangan maka peneliti berupaya untuk memecahkan permasalahan yang ada melalui penelitian dengan mencari teori dan penyebab yang berhubungan dengan keadaan tersebut.

Hasil yang didapatkan dari proses penelitian tersebut dapat digunakan untuk mengatasi persoalan yang ada sehingga kesenjangan yang ada dapat teratasi dengan baik dan terdapat kesesuaian antara kondisi nyata dengan kondisi yang diharapkan.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi seperti diungkapkan oleh Sukmadinata (2007, hlm.60) bahwa “penelitian kualitatif merupakan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok”. Selain itu, menurut Nasution (2003, hlm.5) “penelitian kualitatif pada hakekatnya mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”. Adapun Moleong (2003, hlm.3) mengatakan jika “penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data kualitatif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dan perilaku orang-orang yang diamati”. Berikutnya, Craswell (2012, hlm.4) mengatakan pendekatan kualitatif merupakan “metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang diangap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan”. Oleh sebab itu, peneliti harus turun langsung dan mencari sendiri data-data yang diperlukan. Jadi dalam melakukan


(29)

sebagaimana adanya, tanpa dipengaruhi dengan sengaja. Bogdan dan Biklen (1982, hlm.27) mengemukakan bahwa:

Pengumpulan data kualitatif hendaknya dilakukan sendiri oleh peneliti dan mendatangi sumbernya secara langsung. Dengan begitu data yang didapat oleh peneliti merupakan fakta dari fenomena yang terjadi, sehingga dapat benar-benar menjawab pertanyaan penelitian yang ada.

Berikutnya, Creswell (1998, hlm.15) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut:

Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem, the researcher build a compex, holistic picture, analysis words, report detailed views of informants and conducts the study in a natural setting.

Dapat diambil kesimpulan bahwa penelitain kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan memahami realitas sosial yang bersifat naturalistik, selain itu dalam penelitian kualitatif peneliti bertindak sebagai instrumen dengan menganalisis kata-kata serta melihat secara mendalam hal-hal yang terjadi. Dapat dipahami bahwa penelitian kualitatif berusaha mengeksplore masalah sosial ataupun manusianya itu sendiri dengan menganalisis kata-kata serta melihat secara rinci hal-hal yang terjadi. Adapun dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena pendekatan kualitatif cocok digunakan untuk mengamati manusia dan lingkungannya. Dalam Penelitian ini, peneliti akan mengeksplore fenomena sosial terkait transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat Panji. Selain itu, peneliti mengamati masyarakat Panji dalam lingkungan hidupnya, peneliti berinteraksi dengan mereka, dan peneliti berusaha memahami bahasa dan tafsiran serta makna simbol sistem religi mereka. Peneliti bertindak sebagai instrumen dengan menganalisis kata-kata serta melihat secara mendalam hal-hal yang terjadi terkait dengan sistem religi masyarakat Panji.

Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode etnografi, sebagaimana yang diungkapakan Kuntjara (2006, hlm.7) “berbicara penelitian naturalistik kualitatif sering dikaitkan dengan penelitian etnografi”.


(30)

Adapun yang dikemukakan Le Compte, Preissle, & Tesch, 1993, hal. 5 (dalam Creswell, 2012, hlm.462) yakni:

Ethnographic designs are qualitative research procedures for describing, analyzing, and interpreting a culture-sharing group’s shared patterns of behavior, beliefs, and language that develop over time. Central to this definition is culture. A culture is “everything having to do with human behavior and belief”

Selain itu, menurut Spradley (2006, hlm. 8) ciri-ciri metode etnografi yaitu sifatnya yang holistik-integratif, thick description, dan analisis kualitatif dalam rangka mendapatkan native’s point of view. Teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi partisipan dan juga wawancara mendalam. Lebih lanjut Spradley (2006, hlm.15) mengemukakan bahwa metode etnografi disebut The Developmental Research Sequence atau alur penelitian maju bertahap. Metode etnografi didasarkan atas lima prinsip yaitu tunggal, identifikasi tugas, maju bertahap, penelitian orisinal dan problem solving.

Dapat disimpulkan bahwa etnografi berusaha menguraikan suatu kebudayaan bangsa/kelompok dalam hal penafsiran terhadap keyakinan, tingkah laku, bahasa, norma, dan sistem nilai yang dianut. Selain itu, etnografi merupakan penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan dengan mempelajari dan memahami pandangan hidup dan pola budaya yang secara rinci melalui cara berpikir, berbicara, dan bertingkah laku penduduk asli dalam kurun ruang dan waktu. Adapun etnografi ini lebih terkhusus pada transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat Panji di desa Riding Panjang. Peneliti melibatkan diri sendiri yang berperan dalam fokus penelitian agar dapat memahami situasi dan permasalahan akan keberadaan, peran dan makna budaya dalam sebuah masyarakat. Penelitian melihat nilai religi yang terdapat pada budaya lokal Panji, dimana peneliti mencari makna di balik budaya lokal yang berunsur religi pada masyarakat Panji sehingga, diharapkan bisa memberikan sumbangan kepada lembaga pendidikan untuk dijadikan kajian etnopedagogi, karena sebagaimana menurut Alwasilah (2009, hlm.50):

Etnopedagogi adalah praktek pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai aspek kehidupan. Etnopedagogi memandang pengetahuan atau kearifan lokal (indigenous knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan untuk kesejahteraan


(31)

masyarakat. Kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep, keyakinan, dan persepsi masyarakat terhadap lingkungan mereka.

3.4 Penjelasan Istilah

Penjelasan istilah merupakan penjelasan mengenai konsep-konsep pokok dalam sebuah penelitian. Adapun yang menjadi konsep pokok dalam penelitian ini yaitu transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat Panji berupa sistem religi atau kepercayaan masyarakat Panji yang merupakan kearifan lokal setempat. Berikut ini dijabarkan konsep pokok dalam penelitian ini sebagai berikut:

3.4.1 Kebudayaan Masyarakat Panji

Kebudayaan masyarakat Panji berpendirian terhadap beberapa aspek diantaranya keyakinan, adat istiadat, sistem hukum serta kebiasaan lainnya yang diperoleh sebagai anggota masyarakat Panji. Kepercayaan masyarakat Panji akan adanya Tuhan telah ada sejak dulu dan kepercayaan akan adanya satu Tuhan sebagai pencipta bumi dan alam jagat raya termaktub dalam lantra–lantra. Masyarakat Panji juga menyakini akan adanya hari-hari yang baik untuk memulai suatu aktifitas seperti acara pernikahan, bertani dan sebagainya. Sealin itu terdapat upacara-upacara adat diantaranya; seperti Nuju Jerami, taber kampung, bulan purnama ke-15 dan Taber Laut. Berdasarkan beberapa konsep tentang kebudayaan masyarakat Panji, maka peneliti mengidentifikasi budaya masyarakat Panji bewujud upacara ritual adat.

Dari beberapa penjelasan tersebut, peneliti mengatakan bahwa dari keseluruhan berkaitan dengan sistem religi dan mengandung nilai-nilai religi yang akan digali dan dijadikan landasan penelitian ini.

3.4.2 Kearifan Lokal

Menurut Wales (1961, hlm.18) local genius diberikan pengertian yakni: The sum of the cultural characteristic which the vast majority of a people have in common as a result of their experience in early life”.

Soebadio (dalam ayatrohaedi, 1986, hlm.18) memberikan pengertian local genius yakni:

Secara keseluruhan meliputi, dan mungkin malahan dapat dianggap sama dengan apa yang dewasa ini terkenal dengan cutural identity dan yag diartikan sebagai identitas atai kepribadian budaya suatu bangsa, yang mengakibatkan bahwa bangsa brsangkutan menjadi lebih mampu


(32)

menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan yang mendatanginya dari luar wilayah sendiri sesuai dengan watak dan kebuthan pribadinya.

Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986, hlm.40) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:

1. Mampu bertahan terhadap budaya luar

2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar

3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli

4. Mempunyai kemampuan mengendalikan

5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2011, hlm.7) mengatakan mengenai kearifan lokal bahwa:

Nilai yang hanya dapat disimpulkan dan ditafsirkan dari ucapan, perbuatan dan materi yang dibuat manusia yang diturunkan melalui suatu aktivitas ritual atau pendidikan. Karena itu, fungsi langsung nilai adalah untuk mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan fungsi tidak langsungnya adalah untuk mengekspresikan kebutuhan dasar yang berupa motivasional.

Berdasarkan beberapa konsep mengenai kearifan lokal, maka penulis mengidentifikasi beberapa indikator kearifan lokal sebagai berikut:

1. Pengetahuan 2. Kemampuan 3. Ucapan 4. Perbuatan

5. Pemanfaatan ruang dan waktu

6. Perpaduan antara nilai budaya dan kepercayaan 7. Pengalaman sudah teruji secara turun temurun

3.4.3 Sistem Religi

Pengunaan istilah religi dan agama pada prinsipnya sama yakni mengandung arti adanya hubungan antara manusia dengan kekuasan gaib dimana agama juga berkaitan dengan kepercayaan manusia terhadap yang gaib, yang super natural dan lain-lain. Sebagaimana menurut Kahmad (2006:13) bahwa:

Pengertian agama itu, mengikuti inti maknanya yang khusus, dapat disamakan dengan kata religion dalam Bahasa Inggris; religie dalam


(33)

Bahasa Belanda; dan keduanya berasal dari Bahasa Latin, religio, dari akar kata religare, yang berarti ”mengikat”.

Lebih lanjut, dikemukakan Madjid (1995:124), dalam arti teknis dan terminologis, ketiga istilah tersebut mempunyai arti yang sama, walaupun masing-masing mempunyai etimologis dan sejarahnya sendiri. Berdasarkan pemaparan tersebut, pemaknaan religi lebih luas yang mencakup semua keyakinan masyarakat dan hubungan masyarakat dengan Tuhan, tidak saja menggambarkan agama samawi saja tetapi juga agama ardhi.

3.4.4 Nilai Religi

Notonagoro (dalam Hakam, 2007, hlm.199) nilai religius/nilai Ketuhanan merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atas keyakinan manusia. Selanjutnya menurut Daryanto&Darmiatun (2013, hlm.70) mengatakan nilai religius merupakan sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan agama yang dianutnya, toleransi terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Lathief (2008, hlm.175) memberikan pengertian religiusitas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati, moving in the deep hart, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain. Dengan demikian sikap religius ini lebih mengajuk pada pribadi seseorang dengan Khaliqnya, bertata laku sesuai dengan karsa Tuhan.

3.4.5 Transformasi Budaya

Transformasi menurut Kuntowijoyo (2006, hlm.56) merupakan konsep ilmiah atau alat analisis untuk memahami dunia. Karena dengan memahami perubahan setidaknya dua kondisi/keadaan yang dapat diketahui yakni keadaan pra perubahan dan keadaan pasca perubahan.

Transformasi ini sendiri sebagai usaha yang dilakukan untuk melestarikan kearifan lokal agar tetap bertahan dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Transformasi dapat dilihat baik secara fisik ataupun secara substansial. Adapaun proses transformasi dapat dilakukan melalui bahasa, sikap atau prilaku atau dengan kata lain proses transformasi dapat dilakukan melalui belajar berupa sosialisasi. Sedangkan untuk cara mentransformasikan budaya lokal melalui sosialisasi dapat melalui pendidik, baik formal dan nonformal.


(34)

3.5 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif instrumennya adalah peneliti itu sendiri yakni peneliti adalah “key instrument” atau merupakan alat peneliti utama. Peneliti dalam pendekatan kualitatif harus menguasai metodelogi penelitiannya, pemahaman terhadap bidang yang akan diteliti, dan kesiapan untuk memasuki objek penelitian. Sebab semua proses penelitian akan dilakukan oleh peneliti itu sendiri. Sebagaimana yang dikemukakakn Sugiyono (2011, hlm.222) “dalam penelitian kualitatif yang menjadi instumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri”.

Adapun hal serupa dikemukakan oleh Nasution (2003, hlm.9) “hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami makna interaksi antar manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatan responden. Walaupun digunakan alat rekam atau kamera peneliti tetap memegang peran utama sebagai alat penelitian.” Selanjutnya menurut Kuntjara (2006, hlm.59) “pengamatan dalam metode penelitian kualitatif meliputi keseluruhan keajadian, kelakukan, dan benda-benda yang ada pada latar peneliti tempat subjek berada sebagaimana yang diamati peneliti sendiri”.

Walaupun peneliti dalam pendekatan kualitatif sebagai instrumen utama, tetapi peneliti dalam pendekatan kualitatif merupakan subjek yang tidak memiliki pengaruh dan hanya bertindak sebagai pengamat fenomena yang ada saja. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti menggunakan lembar observasi dan pedoman wawancara sebagai penunjang dalam mencari data-data yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Lembar observasi meliputi semua pengamatan dan pengalaman peneliti ketika di lapangan, hal ini guna melakukan pengamatan langsung terhadap transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Panji yakni melihat bagaimana mereka melaksanakan budaya lokalnya yakni sistem religi atau kepercayaan mereka dengan cara memperhatikan pola tingkah laku dan tata cara dalam melakukan dan melaksanakannya terutama sistem religi. Adapun pedoman wawancara guna menggali informasi yang dibutuhkan yakni lebih mendalami hal-hal mengenai bagaimana kearifan lokal pada masyarakat Panji dan nilai-nilai apa saja yang terdapat dari kearifan lokal mereka.


(35)

Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa dalam penelitian kualitatif instrumen penelitiannya dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang akan terjun ke lapangan, sebab peneliti merupakan instrumen kunci dalam penelitian kualitatif.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperolah data yang sesuai dengan tujuan penelitian dan agar hasil penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan maka diperlukan pengumpulan data secara sistematis. Dan dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan di dalam “natural setting” (kondisi yang alamiah).

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik pengumpulan data triangulasi, yaitu usaha mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti. Sugiyono (2011, hlm.241) menyatakan bahwa “Triangulasi teknik, berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber data yang sama”. Selain itu, Kuntjara (2006, hlm.96) mengungkapkan “pengumpulan dan perekaman data kualitatif sering dicurigai mengandung banyak bias. Untuk itu perlu dilakukan triangulasi yaitu pengumpulan informasi dari berbagai tempat dan individu dengan berbagai cara”. Dapat disimpulakan, triangulasi dapat meningkatkan kedalaman pemahaman peneliti. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian ini yaitu teknik observasi, wawancara dan dokumentasi.

3.6.1 Teknik Observasi

Teknik observasi yaitu suatu pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap suatu obyek penelitian. Creswell (2012, hlm.267) menyatakan “observasi yang dilakukan dalam penelitian kualitatif merupakan observasi yang didalamnya peneliti lngsung turun kelapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas individu-individu di lokasi penelitian”. Selanjutnya, menurut Kuntjara (2006, hlm.60) “pengamatan kulitatif peneliti terlibat, memusatkan pengamatannya pada detail masalah yang berpengaruh pada subjek


(36)

dan perolehan data. Dapat disimpulkan bahwa observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran nyata suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian. Maka proses observasi merupakan proses yang dilakukan sendiri oleh peneliti untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan. Observasi ini meliputi semua pengamatan dan pengalaman peneliti ketika di lapangan.

Teknik ini digunakan untuk melakukan pengamatan langsung terhadap budaya lokal yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Panji yakni melihat bagaimana mereka melaksanakan sistem religinya terutama budaya lokal mereka seperti upacara adat dengan cara memperhatikan pola tingkah laku dan tata cara dalam melakukan dan melaksanakan budaya lokal tersebut. Selain itu, peneliti berusaha melihat nilai-nilai apa saja yang terkandung dari sistem religi masyarakat setempat.

3.6.2 Teknik Wawancara

Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan berita, data, atau fakta di lapangan. Sebagaimana yang dikemukakan Sugiyono (2011, hlm.137):

“Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan apabila ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil”.

Selanjutnya menurut Moleong (2004, hlm.186) “wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu”. Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan tetua adat masyarakat Panji Desa Riding Panjang, Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan masyarakat Panji yang masih melakuakan budayanya terutama yang berkaitan dengan sistem religi seperti upacara-upacara adat, pemuka agama Riding Panjang, budayawan bangka dan peneliti juga mewawancarai pemerintah setempat, dalam hal ini pemerintah kabupaten Bangka tepatnya pemerintah di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bangka serta


(37)

budayawan Bangka. Lalu peneliti juga mewawancarai sebagian masyarakat Bangka.

Adapun alasan peneliti melakukan wawancara kepada mereka atas dasar mereka cukup banyak memiliki pengetahuan yang dapat peneliti gunakan sebagai sumber dalam menggali informasi yang dibutuhkan. Melalui wawancara ini, peneliti ingin lebih mendalami hal-hal mengenai bagaimana transformasi yang terjadi pada budaya lokal yang merupakan kearifan lokal masyarakat Panji terutama dalam sistem religi masyarakat Panji dan bagaimana masyarakat Panji memaknai sistem religi mereka berkaitan dengan nilai-nilai Ketuhanan pada sistem religi mereka serta bagaimana persepsi masyarakat tentang budaya lokal masyarakat Panji saat ini.

3.6.3 Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi yakni teknik mengumpulkan data yang dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan tertulis. Menurut Arikunto (2006, hlm.158), “Dokumentasi dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Didalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan hariannya dan sebagainya”.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa teknik dokumentasi merupakan teknik mengumpulkan data yang bersumber dari catatan, buku-buku serta dokumen lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian. Adapun menurut Creswell (2012, hlm.267)

Pengumpulan data dalam kualitatif melalui dokumen dapat dilakukan melalui dokumen publik (seperti koran, majalah, laporan kantor) ataupun dokumen privat (buku harian, diary, surat, email) dan materi audio visual berupa foto, objek-objek, seni, video tape atau segala jenis suara atau bunyi.

Di dalam penelitian ini teknik dokumentasi penulis gunakan untuk mendapatkan data tentang kearifan lokal dalam sistem religi masyarakat Panji yakni materi audio visual berupa foto, video dan segala jenis yang berhubugan dengan budaya masyarakat Panji yang dapat didokumentasikan.


(38)

3.7 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data merupakan teknik yang digunakan untuk mengolah data yang telah dikumpulkan dan diklasifikasi sesuai dengan tujuan penelitian, teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa data deskriptif kualitatif. Miles dan Hubberman (dalam Sugiyono 2011, hlm.246) mengemukakan bahwa ”Aktivitas dalam analisa data kualitatif dilakukan secara Interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh”. Menurut mereka ada tiga tahap analisis yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan.

3.7.1 Reduksi Data

Reduksi data yakni suatu bentuk analisis yang menggolongkan, memilih, membuang yang tidak perlu, dan mengelompokkan data sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Sebagaimana yang dikemukakan Sugiyono (2011, hlm.247) “Reduksi data merupakan merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya, dengan demikian data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas”.

Selama pengumpulan data berlangsung terjadilah tahap reduksi, selanjutnya reduksi data atau proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan sampai laporan akhir tersusun. Pelaksanaannya dengan melakukan pengelompokan berdasarkan aspek-aspek permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini aspek yang direduksi yaitu transformasi nilai-nilai religi kearifann lokal masyarakat Panji serta bagaimana mereka memaknai nilai religi tersebut dan bagaimana merka menyikapi pro dan kontra transformasi nilai religi kearifan lokal tersebut.

3.7.2 Penyajian Data

Penyajian data merupakan alur yang paling penting dan berada pada urutan kedua dari kegiatan analisis. Pembatasan suatu penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Menurut Sugiyono (2011, hlm.249) dengan penyajian data, maka


(39)

akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Setelah dilakukan reduksi data terhadap data yang dikumpulkan, penulis menyajikan data dalam bentuk deskripsi yang berdasarkan aspek-aspek yang diteliti dan disusun berturut-turut.

3.7.3 Pengambilan Kesimpulan / Verifikasi

Setelah dilakukan reduksi data dan penyajian data, maka langkah terakhir merupakan pemahaman terhadap data yang telah dikumpulkan. Sebagaiman menurut Miles and Huberman (dalam Sugiyono, 2011, hlm.252) “langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi”. Selanjutnya Miles and Huberman (dalam Sugiyono, 2011, hlm.252) mengemukakan penarikan kesimpulan/ verifikasi yaitu :

Kesimpulan awal dalam penganalisisan kualitatif masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan dengan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung dengan bukti yang valid saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Dalam hal ini pengambilan kesimpulan dilakukan secara bertahap, yang pertama yaitu kesimpulan sementara, namun dengan bertambahnya data maka perlu dilakukan verifikasi data, yaitu dengan cara mempelajari kembali data-data yang ada atau yang direduksi maupun yang disajikan. Setelah itu, peneliti dapat mengambil kesimpulan akhir. Adapun ketiga tahap tersebut dapat digambarkan pada gambar 3.1 berikut:

Pengumpulan data

Reduksi data

Penarikan kesimpulan/verifikasi

penyajian data


(40)

Gambar 3.1

Komponen Analisis Data Model Miles & Huberman (dalam Emzir, 2010, hlm.134)

3.8 Uji Keabsahan Data 3.8.1 Uji Kredibilitas

Pada penelitian kualitatif juga dikenal dengan uji validitas sama halnya dengan penelitian kuantitaif. Uji validitas dalam penelitian kualitatif dikenal dengan uji kredibilitas. Menurut Moleong (2004, hlm.326) uji kredibilitas terdiri atas:

1) Perpanjangan Keikutsertaan

Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Perpanjangan keikutsertaan peneliti akan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. Perpanjangan keikutsertaan berarti peneliti tinggal di lapangan penelitian sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai. Jika hal itu dilakukan maka akan;

(1) membatasi gangguan dari dampak peneliti pada konteks; (2) membatasi kekeliruan (biases) peneliti;

(3) mengkonpensasikan pengaruh dari kejadian-kejadian yang tidak biasa atau pegaruh sesaat.

2) Ketekunan Pengamatan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat. Ketekunan pengamatan berarti mencari secara konsisten interprestasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisa yang konstan atau tentatif. Mencari apa yang dapat diperhitungakan dan tidak dapat. Ketekuanan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang dicari kemudian memusatkan diri pada hal tersebut secara rinci dengan kata lain ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman.


(41)

3) Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian kreadibilitas berarti pengecekan data dari berbagai sumber. Dengan kata lain, Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, di luar data tersebut untuk keperluan pengeckan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaa melalui sumber lainnya. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.

4) Pemeriksaan Sejawat (Member Check)

Member check adalah, proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data (Sugiyono, 2011, hlm.276). Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat. Teknik mengandung beberapa maksud sebagai salah satu teknik pemeriksaan keabsahan data. Tujuannya untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data (Sugiyono, 2011, hlm.276)

5) Kecukupan Refrensi

Kecakupan referensi maksudnyya adanya pendukung utntuk membuktikan data yang telah diperoleh oleh peneliti. Keabsahan data hasil penelitian juga dilakukan dengan meperbanyak refrensi yang dapat menguji dan mengoreksi hasil penelitian yang telah dilakukan, baik refrensi yang bersala dari orang lain maupun refrensi yang diperoleh selama penelitian seperti gambar video dilapangan, rekaman wawancara, maupun catatan-catatan harian di lapangan.

6) Kajian Kasus Negatif

Dengan kajian kasus negatif maka peneliti akan mencari tahu secara mendalam mengapa masih terdapat data yang berbeda. Kajian kasus negatif dilakukan dengan jalan mengumpulkan contoh dan kasus yang


(42)

tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding.

7) Pengecekan Anggota

Pengecekan dengan anggota sangat penting dalam proses pengumpulan data untuk pemeriksaan derajat kepercayaan. Yang dicek dengan anggota yang terlibat meliputi data, kategori analitis, penafsiran, dan kesimpulan. Anggota yang terlibat yang mewakili rekan-rekan mereka dimanfaatkan untuk memberikan reaksi dari segi pandangan dan situasi mereka sendiri terhadap data yang telah diorganisasikan oleh peneliti.

3.8.2 Uji Transferability

Uji transferability menuntut peneliti agar melaporkan hasil penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat penelitian diselenggarakan (Moleog, 2004, hlm.338). Sedangkan menurut Sugiyono (2011, hlm.276) Uji transferability merupakan uji validitas eksternal pada penelitian kuantitaif

Selanjutnya, menurut Sugiyono (2011, hlm.276) Uji transferability “supaya orang dapat memahami hasil penelitian kualitatif sehingga ada kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti dalam membuat laporannya harus memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya”.

3.8.3 Uji Depenability

Dalam penelitian kuantitatif, depenability disebut reliabilitas. Uji dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Sugiyono (2011, hlm.277) mengemukakan bahwa:

Caranya dilakukan oleh auditor yang independen, atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melaukan penelitian. Bagaimana peneliti mulai menentukan masalah/focus, memasuki lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis data, melakukan uji keabsahan data, sampai membuat kesimpulan harus dapat ditunjukan oleh peneliti.

Dalam penelitian kualitatif uji dependability sangat diperlukan untuk menguji langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam melakukan penelitian.


(43)

Jika peneliti tak mempunyai dan tak dapat menunjukan “jejak aktivitas lapangannya” maka depenabilitas penelitiannya patut diragukan Faisal (dalam Sugiyono 2011, hlm.277)

3.8.4 Uji Konfirmability

Pengujian konfirmability dikenal dengan uji obyektivitas pada penelitian kuantitatif. Penelitian bisa disebut obyektif bila hasil penelitian disepakati oleh banyak orang. Menurut Sugiyono (2011, hlm.227) Uji konfirmability dalam penelitian kualitatif berfungsi untuk membuktikan bahwa peneliti memang benar menggunakan prosedur penelitian pada saat melakukan penelitian. Dalam penelitian, jangan sampai proses tidak ada, tetapi hasilnya ada.


(44)

BAB V

SIMPULAN, IMPILIKASI DAN REKOMENDASI

Bab V membahas tentang simpulan, Implikasi dan Rekomendasi yang berorientasi pada hasil dan pembahasan penelitian yang telah dijabarkan pada bab IV. Berikut peneliti rumuskan beberapa simpulan, implikasi dan rekomendasi sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Simpulan

5.1.1 Simpulan Umum

Berdasarkan sejumlah temuan penelitian yang diuraikan pada bahasan sebelumnya, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa transformasi nilai-nilai religi sebagai kearifan lokal masyarakat Panji dapat dilihat pada budaya lokal Panji yang terwujud dalam upacara ritual adat Nuju jerami yang diartikan sebagai penutup dan pembuka tahun yang baru untuk membuka ladang yang dilaksanakan pada hari ke-13 bulan ketiga penanggalan cina. Nuju Jerami sebagai keyakinan dan konsep masyarakat Panji tentang Tuhan. Adapun saat ini, secara berlahan Nuju Jerami telah mengalami transformasi. Hal ini dapat dilihat pada proses Nuju Jerami dimana saat ini ada pembacaan do’a secara Islam sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, ada juga tausiyah yang disampaikan uztad. Hal tersebut membuktikan bahwa telah terjadi transformasi nilai religi, dimana dahulunya Nuju Jerami kental dengan magic tetapi kini masyarakat Panji berusaha bagaimana nilai keislaman masuk kedalam upacara ritual Nuju Jerami agar hidup dalam masyarakat, sebab mayoritas masyarakat Panji saat ini secara identitas beragama Islam. Walaupun dalam prosesnya saat ini Nuju Jerami juga tidak telepas dari pembacaan lantra, bersaji, makan bersama serta bernyayi atau hiburan. Oleh sebab itu, dilakukannya transformasi nilai-nilai religi, sebab semakin kuatnya nilai-nilai Islam dalam upacara Nuju Jerami, semakin kuat pemahaman masyarakat Panji terhadap nilai-nilai Ketuhanan dan semakin kuat nilai-nilai Ketuhanan masyarakat Panji, semakin besar peluang masyarakat Panji untuk melesatarikan Nuju Jeramai sebagai kearifan lokal serta semakin menyadarkan masyarakat bahwa nilai Pancasila harus tetap dilestarikan dan dihidupkan kembali melalui nilai-nilai budaya lokal. Dengan demikian


(45)

masyarakat Panji akan memiliki karakter dan budaya yang kuat sehingga akan semakin memperkuat eksistensinya.

5.1.2 Simpulan Khusus

Merujuk pada sub masalah penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dirumuskan simpulan sebagai berikut;

1. Masyarakat Panji memaknai sistem religi sebagai kearifan lokal mereka yang terwujud dalam aktifitas upacara ritual adat salah satunya upacara ritual adat Nuju Jerami. Namun, saat ini upacara ritual adat Nuju Jerami bukanlah sesuatu yang sakral, hanya dimaknai sebagai sedekah biasa sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dimana masyarakat Panji saat ini telah memahami syariat agama walaupun belum sepenuhnya menjalankan syariat dengan baik dan taat sebab dalam ritual adat tersebut tidak terlepas dari unsur lantra dan simbol-simbol sebagai peninggalan leluhur mereka. Hal inilah yang membuat upacara ritual Nuju Jerami masyarakat Panji memiliki nilai lokal dan adat tersendiri terkait sistem religi yang berhubungan dengan identitas keimananya. Adapun secara religius fungsi upacara ritual Nuju Jerami bagi masyarakat Panji yakni terjadinya hubungan baik antara manusia dengan Tuhan yang terwujud dalam tindakan kerjasama, gotong royong, tenggang rasa, saling menghormati, kebersamaan, kekeluargaan, toleransi, solidaritas dan kerukunan, dimana nilai tersebut dianggap baik serta dijadikan pedoman bagi masyarakat Panji untuk bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu, sampai saat ini sebagian masyarakat Panji berusaha tetap mempertahankan kearifan lokal mereka sebagai penghormatan terhadap leluhur dan juga sebagai identitas masyarakat Panji.

2. Sampai saat ini transformasi nilai-nilai Ketuhanan sebagai kearifan lokal masyarakat Panji yang terdapat dalam upacara ritual Nuju Jerami belum disosialisasikan di dalam pendidikan formal karena belum adanya koordinasi antara tetua adat, pemerintah dan juga sekolah dalam melestarikan nilai Ketuhanan sebagai kearifan lokal Panji. Padahal Nuju Jerami kaya akan nilai yang harus disosialisasikan. Sementara di lingkungan masyarakat dan keluarga, transformasi nilai-nilai Ketuhanan masyarakat Panji dapat terlihat pada acara


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Alfan, M. (2013). Filsafat Kebudayaan. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Karyono, T. (2009). Etnopedagogi. Landasan

Parktek Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: PT. Kiblat Buku

Utama

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta: Rineka Cipta.

Ayatrohaedi. (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya

Boas, F. (1938). The Mind of Primitive Man. New York: Columbia University Bogdan, R. C. dan Biklen, S. K. (1982). Qualitative Research for Education an

Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.

Budimansyah, D. (2008). Pembelajaran Pembudayaan Nilai Pancasila. Bandung: PT. Genesindo.

Cassirer, E. (1990). Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai Tentang Manusia. Jakarta: PT Gramedia

Creswell, J. W. (1998). Qualitative inquiry and research design: choosing among

five tradition. London: Sage Publication.

Creswell, J. W. (2012). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

Mixed. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Daryanto. (1994). Kamus Bahasa Indonesia Modern. Surabaya: Apollo.

Daryanto,.&Darmitun. (2013). Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Gava Media

Deqy, T. S. (2014). Korpus Mapur dalam Islamisasi Bangka. Yogyakarta: Ombak Durkheim. E. (1955). The Elementary Forms of Religious Life. New York: The

Free Press

Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta

Emzir. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif; Analisis Data. Jakarta: RajaGrafindo Persada.


(2)

Fraenkel, J. R. (1977). How to Teach about values: An Analytic Approach. New Jersey: Prentice hall, inc.

Geertz, C. (1973). The Interpretation of Culture. New York: Basic Books, Inc Geertz, C. (1992). Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius

Ghazali, A., M. (2011). Antropologi Agama (Upaya Memahamai Keragaman

Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama). Bandung: Alfabeta

Gumilar, S. dan Sulasman. (2013). Teori-Teori Kebudayaan, Dari Teori Hingga

Aplikasi. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Hakam, K. A. (2007). Bunga Rampai Pendidikan Nilai. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

Haviland, W. A. dkk. (2008). Culture Anthropology. The Human Challenge. USA: Thomson.

Ihromi, T. O. (2006). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Kaelan. (2013). Negara Kebangsaan Pancasila; Kultural, Historis, Filosofis,

Yuridis dan Aktualisasinya. Yogyakarta: Paradigma.

Kahmad, D. (2006). Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Kalidjernih, F.K. (2011). Konsep dan Isu Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVIII/MPR/1998.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. (2011). Kearifan

Lokal di Tengah Modernisasi. Jakarta: Kemendikbud

Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press

Koentjaraningrat. (1975). Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Kuntjara, E. (2006). Penelitian Kebudayaan. Sebuah Panduan Praktis.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat (Edisi Paripurna). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lathief, Supaat I. 2008. Sastra: Eksistensialisme – Mistisisme Religius.


(3)

Linton, R. (1984). Antropologi: Suatu Penyelidikan Manusia. Bandung: Penerbit Jemars, Terjemahan

Madjid, N. (1995). Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina.

Marfai, M. A. (2013). Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Moleong, L. J. (2003). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Moleong, L.J. (2004). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mustansyir, R. (2006). Notonagoro Sebagai Homo Significans Atas Ideologi

Pancasila. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM

Nasution. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nuraeni, H. G dan Alfan, M. (2012). Studi Budaya di Indonesia. Bandung: CV.

Pustaka Setia.

Peursen, V. (1976). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius

Pujileksono, S. (2009). Antropologi (Edisi Revisi). Malang: UMM Press.

Quaritch, W, H. G. (1961). The Making of Greater India. London: Bernard Quaritch, LTD

Rosidi, A. (2011). Kearifan Lokal: Dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama

Soekanto, S. (2003). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Spradley, J. P (2007). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitaif dan Kualitatif

(PendekatanKuantitatif Kualitatif. R & D). Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, N. S. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Tylor. E. B. (1871). Primitive Culture: Researches into The Development of

Mythology, Philosophy, Religion, Art, and Custom.Vol I. London:

Bradbury, Evans, and Co., Printers, Whitefriars Undang-Undang 1945 Negara Republik Indonesia


(4)

Winataputra. U. S. (2008). Multikulturalisme Bhineka Tunggal Ika dalam

Perspektif Pendidikan Kewarganegraan Sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia dalam Dialog Multikultural. Bandung:

Sekolah Pascasarjana UPI Sumber Artikel dan Jurnal

Dewantara, K. (2013). Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila Melalui Pemahaman Nilai Kearifan Lokal Dapat Meningkatkan Ketahanan Nasional.

Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLIX Lembaga Ketahanan Nasional RI.

Dewi, Ernita. (2012). Transformasi Sosial dan Nilai Agama. Jurnal Substantia, 14

(1), hlm. 12-121

Jeniarto, J. (2013). Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-Persoalan. Jurnal Ultima Humaniora, I (2), hlm. 15-27

Kasiyan, dkk. (2009). Pembinaan Muatan Lokal Kerajinan Batik Warna Alami Bagi Guru-Guru SLTP Di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Artikel

Kegiatan Program Pengambidan Masyarakat, Universitas Negeri

Yogyakarta.

Linnekin, J. S. (1983). Defining Tradition: Variations on the Hawaiian Identity.

American Ethnologist, 10 (2), hlm. 241-252

Maftuh, B. (2008). Internalisasi Niai-Nilai Pancasila Dan Nasionalisme Melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Jurnal Educationist, II (2), hlm.134-144 Mungmachon, R. (2012). Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure.

International Journal of Humanities and Social Science, 2 (13), hlm. 174-181.

Ridwan, N. A. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal Studi Islam dan

Budaya, 5 (1), hlm. 27-38

Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat.

Jurnal Filsafat, 37, hlm. 111-120

Suyitno, I. (2012). Pengembangan Pendidika Karakter Dan Budaya Bangsa Berwawasan Kearifan Lokal. Jurnal Pendidikan Karakter. Tahun II.

No.1

Wagiran. (2012). Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-Nilai Karakter Berbasis Budaya).

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, No.3. hlm. 329-339

Yudhasari, D. A. (2011). Kearifan Lokal Dalam Tradisional Ritual: Representasi


(5)

Zuriah, N. (2012). Kajian Etnopedagogi Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Pendidikanbudaya Dan Karakter Bangsa Di Perguruan Tinggi Muhammadiyah Kota Malang. Jurnal Humanity, 8 (1), hlm. 170-185

Sumber Tesis

Hamid (2014). Jayapura Dalam Transformasi Agama Dan Budaya (Memahami Akar Konflik Kristen-Islam di Papua). (Disertasi, Universitas Gadjah Mada, 2014, Tidak diterbitkan).

Islamudin. (2014). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sebagai Civic Culture Pada Budaya Suku Talang Mamak (Studi Etnografi Pada Masyarakat Kec.Rakit Kulim, Kab. Indragiri Hulu Provinsi Riau). (Tesis, Universitas Pendidikan Indonesia, 2014, Tidak diterbitkan).

Neisya (2014). Mantra Ritual Ngancak Dalam Tradisi Upacara Adat Perang Ketupat Di Masyarakat Tempilang, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung: Kajian Sastra Lisan Ruth Finnegan. (Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2014, Tidak diterbitkan).

Muchfiroh. R. (2011). Revitalisasi Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pengembangan Budaya Lokal. (Studi kasus Budaya Macapat di Kota Surakarta). (Tesis, Universitas Pendidikan Indonesia, 2014, Tidak diterbitkan).

Muspardi. (2014). Integrasi Nilai-Nilai Pendidikan Surau dalam Transformasi Kewarganegaraan untuk Mengembangkan Karakter Siswa. (Studi Deskriptif di SMP Perguruan Islam Ar-Risalah). (Tesis, Universitas Pendidikan Indonesia, 2014, Tidak diterbitkan).

Pakilaran A.U. (2006), Transformasi Bentuk dan Ruang pada Rumah Toko di Kawasan Pecinan Makassar (1970-2005). (Tesis, Institut Teknologi Bandung, 2006, Tidak diterbitkan).

Pebrianti (2013). Makna Simbolik Tari Bedhaya Tunggal Jiwa Dalam Rangkaian Upacara Tradisi Grebeg Besar di Kabupaten Demak. (Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2013, Tidak diterbitkan).

Sukmayadi. T. (2013). Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sunda (Studi Kasus di SMA Negeri 2 cimahi). (Tesis, Universitas Pendidikan Indonesia, 2014, Tidak diterbitkan)

Utina (2013). Nilai Etika Dan Nilai Religi Seni Pertunjukan Tayub di Masyarakat Samin Kabupaten Blora. (Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2013, Tidak diterbitkan).


(6)

Wardhani, N. W. (2013). Pembelajaran Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sebagai Penguat Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Informal (Studi Deskriptif Kualitatif Tembang Asmaradana dalam Serat Wulang Reh Pada Masyarakat Keraton Kasunanan Surakarta). (Tesis, Universitas Pendidikan Indonesia, 2013, Tidak diterbitkan).

Yunus. R. (2013) Transformasi Nilai-Nilai Budaya Lokal Sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa (Studi Kasus Budaya Huyula di kota Gorontalo). (Tesis, Universitas Pendidikan Indonesia, 2013, Tidak diterbitkan).

Sumber Internet

Pukat Bangsa, Pusat kajian Trnasformasi Membangun Indonesia. 2007.

Transformasi. Retrieved Desember 23, 2014 from

http://pukatbangsa.wordpress.com

Pemerintah Kabupaten Bangka, Peta wilayah. Retrieved Mei 3, 2015 from