KEDUDUKAN NOTARIS DALAM PENGIKATAN DEPOSITO BERKAITAN DENGAN RAHASIA BANK.

(1)

ii

KEDUDUKAN NOTARIS DALAM PENGIKATAN

DEPOSITO BERKAITAN DENGAN RAHASIA BANK

NI KADEK AYU PURNAMA DEWI NIM. 1203005024

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

iii

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NI KADEK AYU PURNAMA DEWI NIM. 1203005024

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

vi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas rahmat-Nya penulisan skripsi yang berjudul “Kedudukan Notaris Dalam

Pengikatan Deposito Berkaitan Dengan Rahasia Bank” dapat terselesaikan dengan

baik dan tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi kewajiban terakhir mahasiswa dalam menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana sehingga dapat dinyatakan selesai menempuh program Sarjana (S1) serta memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung baik dalam hal memberikan bimbingan, dorongan, motivasi, bantuan, dan fasilitas. Oleh karena itu,penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H.,M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

vii

4. Bapak I Gede Yusa, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Ibu Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H., M.Hum., Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Bapak A.A. Ketut Sukranatha, S.H., M.H., Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Ibu Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah mendukung dan memberikan bimbingan semenjak awal penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

9. Bapak/Ibu Dosen serta seluruh Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 10.Bapak/Ibu Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana


(7)

viii

memperoleh literatur yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini. 12.Kedua orang tua saya Bapak (I Wayan Tendi S.Pd), Ibu (Ni Wayan Sirki

Artini), Kakak saya I Putu Adi Mahendra Putra, S.H.,M.Kn., Ipar saya Ni Nyoman Sri Ayu Mentari, S.H., Keponakan saya Kayika Tenaya,dan saudara-saudara saya Ni Kadek Sri Windari dan Novita Rahayu Lestari yang selalu memberikan dorongan, semangat, masukan dan finansial dalam penyusunan skripsi ini.

13.Untuk sahabat-sahabat tercinta: Maria M.C.N. Blegur Laumuri, Komang Alit Adnya Sari Dewi, Ni Made Ayu Pasek Dwilaksmi, Anak Agung Ayu Intan Puspadewi, Nyoman Putri Purnama Santhi, Kevin Saputra, Gusti Triantaka, Adi Wagestu, Yeyen Karista, Sri Inten Damayanti, Dewi Lestari, Denik Suantari, Yuyun PD, Elistiawati, Bayu Pinarta, AMP yang selalu memberikan semangat, motivasi dan selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis selama menyusun skripsi ini.

14. Untuk rekan-rekan 2012 Kelas A dan rekan-rekan KKN 2012 kabupaten Negara Desa Yeh Embang yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah mendukung penulis agar segera dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, dan seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 2012,


(8)

kakak-ix

15.Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Karena terbatasnya kemampuan penulis, maka penyusunan ini jauh dari kata sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan akademik dan setiap orang yang membacanya.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Denpasar, 28 Januari 2016


(9)

(10)

xi

Halaman

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

HALAMAN KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... x

DAFTAR ISI ... xi

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 10

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 10

1.5 Tujuan Penelitian ... 13

1.5.1 Tujuan umum ... 14


(11)

xii

1.6.2 Manfaat praktis ... 15

1.7 Landasan Teoritis ... 15

1.7.1 Teori perlindungan hukum ... 15

1.7.2 Teori kewenangan ... 18

1.7.3 Teori pertanggungjawaban hukum ... 19

1.8 Metode Penelitian... 21

1.8.1 Jenis penelitian ... 21

1.8.2 Jenis pendekatan ... 21

1.8.3 Sumber bahan hukum ... 22

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 23

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum ... 23

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS, DEPOSITO DAN RAHASIA BANK 2.1 Tinjauan Umum Tentang Notaris ... 25

2.1.1 Pengertian notaris dan dasar pengaturan notaris di Indonesia ... 25

2.1.2 Kewenangan, kewajiban dan larangan notaris ... 28

2.1.3 Rahasia jabatan notaris ... 32

2.1.4 Tanggung jawab notaris ... 35


(12)

xiii

2.2.2 Macam-macam deposito dalam perbankan... 41

2.2.3 Deposito sebagai jaminan dalam pemberian kredit ... 45

2.3 Tinjauan Umum Tentang Rahasia Bank ... 47

2.3.1 Pengertian rahasia bank dan dasar hukum rahasia bank ... 47

2.3.2 Perubahan ketentuan rahasia bank di Indonesia ... 49

2.3.3 Pihak-pihak yang berkewajiban merahasiakan rahasia bank ... 52

2.3.4 Teori-teori mengenai rahasia bank dan perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan ... 54

BAB III KEDUDUKAN NOTARIS DALAM PENGIKATAN JAMINAN DEPOSITO PADA BANK 3.1 Jaminan Kredit Bank………...………57

3.2 Pengikatan Deposito Sebagai Jaminan Kredit Dalam Perbankan ... 62

3.2 Kedudukan Notaris Dalam Pembuatan Akta Pengikatan Deposito Pada Bank ... 67

BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PENGIKATAN DEPOSITO PADA BANK 4.1 Tanggung jawab Notaris Sebagai Pejabat Umum ... 73

4.2 Tanggung jawab Notaris Berkaitan Dengan Rahasia Bank ... 81


(13)

xiv

5.2 Saran-saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA ... 98 RINGKASAN SKRIPSI


(14)

xv

bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan merumuskan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga untuk pihak terafiliasi. Dalam pemberian kredit, deposito dapat dijadikan sebagai jaminan. Pengikatan jaminan kredit dengan deposito yang dilakukan oleh bank dan nasabah debitur harus dilakukan dengan pembuatan akta pengikatan jaminan deposito yang memerlukan jasa Notaris untuk memberikan kekuatan hukum yang sempurna yang melekat dalam akta tersebut dan menjamin perjanjian pokok berupa perjanjian. Maka dari itu, pentingnya melakukan penelitian mengenai kedudukan dan tanggung jawab Notaris berkaitan dengan pengikatan deposito dalam rahasia bank.

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini ialah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan konsep. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Untuk menganalisis bahan hukum digunnakan teknik deskripsi, teknik evaluasi dan teknik argumentasi. Dalam hal peraturan perundang-undangan terdapat norma kabur dalam penelitian ini maka dari itu digunakan metode penafsiran ekstentif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembuatan akta pengikatan jaminan kredit dengan deposito Notaris berkedudukan dalam menjaga kerahasian akta yang dibuatnya dalam hal ini akta pengikatan jaminan kredit dengan deposito sebagai pihak yang terafiliasi sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU Perbankan. Apabila dalam pembuatan akta jaminan deposito Notaris melakukan pelanggaran terhadap kerahasian akta yang dibuatnya, maka Notaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya baik itu secara perdata, kode etik profesinya sebagai Notaris, maupun pidana.


(15)

xvi

public life grade. Based on the article 40 paragraph (1) the law number 10 in 1998 the change on the law number 7 in 1992 on banking that formulate that bank has obligation to conceal information on customer andn its saving. The stipulation as intended in paragraph (1) apply also for affiliated party. In giving credit, deposit can be guarantee object. Bonding of credit guarantee with deposit that conducted by the bank and the debtor customer should be conducted by give perfect law power that stick in the deed and to guarantee the main agreement in the form of agreement. Hence the importance to conduct a study on position and the notary public’s responsibility concern with deposit bonding in bank secret.

This study type has been applied in this study was normative law. This study by using statue approach and concept approach. Law material has been used for this study as follows primary, secondary and tertier. To analyze law material has been used description technique, evaluation technique and argumentation tehnique. In relation of the rule and regulation there was blur norm in this study hence from it applied extensive interpretation.

The result shows that in making of the deed of credit guarantee bonding with deposit the notary public have position to keep screet of the deed made by him/her in this case is the deed of credit guarantee bonding with deposit as afiliated party as intended in the regulation article 40 paragraph (2) the banking law. If in making of the deed of deposit guarantee the notary public has conduct break the law on screet of the deed which made by him/her, hence the notary public can to asked responsibility either in civil, ethic code of its profession as the notary public or criminal.


(16)

1.1Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum seperti yang tercantum pada ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Sebagai negara yang menganut prinsip negara hukum, maka negara itu harus menjamin keadilan, kegunaan dan kepastian hukum. Hal ini kemudian mewajibkan bahwa dalam lalu lintas hukum diperlukan adanya alat bukti dalam menentukan hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam kehidupan masyarakat. Maka dari itu keberadaan lembaga Notaris muncul hadir di negara kita, karena untuk mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat. Negara menempatkan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenangan dalam hal pembuatan akta otentik, untuk kepentingan pembuktian atau alat bukti.

Keberadaan Akta otentik sebagai alat bukti tertulis, mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat, dalam berbagai kegiatan salah satunya ialah kegiatan di bidang perbankan. Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. Sehubungan dengan kewenangan Notaris, maka Notaris bertanggungjawab dalam mengemban kewenangan yang diberikan


(17)

kepadanya. Adapun tanggung jawab Notaris yaitu : Tanggung jawab atas keotentikan formil akta, tanggung jawab atas keotentikan materiil akta, tanggung jawab atas kerahasian akta yang dibuatnya. Notaris sebagai pejabat umum merupakan jabatan kepercayaan yang bersumber dari negara dan masyarakat. Kepercayaan yang diberikan oleh negara melalui ketentuan undang-undang yaitu dengan menjalankan sebagian kekuasaan negara dibidang hukum perdata, antara lain mengatur hubungan-hubungan hukum yang di lakukan oleh masyarakat untuk dituangkan dalam suatu akta otentik, oleh karena itu ketika menjalankan tugasnya Notaris diwajibkan menjaga kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Sedangkan kepercayaan masyarakat adalah dengan mempercayai atau menghendaki atau meminta agar perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat dituangkan dalam suatu akta otentik yang memiliki kekuatan bukti yang sempurna. Bukti yang sempurna ialah kebenaran yang dinyatakan didalam akta Notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan alat bukti lainnya. Kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepada Notaris, mengkehendaki agar Notaris merahasiakan setiap perbuatan yang dituangkan dalam isi akta yang diberikan Notaris dalam pembuatan akta.

Keberadaan Notaris diharapkan dapat melindungi kepentingan hukum masyarakat serta dapat memberikan pelayanan hukum dan penyuluhan hukum kepada masyarakat khususnya dalam hal pembuatan akta, sehingga masyarakat akan mendapatkan


(18)

perlindungan hukum dan kepastian hukum.1 Kebutuhan hukum dalam masyarakat dapat dilihat dengan semakin banyaknya bentuk perjanjian dan pendirian badan usaha seperti koperasi dan bank, mulai dari pendiriannya sampai dalam operasionalnya sangat membutuhkan jasa Notaris.

Tidak dapat dipungkiri bahwa bank memiliki peran penting di dalam suatu negara baik dalam sistem keuangan atau sistem pembayaran dalam suatu negara. Mengingat bank merupakan suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana dan jasa-jasa lain yang dilakukan mereka melalui bank pada khususnya dan dari masyarakat luas pada umumnya.2 Adapaun kepercayaan masyarakat kepada bank merupakan unsur paling pokok dari eksistensi suatu bank, sehingga terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada perbankan adalah juga kepentingan masyarakat banyak. Sehubungan dengan hal itu, dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan 1998 perubahan atas UU

Perbankan 1992), menyatakan bahwa “bank adalah badan usaha yang menghimpun

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat

1

Santia Dewi dan Fauwas Diradja, 2011, Panduan Teori dan Praktik Notaris, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 8.

2

Zainal Asikin, 2015, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 17.


(19)

dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Berdasarkan hal tersebut, jadi fungsi utama bank ialah menghimpun dan menyalurkan dana dari bank kepada masyarakat. Dana yang berasal dari masyarakat adalah dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti giro, deposito, dan tabungan.3 Sedangkan yang dimaksud dengan simpanan dalam Pasal 1 angka 5 UU Perbankan 1998 yaitu dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan yang dipersamakan dengan itu. Adapun pengertian dalam bentuk simpanan sebagai berikut :

1. Simpanan Giro, secara umum giro adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan mempergunakan cek, surat perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara pemindahbukuan.4

Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Perbankan yang dimaksud Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan

2. Deposito, secara umum deposito diartikan sebagai simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara ihak ketiga dan bank yang bersangkutan.5

3

Hermansyah, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Hermansyah I), h.45.

4

Hermansyah, 2009, Hukum Perbankan nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Hermansyah II), h.46.

5


(20)

Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 amgka 7 UU Perbankan yang dimaksud dengan deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.

3. Sertifikat Deposito.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 UU Perbankan yang dimaksud dengan Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan. Dari pengertian yang ditentukan oleh UU Perbankan mengandung dua unsur, yaitu:

a. Bentuk Deposito Bersertifikat, artinya bahwa bentuknya berbeda dengan deposito berjangka. Dalam hal ini deposito berjangka dikeluarkan atas nama, sedangkan sertifikat deposito dikeluarkan atas tunjuk.

b. Dapat dipindahtangankan, artinya dengan dikeluarkannya sertifikat deposito dalam bentuk atas tunjuk, maka bukti penyimpanannya dapat dipindah tangankan kepada pihak lain.6

4. Tabungan merupakan salah satu dari berbagai macam produk perbankan yang banyak diminati oleh masyarakat, mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun kalangan pengusaha, namun masih banyak masyarakat yang belum mengerti benar tentang produk tabungan.7

Sedangkan berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka 9 UU. No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan tabungan yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakat, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Aktivitas bank yang berkaitan dengan menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien agar mencapai sasaran yang optimal, maka perlu diiringi dengan pembinaan dan pengawasan. Aktivitas bank sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Perbankan 1998 ditetapkan salah satu asas dari perbankan di Indonesia adalah asas demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Demokrasi ekonomi disini adalah demokrasi ekonomi yang berdasarkan

6

Ibid, h.48. 7


(21)

Pancasila dan UUD NRI 1945.8 Untuk itu prinsip kehati-hatian dalam mengelola dana haruslah berpijak pada prinsip responsibilitas. Dengan diterapkannya prinsip ini diharapkan timbulnya kepatuhan pada aturan hukum yang berlaku dan melakukan kegiatan secara bertanggungjawab kepada nasabah penyimpan dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan para pihak yang berkepentingan terhadap bank.

Bank merupakan lembaga keuangan yang mengandalkan kepercayaan masyarakat guna mempertahankan kepercayaan masyarakat dan eksistensi dari bank, maka bank wajib melindungi dana nasabah penyimpan dan simpanannya serta berkewajiban menjaga kerahasiaan terhadap dana nasabahnya. Bank diwajibkan menjamin kerahasian atas informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, maka dari itu timbullah kepercayaan masyarakat kepada bank. Kepercayaan dari masyarakat dikatakan sebagai kunci utama dalam berkembang atau tidaknya lembaga perbankan. Berawal dari kepercayaan masyarakat itulah keadaan nasabah wajib dirahasiakan. Dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Mengenai ketentuan rahasia bank berlaku pula bagi pihak terafilisasi dalam operasional bank.

Rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi nasabah penyimpan dan, apabila nasabah penyimpan tidak mempercayai bank dimana ia menyimpan simpanannya tentu ia tidak akan mau menjadi nasabahnya. Hal ini

8


(22)

penting mengingat kerahasiaan bank sangat diperlukan demi menjaga kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya kepada bank yang bersangkutan atau dengan kata lain bahwa masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya kepada bank apabila ada jaminan dari bank bahwa bank tidak akan menyalahgunakan pengetahuannya tentang keadaan nasabahnya.9

Ketentuan rahasia bank diatur dalam dalam Pasal 1 angka 28 UU Perbankan

1998 menyatakan bahwa “rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan

dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya”. Segala sesuatu

yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya meliputi segala keterangan tentang orang dan badan yang memperoleh pemberian layanan dan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri meliputi : jumlah kredit, jumlah dan jenis rekening nasabah (simpanan giro, deposito, sertifikat, dan surat berharga lainnya), pemindahan uang, pemberian garansi bank.

Rahasia bank diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan 1998 yang

menyatakan bahwa “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A”. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi. Berdasarkan ketentuan diatas, jelas bahwa yang wajib dirahasiakan oleh pihak bank/pihak terafiliasi hanya keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpananya.

9


(23)

Dalam penjelasan Pasal 40 ayat (1) UU. No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa apabila nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan.

Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa ruang lingkup dari rahasia bank dibatasai atau dipersempit yaitu :

1. Menyangkut keterangan mengenai “nasabah penyimpan” dan

“simpanannya”

2. Pada dasarnya bank dan pihak terafiliasi berkewajiban memegang teguh kerahasiaan keterangan tersebut, kecuali hal itu tidak dilarang oleh undang-undang.

3. Situasi tertentu dalam mana informasi mengenai “nasabah penyimpan”

beserta dengan “simpanannya” dibolehkan, dimungkinkan atau dibenarkan

saja dibeberkan oleh pihak yang terkena larangan jika informasi tersebut tergolong ada informasi yang dikecualikan atau informasi nasabah penyimpan dan simpanannya tidak termasuk dalam kualifikasi kerahasiaan bank.10

Ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU Perbankan menyatakan bahwa „ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi‟. Golongan

pihak terafiliasi diatur dalam Pasal 1 angka 22 UU Perbankan antara lain akuntan public, penilai, konsultan hukum, konsultan lainnya. Pihak terafiliasi ialah pihak yang mempunyai hubungan dengan kegiatan serta pengelolaan usaha jasa pelayanan yang diberikan oleh bank. Hubungan tersebut melalui cara menggabungkan dirinya pada bank tetapi dengan tidak kehilangan identitasnya.

10

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, h.499.


(24)

Bank dikatakan sebagai urat nadi perekonomian suatu negara. Salah satu fungsi bank yaitu sebagai lembaga kredit. Pemberian kredit kepada masyarakat merupakan usaha yang terpenting bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga keuangan. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung suatu resiko usaha bagi bank. Guna mencegah dan mengurangi timbulnya resiko maka perbankan harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam memperhatikan objek jaminan kredit. Dengan demikian, maka dibutuhkan jasa Notaris dalam pembuatan akta perjanjian kredit, jaminan deposito serta perjanjian-perjanjian lainnya.

Salah satu bentuk objek jaminan kredit yang dapat dijaminkan oleh nasabah debitur adalah jaminan gadai dalam bentuk deposito. Pengikatan jaminan kredit dengan deposito yang dilakukan oleh bank dan nasabah debitur dilakukan dengan pembuatan akta pengikatan jaminan dengan deposito yang memerlukan jasa Notaris untuk memberikan kekuatan hukum yang sempurna yang melekat dalam akta tersebut dan menjamin perjanjian pokok berupa perjanjian kredit. Dalam hal ini nasabah penyimpan sebagai subjek perjanjian dan deposito merupakan simpanan dari nasabah penyimpan sebagi objek dari suatu perjanjian yang wajib dirahasiakan oleh Notaris dan pihak bank dalam kaitannya dengan rahasia bank.

Sehingga dalam pembuatan akta pengikatan jaminan kredit dengan deposito, Notaris berkedudukan dalam menjaga kerahasian akta yang dibuatnya dalam hal ini berupa akta pengikatan jaminan kredit dengan deposito sebagai pihak terafiliasi sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) dan pasal 1 butir 22 huruf c UU Perbankan. Ketentuan dalam Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 1 angka 22 huruf c UU


(25)

Perbankan 1998 tidak mencantumkan secara jelas kedudukan Notaris sehingga adana kekaburan norma pada ketentuan tersebut. Kekaburan norma dalam pasal tersebut berdampak pada kerahasiaan bank.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk menulis

Skripsi dengan judul “Kedudukan Notaris Dalam Pengikatan Deposito Berkaitan

Dengan Rahasia Bank”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan Notaris dalam pengikatan jaminan dengan deposito?

2. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris dalam pengikatan jaminan dengan deposito?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak menyimpang dari pokok pembahasan yang dibahas, maka akan dipaparkan mengenai batasan-batasan yang menjadi ruang lingkup permasalahan tersebut. Permasalahan pertama membahas tentang kedudukan Notaris dalam pengikatan jaminan dengan deposito. Permasalahan kedua membahas tanggungjawab Notaris dalam pengikatan jaminan dengan deposito.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran pada kepustakaan, khususnya di lingkungan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana sepanjang yang diketahui dari


(26)

hasil penelitian yang sudah ada maka belum ada penelitian yang menyangkut masalah ini. adapun penulisan penelitian yang berkaitan dengan penulisan penelitian ini antara lain :

No Nama Peneliti Judul Rumusan Masalah

1. Ida Bagus

Kadek Benol Permadi

Fakultas Hukum

Universitas Udayana, judul Prinsip

Kehati-Hatian Dalam

Penerapan Managemen Risiko Pada Bank

Dalam Pemberian

Kredit di Bank BRI Cabang Kota Negara

1. Bagaimana cara

menentukan rinsip kehati-hatian dalam penerapan managemen risiko pada bank dalam pemberian kredit?

2. Bagaimana cara

menentukan prinsip kehati-hatian dalam penerapan managemen penerapan resikopada bank dalam pemberian kredit di BRI cabang Negara?

2. Anak Agung

Istri Chandra

Fakultas Hukum

Universitas Udayana,

1. Bagaimana pengaturan Rahasia Bank dengan


(27)

Pramita Sukawati

judul Pengaturan

Kewajiban Bank

Menjaga Kerahasiaan

Data nasabah

Penyimpan Menurut Undang-Undang

Perbankan Dikaitkan

Dengan Kebebasan

Pers

berlakunya Undang-undang Pers?

2. Bagaimana

perlindungan hukum terhadap nasabah bank yang dirugikan akibat

adanya kebebasan

pers?

3. Tiurlan Roma Artha Saragih

Fakultas Hukum

Jember, judul Rahasia Bank Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Preventif Terhadap

Nasabah Menurut

Ketentuan Hukum

Perbankan.

1. Bagaimana dasar

pemikiran perlunya ketentuan rahasia bank?

2. Bagaimana dasar

pemikiran atas

berlakunya ketentuan rahasia bank?

3. Apa akibat hukum terhadap para pihak

yang melakukan


(28)

ketentuan rahasia bank?

Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan sebelumnya menyangkut

permasalahan mengenai “Kedudukan Notaris Dalam Pengikatan Deposito Berkaitan

Dengan Rahasia Bank”, belum pernah diajukan dan bukan merupakan karya ilmiah

yang pernah diajukan sebelumnya, oleh karena itu penelitian yang dilakukan dapat dikemukakan masih bersifat orisinal dan layak dijadikan objek penelitian dalam skripsi ini.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dapat diklasifiasikan kedalam dua bentuk yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus, untuk lebih jelasnya akan dipaparkan sebagai beriku :


(29)

1.5.1 Tujuan umum

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kedudukan Notaris dalam pengikatan deposito. 2. Untuk mengetahui tanggungjawab Notaris dalam pengikatan deposito. 1.5.2 Tujuan khusus

Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut : 1. Untuk mendalami kedudukan Notaris dalam pengikatan deposito. 2. Untuk memahami tanggungjawab Notaris dalam pengikatan deposito. 1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat teoritis

1. Diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan disiplin bidang ilmu hukum khususnya hukum perbankan tentang rahasia bank serta hubungan antara hukum perbankan dan hukum kenotariatan mengenai kedudukan Notaris dalam pengikatan deposito berkaitan dengan rahasia bank.

2. Memberi masukan ilmu pengetahuan dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya yang berkaitan dengan pengikatan deposito.

3. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk penambahan referensi sebagai bahan acuan bagi penelitian yang akan datang.

1.6.2 Manfaat praktis


(30)

2. Diharapkan dapat memberikan pengetahuan khususnya kepada nasabah penyimpan mengenai rahasia bank.

3. Dapat memberikan informasi bagi Notaris pentingnya menjaga kerahasiaan bank.

1.7 Landasan Teoritis

Landasan Teoritis adalah upaya mengidentifikasi teori umum atau teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data serta analisa. Oleh karena itu sebelum mengemukakan asumsi terhadap permasalahan, maka terlebih dahulu dikemukakan beberapa teori menurut para ahli.

Dalam penelitian ini teori yang digunakan ialah : 1.7.1 Teori perlindungan hukum

Teori ini dipergunakan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisis masalah kewajiban bank kepada nasabah penyimpan dan simpanannya berkaitan dengan rahasia bank, sehubungan dengan bank menjalankan fungsinya dalam menyalurkan dananya, yang berupa pemberian kredit dan guna melindungi dananya bank mengikat jaminan kredit tersebut dengan jaminan deposito, dan Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank. Berkaitan dengan itu, lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat tergantung kepada kepercayaan dari masyarakat. Tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, maka suatu bank tidak akan


(31)

menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan.

Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank didasarkan atas suatu perjanjian. Untuk itu tentu adalah suatu yang wajar apabila kepentingan dari nasabah yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum sebagai mana perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada bank. Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah ini, Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dilakukan melalui dua cara :

1) Perlindungan secara implisit.

Perlindungan ini diperoleh melalui : (1) peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, (2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya, (4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan infomasi risiko pada nasabah.


(32)

2) Perlindungan secara eksplisit, yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yng disimpan pada bank yang gagal tersebut.11

Perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dapat ditemukan dalam kewajiban bank menjaga kerahasiaan bank. Ada 2 teori tentang rahasia bank menurut Hermansyah yaitu :

1. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Mutlak (Absolutely Theory).

Menurut teori ini, bank mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia atau keterangan-keterangan mengenai nasabahnya yang diketahui oleh bank karena kegiatannya dalam keadaan apa pun juga, baik dalam keadaan biasa maupun keadaan luar biasa. Teori ini sangat menonjolkan kepentingan individu, sehingga kepentingan negara dan masyarakat sering terabaikan. Penetapan sanksinya sangat berat dapat dikenakan kepada pelanggar rahasia bank.12

2. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Relatif.

Menurut teori ini, bank diperbolehkan membuka rahasia bank dan memberikan keterangan kepada nasabahnya jika untuk kepentingan yang

11

Hermansyah II, op.cit, h. 144. 12

Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, h.6.


(33)

mendesak. Teori ini banyak dianut oleh bank-bank di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.13

Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan, demi tercapainya kepastian hukum. Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya seharusnya memang diberikan perlindungan. Perlindungan sebagaimana dimaksud :

1. Untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan persidangan.

2. Merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. 3. Menjaga minuta akta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta

atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. 1.7.2 Teori kewenangan

Kewenangan merupakan ketentuan dalam kekuasaan yang bisa digunakan oleh seorang pemegang kuasa untuk menjalankan roda kepemimpinannya. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah wewenang. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah wewenang digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya

13


(34)

digunakan dalam konsep hukum publik. Teori kewenangan ini dikemukakan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisa masalah tentang kewenangan Notaris dalam memberikan jasanya kepada bank dalam pembuatan akta pengikatan jaminan deposito.

Notaris adalah pejabat umum yang memperoleh wewenang secara atribusi karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN. Dalam kaitannya kewenangan dengan permasalahan yang diangkat adalah apabila Notaris yang diberi kewenangan dalam memegang teguh kerahasian keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya yang mengakibatkan para pihak mengalami kerugian, maka Notaris dapat dikatakan telah bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

1.7.3 Teori pertanggungjawaban hukum

Teori tanggung jawab hukum menurut Hans Kelsen yaitu “seseorang

bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti dia bertanggungjawab atas sesuatu sanksi

dalam hal perbuatan yang bertentangan”. Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan

bahwa :

Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kehilafan; dan kehilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan, walaupun tidak sekelas kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.


(35)

a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggungjawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;

b. Pertanggungjawaban kolektif berarti seorang individu bertanggungjawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.

c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian.

d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.

Berkaitan dengan tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil, dibedakan menjadi 4 hal yaitu :

1. Tanggung jawab Notaris secara perdata akan kebenaran materiil akta yang dibuatnya;

2. Tanggung jawab Notaris seara pidana akan kebenaran materiil akta yang dibuatnya;

3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris akan kebenaran materiil akta yang dibuatnya;

4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik Notaris.

Hubungan antara teori pertanggungjawaban ini dengan permasalahan yang penulis angkat adalah walaupun Notaris di dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi tidak dipungkiri di dalam seorang Notaris bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan didalamnya yang akan menimbulkan akibat hukum pada para pihaknya. Apabila Notaris melakukan kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan para pihak, maka Notaris tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahannya tersebut. Teori ini untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk mengetahui jenis pertanggungjawaban seperti apa yang sesuai diberikan kepada Notaris nantinya


(36)

apabila dia tidak memegang teguh kerahasian keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya.

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian

Dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Penelitian ini merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, yang beranjak dari kekaburan norma di dalam UU Perbankan.

1.8.2 Jenis pendekatan.

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) dan Pendekatan Konsep

(Conceptual Approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan

menelaah Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.14 Sedangkan Pendekatan konsep adalah pendekatan yang beranjak

14

Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, Cetakan ke-9, Prenamedia Group, Jakarta, h. 136.


(37)

dari pandangan-pandangan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dua pendekatan ini digunakan agar diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat. 1.8.3 Sumber bahan hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah sumber hukum primer, sekunder dan tersier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yakni bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum, terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau putusan pengadilan, peraturan dasar. Adapun sejumlah bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini antara lain :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan.

4) Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. 6) Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang dapat berupahasil penelitian,


(38)

buku-buku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa dan berita di internet. Terkait dengan penulisan karya tulis ini maka digunakan sumber dari kepustakaan seperti buku-buku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, dan ensiklopedia.

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum

Data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini diperoleh melalui pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi sumber hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang hendak di bahas. Sumber hukum sekunder yaitu buku-buku literatur ilmu hukum serta tulisan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. Serta sumber hukum tersier yaitu kamus hukum dan ensiklopedia.

1.8.5 Teknik analisis

Dalam penelitian ini bahan hukum dianalisis dengan :

1) Teknik Deskripsi yaitu teknik dasar analisis yang menguraikan apa adanya terhadap suatu posisi dari proposisi-proposisi hukum ataupun non hukum. Dalam teknik deskripsi dilakukan pada beberapa peraturan perundang-undangan yang menunjukkan adanya


(39)

kekaburan norma mengenai kedudukan Notaris dalam pengikatan deposito pada bank dilihat dari UU Perbankan dan UUJN

2) Teknik evaluasi berkaitan dengan penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

Teknik Argumentasi adalah teknik yang tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Teknik ini digunakan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan terhadap permasalahan yang dibahas.


(40)

BANK 2.1 Tinjauan Umum Tentang Notaris. 2.1.1 Pengertian dan dasar hukum Notaris

Profesi Notaris sudah sejak lama dikenal di Indonesia sejak masuknya hukum Belanda ke Indonesia. Dalam perkembangannya profesi Notaris semakin dibutuhkan dimasyarakat Indonsia khususnya dalam rangka membuat suatu alat bukti tertulis dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Munculnya lembaga Notaris yang dilandasi kebutuhan akan suatu alat bukti yang mengikat selain alat bukti saksi. Adanya alat bukti lain yang mengikat, mengingat alat bukti saksi kurang memadai lagi, sebab sesuai dengan perkembangan masyarakat, perjanjian-perjanjian yang dilaksanakan anggota masyarakat semakin rumit dan kompleks. Oleh karena itu, Notaris dan produk aktanya dapat diartikan sebagai upaya negara untuk menciptakan kepastian hukum dan perlindungan bagi anggota masyarakat.

Pentingnya fungsi, tugas dan profesi Notaris di Indonesia maka sejak zaman kolonial Belanda sampai awal kemerdekaan telah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Jabatan Notaris yaitu :

1. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/janji Jabatan Notaris (selanjutnya disebut PP No. 11 Tahun 1949);


(41)

3. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101; dan

4. Undang-Undang Nomor 33 tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan wakil Notaris Sementara (selanjutnya disebut UU. No. 33 Tahun 1954)

15

Berbagai ketentuan mengenai Jabatan Notaris dalam peraturan perundang undangan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, maka dari itu Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN).

Istilah Notaris berasal dari bahasa latin yaitu notarius yang berarti nama yang diberikan pada orang-orang Romawi dimana tugasnya menjalankan pekerjaan menulis atau orang-orang yang membuat catatan pada masa itu.16 Selain itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata notarius berasal dari perkataan nota dan literaria yang memiliki arti tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud yaitu tanda yang dipakai dalam penulisan cepat.

Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 UUJN merumuskan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan

15

R. Soegando Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, CV Rajawali, Jakarta, h. 35.

16


(42)

lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Pengertian dalam pasal tersebut mengalami perubahan, dalam Pasal 1 angka 1 perubahan UUJN yang

menyatakan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Dalam hal ini Notaris sebagai pejabat umum berfungsi menjamin otentisitas pada tulisan-tulisannya (akta), bahwa akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris merupakan akta otentik yang menjadi dokumen/arsip negara, dan perjanjian yang dinyatakan di dalamnya menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, demikian sesuai dengan Pasal 1337 jo Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata).

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus memiliki keterampilan profesional di bidang hukum, juga harus dilandasi dengan tanggungjawab dan moral yang tinggi maupun nilai-nilai dan etika, sehingga dapat menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan hukum dan kepentingan masyarakat17. Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh pada Kode Etik Jabatan Notaris sebab tanpa itu, harkat dan martabat profesionalisme akan hilang.18

17

Suhrawardi K. Lubis, 2008, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 34. 18


(43)

2.1.2 Kewenangan, kewajiban dan larangan Notaris.

Istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah

bevoegdheid” dalam istilah hukum Belanda. Istilah “bevoegdheid” digunakan baik

dalam konsep hukum publik maupun konsep hukum privat. Dalam hukum kita, istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik. Wewenang (atau sering pula ditulis dengan istilah kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.19 Tanpa adanya kewenangan sah seorang pejabat tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan sesuai dengan jabatannya. Dengan demikian setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, termasuk wewenang Notaris yang dibatasi oleh undang-undang yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber yaitu atribusi, delegasi dan mandat.20

Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. Van Wijk/Willemn konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut :

a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah.

b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

19

Habib Adjie, 2014, Hukum Notaris Indonesia, PT Rafika Aditama, Bandung, h.77. 20


(44)

c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan organ lain atas namanya.21

Sejalan dengan pengertian wewenang yang dikemukakan oleh Sadjijino, bahwa secara teoritis pemerintah memperoleh wewenang melalui tiga cara dan sekaligus melekat sebagai wewenangnya,yaitu :

a. Wewenang artibusi (atributie bevoegdheid), adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan;

b. Wewenang delegasi (delegatie bevogdheid), adalah wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain.

c. Wewenang mandat (mandaaat bevogdheid), adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan

Berdasarkan UUJN, Notaris sebagai pejabat umum memperoleh wewenang secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri.22 Jadi wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lainnya, misalnya Departemen Hukum dan HAM. Sehingga Notaris memiliki legalitas untuk melakukan perbuatan hukum yaitu membuat akta otentik. Kewenangan Notaris lebih lanjut diatur dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) sebagaimana dalam UUJN perubahan atas UUJN sebelumnya, yang dapat dibagi menjadi :

a) Kewenangan Umum Notaris; b) Kewenangan Khusus Notaris; dan

c) Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian.

21

Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 102. 22


(45)

Kewenangan utama atau umum yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN. Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan / atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.

Selain wewenang utama, Notaris juga memilik wewenang khusus untuk melakukan tindakan hukum sebagaimana diataur dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN perubahan atas UUJN sebelumnya. Dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN menyatakan

bahwa “selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Notaris berwenang pula :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. Membubuhkan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan


(46)

Kewenangan lain-lain ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN yang menyatakan bahwa “selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Salah satu wewenang Notaris yaitu, memberi penyuluhan hukum. Penyuluhan hukum yang diberikan seperti memberikan nasehat hukum dan memberi informasi dalam rangka pembuatan akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN perubahan atas UUJN sebelumnya. Seorang Notaris dalam membuat sebuah akta otentik tidak hanya menerima begitu saja apa yang diminta oleh pihak atau penghadap untuk dituangkan ke dalam akta, tetapi juga harus berperan aktif dengan membuat penilaian terhadap isi dari akta yang dimintakan kepadanya dan tidak perlu ragu untuk menyatakan keberatan atau menolak, jika kepentingan pihak yang memintanya tidak sesuai dengan kelayakan maupun undang-undang.

Notaris selaku pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta otentik, dalam menjalankan tugasnya melekat juga kewajiban yang harus dipatuhi, karena kewajiban tersebut merupakan suatu yang harus dilaksanakan. Kewajiban atau disebut juga dengan duty atau obligation atau responsibility (bahasa Inggris) atau

verplichting (bahasa Belanda) dikonsepkan sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan

oleh orang atau badan hukum atau Notaris dalam melaksanakan kewenangannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b UUJN menyatakan bahwa

“Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris”.


(47)

Mengenai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 16 UUJN di atas, maka Notaris dalam menjalankan tugasnya selain memiliki kewajiban yang harus dijalani juga yaitu Notaris harus tunduk pada larangan-larangan yang harus ditaati dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Larangan bagi Notaris merupakan aturan yang memerintahkan kepada Notaris untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun larangan tersebut tercantum dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN ditentukan secara jelas bahwa Notaris dilarang :

a. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;

b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. Merangkap sebagai pegawai negeri;

d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat;

f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II diluar tempat Kedudukan Notaris;

h. Menjadi Notaris pengganti;atau

i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

2.1.3 Rahasia jabatan Notaris

Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara, menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. Dalam proses pembangunan jabatan Notaris sangat dibutuhkan oleh masyarakat guna memperoleh


(48)

perlindungan demi tercapainya kepastian hukum. Salah satu bentuk perlindungan tersebut antara lain Notaris wajib untuk menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan/pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta, kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya.

Telah menjadi asas hukum publik bahwa seorang pejabat umum, sebelum menjalankan jabatannya dengan sah harus terlebih dahulu mengangkat sumpah (di ambil sumpahnya). Selama hal tersebut belum dilakukan, maka jabatan itu tidak boleh atau tidak dapat dijalankan dengan sah. Sesuai dengan isi dari Pasal 4 ayat (1) UUJN yang merumuskan “bahwa Notaris sebelum menjalankan jabatannya, wajib mengucapkan sumpah/ janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk”.

Kewajiban merahasiakan ini lebih luas karena meliputi keterangan yang diperoleh Notaris dalam pelaksanaan jabatannya, karena jabatan yang dipangku oleh Notaris adalah jabatan kepercayaan dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepercayaan kepadanya. Kewajiban menyimpan atau memegang rahasia ini dapat pula diketahui dari Pasal 4 ayat (2) poin ke-4 Sumpah Jabatan Notaris menyatakan bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaskanaan jabatan, selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan ini, etika profesi juga memberikan kewajiban bagi kaum profesional hukum sebagai aparat atau pejabat untuk memegang teguh rahasia profesi, menghormati martabat negara, pemerintah serta menghormati wibawa peradilan.


(49)

Dalam sumpah Jabatan Notaris menyatakan, Notaris berjanji di bawah sumpah untuk merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperolehnya. Pasal 16 ayat (1) huruf e juga menyatakan “bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban merahasiakan akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali

Undang-Undang menentukan lain”. Di dalam penjelasan Pasal tersebut dikatakan bahwa kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut. Sudah menjadi kewajiban Notaris untuk mempertahankan rahasia jabatan tersebut karena jika melakukan pelanggaran terhadap Pasal tersebut dapat dikenai sanksi dalam Pasal 85 UUJN.

Pelanggaran terhadap kewajiban menjaga kerahasiaan jabatan dapat mengakibatkan Notaris dikenakan sanksi oleh Majelis Pengawas Notaris, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UUJN antara lain :

a. teguran lisan; b. teguran tertulis;

c. pemberhentian sementara; d. pemberhentian dengan hormat;

e. pemberhentian dengan tidak hormat oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat.

Menurut Pasal 322 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya ditulis KUHP) juga menyatakan bahwa barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang ia wajib menyimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaannya, baik sekarang maupun yang dahulu, dipidana dengan pidana penjara


(50)

selama-lamanya 9 (sembilan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 600,- (enam ratus rupiah).

Apabila akibat dibukanya rahasia seseorang oleh Notaris atau karyawan Notaris, sehingga menjadi diketahui oleh masyarakat dan mengakibatkan kerugian bagi orang yang bersangkutan, maka Notaris tersebut dapat digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Kewajiban Notaris berdasarkan Pasal 4 dan 16 huruf f UUJN, Pasal 332 ayat (1) KUHP serta Pasal 1365 KUHPerdata yang telah dijabarkan di atas, maka sudah jelas bahwa Notaris harus merahasiakan yang berhubungan dengan jabatannya. Notaris berkewajiban untuk merahasiakan isi aktanya, bahkan Notaris wajib merahasiakan semua keterangan mulai dari persiapan pembuatan akta hingga selesainya pembuatan suatu akta.

2.1.4 Tanggung jawab Notaris

Notaris adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Negara berdasarkan ketentuan undang-undang untuk membuat akta otentik, guna memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis. Pemberian kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta sebagaiamana diatur dalam UUJN, menimbulkan pertanggujawaban atas penggunaan wewenang itu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (jika terjadi sesuatu dapat


(51)

dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).23 Dalam kamus hukum, tanggung jawab merupakan suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.

Dalam hal ini Notaris melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta otentik. Tanggung jawab Notaris sebagai profesi lahir dari adanya kewajiban dan kewenangan yang diberikan kepadanya, kewajiban dan kewenangan tersebut secara sah dan terikat mulai berlaku sejak Notaris mengucapkan sumpah jabatannya sebagai Notaris. Sumpah yang telah diucapkan tersebutlah yang seharusnya mengontrol segala tindakan Notaris dalam menjalankan jabatannya. Tanggung jawab etis Notaris berkaitan dengan norma moral yang merupakan ukuran bagi Notaris untuk menentukan benar-salahnya atau baik buruknya tindakan yang dilakukan dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab ini meliputi tiga hal yaitu Pertama, bilamana tindakan tersebut dilakukan dalam keadaan kemampuan akal budinya berfungsi secara normal. Kedua, dalam hal Notaris melakukan pelanggaran dengan kemauan bebas. Ketiga, adanya kesengajaan dengan maksud jahat yang dilakukan Notaris dan akibatnya menimbulkan kerugian.

23

Fajar, 2015, “Menelisik Arti Kata Bertangung Jawab Mendikbud”, URL :

http://m.kompasiana.com/fajarbaru/menelisik-arti-kata-bertanggung-jawab mendikbud_552abeddf17e61b938d623af. diakses tanggal 24 Juni 2015


(52)

Ruang lingkup dari tanggung jawab Notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya. Notaris tidak bertanggungjawab atas kelalaian dan kesalahan isi akta yang dibuat di hadapannya, melainkan Notaris hanya bertanggungjawab bentuk formal akta otentik sesuai yang diisyaratkan oleh undang-undang. Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materil dibedakan menjadi empat poin, yaitu :

1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materil terhadap akta yang dibuatnya.

2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya.

3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan Paraturan Jabatan Notaris terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya.

4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik Notaris.24

Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad, Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus bertanggungjawab, artinya :

1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak berkepentingan karena jabatannya.

24

Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h.16.


(53)

2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak para pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris menjelaskan kepada pihak yang berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu.

3. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna.25

2.2 Tinjauan Umum Tentang Deposito

2.2.1 Pengertian dan dasar hukum deposito dalam perbankan

Salah satu produk penghimpun dana yang ditawarkan oleh pihak bank kepada nasabah yaitu deposito. Kegunaan deposito ialah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (nasabah) yang mengalami kelebihan likuiditas, bisa berfungsi untuk menyimpanan dana sekaligus sebagai wahana investasi, karena biasanya produk ini menawarkan financial return.

Secara umum deposito dapat diartikan sebagai simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara pihak ketiga dengan bank yang bersangkutan.26 Saat ini simpanan deposito sangat digemari oleh para pengusaha karena mempunyai kekuatan untuk dijadikan jaminan kredit. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU Perbankan

25

Ibid, h.49 26


(54)

menyatakan bahwa “deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan

bank”. Jadi, penarikan simpanan yang berbentuk deposito ini waktunya sudah

ditentukan (waktunya tetap) disesuaikan dengan perjanjian antara nasabah penyimpan dana dengan bank pada saat pembukaan deposito yang bersangkutan. Peruntukan deposito ini lebih sebagai instrumen investasi daripada sebagai wadah menyimpan kelebihan likuiditas.

Dari pemaparan pengertian diatas ada dua unsur yang terkandung dalam deposito yaitu :

1. Penarikan hanya dapat dilakukan dalam waktu tertentu, yang berarti bahwa penarikan simpanan dalam bentuk deposito hanya dapat dilakukan oleh si penyimpan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah penyimban dengan bank;

2. Cara penarikan, dalam hal ini apabila batas waktu yang tertuang dalam perjanjian deposito tersebut telah jatuh tempo, maka si penyimpan dapat menarik deposito tersebut atau memperpanjang dengan suatu waktu yang diinginkannya.27

27


(55)

Secara khusus pengaturan perbankan syariah juga merumuskan pengertian deposito sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah), yaitu:

“Deposito adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah san/atau UUS”.

Sedangkan menurut ketentuan dalam Pasal 1 huruf f Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok Perbankan (selanjutnya disingkat UU Pokok-Pokok Perbankan) merumuskan bahwa “deposito adalah simpanan dari pihak ketiga kepada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara pihak ketiga dan bank yang bersangkutan”.

Karakter pokok dari deposito ialah waktu penarikannya yang tepat karena disebut fixed deposit dan umumnya memiliki waktu jatuh tempo yaitu 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan. Deposito merupakan simpanan atau penyerahan dana oleh nasabah untuk disimpan pada bank, dimana mengandung pengertian bahwa bank yang menerima simpanan berhak untuk memakai dana tersebut untuk keperluan pemenuhan keuangan operasinal bank, sedangkan hak bagi nasabah penyimpan dana (deposan) adalah menerima bunga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan giro atau jenis simpanan lainnya. Dalam praktek perbankan berlaku ketentuan bahwa nasabah penyimpan dana yang menyimpan dananya kepada


(56)

bank dilakukan bukan dengan cuma-cuma, artinya nasabah berhak untuk menerima bunga atas dana yang disimpan pada bank tersebut.

Keuntungan bagi masyarakat yang memiliki deposito yaitu masyarakat yang mempercayai dananya pada bank, adalah pemilik dapat menghimpun kekayaan secara diam-diam tanpa susah payah melakukan kegiatan usaha, sedangkan keuntungan bagi bank adalah penyediaan likuiditas untuk penarikan dana dapat diperhitungkan dan diperkirakan secara akurat.

2.2.2 Macam-macam deposito

Perkembangan yang demikian pesat di bidang perbankan tidak terlepas dari peran nasabah penyimpanan atau masyarakat yang menyimpan dananya pada bank. Dana bank yang berasal dari masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting bagi kegiatan perbankan. Dana yang berasal dari masyarakat luas adalah dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Jenis simpanan dalam bentuk deposito lebih disenangi oleh masyarakat atau nasabah penyimpan. Macam-macam deposito antara lain :

a. Deposito berjangka

Deopsito berjangka adalah simpanan yang mempunyai tanggal jatuh tempo yang telah ditetapkan, dibuktikan dengan instrumen tertulis, dan menghasilkan bunga yang tetap bagi nasabah selama usia kontrak. Dengan demikian, apabila waktu yang ditentukan telah habis, deposan dapat menarik depositonya atau memperpanjang dengan suatu periode yang dibutuhkan.


(57)

Deposito merupakan simpanan dana dari masyarakat kepada bank mempunyai karakteristik, antara lain :

1. Surat berharga yang diterbitkan oleh bank berdasarkan atas nama, sehingga tidak dapat diperjual-belikan;

2. Jangka waktu penarikannya telah ditentukan terlebih dahulu sesuai dengan yang diperjanjikan;

3. Bunga dibayar setiap bulan pada hari bayarnya atau sekaligus pada saat jatuh tempo;

4. Dapat dijadikan jaminan kredit;

5. Penyerahan hak cukup dengan cara cessie.28

Deposito Berjangka diadakan dengan tujuan untuk memberikan bimbingan pada masyarakat agar tidak begitu saja menghabiskan pendapatannya hanya untuk keperluan makan dan pakaian, tetapi juga agar memanfaatkan jumlah pendapatan yang terbatas tersebut untuk kepentingan yang lebih berguna. Selain itu dengan gerakan ini diharapkan agar lebih memperkenalkan bank kepada masyarakat umum. Disisi bank, sumber dana deposito berjangka ini digolongkan sebagai dana mahal dibandingkan dengan sumber dana lainnya. Namun keuntungannya bagi bank adalah penyediaan likuiditas untuk kebutuhan dana ini dapat diprediksi secara akurat. Jenis simpanan dalam bentuk deposito berjangka lebih disenangi oleh nasabah atau masyarakat, karena menawarkan tingkat bunga yang relative lebih tinggi dibandingkan dengan simpanan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari sumber dana yang umumnya didominasi oleh seposito berjangka.

28

Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 229.


(58)

b. Sertifikat deposito

Disamping deposito berjangka, produk penghimpun dana oleh bankj dapat melalui produk simpanan sertifikat deposito. Sertifikat deposito merupakan salah satu jenis simpanan dana masyarakat. Menurut Hermansyah, Pengertian sertifikat deposito adalah simpanan berjangka atas pembawa atau atas tunjuk, yang dengan izin Bank Indonesia dikeluarkan oleh bank sebagai bukti simpanan yang dapat diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.29

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 UU Perbankan, dikemukakan bahwa yang dimaksud Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan. Berbeda dengan deposito berjangka, sertifikat deposito adalah surat berharga perbankan yang diterbitkan atas tunjuk tanpa nama pembelinya dalam rupiah, yang merupakan suatu pengakuan hutang dari bank dan dapat diperjual belikan dalam pasar uang. Bedanya dengan deposito berjangka, bunga sertifikat deposito diberikan secara diskonto, yaitu dibayar dimuka sekaligus pada saat pembelian.

Dari pengertian yang ditentukan oleh UU Perbankan tersebut diatas, menunjkkan bahwa suatu sertifikat deposito mempunyai dua unsur yaitu :

a) Berbentuk deposito bersertifikat, yang berarti bahwa bentuknya berbeda dengan deposito berjangka. Deposito berjangka dikeluarkan atas nama, sedangkan sertifikat deposito dikeluarkan atas tunjuk.

29


(59)

b) Dapat dipindahtangankan, yang berarti bahwa dengan dikeluarkannya sertifikat deposito dalam bentuk atas tunjuk, maka bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan kepada pihak lain.30

Sertifikat deposito adalah simpanan dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank mempunyai karakteristik, antara lain :

1. Surat berharga yang ditertibkan oleh bank berdasarkan atas tunjuk/pembawa, sehingga dapat diperjual-belikan;

2. Merupakan instrumen pasar uang;

3. Jangka waktu dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan;

4. Bunga dapat dibayar (diskonto) atau dapat pula dibayarkan dibelakang pada saat jatuh tempo;

5. Dapat dijadikan jaminan kredit;

6. Jangka waktunya minimal 1 (satu) bulan dan maksimal 24 bulan; 7. Nilai nominal minimal Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).31

Pengaturan mengenai sertifikat deposito dapat dijumpai dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 21/48/KEP/DIR tanggal 27 Oktober 1998 tentang Penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Sesuai dengan ketentuan diatas, sertifikat deposito sebagai sarana untuk pengerahan dana masyarakat dan piranti pasar uang antar bank bersama-sama dengan sertifikat bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang, dapat diterbitkan oleh Bank atau Lembaga Keuangan Bukan Bank tanpa meminta persetujuan Bank Indonesia. Karena sertifikat deposito ini dapat diperjualbelikan atau diperdagangkan dalam pasar uang

30

Hermansyah I, op.cit, h.49 31


(60)

antar bank, maka untuk melindungi pemegangnya diperlukan keseragaman bentuk, isi, dan redaksi sertifikat deposito.32

c. Deposit On Call

Deposit On Call merupakan jenis deposito yang penarikannya harus dengan pemberitahuan sebelumnya. Umumnya jangka waktu Deposit On Call sangat pendek yaitu antara 7 hari sampai satu bulan.33

2.2.3 Deposito sebagai jaminan dalam pemberian kredit

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka mengingkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank sebagai lembaga perbankan mempunyai peranan yang sanagat penting salah satunya dalam peningkatan bidang perekonomian, ini ditandai dengan meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat yang berdampak langsung terhadap kebutuhan manusia yang semakin tinggi, namun peningkatan tersebut tidak selalu diikuti oleh kemampuan finansial dari pelaku ekonomi. Salah satu cara yang dilakukan pelaku ekonomi untuk memenuhi kebutuhan finansialnya adalah dengan cara meminjam dana atau modal yang dikenal dengan istilah kredit.

32

James Julianto Irawan, 2014, Surat Berharga Suatu Tinjauan Yuridis dan Praktis, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, h. 198.

33

Ismail, 2010, Akutansi Bank Teori dan Aplikasi Dalam Rupiah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.83.


(1)

berlaku lagi. Selanjutnya UU Pokok Perbankan digantikan dengan UU Perbankan 1998 perubahan atas UU Perbankan 1992. Dalam UU Perbankan 1998 mengatur masalah rahasia bank ini dalam beberapa pasal, yaitu Bab I Ketentuan Umum dalam Pasal 1 angka 16 dan Bab VII berjudul Rahasia Bank dalam asal 40, 41, 42, 43, 44, 45 dan 47. Pengaturan ini walaupun masih belum lengkap namun sedikit lebih baik dibandingkan UU Pokok Perbankan.

Ketentuan mengenai rahasia bank sebagaimana diatur dalam UU Perbankan 1998 masih terlalu singkat, sederhana dan kurang jelas, tetapi ruang lingkupnya sangat luas, sehingga belum menjawab secara tuntas permasalahan mengenai rahasia bank.

2. Rahasia bank Hanya Meliputi Penyimpan dan Simpanannya Saja

Walaupun UU Perbankan 1998 telah mengubah secara parsial UU Perbankan sebelumnya, tetapi perubahan yang dibawa sangatlah principal. Salah satu perubahan itu adalah perubahan penyempurnaan terhadap ketentuan rahasia bank yang dimaksud untuk mengakomodir kebutuhan dan tuntutan yang luas mengenai perlunya perubahan ketentuan rahasia bank. Beberapa perubahan yang mendasar pada ketentuan rahasia bank yang diatur dalam UU Perbankan 1992 sebagai berikut :

Pertama, ruang lingkup rahasia bank dipersempit hanya meliputi nasabah penyimpan dana dan simpanannya. Dulu ruang lingkup ini sangat luas meliputi : nasabah penyimpan dana, nasabah peminjam dana dari bank dan nasabah pengguna jasa bank. Kedua, dalam pengecualian ketentuan rahasia bank. Dalam Penjelasan Umum UU Perbankan 1998 perubahan atas UU Perbankan 1992 disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan fungsi kontrol sosial terhadap lembaga perbankan,


(2)

ketentuan mengenai rahasia bank yang selama ini sangat tertutup harus ditinjau ulang. Rahasia bank yang dimaksud merupakan salah satu unsure yang harus dimiliki oleh setiap Bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang mengelola dana masyarakat, tetapi tidak seluruh aspek yang ditatausahakan Bank merupakan hal-hal yang dirahasiakan.

2.3.3 Pihak-pihak yang berkewajiban merahasiakan rahasia bank

Pihak-pihak yang wajib memegang teguh rahasia bank menurut Pasal 40 UU Perbankan, yang berkewajiban memegang teguh rahasia bank ialah : Anggota Dewan Komisaris Bank, Anggota Direksi Bank, Pegawai Bank, Pihak terafiliasi lainnya dari bank. Dalam ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU Perbankan 1998 perubahan atas UU Perbankan 1992, dapat diketahui pihak-pihak yang berkewajiban untuk merahasiakan keadaan keuangan nasabah penyimpan dan simpanannya yaitu :

1. Anggota Dewan Komisaris Bank; 2. Anggota Direksi Bank;

3. Pegawai Bank;

4. Pihak terafiliasi lainnya dari bank

Menurut Pasal 1 butir 22 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang dimaksudkan dengan pihak terafiliasi ialah :

a. Anggota dewan komisaris, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank;

b. Anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, Pejabat atau karyawan Bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;


(3)

d. Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.

Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam pasal diatas, bahwa di satu pihak kepentingan masyarakat menghendaki supaya kewajiban rahasia bank dipegang teguh oleh perbankan, namun di pihak lain jangan sampai untuk hal-hal tertentu kepentingan masyarakat tersisihkan justru apabila kewajiban rahasia bank itu dilaksanakan dengan teguh. Untuk keperluan itu, masyarakat justru menginginkan agar untuk hal-hal tertentu kewajiban rahasia bank itu hendaknya dapat dikecualikan. Pengecualian untuk membuka rahasia bank diatur dalam UU Perbankan, dalam pasal 40 ayat (1) yaitu :

1. Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian kepada pejabat pajak berdasarkan perintah Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan (Pasal 41).

2. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara dapat diberikan pengecualian kepada pejabat Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara atas izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 41A).

3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dapat diberikan pengecualian kepada polisi, jaksa atau hakim atas izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 42).

4. Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 43).

5. Dalam rangka tukar-menukar informasi di antara bank kepada bank lain dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 44). Termasuk di dalam pengertian tukar menukar informasi antar bank itu adalah dalam penggunaan ATM bersama.

6. Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan secara tertulis dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 44A ayat (1)).

7. Ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia (Pasal 44A ayat (2)).


(4)

Sehubungan dengan pengecualian tersebut di atas, apabila pihak-pihak lain (selain yang telah ditentukan sebagai pihak-pihak yang boleh memperoleh pengecualian) meminta penjelasan mengenai keadaan keuangan suatu nasabah dari suatu bank, jelas jawabannya adalah tidak boleh.

2.3.4 Teori-teori mengenai rahasia bank dan perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan

Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi nasabah penyimpan dan simpanannya maupun bagi kepentingan bank itu sendiri, sebab apabila nasabah penyimpan tidak mempercayai bank dimana ia menyimpan dananya maka ia tidak akan mau menjadi nasabahnya. Oleh karena itu, sebagai suatu lembaga keuangan yang berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, sudah sepatutnya bank menerapkan ketentuan rahasia bank secara konsisten.

Ada 2 teori tentang rahasia bank yang dikemukakan oleh Muhammad Djumhana, dalam bukunya Hukum Perbankan di Indonesia, yaitu : rahasia bank yang bersifat mutlak dan rahasia bank yang bersifat nisbi.35

1. Teori rahasia bank bersifat mutlak, yaitu bahwa bank berkewajiban menyimpan rahasia nasabah yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apapun, biasa atau dalam keadaan luar biasa. Teori ini sangat menonjolkan kepentingan indivudu, sehingga kepentingan

35


(5)

Negara dan masyarakat sering terabaikan. Teori ini dianut oleh bank-bank Swiss.

2. Teori rahasia bank bersifat nisbi, yaitu bahwa bank diperbolehkan membuka rahasia nasabahnya jika untuk suatu kepentingan mendesak, misalnya demi kepentingan Negara. Teori ini banyak dianut oleh negara-negara di dunia dalam sistem perbankan mereka. Rahasia bank harus tetap dilaksanakan tetapi prinsip tersebut secara hukum tidak terlalu sulit untuk diterobos. Adanya pengecualian dalam ketentuan rahasia bank memungkinkan untuk kepentingan tertentu suatu badan atau instansi diperbolehkan meminta keterangan atau data tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Prinsip atau teori yang mendasari ketentuan rahasia bank di Indonesia, yaitu prinsip atau teori yang bersifat relatif, hal ini dapat dilihat dengan adanya pengecualian dalam ketentuan rahasia bank memungkinkan untuk kepentingan tertentu suatu badan atau instansi diperbolehkan meminta keterangan mengenai keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan pengecualian rahasia bank ini diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat di ketahui bahwa pada dasarnya rahasia bank menjadi perlindungan bagi nasabah penyimpan yaitu, sebagai sebuah jaminan yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabahnya baik secara


(6)

mutlak ataupun relatif, dalam rangka menjaga kepercayaan nasabah yang juga mempercayakan dananya kepada bank (timbal balik). Meskipun pada awalnya kelahiran rahasia bank lebih banyak untuk kepentingan bank itu sendiri.

Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana dibagi menjadi dua macam yaitu perlindungan tidak langsung dan perlindungan langsung.36

1. Perlindungan Tidak Langsung

Perlindungan secara tidak langsung dalam dunia perbankan terhadap kepentingan nasabah penyimpan dana terhadap segala resiko kerugian yang ditimbulkan dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Hal ini merupakan suatu upaya atau tindakan pencegahan yang bersifat internal oleh bank yang bersangkutan.

2. Perlindungan Langsung

Perlindungan secara langsung oleh dunia perbankan terhadap kepentingan nasabah penyimpan dana adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana secara langsung terhadap kemungkinan timbulnya resiko kerugian dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.

36