Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Menurunkan Kecanduan Facebook dengan Konseling Kelompok Behavioral pada Siswa Kelas 8E SMP N 10 Salatiga T1 132007018 BAB II

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1Konsep Dasar Teori Behavioral

Terapi perilaku adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan perilaku ke arah cara-cara yang adaptif. Dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, terapi perilaku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh perilaku baru, penghapusan perilaku yang maladatif, serta memperkuat dan mempertahankan perilaku yang diinginkan.(Corey, 2007).

Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap perilaku manusia itu dipelajari. Para behaviorist mengemukakan teori belajar: bagaimana belajar terjadi sebagai hasil dari pengaruh lingkungan. Bandura memberikan 3 konsep penting yang menjelaskan bagaimana teori belajar sosial mempengaruhi pembelajaran Miller, (dalam kusumadewi, 2009 ):

a. Belajar melalui observasi atau pengamatan bukan semata-mata sekedar meniru perilaku orang lain. Seorang anak dapat membangun perilaku baru secara simbolis dengan mendengarkan orang lain atau hanya dengan membaca. Perilaku overt (yang dapat dilihat/diobservasi) bahkan tidak begitu diperlukan agar pembelajaran dapat terjadi.

b. Meskipun reinforcement tidak diperlukan dalam pembelajaran, namun hal ini sangat membantu dalam hal pengaturan-diri pada anak. Mereka


(2)

dapat mengamati perilaku apa saja yang sedang terjadi di sekitar mereka dan membedakannya menjadi reinforcement dan punishment, lalu menggunakan pengamatan ini sebagai sumber informasi dalam membantu mereka membuat batasan-batasan, mengevaluasi performa mereka, membangun standar perilaku, menetapkan tujuan, kemudian memutuskan kapan menerapkan hasil pengamatan tersebut.

c. Reciprocal Determinism menjelaskan model perubahan perilaku. Terdapat tiga sumber pengaruh dalam teori ini yang saling berinteraksi: individu, perilakunya, dan lingkungan. Perlu diingat bahwa lingkungan tidak selalu memegang peranan penting. Yang paling penting untuk diketahui, perilaku yang ditampilkan oleh seseorang juga membantu membentuk lingkungannya, yang kemudian memberikan timbal balik terhadap dirinya. Pada Gambar 1. Dijelaskan bagaimana hubungan antara Behavior (B) = perilaku, Person (P) = individu atau kognitif/persepsi, dan Environment (E) = lingkungan,yang saling berpengaruh (interlocking) dan bergantung satu denganlainnya (interdependent).

p

e b

Dalam masa perkembangan, remaja menjadi lebih terampil dalam pembelajaran melalui pengamatan (observational learning). Observational Learning atau yang biasa dikenal dengan modelling memiliki asumsi dasar, yaitu perilaku individu sebagian besar diperoleh dari hasil belajar melalui observasi atau hasil pengamatan perilaku orang lain (yang menjadi role model). Fischer & Smith(dalam kusumadewi, 2009) kecanduan bisa merupakan hasil observasi penggunaan substansi dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh role model seperti orangtua. Menurut beberapa teori kecanduan, perilaku kecanduan dapat ditimbulkan oleh adanya penggunaan substansi bersama dengan teman sebaya dan orang lain.


(3)

Thoresen (Shertzer & Stone, 1980) sebagaimana dikutip oleh Surya (1988), memberi ciri-ciri pendekatan behavioral sebagai berikut:

a) Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat dirubah.

b) Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat membantu dalam merubah perilaku-perilaku yang relevan; prosedur-prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku klien dengan merubah lingkungan.

c) Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement” dan “social modeling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling.

d) Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku-perilaku khusus klien diluar wawancara konseling.

e) Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didisain untuk membantu klien dalam memecahkan masalah khusus.

2.2Tujuan Konseling Prilaku

Loekmono (2003) menjelaskan tujuan konseling perilaku yang utama adalah menyediakan keadaan-keadaan dan lingkungan-lingkungan agar perilaku yang tidak sesuai dapat dihapuskan sesudah itu konseli akan diajar untuk menguasai perilaku baru yang sesuai untuk menggantikan perilaku yang tidak sesuai itu. Menurut konselor konseling perilaku masa kini, tujuan yang hendak dituju sebenarnya ditentukan oleh konseli sendiri di dalam suasana hubungan yang hangat. Peran konselor adalah membantu konseli memilih tujuan yang hendak dituju, agar sesuai untuk dirinya dan diterima oleh masyarakat.


(4)

Cormier dan Cormier (dalam Loekmono) menjelaskan bahwa proses penentuan tujuan ini biasanya dilakukan bersama antara konselor dengan konseli menurut urutan berikut:

a) Konselor menjelaskan sifat dan msksud tujuan kepada konseli. b) Konseli menentukan perubahan atau tujuan khusus yang diinginkan. c) Konseli dan konselor mengkaji dan meilai kesesuaian tujuan yang

dinyatakan oleh konseli.

d) Secara bersama mengidentifikasi resiko-resiko yang berhubungan dengan tujuan itu dan menilai resiko-resiko itu.

e) Secara bersama juga mendiskusikan kebaikan yang diperoleh dai tujuan itu.

f) Berdasarkan informasi yang diperoleh mengenai tujuan yang dinyatakan oleh konseli, konselor dan konseli akan membuat keputusan sebagai berikut:

a. Untuk meneruskan konseling atau,

b. Untuk mempertimbangkan kembali tujuan yang dinyatakan oleh konseli atau

c. Untuk merujuk konseli pada konselor lain agar keinginan dan hasrat konseli tidak kosong dan konselor sendiri tidak merasa hampa dan kecewa.

Dari uraian diatas bahwa dalam konseling perilaku yang dipentingkan adalah perubahan perilaku, karena bagi pendukung konseling perilaku, perubahan akan dengan sendirinya menghasilkan perubahan-perubahan bagian lain seperti emosi dan kognitif.

2.3Peranan Konselor dan Teknik Prosedur Konseling Perilaku

Menurut Loekmono (2003) ada empat peranan utama yang harus dimainkan konselor konseling perilaku yaitu,

a) Dalam konseling perilaku konselor sebagai pakar, guru yang aktif mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang saintifik yang dapat dipakai untuk mengobati masalah-masalah yang dihadapi konselinya. b) Konselor dijadikan model, atau contoh teladan untuk konseli.


(5)

c) Konselor hendaknya terampil dalam semua ataupun dengan sebagian besar teknik yang dipakai dalam konseling perilaku yang beraneka ragam. d) Konselor juga harus mempunyai orientasi yang baik ke arah penyelidikan

dan statistik agar ia dapat melaksanakan penilaian dengan obyektif. Salah satu sumbangan terapi perilaku adalah pengembangan prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan untuk diperbaiki melalui metode ilmiah. Dalam terapi perilaku, teknik-teknik spesifik yang beragam bisa digunakan secara sistematis dan hasil-hasilnya bisa dievaluasi. Teknik-teknik ini bisa digunakan jika saatnya tepat untuk menggunakannya, dan banyak diantaranya yang bisa dimasukkan ke dalam praktek psikoterapi yang berlandaskan model-model lain.

Menurut Loekmono (2003) Ada tiga hal yang menarik mengenai teknik dan prosedur yang terdapat di dalam konseling perilaku:

a) Konseling perilaku mempunyai banyak teknik dan strategi yang telah diusahakan dan diketahui efektif.

b) Konseling perilaku mengutamakan perilaku yang nyata atau overt, maka dengan mudah dapat diketahui keberhasilannya atau kegagalan suatu teknik atau strategi tertentu.

c) Konselor perilaku tidak membelenggu seorang konselor. Konselor dapat mengkombinasikan teknik-teknik dan strategi-strategi untuk menjadikan pendekatan elektrik.

Dalam penelitian yang akan dilakukan, peneliti memfokuskan kepada teknik latihan asertif, bermain peran, percontohan dan relaksasi

2.4Strategi Yang Dipakai Dalam Konseling Kelompok Behavioral

Pembentukan Perilaku Model dapat digunakan untuk membentuk perilaku baru pada klien, dan memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini


(6)

konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.

Latihan asertif (assertive training) adalah salah satu teknik dalam tritmen ganguan perilaku dimana konseli diinstruksikan, diarahkan, dilatih, serta didukung untuk bersikap asertif dalam menghadapi situasi yang tidak nyaman atau kurang menguntungkan bagi dirinya. Menurut Corey (2007) perilaku asertif adalah ekspresi langsung, jujur, dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa kecemasan yang beralasan. Langsung artinya pernyataan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat terfokus dengan benar. Jujur berarti pernyataan dan gerak-geriknya sesuai dengan apa yang diarahkannya. Sedangkan pada tempatnya berarti perilaku tersebut juga memperhitungkan hak-hak dan perasaan orang lain serta tidak melulu mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan Rees & Graham (dalam Sunardi, 2010) menyatakan bahwa inti dari latihan asertif adalah penanaman kepercayaan bahwa asertif dapat dilatihkan dan dikembangkan, memilih kata-kata yang tepat untuk tujuan yang mereka inginkan, saling mendukung, pengulangan perilaku asertif dalam berbagai situasi, dan umpan balik bagi setiap peserta dari trainer maupun peserta. Menurut pendapat Corey (2007), manfaat latihan asertif yaitu membantu bagi orang-orang yang:


(7)

a. Tidak mampu mengungkapkan kemarahan dan perasaan tersinggung.

!

c. Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak.”

d. Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya.

e. Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.

Loekmono (2003) menjelaskan beberapa strategi yang harus dilakukan dalam memberikan pelatihan asertif, antara lain;

a. Pengajaran – konselor menerangkan kepada konseli perilaku khusus yang diharapkannya;

" # ! $ ! $

! %

& ' & ! # & !

( ! & !

%

) # !

! ! ! ! %

e. Penguatan sosial – dari waktu ke waktu konseli akan diberi pujian; f. Tugas atau PR - konseli akan diberi tugas untuk dikerjakan

Shaffer dan Galinsky (dalam Corey, 2007) menerangkan bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif dibentuk dan berfungsi. Kelompok terdiri atas 8 – 10 anggota memiliki latar belakang sama, dan session terapi berlangsung selama dua jam. Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan pengarah permainan peran, pelatih, pemberi kekuatan, dan sebagai model peran. Dalam diskusi kelompok, terapis bertindak sebagai ahli, memberikan bimbingan dalam situasi-situasi bermain peran, dan memberikan umpan balik kepada para anggota.


(8)

Selanjutnya kelompok-kelompok terapi perilaku lainnya, kelompok latihan asertif ditandai dengan stuktur yang mempunyai pemimpin. Secara khas sessions berstruktur sebagai berikut:

a) Session pertama, yang dimulai dengan pengenalan diktatik tentang kecemasan sosial yang tidak realistis, pemusatan pada belajar menghapuskan responss-responss internal yang tidak efektif yang telah mengakibatkan kekurang tegasan dan pada belajar peran perilaku baru yang asertif.

b) Session kedua, bisa memperkenalkan sejumlah latihan relaksasi, dan masing-masing anggota menerangkan perilaku yang spesifik dalam situasi-situasi intrapersonal yang dirasakan menjadi masalah. Para anggota kemudian membuat perjanjian untuk menjalankan perilaku menegaskan diri yang semula mereka hindari.

c) Session ketiga para anggota menerangkan tentang perilaku menegaskan diri yang telah dicoba dijalankan oleh mereka dalam situasi-situasi kehidupan nyata. Mereka berusaha mengevaluasi dan jika mereka belum sepenuhnya berhasil, kelompok harus menjalankan permainan peran.

d) Session keempat penambahan latihan relaksasi, pengulangan perjanjian untuk menjalankan perilaku menegaskan diri, yang diikuti oleh evaluasi.

e) Session kelima bisa disesuaikan dengan kebutuhan anggota. Sejumlah kelompok sering berfokus pada permainan peran tambahan, evaluasi, dan latihan, sedangkan kelompok lainnya berfokus pada usaha mendiskusikan sikap-sikap dan perasaan yang telah membuat perilakumenegaskan diri sulit dijalankan.

Reed, dkk (dalam Nursalim, 2005) menggambarkan latihan asertif dapat meliputi tiga bagian utama yaitu pembahasan materi, latihan atau bermain peran, dan praktek nyata. Selanjutnya Jakubowski & Spector (1973) menambahkan seperangkat teknik luas, diantaranya adalah reductions, behavioral rehearsal, sosial modeling, positive reinforcement, cognitive restructurin, dan irrational ideas. Lebih lanjut Lange n Jakubowski (1976) mengemukakan prosedur dan tahap tentang latihan asertif, meliputi


(9)

a. Menghapus rasa takut berlebihan dan keyakinan tidak logis. Rasa takut yang berlebihan termasuk ketakutan yang dapat menyakiti perasaan orang lain, ketakutan dipandang oleh orang lain bahwa perilaku tegas sebuah sikap yang kurang sopan dan tidak menghargai orang lain. Ketakutan yang berlebihan dan keyakinan yang irasional sering menghentikan individu untuk bersikap tegas.

b. Menerima mengemukakan fakta-fakta masalah yang akan dihadapi. Seorang individu harus menerima bahwa setiap orang harus bersikap tegas dalam mengekspresikan pikiran, perasaan, keyakinannya secara jujur.

c. Bersikap untuk asertif sendiri. Latihan bersikap tegas sendiri biasanya menggunakan refleksi/permainan peran jiwa dimana dalam situasi ini individu akan lebih bisa bersikap asertif, memusatkan pada perilaku nonverbal yang penting dalam ketegasan.

d. Mengembangkan sikap asertif dalam situasi sebenarnya atau dalam kehidupan sehari-hari. Menyediakan waktu untuk konseli dalam bermain peran dan mendapat umpan balik dari kelompok.

e. Membawa perilaku asertif dalam kehidupan sehari-hari

2.5Facebook

Facebook adalah sebuah sarana sosial yang membantu masyarakat untuk berkomunikasi secara lebih effisien dengan teman-teman, keluarga dan teman sekerja. Perusahaan facebook mengembangkan teknologi yang memudahkan dalam sharing informasi melewati social graph, digital mapping kehidupan real hubungan sosial manusia. Siapun boleh mendaftar di facebook dan berinteraksi dengan orang-orang yang mereka kenal dalam lingkungan saling percaya.” (Facebook.com; 2009). Facebook didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa Harvard kelahiran 14 Mei 1984 dan mantan murid Ardsley High School. Pada awal tahun 2009 mark Zuckherberg mendapat penghargaan Young Global Leaders dari World Economic Forum. Ia termasuk 230 orang muda dari


(10)

71 negara yang dianggap berpengaruh bagi dunia. Ia adalah programmer computer dan pengusaha muda yang bersal dari negri Paman Sam Amerika serikat. Ia menjadi kaya di umurnya yang relative muda karena berhasil mendirikan dan mengembangkan situs jaringan sosial faceboook di saat masih kuliah dengan bantuan teman satu kampusnya bernama Andrew McCollum dan teman sekamarnya Dustin Moskovitsz serta Crish Hughes. (Syukur, 2009)

Pada awal masa kuliahnya ! * ini, keanggotaannya masih

dibatasi untuk mahasiswa dari + , . Dalam dua bulan selanjutnya, keanggotaannya diperluas ke sekolah lain di wilayah - ! (- ! , , . ! - ! , (/, / $! ), " & ! , 0! $ , 12., 1 ! * ! , dan semua

sekolah yang termasuk dalam ( 3 . Banyak ! lain yang

selanjutnya ditambahkan berturut-turut dalam kurun waktu satu tahun setelah peluncurannya. Akhirnya, orang-orang yang memiliki alamat !4 suatu ! (seperti: .edu, .ac, .uk, dll) dari seluruh dapat juga bergabung

dengan ! ini.

Facebook merupakan jaringan sosial yang paling diminati, menurut statistic, pada 16 maret 2009 jam 14.00 WIB, ada 2.235.280 orang menyatakan diri sebagai warga Indonesia di Facebook. Karena peminatnya banyak, maka facebook merekrut 350 karyawan yang saat ini berkantor di Palo Alto, California dan New York. Facebook juga mengklaim sebagai situs nomor satu dalam hal layanan berbagai gambar di internet, dan pada jam-jam ramai mereka juga


(11)

menduduki peringkat kedua, ketiga, dan empat. Terkait dengan jumlah gambar, facebook menerima lebih dari 14 juta foto yang diunggah setiap harinya angka ini terus meningkat karena tidak ada batas jumlah foto yang dapat diunggah oleh para anggotanya, dan setiap harinya ada saja anggota baru yang mendaftar. (Syukur, 2009)

Dominowski (2009) mengartikan facebook adalah situs sederhana yang mudah digunakan dan mempunyai efek untuk mencandu. Efek mencandu dapat disebabkan 2 hal yang utama. Pertama, karena kita memperoleh teman dan mendapat perhatian oleh orang lain. Kedua, seseorang senang menjadi orang yang dikenal dan diakui keberadaannya. Karena itu, akan mudah menjadi pecandu jejaringan sosial di internet bila seseorang memiliki kebutuhan besar akan perhatian, penghargaan diri dan eksistensi dirinya.

2.6Kecanduan internet

Cooper (dalam diyah, 2009) berpendapat bahwa kecanduan merupakan perilaku ketergantungan pada suatu hal yang disenangi. Individu biasanya secara otomatis akan melakukan apa yang disenangi pada kesempatan yang ada. Orang dikatakan kecanduan apabila dalam satu hari melakukan kegiatan yang sama sebanyak lima kali atau lebih.

Kecanduan merupakan kondisi terikat pada kebiasaan yang kuat dan tidak mampu lepas dari keadaan itu, individu kurang mampu mengontrol dirinya sendiri untuk melakukan kegiatan tertentu yang disenangi. Seseorang yang


(12)

kecanduan merasa terhukum apabila tidak bisa memenuhi hasrat kebiasaannya. Kecanduan internet di antaranya terjerat game, jejaring sosial, akses situs porno, akses bermacam informasi, serta aplikasi lain.

Kecanduan internet, atau dikenal sebagai kecanduan komputer, kecanduan online, atau gangguan kecanduan internet (IAD), mencakup berbagai masalah impuls-kontrol, termasuk:

a) Cybersex Addiction – menggunakan secara kompulsif dalam hal pornografi di internet, chat room dewasa, dan bisa berdampak negatif terhadap kehidupan intim dalam hubungan yang nyata.

b) Cyber-Relationship Addiction - kecanduan untuk jaringan sosial, dan chat room, sehingga menjadikan teman online lebih penting dari pada kehidupan hubungan yang nyata dengan keluarga atau teman-teman.

c) Net Compulsions – kecanduan judi di internet, seprerti penanaman saham, kecanduan lelang secara online.

d) Information Overload - web surfing secara kompulsif atau pencarian database, yang menyebabkan produktivitas kerja rendah dan interaksi sosial yang kurang dengan keluarga dan teman-teman.

e) Computer Addiction – menggunakan komputer secara obsesif, seperti Solitaire atau Minesweeper, atau pemrograman komputer obsesif.

Pada penelitian ini lebih kepada Cyber-Relationship addiction dilakukan dengan penggunaan facebook. Ketika digunakan secara bertanggung jawab, internet bisa menjadi tempat yang bagus untuk berinteraksi sosial, bertemu orang baru, dan bahkan mulai hubungan romantis. Namun, semakin banyak waktu yang digunakan untuk interaksi secara online di facebook, membuat individu melalaikan tugas dan hubungan secara langsung. Masalah lain adalah bahwa sekitar 50% orang online berbohong tentang usia mereka, berat badan, pekerjaan, status perkawinan, atau jenis kelamin. Ketika teman-teman online bertemu dan


(13)

orang yang diharapkan tidak sesuai dengan yang di harapkan bisa menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi tiap individu.

2.7Gejala Kecanduan Facebook

Lipari (http://answersto.wordpress.com/2010/04/09/facebook-addiction-disorder-fad-signs-and-symptoms/) seorang psikolog klinis di University of California, Los angles mengemukakan tanda- tanda kecanduan facebook antara lain :

a) Sulit tidur pada malam hari, lebih banyak menggunakan waktu pada malam hari untuk login facebook dan akan mempengaruhi aktivitas hari esoknya, contoh: bangun kesiangan, mengantuk

b) Pengunaan facebook yang berdurasi lebih dari satu jam. Dapat menimbulkan keasyikan yang tidak dapat diperoleh dari kegiatan lain. Kemudian semakin hari semakin bertambah waktu yang digunakan untuk Facebook. Namun untuk rata-rata orang biasa mengakses Facebook hanya setengah jam per harinya.

c) Menjadi terobsesi dengan Facebook, mengabaikan berapa banyak ongkos yang dikeluarkan.

d) Melalaikan tugas dan pekerjaan. Hal ini berarti user tidak melakukan atau menunda pekerjaannya, melainkaan menghabiskan waktu untuk Facebook-an e) Dapat menimbulkan stres dan gejala depresi

Masalah adiksi bisa ditinjau dari addiction assessment dari Young (1996). Empat aspek utama yang dilihat dalam hal ini adalah aspek application, emotion, cognition, life event. Young (1996) mencatat bahwa pecandu biasanya menjadi kecanduan pada aplikasi tertentu karena menggunakan aplikasi tersebut dalam waktu yang berlebihan. Dalam hal ini aplikasi yang digunakan adalah facebook, misalnya seberapa lama waktu yang digunakan pengguna facebook dalam seminggu. Aspek emosi memberikan perasaan yang memuaskan dan


(14)

menimbulkan sensasi yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain. Dengan kata lain sensasi akan menghambat perasaan sakit, ragu, dan ketidaknyamanan. Efek sensasi pengalihan perhatian akan menyerap perhatiaan pengguna facebook yang mengalami kecanduan. Misalnya pecandu menemukan perasaan menyenangkan ketika online berbeda dengan yang mereka rasakan ketika harus ofline. Pecandu semakin jauh dengan penggunaan online maka semakin menjadikan perasaan yang tidak menyenangkan dalam dirinya. Secara kognisi seseorang akan menilai bahwa facebook penting, misalkan sebagai media untuk menjalin relasi, dan aspek terakir adalah lifeevent yang mengacu pada kejadian-kejadian dalam hidup individu. Individu akan rentan dengan adiksi bila dia merasakan adanya ketidak puasan dengan hidupnya.

Young (1996) menjelaskan symptom kencanduan internet yang telah diadaptasikan dalam kecanduan internet (facebook) dan minimal 3 karakter tersebut dialami selama setahun, sympom yaitu :

a) Tolerance kebutuhan untuk online selama mungkin untuk kepuasan sendiri b) Timbul gejala penarikan diri yang mengakibatkan 'cacat' dalam memenuhi

fungsi sosial, personal, atau pekerjaan. Ini termasuk kecemasan, gelisah, mudah tersinggung, bergetar, menggigil, gerakan mengetik tanpa sadar, obsesif, hingga berkhayal atau mimpi mengenai Internet

c) Membutuhkan waktu yang banyak untuk online dan menyediakan waktu khusus untuk mengunakan internet.

d) Internet (facebook) digunakan untuk melarikan diri dari perasaan bersalah, tak berdaya, kecemasan, atau depresi.

e) Mengurangi kegiatan penting, baik dalam pekerjaan, sosial atau rekreasional, demi menggunakan internet (facebook).

f) Merasa gelisah, murung, cepat marah ketika harus menghentikan penggunaan internet (facebook)

g) Mencoba kesulitan untuk berhenti dan berbohong kepada orang tua dan teman serta mengabaikan pengeluaran ongkos untuk internet (facebook).


(15)

Dampak Kecanduan Facebook

Sigman (http://episentrum.com/artikel-psikologi/efek-psikologis-facebook-bagi-kesehatan-mental/) menjelaskan akibat dari penggunakan facebook secara berlebihan, Kerusakan fisik sangat mungkin terjadi. Bila menggunakan mouse atau memencet keypad ponsel selama berjam-jam setiap hari, individu dapat mengalami cidera tekanan yang berulang-ulang. Penyakit punggung juga merupakan hal yang umum terjadi pada orang-orang yang menghabiskan banyak waktu duduk di depan meja komputer. Jika pada malam hari individu masih sibuk mengomentari status teman , individu juga kekurangan waktu tidur. Kehilangan waktu tidur dalam waktu lama dapat menyebabkan kantuk berkepanjangan, sulit berkonsentrasi, dan depresi dari sistem kekebalan. Seseorang yang menghabiskan waktunya di depan komputer juga akan jarang berolahraga sehingga kecanduan aktivitas ini dapat menimbulkan kondisi fisik yang lemah, bahkan obesitas.

Selanjutnya Sigman menjelaskan, Suatu hubungan mulai menjadi kering ketika para individunya tak lagi menghadiri social gathering, menghindari pertemuan dengan teman-teman atau keluarga, dan lebih memilih berlama-lama menatap komputer (atau ponsel). Ketika akhirnya berinteraksi dengan rekan-rekan, mereka menjadi gelisah karena “berpisah” dari komputernya.

Pengguna akhirnya tertarik ke dalam dunia artifisial. Seseorang yang teman-teman utamanya adalah orang asing yang baru ditemui di Facebook atau Friendster akan menemui kesulitan dalam berkomunikasi secara face-to-face.


(16)

Perilaku ini dapat meningkatkan risiko kesehatan yang serius, seperti kanker, stroke, penyakit jantung, dan dementia (kepikunan).

2.8Remaja

Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity . Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa.

Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.

2.9Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja

Remaja adalah tingkat perkembangan anak yang telah mencapai jenjang menjelang dewasa. Pada jenjang ini, kebutuhan remaja telah cukup kompleks,


(17)

cakrawala interaksi sosial dan pergaulan remaja telah cukup luas. Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.

Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).

Perkembangan remaja diwujudkan dalam bentuk kelompok, baik besar maupun kelompok kecil. Dalam memilih kelompok, remaja di dasari oleh berbagai penimbangan, seperti moral, sosial ekonomi, minat dan kesamaan bakat dan kemampuan. Masalah umum yang dihadapi oleh remaja adalah penyesuaian diri. Sumber-sumber yang dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri adalah lingkungan sosial, dimana remaja tumbuh kembang, seperti keluarga dan tetangga yang merupakan lingkungan masa kecil, juga kelompok-kelompok yang terbentuk ketika mereka memasuki masa remaja. Kelompok-kelompok itu disebut sebagai reference group dan melaui kelompok tersebut remaja dapat memperoleh nilai-nilai dan peran yang dapat menjadi acuannya. Kelompok tersebut dapat


(18)

membantu remaja untuk mengetahui dirinya dalam perbandingannya dengan orang-orang lain sehingga mereka dapat membandingkan dirinya dengan kelompoknya, nilai-nilai yang ada pada dirinya dengan nilai-nilai dalam kelompok yang selanjutnya akan berpengaruh kepada pertimbangan-pertimbangan apakah dia akan menerima atau menolak nilai-nilai yang ada dalam kelompok tersebut. Remaja dalam kehidupan sosialnya akan dihadapkan kepada peran yang ditawarkan oleh lingkungan keluarga maupun kelompok sebaya, yang kadang-kadang membingungkan dan sering menimbulkan benturan-benturan, misalnya menjadi anggota kelompok musik tetapi harus menjadi siswa teladan. Maka dalam hal ini remaja harus mampu mengintergrasikan berbagai peran tersebut ke dalam diri pribadi (identitas diri) dan apabila terjadi benturan-benturan berbagai tuntutan peran harus dapat diselesaikan

2.10 Remaja dan Kelompok Sebaya

Dalam perkembangan sosialnya remaja maka remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebaya. Pada umumnya remaja menjadi anggota kelompok usia sebaya (peer group). Kelompok sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja. Kelompok sebaya juga wadah untuk belajar kecakapan-kecakapan sosial, karena melalui kelompok remaja dapat mengambil berbagai peran. Di dalam kelompok sebaya, remaja menjadi sangat bergantung kepada teman sebagai sumber kesenangannya dan keterikatannya dengan teman sebaya


(19)

sangat kuat. Kecenderungan keterikatan (kohesi) dalam kelompok tersebut akan bertambah dengan meningkatnya frekuensi interaksi di antara anggotanya.

Santrock (2002) menyebutkan besarnya peranan teman sebaya dalam kehidupan remaja mendorong remaja untuk membentuk kelompok-kelompok usia sebaya, kelompok tersebut bisa merupakan kelompok yang besar karena anggotanya banyak, yang disebut crowd tetapi dapat juga kelompok kecil yang disebut sebagai clique. Kelompok besar biasanya terdiri dari beberapa clique. Karena jumlah anggotanya sedikit, maka klik mempunyai kohesi kelompok yang lebih tinggi. Di dalam pembentukan kelompok juga akan diikuti dengan adanya perilaku konformitas kelompok, di mana remaja akan berusaha untuk dapat menyesuaikan dan menyatu dengan kelompok agar mereka dapat diterima oleh kelompoknya.

Di dalam kelompok besar akan terjadi persaingan yang berat, masing-masing individu bersaing untuk bisa tampil menonjol. Oleh karena itu sering terjadi perpecahan yang disebabkan oleh menonjolnya kepentingan pribadi tiap orang.

Di dalam kelompok kecil, proses penyesuaian diri, kemampuan intelektual, dan emosi mempunyai pengaruh yang kuat. Dalam kelompok yang terdiri dari pasangan remaja berbeda jenis pertimbangan faktor masalah agama dan suku sering menjadi masalah rumit.


(20)

a) Cita-cita dan idealisme yang baik, terlalu menitikberatkan pikiranya sendiri tanpa memikirkan akibat dan tanpa memperhitungkan kesulitan yang menyebabkan suatu persoalan tidak terselesaikan

b) Kemampuan berfikir dengan pendapat sendiri, masih sulit membedakan pokok perhatian orang lain dari pada tujuan perhatian diri sendiri. Pandangan dan penilaian diri sendiri dianggap sama dengan pandangan dan penilaian orang lain mengenai dirinya.

Proses penyesuaian diri yang dilandasi sifat egonya dapat menimbulkan reaksi lain dimana remaja itu justru melebih-lebihkan dirinya dalam penilaian diri. Mereka merasa dirinya ampuh dan hebat sehingga aktivitas yang dilakukan pada umumnya membahayakan remaja yang biasanya masih bersifat komfromis, kemudian tertarik pada keinginan terhadap hal yang baru dapat menyebabkan perilaku yang berisiko merusak diri (self-destructive). Pendapat Elkind (Beyth-Marom, dkk., 1993) bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri, Umumnya remaja biasanya dipandang memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang dipandang berbahaya tanpa kemungkinan mengalami bahaya itu.

2.11 Temuan Penelitian Tentang Latihan Asertif Terhadap Kecanduann Facebook


(21)

Individu yang terlibat atau bergabung dengan sebuah kelompok teman sebaya seringkali tidak berani untuk menolak atau menanggapi norma-norma tertentu di dalam kelompok tersebut yang biasanya ditentukan oleh pimpinan kelompok (Monks, 1982). Remaja yang ketakutan ditinggalkan kelompok lebih rentan ditinggalkan terhadap pengaruh kelompok teman sebaya, sehingga apapun yang dilakukan teman kelompok mereka cenderung untuk mengikutinya atau dengan kata lain mereka cenderung kurang asertif. Remaja yang suka berinteraksi menjalin hubungan dengan teman sebaya , mereka cenderung lebih aktif dan biasanya banyak memiliki teman sebaya dan sering berinteraksi dengan kelompok, hal tersebut membuat ia sangat mementingkan kelompok sehingga akan timbul perasaan takut ditinggalkan kelompok. Menurut penelitian oleh Suherman dan Yuanita (2000) seorang remaja dengan kecenderungan ekstravet lebih menunjukan perilaku penyalahgunaan heroin dibandingkan remaja yang memilii kencenderungan introver. Dalam hal ini orang yang kurang asertif cenderung untuk mengkonsumsi heroin dan dapat dikatakan sebagai kecanduan heroin. Kecanduan tidak hanya mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan non-drugs atau obat-obatan (Young, 1998). Selanjutnya kecanduan pada remaja yang kurang asertif bisa dalam penggunaan facebook.

Catur (2009) mengatakan bahwa rata-rata pengguna internet di perkotaan 60% adalah di bawah 30 th. Artinya, sebagian dari mereka adalah dari kalangan anak sekolah, yang masih muda, yang mungkin saja masih belum terlalu bisa memilah informasi yang ada.


(22)

Penelitian Amelia (2009) menunjukan bahwa latihan asertif efektif digunakan untuk mereduksi prilaku adiksi game online pada remaja. Pelatihannya meliputi penghapusan rasa takut untuk tidak menggunakan gameonline secara berlebihan, mengembangkan perilaku asertif dengan pelatihan asertif. Pelatihan tersebut akan coba diterapkan pada pecandu faceebook, facebook yang bisa berdampak menggangu peran sosial dan akademik bagi pengguna yang mengunakan intensitas waktu lebih dari 4/minggu dengan durasi lebih dari 4 jam.(Pempek dkk, 2009)

2.12 Hipotesis

Berdasarkan uraian teori diatas maka dapat diambil suatu hipotesis bahwa Ha : Konseling kelompok behavioral signifikan mengurangi kecanduan facebook

Ho : Konseling kelompok behavioral tidak signifikan mengurangi kecanduan facebook.


(1)

cakrawala interaksi sosial dan pergaulan remaja telah cukup luas. Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.

Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).

Perkembangan remaja diwujudkan dalam bentuk kelompok, baik besar maupun kelompok kecil. Dalam memilih kelompok, remaja di dasari oleh berbagai penimbangan, seperti moral, sosial ekonomi, minat dan kesamaan bakat dan kemampuan. Masalah umum yang dihadapi oleh remaja adalah penyesuaian diri. Sumber-sumber yang dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri adalah lingkungan sosial, dimana remaja tumbuh kembang, seperti keluarga dan tetangga yang merupakan lingkungan masa kecil, juga kelompok-kelompok yang terbentuk ketika mereka memasuki masa remaja. Kelompok-kelompok itu disebut sebagai reference group dan melaui kelompok tersebut remaja dapat memperoleh nilai-nilai dan peran yang dapat menjadi acuannya. Kelompok tersebut dapat


(2)

membantu remaja untuk mengetahui dirinya dalam perbandingannya dengan orang-orang lain sehingga mereka dapat membandingkan dirinya dengan kelompoknya, nilai-nilai yang ada pada dirinya dengan nilai-nilai dalam kelompok yang selanjutnya akan berpengaruh kepada pertimbangan-pertimbangan apakah dia akan menerima atau menolak nilai-nilai yang ada dalam kelompok tersebut. Remaja dalam kehidupan sosialnya akan dihadapkan kepada peran yang ditawarkan oleh lingkungan keluarga maupun kelompok sebaya, yang kadang-kadang membingungkan dan sering menimbulkan benturan-benturan, misalnya menjadi anggota kelompok musik tetapi harus menjadi siswa teladan. Maka dalam hal ini remaja harus mampu mengintergrasikan berbagai peran tersebut ke dalam diri pribadi (identitas diri) dan apabila terjadi benturan-benturan berbagai tuntutan peran harus dapat diselesaikan

2.10 Remaja dan Kelompok Sebaya

Dalam perkembangan sosialnya remaja maka remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebaya. Pada umumnya remaja menjadi anggota kelompok usia sebaya (peer group). Kelompok sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja. Kelompok sebaya juga wadah untuk belajar kecakapan-kecakapan sosial, karena melalui kelompok remaja dapat mengambil berbagai peran. Di dalam kelompok sebaya, remaja menjadi sangat bergantung kepada teman sebagai sumber kesenangannya dan keterikatannya dengan teman sebaya


(3)

sangat kuat. Kecenderungan keterikatan (kohesi) dalam kelompok tersebut akan bertambah dengan meningkatnya frekuensi interaksi di antara anggotanya.

Santrock (2002) menyebutkan besarnya peranan teman sebaya dalam kehidupan remaja mendorong remaja untuk membentuk kelompok-kelompok usia sebaya, kelompok tersebut bisa merupakan kelompok yang besar karena anggotanya banyak, yang disebut crowd tetapi dapat juga kelompok kecil yang disebut sebagai clique. Kelompok besar biasanya terdiri dari beberapa clique. Karena jumlah anggotanya sedikit, maka klik mempunyai kohesi kelompok yang lebih tinggi. Di dalam pembentukan kelompok juga akan diikuti dengan adanya perilaku konformitas kelompok, di mana remaja akan berusaha untuk dapat menyesuaikan dan menyatu dengan kelompok agar mereka dapat diterima oleh kelompoknya.

Di dalam kelompok besar akan terjadi persaingan yang berat, masing-masing individu bersaing untuk bisa tampil menonjol. Oleh karena itu sering terjadi perpecahan yang disebabkan oleh menonjolnya kepentingan pribadi tiap orang.

Di dalam kelompok kecil, proses penyesuaian diri, kemampuan intelektual, dan emosi mempunyai pengaruh yang kuat. Dalam kelompok yang terdiri dari pasangan remaja berbeda jenis pertimbangan faktor masalah agama dan suku sering menjadi masalah rumit.


(4)

a) Cita-cita dan idealisme yang baik, terlalu menitikberatkan pikiranya sendiri tanpa memikirkan akibat dan tanpa memperhitungkan kesulitan yang menyebabkan suatu persoalan tidak terselesaikan

b) Kemampuan berfikir dengan pendapat sendiri, masih sulit membedakan pokok perhatian orang lain dari pada tujuan perhatian diri sendiri. Pandangan dan penilaian diri sendiri dianggap sama dengan pandangan dan penilaian orang lain mengenai dirinya.

Proses penyesuaian diri yang dilandasi sifat egonya dapat menimbulkan reaksi lain dimana remaja itu justru melebih-lebihkan dirinya dalam penilaian diri. Mereka merasa dirinya ampuh dan hebat sehingga aktivitas yang dilakukan pada umumnya membahayakan remaja yang biasanya masih bersifat komfromis, kemudian tertarik pada keinginan terhadap hal yang baru dapat menyebabkan perilaku yang berisiko merusak diri (self-destructive). Pendapat Elkind (Beyth-Marom, dkk., 1993) bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri, Umumnya remaja biasanya dipandang memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang dipandang berbahaya tanpa kemungkinan mengalami bahaya itu.

2.11 Temuan Penelitian Tentang Latihan Asertif Terhadap


(5)

Individu yang terlibat atau bergabung dengan sebuah kelompok teman sebaya seringkali tidak berani untuk menolak atau menanggapi norma-norma tertentu di dalam kelompok tersebut yang biasanya ditentukan oleh pimpinan kelompok (Monks, 1982). Remaja yang ketakutan ditinggalkan kelompok lebih rentan ditinggalkan terhadap pengaruh kelompok teman sebaya, sehingga apapun yang dilakukan teman kelompok mereka cenderung untuk mengikutinya atau dengan kata lain mereka cenderung kurang asertif. Remaja yang suka berinteraksi menjalin hubungan dengan teman sebaya , mereka cenderung lebih aktif dan biasanya banyak memiliki teman sebaya dan sering berinteraksi dengan kelompok, hal tersebut membuat ia sangat mementingkan kelompok sehingga akan timbul perasaan takut ditinggalkan kelompok. Menurut penelitian oleh Suherman dan Yuanita (2000) seorang remaja dengan kecenderungan ekstravet lebih menunjukan perilaku penyalahgunaan heroin dibandingkan remaja yang memilii kencenderungan introver. Dalam hal ini orang yang kurang asertif cenderung untuk mengkonsumsi heroin dan dapat dikatakan sebagai kecanduan heroin. Kecanduan tidak hanya mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan non-drugs atau obat-obatan (Young, 1998). Selanjutnya kecanduan pada remaja yang kurang asertif bisa dalam penggunaan facebook.

Catur (2009) mengatakan bahwa rata-rata pengguna internet di perkotaan 60% adalah di bawah 30 th. Artinya, sebagian dari mereka adalah dari kalangan anak sekolah, yang masih muda, yang mungkin saja masih belum terlalu bisa memilah informasi yang ada.


(6)

Penelitian Amelia (2009) menunjukan bahwa latihan asertif efektif digunakan untuk mereduksi prilaku adiksi game online pada remaja. Pelatihannya meliputi penghapusan rasa takut untuk tidak menggunakan game online secara berlebihan, mengembangkan perilaku asertif dengan pelatihan asertif. Pelatihan tersebut akan coba diterapkan pada pecandu faceebook, facebook yang bisa berdampak menggangu peran sosial dan akademik bagi pengguna yang mengunakan intensitas waktu lebih dari 4/minggu dengan durasi lebih dari 4 jam.(Pempek dkk, 2009)

2.12 Hipotesis

Berdasarkan uraian teori diatas maka dapat diambil suatu hipotesis bahwa Ha : Konseling kelompok behavioral signifikan mengurangi kecanduan facebook

Ho : Konseling kelompok behavioral tidak signifikan mengurangi kecanduan facebook.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Menurunkan Kecanduan Facebook dengan Konseling Kelompok Behavioral pada Siswa Kelas 8E SMP N 10 Salatiga

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Menurunkan Kecanduan Facebook dengan Konseling Kelompok Behavioral pada Siswa Kelas 8E SMP N 10 Salatiga T1 132007018 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Menurunkan Kecanduan Facebook dengan Konseling Kelompok Behavioral pada Siswa Kelas 8E SMP N 10 Salatiga T1 132007018 BAB IV

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Menurunkan Kecanduan Facebook dengan Konseling Kelompok Behavioral pada Siswa Kelas 8E SMP N 10 Salatiga T1 132007018 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Menurunkan Kecanduan Facebook dengan Konseling Kelompok Behavioral pada Siswa Kelas 8E SMP N 10 Salatiga

0 0 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Layanan Konseling Kelompok Behavioral untuk Mengubah Perilaku Pacaran Siswa Kelas IX SMP N 2 Suruh

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Layanan Konseling Kelompok Behavioral untuk Mengubah Perilaku Pacaran Siswa Kelas IX SMP N 2 Suruh T1 132007087 BAB II

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Layanan Konseling Kelompok Behavioral untuk Mengubah Perilaku Pacaran Siswa Kelas IX SMP N 2 Suruh T1 132007087 BAB IV

0 1 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Layanan Konseling Kelompok Behavioral untuk Mengubah Perilaku Pacaran Siswa Kelas IX SMP N 2 Suruh T1 132007087 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Layanan Konseling Kelompok Behavioral untuk Mengubah Perilaku Pacaran Siswa Kelas IX SMP N 2 Suruh

0 0 24