BAB 3. PEMERIKSAAN GERONTOLOGI

(1)

BAB III

PEMERIKSAAN GERONTOLOGI MEDIK DALAM

BERBAGAI ASPEK DAN EVALUASI KLINIS

TUJUAN BELAJAR

TUJUAN KOGNITIF

Setelah membaca bab ini dengan seksama, maka anda sudah akan dapat :

1. Mengetahui dan memahami pemeriksaan gerontologi medik dalam berbagai aspek

2. Mengetahui persiapan yang diperlukan sebelum melakukan wawancara atau pemeriksaan pasien, melakukan pemeriksaan dengan teknik yang tepat dan pendekatan yang maksimal pada pasien sehingga mendapatkan hasil yang maksimal

3. Mengetahui pemeriksaan penunjang gerontologi medik dalam berbagai aspek untuk membantu diagnosa

TUJUAN AFEKTIF

Setelah membaca bab ini dengan penuh perhatian, maka penulis mengharapkan anda sudah akan dapat :

1. Menunjukkan perhatian terhadap pemeriksaan gerontologi medik dalam berbagai aspek

2. Mempersiapkan diri dengan baik sebelum wawancara atau pemeriksaan pasien untuk mendapatkan hasil maksimal

3. Mengetahui cara-cara pemeriksaan gerontologi medik dalam berbagai aspek 4. Dapat memberikan pengetahuan tentang pemeriksaan gerontologi medik dalam


(2)

I. PENDAHULUAN

Sebagai seorang dokter, kita telah memutuskan untuk menjadi seorang pelayan kesehatan di masyarakat meliputi semua lapisan masyarakat dengan beraneka ragam usia dan latar belakang.

Masyarakat yang didalamnya termasuk para lanjut usia, mencari kita untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dapat kita berikan.

Pada mulanya, mungkin pasien hanya memiliki sedikit pilihan dan terpaksa menerima begitu saja kehadiran kita disamping sisi tempat tidurnya. Kemudian mereka dapat memilih, dan akan memilih dokter tempat mereka dapat mencurahkan perasaan, mendengarkan mereka dan yang membuat mereka merasa lebih baik dengan kehadirannya.

Mengingat hal-hal yang telah dipaparkan diatas, maka tindak tanduk dan sikap kita akan memperbesar atau mengurangi kesempatan kita untuk menjadi seorang dokter yang berhasil.

Setelah memahami kenyataan ini, kita semestinya dapat bertindak dan bersikap dengan bijaksana terhadap pasien terutama para lanjut usia supaya hubungan baik Dokter-Pasien akan terbina sehingga usaha medis akan maksimal.

Adapun kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam melakukan pemeriksaan serta menegakkan diagnosa dan prognosa dalam penanganan kasus geriatri telah menjadi suatu problem klinis yang sangat kompleks, karena ini merupakan modal awal suatu manajemen terapi bagi seorang dokter dalam kasus geriatri.

Penurunan fungsi organ yang terjadi baik sebagai proses fisiologis yang senilis maupun akibat dari suatu penyakit degeneratif yang diderita oleh lansia perlu diketahui secara baik agar dalam melakukan pemeriksaan terjadi suatu interaksi yang harmonis antara pemeriksa dan pasien. Pemeriksa juga dituntut menerapkan pendekatan biopsikososial, memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemauan untuk mengevaluasi setiap individu dengan seksama serta menyusun rencana pelaksanaan yang bersifat individual serta dirancang khusus.

Tiga hal yang mempengaruhi penampilan klinis pada lansia adalah pertama, acapkali lansia tidak mengeluh tentang rasa sakit yang dideritanya atau tidak adequate dalam mengekspresikan rasa sakitnya. Kedua, adanya perubahan pola penyakit. Ketiga, perubahan respon terhadap penyakit.

Untuk meyajikan sebuah pendekatan sistematis, maka penanganan pasien lanjut usia itu berbeda dari pemeriksaan pasien muda. Formulir dan catatan medis sebelumnya harus diperoleh untuk mendapatkan informasi yang mungkin saja berkaitan dengan penyakit sekarang, sejalan dengan banyaknya pasien lain yang telah di evaluasi dan dirawat dimasa lalu yang selalu berharga untuk diperoleh.

Instrumen pemeriksaan klinis pada lansia tidak jauh berbeda seperti pemeriksaan pada orang dewasa., namun yang berbeda adalah pendekatan dan interpretasi apakah suatu tanda (sign) yang ditemukan adalah proses fisiologis atau patologis. Teknik anamnesa khusus yang diterapkan harus memperhatikan aspek perubahan yang terjadi, apakah pasien mengalami gangguan pendengaran, gangguan penglihatan atau gangguan memori yang dapat mengubah suatu pendekatan anamnestik. Dalam melakukan anamnesa pemeriksa disarankan untuk mengutarakan pertanyaan dengan suara yang lebih keras namun dengan nada yang rendah, juga menatap pasien secara berkelanjutan. Tema pertanyaan diharapkan tidak cepat berubah sebelum suatu tema selesai secara menyeluruh, mengingat gangguan kognitif yang mungkin terdapat pada seorang lansia.

Identifikasi kondisi yang reversible maupun irreversibel pada pasien lansia dengan penyakit kronik seyogyanya dilakukan. Namun perlu diingat bahwa tujuan


(3)

pengobatan bukan semata-mata menyembuhkan penyakit akut namun memberikan perhatian yang luas pada penyakit kronik. Perhatian terhadap penyakit yang mendasari kondisi kronik lansia seringkali membuat seorang dokter lupa akan tujuan pengelolaan pasien lansia. Tujuan pengobatan seharusnya berorientasi kepada peningkatan kualitas hidup seperti optimalisasi status fungsional, keadaan umum, memulihkan produktivitas, kreativitas dan perasaan bahagia seorang lansia.

Untuk mengetahui adanya kelemahan organik pada seorang lansia diperlukan waktu pemeriksaan yang lebih lama akibat penurunan fungsi dalam berkomunikasi. Setiap gejala (symptom) yang muncul pada pasien baik itu dengan atau tanpa keluhan harus dipertimbangkan sebagai suatu proses yang harus di evaluasi, apakah merupakan tanda-tanda penyakit degeneratif atau merupakan suatu akibat komplikasi. Pemeriksaan internis harus lebih ditujukan kepada evaluasi tanda vital. Banyak pasien lansia menderita hipertensi sehingga evaluasi tekanan darah merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan dan membutuhkan evaluasi terhadap perubahan tekanan darah, pengobatan serta komplikasinya.

II. HUBUNGAN BAIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN

Sebelum kita memulai kepada pemeriksaan klinis yang akan kita

lakukan kepada pasien, terutama pasien Lanjut Usia maka ada hal-hal yang

mesti kita perhatikan dan pahami sehingga akan terjalin hubungan yang baik

antara Dokter-Pasien yang tentunya nanti akan sangat mendukung keberhasilan

dan kelancaran tindakan pemeriksaan klinis kita.

1. Persiapan untuk pemeriksaan

 Tunjukkan perhatian anda.

Ini merupakan kunci untuk menjalin hubungan. Perhatian kita kepada pasien akan segera diketahui jika melakukan kebiasaan baik yakni mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada pasien mulai kita memasuki kamarnya sampai kita meninggalkan kamarnya setelah pemeriksaan.

 Pelajari teknik melakukan anamnesa.

Teknik anamnesa yang baik harus kita kuasai, hal ini dapat dipelajari dengan banyak membaca, menyaksikan dengan seksama cara wawancara yang baik dari dokter pembimbing dan teknik ini akan terus berkembang dengan meningkatnya jam kontak kita dengan pasien.

 Pelajari rekaman medis dan persiapkan peralatan.

Periksalah semua catatan dan informasi sebelum anda mendatangi pasien, dan bawalah perlengkapan yang anda butuhkan.

 Jangan mengizinkan terjadinya interupsi.

Jika perlu bersikaplah tegas dan sopan untuk mendapatkan wawancara yang efisien. Jangan biarkan terjadinya interupsi yang mengganggu hubungan anda dengan pasien.

 Dengarkan pasien dengan seksama.

Dengarkanlah setiap respon dari pasien, pikirkanlah dan bersiaplah untuk mengikuti petunjuk pasien tentang keprihatinan mereka dan prioritas mereka. 2. Perkenalan dengan pasien

Memperkenalkan diri anda kepada pasien mempunyai banyak arti. Anda menjelaskan peranan anda, meminta ijin untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien, mengadakan suatu suasana emosional, menyatakan peranan profesioanal anda, dan ingatlah bahwa hubungan anda dengan pasien adalah hubungan yang tidak seimbang yang menguntungkan anda serta menimbulkan stress pada


(4)

pasien. Sehingga ada beberapa hal yang mesti anda lakukan yaitu bersikaplah peka terhadap penderitaan pasien, masuklah dengan tenang dan tersenyum, jabatan tangan yang erat, kontak mata yang segera, perkenalkan diri anda dan orang lain yang bersama anda jika ada, kemudian jelaskanlah peran dan tujuan anda.

3. Meningkatkan hubungan dengan bertindak secara profesional.

Anda telah memulai suatu hubungan profesional dan mengadakan suatu hubungan emosional yang baik. Hal-hal yang perlu diperhatikan :

 Pasien diberi waktu untuk berpakaian secara pantas.

Wawancara atau pemeriksaan dilakukan hanya setelah pasien diberi waktu untuk berpakaian secara pantas sesuai dengan kondisi penyakit pasien tentunya.

 Duduklah tepat diluar wilayah pribadi pasien.

Duduklah kira-kira 1 meter dari pasien dan mintalah ijin untuk memasuki wilayah ini nanti pada akhir wawancara untuk melalukukan pemeriksaan. Berhati-hatilah untuk tidak menyentuh barang-barang pribadi pasien, dengan demikian anda menunjukkan penghargaan terhadap integritas pasien.

 Nilailah tempat duduk dan kenyamanan Anda.

Pastikanlah bahwa pencahayaan, tempat menulis dan tempat duduk anda memadai untuk melakukan wawancara yang santai dan nyaman, jika anda perlu mengubah posisi tempat duduk anda, mintalah ijin terlebih dahulu kepada pasien.

 Ketinggian mata sama atau dibawah ketinggian mata pasien.

Kalau mungkin, duduklah sedemikian rupa sehingga ketinggian mata anda sejajar atau dibawah ketinggian mata pasien. Jika memungkinkan minta pasien untuk duduk dengan tegak.

4. Mengadakan Wawancara

 Perhatikanlah petunjuk verbal maupun non verbal.

Anda sekarang siap untuk mewawancarai pasien. Perhatikanlah petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal, beritahukanlah kepada pasien bahwa anda akan mencatat bagian-bagian yang penting sementara pasien menceritakan secara merinci riwayat penyakitnya.

 Semua komunikasi harus dijaga kerahasiaannya.

Kondisi kesehatan pasien merupakan suatu komunikasi yang memiliki hak istimewa. Pasien berharap dan hukum mengharuskannya bahwa setiap dialog harus dijaga kerahasiaanya. Rekaman medis adalah suatu dokumen rahasia dan mempunyai status hukum. Kalau dibicarakan dengan orang lain maka identitas pasien harus dirahasiakan. Jika ingin membicarakan perawatan dengan keluarga pasien maka harus meminta ijin pasien terlebih dahulu. Pasien akan menjadi berterus terang jika kita menghargai informasi yang mereka berikan.

 Jangan memberikan pertimbangan moral.

Pertimbangan moral terhadap perilaku pasien tidak mempunyai tempat dalam dunia kedokteran. Tidak ada penyakit, pola tingkah laku maupun gaya hidup yang perlu mendapat komentar benar atau salah, anda harus dapat memisahkan perasaan anda terhadap tingkah laku pasien dari hubungan anda dengannya. Pertanyaan tentang moralitas mengganggu penilaian medis yang logis.


(5)

 Bersikaplah jujur dan bertindaklah sebagaimana mestinya.

Kejujuran dalam dunia kedokteran harus menang, meskipun kita tergoda untuk melakukan pengecualiaan. Penyimpangan terhadap kebenaran sering kali terlihat tepat dengan berkedok ” Untuk kebaikan pasien”. Anggota keluarga seringkali menganjurkan kebohongan atau menyembunyikan penyakit yang diderita pasien dalam usaha melindungi pasien dari persoalan yang sulit. Kita tidak boleh menghindari untuk memberikan informasi yang sebenarnya hanya untuk menghndarkan diri kita dari situasi sulit untuk menghadapi pasien.

 Hargailah sikap pasien terhadap penyakit.

Tidak ada gunanya memperlihatkan optimisme yang berlebihan dalam menghadapi penyakit yang berat atau menyembunyikan keadaan sulit. Bersikaplah untuk selalu siap membantu pasien, tanyakan kebutuhan-kebutuhannya dan bersikaplah positif dalam melakukan tindakan-tindakan yang sering meringankan penderitaan mereka.

5. Pengendalian Diri Pasien

 Keinginan pasien menentukan tujuan terapi.

Sampai batas tertentu, pasien mengatur perawatannya dan besarnya rahasia yang akan diceritakan selama wawancara. Nanti, ia mungkin melarang hal-hal yang dianggapnya merugikannya. Akhirnya mungkin ia memutuskan untuk tidak mengkonsumsi obat atau tidak melakukan operasi. Anda juga mungkin menentang suatu cara pengobatan kalau terlihat ada pengobatan yang lebih baik. Pasien dapat menerima, menolak atau merundingkannya selama perawatan. Anda dapat mempengaruhi pengendalian diri pasien selama wawancara dengan memperlihatkan sikap menerima dan memahami. Kalau pasien melihat bahwa ceritanya dirahasiakan, bebas dari pertimbangan moral didengarkan dengan penuh simpatik, sikap membungkamnya biasanya hilang.

 Hindarilah kesembronoaan tentang penyakit.

Pasien seringkali menghubungkan penyakit dideritanya sebagai ganjaran atas apa yang telah dilakukan olehnya dimasa muda, atau oleh keluarganya. Sikap kita yang sembrono terdapat penyakit tidak dapat diterima, dan menganggap remeh usaha pasien untuk menjelaskan penyakitnya tidak dapat ditolerir. Kita harus hati-hati dalam memberikan wawasan mendalam kepada pasien tentang penyakitnya, sehingga pasien mungkin menjadi berkurang rasa takutnya, kurang mencela diri dan biasanya menjadi lebih kooperatif.

 Berikanlah penjelasan sebelum anda bertindak.

Pasien mungkin melarang untuk dilakukan suatu pemeriksaan fisik. Keberhasilan atau ketidakberhasilan untuk mendapatkan riwayat penyakit menentukan kemudahan untuk dilakukannya pemeriksaan fisik. Kontak fisik menakutkan untuk sebagian pasien terlebih dengan orang asing. Penjelasan yang cukup tentang apa yang akan anda lakukan akan mengurangi ketakutan mereka dan mengajak mereka untuk melihat tindakan pemeriksaan yang akan dilakukan akan menghilangkan keengganan mereka.

 Beresponlah terhadap emosi pasien.

Emosi yang kuat pada dokter dapat segera dirasakan oleh pasien dan diinterpelasikan secara negatif. Jika anda menjadi marah dan banyak menuntut maka pasien akan menarik diri atau memberikan respon dengan cara yang sama. Jika pasien menangis, anggaplah itu respon yang dapat


(6)

diterima. Jika pasien marah carilah penyebabnya. Emosi merupakan bagian dari penyakit.

6. Pengendalian diri dokter

Sebagian besar faktor penentu hubungan antara Dokter-Pasien berada di pihak anda. Ini sudah jelas dan tidak terbantahkan lagi. Sebagian pengendalian diri dokter perlu diberi komentar, sebagian sulit dipelajari. Pasien berharap pertanyaan anda hanya dipusatkan pada perawatan mereka. Hindarilah pembicaraan lama tentang persoalan yang kurang penting dan topik-topik lain yang dapat mengurangi perhatian terhadap rincian perawatan pasien. Kadang-kadang pasien mengingatkan anda tentang besarnya pengendalian yang diperlukan. Secara ringkas dapat diberikan pertimbangan-pertimbangan untuk meningkatkan pengendalian diri dokter untuk mencapai wawancara yang maksimal dengan pasien berupa;

 Hindarilah percakapan yang kurang penting dan menyimpang

 Kendalikan pertanyaan dan jawaban

 Mulailah dengan pertanyaan yang terbuka dan singkat

 Perjelaslah rincian spesifik dengan pertanyaan yang tertutup dan terarah

 Batasilah jumlah pertanyaan langsung

 Pakailah lebih banyak pertanyaan tidak langsung

 Perhatikanlah respons yang tegas dan sering-seringlah memakai pertanyaan terbuka

7. Mengendalikan suatu wawancara

 Pakailah pertanyaan-pertanyaan peralihan untuk mengendalikan pasien yang berbicara bertele-tele. Pasien-pasien yang memberikan terlalu banyak keterangan rinci dan terlalu sedikit informasi dapat dikendalikan dengan pertanyaan-pertanyaan peralihan. Pertanyaan-pertanyaan ini mencakup interupsi yang diberikan dengan hati-hati dan tepat pada waktunya, pertanyaan yang memperjelas dan terarah yang mengubah topik pembicaraan dan menunjukkan perhatian pewawancara.

 Mintalah ijin pasien untuk menyelidikan persoalan sensitif.

Hal seperti riwayat seksual, masalah percekcokkan pribadi, perlu dimintakan ijin sebelum kita menyelidiki mendalam. Perlihatkanlah perhatian anda dan jelaskanlah pentingnya informasi ini agar anda dapat memahami masalah yang ada.

 Berikanlah Respon singkat jika pasien mengungkapkan emosinya.

Pasien berespon terhadap penyakit dengan emosi-emosi seperti takut, penyangkalan, depresi, gelisah atau bahkan panik. Jangan biarkan pasien menunjukkan emosi yang tidak terarah. Anda harus menentukan keseimbangan antara mempertahankan jarak yang tepat, menghindari perangkap moral, ketidakpekaan, atau menjauhi pasien.

 Hindari memberikan pertanyaan yang bertubi-tubi.

Berikanlah kesempatan kepada pasien untuk menjawab pertanyaan yang anda berikan dalam suasana yang santai . Jangan memberikan tekanan mental kepada pasien dengan pertanyaan bertubi-tubi yang seringkali menyebabkan pasien kewalahan untuk menjawab dan merasa tersudutkan.


(7)

Semua petunjuk yang mampu kita peroleh dari pasien harus kita analisa secara mendalam. Seperti Emosi pasien, haruslah anda tentukan apakah anda menghadapi sikap watak tertentu ataukah ungkapan perasaan yang kuat tapi bersifat sementara waktu saja. Jika timbul kemarahan pasien, haruslah dihadapi segera karena bisa mengganggu hubungan Dokter-Pasien, Tanyakanlah mengapa pasien marah dan doronglah pasien untuk mengungkapkannya melalui kata-kata.

III. PEMERIKSAAN - PEMERIKSAAN

Setelah kita memahami cara mempersiapkan diri kita untuk membentuk hubungan Dokter-Pasien yang baik, untuk mencapai pemeriksaan yang maksimal yang bermuara pada hasil perawatan yang maksimal pula. Maka perlulah kita memahami jenis-jenis pemeriksaan yang dikenal dalam Gerontologi klinik, yaitu :

1. PEMERIKSAAN KLINIS

Riwayat

Karena banyak pasien tua menjadi tua mempunyai riwayat yang panjang dan rumit, dokter memerlukan teknik- teknik khusus untuk memperoleh semua informasi yang sesuai. Bila catatan medik sebelumnya tersedia pada saat kunjungan pertama, keseluruhannya dapat meningkatkan evaluasinya.

Keluhan Utama

Keluhan utama pada pasien–pasien geriatri adalah bagian utama daripada wawancara seperti pada setiap pasien lain. Dengan pasien geriatri, ada sejumlah kompleksitas tambahan. Pertama harus ditentukan siapa yang mempunyai keluhan utama, pasien atau pemberi perawatan. Sebuah sasaran penting kedua adalah menetapkan secara tepat mengapa pasien datang pada waktu khusus ini. Keluhan-keluhan utama dapat diperoleh dari pasien maupun keluarga.

Riwayat Medis Masa Lalu

Beberapa aspek riwayat medis masa lalu mempunyai kepentingan khusus bagi lansia. Penyakit masa kanak-kanak mempunyai hubungan seperti riwayat cacar ( herpes zoster) dan penyakit jantung rematik. Riwayat makan harus mencakup kelompok-kelompok makanan, asupan kalori, konsumsi garam, kalsium dan kolesterol. Selain itu, pola-pola makan harus diketahui , sejalan banyak orang tua tidak makan tiga kali sehari. Sebuah riwayat pengobatan yang baik merupakan salah satu bagian terpenting dalam sebuah penilaian geriatri. Banyak orang tua tidak hanya mempunyai banyak resep obat, tetapi juga sekumpulan obat yang sebelumnya diresepkan yang sebetulnya tidak diperlukan.

Riwayat Penyakit Sekarang

Bila riwayat penyakit masa lalu diperoleh, riwayat penyakit sekarang yang membingungkan dapat diperjelas diperjelas. Sesak napas dengan suatu riwayat miokard infark dan terapi betabloker dapat membantu memfokuskan pertanyaan-pertanyaan tambahan.

Ada banyak kelemahan umum dalam mewawancarai seorang pasien geriatri. Banyak dokter memulai wawancara dengan pendapat sebelumnya


(8)

bahwa mereka tidak akan mampu memperoleh sebuah riwayat yang jelas. Bila pasien dapat mendengar dan memahami pertanyaan-pertanyaan, dan diberikan waktu untuk mejawab, dan informasinya dapat dibenarkan oleh seorang anggota keluarga, sebuah riwayat akurat biasanya dapat diperoleh. Kelemahan lainnya terjadi ketika dokter mencoba untuk menghubungkan gejala–gejala dengan sebuah proses penyakit tunggal. Banyak masalah geriatri adalah masalah yang multifaktorial.

Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga pasien penting dalam wawancara geriatri. Dalam banyak keadaan, informasi ini memberikan data tentang status kesehatan saudara-saudara kandung dan anak-anak yang

kemungkinan merupakan orang-orang pendukung potensial. Ini juga memberikan informasi tentang riwayat penyakit sebelumnya. Sejumlah penyakit dimana riwayat keluarga bisa jadi berguna meliputi penyakit dementia, depresi, atau alkoholisme, kanker, diabetes, dan osteoporosis. Bila ada riwayat dementia dalam keluarga itu, banyak pasien akan memperhatikan peluang-peluang mereka menyangkut berkembangnya penyakit ini.

Riwayat Sosial

Pengetahuan tentang lingkungan sosial dan fisik pasien-pasien tua adalah penting dalam menetapkan tingkat kemandirian mereka. Sebuah penilaian latar belakang harus menyatakan tempat kelahiran, pendidikan, riwayat pekerjaan, riwayat perkawinan, dan anak-anak. Kelompok terkini lansia tidak selalu mempunyai pendidikan wajib dan banyak orangtua tidak dapat membaca atau menulis. Mereka akan enggan untuk menyebutkan hal ini bila tidak ditanya. Seorang dokter juga seringkali salah mengasumsikan bahwa sebuah perkawinan panjang merupakan perkawinan yang bahagia, atau anak-anak yang hidup disekitar memperhatikan kesejahteraan orangtua mereka.

Orang-orang yang mendukung adalah penting untuk dikenali, dan informasi tentang kesehatan mereka adalah juga penting, utamanya pada kasus pasangan atau saudara kandung. Meskipun anggota keluarga biasanya memberikan perawatan yang baik, penyalahgunaan fisik, finansial, atau psikologis dapat terjadi.

Terakhir, sebuah penilaian tentang aktivitas-aktivitas adalah penting. Apakah pasien pergi keluar untuk berjalan-jalan, menuju sebuah panti jompo, gereja, atau restoran? Memiliki teman-teman untuk diajak bicara lewat telepon? Menonton TV atau surat kabar atau buku-buku? Menikmati aktivitas - aktivitas lain misalnya berkebun, bermain golf, atau bertukang kayu?

Riwayat Seksual

Perlu ditanyakan karena sebagian besar impotensi disebabkan bukan karena efek psikologis melainkan karena penyakit organik.

Pengumpulan data yang akurat dapat menyediakan informasi penting untuk diagnosa dan penatalaksanaan. Keinginan untuk mendapatkan informasi secara lengkap merupakan ciri ahli geriatri yang baik.


(9)

2. PEMERIKSAAN FISIK

Dengan banyaknya penyakit yang diderita lansia maka dengan sendirinya akan diperlukan banyak waktu untuk melakukan pemeriksaan fisik yang adekuat, namun seringkali hanya sedikit waktu yang disediakan dokter untuk melayani lansia.

Ada beberapa aspek dalam pemeriksaan fisik yang membutuhkan perhatian khusus pada lansia, tapi prinsip pemeriksaan tetap sama pada setiap individu dari berbagai usia. Hanya beberapa manuver yang memerlukan perhatian khusus dan beberapa penemuan penting yang dianggap cukup berharga untuk menilai kondisi lansia.

Perhatian lebih harus ditujukan pada evaluasi tanda vital. Misalnya pada pengukuran tekanan darah, sebaiknya dilakukan pada saat pasien berbaring tenang selama kurang lebih 10 menit, dan pada saat berdiri selama kurang lebih 3 menit, hal ini bertujuan untuk menyingkirkan adanya hipotensi postural. Catatan harus dibuat, baik pada saat pasien mengalami gejala atau tidak selama berdiri, dan setiap perubahan tekanan darah dan nadi sebaiknya dicatat pula.

Denyut nadi secara rutin dicatat pada setiap individu tapi kelemahan baroreflek pada lansia bermanfaat untuk mengetahui adanya takikardi dan tingkatannya pada saat tekanan darah jatuh bila pasien berdiri.

Pengukuran tinggi badan penting dilakukan untuk mengukur Indeks Massa Tubuh, tapi lansia harus tetap ditimbang setiap kali akan melakukan evaluasi medik pada berbagai kondisi. Pengukuran berat badan penting dalam menentukan status gizi dan menghitung angka kebutuhan cairan, selain itu kehilangan berat badan pada lansia tanpa disadari merupakan hal yang berbahaya.

Kulit pada lansia seringkali menampilkan banyak abnormalitas. Penilaian turgor kulit cenderung sulit dilakukan karena dengan bertambahnya usia terjadi pengurangan jumlah lemak subkutan dan kulit lansia menjadi keriput. Maka untuk menilai turgor sebaiknya dilakukan di daerah pipi. Beberapa area kulit yang mengalami ruam akibat penekanan perlu juga dievaluasi, termasuk adanya hiperpigmentasi dan hyperkeratosis. Area penekanan yang kecil sekalipun dapat mencetuskan timbulnya luka dan harus mendapat perhatian untuk 2 alasan. Pertama, adanya satu luka kecil akibat penekanan akan memicu timbulnya luka baru di tempat lainnya dan kedua, kebanyakan luka akibat penekanan berbentuk kerucut dengan puncak di kulit dan melebar pada bagian dalamnya hingga mengenai jaringan subkutan bahkan otot.

Beberapa aspek dari leher dan kepala juga mendapat perhatian lebih pada lansia. Dahulu adanya arcus senilis pada mata dikatakan merupakan tanda dari penyakit kardiovaskular yang dini, akan tetapi untuk saat ini depigmentasi pada iris dikatakan hanya sebagai akibat proses penuaan saja. Walaupun glaucoma merupakan kebutaan yang cukup banyak dan cenderung jumlahnya meningkat seiring pertambahan usia, hasil pengukuran tekanan intraokuler yang normal dari Tonometer Schiotz belum tentu menyingkirkan diagnosa glaucoma karena bisa saja pengukuran terjadi pada saat variasi diurnal. Oleh karena itu untuk screening sebaiknya dilakukan funduskopi dan uji lapangan pandang secara sederhana dengan memakai tes konfrontasi, terutama pada pasien yang beresiko tinggi.


(10)

Palpasi arteri temporalis harus dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi penebalan maupun penipisan arteri pada pasien walaupun tidak memberikan gejala, karena artritis temporalis biasanya memberi gejala yang tersamar bahkan tidak lazim. Demikian hal dengan bising Arteri Karotis yang harus dicatat dan diikuti setiap saat, karena bila bising ini terdengar keras maka telah terjadi proses arterosklerosis yang bersifat menyeluruh yang dapat berakibat insufisiensi koroner dan juga gejala cerebrovaskuler.

Penilaian terhadap rongga mulut tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan penilaian yang lain. Harus diperiksa adanya lesi kanker rongga mulut atau gigi yang berlubang, serta kecukupan saliva karena berhubungan status gizi lansia.

Pemeriksaan terhadap cor dan pulmo sama halnya dengan pemeriksaan pada individu muda lainnya. Tapi beberapa penemuan klinis memiliki makna yang berbeda dan membutuhkan interpretasi yang berbeda pula. Misalnya murmur sistolik sering terjadi pada usia lebih dari 70 tahun dan merupakan tanda dari sclerosis katup aorta. Murmur ini bersifat crescendo dan decrescendo dalam grade 2 dari 6. Murmur dengan grade 3 atau lebih bahkan dengan adanya gejala pingsan setelah beraktivitas atau serangan angina memerlukan pemeriksaan pada dokter Spesialis Jantung.

Sebaliknya tanda penting pada aorta stenosis yaitu absennya suara 2 jantung dikatakan sebagai hal yang normal pada lansia karena terjadi peningkatan tekanan darah arteri yang kaku.

Pemeriksaan mamae dan pelvis pada lansia wanita perlu dilakukan secara rutin. Karena seringkali keganasan timbul dikedua tempat ini. Ovarium yang teraba 10 tahun setelah menopause harus dicurigai sebagai tumor. Pemeriksaan daerah genital dan rectal baik pada lansia wanita maupun pria membuka kesempatan untuk menilai fungsi berkemih dan fungsi dari usus besar serta lesi yang terdapat didaerah anus. Vaginitis atroficans, uretritis, rectocele, prolaps uteri dan adanya inkontinensia dapat dideteksi secara mudah.

3. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Pemeriksaan neurologis harus dilakukan secara teliti, karena pada lansia sering terjadi kelainan neurologis secara primer dan sekunder sebagai manifestasi dari penyakit lainnya yang mengakibatkan disfungsi pada sistem saraf. Demikian halnya pada status mental pasien lansia sebagai alat screening standard dan sensitive dalam menilai lansia baik dengan keluhan maupun tanpa keluhan, keduanya diperlukan untuk menentukan standar keperawatan dan mengetahui adanya abnormalitas yang membutuhkan penangganan lebih lanjut. Pemeriksaan neurologis yang dinilai adalah keadaan umum, tanda-tanda perangsangan meningeal, tanda peningkatan TIK, pupil, Nn.craniales, sistem motorik dan sensorik, fungsi cerebellum dan koordinasi, fungsi luhur, refleks fisiologis dan refleks patologis.

4. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL LANSIA

Berikut adalah beberapa contoh untuk menilai status mental lansia : 4.1.Deteksi terhadap depresi.

4.2.Menggunakan Short Portable Mental Status Quesioner (SPMSQ). 4.3. Aspek kejiwaan - NPI (Neuro Psychiatry Inventory).


(11)

Digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif, evaluasi perjalanan penyakit, dan memonitor respon pengobatan, sedangkan sebagai instrumen penelitian MMSE berfungsi sebagai alat screening. 4.5. Clock Drawing Task.

Digunakan untuk menilai ada/tidaknya gangguan hemispasial dan hemianopsia.

4.1. DETEKSI TERHADAP DEPRESI

Setiap

Saat

Sering Kadang-kadang

Jarang Tidak Pernah A. Seberapa sering dalam 1

bulan terkhir anda merasa sangat cemas dan gelisah B. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir anda merasa tenang dan damai

C. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir anda merasa sedih

D. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir anda merasa bahagia

E. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir anda merasa rendah diri dan tidak ada yang dapat menghibur anda F. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir anda merasa hidup ini tidak berarti lagi

Jawaban – jawaban seperti “ setiap saat “ atau “ sering “ mengindikasikan

kecurigaan adanya depresi ( Kecuali untuk pertanyaan B dan D ).

4.2. SHORT PORTABLE MENTAL STATUS QUESIONER ( SPMSQ )

 Tanggal berapa hari ini ?

 Apa nama tempat ini ?

 Berapa umur anda ?

 Kapan anda lahir ?

 Di mana tempat anda lahir ?

 Berapa saudara yang anda miliki ?

 Hari apa sekarang ?

 Kapan anda masuk tempat ini ?

 Apa pekerjaan anda sebelumnya ?

 Kurangi 1 dari 10 seterusnya ? Interpretasi hasil :

Salah 0 – 3 : Fungsi intelektual utuh Salah 4 – 5 : Kerusakan intelektual ringan


(12)

Salah 6 – 8 : Kerusakan intelektual sedang Salah 9 – 10 : Kerusakan intelektual berat

4.3. ASPEK KEJIWAAN - NPI ( NEURO – PSYCHIATRY INVENTORY )

Penilaian secara sederhana dapat dilakukan untuk menilai alam pikiran, perasaan dan perilaku secara umum.

SYMPTOM FREKUENSI

( F )

KEPARAHAN ( K )

TOTAL ( FX )

DISTRESS 1. Delusi

2. Halusinasi 3. Agitasi 4. Depresi 5. Ansietas 6. Euforia 7. Apatis 8. Disinhibisi 9. Iritabilitas

10. Perilaku motorik menyimpang 11. Perilaku di malam

hari

12. Gangguan makan dan selera makan

4.4 PEMERIKSAAN STATUS MENTAL MINI ( MMSE )

Pengkajian fungsi mental kognitif merupakan hal yang menyokong dalam mengevaluasi kesehatan lansia. Banyak bukti menunjukan bahwa ganggun mental kognitif seringkali tidak dikenali professional di bidang kedokteran. Hal ini disebabkan tidak dilakukannya pengujian status mental secara rutin. Diperkirakan 30% sampai 80% lansia yang mengalami demensia tidak terdiagnosis oleh dokter, melainkan teridentifikasi melalui pemeriksaan skrining status mental.

Komponen MMSE yang dipengaruhi usia adalah orientasi, recall dan bahasa sedangkan komponen MMSE yang dipengaruhi tingkat pendidikan adalah orientasi, atensi-kalkulasi, registrasi dan bahasa.

MMSE yang diperkenalkan oleh Folstein sebagai instrument klinik digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif, mengevaluasi perjalanan penyakit, dan memonitor respon pengobatan, sedangkan sebagai instrument penelitian MMSE berfungsi sebagai alat screening.

Pemeriksaan ini terbagi dalam 2 tahap. Tahap pertama hanya membutuhkan respon verbal, termasuk orientasi waktu dan tempat, memori dan atensi, serta kelancaran berbahasa. Tahap kedua melihat kemampuan berbahasa dan visuospasial, yaitu kemampuan untuk menamakan, mengikuti tulisan dan perintah verbal, menulis kalimat secara spontan dan menggambar bentuk poligon.


(13)

PEMERIKSAAN STATUS MENTAL MINI ( MMSE )

Item Tes Nilai

Max Nilai 1

2. 3.

4.

5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

ORIENTASI

Sekarang ( tahun ), (musim),(bulan),(tanggal ), (hari ) apa ? Kita berada di mana ? ( Negara ), (provinsi ), (kota), (rumah sakit ), ( lantai/kamar)

REGISTRASI

Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, koin) tiap benda 1 detik, pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tersebut dengan benar dan catat jumlah pengulangan ATENSI DAN KALKULASI

Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata “WAHYU” (nilai diberikan pada huruf yang benar sebelum kesalahan ; misalnya nyahw = 2 nilai. MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

Pasien disuruh mengingat kembali 3 nama benda diatas. BAHASA

Pasien disuruh meyebutkan nama benda ditunjukkan (pensil, buku)

Pasien disuruh mengulang kata-kata : “namun”, “tanpa”, “bila”

Pasien disuruh melakukan perintah : “Ambil kertas ini dengan tangan anda, Lipatlah menjadi dua dan letakkan dilantai”.

Pasien disuruh membaca dan melakukan perintah “pejamkan mata anda”

Pasien disuruh menulis dengan spontan.

Pasien disuruh menggambarkan bentuk dibawah ini

5 5 3

5

3 2 1 3 1 1 1

TOTAL 30


(14)

Nilai 17-23 : Probable gangguan kognitif Nilai 0-16 : Definite gangguan kognitif 4.5. CLOCK DRAWING TEST (CDT)

Komponen yang dinilai Nilai Menggambar lingkaran tertutup

Meletakan angka-angka dalam posisi yang benar Ke 12 angka komplit

Meletakkan jarum-jarum jam pada posisi yang tepat Total nilai

Penilaian fungsi otak dengan memakai Clock Drawing Test.

Untuk menilai ada tidaknya gangguan hemispasial dan hemianopsi, digunakan test yaitu Clock Drawing Test/CDT. Pasien kita minta untuk menggambar sebuah jam dengan sebuah lingkaran lengkap dengan ke 12 angka jam serta jarum penunjuk jam tersebut. Lalu pasien diminta menggambarkan jam 12.00 atau sebagainya lengkap dengan jarum penunjuk jam dan menit. Dari situ dapat terlihat bagaimana koordinasi dan fungsi otak kiri dan kanan pasien saat ini.

Skor yang diberikan adalah 0 dan 1. Nilai 0, jika pasien tidak dapat dengan tepat melakukan apa yang diinstruksikan. Dan nilai 1 jika pasien dengan tepat dan benar melakukan apa yang diinstruksikan. Lalu nilai tersebut dijumlahkan untuk menilai ada tidaknya gangguan hemispasial dan hemianopsi.

Akan tetapi hasilnya menjadi tidak akurat apabila pasien yang dites ternyata menderita katarak atau gangguan penglihatan lainnya. Maka untuk menilai status mental, fungsi intelegensi, fungsi kognitif, mood dan aspek kejiwaan dibutuhkan berbagai macam tes dan penilaiannya secara akurat harus dilakukan oleh profesional yang komponen di bidangnya. Tapi sebagai dokter umum, kita perlu melakukan berbagai alat tes ini untuk screening dan mengevaluasi pasien secara holistic demi tercapainya pelayaan kesehatan yang bersifat paripurna.

5. PEMERIKSAAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL

Ada beberapa sistem penilaian yang dikembangkan dalam pemeriksaan kemampuan fungsional, antara lain yaitu :

5.1. Indeks Katz

5.2. Indeks Activity Daily Living (ADL) 5.3. Indeks ADL Barthel

5.4. Indeks Barthel yang dimodifikasi

5.5. Quesioner Aktivitas Fungsional (FAQ)

5.1. INDEKS KATZ

Aktifitas sehari-hari untuk menilai Indeks Katz :

 Bathing

 Dressing

 Toiletting

 Transfering

 Continence


(15)

Nama : ... Tgl. Pemeriksaan : ...

Bantuan berarti aktivitas dilakukan dengan pengawasan, pengarahan, atau bantuan seseorang.

Mandiri berarti aktivitas dapat dilakukan tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan seseorang.

Mandi

( ) Dapat mengerjakan sendiri ( ) Sebagian/pada bagian ( ) Sebagian besar/ tertentu dibantu seluruhnya dibantu Berpakaian

( ) Seluruhnya tanpa bantuan ( ) Dapat mengerjakan ( ) Seluruhnya dengan sendiri, kecuali bantuan

mengikat sepatu Pergi ke toilet

( ) Dapat pergi ke WC dan ( ) Dapat pergi ke WC, ( ) Tidak dapat pergi dapat mengerjakan tetapi memerlukan ke WC

sendiri bantuan Berpindah

( ) Tanpa bantuan ( ) Dapat melakukan ( ) Tidak dapat dengan bantuan melakukan “Continance” (defekasi & berkemih)

( ) Dapat mengontrol ( ) Kadang-kadang ( ) Dibantu seluruhnya ngompol/defekasi (dengan kateter/ di tempat tidur manual) Makan (feeding)

( ) Dapat melakukan tanpa ( ) Dapat makan sendiri ( ) Seluruhnya dibantu bantuan kecuali hal-hal tertentu

Indeks KATZ memfokuskan pada 6 aktivitas sehari-hari seperti yang tertera diatas. Selain ke 6 aktivitas tersebut indeks ini mengkaji kemampuan individu untuk melakukan secara mandiri. Misalnya pada individu yang ditempatkan pada posisi indeks seperti “membutuhkan bantuan untuk berpindah”. Posisi ini nmemberikan gambaran definitive pada individu, apakah mereka dapat menggambarkan kemampuannya, seperti kemampuan untuk makan dan mempertahankan kontinensia tapi mengalami kesulitan dalam bergerak.

Penilaian didasarkan pada kemampuan pasien untuk melakukan ke 6 hal yang dikriteriakan diatas namun pada pelaksanaannya perlu beberapa modifikasi penilaian untuk memastikan status fungsional lansia.

INDEKS KATZ A : lansia mandiri.

KATZ B : ketergantungan bila mandi.

KATZ C : ketergantungan bila mandi dan berpakaian.

KATZ D : ketergantungan bila mandi, berpakaian, dan ditoilet.

KATZ E : ketergantungan bila mandi, berpakaian, ditoilet dan transfer. KATZ F : ketergantungan bila mandi, berpakaian, ditoilet, transfer, BAB,

BAK

KATZ G : ketergantungan pada ke 6 komponen sekaligus

Pembagian skala ini didasarkan pada keterampilan dalam menjalankan fungsi biologis, yang memerlukan bekerjanya system saraf dan anggota gerak dari lansia.


(16)

5.2. INDEKS ACTIVITY OF DAILY LIVING (ADL)

Penilaian dengan hanya menggunakan ke 6 komponen dasar saja dirasakan kurang memadai untuk menggambarkan status fungsional lansia, untuk itu di pergunakan skala IADL (Instrument Activity of Daily Living). Skala ini dapat mengukur ketidakmampuan atau penyakit yang dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam melakukan tugas praktis, seperti menggunakan telepon atau menyiapkan makanan. Hal yang menarik adalah bahwa tabel ini dapat menunjukkan adanya perbedaan beban tugas yang biasa mereka lakukan. Akan lebih menarik lagi bila beban tugas disesuaikan dengan perkembangan jaman.

AKTIVITAS SEHARI -HARI (ADL)

Mandiri Memerlukan bantuan orang lain

Bergantung pada orang lain

Mandi Transfer Berpakaian Kebersihan Ke toilet Makan

Menyiapkan makanan Mengatur keuangan Mengatur pengobatan Menggunakan telepon 5.3. INDEKS ADL BARTHEL

Nilai Keterangan 1. Mengontrol BAB

2. Mengontrol BAK

3. Membersihkan diri (lap muka, sisir rambut, sikat gigi)

4. Toileting

0 1 2 0 1 2 0 1 0 1 2

Incontinence

Kadang-kadang incontinence Continence teratur

Incontinence

Kadang-kadang incontinence Continence teratur

Butuh pertolongan orang lain Mandiri

Tergantung pertolonhan orang lain Perlu pertolongan pada beberapa aktivitas, tetapi beberapa aktivitas masih dapat dikerjakan sendiri Mandiri


(17)

5. Makan

6. berpindah tempat dari kursi ke tempat tidur

7. Mobilisasi / berjalan

8. Berpakaian 9. Naik turun tangga 10. Mandi Total nilai 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 0 1 2 0 1 Tidak mampu

Butuh pertolongan orang lain Bantuan minimal 2 orang Mandiri

Tidak mampu

Perlu pertolongan untuk bisaduduk Bantuan minimal 2 orang

Mandiri (kadang dibantu) Tidak mampu

Bisa beralan dengan kursi roda Berjalan dengan bantuan orang lain Mandiri (kadang dibantu)

Tergantung pertolongan orang lain Sebagaian dibantu

Mandiri Tidak mampu Butuh pertolongan Mandiri

Tergantung pertolongan orang lain Mandiri

Nilai ADL : 20 : Mandiri

12.20 : Ketergantungan ringan 9.12 : Ketergantungan sedang 5.9 : Ketergantungan berat 0.5 : Ketergantungan total 5.4. INDEKS BARTHEL MODIFIKASI

Dengan bantuan Mandiri

1. Makan 5 10

2. Minum 5 10

3. Berpindah dari kursi ke tempat tidur 5-10 15

4. Personal toilet 0 5

5. Keluar masuk toilet 5 10

6. Mandi 5 15

7. Jalan di permukaan datar 0 5

8. Naik turun tangga 5 10

9. Mengenakan pakaian 5 10

10.Kontrol bowel (BAB) 5 10

11.Kontrol Bladder (BAK) 5 10

12.OR / latihan 5 10

13.Rekreasi 5 10 Penilaian:

130 : mandiri

65-125 : ketergantungan sebagian


(18)

5.5. QUESIONER AKTIVITAS FUNGSIONAL( FAQ )

Kegiatan

1 Menulis cek, membayar tagihan, dan melakukan pembukuan buku cek 2 Mengumpulkan dan mengurus catatan pajak atau surat menyurat bisnis 3 Berbelanja sedikit pakaian, keperluan rumah tangga dan bahan

makanan

4 Melakukan hobi atau permainan yang memerlukan keterampilan 5 Memasak air, membuat kopi,dan mematikan kompor

6 Menyiapkan makanan

7 Dapat mengikuti peristiwa – peristiwa yang baru terjadi

8 Dapat memperhatikan, mengerti dan mediskusikan acara TV, buku, artikel majalah

9 Dapat mengingat janji, hari libur, dan kegiatan – kegiatan keluarga dan waktu minum obat

10 Berjalan – jalan di lingkungan sekitar rumah, membawa kendaraan, bepergian dengan kendaraan umum

Skor

( Adaptasi dari Pfeffer,Kurosaki TT,Harrah CH,et al,Measurement of functional activities of older adults in the community .J.Gerontol 1982;37(3);323-9 )

Cara penilaian :

Pilihlah salah satu di antara 4 kategori di bawah ini yang menggambarkan keadaan pasien saat ini untuk setiap pertanyaan di atas :

1. Nilai 3 : Ketergantungan penuh 2. Nilai 2 : Memerlukan bantuan

3. Nilai 1 : Dapat melakukan sendiri tapi dengan kesulitan atau tidak pernah melakukan dan akan mengalami kesulitan saat ini

4. Nilai 0 : Dapat melakukan sendiri tanpa kesulitan atau tidak pernah melakukan tetapi dapat melakukannya

Penilaiaan : Skor total antara 0 ( mandiri ) sampai 30 ( ketergantungan total)

Skor total lebih dari 9 atau kesulitan > aktivitas di atas mengindikasikan adanya gangguan aktivitas fungsional yang signifikan

Evaluasi dari status fungsional ini bermanfaat untuk menentukan kualitas hidup pasien geriatri, bahkan dapat memperpanjang usia harapan hidup dari lansia itu sendiri sebagai bagian proses rehabilitasi.

IV. EVALUASI KLINIS

Seorang tenaga kesehatan, apakah itu dokter, psikiater dan tenaga medis lainnya, perlu mempersiapkan diri untuk melaksanakan evaluasi klinis pada lansia, karena lansia memiliki beberapa kekhususan, antara lain yaitu sering memaparkan riwayat perjalanan penyakit secara panjang lebar dan berlebihan, membutuhkan waktu lebih lama untuk melepas pakaian dan berpakaian kembali, keluhan yang disampaikan bersifat luas dan tersamar, sehingga dokter seringkali mengalami kesulitan untuk menegakkan diagnosa, bahkan memprediksi prognosa. Ditambah lagi dengan masalah perekonomian lansia yang


(19)

lebih didominasi oleh pengeluaran, maka pembiayaan kesehatan lansia menjadi masalah tersendiri. Tidaklah mengherankan bila kualitas perawatan dalam segala hal yang diterima oleh lansia cenderung di bawah standar.

Di samping masalah kependudukan dan kebijaksanaan ekonomi yang menuntun sistem perawatan kesehatan pada geriatri, ada beberapa hal yang membuat masalah geriatri menarik bagi para dokter maupun tenaga kesehatan lainnya. Pasien lansia merupakan salah satu mata rantai yang menghubungkan masa lalu dengan kondisi saat ini sehingga keberadaannya menentukan masa depan generasi muda sekarang, sedangkan kesuksesan untuk mengatasi penyakit dan disabilitas pada lansia jauh lebih sulit dan menantang.

Selama lebih dari dua dekade ini, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Demikian pula pada bidang-bidang yang berkaitan dengan proses penuaan, dan pusatnya adalah pada perawatan geriatrik klinik, terutama di bidang penelitian dan program pendidikan yang telah dikembangkan di beberapa universitas secara luas. Kebutuhan akan penelitian mengenai hal tersebut perlu ditingkatkan terus dalam rangka memperbaiki pelayanan geriatrik yang telah ada, misalnya dengan penyediaan data-data terbaru yang relevan serta kumpulan pengetahuan dan informasi-informasi baru yang dapat diaplikasikan. Pengetahuan ini harus didasarkan terutama kepada geriatri dan dapat diintegrasikan dalam penegakkan diagnosa serta perawatan untuk lansia.

Perlunya informasi dasar tentang proses penuaan yang normal pada manusia akan menentukan metode analisa pasien secara tepat tentang fungsi kerja jantung, fungsi ginjal, tekanan darah, kapasitas volume paru, fungsi kekebalan, metabolisme glukosa pada lansia yang sehat. Ketika suatu penyakit mempengaruhi fungsi normal tubuh termasuk perubahan lainnya yang timbul berkaitan dengan usia, maka pada lansia akan timbul gejala yang berbeda bila dibandingkan dengan individu muda yang sedang menderita sakit.

Pemahaman akan proses penuaan yang normal dan pengaruhnya pada penyakit jelas dibutuhkan ketika kita mempertimbangkan suatu diagnosa bagi lansia yang menderita sakit. Kebingungan dapat menghasilkan tiga konsekuensi yang berbeda. Pertama, perubahan yang berkaitan dengan usia dapat dianggap sebagai penyakit dan menghasilkan pengobatan yang tidak efektif dan cenderung berbahaya. Kedua, penyakit mungkin tidak terdiagnosa atau salah diagnosa sehingga progresifitas pada penyakit yang tidak terdeteksi terus berjalan. Hal ketiga dan yang terburuk adalah penghindaran dari lansia secara pribadi untuk berkonsultasi pada dokter, karena sering terdapat rasa malu, takut, minder, bahkan frustasi pada pasien lansia yang memiliki banyak masalah kesehatan.

Sudut pandang penting telah ditambahkan pula untuk mempertimbangkan kesakitan (morbiditas) dan penanganannya pada lansia berkaitan dengan definisi perubahan yang normal dalam proses penuaan. Hal ini telah diterapkan secara nyata pada grup lansia yang normal, dengan pengenalan berbagai resiko untuk kemungkinan timbulnya kesakitan pada masa yang akan datang dan tentunya grup dengan resiko paling sedikit, berdasarkan genetik, gaya hidup, diet dan latihan kesehatan akan menuntut pada proses penuaan yang berhasil. Sedangkan pengenalan banyaknya resiko penuaan yang kurang berhasil penting diketahui dalam pendekatan klinis pada pasien lansia sebagai promosi kesehatan (health promotion) dan pencegahan penyakit (disease prevention). V. PRINSIP DASAR DALAM EVALUASI KLINIS

1. PERILAKU PASIEN SELAMA SAKIT

Perilaku pasien sangat bervariasi yaitu dipengaruhi oleh sosial budaya, psikologi dan gambaran klinis, termasuk di dalamnya adalah tingkat keparahan penyakit, derajat


(20)

terganggunya aktifitas hidup sehari-hari, dan penyangkalan gejala. Oleh karena itu, kita harus dapat menganalisa efek penuaan terhadap perilaku pasien selama sakit.

Pandangan mengenai kesehatan tergantung pada status kesehatan lansia itu sendiri, termasuk timbulnya penyakit dan tingkat keparahannya, tempat tinggal dan ruang lingkup pasien, serta batasan dan harapannya yang berkaitan dengan kesehatan. Misalnya saja seorang lansia yang hidup mandiri dalam sebuah rumah akan menganggap kondisi disabilitas pada dirinya sebagai beban yang lebih berat bila dibandingkan dengan lansia yang tinggal dalam Sasana Tresna Werdha.

Seiring dengan peningkatan umur pasien, pandangan mengenai kesehatan sepertinya berkurang tanpa dipengaruhi oleh status kesehatannya. Lansia yang meremehkan penyakit tentu saja beresiko untuk tidak mendapat perawatan. Sebaliknya pandangan yang terlalu mementingkan kesehatan kadangkala dianggap sebagai proses yang normal, sehingga disfungsi dianggap sebagai akibat dari faktor eksternal daripada sebagai penyakit. Misalnya saja kejadian jatuh dalam pandangan lansia ini dianggap sebagai resiko yang mungkin terjadi bila ada karpet yang terlipat, meja pegangan yang tidak stabil, kelelahan, penglihatan yang buruk bahkan kecerobohan ketika anda menjadi tua.Lansia cenderung menganggap remeh keparahan suatu penyakit ketika mengetahui bahwa dirinya menderita sakit. Serangan angina dianggap sebagai kelelahan otot akibat pekerjaan rumah tangga dan tersesat di dalam pusat perbelanjaan dianggap sebagai akibat penglihatan yang kurang awas. Hal ini mungkin terjadi akibat interaksi pasien dengan dokter pada masa lalu dimana keluhan pasien lansia sering dianggap remeh sehingga mengakibatkan keterlambatan dalam memberi pertolongan. Pandangan tentang disabilitas dan penurunan fungsional di usia lanjut sepertinya menghasilkan kurangnya penekanan terhadap keparahan gejala dan penundaan pengobatan untuk memperbaikan kondisi.

Studi terakhir baru-baru ini yang membandingkan penilaian tentang pandangan kesehatan antara usia paruh baya dengan lansia, ditemukan bahwa lansia cenderung pesimis, bahkan terlihat depresi dalam memandang kesehatannya. Hal ini menjadi karakteristik lansia dimana mereka telah putus asa dan sebagai konsekuensinya mereka menjadi tidak proaktif terhadap kesehatannya sendiri.

2. GEJALA YANG TIDAK DILAPORKAN

Telah diketahui secara luas bahwa membesar-besarkan gejala sebagai sesuatu yang serius adalah logis karena dengan begitu dapat cepat ditangani. Namun ada kalanya penyakit sering ditutupi bahkan tidak dilaporkan oleh lansia.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an beberapa ahli geriatri dari Skotlandia melakukan screening pada lansia dengan mengevaluasi status kesehatannya di dalam suatu masyarakat. Hal ini didokumentasikan agar nantinya dapat memainkan peranan penting dalam tercapainnya kepuasan terhadap pelayanan kesehatan. Dalam setiap sampelnya lansia mendapatkan dokter yang sesuai dan perawatan yang tidak dipungut biaya. Ternyata banyak terdapat penyakit seperti gagal jantung kongestif, presbiacusis, presbiopia, tuberkulosis, inkontinensia urine, anemia, bronchitis, kanker, defisiensi nutrisi, diabetes yang tidak terkontrol, imobilitas karena gangguan berjalan, gangguan gigi dan mulut yang mengurangi asupan makanan, demensia, dan depresi ditemukan pada lansia walaupun sebelumnya tidak dikeluhkan.

Studi di Amerika pada tahun 1950 menemukan hampir 90% dari lansia mengalami gejala 30 hari sebelumnya, tapi hanya 30% yang berkonsultasi dan berobat ke dokter. Ketika ditanyakan kepada siapa lansia akan mencari pertolongan bila timbul sakit yang mendadak, hampir 90% memberi jawaban akan menghubungi keluarganya dan hanya 10% menghubungi dokter. Sepertiga dari keluarga lansia yang mendapatkan


(21)

laporan berpikir bahwa pasien tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai bahkan menganggap lansia memperlihatkan gejala yang normal untuk orang seusianya. Sedangkan studi lain pada lansia yang hidup dalam komunitas mengungkapkan bahwa keluhan lebih bersifat minimal dan menetap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setidaknya hanya kurang dari 1% dari 2000 lansia yang dilaporkan kepada tenaga kesehatan, sedangkan sisanya tidak dilaporkan karena dianggap bukan masalah besar, tidak ada yang perduli, tidak ada yang dapat merubah keadaan itu atau tidak mau menggangu orang lain.

Studi lain mengenai sikap dan perilaku kesehatan menemukan bahwa lansia memiliki kewaspadaan tinggi dalam health promotion, namun kurang proaktif dalam bertindak bila mengalami gejala dari suatu penyakit.

Gejala yang melekat pada penuaan biasanya dapat memicu berbagai respon, antara lain :

1. Melihat dan menunggu, 2. Menerima gejala,

3. Menyangkal atau meminimalisasi gejala, 4. Menunda atau menghindari perawatan medis.

Lansia menerima dan memahami secara adekuat tentang nyeri, malaise dan disabilitas pada dirinya tetapi sering tidak melaporkan gejalanya. Tentu saja hal tersebut tidak mendapatkan perhatian dan juga pengobatan. Penjelasan yang umum untuk hal ini adalah kepercayaan pasien bahwa usia tua itu sendiri menyebabkan penurunan fungsi yang tidak dapat dikoreksi serta adanya perasaan “sakit”. Pandangan semacam ini yang membuat lansia tidak mencari pertolongan untuk dirinya, secara diam-diam menjalani progresifitas penyakitnya dan tentu saja akan terbebani dengan hilangnya fungsi normal organ akibat penyakit yang tidak mendapat perawatan.

Proses penuaan yang normal biasanya tercermin dari terpeliharanya kesehatan dan kemandirian lansia, dan adakalanya proses penuaan yang berhasil menggambarkan lansia yang memiliki kekuatan dan vitalitas seperti yang diusahakannya selama ini. Akan tetapi kurangnya kepedulian terhadap proses penuaan akan berakibat pada kemunduran dan kehilangan fungsi dari lansia itu sendiri. Sehingga kemunduran fungsi yang berat secara tiba-tiba pada lansia akan dianggap karena oleh penyakit dan bukan karena mereka menjadi tua.Peningkatan kehilangan fungsi kognitif pada lansia turut mengambil bagian dalam mendeteksi penyakit, terutama pada pasien demensia yang melaporkan lebih sedikit keluhan dan kecenderungan berkurangnya semangat ketika menyampaikan keluhan.

Beberapa dokumentasi tentang berbagai gejala yang tidak dilaporkan oleh lansia sepertinya bertentangan dengan pasien lansia yang dijumpai di klinik, karena pasien seringkali bersifat hipochondriacal, dimana pasien menyampaikan keluhan tiada akhir untuk menguji kesabaran dari dokter yang merawatnya serta adanya kebiasaan “doctor shopping” yang didorong oleh keinginan pasien untuk mendapatkan perhatian padahal belum tentu pasien menderita penyakit yang jelas.

3. PERILAKU PENYAKIT

Adanya beberapa ciri khas penyakit pada lansia antara lain : a. Proses penyakit yang multiple

Proses penyakit yang multiple berbahaya bagi kesejahteraan pasien lansia, yaitu menyangkut kepada 2 hal: Pertama, penyakit yang tidak terdentifikasi atau diabaikan dapat mempengaruhi diagnosa dan pengobatan dari penyakit yang sedang diderita dan mungkin dapat mencederai pasien secara iatrogenik; Kedua, beberapa penyakit dapat


(22)

saling berkaitan dan menjadi sebab dari penyakit yang lainnya atau bahkan merupakan kumpulan dari beberapa penyakit yang dapat menimbulkan penyakit baru.

Beberapa kondisi umum yang sering didapati pada lansia :

1. Gagal jantung kongestif, 9. Interkontinensia urin,

2. Depresi, 10. Insufisiensi vaskular,

3. Demensia, 11. Konstipasi,

4. Gagal ginjal kronis, 12. Diabetes,

5. Angina pektoris, 13. Gangguan sensorik, 6. Osteoarthritis, 14. Gangguan tidur,

7. Osteoporosis, 15. Anemia,

8. Gangguan gaya berjalan, 16. Adverse drug reaction

Keluhan yang tidak terdeteksi dan tidak terawat pada berbagai sistem organ atau jaringan dapat berinteraksi satu sama lain dengan penyakit lainnya yang sebelumnya telah dikompensasi tubuh secara fisiologis sehingga menghasilkan efek domino dimana penurunan fungsi tubuh menjadi irreversible yang akan menghantar pada ketergantungan, kecacatan bahkan kematian.

b. Proses penyakit yang berjalan kronis

Prevalensi penyakit yang bersifat kronis juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Adapun penyakit kronis didefinisikan sebagai suatu kondisi penyakit yang bertahan lebih dari 3 bulan. Beberapa individu menderita penyakit kronis pada usia dini dan menjadi tua dengan cepat dengan penyakit kronis yang dideritanya. Akan tetapi banyak individu yang menderita penyakit kronis saat mereka berusia lanjut dimana telah terjadi penurunan fungsi tubuh lebih dahulu, sehingga berakibat percepatan hilangnya fungsi organ. Penyakit kronis merupakan penyebab hampir 50% kematian pada usia > 65 tahun dan setengahnya didominasi oleh penyakit jantung. Penyakit jantung, neoplasma dan stroke merupakan penyebab hampir 80% kematian pada lansia.

Tingginya prevalensi penyakit kronis pada kelompok lansia merupakan penyebab utama penggunaan perawatan kesehatan. Karena populasi lansia semakin meningkat dengan sendirinya penyakit kronis menjadi lebih banyak dan disabilitas juga semakin meningkat. Keberhasilan penatalaksanaan penyakit kronis membutuhkan evaluasi yang sensitif dan akurat pada status fungsional awal dan seterusnya. Selain itu dokter yang merawat penderita penyakit kronis harus lebih menekankan pada proses perawatan daripada menyembuhkan. Beberapa usaha yang dapat dilakukan adalah perbaikan fungsi dan penundaan atau perlambatan timbulnya kemunduran yang semakin parah.

4. KEHILANGAN FUNGSI PADA LANSIA

Kehilangan fungsi pada lansia merupakan tahap akhir dari berbagai penyakit yang dialami lansia. Kemunduran fungsional berarti menurunnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan dalam hal ini dapat diukur dengan menilai ADL (Activity Daily Life), termasuk didalamnya adalah mobility, eating, toileting, dressing, grooming. Hal ini dapat pula dilanjutkan dengan memeriksa aktivitas tambahan sehari-hari IADL (Instrumental Activity Daily Life) seperti berbelanja, pergi ke bank, memasak, menyetir, membersihkan rumah atau menggunakan fasilitas kendaraan umum. Sebagai tambahan, pemeriksaan objektif dari fungsi kognitif dan perilaku serta ekonomi, sosial, dan emosional juga dibutuhkan dengan kesehatan pada lansia.


(23)

Tidak seperti individu muda, ketika lansia jatuh sakit, gejala awal dari penyakit yang baru atau eksaserbasi akut dari penyakit kronisnya seringkali tidak berupa satu keluhan yang spesifik pada sistem organ yang terkena. Sebaliknya, lansia yang mengalami sakit akan memperlihatkan keluhan yang nonspesifik, bahkan bukan merupakan manifestasi dari kemunduran fungsi.

Beberapa gangguan fungsi yang dapat diamati berupa : 1. Berhenti makan atau minum,

2. Jatuh,

3. Inkontinensia urin, 4. Pusing,

5. Kebingungan tiba-tiba, 6. Demensia,

7. Kehilangan berat badan, 8. Kegagalan berkembang.

Bila timbul pertanyaan kenapa penyakit pada lansia termanifestasi sebagai kehilangan fungsi pada sistem organ yang tidak berkaitan dengan lokalisasi kelainan, mungkin saja hal ini disebabkan karena terganggunya sistem homeostasis tubuh. Penyakit pada lansia seringkali mencetuskan problem bagi lansia untuk menjalani kehidupannya sehari-hari (ADL dan IADL), daripada gejala penyakitnya sendiri. Jadi immobilitas, gangguan kognisi, inkontinensia, serta nutrisi yang buruk seringkali merupakan manifestasi awal dari suatu penyakit. Penyakit yang mengakibatkan kemunduran fungsi pada lansia biasanya dapat dirawat bahkan diperbaiki tapi deteksi dini melalui evaluasi klinis merupakan langkah penting yang harus diambil terlebih dahulu.

VI. KESIMPULAN

Pendekatan holistic dalam memebrikan pelayanan kepada para Lanjut Usia adalah hal yang mutlak. Semua pasien memerlukan tidak hanya sekedar perawatan medis tetapi lebih dari itu yang pengkajian yang paripurna yang mencakup biopsikososial terutama pada pada pengelolaan para Lanjut Usia agar dapat menangkap berbagai masalah penting yang seringkali tersembunyi atau tidak khas manifestasi klinisnya. Melalui pengkajian yang holistik akan dapat ditetapkan berbagai faktor predisposisi dan pencetus serta hendaya yang dapat merupakan masalah utama atau pemberat yang harus segara diselesaikan karena dapat menimbulkan komplikasi serius dan fatal pada lansia.

Dalam pengelolaan pasien lansia, perlu diingat bahwa kemampuan individu lansia untuk berfungsi tergantung pada kombinasi karakteristik lansia (misalnya motivasi, toleransi terhadap nyeri) dan tempat dimana lansia diharapkan untuk berfungsi. Individu yang sama mungkain dapat berfungsi dengan baik disuatu tempat (mandiri) tetapi menjadi tergantung ditempat lain.

Peran seorang dokter adalah mengobati masalah atau penyakit yang dapat diobati atau diatasi dan selanjutnya memperbaiki kemampuan fisiologis dan psikologis semaksimal mungkin serta mengoptimalkan lingkungan hidup agar lansia memiliki status fungsional yang baik. Karena mengingat setiap pasien geriatri memiliki masalah yang khas untuk individu yang bersangkutan. Aspek penting proses menua adalah penurunan faal organ atau sistem organ dengan akibat berkurangnya daya cadangan faali; perubahan komposisi tubuh dan pajanan terhadap lingkungan atau gaya hidup yang salah. Bagi pasien geriatri, dukungan sosial juga merupakan aspek penting. Perbedaan penampilan


(24)

klinis pasien geriatri dipengaruhi oleh ekspresi gejala yang tidak adekuat, perubahan pola penyakit, dan perubahan respon terhadap penyakit.

Dalam pengelolaan Lanjut Usia disamping menggunakan Ilmu Pengetahuan yang kita dapatkan dari membaca ataupun selama masa kuliah, lebih dari itu adalah suatu seni yang mesti dikembangkan oleh individu-individu yang terlibat dalam pengelolaan Lanjut usia ini termasuk didalamnya adalah para dokter.Supaya pelayanan yang kita berikan dapat mencapai sasaran yang kita inginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Burnside-Mc Glynn, Physical Diagnosis edisi ke 17 . EGC.1995. Jakarta.

Darmojo, Boedhi; Martono, Hadi. Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) edisi ke 2. FKUI. 1995. Jakarta

Hazzard, William. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology ( st. edition, Webster Publicity.2000. United Kingdom

Mader, L Scott; Amasa B Ford; William, T Franclin. Practice of Geriatrics second edition. W.B Saunders Company. 1992. USA.

Noer, Sjaifoellah, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi ketiga. FKUI. 1996. Jakarta.

Setiabudhi, Tony; Hardywinoto. Panduan Gerontologi ( Tinjauan Dari Berbagai Aspek). Gramedia. 1999. Jakarta.

Pudjiastuti, Surini. Sri; Utomo, Budi. Fisioterapi Pada Lansia. WWW.emedicine.com


(1)

lebih didominasi oleh pengeluaran, maka pembiayaan kesehatan lansia menjadi masalah tersendiri. Tidaklah mengherankan bila kualitas perawatan dalam segala hal yang diterima oleh lansia cenderung di bawah standar.

Di samping masalah kependudukan dan kebijaksanaan ekonomi yang menuntun sistem perawatan kesehatan pada geriatri, ada beberapa hal yang membuat masalah geriatri menarik bagi para dokter maupun tenaga kesehatan lainnya. Pasien lansia merupakan salah satu mata rantai yang menghubungkan masa lalu dengan kondisi saat ini sehingga keberadaannya menentukan masa depan generasi muda sekarang, sedangkan kesuksesan untuk mengatasi penyakit dan disabilitas pada lansia jauh lebih sulit dan menantang.

Selama lebih dari dua dekade ini, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Demikian pula pada bidang-bidang yang berkaitan dengan proses penuaan, dan pusatnya adalah pada perawatan geriatrik klinik, terutama di bidang penelitian dan program pendidikan yang telah dikembangkan di beberapa universitas secara luas. Kebutuhan akan penelitian mengenai hal tersebut perlu ditingkatkan terus dalam rangka memperbaiki pelayanan geriatrik yang telah ada, misalnya dengan penyediaan data-data terbaru yang relevan serta kumpulan pengetahuan dan informasi-informasi baru yang dapat diaplikasikan. Pengetahuan ini harus didasarkan terutama kepada geriatri dan dapat diintegrasikan dalam penegakkan diagnosa serta perawatan untuk lansia.

Perlunya informasi dasar tentang proses penuaan yang normal pada manusia akan menentukan metode analisa pasien secara tepat tentang fungsi kerja jantung, fungsi ginjal, tekanan darah, kapasitas volume paru, fungsi kekebalan, metabolisme glukosa pada lansia yang sehat. Ketika suatu penyakit mempengaruhi fungsi normal tubuh termasuk perubahan lainnya yang timbul berkaitan dengan usia, maka pada lansia akan timbul gejala yang berbeda bila dibandingkan dengan individu muda yang sedang menderita sakit.

Pemahaman akan proses penuaan yang normal dan pengaruhnya pada penyakit jelas dibutuhkan ketika kita mempertimbangkan suatu diagnosa bagi lansia yang menderita sakit. Kebingungan dapat menghasilkan tiga konsekuensi yang berbeda. Pertama, perubahan yang berkaitan dengan usia dapat dianggap sebagai penyakit dan menghasilkan pengobatan yang tidak efektif dan cenderung berbahaya. Kedua, penyakit mungkin tidak terdiagnosa atau salah diagnosa sehingga progresifitas pada penyakit yang tidak terdeteksi terus berjalan. Hal ketiga dan yang terburuk adalah penghindaran dari lansia secara pribadi untuk berkonsultasi pada dokter, karena sering terdapat rasa malu, takut, minder, bahkan frustasi pada pasien lansia yang memiliki banyak masalah kesehatan.

Sudut pandang penting telah ditambahkan pula untuk mempertimbangkan kesakitan (morbiditas) dan penanganannya pada lansia berkaitan dengan definisi perubahan yang normal dalam proses penuaan. Hal ini telah diterapkan secara nyata pada grup lansia yang normal, dengan pengenalan berbagai resiko untuk kemungkinan timbulnya kesakitan pada masa yang akan datang dan tentunya grup dengan resiko paling sedikit, berdasarkan genetik, gaya hidup, diet dan latihan kesehatan akan menuntut pada proses penuaan yang berhasil. Sedangkan pengenalan banyaknya resiko penuaan yang kurang berhasil penting diketahui dalam pendekatan klinis pada pasien lansia sebagai promosi kesehatan (health promotion) dan pencegahan penyakit (disease prevention). V. PRINSIP DASAR DALAM EVALUASI KLINIS

1. PERILAKU PASIEN SELAMA SAKIT

Perilaku pasien sangat bervariasi yaitu dipengaruhi oleh sosial budaya, psikologi dan gambaran klinis, termasuk di dalamnya adalah tingkat keparahan penyakit, derajat


(2)

terganggunya aktifitas hidup sehari-hari, dan penyangkalan gejala. Oleh karena itu, kita harus dapat menganalisa efek penuaan terhadap perilaku pasien selama sakit.

Pandangan mengenai kesehatan tergantung pada status kesehatan lansia itu sendiri, termasuk timbulnya penyakit dan tingkat keparahannya, tempat tinggal dan ruang lingkup pasien, serta batasan dan harapannya yang berkaitan dengan kesehatan. Misalnya saja seorang lansia yang hidup mandiri dalam sebuah rumah akan menganggap kondisi disabilitas pada dirinya sebagai beban yang lebih berat bila dibandingkan dengan lansia yang tinggal dalam Sasana Tresna Werdha.

Seiring dengan peningkatan umur pasien, pandangan mengenai kesehatan sepertinya berkurang tanpa dipengaruhi oleh status kesehatannya. Lansia yang meremehkan penyakit tentu saja beresiko untuk tidak mendapat perawatan. Sebaliknya pandangan yang terlalu mementingkan kesehatan kadangkala dianggap sebagai proses yang normal, sehingga disfungsi dianggap sebagai akibat dari faktor eksternal daripada sebagai penyakit. Misalnya saja kejadian jatuh dalam pandangan lansia ini dianggap sebagai resiko yang mungkin terjadi bila ada karpet yang terlipat, meja pegangan yang tidak stabil, kelelahan, penglihatan yang buruk bahkan kecerobohan ketika anda menjadi tua.Lansia cenderung menganggap remeh keparahan suatu penyakit ketika mengetahui bahwa dirinya menderita sakit. Serangan angina dianggap sebagai kelelahan otot akibat pekerjaan rumah tangga dan tersesat di dalam pusat perbelanjaan dianggap sebagai akibat penglihatan yang kurang awas. Hal ini mungkin terjadi akibat interaksi pasien dengan dokter pada masa lalu dimana keluhan pasien lansia sering dianggap remeh sehingga mengakibatkan keterlambatan dalam memberi pertolongan. Pandangan tentang disabilitas dan penurunan fungsional di usia lanjut sepertinya menghasilkan kurangnya penekanan terhadap keparahan gejala dan penundaan pengobatan untuk memperbaikan kondisi.

Studi terakhir baru-baru ini yang membandingkan penilaian tentang pandangan kesehatan antara usia paruh baya dengan lansia, ditemukan bahwa lansia cenderung pesimis, bahkan terlihat depresi dalam memandang kesehatannya. Hal ini menjadi karakteristik lansia dimana mereka telah putus asa dan sebagai konsekuensinya mereka menjadi tidak proaktif terhadap kesehatannya sendiri.

2. GEJALA YANG TIDAK DILAPORKAN

Telah diketahui secara luas bahwa membesar-besarkan gejala sebagai sesuatu yang serius adalah logis karena dengan begitu dapat cepat ditangani. Namun ada kalanya penyakit sering ditutupi bahkan tidak dilaporkan oleh lansia.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an beberapa ahli geriatri dari Skotlandia melakukan screening pada lansia dengan mengevaluasi status kesehatannya di dalam suatu masyarakat. Hal ini didokumentasikan agar nantinya dapat memainkan peranan penting dalam tercapainnya kepuasan terhadap pelayanan kesehatan. Dalam setiap sampelnya lansia mendapatkan dokter yang sesuai dan perawatan yang tidak dipungut biaya. Ternyata banyak terdapat penyakit seperti gagal jantung kongestif, presbiacusis, presbiopia, tuberkulosis, inkontinensia urine, anemia, bronchitis, kanker, defisiensi nutrisi, diabetes yang tidak terkontrol, imobilitas karena gangguan berjalan, gangguan gigi dan mulut yang mengurangi asupan makanan, demensia, dan depresi ditemukan pada lansia walaupun sebelumnya tidak dikeluhkan.

Studi di Amerika pada tahun 1950 menemukan hampir 90% dari lansia mengalami gejala 30 hari sebelumnya, tapi hanya 30% yang berkonsultasi dan berobat ke dokter. Ketika ditanyakan kepada siapa lansia akan mencari pertolongan bila timbul sakit yang mendadak, hampir 90% memberi jawaban akan menghubungi keluarganya dan hanya 10% menghubungi dokter. Sepertiga dari keluarga lansia yang mendapatkan


(3)

laporan berpikir bahwa pasien tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai bahkan menganggap lansia memperlihatkan gejala yang normal untuk orang seusianya. Sedangkan studi lain pada lansia yang hidup dalam komunitas mengungkapkan bahwa keluhan lebih bersifat minimal dan menetap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setidaknya hanya kurang dari 1% dari 2000 lansia yang dilaporkan kepada tenaga kesehatan, sedangkan sisanya tidak dilaporkan karena dianggap bukan masalah besar, tidak ada yang perduli, tidak ada yang dapat merubah keadaan itu atau tidak mau menggangu orang lain.

Studi lain mengenai sikap dan perilaku kesehatan menemukan bahwa lansia memiliki kewaspadaan tinggi dalam health promotion, namun kurang proaktif dalam bertindak bila mengalami gejala dari suatu penyakit.

Gejala yang melekat pada penuaan biasanya dapat memicu berbagai respon, antara lain :

1. Melihat dan menunggu, 2. Menerima gejala,

3. Menyangkal atau meminimalisasi gejala, 4. Menunda atau menghindari perawatan medis.

Lansia menerima dan memahami secara adekuat tentang nyeri, malaise dan disabilitas pada dirinya tetapi sering tidak melaporkan gejalanya. Tentu saja hal tersebut tidak mendapatkan perhatian dan juga pengobatan. Penjelasan yang umum untuk hal ini adalah kepercayaan pasien bahwa usia tua itu sendiri menyebabkan penurunan fungsi yang tidak dapat dikoreksi serta adanya perasaan “sakit”. Pandangan semacam ini yang membuat lansia tidak mencari pertolongan untuk dirinya, secara diam-diam menjalani progresifitas penyakitnya dan tentu saja akan terbebani dengan hilangnya fungsi normal organ akibat penyakit yang tidak mendapat perawatan.

Proses penuaan yang normal biasanya tercermin dari terpeliharanya kesehatan dan kemandirian lansia, dan adakalanya proses penuaan yang berhasil menggambarkan lansia yang memiliki kekuatan dan vitalitas seperti yang diusahakannya selama ini. Akan tetapi kurangnya kepedulian terhadap proses penuaan akan berakibat pada kemunduran dan kehilangan fungsi dari lansia itu sendiri. Sehingga kemunduran fungsi yang berat secara tiba-tiba pada lansia akan dianggap karena oleh penyakit dan bukan karena mereka menjadi tua.Peningkatan kehilangan fungsi kognitif pada lansia turut mengambil bagian dalam mendeteksi penyakit, terutama pada pasien demensia yang melaporkan lebih sedikit keluhan dan kecenderungan berkurangnya semangat ketika menyampaikan keluhan.

Beberapa dokumentasi tentang berbagai gejala yang tidak dilaporkan oleh lansia sepertinya bertentangan dengan pasien lansia yang dijumpai di klinik, karena pasien seringkali bersifat hipochondriacal, dimana pasien menyampaikan keluhan tiada akhir untuk menguji kesabaran dari dokter yang merawatnya serta adanya kebiasaan “doctor shopping” yang didorong oleh keinginan pasien untuk mendapatkan perhatian padahal belum tentu pasien menderita penyakit yang jelas.

3. PERILAKU PENYAKIT

Adanya beberapa ciri khas penyakit pada lansia antara lain : a. Proses penyakit yang multiple

Proses penyakit yang multiple berbahaya bagi kesejahteraan pasien lansia, yaitu menyangkut kepada 2 hal: Pertama, penyakit yang tidak terdentifikasi atau diabaikan dapat mempengaruhi diagnosa dan pengobatan dari penyakit yang sedang diderita dan mungkin dapat mencederai pasien secara iatrogenik; Kedua, beberapa penyakit dapat


(4)

saling berkaitan dan menjadi sebab dari penyakit yang lainnya atau bahkan merupakan kumpulan dari beberapa penyakit yang dapat menimbulkan penyakit baru.

Beberapa kondisi umum yang sering didapati pada lansia :

1. Gagal jantung kongestif, 9. Interkontinensia urin,

2. Depresi, 10. Insufisiensi vaskular,

3. Demensia, 11. Konstipasi,

4. Gagal ginjal kronis, 12. Diabetes,

5. Angina pektoris, 13. Gangguan sensorik,

6. Osteoarthritis, 14. Gangguan tidur,

7. Osteoporosis, 15. Anemia,

8. Gangguan gaya berjalan, 16. Adverse drug reaction

Keluhan yang tidak terdeteksi dan tidak terawat pada berbagai sistem organ atau jaringan dapat berinteraksi satu sama lain dengan penyakit lainnya yang sebelumnya telah dikompensasi tubuh secara fisiologis sehingga menghasilkan efek domino dimana penurunan fungsi tubuh menjadi irreversible yang akan menghantar pada ketergantungan, kecacatan bahkan kematian.

b. Proses penyakit yang berjalan kronis

Prevalensi penyakit yang bersifat kronis juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Adapun penyakit kronis didefinisikan sebagai suatu kondisi penyakit yang bertahan lebih dari 3 bulan. Beberapa individu menderita penyakit kronis pada usia dini dan menjadi tua dengan cepat dengan penyakit kronis yang dideritanya. Akan tetapi banyak individu yang menderita penyakit kronis saat mereka berusia lanjut dimana telah terjadi penurunan fungsi tubuh lebih dahulu, sehingga berakibat percepatan hilangnya fungsi organ. Penyakit kronis merupakan penyebab hampir 50% kematian pada usia > 65 tahun dan setengahnya didominasi oleh penyakit jantung. Penyakit jantung, neoplasma dan stroke merupakan penyebab hampir 80% kematian pada lansia.

Tingginya prevalensi penyakit kronis pada kelompok lansia merupakan penyebab utama penggunaan perawatan kesehatan. Karena populasi lansia semakin meningkat dengan sendirinya penyakit kronis menjadi lebih banyak dan disabilitas juga semakin meningkat. Keberhasilan penatalaksanaan penyakit kronis membutuhkan evaluasi yang sensitif dan akurat pada status fungsional awal dan seterusnya. Selain itu dokter yang merawat penderita penyakit kronis harus lebih menekankan pada proses perawatan daripada menyembuhkan. Beberapa usaha yang dapat dilakukan adalah perbaikan fungsi dan penundaan atau perlambatan timbulnya kemunduran yang semakin parah.

4. KEHILANGAN FUNGSI PADA LANSIA

Kehilangan fungsi pada lansia merupakan tahap akhir dari berbagai penyakit yang dialami lansia. Kemunduran fungsional berarti menurunnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan dalam hal ini dapat diukur dengan menilai ADL (Activity Daily Life), termasuk didalamnya adalah mobility, eating, toileting, dressing, grooming. Hal ini dapat pula dilanjutkan dengan memeriksa aktivitas tambahan sehari-hari IADL (Instrumental Activity Daily Life) seperti berbelanja, pergi ke bank, memasak, menyetir, membersihkan rumah atau menggunakan fasilitas kendaraan umum. Sebagai tambahan, pemeriksaan objektif dari fungsi kognitif dan perilaku serta ekonomi, sosial, dan emosional juga dibutuhkan dengan kesehatan pada lansia.


(5)

Tidak seperti individu muda, ketika lansia jatuh sakit, gejala awal dari penyakit yang baru atau eksaserbasi akut dari penyakit kronisnya seringkali tidak berupa satu keluhan yang spesifik pada sistem organ yang terkena. Sebaliknya, lansia yang mengalami sakit akan memperlihatkan keluhan yang nonspesifik, bahkan bukan merupakan manifestasi dari kemunduran fungsi.

Beberapa gangguan fungsi yang dapat diamati berupa : 1. Berhenti makan atau minum,

2. Jatuh,

3. Inkontinensia urin, 4. Pusing,

5. Kebingungan tiba-tiba, 6. Demensia,

7. Kehilangan berat badan, 8. Kegagalan berkembang.

Bila timbul pertanyaan kenapa penyakit pada lansia termanifestasi sebagai kehilangan fungsi pada sistem organ yang tidak berkaitan dengan lokalisasi kelainan, mungkin saja hal ini disebabkan karena terganggunya sistem homeostasis tubuh. Penyakit pada lansia seringkali mencetuskan problem bagi lansia untuk menjalani kehidupannya sehari-hari (ADL dan IADL), daripada gejala penyakitnya sendiri. Jadi immobilitas, gangguan kognisi, inkontinensia, serta nutrisi yang buruk seringkali merupakan manifestasi awal dari suatu penyakit. Penyakit yang mengakibatkan kemunduran fungsi pada lansia biasanya dapat dirawat bahkan diperbaiki tapi deteksi dini melalui evaluasi klinis merupakan langkah penting yang harus diambil terlebih dahulu.

VI. KESIMPULAN

Pendekatan holistic dalam memebrikan pelayanan kepada para Lanjut Usia adalah hal yang mutlak. Semua pasien memerlukan tidak hanya sekedar perawatan medis tetapi lebih dari itu yang pengkajian yang paripurna yang mencakup biopsikososial terutama pada pada pengelolaan para Lanjut Usia agar dapat menangkap berbagai masalah penting yang seringkali tersembunyi atau tidak khas manifestasi klinisnya. Melalui pengkajian yang holistik akan dapat ditetapkan berbagai faktor predisposisi dan pencetus serta hendaya yang dapat merupakan masalah utama atau pemberat yang harus segara diselesaikan karena dapat menimbulkan komplikasi serius dan fatal pada lansia.

Dalam pengelolaan pasien lansia, perlu diingat bahwa kemampuan individu lansia untuk berfungsi tergantung pada kombinasi karakteristik lansia (misalnya motivasi, toleransi terhadap nyeri) dan tempat dimana lansia diharapkan untuk berfungsi. Individu yang sama mungkain dapat berfungsi dengan baik disuatu tempat (mandiri) tetapi menjadi tergantung ditempat lain.

Peran seorang dokter adalah mengobati masalah atau penyakit yang dapat diobati atau diatasi dan selanjutnya memperbaiki kemampuan fisiologis dan psikologis semaksimal mungkin serta mengoptimalkan lingkungan hidup agar lansia memiliki status fungsional yang baik. Karena mengingat setiap pasien geriatri memiliki masalah yang khas untuk individu yang bersangkutan. Aspek penting proses menua adalah penurunan faal organ atau sistem organ dengan akibat berkurangnya daya cadangan faali; perubahan komposisi tubuh dan pajanan terhadap lingkungan atau gaya hidup yang salah. Bagi pasien geriatri, dukungan sosial juga merupakan aspek penting. Perbedaan penampilan


(6)

klinis pasien geriatri dipengaruhi oleh ekspresi gejala yang tidak adekuat, perubahan pola penyakit, dan perubahan respon terhadap penyakit.

Dalam pengelolaan Lanjut Usia disamping menggunakan Ilmu Pengetahuan yang kita dapatkan dari membaca ataupun selama masa kuliah, lebih dari itu adalah suatu seni yang mesti dikembangkan oleh individu-individu yang terlibat dalam pengelolaan Lanjut usia ini termasuk didalamnya adalah para dokter.Supaya pelayanan yang kita berikan dapat mencapai sasaran yang kita inginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Burnside-Mc Glynn, Physical Diagnosis edisi ke 17 . EGC.1995. Jakarta.

Darmojo, Boedhi; Martono, Hadi. Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) edisi ke 2. FKUI. 1995. Jakarta

Hazzard, William. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology ( st. edition, Webster Publicity.2000. United Kingdom

Mader, L Scott; Amasa B Ford; William, T Franclin. Practice of Geriatrics second edition. W.B Saunders Company. 1992. USA.

Noer, Sjaifoellah, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi ketiga. FKUI. 1996. Jakarta.

Setiabudhi, Tony; Hardywinoto. Panduan Gerontologi ( Tinjauan Dari Berbagai Aspek). Gramedia. 1999. Jakarta.

Pudjiastuti, Surini. Sri; Utomo, Budi. Fisioterapi Pada Lansia.