Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play: Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar.
i
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
Oleh
NI WAYAN KUNIAWATI 1102105032
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
(2)
ii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : NI WAYAN KUNIAWATI
NIM : 1102105032
Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana Program Studi : Ilmu Keperawatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menrima sanksi atas perbuatan tersebut.
Denpasar, Juni 2015 Yang membuat pernyataan,
(3)
iii
PENGARUH TERAPI BERMAIN COOPERATIVE PLAY: MONOPOLI TERHADAP INTERAKSI SOSIAL ANAK RETARDASI
MENTAL SEDANG DI SDLB C1 NEGERI DENPASAR
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
OLEH
NI WAYAN KUNIAWATI NIM. 1102105032
TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI
Pembimbing Utama
Ns. Ni Made Aries MinartiS.Kep.M.Ng NIP/NIK 19640411 198903 2 002
Pembimbing Pendamping
N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd NIP/NIK 19690621 199403 2 002
(4)
iv
HALAMAN PENGESAHAN
PENGARUH TERAPI BERMAIN COOPERATIVE PLAY : MONOPOLI TERHADAP INTERAKSI SOSIAL ANAK RETARDASI
MENTAL SEDANG DI SDLB C1 NEGERI DENPASAR
Oleh
NI WAYAN KUNIAWATI NIM. 1102105032
TELAH DIUJIKAN DI HADAPAN TIM PENGUJI PADA HARI : RABU
TANGGAL : 10 JUNI 2015
TIM PENGUJI :
1. Ns. Ni Made Aries Minarti S.Kep.M.Ng (Ketua) 2. N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd (Sekretaris) 3. N.L.K Sulisnadewi, M. Kep, Ns. Sp. Kep. An (Penguji)
MENGETAHUI
KATA PENGANTAR DEKAN
FK UNIVERSITAS UDAYANA
Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K).,M.Kes NIP. 19530131 1980031 004
KETUA
PSIK FK UNIVERSITAS UDAYANA
Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS., AIF NIP. 19501231 198003 1 015
(5)
v
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play: Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:
1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K). M. Kes., sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF, sebagai ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
3. Ns. Ni Made Aries MinartiS.Kep.M.Ng., sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan ini tepat waktu.
4. N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd, sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan ini tepat waktu.
5. Kepada SDLB C1 Negeri Denpasar yang telah memberikan kesempatan penelitian pada instansi yang dipimpin dan para guru yang telah membantu dalam pemberian infornasi.
(6)
vi
6. Kedua orang tua saya, keluarga, dan teman-teman angkatan 2011 PSIK A, serta seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari senpurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang membangun.
Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Denpasar, Juni 2015 Penulis
(7)
vii N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd
Anak retardasi mental mempunyai fungsi intelektual di bawah rata-rata (70). Anak retardasi mental memiliki keterbatasan dalam kognitif, bahasa, motorik, dan kemampuan sosialisasi. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor dan salah satu faktornya adalah kurangnya stimulasi. Pemberian stimulasi dapat dilakukan dengan bermain. Permainan cooperative play: monopoli yang dilakukan secara bersama-sama dan meningkatkan kemampuan sosialisai anak retardasi mental sedang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi bermain cooperative play: monopoli terhadap interaksi sosial anak retardasi mental sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar. Jenis penelitian ini adalah pre-experimental (one group pretest dan posttest design). Sampel terdiri dari 20 anak yang diperoleh dengan total sampling sesuai dengan kriteria inklusi.. Semua responden diberikan terapi bermain sebanyak 9 kali selama 20 menit.Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur interaksi sosial sebelum dan setelah bermain monopoli dengan lembar observasi Delphie (2006). Data dianalisis dengan uji Wilcoxon Signed Rank Test. Hasil penelitian sebelum diberikan terapi bermain cooperative play : monopoli, terdapat 50% responden yang interaksi sosial kurang, 40% responden interaksi sosial cukup, dan 10% responden interaksi sosial baik. Setelah diberikan terapi bermain cooperative play: monopoli, responden dengan interaksi sosial cukup sebenyak 65% responden, interaksi sosial kurang sebanyak 5% responden dan interaksi sosial baik sebanyak 30% responden. Nilai p = 0,000 yang kurang dari α (0,005) yang artinya terdapat pengaruh terapi bermain cooperative play: monopoli terhadap interaksi sosial anak retardasi mental sedang di SDLB C1 Denpasar. Berdasarkan hasil tersebut disarankan kepada guru dan orang tua untuk memberikan stimulasi berupa bermain kepada anak retardasi mental sedang untuk meningkatkan interaksi sosialnya.
(8)
viii ABSTRACT
Kuniawati, Ni Wayan. 2015. Effect of Cooperative Play Therapy: Monopoly Toward Social Interaction of Child With Moderate Mental Retardation at SDLB C1 Denpasar District .Undergradute Thesis, Nursing Departement, Faculty of Medicine, Udayana University, Denpasar. Supervisor (1) Ns. Ni Made Aries MinartiS.Kep.M.Ng, (2) N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd
Children with mental retardation had IQ score less than 70. They had limitations in cognitive skills, verbal skills, motoric skills, and socialization skills. It is affected by several factor, such as the lack of stimulation. Stimulation could be induced by playing game. Cooperative play: monopoly was a game which perfomed together and would increase their social interaction for them. This study aims to determine the effect of cooperative play therapy: monopoly toward social interaction of children with moderate mental retardation at SDLB C1 Denpasar district. Design used in this study was pre exsprerimental (one group pretest posttest) design. The samples were colection by using total sampling method consisted of 20 respondent based on the inclusion criteria. This therapy had 9 session with 20 minutes each duration. Social interaction of children with mental retardation was measured by Delphie (2006) observasion sheet on pretest and posttest. Data was analysed by Wilcoxon Signed Rank Test. Results showed on pretest there were 50% respondent with less social interaction, 40% respondent with enough social interaction, and 10% responden with good social interaction. On posttest, there were 65% respondent with enough social interaction, 30% respondent with good interaction and 5% respondent with less social interaction. The p value was 0,000 and p value < α (0,005). These result showed there was an effect of cooperative play therapy: monopoly toward social interaction of child with moderate mental retardation at SDLB C1 Denpasar district. Based on the result, it is suggested to teachers and parents giving the children with moderate mental retardation stimulation (i.e., playing together) to increase social interaction for them.
(9)
ix
LEMBAR PERSETUJUAN ……….….. iii
HALAMAN PENGESAHAN……….. iv
KATA PENGANTAR………. v
ABTSTRAK………. vii
ABTRACT……… viii
DAFTAR ISI……….. ix
DAFTAR TABEL..……….…………. xii
DAFTAR GAMBAR.……… xiii
DAFTAR LAMPIRAN..………. xiv
DAFTAR SINGKATAN.……….……….. xv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………...………. 1
1.2 Rumusan Masalah……….………. 6
1.3 Tujuan Penelitian……… 6
1.4 Manfaat Penelitian………..……….. 7
1.5 Keaslian Penelitian……… 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Anak Retardasi mental ………..……… 11
2.1.1 Definisi Retardasi Mental...………... 11
2.1.2 Etiologi Retardasi Mental….………..……….... 12
2.1.3 Gejala Klinis Retardasi Mental.……….. 16
2.1.4 Diagnosis Retardasi Mental….………... 17
2.1.5 Klasifikasi Retardasi Mental..………. 18
2.1.6 Karakteristik Anak Retardasi Mental………... 20
2.1.7 Tumbuh Kembang Utama Anak dan Remaja……….. 22
2.1.8 Tumbuh Kembang Anak Retardasi Mental….…………...…... 24
2.1.9 Penatalaksanaan Retardasi Mental……….……... 25
2.2 Interaksi Sosial……….….. 26
2.2.1 Definisi Interaksi Sosial……….…… 26
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mendasari Terjadinya Interaksi Sosial…. 27 2.2.3 Bentuk Interaksi sosial………... 29
2.2.4 Jenis-jenis Interaksi Sosial………...………… 31
2.2.5 Pengukuran Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental………….. 32
2.2.6 Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial……….. 33
2.2.7 Faktor-faktor penghambat Perkembangan Sosialisasi Anak Retardasi Mental.……… 34
2.2.8 Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental…..……… 36
2.3 Terapi Bermain………..……….………. 37
(10)
x
2.3.2. Fungsi Bermain……….. 38
2.3.3. Variasi dan Keseimbangan dalam Aktivitas Bermain……... 41
2.3.4. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Aktivitas Bermain… 43 2.3.5. Klasifikasi Bermain………. 44
2.3.6. Permainan Monopoli……….. 49
2.3.7. Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang……… 51
BAB III KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Konsep……….……….. 55
3.2. Variabel Penelitian………. 57
3.2.1. Variabel Independen/ Variabel Bebas……… 57
3.2.2. Variaebel Denpeden/ Variabel Terikat……….. 57
3.3. Definisi Operasional……… 57
3.4. Hipotesis Penelitian………. 59
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian……….……….. 60
4.2 Kerangka Kerja………. 61
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian……….………. . 62
4.3.1. Tempat Penelitian……….. 62
4.3.2. Waktu Penelitian……… 62
4.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Penelitian……… 62
4.4.1. Populasi……… 62
4.4.2. Sampel……….. 62
4.4.3. Teknik Sampling………` 63
4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data………..………. ... 64
4.5.1. Jenis Data yang Dikumpulkan……… 64
4.5.2. Cara Pengumpulan Data………. 64
4.5.3. Intsrumen Pengumpulan Data……… 67
4.5.4. Etika Penelitian……… 68
4.6 Pengolahan dan Analisa Data ……….. 70
4.6.1. Teknik Pengolahan Data……… 70
4.6.2. Teknik Analisis Data………. 72
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitiian……….……… 73
5.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian………. 73
5.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian………. 74
5.1.3 Hasil Observasi Terhadap Responden Sesuai Variabel Penelitian ……… 77
5.1.4 Hasil Analisis Data……… 79
5.2 Pembahasan……… 81
5.2.1 Pola Interasksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar Sebelum Pemberian Terapi Bermain Cooperative Play: Monopoli………….. 81
(11)
xi
5.3 Keterbatasan Penelitian……….. 98 BAB VI PENUTUP
6.1 Simpulan………. 99
6.2 Saran……… 100
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(12)
xii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Klasifikasi retardasi mental menurut American Assocation
Mental Deficiency (AAMD) dan WHO ... 18
Tabel 2. Perbedaan Kriteria Retardasi Mental Berdasarkan DSM-IV-TR Dan AAMR ... 19
Tabel 3 Klasifikasi Retardasi Mental Berdasarkan Pendidikan Dan Bimbingan ... 19
Tabel 4 Ciri-ciri perkembangan anak retardasi mental ... 22
Tabel 5 Kelebihan Dan Kekurangan Media Monopoli ... 48
Tabel 6 Definisi Operasional Variabel... 54
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin……….. 73
Tabel 8 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia……… 74
Tabel 9 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua……….. 75
Tabel 10 Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang Sebelum Diberikan Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli………. 76
Tabel 11 Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang Setelah Diberikan Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli………. 77
Tabel 12 Hasil Observasi Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang Sebelum dan Setalah Diberikan Terapi Bermain Cooperative Play: Monopoli.. 78
(13)
xiii
Gambar 2 Desain Penelitian……….. 9 Gambar 3 Kerangka Kerja……… 60
(14)
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Jadwal Penelitian Lampiran 2 : Penjelasan Penelitian
Lampiran 3 : Surat Persetujuan Mengijinkan Menjadi Responden Lampiran 4 : Standard Operating Procedur Terapi Bermain Lampiran 5 : Lembar Observasi Interaksi Sosial
Lampiran 6 : Rencana Anggaran Dana Lampiran 7 : Master Tabel
Lampiran 8 : Bukti Penelitian
Lampiran 9 : Hasil Analisis Karakteristik Responden Lampiran 10 : Hasil Uji Wilcoxon Signed Rank Test Lampiran 11 : Surat-surat
(15)
xv
AAMD : American Assocation Mental Deficiency AAMR : American Association on Mental Retardation ANA : American Nurses Association
DSM : Diagnostic and Statistical Manual FAS : Fetal Alcohol Syndrome
HIV : Human Immunodeficiency Virus IUGR : Intrauterine Growth Retardation IQ : Intellegence Quotient
SD : Sekolah Dasar
SDLB : Sekolah Dasar Luar Biasa SSP : Sistem Saraf Pusat
(16)
xvi
SKRIPSI
PENGARUH TERAPI BERMAIN
COOPERATIVE PLAY
:
MONOPOLI TERHADAP INTERAKSI SOSIAL ANAK
RETARDASI MENTAL SEDANG DI SDLB
CI NEGERI DENPASAR
OLEH
NI WAYAN KUNIAWATI
1102105032
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
(17)
(18)
1
BAB1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Setiap individu merupakan manusia sosial, sehingga setiap individu dituntut untuk dapat berpartisipasi aktif, kreatif dan berdaya guna dalam lingkungannya. Sebagai manusia sosial, individu selalu memenuhi tuntutannya secara alamiah yang diwujudkan dalam perilaku sosial yang sesuai dalam masyarakat. Hal tersebut juga berlaku untuk anak berkebutuhan khusus terutama anak dengan retardasi mental (RM) secara hakiki mereka merupakan makhluk sosial. Sejak dilahirkan anak retardasi mental membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan biologisnya seperti makan dan minum (Sofinar, 2012). Anak retardasi mental (RM) mempunyai fungsi intelektual dibawah rata– rata (70) yang muncul bersamaan dengan kurangnya perilaku adaptif, ketidakmampuan beradaptasi dengan kehidupan sosial sesuai tingkat perkembangan dan budaya, biasanya terjadi sebelum usia 18 tahun (Wong, 2004). Hasil penelitian Word Health Organization (WHO) tahun 2009, jumlah anak RM
seluruh dunia adalah 3% dari total populasi. Tahun 2006-2007 terdapat 80.000 lebih penderita RM di Indonesia. Jumlah ini mengalami kenaikan yang pesat pada tahun 2009, dimana terdapat 100,000 penderita. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan sekitar 25% (Depkes RI, 2009). Berdasarkan data yang didapatkan di
(19)
Dinas Sosial Provinsi Bali pada tahun 2014 jumlah anak yang berkebutuhan khusus di Bali adalah 2.754 anak. Jumlah anak retardasi mental di Kota Denpasar berjumlah 169 anak, dimana anak laki-laki berjumlah 119 anak dan perempuan 50 anak.
Retardasi mental (RM) memiliki tiga kategori, yaitu RM ringan memiliki rentang Intelligence Quotient (IQ) 50–55 sampai sekitar 70. RM sedang memiliki tingkat IQ 35–40 sampai 50–55 mampu mempelajari komunikasi sederhana, keterampilan tangan yang sederhana, perawatan diri yang mendasar, pada tingkatan ini anak masih dapat dibimbing dan dilatih untuk dapat berfungsi di dalam lingkungan sosial. Pada RM berat memiliki rentang IQ 20–25 sampai 35– 40 ( Lisnawati,Shahib, dan Wijayanegara, 2014).
Efendi (2006) mengatakan bahwa anak retardasi mental sedang adalah anak yang memiliki kecerdasan yang rendah sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak yang mampu untuk didik seperti anak normal pada umunya. Soetjaningsih dan Rantuh (2014) menyebutkan bahwa anak retardasi mental tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara berpikirnya terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya lemah, demikian pula pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah. Sedangkan Somantri (2007) mengatakan bahwa anak retardasi mental sedang disebut juga embisil, yang bisa mencapai perkembangan Mental Age-nya sampai lebih dari tujuh tahun. Anak retardasi mental sedang ini memiliki keterbatasan dalam penyesuaian diri
(20)
3
dengan lingkungan, tidak mampu memikirkan hal yang abstrak dan yang berbelit-belit. Di sisi lain anak retardasi mental dalam kesehariannya merupakan bagian dari anggota masyarakat dan selalu dituntut dapat berperilaku sesuai dengan norma- norma yang berlaku dilingkungannya.
Sebagai anggota masyarakat anak retardasi mental tidak mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku, selain itu anak tidak bisa mandiri, tidak dapat melakukan komunikasi dua arah dengan teman sebaya atau orang lain hal ini disebabkan oleh kemampuan sosialisasi anak retardasi mental tidak berkembang secara optimal (Astuti, 2012). Hal tersebut di pengaruhi oleh faktor – faktor penghambat perkembangan sosial pada anak retardasi mental yaitu : (1) Peran aktif anak rendah, (2) tingkat pendidikan orang tua, (3) Stimulasi kurang yaitu anak retardasi mental memerlukan stimulasi yang lebih dibandingkan anak normal untuk mengembangkan kemampuan sosialisasinya, (4) Intelegensi rendah (Wardhani, 2012). Fungsi intelektual yang rendah juga disertai adanya keterbatasan pada dua fungsi atau lebih, yaitu komunikasi, menolong diri sendiri, keterampilan sosial, mengarahkan diri dan keterampilan akademik (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014).
Kurangnya kemampuan intelektual dan penyesuaian diri anak retardasi mental menyebabkan anak kurang mampu bergaul dengan teman sebayanya, sehingga anak sering dikucilkan dari pergaulan teman-teman seumurnya, akibatnya anak bergaul atau bermain dengan teman-teman yang lebih muda atau mengurangi
(21)
kegiatannya sampai menarik diri dari pergaulan (Goshali, 2008). Anak retardasi mental akan mengalami gangguan prilaku adaptasi sosial, yaitu dimana anak mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya, tingkah laku kekanak-kanakan tidak sesuai dengan umurnya (Muttaqin, 2008) Hal ini juga akan berpengaruh pada perkembangan jiwa anak selanjutnya, yakni menyebabkan anak mengalami frustasi, ketegangan, kecemasan, gampang takut serta keregangan hubungan antara anak dengan masyarakat di sekitarnya (Somantri, 2007). Apabila interaksi sosial anak tidak dapat diatasi maka akan menimbulkan gangguan perkembangan khususnya pada perkembangan personal sosial, sehingga anak akan menjadi anak yang terisolasi dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya (Wong, 2004). Adaptasi anak terhadap lingkungan seperti geografis, adat istiadat, keluarga, sekolah dan teman sebaya dipengaruhi oleh pengalaman atau stimulasi (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014)
Stimulasi merupakan bagian dari kebutuhan dasar anak yaitu asah. Dengan mengasah kemampuan anak secara terus-menerus, kemampuan anak akan semakin meningkat. Pemberian stimulasi dapat dilakukan dengan latihan dan bermain (Astuti, 2012). Melalui bermain, anak belajar membentuk hubungan sosial, belajar saling memberi dan menerima, menerima kritikan, akan terjadi komunikasi serta belajar perilaku dan sikap yang akan diterima dalam masyarakat (Wong, 2009). Salah satu bentuk permainan yang bisa diberikan adalah Cooperative Play (Ferlina, 2014). Permainan Cooperative Play merupakan
(22)
5
permainan yang dilakukan anak secara bersama-sama, dimana permainan yang terorganisir dan terancana serta terdapat aturan mainnya (Supartini, 2004). Hasil penelitian Wardhani (2012) menunjukan adanya peningkatan yang bermakna dengan cooperative play menggunakan puzzle dalam meningkatkan sosialisasi anak retardasi mental. Monopoli merupakan salah satu permainan dari Cooperative Play, pada permainan ini anak bermain secara bersama-sama, dengan bermain bersama anak akan saling berinteraksi dengan teman lainnya yang akan meningkatkan kemampuan interaksi sosial anak.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) C1 Negeri Denpasar pada bulan November 2014 dengan melakukan wawancara kepada Kepala Sekolah SDLB C1 Denpasar terdapat 63 siswa retardasi mental sedang dan ada sebagian siswa yang tuna ganda. Hasil observasi yang dilakukan di kelas tiga dan kelas empat secara acak menggunakan lembar observasi Delphie (2006) yang telah dimodifikasi oleh Wardhani (2012) didapatkan dari sembilan anak retardasi mental yang diobservasi didapatkan empat anak yang interaksi sosial cukup dan lima anak interaksi sosialnya kurang. Upaya yang dilakukan sekolah untuk meningkatkan interaksi sosial anak adalah dengan mengadakan kegiatan pramuka setiap hari sabtu. Namun kegiatan ini tidak berjalan dengan optimal karena kurangnya pastisipasi anak dalam mengikuti kegiatan pramuka.
(23)
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu “ Adakah Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar tahun 2015 ?”
1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Denpasar 2015.
1.3.2 Tujuan Khusus.
1. Mengidentifikasi interaksi sosial sebelum diberikan intervensi terapi bermain anak retardasi mental sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar 2015. 2. Mengidentifikasi interaksi sosial setelah diberikan terapi bermain anak
(24)
7
3. Menganalisis pengaruh interaksi sosial sebelum dilakukan terapi bermain monopoli dengan setelah dilakukan terapi bermain monopoli pada anak retardasi mental sedang Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar.
1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu keperawatan khususnya keperawatan anak dalam pemberian terapi bermain cooperative play terhadap interaksi sosial anak retardasi mental sedang.
2. Dapat dijadikan referensi untuk peneliti selanjutnya dalam mengembangkan interaksi sosial anak retardasi mental sedang dalam ilmu keperawatan anak.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Sebagai masukan bagi perawat komunitas agar membina kermitraan antara PUSKESMAS dengan sekolah dasar berkebutuhan khusus dalam Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan menggunakan terapi bermain monopoli sebagai salah satu metode terapi untuk menstimulasi kemampuan interaksi sosial anak retardasi mental.
2. Sebagai masukan bagi orang tua dan tenaga pengajar agar menggunakan terapi bermain monopoli sebagai salah satu pembelajaran dalam usaha mengembangkan kemampuan interaksi sosial anak retardasi mental.
(25)
1.5Keaslian Penelitian
Sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian yang sama dengan judul yang sama dengan judul penelitian penulis. Adapun penelitian dimana salah satu dari variabelnya sama dengan penulis yaitu :
1.5.1 Ferlina (2014) dengan penelitian yang berjudul “ Pengaruh Terapi Bermain : Cooperativ Play dengan Puzzle Transportasi Terhadap Pekembangan Sosial Anak Retardasi mental di Yayasan Pendidikan Setia Ayah Bunda Kota Payakumbuh Tahun 2014”. Penelitian dilakukan di Yayasan Pendidikan “Setia Ayah Bunda” Kota Payakumbuh. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 16 sampel. Penelitian ini menggunakan uji hoptesis t – berpasangan (paired t – test) dan uji normalitas pada penelitian ini adalah Uji Shapiro Wilk karena sampel pada penelitian ini kurang dari 50 sampel. Setelah diberikan terapi bermain puzzle dapat diketahui bahwa dari 16 orang anak tunagrahita, 10 anak dikatakan memiliki perkembangan sosial sedang, dengan persentase 62,5% dan terdapat 6 orang anak memiliki perkembangan sosial yang baik dengan persentase 37,5%. Hasil uji statistik didapatkan p = 0.00 maka dapat disimpulkan ada pengaruh terapi bermain puzzle transportasi terhadap perkembangan sosial anak tunagrahita sedang di Yayasan Pendidikan “Setia Ayah Bunda” Kota Payakumbuh Tahun 2014.
(26)
9
1.5.2 Wardhani (2012) dengan penelitian yang berjudul “Terapi Bermain :
Cooperative Play dengan Puzzle Meningkatkan Kemampuan Sosialisasi Anak
Retardasi Mental”. Penelitian ini di lakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Al – Hidayah, Desa Mejayan, Kecamatan Mejayan Kabupaten Madium. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 21 sampel. Analisis data ini dilakukan dengan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan Mann Whitney Test dengan tingkat kemaknaan α = 0.05. Peningkatan terjadi pada responden (4 responden) yang mengalami perubahan kriteria yang semula dari kriteria kurang meningkat menjadi kriteria cukup dan 1 responden yang semula dari kriteria cukup meningkat menjadi kriteria baik. Responden pada awalnya tidak ada kontak mata, tidak membalas senyuman, tidak mau menjawab pertanyaan dan cenderung menyendiri. Pada minggu pertama pemberian terapi bermain: cooperative play dengan puzzle masih banyak responden belum bisa mengikuti permainan sesuai dengan peraturan. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,036 maka dapat disimpulkan terjadi peningkatan kemampuan sosialisasi pada anak retardasi mental pada kelompok perlakuan.
1.5.3 Astuti (2011) dengan penelitian berjudul “Peningkatan Interaksi Sosial
dengan Pemberian Stimulasi Bermain Sosialisai pada Murid SDLBN/C1 (Imbesil Sedang) Usia Sekolah (6-12 Tahun) di Kabupaten Tuban Jawa Timur”. Penelitian ini dilakukan di SDLBN/C1 Kabupaten Tuban. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 20 sampel. Pengolahan data dan analisi data menggunakan dengan analisa crosstable. Pada responden no 1, 3, 6, 8
(27)
dan 9 mengalami perubahan kerusakan interaksi sosial berat menjadi sedang. Pada reponden no 2 dan 4 mengalami perubahan kerusakan interaksi sosial sedang menjadi baik. Pada responden no 5 mengalami perubahan dua tingkat yaitu dari kerusakan interaksi sosial sedang menjadi interaksi sosial normal tetapi pada responden no 7 dan 10 tidak mengalami perubahan yaitu tetap pada kerusakan interaksi sosial berat. Hasil dari penelitian ini terjadi peningkatan kemampuan sosialisasi pada anak retardasi mental pada kelompok perlakuan.
(28)
��������������������������������������������������������������������������� ��������������������������������������������������������������������������������� �����������������������������������������������������
(29)
11
2.1. Konsep Anak Retardasi Mental 2.1.1. Definisi Retardasi Mental
Subastian dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyatakan retardasi mental adalah kerterlambatan perkembangan yang dimulai pada masa anak, yang ditandai oleh intelegensi/kemampuan kognitif di bawah normal dan terdapat kendala pada perilaku adaptif sosial. Sementara itu, yang dimaksud dengan perilaku adaptif sosial adalah kemampuan sesorang untuk mandiri, menyesuiakan diri, dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan kelompok umur dan budayanya. Armatas (2009) menyebutkan bahwa retardasi mental (mental retardation) bukan merupakan suatu penyakit, melainkan hasil patologik didalam otak yang menggambarkan keterbatasan intelektualitas dan fungsi adaptif. Sedangkan Salmiah (2009) menyatakan retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya.
Definisi retardasi mental menurut American Association on Mental
Retardation (AAMR) adalah fungsi intelektual umum secara bermakna di bawah normal, disetai adanya keterbatasan pada dua fungsi adaptif atau lebih, yaitu komunikasi, menolong diri sendiri, ketrampilan sosial, mengarahkan
(30)
12
diri, ketrampilan akademik, bekerja, menggunakan waktu luang, kesehatan, dana atau keamanan, keterbatasan ini timbul sebelum umu 18 tahun (Soetjiningsih, dan Ranuh, 2014)
2.1.2. Etiologi Retardasi Mental
Subastian CS (2001) dan Harun KH (2002) dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014), penyebab retardasi mental adalah sebagai berikut :
1. Pranatal
a. Chromosomal Aberration
1) Sindrom Down
95% kasus Sindrom Down disebabkan trisomi 21, sisanya disebabkan oleh transolakasi dari mosaik.
2) Delesi
Contoh, sindrom cri-du-chat disebabkan delasi pada kromosom 5p3
3) Sindrom malformasi akibat mikrodelalasi
Contoh, sindrom Prader-Wili (paternal origin) dan Angelman (maternal origin) terjadi mikrodelesi pada kromosom 15q11-12, terdapat perbedaan fenotif kerena mekanisme imprinting.
b. Disorder with autosomal-dominan inheritance
Contoh adalah tuberus-sclerosis yang disebabkan mutasi gen pada pembentukan lapisan ektodermal dari fetus. Bila diagnosis
(31)
tuberus-sclerosis ditegakkan, kedua orang tuanya harus diperiksa, karena risiko kejadian dapat berulang 50% pada setiap kehamilan.
c. Disorder with autosomal-recessive inheritance
Sebagian besar penyakit metabolik mengikuti kategori ini. Contohnya adalah phenylketonuria (PKU), penyaki metabolik yang banyak diketahui. Gangguan ini pertama kali diketahui pada tahun 1934 oleh Folling pada anak dengan retardasi mental.
d. X-linked mental retardation
Fragile X syndrome merupakan penyebab kedua retardasi mental, setelah Sindrom Down. Kelainan kromosom terjadi pada lokasi Xq27.3.
e. Infeksi Maternal
1) Infeksi rubela pada bulan pertama kehamilan, dapat mempengaruhi organogensis fetus (50%). Infeksi pada bulan ketiga kehamilan mengakibatkan gangguan perkembangan fetus (15%). Kelainan akibat infeksi rubela berupa retardasi mental, mikrosefali, gangguan pendengaran, katarak, dan kelainan jantung bawaan.
2) Infeksi sitomegalovirus konginetal dapat menyebabkan
mikrosefali, gangguan pendengaran sensorineural, dan retardasi psikomotor.
(32)
14
3) Toksoplasmosis konginetal mengakibatkan 20% bayi yang
terinfeksi mengalami kelainan hidrosefalus, mikrosefali, gangguan perkembangan psikomotor, mata, dan pendengaran.
4) Human Immunodeficiency Virus (HIV) konginetal dapat
menyebabkan ensefalopati, yang ditandai oleh mikrosefali, kelainan neurologi progresif, retardasi mental, dan gangguan perilaku.
f. Zat-zat Racun
Zat teratogen yang terpenting pada ibu hamil adalah etanol, yang
dapat, menyebabkan Fetal Alcohol Syndrome (FAS). Alkohol
menyebabkan tiga kelainan utama yaitu : (1) Gambaran dismorfik (bila terpajan pada tahap organogenesis), (2) Retardasi pertumbuhan prenatal dan pascanatal, (3) Disfungsi susunan saraf pusat (SSP), termasuk retardasi mental ringan atau sedang, perkembangan motorik lambat, hiperaktivitas. Beratnya kelainan tergantung pada jumlah alkohol yang dikonsumsi.
g. Toksemia kehamilan dan insufesiensi plasenta
Intrauterine Growth Retardation (IUGR) banyak penyebabnya.
Penyebab yang penting adalah toksemia kehamilan yang dapat mengakibatkan kelainan pada SSP. Prematuritas dan terutama IUGR
(33)
mempengaruhi SSP dan menimbulkan masalah perkembangan lainnya.
2. Perinatal a. Infeksi
Infeksi pada periode neonatal dapat menyebabkan sekuele perkembangan, misalnya herpes simplek tipe 2 yang dapat menyebabkan ensefalitis dan sekuelenya. Infeksi bakteri yang
menyebabkan sepsis dan meningitis dapat mengakibatkan
hidrosefalus. b. Masalah kelahiran
Asfiksia berat, prematuria, trauma lahir, dan gejala-gejala neurologis pada masa bayi harus diwaspadai sebagai faktor risiko retardasi mental.
c. Masalah perinatal lainnya
Misalnya, pada retinopathy of prematurity (fibroplasias retrolental) karena pemakaian oksigen 100% pada bayi premature, selain mengakibatkan kebutaan juga dapat mengakibatkan retardasi mental. Demikian pula, hiperbilirubinemia dapat menyebabkan ikterus dan retardasi mental.
3. Pascanatal
(34)
16
b. Penyebab pascanatal lainnya
Misalnya tumor ganas pada otak, trauma kepala pada kecelakaan, dan hampir tenggelam.
c. Zat-zat racun, misalnya keracunan logam-logam berat
d. Masalah psikososial. Misalnya, depresi, deprivasi maternal, kurang stimulasi, kemiskinan, dan lainnya.
e. Penyebab tidak diketahui
Sekitar 30% retardasi mental berat dari 50% retardasi mental ringan tidak diketahui. Kebanyakan anak yang menderita anak retardasi mental ini berasal dari golongan sosial ekonomi rendah kurangnya stimulasi dari lingkungannya, yang secara bertahap menurunkan IQ bersamaan dengan terjadinya maturasi.
2.1.3. Gejala Klinis Retardasi Mental
Shapiro BK (2007) dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) gejala klinis yang sering menyertai retardasi mental berdasarkan umur adalah sebagai berikut : 1. Newborn
Sindrom dismorfik, mikrosefali, disfungsi sistemorgan major. 2. Early infancy (2-4 bulan)
Gagal berinteraksi dengan lingkungan, gangguan penglihatan atau pendengaran.
(35)
3. Later infancy (6-12 bukan) Keterlambatan motorik kasar. 4. Toddlers (2-3 tahun)
Keterlambatan atau kesulitan bicara. 5. Preschool (3-5 tahun)
Keterlambatan atau kesulitan berbicara; masalah perilaku termasuk kemampuan bermain; keterlambatan perkembangan motorik halus: menggunting, mewarnai, dan menggambar
6. School age (>5 tahun)
Kemampuan akademik kurang; masalah perilaku (perhatian, kecemasan, nakal dan lainnya).
2.1.4. Diagnosis Retardasi Mental
Pleyte dan Humris (2014) menyebutkan kriteria diagnostik untuk anak retardasi metal menurut Diagnostic and Statistical Manual IV – TR (DSM IV – TR) adalah sebagai berikut :
1. Fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ 70 atau kurang) yang diperiksa secara individual
2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif (kekurangan individu untuk memenuhi tuntutan standar perilaku sesuai dengan usianya dari lingkungan budayanya) dalam sedikitnya dua hal yaitu : komunikasi, self
(36)
18
menggunakan sarana komunitas, mengarahkan diri sendiri, keterampilan akademis fungsional, pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan keamanan
3. Awitan terjadi sebelum 18 tahun
2.1.5. Klasifikasi Retardasi Mental
Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan terdapat bermacam-macam klasifikasi retardasi mental yaitu :
1. Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency (AAMD) dan WHO
Tabel 1. Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency (AAMD) dan WHO
Derajat American Association Mental Deficiency
Word Health Organization
Ringan 55-69 50-70
Sedang 40-54 35-49
Berat 25-39 20-34
Sangat berat 0-24 0-20
2. Menurut Melly dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) : a. Retardasi mental tipe klinik
Pada retardasi mental tipe klinik mudah dideteksi sejak dini, karena kalaianan fisik dan mentalnya cukup besar. Penyebab terseringnya
adalah kelainan organik. Kebanyakan anak ini perlu perawatan yang terus menerus dan kelaianan ini dapat terjadi pada kelas sosial tinggi
(37)
maupun rendah. Orang tua anak retardasi mental tipe klinik ini cepat mencari pertolongan karena mereka melihat sendiri kelaianan pada anaknya.
b. Retardasi mental tipe sosiobudaya.
Biasanya, kelaianan ini baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya seperti anak normal, sehingga tipe ini disebut anak retardasi enam jam, karena begitu mereka keluar sekolah mereka dapat bermain seperti anak-anak normal lainnya. Tipe ini kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi rendah. Para orang tua tipe ini tidak melihat adanya kelainan pada anaknya. Mereka mengetahui kalau anaknya retardasi mental dari gurunya atau dari psikolog, karena anaknya gagal naik kelas beberapa kali.
3. Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR)
AAMR hanya membagi retardasi mental menjadi dua kategori yaitu retardasi mental ringan dan berat
Tabel 2. Perbedaan Kriteria Retardasi Mental Berdasarkan DSM-IV-TR dan AAMR
DSM-IV-TR AAMR
Ringan (IQ) 55-69 52-75
Sedang (IQ) 40-54
Berat (IQ) 25-39 <50
(38)
20
Keterangan :
AAMR hanya membedakan retardasi mental ringan dan berat. Pembagian ini berdasarkan kriteria yang lebih alamiah, antara lain berdasarkan meningkatnya likelihood dari :
a. Penyebab yang dapat didentifikasikan
b. Komorbid kesehatan, perilaku dan gangguan psikiatrik
c. Ketidakmampuan untuk mengikuti pendidiakn formal
d. Kebutuhan untuk perwalian nanti kalau sudah dewasa pada retardasi mental berat
4. Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan
Tabel 3 Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan
Kategori IQ Pendidikan Bimbingan Prevalen
Ringan 55-70 Mampu didik Kadang –kadang 0,9-2,7 %
Sedang 40-54 Mampu latih Terbatas
Berat 35-39 Tidak mampu
latih
Ekstensif 0,3-0,4 % Sangat berat <25 Tidak mampu
latih
Pervasive
Retardasi mental tipe ringan masih mampu didik, retardasi mental tipe sedang mampu dilatih, sedangkan retardasi mental mental tipe berat dan sangat berat memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur hidupnya. Bimbingan untuk anak retardasi mental tergantung pada tingkat kemandirian anak.
2.1.6 Karakteristik Anak Retardasi Mental
Retardasi mental (RM) merupakan suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya keterbatasan kemampuan kognitif, kerterbatasan
(39)
bahasa, keterbasatan motorik kasar dan halus, dan interaksi sosial (Maslim, 2007). Smith et al dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan (2007) Anak-anak retardasi mental secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan secara bersamaan mengalami hambatan terhadap prilaku adaptif selama masa perkembangan dari nol tahun sampai 18 tahun. Bidang prilaku adaptif yang menjadi perhatian untuk diobservasi meliputi :
1. Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi, meliputi: makan, minum, berpakaian, dan memelihara kesehatan diri.
2. Perkembangan fisik, meliputi keterampilan gerak
3. Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif
4. Keterampilan sosial, keterampilan bermain, keterampilan berinteraksi, berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam pergaulan, tangggung jawab terhadap diri sendiri, kegiatan memanfaatkan waktu luang, dan ekspresi emosi
5. Fungsi kognitif, meliputi pengetahuan akademik dasar (seperti
pengetahuan tentang warna) membaca, menulis, fungsi-fungsi: pengenalan terhadap angka, waktu, uang dan pengukuran.
6. Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka, berkaitan dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, keselamatan diri, dan memelihara diri secara praktis.
(40)
22
7. Keterampilan berbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelanja, dan cara mengatur pembelanjaan.
8. Keterampilan domestik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan memperbaiki barang-barang yang ada dirumah, cara membersihkan dan mencuci.
9. Orientasi lingkungan, meliputi keterampilan melakukan perjalanan,
memanfaatkan sumber-sember lingkungan, penggunaan telepon, menjaga keselamatan lingkungan.
10.Keterampilan vokasional, meliputi kebiasaan bekerja serta prilakunya, keterampilan mencari pekerjaan, prilaku sosial dalam pekerjaan dan menjaga keselamatan kerja
2.1.7 Tumbuh Kembang Utama Anak Dan Remaja
Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan pada masa praremaja, pertumbuhan lebih cepat dari pada masa prasekolah keterampilan dan intelektual makin berkembang; anak senang bermain berkelompok dengan teman jenis kelamin saa. Sedangkan pada masa remaja. Anak perempuan dua tahun lebih cepat memasuk masa remaja bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Masa ini, terjadi pacu tumbuh berat badan dan tinggi badan yang disebut sebagai adoslescent growth spurt (pacu tumbuh aldosteron).
(41)
Tahap Masa Praremaja (6-12 tahun) :
1. Teman sebaya sangan penting
2. Anak mulai berpikir logis, meskipun masih kongkrit dan operasional
3. Egosentris berkurang
4. Memori dan kemampuan bahasa meningkat
5. Kemampuan kognitif meningkat akibat sekolah formal.
6. Konsep diri berubah, yang mempengaruhi harga dirinya.
Tahap Masa Remaja (13-20 tahun) 1. Perubahan fisik cepat dan jelas
2. Maturitas reproduktif dimulai sampai mencapai dewasa
3. Teman sebaya dapat mempengaruhi perkembangan dan konsep dirinya
4. Kemampuan berpikir asbtrak dan menggunakan alasan yang bersifat
alamiah sudah berkembang
(42)
24
2.1.8 Tumbuh Kembang Anak Retardasi Mental
Tabel 4 Ciri-ciri perkembangan anak retardasi mental
Tingkat Retardasi Mental
Umur pra-sekolah: 0-5 tahun
Pematangan dan Perkembangan
Umur Sekolah: 6-20 tahun Latihan dan Pendidikan
Masa dewasa: 21 tahun atau lebih
Kecukupan Sosial dan Pekerjaan
Berat sekali Retardasi berat: kemampuan minimal untuk berfungsi dalam bidang sensori-motorik; membutuhkan perawatan
Perkembangan motorik sedikit, dapat bereaksi terhadap latihan terus mengurus diri sendiri secara minimal atau terbatas
Perkembangan motorik dan berbicara sedikit; dapat mencapai mengurus diri sendiri secara sangat terbatas; membutuhkan
perawatan. Berat Perkembangan motorik
kurang; bicara maksimal; pada umumnya tidak dapat dilatih untuk mengurus diri-sendiri; keterampilan komunikasi tidak ada atau hanya sedikit
Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi; dapat dilatih dalam kebiasaan kesehatan dasar; dapat dilatih secara sistemik dalam kebiasaan
Dapat mencapai sebagian dalam mengurus diri sendiri dibawah pengawasan
penuh; dapat
mengembangkan secara minimal berguna keterampilan menjaga diri dalam lingkungan yang terkontrol.
Sedang Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi; kesadaran sosial kurang; perkembangan motorik cukup; dapat mengurus diri sendiri; dapat diatur dengan pengawasan sedang.
Dapat dilatih dalam keterampilan sosial dan pekerjaan; sulit mengalami perkembangan dalam bidang akademik setelah kelas dua SD;dapat berpergian sendiri ketempat yang sudah dikenal
Memerlukan
pengawasan dan bimbingan bila mengalami stress sosial atau stress ekonomi yang ringan
Ringan Dapat mengembangkan keterampilan sosial dan komunikasi;
keterbelakangan minimal
dalam bidang
sensomotorik; sering tidak dapat dibedakan dari normal hingga usia tua
Dapat belajar keterampilan akademik sampai kira-kira kelas enam pada umur belasan tahun; dapat dibimbing ke arah konformitas sosial
Biasanya dapat mencapai keterampilan sosial dan pekerjaan yang cukup mencari nafkah, tetapi memerlukan bimbingan dan bantuan bila mengalami stress sosial atau stress ekonomi yang luar biasa.
Sumber: Freedman, AM.,H.I dan Sadock, B.J. ; Modem Synopsis of Comprehensive Textbook of Psychiatry, Wiliams &Wilkins Co, Baltimore, 1972, HI. 313 dalam Maramis 2009.
(43)
2.1.9 Penatalaksanaan
Pleyte dan Humris (2014) menyebutkan penatalaksanaan anak retardasi mental meliputi tiga hal yaitu :
1. Pendekatan yang berhubungan dengan etiologi, misalnya menetapkan diet
secara dini untuk penderita yang penyebabnya adalah fenilketonuria atau substansi hormon ini.
2. Terapi untuk gangguan fisik dan mental yang menyertai retardasi mental 3. Pendidikan yang sesuai dan rehabilitasi
Keterbatasan anak retardasi mental dapat dikurangi dengan modifikasi perilaku, sehingga modifikasi perilaku perlu diberikan kepada anak retardasi mental melalui terapi perilaku (Nisa, 2010). Efendi (2006) Jenis terapi perilaku yang diberikan kepada anak retardasi mental yaitu melalui kegiatan bermain. Terapi permainan yang diberikan yang memiliki muatan antara lain: 1. Setiap permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda.
2. Sosok permainan yang diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna anak retardasi mental (Prasedio dalam Efendi 2006).
Nisa (2010) menyatakan nilai terapi yang penting dalam perkembangan anak retardasi mental yaitu:
1. Pengembangan fungsi fisik, misalnya pernapasan, peredaran darah, dan pencernaan makanan
(44)
26
2. Pengembangan sensomotorik, melalui bermain dapat melatih ketajaman penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan melatih kemampuan gerak.
3. Pengembangan daya khayal, anak diberi kesempatan untuk mampu
menghayati makna kebebasan untuk pengembangan kreasinya
4. Pembinaan pribadi, anak berlatih memperkuat kemauan, memusatkan
perhatian, mengembangkan keuletan, dan percaya diri
5. Pengembangan sosialisasi, anak bermain dengan teman sebaya,
berkelompok, anak harus mampu menerima kekalahan, menunggu giliran, setia, jujur, terjadinya komunikasi dan interaksi antara individu.
6. Pengembangan intelektual, dalam permainan yang dilakukan, anak diberi kesempatan untuk mengaktualisasi kemampuannya melalui ucapan atas apa yang dilihat dan didengar tentang permainan yang dilakukan.
2.2. Interaksi Sosial
2.2.1. Definisi Interaksi Sosial
Interaksi sosial menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial. Dari interaksi antar individu dan kelompok, dan antar kelompok akan tumbuh jalinan kerja sama, saling membutuhkan, dan saling pengertian yang sangat penting dalam mewujudkan kehidupan bersama yang dinamis. Interaksi sosial adalah bentuk umum proses sosial, di mana individu dan kelompok mengembangkan
(45)
cara-cara yang berhubungan dengan individu dan kelompok lain (Maryati dan Suryawati, 2007).
Sunaryo (2004) menyebutkan interaksi sosial mulai apabila dua orang bertemu, misalnya saling menyapa, saling berjabat tangan, saling berbincang-bincang, atau mungkin saling berselisih. Suatu tindakan disebut interaksi sosial apabila individu melakukan tindakan sehingga menimbulkan reaksi dari individu lain. Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk tindakan-tindakan yang berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Interaksi sosial merupakan salah satu bentuk hubungan antara individu dan lingkungannya, terutama lingkungan psikisnya.
2.2.2. Faktor-Faktor yang Mendasari Terjadinya Interaksi Sosial
Murdiyatmoko (2007) menyatakan interaksi sosial bersifat dinamis dan merupakan dasar bagi proses sosial. Sosiologi menelaah proses sosial, seperti bagaimana cara anggota masyarakat saling berhubungan atau berinteraksi sosial. Interaksi sosial dapat berlangsung apabila terjadi saling aksi dan reaksi antara kedua belah pihak. Interaksi sosial tidak akan terajdi jika manusia mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap system sarafnya sebagai akibat hubungan tersebut. Interaksi sosial harus terjadi dua arah dan menuntut timbal balik. Proses interaksi sosial baru akan berlangsung jika suatu aktivitas menciptakan aksi atau mempengaruhi orang lain untuk bereaksi. Berlangsungnya suatu proses
(46)
28
interaksi yang didasari oleh pada berbagai faktor antara lain faktor imitasi, sugesti, indentifikasi, dan simpati.
1. Imitasi
Imitasi adalah suatu tindakan yang menirukan tindakan, nilai, norma, atau ilmu pengetahuan orang atau kelompok yang berinteraksi. Faktor imitasi mempunyai peranan yang sangat panting dalam proses interaksi sosial yang dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kaidah dan nilai yang berlaku
Imitasi mempunyai dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut :
a. Imitasi positif, yaitu apabila mendorong seseorang untuk melakukan dan memahami kaidah-kaidah yang berlaku.
b. Imitasi negatif, yaitu apabila mengakibatkan terjadinya hal-hal yang
bertentangan dengan norma-norma dan kaidah-kaidah serta
melemahkan daya kreasi seseorang. Contohnya kebiasaan minum-minuman keras serta pergaulan bebas antara pemuda dan pemudi. 2. Sugesti
Sugesti timbul apabila seseorang meniru suatu pandangan atau sikap orang lain secara tidak rasional. Sugesti mungkin terjadi apabila yang memberi pandangan itu orang yang berwibawa, bersifat otoriter, atau orang yang memiliki disiplin yang mantap. Contohnya, orang yang sedang stres atau dilanda suatu masalah yang sangat dilematis.
(47)
3. Identifikasi
Identifikasi merupakan kecendrungan atau keinginan seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (tidak sadar) atau disengaja.
4. Simpati
Simpati adalah suatu proses yang menjadikan seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Dalam proses ini, perasaan seseorang memegang peranan yang sangat penting. Contohnya, seorang siswa ikut bergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler tari tradisional karena tertarik dan merasa simpati kepada pelatihnya yang pandai menari.
2.2.3. Bentuk Interaksi Sosial
Soekanto dalam Sunaryo (2004) menyebutkan ada empat bentuk interaksi sosial , yaitu kerja sama (cooperation), persaingan (compettion), pertentangan
atau pertikaian (conflict), dan akomodasi atau penyesuaian diri
(accommodation). Untuk jelas dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kerja sama (cooperation)
Kerja sama (cooperation) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang utama. Kerja sama adalah bentuk usaha bersama antara orang perorang atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Timbulnya kerja sama karena adanya kepentingan bersama. Kerja sama bertambah kuat apabila ada musuh bersama atau
(48)
30
ancaman bersama. Kerja sama juaga dapat bersifat agresif apabila kelompok mengalami kekecewaan dan perasaan tidak puas
2. Persaingan (competition)
Persaingan (competition) adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok menusia bersaing, mencari keuntungan melalui bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka yang telah ada. Tipe persaingan bisa adalah bersifat pribadi (rivalry) dan bersifat tidak pribadi. Bentuk persaingan, antara lain persaingan ekonomi, persaingan kebudayaan, persaingan kedudukan dan peranan, serta persaingan ras.
3. Pertentangan atau pertikaian (conflict)
Pertentangan atau pertikaian (conflict) adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. Penyebab terjadinya pertentangan, yaitu perbedaan antarindividu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan individu.
Bentuk–bentuk pertentangan, antara lain pertentangan pribadi,
pertentangan rasial, pertentangan antarkelas sosial, pertentangan politik, dan pertentangan yang bersifat internasional.
(49)
4. Akomodasi atau penyesuaian diri (accommodation)
Akomodasi berarti adanya suatu keseimbangan (equikebrium), dalam interaksi antara orang perorangan atau kelompok manusia dalam kaitannya dengan normal sosial dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Akomodasi sebagai suatu proses, yang menunjukan pada usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. Secara umum akomodasi adalah suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Tujuan akomudasi adalah mengurangi pertentangan dan mencegah meledaknya pertentangan secara temporer.
2.2.4. Jenis-Jenis Interaksi Sosial
Raharjo (2004) menyebutkan ada tiga jenis interaksi sosial yaitu : 1. Interaksi antara individu dengan individu
Individu yang satu memberikan pengaruh, rangsangan, dan stimulus kepada individu lainnya. Sedangkan individu yang terkena pengaruh tersebut memberikan reaksi, tanggapan, atau respon. Seperti jabat tangan atau berbicara
(50)
32
2. Interaksi antara individu dengan kelompok
Individu yang memberikan pengaruh, rangsangan, dan stimulus kepada kelompok sosial. Contoh: seorang guru mengajari siswa-siswa di dalam kelas.
3. Interaksi antara kelompok dengan kelompok
Hubungan interaksi antara kelompok sosial yang memberikan pengaruh, rangsangan, dan stimulus kepada kelompok sosial lainnya. Seperti: satu kesebelasan sepak bola melawan kesebelasan sepak bola lainnya.
2.2.5. Pengukuran Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang
Pengukuran kemampuan interaksi sosial pada anak retardasi mental menggunakan lembar observasi Delphie (2006) yang telah dimodifikasi oleh Wardhani (2012). Indikator dari kemampuan interaksi sosial adalah anak melakukan kontak mata dengan peneliti dan peneliti pendamping, anak membalas senyuman peneliti pendamping dan peneliti, anak mampu menjawab tiga pertanyaan dari peneliti pendamping, anak menunjukkan barang miliknya kepada orang lain, peneliti dan peneliti pendamping, anak mampu bermain dengan teman sebaya, anak mengikuti permainan sesuai peraturan yang telah dibuat, anak tetap bermain dengan temannya walaupun tidak ada guru/ pengasuh /petugas disaat jam istirahat, anak berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan disekolah, anak mampu bertanya / bertukar pendapat dengan teman yang lainnya, dan anak mampu bekerja sama dengan
(51)
kelompok. Dikatakan kurang apabila skor menunjukkan 0 – 3, cukup jika skor menunjukkan 4 – 6, dan baik jika skor menunjukkan 7 – 10.
2.2.6. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Soeroso (2008) menyebutkan kontak sosial dan komunikasi merupakan syarat terjadinya interaksi sosial
1. Kontak Sosial
Sebagai gejala sosial, kontak sosial tidak berarti bersinggungan fisik, akan tetapi berhubungan atau bertatap muka antara individu dengan individu lainya. Kontak sosial adalah pertemuan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok yang memungkinkan terjadinya komunikasi. Kontak sosial dapat dibedakan menjadi kontak primer dan kontak sekunder. Kontak sosial primer adalah interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung atau tanpa menggunakan bantuan sarana. Kontak sosial primer dibedakan menjadi dua yaitu tatap muka dan gerak tubuh. Kontak sosial sekunder adalah interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara tidak langsung atau menggunakan bantuan sarana. Sarana yang sering digunakan berupa orang sebagai perantara, artinya orang tersebut menjebatani interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Kontak sosial sekunder lainnya
(52)
34
adalah menggunakan media masa, baik media elektronik maupun media cetak juga dapat melalui telepon .
2. Komunikasi
Komunikasi dilihat sebagai bagian dari interaksi sosial. Jika interaksi sosial sebagai aktivitas, maka komunikasi diberikan pengertian sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi terbagi menjadi dua macam yaitu komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan oleh seseorang secara langsung dengan kata-kata yang ada. Penyampain pesan berbicara secara terstruktur tentang pesan apa yang akan disampaikan kepada
masyarakat. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang
menggunakan tulisan atau gambar seperti spanduk, selebaran iklan atau pamphlet. Sarana atau saluran media yang digunakan pada masyarakat sederhana adalah komunikasi verbal, yaitu menggunakan kata-kata oleh orang yang dianggap mampu menyampaikan pesan tersebut.
2.2.7. Faktor-Faktor Penghambat Perkembangan Sosial Anak Retardasi Mental
Wardhani (2012) menyebutkan bahwa faktor – faktor penghambat perkembangan sosial pada anak retardasi mental yaitu :
1. Intelegensi rendah yaitu anak retardasi mental mengalami keterbatasan sosialisasi dikarenakan tingkat intellegensianya yang rendah. Kemampuan
(53)
penyesuaian diri dengan lingkungannya sangat dipengaruhi oleh kecerdasan, karena tingkat kecerdasan anak retardasi mental berada dibawah normal, maka dalam kehidupan bersosialisasi mengalami hambatan. Anak yang IQ-nya lebih tinggi menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari pada anak yang IQ-nya normal atau dibawah normal (Hurlock 2005).
2. Stimulasi kurang yaitu anak retardasi mental memerlukan stimulasi yang lebih dibandingkan anak normal untuk mengembangkan kemampuan sosialisasinya. Meskipun anak sudah mendapatkan pendidikan di sekolah khusus, tetapi kemampuan sosialisasinya masih kurang. Hal ini dikarenakan materi di sekolah lebih difokuskan untuk peningkatan intelligen. Kegiatan yang dilakukan secara bersama/berkelompok masih jarang dilakukan, seperti bermain secara berkelompok, sehingga peran aktif anak untuk memacu dirinya untuk berinteraksi dengan lingkungan
sekitar juga kurang. Untuk itu diperlukan stimulasi berupa
kegiatan/permainan yang dapat dilakukan dengan berkelompok secara rutin dan berkelanjutan demi meningkatkan peran aktif anak dalam mengembangkan kemampuan sosialisasinya.
3. Peran aktif anak rendah dimana peran aktif anak juga dapat berpengaruh. Anak harus memacu dirinya sendiri untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dengan adanya teman dalam satu kelompok anak bisa saling berdiskusi dan bekerja sama dengan teman sekelompok, serta dengan
(54)
36
adanya kelompok lawan yang memiliki tingkat kemampuan sosialisasi yang berbeda dapat memotivasi anak untuk tertarik dan beradaptasi dengan permainan.
4. Tingkat pendidikan orang tua juga mempengaruhi perkembangan
kemampuan sosialisasi anak retardasi mental, hal ini berdampak pada minimnya pengetahuan yang diperoleh seputar kondisi anak dan pemenuhan kebutuhan/stimulasi untuk mengembangkan kemampuan sosialisasinya.
2.2.8. Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok (Mila dan Ida, 2006). Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, berbincang-bincang, bahkan berselisih (Tim Mitra Guru, 2006).
Sebagai anggota masyarakat anak retardasi mental tidak mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku, selain itu anak tidak bisa mandiri, tidak dapat melakukan komunikasi dua arah dengan teman sebaya atau orang lain, hal ini disebabkan oleh kemampuan sosialisasi
(55)
anak retardasi mental tidak berkembang secara optimal (Astuti, 2012). Untuk memaksimalkan fungsi interaksi sosial anak retardasi mental maka perlu diberikan stimulus dengan cara bermain.
2.3 Terapi Bermain 2.3.1. Definisi Bermain
Permainan adalah alat stimulus paling penting untuk anak. Bermain juga dapat meningkatkan kemampuan fisik anak, pengalaman, dan pengetahuan serta berkembang keseimbangan mental anak (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014) Bermain merupakan cara ilmiah bagi orang anak untuk mengungkapkan konplik orang tua dan lingkungan. Dalam hal ini anak sudah mulai memperluas ruang lingkup pergaulannya (Riyadi dan Sukirman, 2009). Bermain adalah kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh kesenangan atau kepuasan (Supartini, 2004). Bermain merupakan bentuk infatil dari kemampuan orang dewasa untuk menghadapi berbagai macam pengalaman dengan cara menciptakan model situasi tertentu dan berusaha untuk menguasainya melalui eksperimen dan perencanaan (Nursalam, Rekawati, dan Utami, 2005). Terapi bermain adalah usaha mengubah tingkah laku bermasalah, dengan menempatkan anak dalam situasi bermain, baisanya ada ruangan khusus yang telah diatur sedemikian rupa sehingga anak merasa lebih santai dan anak dapat mengekpresikan segala perasaan dengan bebas (Adriana, 2011)
(56)
38
2.3.2. Fungsi Bermain
Wong et al (2009) menyebutkan fungsi bermain adalah sebagai berikut :
1. Perkembangan sensimotor
Aktivitas sensimotor adalah komponen utama bermain pada semua usia dan merupakan bentuk dominan permainan pada masa bayi. Permainan akitif penting untuk perkembangan otot-otot dan bermanfaat untuk melepas kelebihan energi. Melalui permainan sensimotor anak mengenali sifat dunia fisik. Bayi memperoleh kesan tentang diri sendiri dan dunia mereka melaui stimulasi taktil, auditorius, visual, dan kinestetik. Toddler dan prasekolah sangat menyukai gerakan tubuh utuk mengeksplorasi segala sesuatu diruangan.
2. Perkembangan Intelektual
Melalui eksplorasi dan manipulasi, anak-anak belajar mengenali warna, bentuk, ukuran, tekstur dan fungsi objek-objek. Mereka mempelajari fungsi angka-angka dan cara menggunkannya, mereka belajar menghubungkan kata dengan benda, dan mereka mengembangkan pemahaman tentang konsep abstrak dan hubungan spasial seperti naik, turun, bawah dan atas. Ketersediaan materi permianan dan kualitas keterlibatan orang tua adalah dua variabel terpenting yang terkait dengan perkembangan kognitif selama masa bayi dan prasekolah.
(57)
3. Sosialisasi
Sejak masa bayi awal, anak-anak menunjukan minat dan kesenangan apabila ditemani dengan anak lain. Hubungan sosial pertamanya adalah dengan pribadi ibu, tetapi melalui bermain dengan anak lain, mereka belajar membentuk hubungan sosial dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan hubungan ini. Mereka belajar untuk saling memberi dan saling menerima, mereka banyak belajar dari kritikan teman sebayanya dibandingkan dari orang dewasa. Anak-anak mempelajari yang benar dan yang salah, standar masyarakat, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.
4. Kreativitas
Tidak ada situasi lain yang lebih memberi kesempatan untuk menjadi kreatif selain bermain. Anak-anak bereksperimen dan mencoba ide mereka dalam bermain melalui setiap media yang mereka miliki, termasuk bahan-bahan mentah, fantasi, dan eksplorasi. Kreativitas terutama merupakan hasil dari aktivitas tunggal, meskipun berpikir kreatif sering kali ditingkatkan dalam kelompok ketika mendengar ada orang lain yang merangsang eksplorasi lanjutan dari idenya sendiri. Ketika anak merasakan kepuasan dari menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.
(58)
40
5. Kesadaran diri
Bermula dari eksplorasi aktif tubuh anak dan kesadaran diri bahwa mereka terpisah dari ibunya, proses identifikasi diri difasilitasi melalui kegiatan bermain. Anak-anak belajar mengenali siapa diri mereka dan di mana posisi mereka. Mereka semakin mampu mengatur tingkah laku mereka sendiri, mempelajari kemampuan diri mereka, dan membandingkan dengan anak yang lain. Melalui bermain anak menguji kemampuan mereka, melaksanakan dan mencoba berbagai peran dan mempelajari dampak dan perilaku mereka pada orang lain.
6. Manfaat terapeutik
Bermain bersifat terapeutik pada berbagai usia. Bermian memberikan sarana untuk melepaskan diri dari ketegangan dan stres yang dihadapi di lingkungan. Dalam bermain anak dapat mengekspresikan emosi dan melepaskan impuls yang tidak dapat diterima dalam cara yang dapat diterima masyarakat. Anak-anak banyak menunjukan diri mereka sendiri dalam bermain. Melalui bermain anak-anak mampu mengomunikasikan kebutuhan, rasa takut, dan keinginan mereka kepada pengamat yang tidak dapat mereka ekspresikan karena keterbatasan keterampilan bahasa mereka. Selama bermain anak perlu penerimaan dan perlu didampingi oleh orang dewasa untuk membantu mereka mengontrol agresi dan menyalurkan kecendrungan destruktif mereka.
(59)
7. Nilai moral
Walaupun anak belajar di rumah dan di sekolah tentang perilaku yang dianggap benar dan salah menurut budaya, interaksi dengan sebaya selama bermain berperan secara bermakna pada pembentukan moral mereka. Tidak ada tempat yang memberikan penguatan standar moral sekaku dalam situasi bermain. Bila mereka ingin diterima sebagai anggota kelompok, anak harus menaati aturan perilaku yang diterima budaya (misal, jujur, adil, kontrol diri dan mempertimbangkan orang lain). Anak segera mempelajari bahwa sebaya mereka kurang toleren terhadap kekerasan dibandingkan orang dewasa bahwa untuk mempertahankan tempat dan kelompok bermain mereka harus menyesuikan diri dengan standar kelompok tersebut.
2.3.3 Variasi dan Keseimbangan dalam Aktivitas Bermain
Soetijiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan alat permainan yang bervariasi sehingga bila bosan permainan yang satu, dapat memilih permainan lainnya. Bermain harus seimbang, artinya harus ada keseimbangan antara bermain aktif dan pasif, yang biasanya disebut hiburan. Dalam bermain aktif, kesenangan diperoleh dari apa yang diperbuat oleh mereka sendiri, sedangkan bermain pasif kesenangan didapat dari orang lain.
(60)
42
1. Bermain aktif
a. Bermain mengamati/menyelidiki (exploratory play)
Perhatian pertama anak pada alat bermain adalah memeriksa alat permaianan tersebut. Anak memeperhatikan alat permaianan, mengocok-ngocok apakah adanya bunyi, mencium, meraba, menekan, dan kadanga-kadang berusaha membongkar.
b. Bermain konstruktif (contruction play)
Pada anak umur tiga tahun, misalnya menyusun balok menjadi rumah-rumahan, bermain puzzle, lego dan lainnya.
c. Bermain drama
Misalnya main sandiwara boneka, dan dokter-dokteran dengan temannya.
d. Bermain bola, tali dan sebagainya 2. Bermain pasif
Anak berperan pasif, anatar lain melihat dan mendengar. Bermain pasif ini baik dilakukan apabila anak sudah lelah bermain aktif dan membutuhkan sesuatu untuk mengatasi kebosanan dan keletihannya.
Contoh:
a. Melihat gambar-gambar di buku-buku atau majalah
b. Mendengar cerita atau dongeng atau musik
(61)
2.3.4 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Aktivitas Bermain
Soetjiningsih dalam Nursalam, Rekawati, dan Utami (2005) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar aktivitas bermain bisa menjadi stimulasi yang efektif, antara lain :
1. Energi ekstra atau tambahan
Bermain memerlukan energi yang cukup, sehingga anak memerlukan nutrisi yang memadai, asupan yang kurang menurunkan gairah anak, anak yang sehat memerlukan aktivitas bermain yang bervariasi, baik bermain aktif maupun bermain pasif, untuk menghindari rasa bosan atau jenuh. Pada anak sakit, keinginan bermain umunya menurun karena energi yang digunakan untuk mengatasi penyakitnya. Aktivitas bermain anak sakit adalah bermain pasif.
2. Waktu
Anak harus mempunyai cukup waktu untuk bermain sehingga stimulasi yang diberikan dapat optimal. Selain itu anak akan mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengenal alat-alat permainannya.
3. Alat permainan
Alat permainan yang digunakan harus disesuaikan dengan umur dan taraf perkembangan anak.
4. Ruangan untuk bermain
Aktivitas bermain bisa dilakukan dimana saja. Bila memungkinkan disediakan ruangan atau tempat khusus untuk bermain, dimana ruangan
(62)
44
tersebut menjadi tempat untuk menyimpan mainan. Syarat ruang bermain, menarik dan menyengkan, bersih, aman dan nyaman bagi anak.
5. Pengetahuan cara bermain
Anak belajar bermain dari mencoba-coba sendiri, meniru teman-temannya, atau diberitahu oleh orang tuanya. Cara yang terakhir adalah yang terbaik karena anak lebih terarah dan lebih berkembang pengetahuannya dalam menggunakan alat-lat permaianan tersebut.
6. Teman bermain
Dalam bermaian anak memerlukan teman, bisa teman sebaya, saudara, atau orang tuanya. Bermain yang dilakukan bersama orang tuanya akan mengakrabkan hubungan dan sekaligus memberi kesempatan pada orang tua untuk mengetahui setiap kelainan yang dialami anaknya. Bermain dengan teman diperlukan untuk mengembangkan sosialisasi anak dan membantu anak dalam memahami perbedaan.
2.3.5 Klasifikasi Bermain
Adriana (2011) menyatakan ada beberapa jenis permainan ditinjau dari isi permainan maupun kerakter sosialnya sebagai berikut:
1. Berdasarkan Isi Permainan
a. Sosial Affectif Play
Ini permainan ini adalah adanya hubungan interpersoanal yang menyanangkan antara anak dan orang lain. Misal, permainnan “ciluk
(63)
ba”, berbicara sambil tersenyum atau tertawa, memberikan tangan kepada bayi untuk menggenggamnya. Bayi akan mencoba berespon terhadap tingkah laku orang tuanya atau orang dewasa tersebut dengan tersenyum, tertawa dan mengoceh.
b. Sensse-Pleasure Play
Permainan ini menggunakan alat permainan yang menyenangkan pada anak dan mengasyikan. Misalnya dengan menggunakan air, anak akan memindah-mindahkan air ke botol, bak atau tempat lain. Ciri khas permainan ini adalah anak akan semakin lama semakin asyik bersentuhan dengan alat permainan ini lain sehingga susah untuk dihentikan.
c. Skill play
Permainan ini dapat meningkatkan keterampilan anak, khususnya motorik kasar dan halus. Keterampilan tersebut diperoleh melalui pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan. Semakin sering melakukan kegiatan anak akan semakin terampil. Misalnya, bayi akan terampil memegang benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ketempat lainnya.
d. Game
Game atau permaian adalah jenis permianan yang menggunakan alat tertentu yang menggunakan perhitungan dan atau skor. Permainan ini bisa dilakukan anak sendiri atau dengan temannya.
(64)
46
e. Unoccupied behavior
Anak tidak memainkan alat permianan tertentu, namun anak terihat mondar mandir, tersenyum, tertawa, membungkuk memainkan kursi atau apa saja yang ada sekelilingnya. Anak tampak senang, gembira, dan asyik dengan situasi serta lingkungannya.
f. Dramatic play
Pada permianan ini anak memainkan peran sebagai orang lain melalui perannya. Apabila anak bermain dengan teman sebayanya, akan terjadi percakapan diantara mereka tentang peran yang akan mereka tiru. Permainan ini penting untuk proses identifikasi anak terhadap peran tertentu.
2. Berdasarkan Karakter Sosial
a. Social Onlocker Play
Pada permainan ini anak hanya mengamati temannya yang sedang bermain, tanpa ada inisiatif untuk berpartisipasi dalam permainan. Anak tersebut besifat pasif, tetapi ada proses pengamatan terhadap permainan yang sedang dilakukan temannya.
b. Solitary Play
Pada permainan ini, anak tampak berada dalam kelompok permainan, tetapi anak bermian sendiri dengan alat permainan yang dimilikinya,
(65)
dan alat permaianan tersebut berbeda dengan alat permainan yang digunakan temannya, tidak ada kerjasama, ataupun komunikasi dengan teman sepermainannya.
c. Paralle play
Pada permianan ini, anak dapat menggunakan permainan yang sama, tetapi anak satu dengan anak yang lain tidak terjadi kontak satu sama lain. Biasanya permianan ini dilakukan oleh anak seusia toddler. d. Assiociative play
Pada permainan ini terjadi komunikasi antara anak satu dengan anak lain, tetapi tidak terorganisasi, tidak ada yang memimpin permianan, dan tujuan permainan tidak jelas. Contoh bermain boneka, masak-masakan, dan hujan-hujanan.
e. Cooperative play
Pada permainan ini terdapat aturan permainan dalam kelompok, tujuan dan pemimpin permainan. Pemimpin mengatur dan mengarahkan anggotanya untuk bertindak dalam permainan sesuai tujuan yang diharapkan dalam permainan. Misalnya bermain bola.
Permainan kooperatf adalah permainan di mana para pemain dapat membuat kesepakatan yang mengikat dengan lawan bermain (Nasar, 2005) Permainan kooperatif (kerja sama) bersifat teratur, dan anak bermain dengan kelompok (Wong et al, 2009). Bermain kooperatif
(66)
48
merupakan bermain bersama-sama dengan adanya aturan yang jelas, sehingga terbentuk perasaan kebersamaan dan terbentuk hubungan antara pemimpin dan pengikut. Permainan ini bersifat aktif, di mana anak akan selalu menumbuhkan kreativitasnya. Selain itu, jenis permainan ini juga dapat melatih anak pada peraturan kelompok sehingga anak dituntut mengikuti permainan (Hidayat, 2008).
Terapi bermain : cooperative play dengan puzzle yang dilakukan selama 20 menit secara berkesinambungan setiap dua hari selama tiga minggu dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi anak (Wardhani, 2012)
Rasyid (2012) dalam Ariyanti, Ngadino dan Palupi (2014), permainan ini berorientasi pada pengembangan kemampuan bekerjasama dan sosialisasi diri anak. Model ini bertujuan untuk membangun pola laku taat aturan, tahu aturan, membangun kerjasama, persahabatan, empati, berbagi, dan penolong. Monopoli adalah salah satu permainan cooperative play, dalam permainan ini anak bermain bersama-sama dan mengembangkan kerja sama antar anak.
(67)
2.3.6 Permainan Monopoli
1. Pengertian Monopoli
Monopoli adalah salah satu permainan papan yang paling terkenal di dunia, permainan miltiindividu yang melibatkan lebih dari satu orang. Permainan monopoli merupakan salah satu permainan yang dalam aturan mainanya menggunakan uang, dadu sebagai alat penentu giliran bermain, dan papan yang terdapat gambar tempat yang akan disinggahi pemainnya. Pemainan monopoli ini dipilih sebagai media pembelajaran yang edukatif dan menarik karena dibingkai dalam sebuah permainan. (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012)
2. Tujuan Permainan Monopoli
Tujuan permainan ini adalah terjadinya komunikasi, interaksi antar pemain dan untuk menguasai semua petak di atas papan melalui pembelian, penyewaan dan pertukaran properti dalam sistem ekonomi yang disederhanakan (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012).
3. Manfaat Permainan Monopoli
Penelitian yang dilakukan oleh Alamiah (2012) mengenai Pengembangan Media Permainan Monopoli Bimbingan Kelompok untuk meningkatkan keterampilan bergaul di kelas. Penelitian tersebut memperoleh nilai prosentase 88,33%, dan kemudian menghasilkan data kualitatif bahwa produk permainan monopoli, dapat meningkatkan ketrampilan bergaul berkategori sangat baik dan dinyatakan layak digunakan dalam kegiatan
(1)
bimbingan kelompok untuk meningkatkan ketrampilan bergaul di kelas (Linda dan Nursalim, 2014). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa media monopoli sangat cocok digunakan sebagai salah satu media dalam meningkatkan interaksi sosial anak retardasi mental sedang.
4. Peraturan Permainan Monopoli
Setiap pemain melemparkan dadu secara bergiliran untuk memindahkan bidaknya, dan apabila pemain mendarat di petak yang belum dimiliki oleh pemain lain, pemain dapat membeli petak itu sesuai harga yang tertera. Bila petak itu sudah dibeli pemain lain, pemain yang mendarat pada petak itu harus membayar pemain itu uang sewa yang jumlahnya juga sudah ditetapkan. Apabila pemain dapat mendarat pada petak dana umum atau kesempatan pemain harus mengambil kartu sesuai dana umum atau kesempatam sesuai dengan petak kemudian pemain melakukan sesuai dengan instruksi yang ada di dalam kartu (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012). Pada permainan cooperative play dengan monopoli menggunakan durasi selama 20 menit selama tiga minggu dengan pertemuan sebanyak sembilan kali.
Untuk memainkan monopoli, dibutuhkan peralatan-peralatan ini antara lain bidak-bidak untuk mewakili pemain, dua buah dadu bersisi enam, kartu hak milik untuk setiap properti, uang-uangan, rumah-rumahan dan hotel-hotelan (Novita, Rahmawati, dan Qowi, 2012).
(2)
5. Kelebihan dan Kekurangan Monpoli
Media permainan monopoli yang dikembangkan memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikut tabel kelebihan dan kekurangan dari media monopoli yang telah dikembangkan (Susanto, Raharjo dan Prastiwi, 2012).
Tabel 5 Kelebihan dan Kekurangan Media Monopoli
No Kelebihan Kekurangan
1 Proses pembutannya sederhana Tidak dapat dimainkan secara perorangan (minimal 3 orang)
2 Tidak membutuhkan ruangan yang besar untuk menyimpannya
Membutuhkan waktu yang agak lama untuk memluai permainan
3 Permainan ini memiliki banyak komponen sehingga dapat melatih ketelitian dan kesebaran anak untuk merapikan kembali setelah menggunakan
Untuk memainankan membutuhkan meja yang datar
4 Mudah dibawa dan dipindahkan Untuk menentukan pemenang harus menukarkan jumlah uang ke bank/peneliti pendamping
5 Perawatan dan pemeliharaanya relatif mudah
-
6 Mudah dioperasikan -
7 Pemain dapat merasakan rasa senang, merasa ingin tahu, terjadi komunikasi dan interaksi antar pemain.
-
8 Dibuat dengan penuh warna sehingga tidak membosankan
-
2.3.7 Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli Terhadap
Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental
Wolly dan Wong (2005) menyatakan bahwa perkembangan anak retardasi mental dengan kemampuan dalam interaksi sosial yang meliputi kontak sosial dan komunikasi kurang maka diperlukan adanya stimulasi atau perangsangan yang diberikan untuk merubah perilaku anak menjadi lebih baik. Salah satu
(3)
stimulasi yang dapat diberikan kepada anak dapat melalui permainan. Hal ini juga diperkuat oleh Yuyun (2010) dalam Astuti (2012) dengan pernyataannya bahwa interaksi sosial dapat dicapai melalui suatu permainan, diantaranya permainan untuk meningkatkan motorik halus, motorik kasar, personal sosial dan bahasa.
Memberikan stimulasi yang berulang dan terus-menerus pada setiap aspek perkembangan anak berarti telah memberikan kesempatan pada anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal (Nursalam, Rekawti, dan Utami, 2005). Sedangkan bermain itu sendiri merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktekkan ketrampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Hidayat, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2012) hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada peningkatan interaksi sosial pada anak retardasi mental dengan terapi bermain dengan ular tangga. Stimulasi ular tangga yang dilakukan sampai delapan kali dimana permainan tersebut dilakukan oleh lima orang, menunjukkan suatu kebersamaan, saling bicara atau saling komunikasi serta adanya kontak sosial yang menciptakan interaksi sosial. Melalui permainan ular tangga dapat meningkatkan interaksi sosial yaitu permainan tersebut dilakukan oleh lebih dari dua orang, menunjukkan suatu kebersamaan, saling
(4)
bicara atau saling komunikasi, serta dapat menimbulkan kegembiraan, pertikaian dan persaingan untuk memenangkannya.
Cooperative play dengan monopoli adalah permainan yang dilakukan secara bersama-bersama, dimana permainan yang terorganisir serta ada aturan permainnanya. Dengan bermain bersama anak akan melakukan kontak sosial yang merupakan syarat terjadinya interaksi sosial, kontak sosial yang bisa terjadi melalui permainan monopoli adalah kontak mata antar pemain. Kontak sosial adalah pertemuan individu dengan individu, individu dengan kelompok yang memungkinkan terjadinya komunikasi (Supartini, 2004; Soeroso, 20008). Kegiatan bermain bersama orang lain mampu mempermudah anak untuk berinteraksi, karena anak tidak ada lagi bermain sendiri, dan permainan terkonsep yang memiliki aturan di dalamnuya dapat membuat para pemain berinteraksi melalui permainan tersebut. Dengan adanya teman dalam satu kelompok anak bisa berdiskusi dengan teman lainnya., serta dengan adanya lawan pemain yang memilki tingkat kemampuan sosialisasi yang berbeda dapat memotivasi anak untuk tertarik dan beradaptasi dengan permainan (Wardhani, 2012). Peningkatan interaksi sosial anak dengan pemberian stimulasi bermain tejadi karena anak mulai memahami cara bermain, beradaptasi bermain secara berkelompok dan saling memahami karakter teman sepermainannya (Astuti, 2012).
(5)
Paraturan permianan monopoli yang mengharuskan pemainannya untuk membayar sewa apabila bidaknya mendarat pada petak yang telah dimiliki pemain lain yang menyebabkan antar pemain untuk saling berkomunikasi dalam transaksi penyewaan (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012). Anak belajar berkomunikasi seperti menjawab pertanyaan dari lawan bicara atau pemain lain dan meminta uang sewa kepada pemain lain. Salah satu tujuan permaian mopoli adalah untuk menguasai semua petak di atas papan, yang menyebabkan terjadinya persaingan antar pemain, persaingan merupakan salah satu bentuk dari interaksi sosial. Selain persaingan bentuk interaksi sosial yaitu kerjasama juga akan terjadi dalam permaianan monopoli. Permianan mopoli memerlukan peralatan antara lain bidak-bidak, dua buah dadu, kartu hak milik, uang-uangan dan rumah-rumahan yang perlu dirapikan ketika permain berakhir dan membutuhkan kerjasama antar pemain dalam merapikannnya (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012 ; Soeroso, 2008).
(6)