Arah Perkembangan Pendidikan TINGGI INDO

ii DAFTAR ISI

iii DAFTAR GAMBAR

iv

BAGIAN 1 KONDISI PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

A. Kualitas Pendidikan Tinggi Indonesia

B. Reorientasi Sistem Pendidikan Tinggi Indonesia

C. Pendidikan Tentukan Kualitas Bangsa

D. Pendidikan Nasional Seharusnya

BAGIAN 2 PERKEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

A. Tujuan Dan Arah Pendidikan Tinggi Indonesia

B. Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia

C. Mutu Pendidikan Tinggi Indonesia

D. Manajemen Pembelajaran Pendidikan Tinggi Indonesia

E. Mutu Pelayanan Pendidikan Tinggi Indonesia

F. Budaya Penelitian Pendidikan Tinggi Indonesia

27 G. Tupoksi LPPM Di Perguruan Tinggi

H. Budaya Dan Etika Akademik

BAGIAN 3 PENDIDIKAN TINGGI MASA DEPAN

A. Perubahan Dalam Pendidikan Tinggi

B. Faktor Pendukung Pengembangan Pendidikan Tinggi

C. Strategi Pengembangan Pendidikan Tinggi

D. Implementasi Pengembangan Pendidikan Tinggi

E. Tantangan Pendidikan Tinggi

F. Model Pendidikan Tinggi Masa Depan

G. Tantangan Dosen Dalam Dunia Pendidikan Tinggi

H. Gambaran Pembelajaran Dunia Pendidikan Tinggi Masa Depan

BAGIAN 4 PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI INDUSTRI PRODUK DAN JASA BERBASIS ILMU PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN

A. Industri Dalam Era Globalisasi

B. Pendidikan Tinggi Sebagai Industri Produk dan Jasa

C. Pendidikan Tinggi Sebagai Investasi

D. Pendidikan Dan Permintaan Pengetahuan

E. Industri Pendidikan Tinggi Di Indonesia

F. Kelemahan Industri Pendidikan Tinggi Indonesia

BAGIAN 5 ARAH PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

A. Pengaruh Industri Terhadap Industri Pendidikan

B. Pengaruh Industri Pendidikan Terhadap Perkembangan Industri

C. Pendidikan Tinggi Vokasi untuk Dunia Usaha dan Industri

D. Prospek Pendidikan Tinggi Vokasi

E. Program Pendidikan Sarjana Vokasi

SIMPULAN 100 REFERENSI

BIODATA PENULIS 103

Gambar 1. Skema kurikulum pendidikan tinggi Indoneisa

17 Gambar 2. Pergeseran paradigma dan pengembangan kurikulum pendidikan tinggi Indonesia

18 Gambar 3. Kerangka kualifikasi nasional indonesia (KKNI)

19 Gambar 4. Unsur mutu pendidikan tinggi

21 Gambar 5. Prosedur dan Pengendalian mutu pendidikan tinggi

22 Gambar 6. Konsep sistem standar mutu perguruan tinggi

23 Gambar 7. Konsep pengembangan kurikulum perguruan tinggi

23 Gambar 8. Fungsi Total Quality Managemen (TQM) dalam organisasi

24 Gambar 9. Layanan pendidikan tinggi

26 Gambar 10. Konsep pendidikan tinggi abad 21

60 Gambar 11. Ilustrasi Pendidikan tinggi harus mampu mengimbangi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)

61 Gambar 12. Tantangan di era globalisasi

62 Gambar 13. Perubahan aras pemikiran pengajaran dan pembelajaran abad 21

63 Gambar 14. Kerangkan kompetensi dosen abad 21

64 Gambar 15. Skema tuntutan global kompetensi mahasiswa abad 21

64 Gambar 16. Ciri Pendidik abad 21

68 Gambar 17. Peran dan fungsi dosen dalam proses pembelajaran abad 21

69 Gambar 18. Ciri dan model pembelajaran abad 21

70 Gambar 19. Kompetensi mahasiswa yang diharpakan dari hasil pembelajaran abad 21

72 Gambar 20. Tantangan utama di era globalisasi

75 Gambar 21. Pendidikan tinggi sebagai sebagai industri produk dan jasa berbasis ilmu pengetahuan dan keterampilan

80 Gambar 22. Ilustrasi pendidikan vokasional

87 Gambar 23. Pendidikan vokasi industri ( http://www.kemenperin.go.id/gpr )

90 Gambar 24. Pendirian pendidikan vokasi di kawasan industri dan wilayah pertumbuhan industri ( http://www.kemenperin.go.id/gpr )

92 Gambar 25. Penyerapan tenaga kerja pendidikan vokasi (( http://www.kemenperin.go.id/gpr )

93 Gambar 26. Industri yang Indonesia sentris (( http://www.kemenperin.go.id/gpr )

Menurut Undang undang no 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 2 yang di maksud pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan Undang Undang Dasar negara Republik indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai- nilai agama, kebudayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Karena di setiap zaman atau masa, masyarakat akan mulai dinamis dan mulai menerima budaya dan pengaruh dari negara lain atau pengaruh eksternal.

Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu.

Dewasa ini percepatan perubahan dan perkembangan kebudayaan sangat cepat serta meliputi seluruh aspek kehidupan. Percepatan itu terjadi karena pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang cepat itu mempunyai beberapa karakteristik umum yang dapat dijadikan petunjuk sebagai ciri masyarakat di era informasi dan keterbukaan. Perubahan tersebut antara lain

1. Adanya Kecendrungan globalisasi,

2. Perkembangan IPTEK yang semakin cepat,

3. Perkembangan arus informasi yang semakin padat dan cepat,

4. Tuntutan pelayanan yang lebih profesional dalam segala kehidupan manusia.

Gejala itu sudah terlihat beberapa tahun belakangan ini dan akan terus meningkat di masa yang akan datang. Pemahaman kita terhadap karakteristik masyarakat global ini sangatlah penting artinya sebagai dasar dalam penentuan kebijaksanaan dan upaya pendidikan yang akan dilaksanakan sekarang dan di masa datang.

A. KUALITAS PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

UUD 1945 mengamanatkan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa serta agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur oleh Undang- Undang. Dari perwujudan amanat tersebut maka diberlakukannya Undang Undang no 20 tahun 2003, bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pedidikan, peningkatan serta revelansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Oleh maka dari itu pengelolan pendidikan harus berorientasi kepada bagaimana menciptakan perubahan yang lebih baik dalam menghadapi Pendidikan Nasional masa depan. Salah satunya tantangan masa depan yaitu abad ke 21 yang ditandandai dengan abad ilmu pengetahuan. Pendidikan Nasional abad 21 bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia, dengan kedudukan yang terhormat dan setara dengan bangsa lain dalam dunia global, melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan untuk mewujudkan cita-cita bangsanya.

Berbicara kemampuan sebagai bangsa, tampaknya kita belum siap benar menghadapi persaingan pada milenium ke tiga. Tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk bersaing ditingkat global. Di lihat dari latar belakang pendidikan, angkatan kerja kita sangat memprihatinkan. (simak data BPS 2016). Bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Meskipun demikian pendidikan kita masih banyak melahirkan mismatch yang luar biasa dengan tuntutan dunia kerja dan integritas suatu bangsa; anak didik kita ketika keluar dan atau menyelesaikan program pendidikan, seolah berada di ruang yang tidak tersentuh oleh realitas kehidupan yang mereka pelajari di sekolah-sekolah, mereka merasa asing dengan lingkungan sekitar mereka.

Pelajaran yang mereka pelajari sewaktu masih di bangku sekolah seolah asing dan tidak sejalan dengan alur kehidupan realitas keseharian mereka; mereka terasing dengan kehidupan realitas yang sangat kontras dengan pelajaran yang atau tidak pernah mereka pelajari di sekolah-sekolah. Dengan rasa keterasingan ini, akhirnya mereka mencoba mencari sesuatu akifitas yang dapat membantu mereka keluar dari rasa itu; dan akhirnya: pergaulan bebas, penyalahgunaan obat- obatan terlarang (NAZA) menghiasi aktifitas keseharian mereka. (Simak informasi dan data

pengguna narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa)

Kondisi pendidikan kita yang masih banyak melahirkan mismatch dengan tuntutan dunia kerja, juga berdampak kepada daya saing kita secara global amat rendah. Sebagai contoh, data pengangguran sarjana (simak data BPS dan Kemenristekdikti) menunjukkan gambaran riil adanya mismatch dalam dunia pendidikan kita. Rendahnya kualitas SDM kita juga dapat dilihat dengan perbandingan tenaga ahli bergelas doktor (S3) untuk setiap juta penduduk terhadap negara lain. Mesir 400 doktor, India 1.250 doktor, Jerman 4.000 doktor, Prancis 5.000 doktor, Jepang dan Amerika Serikat mempunyai skor yang sama 6.500 doktor, Israel 16.500 doktor. Sedangkan negara kita tercinta hanya 65 doktor dalam tiap juta penduduk.

Publikasi itu secara tidak langsung mencerminkan rendahnya kinerja pendidikan nasional kita. Logikanya sederhana saja: kurang berhasilnya pembangunan pendidikan, kesehatan, dan kependudukan di Indonesia berhubungan secara timbal balik dengan kurang berhasilnya kita membangun SDM. Selanjutnya hal ini mengakibatkan rendahnya daya kompetisi kita dalam mengarungi persaingan di era global yang ditandai dengan keterbukaan dan pasar bebas.

Hasil Riset Investigasi yang dilaksanakan Oleh Lembaga Studi Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia (LSP3I) yang dilakukan di 20 Perguruan tinggi Swasta di Wilayah Kopertis IX Sulawesi (2016), menemukan fakta sebagai berikut :

1) 85% hasil Karya ilmiah/paper dosennya, umumnya bersumber dari skripis mahasiswa di internal kampus, sebagian bersumber dari eksternal kampus, artikel-artikel dari internet dan sumber lainnya. Cara yang singkat menghasilkan paper/karya ilmiah dengan mengambil

ide-ide dari orang lain tanpa memperhatikan aturan pengutiapan suatu tulisan. Modusnya adalah daur ulang, menjadikan skripis mahasiswa tersebut sebagai format artikel jurnal. dan diterbitkan di jurnal internal kampus.

2) 90%, Jurnal kampus yang diterbitkan asal sekedar jurnal alias JURNAL-JURNALAN untuk menampung paper/karya ilmiah dosen yang asal sekedar menulis alias paper daur ulang

(plagiat). Modus menjadikan skripsi sebagai artikel jurnal (yang dibenarkan dan legal oleh kampus) dan kemudian menjadi bagian dari Penilaian Angka Kredit Dosen (PAK DOSEN), pengurusan berkas SERDOS, dan lain sebagainya. Jurnal-jurnalan tersebut dikelolah asal jadi, tidak ada halaman dewan redaksi, editor dan sebagainya. Diterbitkan dalam bentuk fisik tidak dilengkapi dengan terbitan online alias e-jurnal. ISSN jurnal ini (plagiat). Modus menjadikan skripsi sebagai artikel jurnal (yang dibenarkan dan legal oleh kampus) dan kemudian menjadi bagian dari Penilaian Angka Kredit Dosen (PAK DOSEN), pengurusan berkas SERDOS, dan lain sebagainya. Jurnal-jurnalan tersebut dikelolah asal jadi, tidak ada halaman dewan redaksi, editor dan sebagainya. Diterbitkan dalam bentuk fisik tidak dilengkapi dengan terbitan online alias e-jurnal. ISSN jurnal ini

Problem besar dengan modus seperti ini, Ibarat pisau bermata dua. Sekilas kuantitas tulisan banyak. Tapi artikel jurnalnya tidak berkualitas. Plagiasi karya merajalela. Jika hal-hal tersebut terus dibiarkan alias pembiaran, kiamatlah dunia pendidikan tinggi kita. Plagiarism by accident. Fakta ini hanya sebagian kecil, Jika kita telusuri lebih jauh, mungkin akan memperoleh angka yang sangat fantatis. Ibarat GUNUNG ES DI LAUT LEPAS. Yang tampak di permukaan hanya sebagian kecil, padahal di bawahnya jauh lebih banyak.

Jika saja kampus memiliki pedoman anti plagiat, konsisten dan tegas menerapkan sangsi bagi dosen dan mahasiswa plagiat, jurnal kampus di kelolah dengan baik, dilengkapi dengan e-jurnal, IT kampus rajin publikasi paper/karya ilmiah dosen, dimasukkan ke dalam repository yang tersambung ke garuda dikti atau google, bisa jadi karya ilmiah yang diproduksi diberbagai kampus dengan cara daur ulang (plagiat) lebih banyak dari yang betul dan benar ditulis sendiri. Sebaiknya dosen tidak hanya menulis karya ilmiahnya pada jurnal di lingkungan sendiri.

Realitas dari fakta tersebut diatas, di kategorikan sebagai Penipuan saintifik (scientific fraud) didefinisikan sebagai usaha untuk memanipulasi fakta-fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara sengaja. Salah satu aspek dari penipuan saintifik adalah memanipulasi dan mengubah data, termasuk trimming (menghapus data yang tidak cocok dengan hasil yang diharapkan) dan cooking (memilih data yang hanya cocok dengan hasil yang diharapkan sehingga membuat data lebih meyakinkan).

Hasil karya ilmiah akan diakui apabila dapat diulang oleh orang lain di tempat lain dengan cara yang sama dan mendapatkan hasil yang sama (reproducible), barulah dapat diakui sebagai penemuan ilmiah. Hal ini karena ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai daya untuk memperbaiki dirinya sendiri (self correction). Hal ini sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan yang berkembang berdasarkan pengetahuan yang telah ditemukan sebelumnya.

Para dosen sebagai akademisi, seharusnya objektif dan menjunjung tinggi etika dan budaya akademik dan keilmuan. Inilah salah satu problem besar yang di hadapi pendidikan tinggi kekinian. Dalam etika keilmuan, diterangkan pentingnya etika sains, bagaimana menulis, melaporkan dan menganalisis data percobaan secara betul. Jika etika sains secara betul diajarkan dan diterapkan, maka dapat membentuk pribadi yang jujur, disiplin, bertanggung jawab dan sportif. Dosen sebagai akademisi harusnya menyiapkan lulusan yang bermutu dan berintegritas, memberikan contoh yang baik dalam menulis karya ilmiah dan akuntabilitas dapat ditelusuri secara online.

Rendahnya kinerja pendidikan nasional kita bila dibandingkan dengan negara lain, misal Malaysia, kita pantas merasa prihatin karena tiga perguruan tinggi jiran yang masuk peringkat seluruhnya di atas kita. University of Malaya urutan ke-47, Universiti Putra Malaysia (UPM) urutan ke-52, dan Universiti Sains Malaysia (USM) urutan ke-57. Mengenai hal ini kita pantas malu karena dalam sejarahnya banyak putra-putra Indonesia yang dulu membantu mengembangkan perguruan tinggi di Malaysia itu, namun kini kereta api mutu kita telah ditinggal jauh di belakang.

Mengapa semua itu terjadi? Karena berbagai faktor, salah satunya adalah minimnya alokasi dana di sektor pendidikan dan penelitian. Dalam kurun waktu tiga atau empat tahun terakhir ini pemerintah hanya mengalokasi dana pendidikan sekitar 1,4 persen dari GNP. Angka ini terlalu rendah karena Mengapa semua itu terjadi? Karena berbagai faktor, salah satunya adalah minimnya alokasi dana di sektor pendidikan dan penelitian. Dalam kurun waktu tiga atau empat tahun terakhir ini pemerintah hanya mengalokasi dana pendidikan sekitar 1,4 persen dari GNP. Angka ini terlalu rendah karena

1. Pendidikan di Era Soeharto (Orde Baru)

Rezim orde baru yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif, meskipun secara kuantitatif rezim ini telah mampu menunjukkan prestasi yang cukup baik di bidang pendidikan. Kemajuan pendidikan secara kuantitatif memang kita rasakan selama orde baru berkuasa. Sebagai contoh, data statistik yang dikemukakan oleh Abbas (1999) menunjukkan bahwa jumlah murid sekolah dasar meningkat dari 13.023.000 siswa pada tahun 1967/1968 menjadi 29.239.238 siswa dalam tahun 1997/1998, atau telah terjadi peningkatan sebesar 224.59 %.

Dalam priode yang sama, murid SLTP juga meningkat dari 1.000.000 siswa menjadi 9.227.891 siswa atau terjadi peningkatan sebesar 902.30 %. Pun juga pada jenjang SLTA meningkat dari 500.000 siswa menjadi 4.932.083 siswa atau meningkat sebesar 1000%. Dalam tahun yang sama mahasiswa juga meningkat dari 230.000 mahasiswa menjadi 2.703.896 mahasiswa atau meningkat 1.176%.

Namun demikian, pemberdayaan masyarakat secara luas, sebagai cermin dari keberhasilan itu tidak pernah terjadi. Mengapa demikian? Karena orde baru selama lima tahun berkuasa, secara sistematis telah menyiapkan skenario pemerintahan yang memiliki visi dan misi utama untuk melestarikan kekuasaan dengan berbagai cara dan metode.

Akibatnya, sistem pendididkan kemudian dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan safety net bagi pelestarian kekuasaan. Visi dan misi pelestarian kekuasaan itu melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket. Fenomena yang digambarkan tersebut dapat dilihat dari indikator lahirnya kurikulum nasional untuk segala senjang pendidikan. Sebagai contoh, dipaksakannya aturan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) pada tahun 1970an sebagai ganti dewan mahasiswa di Perguruan Tinggi, dipusatkannya sumber dana yang dikumpulkan dari masyarakat di bawah bendera PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak).

Sistem evaluasi belajar terpusat, yang sangat mendewakan nem, dan lainnya. Semua metode itu akhirnya membawa kita pada budaya kualitas semu dan budaya kualitas pura-pura. Dengan istilah lain, fenomena ini dapat dimasukkan juga pada tatanan budaya hipokrit yang menghalalkan banyak hal di dunia pendidikan melalui modal sulap. Pada era orde baru, pendidikan di semua jenjang lebih mementingkan aspek kognitif (intelegensi quotient). Sedangkan aspek afektif (emosional quotien atau sistem nilai), sangat ditelantarkan. Dalam skala mikro, proses pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatiannya pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang di tumbuh kembangkan dan bahkan dapat juga dikatakan tidak pernah dikembangkan secara sistematis.

Dengan kondisi itu, menyebabkan pendidikan nasional kita tidak mampu menghasilkan orang-orang mandiri, kreatif, memiliki integritas, dan orang-orang yang mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik dan sosial serta komunitas kehidupan mereka (peserta didik). Akibatnya, Dengan kondisi itu, menyebabkan pendidikan nasional kita tidak mampu menghasilkan orang-orang mandiri, kreatif, memiliki integritas, dan orang-orang yang mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik dan sosial serta komunitas kehidupan mereka (peserta didik). Akibatnya,

2. Pendidikan di Era Sekarang

Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijakan politik pemerintah Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan Soekarno (orde lama), Soeharto (orde baru), Habibie (orde reformasi) KH. Abdurrahman Wahid (orde transisi) Megawati (orde transformasi), SBY (orde reorientasi dan rekonsiliasi) dan yang sekarang Joko Widodo. Di lihat dari realitas praktisnya, pendidikan kita masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materialisme-kafitalis.

Materialisasi atau proses menjadikan semua yang bernilai materi telah merunyak di segala sendi sistem pendidikan Indonesia. Sendi-sendi yang di masuki bukan hanya materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, dan lingkungan, tetapi tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah kepada hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang dapat diharapkan dari proses pendidikan tersebut.

Materi pelajaran kita (kurikulum) di buat sedemikian rupa dan di arahkan agar peserta didik dapat/mampu mendapatkan pekerjaan yang dapat menghasilkan pendapatan yang besar. Kurikulum tersebut di buat dan direncanakan dengan sistematika yang sedemikian rupa, dan untuk mengikutinya dibutuhkan biaya yang sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya saja peserta didik harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar, maka dapat dibayangkan; setelah mereka memperoleh pengetahuan tersebut mereka juga akan berupaya bagaimana dana dalam jumlah yang besar tadi dapat kembali, dan tentunya juga berupaya untuk mendapatkan untung sebesar- besarnya.

Memang teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi buat masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan prinsip ekonomi yang diajarkan di sekolah menengah adalah mengeluarkan modal sesedikit mungkin untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dari sini dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan telah dijadikan atau diselewingkan tujuannya hanya untuk mendapat kan pekerjaan. Karena itu tujuan pendidikan untuk ―membentuk manusia yang utuh dan tidak termarjinalkan‖ akan sulit tercapai disebabkan prinsip ekonomi memang tidak mengenal nilai-nilai spritual, moralitas, dan kebersamaan.

Dalam aspek pendidikan misalnya banyak sekali praktek dan prilaku yang menjual nilai untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik yang menjadikan kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta didik demi mendapatkan pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Modusnya adalah dengan memberikan nilai rendah pada program reguler, kemudian akan diberikan nilai agak tinggi atau bahkan tinggi pada program khusus di mana peserta didik juga membayar dengan biaya khusus.

Aspek peserta didik merupakan korban dari proses pendidikan yang ada; jika sistem pendidikan nasional mengalami reduksi makna pendidikan yang hanya menjadi sekedar penyampaian pengetahuan (transfer of knowleges) belaka, maka pada saat itulah peserta didik telah diberi pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam kehidupannya kelak.

Syafii Maarif dalam pidato Dies Natalis ke-39 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta,

13 September 2004 mengatakan bahwa pendidikan itu tidak hanya proses penyampaian pengetahuan (transfer of knowledges), akan tetapi lebih jauh pendidikan adalah sebuah proses 13 September 2004 mengatakan bahwa pendidikan itu tidak hanya proses penyampaian pengetahuan (transfer of knowledges), akan tetapi lebih jauh pendidikan adalah sebuah proses

Materialisasi pada aspek lingkungan pendidikan merupakan fenomena yang sangat jelas. Lingkungan pendidikan di sini dipahami sebagai masyarakat yang berada di sekitar pendidikan atau dengan kata lain adalah masyarakat Indonesia sendiri. Kemasyarakatan Indonesia setelah memasuki era modernisasi telah mengalami pergeseran yang luar biasa. Pergeseran tersebut mencakup pergeseran orientasi kehidupan, budaya, gaya hidup, pandangan hidup, prilaku politik, prilaku ekonomi, dan pergesaran terhadap ajaran agama. Modernisasi pada intinya merupakan upaya rasionalisasi seluruh aspek kehidupan masyarakat, dari yang awalnya kental akan nuansa religius, sakralitas, dan spritual, bahkan transedental, obyektivitas, dan realitas-empiris.

Materialisasi tujuan pendidikan merupakan landasan awal bagi proses materialisasi seluruh aspek di atas. Tujuan pendidikan yang di materialisasikan adalah upaya mencapai tujuan pendidikan nasional dengan asumsi dapat diukur secara kuantitatif dan dapat dilihat hasilnya secara nyata; misalnya, berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa yang telah menjadi pengacara atau berapa alumni yang telah menjadi anggota dewan. Dengan melihat jumlah alumni yang telah menduduki jabatan strategis, baik di lembaga pemerintahan maupun di kantor-kantor mereka, maka dapat diketahui pula keberhasilan sebuah lembaga pendidikan. Dengan sistem pendidikan seperti ini, akhirnya tidak menemukan atau bahkan tidak ada, standar keberhasilan pendidikan yang dilihat dari berapa alumni yang telah menjadi manusia bermoral, berapa alumni yang telah memberikan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya persaudaraan, dan berapa alumni yang telah benar- benar melaksanakan tujuan pendidikannya, yaitu menjadi manusia seutuhnya; Maksudnya manusia yang sehat secara jasmani dan ruhani, secara material dan spiritual, secara fisik dan mental, serta secara intelektual dan moral telah terjadi keseimbangan yang nyata.

B. REORIENTASI SISTEM PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

Orientasi sistem pendidikan Indonesia ke depan, agar tidak mudah di ombang ambingkan isu-isu sesaat dan terjebak pada pemikiran jangka pendek. Maka perlu direnungkan kembali filosofis yang menjadi pedoman dan arah pendidikan nasional. Meskipun bukan satu-satunya faktor penentu, filsafat pendidikan diyakini dapat menentukan arah pendidikan suatu bangsa; jika bangsa Indonesia melaksanakan pendidikan, maka tentu didasarkan pada filsafat pendidikannya.

Sebelumnya, bangsa Indonesia memang telah memiliki nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai edukatif yang mendasari prilaku kehidupannya. Namun demikian, formulasi dari nilai filosofis tersebut yang dijadikan sebagai filsafat pendidikan nasional hingga sekarang masih terus di cari untuk ditemukan. Meskipun sangat sukar merumuskan filsafat pendidikan nasional Indonesia yang tepat. Namun dasar-dasarnya dapat kita temukan dari tiga aspek dasar, yaitu: konsep manusia, nilai dasar manusia Indonesia, dan visi pendidikan Indonesia.

Pertama, konsep manusia, pertanyaannya, siapakah manusia itu Dalam konsep Islam manusia itu terdiri dari tiga unsur: tubuh, hayat, dan jiwa. Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan hancur, hayat berarti hidup. Dan jika tubuh mati, maka kehidupan pun berakhir, sedangkan jiwa bersifat kekal.

Kedua, nilai dasar manusia Indonesia, bangsa Indonesia yang sering dikategorikan sebagai bangsa timur, mewarisi nilai-nilai ketimuran seperti sopan santun, jujur, ramah, berani, cakap, dan tegas.

Ketiga, visi pendidikan Indonesia, dalam UUD 1945 mengamanatkan bahwa hakekat visi pendidikan nasional adalah untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, menyangkut keunggulan dalam ilmu pengetahuan, spritual, keterampilan, produktivitas dan daya saingnya. Dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN memperinci tujuan pendidikan nasional sebagai berikut, yaitu: Pendidikan harus mampu menumbuhkan, meningkatkan kecerdasan dan dorongan untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan serta pengalamannya, sehingga terwujud manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, memiliki disiplin dan kecerdasan serta tanggung jawab sebagai warga negara dan bangsa, beretos kerja tinggi, berwawasan keunggulan dan kewirausahaan, mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta menghargai jenis pekerjaan yang memiliki harkat dan martabat sesuai dengan filsafat Pancasila.

Orientasi pendidikan selama ini lebih menuhankan ilmu dari pada budi. Ujian Nasional yang dulu dikenal Ebtanas misalnya, hampir-hampir terlepas dari sentuhan aspek moral; dari ebtanas pula seorang anak dapat dinyatakan lulus atau tidak dari suatu jenjang pendidikan. Sedangkan upaya penghalusan budi pekerti, pengembangan nilai-nilai moral dan estetika semakin kehilangan pijakannya. Hampir semua sistem perguruan tinggi yang ada di negeri ini kurang menyentuh dan mengembangkan aspek kretivitas. Hanya berorientasi pada hasil belajar yang hanya memihak pada orientasi produk. Akibatnya, persoalan kreativiatas masih saja terlantar dan tidak tersentuh oleh praksis pendidikan kita.

Pendidikan untuk siswa merupakan potensi yang harus dikembangkan jika kita ingin menjadi bangsa yang mampu bersaing dalam percaturan dunia secara global. Unggulan kompetitif baru dapat diciptakan melalui insan-insan yang kreatif. Orang yang kreatif adalah mereka yang mampu mencipta sesuatu yang sama sekali baru secara monumental. Kemampuan inilah yang dibutuhkan dalam kehidupan global di abad 21. Tanpa adanya kreatifitas, kita sulit mempunyai unggulan kompetitif di tengah-tengah bangsa lain. Selain itu, sistem pendidikan kita telah lama mengorientasikan tujuannya pada kawasan kognitif, dan membiarkan kawasan afektif untuk tidak diupayakan aplikasinya. Kebanyakan beranggapan, bahwa jika aspek kognitif ini dikembangkan secara benar, maka aspek afektif akan ikut berkembang secara positif. Asumsi ini sungguh merupakan kesalahan yang sangat serius.

Pengabaian kawasan afektif merugikan perkembangan peserta didik secara individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Tendensi yang ada ialah bahwa peserta didik tahu banyak tentang sesuatu, namun mereka kurang memiliki sikap mental, minat, sistem nilai (moral) dan juga apresiasi (afektif) dalam bentuk prilaku keseharian; sebagai buah dari pengetahuan yang dimilikinya. Fenomena kognitif (pengetahuan) dalam diri seseorang sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan dalam dirinya apakah melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam dunia keseharian, betapa posisi afektif dapat berpengaruh kuat pada prilaku seseorang. Seperti contoh, pada masa penjajahan melawan Belanda/Jepang, di mana para pemimpin perang kita mampu dan berhasil menanamkan Sistem nilai kepada seluruh rakyat Indonesia; yaitu: Lebih baik mati dari pada di jajah. Dari sistem nilai itu timbul semboyan Merdeka atau mati.

Idealnya, sebuah proses pendidikan mampu menjadikan peserta didiknya menjadi manusia yang benar-benar manusia, yang mengerti akan potensinya, hakekat terdalam dirinya, kenal akan Tuhan-nya dan dapat mengantarkan mereka menjadi manusia yang memandang manusia lain seperti dia memandang dirinya sendiri.

1. Pendidikan Karakter atau Pendidikan Budi Pekerti

Guna mewujudkan keinginan di atas, peningkatan kualitas bangsa lewat jalur pendidikan, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan: diantaranya pembentukan karakter dan budi pekerti anak didik. Timbulnya ide pendidikan karekter ini, sebenarnya di tandai dengan meluasnya kejahatan dan demoralisasi umat manusia di dunia. Ada beberapa indikator yang digunakan untuk melihat adanya kejahatan dan demoralisasi umat manusia yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan kualitas kehidupan suatu bangsa.

Thomas Lickona yang dinukil oleh Dwi Hastuti Martianto menyatakan; sedikitnya ada sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu: meningkatnya kekerasan dikalangan remaja, ketidak-jujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan pigur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindak kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penuruan etos kerja, menurunya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya prilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral.

Dalam konteks Indonesia, demoralisasi juga mulai tampil kepermukaan, itu ditandai misalnya, terjadi tawuran di kalangan remaja Indonesia, terutama di wilayah Jabodetabek, yang frekuensinya sudah sangat memprihatinkan, telah memakan korban jiwa para remaja yang seharusnya menjadi penerus bangsa. Sementara itu, penggunaan narkoba dan prilaku seks di luar nikah juga telah menjadi trend di kalangan remaja kita. Dengan kondisi demikian, pendidikan karakter atau budi pekerti menjadi sesuatu yang penting. Pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti, menginginkan pembentukan karakter pelajar (character building), yang nantinya mempengaruhi pola pikir dan prilaku. Hal ini adalah bagian penting upaya mencerdaskan moralitas manusia muda pada masa fermative years-nya. Yang pada akhirnya nanti akan melahirkan individu-individu baru, dan siap bersaing dengan negara lainnya.

Pendidikan moral (budi pekerti) adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues), yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good peoples). Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.

Moral secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman kebiasaan (cultivation) yang menekankan pada mana yang benar dan mana yang salah secara absolut. Sedangkan hal yang di ajarkan kepada siswa didik, adalah mengenalkan pada mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman secara langsung maupun tidak manakala terjadi pelanggaran. Yang tidak kalah penting, pendidikan ini juga menghendaki adanya penghayatan bahwa ilmu yang dipelajari akan diamalkan tanpa pamrih. Sifat ilmu yang tanpa pamrih ini (scientific disinterestedness), merupakan suatu etos ilmiah yang tetap harus dijunjung tinggi sampai saat ini.

Pengalaman ilmu tanpa pamrih ini sama sekali tidak menyangkal bahwa seorang cendekiawan membutuhkan materi untuk hidupnya, tetapi yang ingin di garis bawahi dengan scientific disinterestedness adalah jangan sampai seorang anak nanti kalau menjadi seorang intelektual hanya bekerja demi sesuap nasi atau kepentingan sesaat, lalu dengan mudah mengorbankan nilai- nilai moral dan kepercayaan masyarakat, dan juga ilmu yang di dapat tidak diabdikan kepada masyarakat.

Bagaimana dengan pendidikan karakter di Indonesia? Di Indonesia di mana agama diajarkan di sekolah-sekolah negeri, kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil di lihat dari parameter kejahatan, radakilasime, dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya, seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama: tampaknya pendidikan agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agamanya saja, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan.

Jika diperhatikan dari model pendidikannya pun; tampaknya terjadi kelemahan, karena metode pedidikan yang disampaikan dikonsentrasikan atau terpusat pada pendekatan otak kiri (kognitif), yaitu mewajibkan peserta didik untuk menghapal dan mengetahui konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu, tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai-nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia.

Peran orang tua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orang tua pula-lah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di bangku sekolah. Tanpa keterlibatan orang tua dan keluarga, pendidikan ahklah (karakter) yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter atau akhlak harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.

2. Pendidikan Humaniora

Kita mewarisi Humaniora dari sistem pendidikan Belanda. Waktu Hindia Belanda Humaniora berarti kelompok studi yang mengajarkan bahasa dan sastra klasik. Kekhasan Humaniora sebagai ilmu terletak dalam objek dan subject matter. Objek studi Humaniora adalah manusia, bukan benda- benda mati, baik yang ada di alam pikiran maupun dalam diri manusia. Meskipun sama-sama menjadikan manusia sebagai objek, tetapi subject matter Humaniora berbeda dengan kedokteran. Kalau ilmu kedokteran membicarakan aspek luar dari manusia secara biologis/fisis, sedangkan perhatian Humaniora ialah pada inner side, mental life, mind affected word, dan geistige welt.

Humaniora memahami, memaknai, mengerti, menafsirkan dunia dalam manusia, dan tidak menerangkan (explain) dunia luarnya. Humaniora melihat subject matter dengan empati intelektual (intelectual empathy), tidak menjadikannya semata-mata sebagai subjek. Humaniora (humanites) berasal jauh di belakang, ke pendidikan zaman Yuani Kuno. Pada waktu itu paideia (pendidikan) untuk orang merdeka bukan budak, menggunakan hasil-hasil sastra.

Zaman Hellenesme, dengan pusat budaya Alexandria dan Pergamum, mengembangkan paideia dengan hasil-hasil sastra kuno, selanjutnya muncul kebudayaan latin dengan kosep sama dan menyebut Humaniora dengan humaniores litterae. Pada zaman Renaissance kebudayaan klasik Yunani-Romawi diadopsi kembali, hingga selanjutnya kita mengenal Humaniora dengan istilah liberal education atau liberal studies. Liberal studies atau cultural studies, yang sampai sekarang masih berlaku di universitas-universitas Barat.

Menurut Dilthey, yang disunting oleh Kuntowijoyo, ilmu itu terbagi menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu kerohanian. Bagi Dilthey dalam Humaniora; termasuk studi sejarah, ekonomi, hukum, politik, psikologi, agama, sastra, puisi, arsitektur, musik, dan filsafat. Namun, dari Humaniora sebagai sebuh disiplin ilmu yang harus di cari ialah inner world-nya (dunia dalam), dan bukan seluruh bangunan keilmuan ilmu tunggal. Karena itu boleh saja Humaniora mempelajari institusi besar seperti negara dan lainnya asal diingat bahwa yang di cari adalah mental world-nya, sedangkan institusi-institusi itu hanyalah mind-created structure.

C. PENDIDIKAN TENTUKAN KUALITAS BANGSA

Pendidikan merupakan instrumen yang amat penting bagi setiap bangsa untuk meningkatkan daya saingnya dalam percaturan politik, ekonomi, hukum, budaya dan pertahanan pada tata kehidupan masyarakat global. Sadar akan hal itu, sehingga negara besar sekalipun selalu berusaha membangun kualitas pendidikannya ketingkat yang lebih baik lagi. Bahkan ada kecenderungan, negara maju semakin meningkatkan investasi mereka di dunia pendidikan.

Mereka berkeyakinan bahwa dengan semakin meningkatkan investasi di dunia pendidikan. Maka sebagai negara, akan tinggi pula daya saing mereka terhadap negara lain. Hal ini bisa dipahami, karena untuk meningkatkan daya saing suatu bangsa, memerlukan kualitas sumber daya manusia yang prima. Bangsa yang tinggi daya saingnya adalah bangsa yang bisa menganggap penting dunia pendidikan dan kependidikan.

Bagaimana dengan negara kita yang tercinta (Indonesia)? Menurut hemat penulis, bangsa ini belum memandang arti pendidikan untuk peningkatan kualitas bangsa. Kelihatannya, bangsa ini belum bisa memandang pendidikan sebagai investasi positif buat kemajuan bangsa ini ke depan. Banyak persoalan pendidikan yang tidak dapat diselesaikan secara komprehensif, sehingga program dan hasil pendidikan seolah-olah bagaikan tambal sulam terhadap tanaman yang merangkas di tengah ladang yang gersang.

Banyak persoalan dan program yang meski dirancang untuk peningkatan kualitas pendidikan tinggi kita; agar sebagai bangsa kita tidak hanya besar secara kuantitatif melainkan juga besar secara kualitatif, dan tidak semakin terpuruk ke lembah keterbelakangan. Diantaranya: persoalan manajemen, pembiayaan, pemerataan, etos kerja, dan motivasi belajar peserta, pemberdayaan dosen, pengadaan sarana prasarana dan infra struktur pendidikan, partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan, kualitas proses belajar-mengajar, kualitas lulusan, dan sebagainya perlu mendapatkan penanganan secara konsisten dan profesional.

Adanya gejala dari bangsa ini untuk tidak memandang penting dunia pendidikan. Pemerintah sejak orde lama sampai dengan saat ini, tidak pernah menunjukkan adanya political will yang kuat terhadap pembangunan sektor pendidikan. Kualitas dan daya saing bangsa ini semakin merosot, jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN sekalipun. Kondisi seperti ini tentunya tidak boleh didiamkan begitu saja, harus ada upaya yang sistematis untuk membangun dan memperbaiki sektor pendidikan agar mampu memberi peluang yang cukup luas bagi anak-anak bangsa ini dalam meningkatkan kualitas dirinya, baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat dan juga sebagai anak bangsa.

Rendahnya kualitas sumber daya manusia, merupakan salah satu pokok masalah yang dihadapi bangsa ini dalam menyongsong era globalisasi. Sebanyak 74,4% angkatan kerja Indonesia hanya berpendidikan sekolah dasar atau bahkan tidak tamat. Dan sebagian tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri bergerak di servis rumah tangga/pembantu mencapai 78,14% pada tahun 2016; hal ini dapat dimaklumi, mereka (para TKI) hanya mampu merebut pasar tersebut karena memang hanya itu yang memungkinkan, jika dilihat dari latar belakang pendidikan mereka.

Sumber manusia yang bermutu hanya dapat dicapai melalui sistem pendidikan yang berkualitas yang mampu melahirkan sumber daya manusia yang andal berakhlak mulia, mampu bekerja sama dan bersaing di era globalisasi dengan tetap mencintai tanah air. Sumber daya manusia yang bermutu tersebut memiliki keimanan dan ketakwaan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja, dan mampu membangun budaya kerja yang produktif dan berkepribadian.

D. PENDIDIKAN NASIONAL SEHARUSNYA

Untuk mewujudkan keinginan tersebut di atas, maka pendidikan naional seharusnya:

Pertama, membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lainnya. Kedua, pendidikan adalah wahana pemberdayaan bangsa dengan mengutamakan penciptaan dan

pemeliharaan konfigurasi komponen-komponen sumber pengaruh secara dinamik, seperti keluarga, sekolah, media masa, dan dunia usaha.

Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan pada fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Insititusi pendidikan tradisional seperti pesantren, keluarga, dan organisasi pemuda lainnya bukan hanya diberdayakan melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan nasional.

Kempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menuntut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama.

Kelima, prinsip perencanaan pendidikan yang tanggap atas perubahan, pendidikan bersifat progresif, tidak resisten terhadap perubahan, tetapi mampu mengendalikan arah perubahan itu. Keenam, prinsip rekonstruksionis. Dalam kondisi masyarakat yang menghendaki perubahan mendasar, artinya juga perubahan berskala besar berdasarkan gagasan besar, maka pendidikan juga harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan besar tersebut.

Ketujuh, prinsif pendidikan berorientasi kepada peserta didik. Kedelapan, prinsip pendidikan multikultural, sistem pendidikan nasional harus memahami bahwa

masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, dan oleh karenanya pluralisme perlu menjadi acuan yang tak kalah pentingnya dengan acuan-acuan lainnya.

Kesembilan, pendidikan dengan prinsif global, pendidikan harus mampu berperan dan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global. Namun pada waktu bersamaan, pendidikan juga memiliki kewajiban untuk melestarikan karakter nasional.

Ainurrafiq dalam buku ―Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi‖, memberikan konsep yang menarik tentang bagaimana pendidikan nasional kita seharusnya. Menurutnya, pendidikan adalah

pemberdayaan manusia Indonesia yang mandiri, kreatif, dan tidak bergantung dengan orang lain; pendidikan kita harus bisa membuat sesuatu yang berarti walaupun sangat sederhana.

Dalam tulisanya, Ainurrafiq menawarkan ide ―pendidikan terpadu‖, yang dilandasi oleh ide pendidikan, yaitu;

a) Pendidikan nasional selama ini tidak pernah bersahabat dengan dunia industri; dunia industri seakan-akan berada di luar dunia pendidikan nasional. Padahal, dunia pendidikan dan dunia industri adalah dua pihak yang saling membutuhkan;

b) Pendidikan nasional selama ini tidak memiliki visi yang jelas tentang pemberdayaan manusia Indonesia sendiri. Politik pendidikan nasional terpadu harus sejalan dengan politik ideologi, politik

pemerintah, politik ekonomi dan yang lainnya;

c) Pendidikan nasional pada dasarnya merupakan otak dari sebuah badan besar yaitu Indonesia. Bila otak-otak itu dipisahkan, baik energi, potensi, maupun kekuatannya, maka kinerja otak

tersebut tidak akan maksimal;

d) Pendidikan nasional terpadu merupakan pengejewantahan dari kepercayaan manusia Indonesia kepada pengelolaan pendidikan;

e) Pendidikan nasional terpadu merupakan jawaban intelektual dari persoalan pendidikan yang semakin lama semakin tidak jelas visi dan misinya.

Gambaran sistem pendidikan nasional terpadu adalah sebagai berikut:

1) Adanya penyatuan payung pendidikan nasional antar Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi,

2) Pendidikan nasional terpadu secara politis merupakan strategi nasional pemerintah yang sedang berkuasa dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia untuk melepaskan diri dari ketergantungan dalam bentuk apapun dari negara lain, dan

3) Politik pendidikan, dalam rangka pemberdayaan seluruh masyarakat Indonesia dan penanaman moralitas merupakan sasaran dari tujuan utama pendidikan nasional terpadu.

Sementara Djohar, mengutip tulisan Anne Ebbek, mengemukakan paradigma yang diperkirakan berdampak besar terhadap praksis pendidikan nasional, diantaranya:

1) Pendidikan yang demokratis bukan pendidikan yang otoriter. paradigma pendidikan yang demokratis adalah pendidikan yang ditandai dengan keikutsertaan pelaku pendidikan dalam pengambilan keputusaan untuk keperluan dirinya.

2) Pendidikan yang membebaskan bukan pendidikan yang membelunggu. Pendidikan kita sangat ini dirasakan sangat membelunggu, akibatnya peserta didik

dianggap sebagai obyek pendidikan, pendidikan di rasa sebagai kewajiban bukan kebutuhan; wujud dari pendidikan yang membebaskan bisa dilihat dalam proses pembelajaran, di mana peserta didik diberi kebebasan untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat di kontrol benar salahnya, baik dan tidaknya. Sehingga dari sini mereka memperoleh pengalaman nilai-nilai (moralitas) untuk bekal hidup di masa yang akan datang.

3) Pendidikan yang desentralistik bukan pendidikan yang sentralistik; Sentralisasi pendidikan menjadikan peserta didik tidak mengenal lingkungan nyata dari

karakteristik kehidupannya masing-masing. Implikasinya, sulit menumbuhkan cinta tanah air dan bangsa. Desentralisai pendidikan menghasilkan otonomi penyelenggaraan dan pembelajaran. Dengan model pendidikan seperti ini, dosen/guru diberikan kebebasan untuk melaksanakan pendidikan yang terbaik dan dibutuhkan oleh peserta didik.

4) Pendidikan yang fleksibel bukan pendidikan yang rigid; Rigiditas pendidikan dapat dilihat dari tingkat, jenjang dan strata. Pola eksit entri ketiga

jalur tersebut sangat kaku, sehingga apabila peserta didik telah masuk dalam jalur tertentu, maka tinggal di tunggu apakah ia berhasil atau tidak. Begitu juga mereka yang ingin mempunyai kemampuan ganda tidak akan terakomodasi dengan sistem jalur pendidikan kita yang rigid. Mekanisme eksit entri ini dapat dilaksanakan dengan model matrikulasi, dengan demikian maka seorang siswa dapat memiliki kemampuan yang mereka inginkan.

5) Pendidikan diversivikasi bukan pendidikan uniform; Unifomitas selalu diukur dengan pengetahuan, sedangkan diversifikasi akan

memunculkan berbagai kreatifitas yang dapat menghasilkan alternatif.

6) Pendidikan untuk peserta didik bukan untuk dosen/guru; kesan pendidikan sebagai kewajiban bukan kebutuhan, menyebabkan terjadinya

penyalahguanan, sehingga peserta didik dijadikan obyek pendidikan. Pendidikan untuk peserta mempunyai prinsip terbentuknya masyarakat belajar yang dibutuhkan dalam hidup di era global.

7) Pendidikan yang konseptual bukan pendidikan yang tekstual; Pendidikan kita selama ini didomiasi oleh dosen/guru yang banyak bicara, sementara

bahan ajar yang digunakan sangat tekstual. Peserta didik lebih banyak menerima berita dari teks yang digunakan dosen, mereka lepas dari lingkungan mereka. Padahal sebenarnya, persoalan belajar sangat kaya di sekitar mereka (lingkungan), dan lainnya.