Umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli Kabupaten Sumba Barat.

(1)

DALAM TUTURAN BERBAHASA INDONESIA

DI MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Disusun Oleh

Valentina Idi Roswita Wuwur

NIM: 094114013

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013


(2)

ii 


(3)

iii 


(4)

iv 

 


(5)


(6)

vi 

 

Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena

atas berkat dan tuntunan-Nya, tugas akhir ini dapat diselesaikan sesuai dengan

waktu yang telah direncanakan. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana sastra pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas

Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Dalam menyelesaikan tugas akhir ini, banyak pihak telah memberikan

bantuan, baik secara moril maupun materil kepada penulis. Oleh karena itu,

penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1.

Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku pembimbing I dalam

penelitian ini. Terima kasih atas bimbingan, motivasi, dan nasihat yang

telah diberikan kepada saya.

2.

Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II sekaligus Dosen

Pembimbing Akademik angkatan 2009. Terima kasih atas perhatian dan

nasihat yang telah ibu berikan selama ini, baik dalam hal perkuliahan

maupun hal-hal yang menyangkut masa depan penulis.

3.

Bapak dan Ibu dosen Sastra Indonesia, Drs. Hery Antono, M.Hum.,

S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum., Dr. Yoseph

Yapi Taum, M.Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum., dan Drs. F.X. Santosa,

M.S., terima kasih atas tuntunan dan kesempatan yang diberikan kepada

saya untuk menimba ilmu dari Bapak dan Ibu sekalian selama saya

menjalani studi di Program Studi Sastra Indonesia.


(7)

vii 


(8)

viii 

 

Wuwur, Valentina Idi Roswita, 2013, “Umpatan dalam Tuturan Berbahasa

Indonesia di Masyarakat Sumba Barat.” Skripsi Strata I (SI). Program

studi Sastra Indonesia. Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian tentang umpatan dalam tuturan

berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat. Terdapat dua permasalahan

yang dipecahkan dalam penelitian ini, yakni (i) apa saja jenis umpatan dalam

tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya

dan (ii) apa maksud umpatan tersebut jika ditinjau dari konteks kehidupan

masyarakat Sumba Barat?

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis-jenis umpatan dalam

tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya,

dan mendeskripsikan maksud umpatan tersebut berdasarkan konteks kehidupan

masyarakat Sumba Barat. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap

tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis

data. Tahap pertama adalah tahap pengumpulan data. Objek penelitian ini adalah

umpatan. Objek penelitian berada dalam data berupa tuturan. Data diperoleh

melalui dua sumber, yakni sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis

berupa

Kamus Bahasa Daerah Sumba Barat

, dan sumber lisan berasal dari

pengamatan penulis terhadap beberapa penutur langsung bahasa Sumba Barat.

Tahap kedua adalah analisis data. Metode yang digunakan adalah metode padan,

yaitu metode yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi

bagian dari bahasa yang bersangkutan. Alat penentunya adalah kenyataan yang

ditunjukkan oleh bahasa atau referen bahasa. Hasil analisis data dalam penelitian

ini disajikan dengan menggunakan dua metode, yaitu metode formal dan metode

informal. Hasil penelitian disajikan dengan metode formal, yaitu menggunakan

tabel. Penyajian hasil analisis data secara informal, yaitu penyajian hasil analisis

data dengan menggunakan kata-kata biasa, yaitu kata-kata yang bersifat denotatif

dan bukan kata yang bersifat konotatif.

Hasil penelitian ini adalah deskripsi jenis umpatan dalam tuturan

berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat dan maksud umpatan

berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat. Jenis umpatan

berdasarkan referen terbagi menjadi empat, yaitu jenis umpatan yang memiliki

referen berupa manusia, jenis umpatan yang memiliki referen hewan, jenis

umpatan yang memiliki referen berupa tumbuhan, dan jenis umpatan yang

memiliki referen berupa benda mati. Jika dikaitkan dengan konteks kehidupan

masyarakat Sumba Barat, terdapat empat maksud yang terkandung di dalam

umpatan-umpatan tersebut, yaitu umpatan yang bermaksud bercanda, umpatan

yang bermaksud menyindir, umpatan yang bermaksud marah, dan umpatan yang

bermaksud menghina.


(9)

ix 

 

Wuwur, Valentina Idi Roswita, 2013, “Curse in Indonesian Utterance in West

Sumba Society.” An Undergraduate Thesis (SI). Department of Indonesian

Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

This thesis is a result of a research of curses in Indonesian utterance in

West Sumba society. There are two problems that will be solved in this research.

They are (i) what are the kinds of curse in Indonesian utterance in West Sumba

society based on the references, and (ii) what are the meaning of the curses in the

context of West Sumba society’s life?

This research aims to describe the kinds of curses in Indonesian utterance

in West Sumba society based on the references, and to describe the meaning of

the curses based on the context of West Sumba society’s life. There are three

steps that will be used in this research. The first step is collecting data. This

research consists of curses as the object of the research. The objects are in an

utterance data. The data are taken from two sources, written and spoken sources.

The written source is Dictionary of West Sumba, and the spoken source is the

writer’s observation on the direct speakers of West Sumba language. The second

step is analyzing data. The method that is used is equal method, the method which

the determiner is outside, free, and it is not part of the pertinent language. The

determiner is the fact that is showed by the language or the language reference

(Sudayanto, 1993:13-14). The third step is the presentation of the result of

analysis data. The analysis data in this research is presented using two methods,

formal and informal method. The result of the research presented in formal

method is using some symbols, signs, abbreviations, etc. The informal

presentation of the result of presentation is using common words, which are

denotative and non connotative.

This research produces two results, the description of the kinds of curses

in Indonesian utterance in West Sumba society and the meaning of the curses

based on the context of West Sumba society’s life. The kinds of the curses based

on the references divided into four kinds, the curses which have human as the

reference, which are divided into four small parts, human’s name, greetings, parts

of human body, and position. The next curse based on the reference is the curse

with animal reference, plants reference, and unanimated things. If they are related

to the context of West Sumba society’s life, there are four meanings consisted the

curses. The meanings are to joke, to tease, to show anger, and to insult.


(10)

 

HALAMAN JUDUL………

i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING………..

ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………

iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………

v

KATA PENGANTAR………...

vi

ABSTRAK………. viii

ABSTRACK………..

ix

DAFTAR ISI……….…

x

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang……….……… 1

1.2

Rumusan Masalah…….……….

6

1.3

Tujuan Penelitian……….. 6

1.4

Manfaat Hasil Penelitian………... 7

1.5

Tinjauan Pustaka……… 8

1.6

Kerangka Teori……….. 12

1.6.1.Pengertian Umpatan……… 12

1.6.2. Teori Semantik……… 14

1.6.2.1 Referen . ………. 14

1.6.2.2 Maksud ………. 16

1.7

Metode Penelitian……….. 16


(11)

xi 

 

1.7.3. Penyajian Hasil Analisis Data……….…………..

19

1.8

Sistematika Penelitian………... 19

BAB II JENIS UMPATAN BAHASA SUMBA BARAT

DALAM TUTURAN BERBAHASA INDONESIA

DI MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT

BERDASARKAN REFERENNYA

2.0 Dasar Kehidupan Masyarakat Sumba Barat……… 21

2.1 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia……….….. 22

2.1.1. Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa

Nama Manusia……….

23

2.1.2 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa

Sapaan………..…. 23

2.1.3 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa

Bagian Tubuh Manusia………..…… 24

2.1.4. Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa

Jabatan……… 27

2.1

Umpatan yang Menunjuk Referen Hewan……….… 27

2.2

Umpatan yang Menunjuk Referen Tumbuhan……..…………. 28

2.3

Umpatan yang Menunjuk Referen Benda Mati……….. 29

BAB III MAKSUD UMPATAN DITINJAU DARI KONTEKS KEHIDUPAN

MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT


(12)

xii 

 

3.2

Umpatan yang Bermaksud Menyindir……… 38

3.3

Umpatan yang Bermaksud Marah……….. 42

3.4

Umpatan yang Bermaksud Menghina………... 46

BAB IV PENUTUP

3.1

Kesimpulan……….……… 52

3.2

Saran……….. 52


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tugas akhir ini membahas umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Umpatan atau makian adalah ungkapan perasaan tertentu yang timbulnya disebabkan oleh dorongan yang bersifat kebahasaan dan nonkebahasaan. Hal yang bersifat kebahasaan berupa kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang dirasa tidak berkenan pada diri pengumpat. Sebagai tanggapan atas tindakan itu, si pengumpat melampiaskan perasaannya melalui pelbagai umpatan. Sementara itu, hal yang bersifat nonkebahasaan biasanya menyangkut perbuatan seseorang atau peristiwa tertentu. Perbuatan tertentu misalnya pemukulan dan peristiwa tertentu seperti penyesalan mengakibatkan seseorang marah, mengkal, atau kecewa. Dalam suasana seperti itu, biasanya orang terbawa luapan perasaannya yang tidak terkendali, luapan perasaan yang menegangkan saraf. Pada saat itulah, perasaan sering terungkap melalui kata-kata yang tergolong kasar. Salah satu pengungkapan tersebut adalah dengan mencaci maki penyebabnya.

Berikut ini contoh kata atau frasa umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat:

(1) Umpatan yang Merujuk Referen Manusia

(1a) Nene moyang: Memangnya ko punya nene moyang yang buat ini? ‘Memangnya nenek moyangmu yang membuat ini’


(14)

2

(1b) Bili gila: Heh Bili gila, barenti makan! ‘Hei Bili gila, berhenti makan!’

(1c) Mortana: Dasar ko memang manusia mortana. ‘Dasar kau memang manusia setan.’

(2) Umpatan yang Merujuk Referen Hewan

(2a) Bongga law: Bongga law di sebela yang buat dia menangis. ‘Bongga law di sebelah yang membuatnya menangis’ (2b) Manu beddi: Itu tua satu su macam manu beddi.

‘Si tua itu sudah seperti burung yang gatal.’ (2c) Karabbo mai: Macam karabbo mai saja kau ini.

‘Sudah seperti kerbau betina saja kau ini.’

(3) Umpatan yang Merujuk Referen Tumbuhan

(3a) Karokko rara: Suda otak karokko rara, masih saja buat ulah. ‘Sudah otak seperti karokko rara, masih saja berbuat ulah’ (3b) Rauta ka’bala: Rauta ka’bala ada duduk di sana.

Rauta ka’bala sedang duduk di sana.’

(3c) Kapoke naga: Ko pu modem macam kapoke naga saja. ‘Rupamu itu sudah seperti buah nagka yang kempes.’ (4)Umpatan yang Merujuk Referen Benda mati

(4a) Muka cobe: Muka cobe tapi gaya di atas langit. ‘Muka seperti cobe tetapi gayanya di atas langit’ (4b) Taripleks: Laki-laki taripleks baru sa lewat


(15)

3

(4c) Watu loko: Watu loko sudah itu barang-barang. ‘Sia-sia saja barang-barang itu.’

Frasa nene moyang, Bili gila, dan mortana pada contoh (1a), (1b), dan (1c) adalah frasa atau kata yang sering digunakan oleh masyarakat Sumba Barat untuk mengumpat orang lain. Referen umpatan tersebut adalah manusia. Tuturan (1a) bermaksud mengumpat orang dengan memakai referen berupa nama kekerabatan, yakni nene moyang. Contoh (1b) mengandung umpatan yang berarti nama seorang yang tidak waras, yang terkenal di Sumba Barat. Nama Bili gila tersebut dipakai untuk mengumpat orang yang memiliki sifat atau kelakuan seperti Bili gila itu. Mortana dalam contoh (1c) berarti ‘tuan tanah’, mor dari mori ‘tuan, penjaga,

penunggu’ dan tana yang berarti ‘tanah’. Dalam masyarakat Sumba Barat,

penunggu sebuah tempat (biasanya tidak kelihatan, berupa roh) sering disebut setan. Oleh karena itu, ‘tuan tanah’ disebut setan.

Pada contoh (2) terdapat umpatan yang memiliki referen berupa hewan, yaitu (2a) bongga law, (2b) manu beddi, dan (2c) karabbo mai. Contoh (2a) memuat umpatan bongga yang berarti ‘anjing’. Law adalah kata yang biasa digunakan untuk mengumpat kaum lelaki. Oleh karena itu, bongga law digunakan untuk mengumpat kaum laki-laki. Contoh (2b) mengandung frasa manu beddi yang berarti manu ‘burung’, beddi ‘gatal, centil, suka menggoda.’ Frasa ini sering digunakan untuk mengumpat orang yang memiliki sifat demikian. Contoh (2c) Karabbo mai berarti ‘kerbau betina’. Frasa tersebut sering digunakan untuk mengumpat anak gadis yang memiliki sifat layaknya kerbau betina, pemalas, berbadan besar, dan cenderung lamban dalam beraktivitas.


(16)

4

Frasa Karokko rara, rauta ka’bala, dan kapoke naga yang terdapat dalam contoh (3a), (3b), dan (3c) merupakan umpatan yang menunjuk referen berupa

tumbuhan. Contoh (3a) mengandung frasa karokko rara yang berarti ‘labu

merah’. Labu merah sering digunakan oleh masyarakat Sumba Barat untuk mengumpat orang yang berotak kosong, sama seperti labu merah, kosong di bagian tengah. Contoh (3b) mengandung umpatan yang berarti ‘rumput belalang’, rauta ‘rumput’ dan ka’bala ‘belalang’. Umpatan itu biasa digunakan untuk mengumpat orang yang berbulu badan lebat seperti rumput belalang. Dalam contoh (3c) kapoke naga berarti buah nangka yang gugur, tidak sampai dewasa. Buah nangka seperti itu biasanya kempes dan mengkerut sebelum gugur. Umpatan tersebut digunakan untuk mengumpat orang yang dianggap memiliki rupa seperti kapoke naga.

Contoh (4) mengandung umpatan yang memiliki referen berupa benda mati, yaitu (4a) muka cobe, (4b) taripleks,dan (4c) watu loko. Contoh (4a) digunakan untuk mengumpat orang yang dianggap memiliki rupa seperti cobek: hitam, kasar, dan abstrak. Contoh (4b) dipakai untuk mengumpat orang yang memiliki kondisi fisik seperti tripleks, panjang, tipis, dan lunglai. Contoh (4c) digunakan untuk mengumpat sesuatu hal yang dianggap sia-sia. Arti watu loko adalah ‘batu kali’. Batu kali jarang sekali digunakan dalam kebutuhan hidup orang Sumba Barat, oleh karena itu, sesuatu yang sia-sia atau tidak berguna sering disebut dengan batu kali atau watu loko.

Ternyata umpatan yang digunakan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat berasal dari bahasa Sumba Barat.


(17)

5

Umpatan-umpatan itu digunakan oleh penutur dalam berbahasa Indonesia. Pemilihan topik mengenai umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat ini didasari banyaknya temuan penulis mengenai pemakaian satuan bahasa tertentu yang digunakan untuk mengumpat dalam tuturan masyarakat Sumba Barat. Penulis sebagai penutur tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat, bermaksud mendeskripsikan jenis kata atau frasa yang biasa digunakan untuk mengumpat dalam masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya dan mendeskripsikan maksud dari umpatan tersebut jika ditinjau dari konteks kehidupan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Selain itu, melalui topik ini, penulis menggambarkan kepribadian khas masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Kepribadian khas yang dimaksud adalah kepribadian khas dalam kehidupan sosial masyarakat Loli. Dalam kesehariannya, masyarakat Lilo berpegang teguh pada ajaran Marapu. Salah satu ajaran Marapu adalah bersikap jujur dan tidak munafik. Oleh karena itu, masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat selalu mengungkapkan perasaan mereka secara terang-terangan, karena apabila ditutupi, dianggap munafik, berbohong, dan melanggar ajaran Marapu. Kaitannya dengan umpatan, masyarakat Loli sering menggunakan umpatan untuk mengekspresikan dan mengungkapkan perasaannya terhadap orang lain.

Kurangnya kajian dan penelitian mengenai tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat juga menjadi salah satu alasan penulis memilih topik ini. Sumber pengetahuan dan informasi mengenai tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat masih sangat minim. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian ini


(18)

6

untuk memberikan sumbangan pengetahuan dan informasi mengenai tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat. Sumbangan tersebut dapat digunakan oleh masyarakat Sumba Barat itu sendiri maupun masyarakat luar Sumba Barat yang ingin mempelajari tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat.

I.2 Rumusan Masalah

Masalah yang dipecahkan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.2.1 Apa saja jenis umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa

Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat berdasarkan referennya?

1.2.2 Apa maksud umpatan tersebut jika ditinjau dari konteks kehidupan

masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat?

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat Tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.

1.3.1 Mendeskripsikan jenis umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan

berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat berdasarkan referennnya

1.3.2 Mendeskripsikan maksud umpatan berdasarkan konteks kehidupan


(19)

7 I.4 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini adalah deskripsi jenis-jenis umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat berdasarkan referennya dan deskripsi maksud umpatan tersebut berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Hasil penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretisnya adalah menyumbangkan hal baru dalam ilmu semantik, yaitu jenis-jenis umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loili, Kabupaten Sumba Barat berdasarkan referennya. Terdapat kata atau frasa dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli yang mempunyai referen tertentu sering digunakan sebagai umpatan. Selain itu, hasil penelitian ini memberikan sumbangan teoretis dalam ilmu pragmatik, yaitu jenis-jenis maksud yang terkandung dalam umpatan berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Penggunaan umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat ini mengandung maksud tertentu.

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan dan pemahaman masyarakat Sumba Barat mengenai referen yang digunakan untuk mengumpat dan maksud apa yang terkandung di dalam referen tersebut. Selain itu, masyarakat non Sumba Barat juga dapat mengetahui perihal umpatan yang ada di dalam masyarakat Sumba Barat.


(20)

8 I.5 Tinjauan Pustaka

Perihal umpatan pernah dibahas oleh Siswoyo (2001), Purnama (2008), Mardhikai (2012), dan Puspitasari (2013). Siswoyo (2001), dalam tugas akhirnya meneliti pemakaian kata makian yang ada di sekitar mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Hasil analisis penelitiannya menunjukkan bahwa pemakaian kata makian tidak hanya digunakan pada saat marah. Sembilan puluh persen dari keseluruhan jumlah data menyatakan makian juga digunakan pada situasi santai atau akrab. Selain itu, makian juga bertujuan untuk menghina, meremehkan, mengungkapkan kekecewaan, kekaguman, keheranan, dan pujian. Bentuk- bentuk makian yang ditemukan dalam penelitian tersebut ada dua, yakni makian berbentuk kata dan makian yang berbentuk frasa. Referen makiannya berupa benda, binatang, kekerabatan, makhluk halus, organ tubuh, aktivitas, pekerjaan, diskriminasi, jenis kelamin, keadaan, dan usia. Penelitian tersebut juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian kata makian oleh mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya universitas Diponegoro. Faktor-faktor tersebut, di antaranya, faktor usia, status sosial, jenis kelamin, dan kedekatan emosi.

Purnama (2008) meneliti tentang makian dalam bahasa Melayu Palembang: studi tentang bentuk, referen, dan konteks sosiokulturalnya. Menurut Purnama, makian lazim digunakan oleh penutur sebagai sarana pengungkap emosi, di mana makian tersebut terdapat dalam bahasa sehari-hari. Makian dalam bahasa Melayu Palembang digolongkan menjadi tiga, yakni berdasarkan bentuk,


(21)

9

referen, dan konteks sosiokultural. Pertama, bentuk makian dalam bahasa Melayu Palembang.

Bentuk makian dalam bahasa Melayu Palembang ini dibagi menjadi tiga, yaitu makian berbentuk kata, makian berbentuk frasa, dan makian berbentuk klausa. Makian yang berbentuk kata, seperti kampang ‘anak haram’, burit ‘pantat’, bengak ‘bodoh’, pilat ‘kotoran pada kelamin pria’, tai ‘hasil sisa metabolisme’. Makian yang berbentuk frasa dalam bahasa Melayu Palembang dibentuk dengan dua cara, yakni dasar + (makian), dan woi + (makian). Terdapat keunikan dalam makian berbentuk frasa ini, yaitu adanya pemakaian suku atau etnis tertentu yang sering digunakan oleh masyarakat untuk memaki. Hal itu disebabkan ketidakterimaan masyarakat Palembang terhadap suku atau etnis tersebut. Etnis atau suku yang dimaksudkan adalah Cina, Batak, dan Jawa. Pada makian berbentuk klausa, makian dibentuk dengan menambahkan pronomina di belakang makian.

Berdasarkan referennya, makian dalam bahasa Melayu Palembang dibagi menjadi sembilan, yaitu makian yang memiliki referen keadaan, makian yang memiliki referen sifat, makian yang memiliki referen etnis, makian yang memiliki referen binatang, makian yang memiliki referen makhluk halus, makian yang memiliki referen benda, makian yang memiliki referen bagian tubuh, makian yang memiliki referen aktifitas, dan makian yang memiliki referen profesi. Referen keadaan yang dimaksud adalah keadaan mental, keadaan yang tidak sesuai dengan norma agama dan adat, dan keadaan yang berhubungan dengan hal-hal buruk.


(22)

10

Makian yang memiliki referen sifat menunjuk pada sifat buruk yang dimiliki mitra tutur. Makian yang memiliki referen etnis biasanya dikaitkan dengan sifat etnis tertentu berdasarkan pandangan masyarakat Palembang. Misalnya, sifat etnis Batak yang rakus, sifat etnis Cina yang pelit, dan etnis Jawa yang suka bergaya. Referen binatang yang sering digunakan untuk memaki ialah binatang yang dipandang tidak baik, misalnya buayo ‘buaya’, beruk ‘kera besar berekor pendek dan kecil’, babi, dan anjing. Makhluk halus yang sering digunakan oleh masyarakat Palembang untuk memaki adalah belis dan taun. Kedua makhluk halus ini dianggap sebagai musuh umat beragama. Referen berupa bagian tubuh, aktifitas, dan profesi, sering dikaitkan dengan hal yang berbau seks. Misalnya pada referen bagian tubuh, masyarakat Palembang sering menggunakan organ seksual untuk memaki, yaitu kontol, peler, pepek, memek, tempek, puki, dan jembut. Aktifitas seksual juga sering digunakan untuk memaki, yaitu kacok, ngentot, dan ngancit. Pada profesi, makian yang sering dipakai adalah lonte dan lonte lanang (gigolo).

Pengkajian konteks sosiokultural makian bahasa Melayu Palembang mencakup agama, adat, kondisi sosial, dan status sosial.

Mardhikai (2012) meneliti fenomena kata makian dalam film. Makian-makian yang sering ditemukan dalam film, antara lain bajingan, bodoh, goblog, tolol, babi, monyet, curut, tahi, pelacur, sundel, dasar perek, tua bangka,, dan hidung pesek. Mardhikai juga memaparkan pendapat masyarakat mengenai pemakaian makian di dalam film. Ada tiga pendapat, yakni, pemakaian kata makian itu sudah biasa terjadi di kalangan masyarakat guna menumpahkan


(23)

11

kekesalan, kejengkelan, atau kemarahan. Pendapat kedua, kata-kata seperti itu (makian) tidak pantas untuk ditayangkan dan didengar oleh penonton film. Pendapat ketiga menyatakan, jika menggunakan bahasa yang baik dan benar, film tidak akan laku. Hal ini disebabkan dengan hadirnya kata-kata seperti itu, minat penonton akan bertambah, khususnya bagi penonton yang berusia remaja.

Puspitasari (2013), meneliti “Makian dalam Bahasa Indonesia (Suatu Kajian Bentuk dan Referensi pada Komik)”. Penelitian ini menyebutkan bahwa pemakaian kata makian tidak hanya digunakan pada saat marah, tetapi juga digunakan pada situasi santai atau akrab. Selain itu, kata makian memiliki tujuan untuk menghina, meremehkan, mengungkapkan kekecewaan, keheranan, dan simbol keakraban. Bentuk-bentuk makian yang ditemukan pada komik yang diteliti, adalah makian berbentuk kata (dibagi menjadi dua, yakni makian bentuk dasar yang berwujud kata-kata monomorfemik) dan makian bentuk kata jadian atau turunan (berbentuk polimorfemik yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu makian berafiks dan makian bentuk majemuk)), makian berbentuk frasa, dan makian berbentuk klausa.

Pada bentuk referensi, kata makian dalam komik berupa referen benda, referen binatang, referen berupa kekerabatan, referen berupa makhluk halus, referen berupa organ tubuh, referen berupa aktivitas, referen berupa profesi, dan referen berupa keadaan.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian di atas, penulis memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, umpatan memiliki referen berupa manusia dan hewan. Umpatan dengan referen manusia ada empat, yaitu anggota


(24)

12

tubuh manusia, keadaan fisik manusia, kekerabatan, dan keadaan mental manusia. Kedua, sebagian besar orang menggunakan umpatan untuk mengekspresikan emosi dan perasaan mereka. Hal baru yang ditemukan penulis dalam penelitian mengenai umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat adalah ditemukannya beberapa referen berupa tumbuhan dalam umpatan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Selain itu, dalam kaitannya dengan konteks kehidupan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat, penulis menemukan maksud untuk bercanda dalam penggunaan umpatan.

I.6 Kerangka Teori

Landasan teori dalam penelitian ini memaparkan pengertian umpatan, referen, maksud, dan kehidupan sosial masyarakat Sumba Barat.

1.6.1 Pengertian Umpatan

Kata umpatan atau makian merupakan ungkapan yang dapat dilihat sebagai saluran dari emosi dan sikap penutur yang menggunakan kata-kata tabu dalam cara yang nonteknis dan bersifat emotif (Ljung, dalam Yuwono, 2010). Pengertian ini menunjukkan bahasa umpatan merupakan media untuk mengekspresikan perasaan penutur.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, dkk., 2008:702), ”maki” berarti mengeluarkan kata-kata (ucapan) keji (kotor, kasar, dan sebagainya) sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel; ”memaki” berarti mengucapkan kata-kata keji, tidak pantas, kurang adat untuk menyatakan


(25)

13

kemarahan atau kejengkelan; ”makian” berarti kata keji yang diucapkan karena marah, dan sebagainya.

Menurut Purnama, (2008: 171), makian merupakan salah satu sarana yang dibutuhkan oleh penutur untuk mengungkapkan emosi mencakup perasaan ketidaksenangan. Makian kerap terdapat dalam bahasa Palembang sehari-hari (Palembang Sari-sari), di mana penggunaan makian dalam bahasa Palembang sehari-hari ini dikarenakan bahasa tersebut akrab digunakan dalam bertalimarga (berkomunikasi). Purnama, dalam tulisannya, juga menyatakan bahwa terdapat kemiripan antara makian masyarakat Palembang dengan makian yang dikenal oleh masyarakat secara umum, misalnya kata makian jembut, kontol, bandit, babi, dan kere.

Rosidin (2010: 27), mendefinisikan makian sebagai berikut. Makian adalah saluran dari emosi dan sikap penutur yang diwujudkan dengan pemakaian kata-kata tabu, kasar, kotor, cabul, tidak sopan, dan keji. Makian tersebut biasanya merujuk pada hal-hal yang tabu atau dipandang sebagai sesuatu yang “sensitif” dalam suatu lingkungan budaya atau masyarakat tertentu.

Makian kerap digunakan untuk menyinggung harga diri orang lain dan menyakiti hati mitra tutur. Alasan makian diucapkan adalah karena adanya perasaan tidak senang, marah, terkadang, dalam konteks tertentu, makian dapat digunakan sebagai penanda keintiman atau kedekatan antara penutur dengan mitra tutur.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa umpatan merupakan tuturan yang digunakan oleh penutur untuk mengekspresikan perasaannya kepada mitra tuturnya.


(26)

14

1.6.2 Teori Semantik

Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambing-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya, dan perubahannya (Tarigan, 1986:18). Ilmu semantik menyebutkan, terdapat tiga elemen bahasa, yaitu bentuk, makna, dan referen. Bentuk-bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan makna yang yang dinyatakan. Hubungan antara bentuk dan makna bersifat arbitrer dan konvensional. Sifat arbitrer mengandung pengertian tidak ada hubungan kausal, logis, alamiah, ataupun historis, dan sebagainya, antata bentuk dan makna itu. Sementara itu, sifat konvensional menyarankan bahwa hubungan antara bentuk dan kebahasaan dan maknanya terwujud atas dasar konvensi atau kesepakatan bersama (Wijana, 2011: 4).

Bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep dalam pikiran manusia

yang disebut makna (sense), dan konsep ini lazimnya berhubungan dengan

sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa yang disebut referen (referent) (Wijana, 2011: 4).

1.6.2.1 Referen

Referen (referent) adalah objek atau hal yang ditunjuk: peristiwa, fakta di dalam dunia pengalaman manusia (Djajasudarma, 1993: 24). Referen merupakan salah satu bagian dari segitiga semiotik, selain simbol dan rujukan (Richards, 1923: 14). Referen tidak selalu sesuai dengan simbol, karena konsep sebuah


(27)

15

referen dapat dipahami jika sesuai dengan rujukan. Pemikiran atau referensi sangat dipengaruhi oleh bahasa dan simbol (Martinet, 2010:78).

PEMIKIRAN ATAU REFERENSI

SIMBOL REFEREN

Simbol (kata, rangkaian kata, gambar, gerak, isyarat, dan semua representasi gambar maupun bunyi imitatif) mengarahkan secara langsung, mengorganisasi, merekam, dan mengkomunikasikan pemikiran atau referensi tersebut. Simbol-simbol yang telah diproses di dalam pemikiran atau referensi tersebut kemudian dikomunikasikan lagi dengan fakta dan kejadian. Fakta dan kejadian inilah yang kemudian disebut referen.

Simbol dalam segitiga semiotik berfungsi untuk menggantikan referen,

karena simbol melakukan pentahbisan atau investitura. Ketika seseorang

memahami apa yang dikatakan, maka suatu simbol akan membuat kita melakukan suatu tindakan referensi, dan sekaligus membuat kita mengambil suatu sikap yang sesuai dengan lingkungan yang mirip atau mendekati tindakan dan sikap lokutor. Selain menggantikan referean, simbol juga memiliki satu relasi tidak langsung. Misalnya kata “anjing” tidak memiliki hubungan lain dengan “beberapa objek


(28)

16

umum tertentu yang terdapat di jalanan” kecuali berkaitan dengan fakta yang sering kita gunakan ketika merujuk pada suatu binatang. (Martinet, 2010: 79). 1.6.2.2 Maksud

Maksud merupakan suatu gejala luar ujaran, selain informasi. Informasi dan maksud sama-sama sesuatu yang luar ujaran. Hanya bedanya kalau informasi itu merupakan sesuatu yang luar ujaran dilihat dari segi objeknya atau yang dibicarakan; sedangkan maksud dilihat dari segi si pengujar, orang yang berbicara, atau pihak subjeknya. Di sini orang yang berbicara itu mengujarkan suatu ujaran entah berupa kalimat maupun frase, tetapi yang dinaksudkannya tidak sama dengan maksud lahiriah ujaran itu sendiri (Chaer, 1990:35-36).

I.7 Metode Penelitian

Penelitian mengenai umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (i) Pengumpulan data, (ii) Analisis Data, dan (iii) Penyajian Hasil Analisis Data.

1.7.1 Pengumpulan Data

Objek penelitian ini adalah umpatan. Objek ini berada dalam data berupa tuturan. Data yang dikumpulkan adalah umpatan yang sering digunakan oleh masyarakat Sumba Barat dalam bertutur. Data-data dalam penelitian ini diperoleh melalui dua sumber, yakni sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis

berupa Kamus Bahasa Daerah Sumba Barat, dan sumber lisan berasal dari


(29)

17

Saudara Deristo Bili (29), Saudara Arianti Anita Umbu (22), Saudara Tanta Rambu Hara (22), dan Saudara Angela Kula (22).

Pengumpulan data penelitian menggunakan metode simak. Metode simak adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan cara menyimak penggunaan bahasa. Bahasa yang disimak dalam metode ini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis (Mahsun, 2005: 92). Metode simak yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yakni metode simak berpartisipasi dan metode simak tidak berpartisipasi. Metode simak berpartisipasi adalah pengumpulan data dengan ikut terlibat atau berpartisipasi (sambil menyimak), entah secara aktif atau reseptif, dalam pembicaraan (Kesuma, 2007: 44). Sedangkan metode simak tidak berpartisipasi adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa tanpa ikut berpartisipasi dalam proses pembicaraan. Dalam teknik ini, peneliti tidak dilibatkan langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan calon data. Data yang disimak dengan teknik ini dapat berupa data dari sumber lisan dan sumber tertulis (Kesuma, 2007: 44). Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara masuk ke dalam keseharian masyarakat Sumba Barat dan mengamati umpatan-umpatan yang sering mereka gunakan. Selain itu, penulis juga mengamati dan meneliti umpatan-umpatan yang sering digunakan oleh mahasiswa Sumba Barat yang tinggal di Jogjakarta.

1.7.2 Analisis Data

Pada tahap analisis data, data dianalisis menggunakan metode padan. Metode padan disebut juga metode identitas, adalah metode analisis data yang


(30)

18

digunakan untuk menentukan kejatian atau identitas objek penelitian (Kesuma, 2007: 47). Alat penentu data dalam metode ini berada di luar bahasa, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue). Metode padan yang digunakan adalah metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan referensial adalah metode padan yang alat penentunya berupa referen bahasa. Metode ini digunakan untuk menentukan identitas satuan kebahasaan menurut referen yang ditunjuk (Kesuma, 2007: 48).

Contoh penerapan metode padan referensial sebagai berikut. (1)Luhan memanggil Kris.

Kalimat (1) di atas dapat dipilah menjadi tiga konstituen, yaitu Luhan, memanggil, dan Kris. Ketiga konstituen itu memiliki identitas masing-masing. Identitas Luhan adalah ‘pelaku’, memanggil adalah ‘perbuatan’, dan Kris adalah ‘penerima perbuatan’. Penentuan tersebut merupakanpenentuan identitas menurut metode padan referensial.

Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya lawan atau mitra wicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan atau mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara (Kesuma, 2007: 49).

Contoh penerapan metode padan pragmatis sebagai berikut. (2)Kai, tolong buatkan minum untuk adikmu!

Contoh (2) di atas merupakan kalimat perintah. Penentuan tersebut dilakukan menurut jalur kerja metode padan pragmatis, yaitu contoh (2) ditentukan sebagai


(31)

19

kalimat perintah karena bila dituturkan, mengakibatkan mitra tutur, yaitu Kai, melakukan tindakan membuatkan minum untuk adik, sehingga muncul reaksi seperti dalam (2a) atau menolak untuk membuatkan minum untuk adik, seperti reaksi dalam (2b).

(2a) Iya, akan kubuatkan.

(2b) Aku sedang malas. Suruh saja orang lain yang membuatnya.

1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan dua metode, yaitu metode formal dan metode informal. Penyajian hasil analisis data dengan metode formal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kaidah. Kaidah tersebut dapat berbentuk rumus, bagan/diagram, tabel, dan gambar (Kesuma, 2007: 73). Penelitian ini menyajikan hasil analisis data melalui tabel. Sedangkan penyajian hasil analisis data dengan metode informal adalah penyajia hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa, di mana rumus-rumus atau kaidah-kaidah disampaikan dengan kata-kata biasa, kata-kata yang apabila dibaca, dapat langsung dipahami (Kesuma, 2007: 71).

I.8 Sistematika Penelitian

Laporan hasil penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan. Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Latar belakang menguraikan alasan penulis melakukan penelitian ini. Rumusan masalah memuat masalah-masalah


(32)

20

yang ditemukan penulis dalam penelitian ini. Tujuan penelitian mendeskripsikan tujuan penulis melakukan penelitian ini. Manfaat penelitian memaparkan manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini. Tinjauan pustaka mengemukakan pustaka yang pernah membahas tentang semiotika. Landasan teori menyampaikan teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. Metode dan teknik penelitian merincikan metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik penyajian hasil analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab kedua berisi uraian tentang jenis umpatan berdasarkan referennya, yakni umpatan yang mempunyai referen berupa manusia, umpatan yang mempunyai referen berupa hewan, umpatan yang mempunyai referen berupa tumbuhan, dan umpatan yang mempunyai referen berupa benda mati.

Bab ketiga berisi uraian tentang maksud umpatan jika ditinjau dari konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat. Maksud-maksud tersebut dibagi menjadi empat, yaitu umpatan yang bermaksud bercanda, umpatan yang bermaksud menyindir, umpatan yang bermaksud marah, dan umpatan yang bermaksud menghina. Bab keempat berisi kesimpulan mengenai penelitian dan saran.


(33)

21 BAB II

JENIS UMPATAN BAHASA SUMBA BARAT DALAM TUTURAN BERBAHASA INDONESIA DI MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT

BERDASARKAN REFERENNYA

2.0 Dasar Kehidupan Sosial Masyarakat Sumba Barat

Kehidupan sosial masyarakat Sumba Barat bertumpu pada ajaran Marapu. Marapu adalah ajaran spiritual yang mempertahankan hubungan yang harmonis antara manusia, Sang Pencipta (Amawolo Amarawi), dan alam semesta. Marapu berasal dari kata ma yang berarti ‘yang’ dan rapu yang berarti ‘dihormati,

didewakan; mengacuh kepada nenek moyang’. Jadi Marapu dapat diartikan

sebagai ‘sesuatu yang dihormati dan didewakan’ (Bamualim, 2009: 31).

Ajaran tersebut masih dipegang teguh dan dijalankan hingga kini. Hal itu dapat dilihat dari kehidupan sosial sehari-hari masyarakat Sumba Barat.

Masyarakat Sumba Barat tergolong sangat terbuka (ceplas-ceplos) dalam

mengungkapkan perasaan dan pikiran mereka. Hal ini dimaksudkan agar memperkecil kemungkinan terjadinya salah paham dan prasangka buruk di antara mereka. Ajaran Marapu mempercayai bahwa Amawolo Amarawi itu mempunyai mata yang besar, telinga yang besar, dan hidung yang besar sehingg Ia bisa melihat, mendengar, dan membaui semua yang dilakukan manusia di dunia. Oleh karena itu, manusia harus berhati-hati dalam bertindak, termasuk mengekspresikan perasaan secara jujur. Watak masyarakat Sumba Barat yang


(34)

22

cenderung keras dan tegas juga sangat mempengaruhi perilaku mereka. Hal ini berimbas pada bahasa yang mereka gunakan dalam berkomunikasi di kehidupan sehari-hari. Dalam keseharian masyarakat Sumba Barat, tidak jarang ditemukan penggunaan bahasa yang sedikit kasar, bahkan sangat kasar, digunakan oleh masyarakat Sumba Barat untuk mengekspresikan perasaan mereka kepada orang lain. Ini disebabkan masyarakat Sumba Barat kurang mengukai kemunafikan atau berpura-pura.

2.1 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia

Referen (referent) adalah objek atau hal yang ditunjuk: peristiwa, fakta di dalam dunia pengalaman manusia (Djajasudarma, 1993: 24). Peneliti menggolongkan umpatan berdasarkan referennya ke dalam empat jenis, yakni umpatan yang memiliki referen berupa manusia, umpatan yang memiliki referen berupa hewan, umpatan yang memiliki referen berupa tumbuhan, dan umpatan yang memiliki referen berupa benda mati.

Umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat yang menunjuk referen berupa manusia, dibagi menjadi empat, yaitu nama manusia, sapaan, bagian tubuh manusia, dan jabatan.


(35)

23

2.1.1 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa Nama manusia

Pada dasarnya, nama digunakan oleh manusia sebagai tanda pengenal dirinya. Dalam masyarakat Sumba Barat, ada beberapa nama yang selain sebagai tanda pengenal diri, juga digunakan sebagai umpatan. Nama manusia sering digunakan masyarakat Sumba Barat untuk mengumpat, sebagai berikut.

(1) Lawwe, jangan berdiri di situ! (2) HehBili gila, barenti makan! (3)Dasar kau Yudas.

Umpatan yang terdapat dalam tuturan (1) sebenarnya adalah nama orang gila perempuan yang terkenal di Sumba Barat, yaitu Lawwe. Begitu pun dengan umpatan yang terdapat dalam tuturan (2), adalah nama orang gila laki-laki yang terkenal di Sumba Barat. Arti dari tuturan tersebut ‘Hei Bili gila berhenti(lah) makan’. Umpatan yang terdapat dalam tuturan (3) berarti “Yudas, nama seorang rasul Yesus’.

2.1.2 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa Sapaan

Sama seperti masyarakat lain, masyarakat Sumba Barat juga mengenal sapaan-sapaan yang digunakan dalam komunikasi mereka sehari-hari. Selain berfungsi untuk menyapa, terdapat beberapa sapaan yang digunakan untuk mengumpat orang lain. Sapaan-sapaan tersebut sebagai berikut.

(4) O, nyora suda bangun.

(5) Kom nene yang bilang?

(6) Mam raja suda pulang dari pasar koh? (7) Jangan bacari hal deng ata ndaina.


(36)

24

Tuturan (4) berarti ‘O, (ternyata) nyora sudah bangun’. Umpatan dalam tuturan tersebut berarti ‘nyonya, istri dari orang yang dihormati dan disegani’. Kom nene yang terdapat dalam tuturan (5) berarti ‘nenekmu’. Tuturan tersebut memiliki arti ‘(Apakah) nenekmu yang berkata (demikian)?’. Tuturan (6) memiliki arti ‘Apakah Mam raja sudah kembali dari pasar?’. Mam raja dalam tuturan tersebut berarti ibu/mama dari sang raja. Jadi secara sederhana dapat diartikan sebagai ibu/mama dari seorang pemimpin/penguasa. Tuturan (7) berarti ‘Jangan suka mencari masalah dengan ata ndaina’. Ata ‘orang’, ndaina ‘suwanggi’. Suwanggi adalah ‘setan yang suka berkeliaran pada malam hari dengan mengeluarkan isi dalam perutnya dan terbang mencari mangsa’.

2.1.3 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa Bagian Tubuh Manusia

Anggota tubuh yang sering digunakan untuk mengumpat biasanya merupakan anggota tubuh yang berkaitan erat dengan aktivitas seksual. Alasannya, aktivitas seksual bersifat sangat pribadi dan kurang sopan jika dibicarakan oleh orang lain. Selain itu, organ-organ tubuh yang tergolong penting juga dipakai untuk menngumpat.

(8) Ini anak kapala kahiwu betul.

(9) Memang manusia puki mai.

(10) Kecil-kecil kaki kareta juga. (11) Lo’jang satu, ko makan apa saja?

(12) Kareko pakke, kena tiup angin satu kali malayang. (13) Dem kajowa ju ikut manari.


(37)

25

(14) Kalo su ada itu katala ngadha kita macam perang su di sini. (15) Saya punya ana ku’du su mau nika padahal.

(16) Jang sampe itu lahu liat kau lagi. (17) Oo, ana millanggu. Mar sini! (18) Nguddumu! Kabiar sa tir pi lagi. (19) Kom kere! Apa su sa sendiri.

(20) Mette katto, hanya dem gigi se yang keliatan. (21) Macam hebat-hebat saja ini lau.

(22) Perempuan telle, maen gila bodo.

Tuturan (8) berarti ‘Anak ini selalu cengeng’. Kapala: kepala, kahiwu: cengeng, jadi kapala kahiwu berarti orang yang selalu cengeng, merengek. Umpatan yang terdapat dalam tuturan (9) puki: kelamin wanita, mai: ibu/mama. Umpatan kaki kareta dalam tuturan (10) berarti orang yang selalu keluyuran, jarang berada di rumah, seperti kereta yang sedang berjalan; kaki: kaki, kareta: kereta. Umpatan yang terdapat di dalam tuturan (11) berarti ‘orang yang tinggi, kurus, berbadan tipis’. Arti tuturan tersebut berarti ‘menanyakan apa saja yang telah dimakan oleh orang dengan kondisi fisik tersebut [sehingga memiliki tinggi seperti itu]’. Umpatan di dalam tuturan (12) kareko berarti ‘kurus, kerempeng’ pakke ‘kodok tanah, berwarna hitam, dan sangat kecil’. Arti tuturan (12) adalah ‘Kareko pakke, sekali ditiup angin kau melayang seketika.’. Tuturan (13) mengandung umpatan kajowa yang berarti ‘perut babi yang tergantung karena terlampau gemuk; buncit’. Arti tuturan tersebut ‘Kajowanya juga seakan ikut menari.’. Umpatan katala ngadha dalam tuturan (14) berarti ‘mulut yang terus


(38)

26

berbunyi seperti gong’, katala ‘gong’ ngadha ‘mulut’. Arti tuturan tersebut ‘Jika sudah ada katala ngadha, (suasana) kita di sini sudah seperti orang yang berperang.’. Tuturan (15) berarti ‘Ana ku’duku akan menikah’. Ana ‘anak’ ku’du ‘kecil, sedikit’, ana ku’du sering diartikan ‘kecil, kerdil, berukuran minim’. Umpatan lahu yang terdapat dalam tuturan (16) sebenarnya berarti ‘bagian inti pada buah nangka’, namun benda itu sering dipakai untuk menyebut kelamin laki-laki dikarenakan adanya persamaan bentuk. Arti tuturan tersebut ‘Jangan sampai lahu itu melihatmu lagi.’. Tuturan (17) mengandung umpatan ana milla yang berarti ana ‘anak’ milla ‘miskin, tak punya apa-apa’. Arti tuturan tersebut ‘Oo, ana millaku, kemarilah!’. Nguddumu, umpatan yang terdapat di dalam tuturan (18) memiliki arti ‘gigimu’. Umpatan ini mirip seperti umpatan matamu dalam bahasa Jawa. Arti tuturan tersebut ‘Nguddumu! Saya tidak akan pergi [ke sana] lagi.’. Umpatan kkom kere yang terdapat di dalam tuturan (19) berarti ‘pantatmu’. Umpatan ini mirip dengan umpatan mbahmu dalam bahasa Jawa. Tuturan tersebut berarti ‘Kom kere! Masa aku sendiri.’. Tuturan (20) memilki umpatan mette katto yang berarti orang yang berkulit sangat hitam; mette ‘hitam’ katto ‘keras’, dalam hal ini ‘pekat’. Arti tuturan tersebut adalah ‘Mette katto, hanya giginya yang kelihatan.’. Tuturan (21) berarti ‘Seperti orang hebat saja [kau berkelakuan] lau.’ Umpatan lau pada tuturan tersebut berarti ‘kemaluan laki-laki’. Umpatan yang terdapat dalam tuturan (22), telle berarti ‘kelamin wanita. Arti tuturan tersebut ‘Perempuan telle, jangan bercanda di luar batas [berlebihan, seperti orang bodoh].’.


(39)

27

2.1.4 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa Jabatan

Jabatan merupakan pangkat dari pekerjaan yang dilakoni oleh seseorang. Pada hakikatnya, jabatan itu menyangkut kehormatan seseorang yang diterimanya berdasarkan kepercayaan yang diberikan orang lain kepadanya. Hal ini juga berlaku di dalam masyarakat Sumba Barat; namun terdapat beberapa jabatan yang sering digunakan oleh masyarakat Sumba Barat untuk mengumpat.

(23) Bapa desa masi ada rapat. (24) Panggil itu ibu negara dulu.

Tuturan (23) berarti ‘Bapa desa sedang ada (menghadiri) rapat’. Bapa: bapak, desa: desa/kampung. Tuturan (24) berarti ‘ tolong panggilkan ibu negara’. Ibu negara dalam tuturan tersebut berarti ‘ibu yang menguasai negara/ ibu dari penguasa negara’.

2.2 Umpatan yang Menunjuk Referen Hewan

Umpatan yang memiliki referen berupa hewan ini umumnya hampir sama di beberapa daerah. Banyak daerah di Indonesia yang memakai referen hewan sebagai bahan umpatan. Bagi masyarakat Sumba Barat, alasan menggunakan referen hewan tertentu sebagai umpatan adalah karena hewan tersebut dianggap memiliki sifat buruk, jahat, dan merugikan kehidupan manusia. Nama-nama hewan yang biasa digunakan masyarakat Sumba Barat untuk mengumpat adalah sebagai berikut.

(25) Lahu diam sedikit!


(40)

28 (27) Itu dia laki-laki katumma. (28) Macam karabbo mai saja kau ni. (29) Itu lawora darat belum kena tangkap. (30) Marapu nippe suda buat apa lagi?

(31) Sa liat bei dara kemarin tapaleuk di pasar malam.

Umpatan lahu yang terdapat dalam tuturan (25) berarti ‘anjing’. Biasanya umpatan itu digunakan untuk mengumpat kaum laki-laki. Arti tuturan (26) ‘Si tua yang satu itu seperti manu beddi’. Manu berarti ayam, burung, beddi berarti gatal. Katumma dalam tuturan (27) berarti ‘kutu’. Tuturan (28) berarti ‘Kamu ini sudah seperti karabbo mai’. Karabbo: kerbau, mai: betina/induk. Tuturan (29) berarti ‘Lawora itu belum tertangkap’. Lawora: buaya. Marapu nippe dalam tuturan (30) berarti tuan/dewa/penguasa ular (Marapu: tuan/dewa/penguasa, nippe: ular). Tuturan (31) berarti ‘Saya melihat bei dara kemarin berkeliaran di pasar malam.’. Bei ‘betina’ dara ‘kuda’, bei dara berarti ‘gadis yang berkelakuan seperti kuda betina yang liar, centil’.

2.3 Umpatan yang Menunjuk Referen Tumbuhan

Selain manusia dan hewan, tumbuhan juga sering digunakan oleh masyarakat Sumba Barat untuk mengumpat. Hal ini biasanya dikarenakan masyarakat Sumba Barat menganggap adanya kemiripan bentuk atau sifat antara tumbuhan yang digunakan untuk mengumpat dengan keadaan objek yang diumpat.


(41)

29 (32) Tutup mulut naga rara!

(33) Kau pung bodok model karokko rara. (34) Ode, barenti bakorek!

(35) Rauta ka`bala ada duduk di sana.

(36) Ko pu model su macam kaya kapoke naga saja.

Umpatan dalam tuturan (32) berarti naga: nangka, rara: merah. Naga rara dianggap menyerupai kelamin perempuan. Oleh karena itu, umpatan ini biasa digunakan untuk mengumpat kaum perempuan. Tuturan (33) berarti ‘Bodohmu sudah seperti karokko rara’. Karokko: nangka, rara: merah. Tuturan (34) memiliki arti ‘Ode, berhenti mengusik!’. Ode adalah sejenis tanaman kacang yang gatal bila terkena kulit. Gatal yang ditimbulkan ode susah dihilangkan, bahkan dapat menimbulkan luka di bagian yang terkena ode tersebut. Tuturan (35) berarti ‘Rauta ka’bala sedang duduk di sana’. Rauta: rumput, ka’bala: belalang. Rauta ka’bala atau yang sering disebut rumput belalang oleh masyarakat Sumba Barat adalah tanaman rambat berbunga putih yang sering membentuk semak, biasanya mencul pada musim kemarau. Tuturan (36) berarti ‘Modelmu sudah seperti kapoke naga’. Kapoke: rusak, tidak jadi, peot, naga: nangka. Kapoke naga berarti ‘buah nangka yang kerdil, tidak dapat bertumbuh lebih besar. Nangka tersebut kemudian perlahan-lahan menyusut (kempes) dan gugur dengan sendirinya’.

2.4 Umpatan yang Menunjuk Referen Benda Mati

Sama seperti hewan, pemakaian satuan bahasa yang menunjuk referen benda mati dalam masyarakat Sumba Barat juga digunakan untuk mengumpat


(42)

30

karena dianggap adanya kemiripan antara orang yang diumpat dengan benda mati tertentu. Benda-benda mati yang sering digunakan sebagai berikut.

(37) Watu loko suda itu barang-barang.

(38) Heh, kabang`nga watu loko jang banyak omong. (39) Itu perempuan tebe kalitta skali.

(40) Ada lagoro yang cari mangsa tadi. (41) Laki-laki taripleks baru saja lewat. (42) Tir ada tai jangan bagaya.

(43) Ini kaboko, tida perna dengan orang lain betul.

Tuturan (37) berarti ‘Percuma(lah) barang-barang itu’. Watu: batu, loko: kali. Masyarakat Sumba Barat menggunakan watu loko untuk mengatakan hal yang sia-sia bila dilakukan, sifatnya sama seperti batu kali. Umpatan kabang`nga watu loko dalam tuturan (38) digunakan untuk mengumpat orang yang dianggap sangat bodoh: kabang`nga: bodoh, watu: batu, loko: kali. Tebe kalitta dalam tuturan (39) berarti tidak pernah kapok, tidak pernah jera melakukan kesalahan: tebe: tebal, kalitta: kulit. Umpatan dalam tuturan (40) berarti ‘Tadi ada lagoro yang mencari mangsa. Lagoro berarti ‘giring-giring, berbentuk bulat dan terdiri dari dua biji. Sering dipakai untuk menyebut kelamin laki-laki karena dianggap adanya kemiripan. Tuturan (41) berarti ‘Laki-laki tripleks itu baru saja lewat’. Tuturan (42) berarti ‘Tidak ada tai (lebih baik) jangan bergaya’. Tai dalam tuturan itu berarti kotoran/tinja. Tuturan (43) berarti ‘Kaboko ini, tidak pernah sekalipun mendengarkan orang lain’.


(43)

31

Jenis-jenis umpatan bedasarkan referen tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Referen No Tuturan

A. Manusia

a) Nama Manusia 1 Lawwe, jangan berdiri di situ!

2 Heh Bili gila, barenti makan! 3 Dasar kau Yudas.

b) Sapaan 4 O, nyora suda bangun.

5 Kom nene yang bilang?

6 Mam raja suda pulang dari pasar koh? 7 Jangan bacari hal deng ata ndaina.

c) Bagian Tubuh

Manusia

8 Ini anak kapala kahiwu betul. 9 Memang manusia puki mai. 10 Kecil-kecil kaki kareta juga. 11 Lo’jang satu, ko makan apa saja?

12 Kareko pakke, kena tiup angin satu kali

malayang.

13 Dem kajowa ju ikut manari.

14 Kalo su ada itu katala ngadha kita macam perang su di sini.


(44)

32

16 Jang sampe itu lahu liat kau lagi. 17 Oo, ana millanggu. Mar sini! 18 Nguddumu! Kabiar sa tir pi lagi. 19 Kom kere! Apa su sa sendiri.

20 Mette katto, hanya dem gigi se yang keliatan. 21 Macam hebat-hebat saja ini lau.

22 Perempuan telle, maen gila bodo.

d) Jabatan 23 Bapa desa masi ada rapat.

24 Panggil itu ibu negara dulu.

B. Hewan 25 Lahu diam sedikit!

26 Itu tua satu su macam manu beddi 27 Itu dia laki-laki katumma.

28 Macam karabbo mai saja kau ni. 29 Itu lawora darat belum kena tangkap. 30 Marapu nippe suda buat apa lagi?

31 Sa liat bei dara kemarin tapaleuk di pasar malam.

C. Tumbuhan 32 Tutup mulut naga rara!

33 Kau pung bodok model karokko rara. 34 Ode, barenti bakorek!

35 Rauta ka`bala ada duduk di sana.


(45)

33

D. Benda Mati 37 Watu loko suda itu barang-barang.

38 Heh, kabang`nga watu loko jang banyak omong.

39 Itu perempuan tebe kalitta skali. 40 Ada lagoro yang cari mangsa tadi. 41 Laki-laki taripleks baru saja lewat. 42 Tir ada tai jangan bagaya.

43 Ini kaboko, tida perna dengan orang lain betul.


(46)

34 BAB III

MAKSUD UMPATAN DITINJAU DARI KONTEKS KEHIDUPAN MASYARAKAT LOLI

KABUPATEN SUMBA BARAT 3.0 Pengantar

Konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat yang dimaksud oleh penulis dalam penelitian ini adalah konteks kehidupan sosial. Setelah penulis mendeskripsikan arti-arti umpatan yang sering digunakan oleh masyarakat Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia, selanjutnya penulis mendeskripsikan maksud dari umpatan-umpatan tersebut berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat.

Jenis-jenis umpatan berdasarkan referennya pada bagian 2.1 jika dikaitkan dengan konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat memiliki berbagai maksud. Berdasarkan penelitian, maksud-maksud umpatan-umpatan tersebut terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu (1) umpatan yang memiliki maksud bercanda, (2) umpatan yang bermaksud menyindir, (3) umpatan dengan maksud marah, dan (4) umpatan yang bermaksud menghina.

3.1 Umpatan yang Bermaksud Bercanda

Bercanda adalah bertingkah, bersenda gurau, berkelakar. Biasanya dalam waktu senggang, dalam suasana tidak serius. Masyarakat Sumba Barat sering menggunakan umpatan-umpatan tertentu untuk bercanda dengan orang lain, biasanya ini terjadi antarteman atau antara orang tua dengan anaknya.


(47)

35 (1) Lawwe, jangan berdiri di situ!

Umpatan dalam tuturan (1) biasa digunakan untuk mengejek perempuan

yang dianggap gila seperti Lawwe. Umpatan tersebut biasanya digunakan

antarteman, antarsaudara, atau orangtua kepada anak perempuannya. (2) Heh Bili gila, barenti makan!

Sama halnya dengan tuturan (1), tuturan (2) juga digunakan untuk mengejek laki-laki yang dianggap atau berkelakuan seperti orang gila.

(3) Dasar kau Yudas.

Umpatan dalam tuturan (3) biasa digunakan untuk mengejek orang yang munafik, seperti Yudas.

(4) O, nyora suda bangun.

Pada tuturan (4) terdapat umpatan yang sering digunakan untuk mengejek ibu-ibu yang suka memerintah, sok berkuasa, jarang bekerja di dapur, suka berpangku tangan layaknya seorang nyonya.

(5) Kom nene yang bilang?

Umpatan dalam tuturan (5) sering dipakai untuk bercanda dengan maksud penolakan.

(6) Mam raja suda pulang dari pasar koh?

Umpatan mam raja (6) memiliki maksud yang mirip dengan nyora pada tuturan (4). Namun, umpatan dalam tuturan (6) ini lebih dipakai untuk mengejek wanita yang tidak bisa bekerja apa-apa karena lemah atau memang tidak biasa bekerja, seperti ibu/mama seorang raja.


(48)

36 (7) Ini anak kapala kahiwu betul.

Umpatan pada tuturan (7) sering dipakai untuk mengejek/bercanda dengan orang yang suka merajuk/merengek/cengeng. Ini biasa digunakan antarteman.

(8) Kecil-kecil kaki kareta juga.

Kaki kareta (8) sering dipakai untuk mengejek orang yang senang

keluyuran, jarang berada di rumah. Biasa digunakan antarteman atau orang tua kepada anaknya.

(9) Bapa desa masi ada rapat.

Pada tuturan (9) terdapat umpatan yang bermaksud mengejek bapak-bapak yang suka mengumbar apa yang ia miliki, suka berkuasa terhadap orang lain/ milik orang lain, selera tinggi.

(10) Panggil itu ibu negara dulu.

Ibu negara pada tuturan (10) juga memiliki maksud yang mirip dengan bapa desa pada tuturan (10). Ibu negara sering dipakai untuk mengejek ibu-ibu yang sok berkuasa, jarang bekerja,seperti ibu (pemilik) negara.

(11) Itu lawora darat belum kena tangkap.

Pada tuturan (11) terkandung umpatan yang bermaksud mengejek laki-laki playboy, sama seperti dalam bahasa Indonesia, buaya (lawora: Sumba Barat)

sering dipakai untuk menggambarkan playboy. Lawora dimaksudkan untuk

mengumpat laki-laki playboy karena dianggap memiliki kesamaan sifat antara orang yang diumpat dengan buaya darat, dapat melata di dua tempat, darat dan air.


(49)

37

Umpatan ini biasanya digunakan oleh sesama teman lelaki. Rauta ka’bala (12) sering digunakan untuk mengejek orang yang berbulu badan banyak. Bulu badan yang banyak pada tubuh orang tersebut tersebut diidentikkan dengan semak-semak rumput belalang yang biasanya rimbun.

(13) Ada lagoro yang cari mangsa tadi.

Umpatan yang terdapat dalam tuturan (13) bermaksud mengejek kaum laki-laki. Lagoro (giring-giring) diidentikkan dengan kelamin laki-laki karena adanya kesamaan bentuk. Umpatan ini sering digunakan oleh laki-laki dan perempuan.

(14) Laki-laki taripleks baru saja lewat.

Umpatan dalam tuturan (14) bermaksud mengejek orang yang kurus, tinggi, dan tipis seperti tripleks. Ini biasa digunakan antarteman yang sudah akrab.

(15) Lo’jang satu, ko makan apa saja?

Umpatan dalam tuturan (15) sering digunakan oleh mereka yang sudah akrab, biasanya antarteman, orang tua kepada anak, atau kepada sesame saudara. Umpatan ini bermaksud untuk mengejek orang dengan keadaan fisik lo’jang: tinggi, kurus, bahasa kerennya kutilang (kurus, tinggi, langsing). Umpatan ini bisa digunakan untuk laki-laki dan perempuan.

(16) Kareko pakke, kena tiup angin satu kali malayang.

Sama halnya dengan tuturan sebelumnya, tuturan (16) ini digunakan oleh mereka yang sudah akrab. Umpatan yang terdapat dalam tuturan ini digunakan untuk mengejek orang yang memiliki kondisi fisik kurus. Karena kurus, orang itu dianggap akan terbang (melayang) jika tertiup angin.


(50)

38 (17) Dem kajowa ju ikut manari.

Umpatan dalam tuturan (170 ini dtimaksudkan untuk mengejek orang yang memiliki perut besar, seperti perut babi yang gemuk. Saking gemuknya perut orang yang dimaksud, ketika bergerak sedikit saja perutnya juga akan ikut menari (bergerak).

(18) Mette katto, hanya dem gigi se yang keliatan.

Pada tuturan (18) ini, terdapat umpatan yang ditujukan untuk mengejek orang yang berkulit hitam pekat. Kulit hitam yang dimiiliki orang itu membuat orang itu tidak kelihatan, hanya giginya yang berwarna putih yang terlihat oleh orang lain.

3.2 Umpatan yang Bermaksud Menyindir

Menyindir adalah suatu kegiatan mengkritik, mencela seseorang secara tidak langsung. Tidak langsung dalam konteks ini adalah tidak langsung menyebutkan hal yang dimaksudkan, namun mengucapkan hal lain untuk menyinggung hal yang dimaksudkan sebenarnya. Umpatan dalam masyarakat Sumba Barat juga sering digunakan untuk menyindir orang lain. Umpatan dengan maksud menyindir tersebut keluar karena adanya rasa tidak suka atau kurang suka terhadap seseorang.

(19) Dasar kau Yudas.

Umpatan dalam tuturan (19) bermaksud untuk menyindir orang yang dianggap munafik, tidak dapat dipercaya, pengkhianat, sama seperti sifat Yudas murid Yesus yang mengkhianatiNYA.


(51)

39 (20) O, nyora suda bangun.

Nyora dalam tuturan (20) bermaksud untuk menyindir ibu-ibu yang dalam kesehariannya suka memerintah, sok berkuasa, dan bertingkah layaknya seorang nyonya besar.

(21) Ini anak kapala kahiwu betul.

Umpatan yang terdapat di dalam tuturan (21) digunakan dengan maksud menyindir (biasanya ditujukan kepada orang yang sebaya) mereka yang selalu bergantung pada orang tua/orang lain jika melakukan sesuatu, tidak bisa berusaha sendiri, anak mami, cengeng.

(22) Bapa desa masi ada rapat.

Selain untuk mengejek, umpatan yang terdapat dalam tuturan (22) juga bermaksud untuk menyindir bapak-bapak yang suka mengumbar apa yang dimiliki, sok berkuasa, dan selalu bermimpi menjadi pemimpin, layaknya bapak kepala desa.

(23) Panggil itu ibu negara dulu.

Tuturan (23) mengandung umpatan yang bermaksud untuk menyindir ibu-ibu yang sok berkuasa, jarang bekerja, dan suka memerintah.

(24) Macam karabbo mai saja kau ni.

Karabbo mai (24) digunakan untuk menyindir anak gadis yang dianggap bodoh, malas beraktifitas, senang makan dan tidur, dan biasanya berbadan besar. Oleh karena itu diidentikkan dengan kerbau betina.


(52)

40 (25) Marapu nippe suda buat apa lagi?

Umpatan Marapu nippe yang terdapat dalam tuturan (25) sering

digunakan untuk menyindir orang yang dianggap susah dipercaya dan sangat licik, memiliki sifat seperti ular.

(26) Ode, barenti bakorek!

Umpatan yang terdapat dalam tuturan (26) bermaksud menyindir orang yang dianggap ganjen, layaknya ode yang gatal ketika disentuh atau tersentuh. Orang yang dimaksud adalan orang yang dianggap suka merayu orang lain. Umpatan ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan, dan biasanya terdapat di kalangan remaja masyarakat Sumba Barat.

(27) Tir ada tai jangan bagaya.

Tuturan (27) mengandung sindiran yang ditujukan kepada orang yang dianggap paling miskin yang namun suka bergaya hidup mewah. Maksunya di sini adalah, tai ‘tinja’ saja tidak dimiliki oleh orang tersebut, apalagi hal lain. Jadi, jangan suka bergaya padahal tak memiliki apapun.

(28) Kareko pakke, kena tiup angin satu kali malayang.

Umpatan yang terdapat di dalam tuturan (28) bermaksud untuk menyindir orang yang memiliki kondisi fisik kurus. Karena badan yang terlampau kurus, orang itu dapat diterbangkan oleh angin. Umpatan ini selain digunakan oleh orang yang sudah dekat atau memiliki kekerabatan, sering juga digunakan oleh orang asing yang merasa kurang senang dengan orang yang diumpat tersebut.


(53)

41

(29) Saya punya ana ku’du su mau nika padahal.

Umpatan ana ku’du yang terdapat dalam tuturan (29) digunakan untuk menyindir orang yang memiliki bentuk fisik kurus, kecil, kerdil, memiliki ukuran badan yang tidak sesuai dengan umur. Maksud dari tuturan tersebut adalah si ana

ku’du sudah mau menikah. Hal tersebut tidak disangka kerana badan orang

tersebut tidak terlihat seperti orang yang mau menikah, terlihat jauh lebih kecil dari pada umurnya.

(30) Oo, ana millanggu. Mar sini!

Umpatan ana milla yang terdapat di dalam tuturan (30) bermaksud untuk menyindir orang (dalam hal ini yang lebih muda: karena disebut ana) yang dianggap miskin, tidak memiliki apa-apa. Maksud tuturan tersebut adalah memanggil orang yang dipandang sebagai ana milla tersebut untuk datang kepada si pengumpat, karena si pengumpat memiliki kelebihan. Dalam hal ini, ana milla tersebut dianggap bergantung dan membutuhkan bantuan dari pengumpat tersebut.

(31) Mette katto, hanya dem gigi se yang keliatan.

Tuturan (31) mengandung umpatan yang digunakan untuk menyindir orang yang memiliki kulit sangat gelap (hitam). Kulit hitam orang tersebut menyebabkan orang tersebut tidak terlihat, hanya gigi orang tersebut yang kelihatan. Selain diucapkan oleh mereka yang sudah saling akrab, umpatan ini sering digunakan oleh orang asing untuk mengumpat orang lain yang memiliki kondisi fisik seperti itu.


(54)

42 (32) Macam hebat-hebat saja ini lau.

Tuturan (32) mengandung umpatan yang digunakan untuk menyindir orang yang dianggap sok hebat. Umpatan tersebut ditujukan kepada kaum laki-laki yang selalu bertingkah di luar batas, dalam hal ini berkelakuan layaknya orang yang sangat hebat, pamer aksi.

3.3 Umpatan yang Bermaksud Marah

Marah adalah perasaan tidak senang yang dimiliki seseorang karena merasa dihina atau diperlakukan tidak dengan sepantasnya atau mendengar ucapan yang tidak pantas. Dalam kehidupan sehari-hari, sama seperti masyarakat di daerah lain, masyarakat Sumba Barat juga menggunakan umpatan untuk mengungkapkan perasaan marah mereka. Umpatan-umpatan yang sering mereka gunakan adalah sebagai berikut.

(33) Memang manusia puki mai.

Pada tuturan (33) terdapat umpatan yang bermaksud untuk memarahi orang yang dianggap melakukan kesalahan yang sangat besar sehingga tidak dapat diterima. Orang yang mengumpat sangat marah sehingga melontarkan umpatan tersebut. Bagi masyarakat Sumba Barat, umpatan tersebut sangat kasar karena yang diumpat adalah ibu dari orang yang dimaki tersebut, bukan orang yang bersangkutan

(34) Lahu, diam sedikit!

Umpatan yang terdapat dalam tuturan (34) bermaksud untuk memarahi kaum laki-laki. Lahu berarti anjing, namun seringkali juga diidentikkan dengan


(55)

43

alat kelamin kaum laki-laki. Dalam tuturan tersebut terdapat umpatan yang bermaksud memarahi (biasanya laki-laki) yang berkelakuan di luar batas, nakal, gatal, berkelakuan liar layaknya seekor anjing. Kadang digunakan untuk mengumpat orang yang kerap melakukan pelecehan.

(35) Itu tua satu su macam manu beddi.

Pada tuturan (35) terdapat umpatan yang bermaksud untuk memarahi (biasanya laki-laki) yang berkelakuan di luar batas, nakal, gatal, ganjen. Terkadang digunakan untuk mengumpat orang yang kerap melakukan pelecehan.

(36) Itu dia laki-laki katumma.

Umpatan yang terdapat pada tuturan (36) memiliki maksud yang mirip dengan tuturan (35), namun kadar marah dalam umpatan ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan tuturan (35) Orang yang diumpat di sini hanya sekadar menggoda, tidak sampai melakukan tindakan yang bersifat melecehkan.

(37) Tutup mulut naga rara.

Umpatan yang terdapat dalam tuturan (36) bermaksud untuk memarahi anak gadis. Umpatan tersebut tergolong kasar karena menyebutkan alat kelamin

perempuan. Naga rara digunakan untuk mengumpat kaum gadis karena buah

nangka yang merah (dalam hal ini nangka yang baru merekah, dalam tahap menjadi buah dewasa), diasosiasikan sebagai kelamin anak gadis karena adanya kemiripan bentuk. Maksud tuturan di atas adalah memarahi orang yang diumpat dan memerintahkannya untuk diam, menutup mulut, tak usah berbicara.


(56)

44

Tuturan (38) bermaksud untuk memarahi orang yang dianggap sangat bodoh, memiliki otak tanpa isi, sama seperti labu merah yang kosong tengahnya (karokko rara). Karokko rara adalah jenis labu berukuran sedang dan kadang ada yang besar. Bagian tengah labu itu kosong jika diketuk-ketuk. Di Sumba Barat, labu jenis itu hanya digunakan untuk makanan babi atau anjing. Karena kebiasaan itulah, karokko rara digunakan untuk mengumpat orang yang sangat bodoh,

berotak kosong sama seperti karokko rara yang kosong tengahnya dan tak

berguna, hanya untuk makanan ternak, tak berguna bagi manusia. (39) Watu loko suda itu barang-barang.

Pada tuturan (39) terdapat umpatan yang bermaksud memarahi orang yang

melakukan pekerjaan sia-sia. Watu loko atau batu kali digunakan untuk

mengumpat orang yang melakukan pekerjaan sia-sia karena pada dasarkan batu kali tak ada gunanya. Batu-batu dan barang lainnya yang berkaitan dengan kali adalah yang sudah tidak berguna lagi, karena itulah dibuang ke kali.

(40) Heh, kabang’nga watu loko jang banyak omong.

Lain halnya dengan umpatan dalam tuturan (39), watu loko yang terdapat

dalam umpatan kabang’nga watu loko ini memiliki maksud untuk memarahi

orang yang dianggap sangat bodoh, memiliki daya tangkap di bawah rata-rata, berotak keras seperti batu kali. Layaknya bebatuan di kali yang sangat keras dan susah dipecahkan atau diserapi air, begitulah otak orang yang diumpat ini. Sangat keras, bebal, susah untuk menyerap apa yang diajarkan.


(57)

45

Tuturan (41) bermaksud untuk memarahi orang yang kerap melakukan kesalahan yang sama dan tidak pernah jera. Oleh karena itu disebut tebal kulit (tebe kalitta). Kesalahan yang sama terus diulang meskipun sudah diperingatkan, bahkan tak jarang dihukum. Karena pelaku (orang yang dimarahi) sudah berkulit tebal, maka kesalahan tersebut diulang terus, tidak kunjung jera.

(42) Jangan bacari hal deng ata ndaina.

Umpatan yang terdapat di dalam tuturan (42) bermaksud untuk memarahi orang yang bermain-main (dalam hal ini mengganggu) ata ndaina. Ata ndaina adalah orang suwanggi, yang kerap memangsa orang lain yang mengganggu mereka atau orang yang tidak mereka sukai. Maksud dari tuturan tersebut adalah untuk melarang sekaligus memperingatkan orang yang diumpat agar tidak mengusik orang suwanggi tersebut.

(43) Jang sampe itu lahu liat kau lagi.

Tuturan (43) mengandung umpatan yang bermaksud untuk memarahi orang yang sering menampakkan diri kepada orang yang dianggap musuhnya. Lahu yang dimaksud di sini adalah orang yang tidak disukai, entah itu karena dendam, karena berbahaya, atau karena tidak disukai. Selain untuk memarahi, tuturan tersebut sekaligus bermaksud untuk melarang dan memperingtkan.

(44) Nguddumu! Kabiar sa tir pi lagi.

Umpatan yang terdapat di dalam tuturan (44) bermaksud memarahi orang yang menyuruh atau memintanya pergi. Dalam kemarahan yang terdapat dalam umpatan tersebut, terkandung unsure penolakan. Si pengumpat tidak sudi untuk pergi ke tempat yang disuruh oleh orang yang diumpat.


(58)

46 (45) Kom kere! Apa su sa sendiri.

Tuturan (45) mengandung umpatan yang bermaksud memarahi orang yang meminta tolong atau menyuruhnya untuk melakukan sesuatu seorang diri. Sama seperti tuturan (44), dalam umpatan ini terdapat sikap penolakan dari orang yang mengumpat. Si pengumpat tidak ingin melakukan hal yang dimintai tolong atau yang diperintahkan jika ia seorang diri.

(46) Perempuan telle, maen gila bodo.

Umpatan yang terdapat di dalam tuturan (46) ini bermaksud memarahi anak gadis yang dianggap bercanda berlebihan. Candaan tersebut dianggap sangat bodoh, konyol, dan melewati batas kewajaran, sehingga umpatan ini dikeluarkan. Umpatan ini tergolong kasar dalam masyarakat Sumba Barat.

3.4 Umpatan yang Bermaksud Menghina

Menghina adalah perbuatan merendahkan, memandang rendah orang lain, memburukkan nama baik orang, atau memaki dan menistakan orang lain. Masyarakat Sumba Barat sering menggunakan umpatan untuk bercanda/ mengejek, menyindir, dan marah. Selain ketiga maksud itu, terdapat maksud untuk menghina juga dalam umpatan-umpatan yang diucapkan. Umpatan-umpatan tersebut sebagai berikut.

(47) Macam karabbo mai saja kau ni.

Umpatan dalam tuturan (47) bermaksud untuk menghina anak gadis atau wanita dewasa yang jarang beraktivitas, banyak makan dan tidur, dan dianggap bodoh. Pemakaian karabbo mai untuk menghina anak gadis atau wanita dewasa


(59)

47

seperti di atas dikarenakan adanya persamaan sifat mereka dengan kerbau betina yang cenderung malas, kerjanya hanya makan, tidur, dan berkubang di lumpur. Selain itu, kelambanan kerbau juga dipandang mirip dengan gadis atau wanita dewasa yang dihina tersebut.

(48) Kau pung bodok model korokko rara.

Tuturan (48) juga digunakan untuk menghina orang yang dianggap bodoh dan berotak kosong, sama seperti karokko rara, tak berisi di tengah dan hanya dijadikan makan ternak oleh manusia.

(49) Rauta ka’bala ada duduk di sana.

Umpatan dalam tuturan (49) ini bermaksud untuk menghina orang yang berbulu badan lebat karena dianggap sama seperti semak-semak rumpur belalang (rauta ka’bala). Rauta ka’bala adalah rumput yang sering tumbuh pada musim kemarau di padang atau sawah yang tidak ditanami sawah. Sifat dari tumbuhan ini adalah tumbuh dalam jumlah yang rimbun dan lebat, karena itulah kemudian tumbuhan ini diasosiasikan dengan orang yang berbulu badan lebat.

(50) Heh, kabangg’nag watu loko jang banyak omong.

Umpatan dalam tuturan (50) bermaksud untuk menghina orang yang dipandang sangat bodoh, lamban, susah menerima hal-hal yang diajarkan karena memiliki otak keras seperti batu kali. Orang yang diumpat diperintahkan untuk tidak berbicara, karena jika ia berbicara, hanya hal tidak bertumu yang dikeluarkannya.


(60)

48

Umpatan dalam tuturan (51) bermaksud untuk menghina orang yang memiliki bentuk fisik kurus,tinggi, dan tipis, seperti tripleks.

(52) Tir ada tai jangan bagaya.

Umpatan dalam tuturan (52) bermaksud menghina orang yang dianggap miskin dan tak memiliki apa pun. Orang yang diumpat tersebut dihina dan kemudian diimbau untuk tidak bertingkah aneh-aneh.

(53) Lo’jang satu, ko makan apa saja?

Tuturan (53) mengandung umpatan yang bermaksud untuk menghina orang yang bertubuh kurus, tinggi, dan cenderung tak berisi. Maksud tuturan tersebut adalah menghina (dalam bentuk pertanyaan) apa saja yang telah dimakan oleh orang yang bersangkutan sehingga ia tumbuh seperti itu, dalam hal ini ada anggapan bahwa yang dimakan oleh orang tersebut adalah bukan makan manusia sehingga orang yang dihina tersebut tumbuh sedemikian rupa.

(54) Kareko pakke, kena tiup angin satu kali malayang.

Umpatan yang terdapat di dalam tuturan (54) ini bermaksud untuk menghina orang yang memiliki badan sangat kurus. Karena kurusnya, orang tersebut langsung dapat terbang dan melayang jika ada angin yang bertiup.

(55) Mette katto, hanya dem gigi se yang keliatan.

Tuturan (55) di atas mengandung umpatan yang memiliki maksud untuk menghina orang yang berkulit gelap atau hitam. Karena saking gelapnya kulit orang itu, yang terlihat hanya giginya, karena hanya giginya yang berwarna putih.


(1)

52 BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa jenis umpatan bahasa Sumba Barat yang terdapat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat berdasarkan referennya, dapat dibagi menjadi empat jenis, yakni

(1) umpatan yang memiliki referen ‘manusia’ dapat dibagi menjadi empat, yakni nama manusia, sapaan, bagian tubuh manusia, dan jabatan.

(2) umpatan yang memiliki referen ‘hewan’ (3) umpatan yang memiliki referen ‘tumbuhan’ (4) umpatan yang memiliki referen ‘benda mati’.

Jika dikaitkan dengan konteks kehidupan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat, umpatan-umpatan tersebut memiliki empat maksud, yaitu

(1) umpatan yang memiliki maksud bercanda (2) umpatan yang bermaksud menyindir (3) umpatan dengan maksud marah (4) umpatan yang bermaksud menghina

4.2 Saran

Penelitian ini menghasilkan deskripsi berupa jenis-jenis umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat


(2)

53

berdasarkan referennya dan deskripsi maksud dari umpatan-umpatan tersebut jika ditinjau dari konteks kehidupan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, masih ada hal yang dapat diteliti lebih lanjut, yakni bagaimana proses terbentuknya umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat.


(3)

54

DAFTAR PUSTAKA

Alwi Hasan, dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka.

Bamualim, Umar Anisah. 2009. Profil Budaya Sumba Barat. Waikabubak: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sumba Barat

Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Barat Sub Dinas

Kebudayaan. 2006. Kamus Bahasa Daerah Sumba Barat. Sumba Barat: Julang Sumba

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Eresco

“Fenomena Kata Makian dalam Film”.

URL: http://yoszuaccalytt.blogdetik.com/2012/05/12/fenomena-kata-makian-dalam-film/

Diunduh: 12 Mei 2012

Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan, Strategi, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

“Makian dalam Bahasa Indonesia: Suatu Kajian Bentuk dan Referensi pada Komik”. URL: http://thaibcompany1.blogspot.com/2013/03/makian-dalam-bahasa-indonesia-suatu.html

Diunduh: 20 Maret 2013

Mertiret, Jeanne. 2010. Semiologi. Yogyakarta: Jalasutra

Purnama, Hanu Lingga. 2008. “Makian dalam Bahasa Melayu Palembang: Studi Tentang Bentuk, Referen, dan Konteks Sosiokulturalnya”. Dalam Jurnal Ilmiah Sintesis, Oktober 2008, hlm. 168-186.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.


(4)

55

Rosidin, Odin. 2010. “Kajian Bentuk Tinjauan Literatur”. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. URL: http://digital_133039-T27827-KajianbentukTinjauan literatur

Siswoyo, Intan Pusparini. 2010. “Pemakaian Kata Makian Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro”. Skripsi pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro.

Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoes (Ed.). 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa

Udasmoro, Wening (Ed.). 2007. Petualangan Semiologi Roland Barthes. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi

_______, Muhammad Rohmadi. 2011. Semantik: Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka

Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Yuwono, Untung. 2007. Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


(5)

viii   

Wuwur, Valentina Idi Roswita, 2013, “Umpatan dalam Tuturan Berbahasa Indonesia di Masyarakat Sumba Barat.” Skripsi Strata I (SI). Program studi Sastra Indonesia. Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian tentang umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat. Terdapat dua permasalahan yang dipecahkan dalam penelitian ini, yakni (i) apa saja jenis umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya dan (ii) apa maksud umpatan tersebut jika ditinjau dari konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat?

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis-jenis umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya, dan mendeskripsikan maksud umpatan tersebut berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Tahap pertama adalah tahap pengumpulan data. Objek penelitian ini adalah umpatan. Objek penelitian berada dalam data berupa tuturan. Data diperoleh melalui dua sumber, yakni sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis

berupa Kamus Bahasa Daerah Sumba Barat, dan sumber lisan berasal dari

pengamatan penulis terhadap beberapa penutur langsung bahasa Sumba Barat. Tahap kedua adalah analisis data. Metode yang digunakan adalah metode padan, yaitu metode yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjukkan oleh bahasa atau referen bahasa. Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan dua metode, yaitu metode formal dan metode informal. Hasil penelitian disajikan dengan metode formal, yaitu menggunakan tabel. Penyajian hasil analisis data secara informal, yaitu penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa, yaitu kata-kata yang bersifat denotatif dan bukan kata yang bersifat konotatif.

Hasil penelitian ini adalah deskripsi jenis umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat dan maksud umpatan berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat. Jenis umpatan berdasarkan referen terbagi menjadi empat, yaitu jenis umpatan yang memiliki referen berupa manusia, jenis umpatan yang memiliki referen hewan, jenis umpatan yang memiliki referen berupa tumbuhan, dan jenis umpatan yang memiliki referen berupa benda mati. Jika dikaitkan dengan konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat, terdapat empat maksud yang terkandung di dalam umpatan-umpatan tersebut, yaitu umpatan yang bermaksud bercanda, umpatan yang bermaksud menyindir, umpatan yang bermaksud marah, dan umpatan yang bermaksud menghina.


(6)

ix   

ABSTRACT

Wuwur, Valentina Idi Roswita, 2013, “Curse in Indonesian Utterance in West Sumba Society.” An Undergraduate Thesis (SI). Department of Indonesian Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

This thesis is a result of a research of curses in Indonesian utterance in West Sumba society. There are two problems that will be solved in this research. They are (i) what are the kinds of curse in Indonesian utterance in West Sumba society based on the references, and (ii) what are the meaning of the curses in the context of West Sumba society’s life?

This research aims to describe the kinds of curses in Indonesian utterance in West Sumba society based on the references, and to describe the meaning of the curses based on the context of West Sumba society’s life. There are three steps that will be used in this research. The first step is collecting data. This research consists of curses as the object of the research. The objects are in an utterance data. The data are taken from two sources, written and spoken sources. The written source is Dictionary of West Sumba, and the spoken source is the writer’s observation on the direct speakers of West Sumba language. The second step is analyzing data. The method that is used is equal method, the method which the determiner is outside, free, and it is not part of the pertinent language. The determiner is the fact that is showed by the language or the language reference (Sudayanto, 1993:13-14). The third step is the presentation of the result of analysis data. The analysis data in this research is presented using two methods, formal and informal method. The result of the research presented in formal method is using some symbols, signs, abbreviations, etc. The informal presentation of the result of presentation is using common words, which are denotative and non connotative.

This research produces two results, the description of the kinds of curses in Indonesian utterance in West Sumba society and the meaning of the curses based on the context of West Sumba society’s life. The kinds of the curses based on the references divided into four kinds, the curses which have human as the reference, which are divided into four small parts, human’s name, greetings, parts of human body, and position. The next curse based on the reference is the curse with animal reference, plants reference, and unanimated things. If they are related to the context of West Sumba society’s life, there are four meanings consisted the curses. The meanings are to joke, to tease, to show anger, and to insult.