Sapaan dalam Bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur

(1)

SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

NUSA TENGGARA TIMUR

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Heronima Rosalia Ate NIIM: 134114040

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

i

SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

NUSA TENGGARA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Heronima Rosalia Ate NIIM: 134114040

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 Juli 2017 Penulis


(6)

v

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah Untuk Kepentingan Akademis

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Heronima Rosalia Ate NIM : 134114040

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Sapaan Dalam Bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royaliti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta, Pada tanggal 31 Juli 2017 Yang menyatakan,


(7)

vi

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai Kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan”

(Yer 29: 11)

Semangat yang kuat mematahkan segala keputusasaan dan rasa kecewa dalam diri, serta yakinlah bahwa segala sesuatu

indah pada waktunya

Skripsi ini saya persembahakan untuk orang-orang terkasih:

Bapak Agustinus Ngongo Bulu dan Mama Kristina Peda Bulu Kakak Fabianus Ama Kii, Kakak Yosefhina Noviana Milla Ate,

Adik Marcelina Susana Ate, dan Apolonius Dolu.


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan rahmant-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat mencapai derajat Sarjana Sastra Indonesia pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dengan caranya masing-masing telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini:

1. Bapak Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah sabar dan meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, kritik yang sangat berarti dalam penyempurnaan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang juga ikut mendorong dan menyemangati penulis.

3. Segenap dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Bapak Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Bapak Drs. A. Hery Antono, M.Hum. (alm), Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Bapak Drs. F.X. Santosa, M.S., Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Ibu Dra. Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum., Bapak Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A., dan Ibu Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S., M.A. serta


(9)

viii

dosen-dosen pengampu mata kuliah tertentu yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

4. Segenap Staf Sekretariat Fakultas Sastra dan Staf Biro Administrasi Akademik Universitas Sanata Dharma yang telah membantu kelancaran urusan kuliah.

5. Segenap Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu menyediakan buku-buku yang penulis perlukan.

6. Kedua orangtua tercinta, Bapak Agustinus Ngongo Bulu dan Mama Kristina Peda Bulu yang tidak pernah lelah berjuang, mendukung, dan mendoakan selama proses pendidikan hingga saat ini. Terima kasih juga kepada Nenek Bela Pati, Nenek Lero Kaka, Om Ngongo, Tante Ngalu, Kakak Yanus, Kakak Evi, Kakak Dion, Kakak Murri, Kakak Pippi, Adik Marce yang selalu mendukung, menyemangati serta mendokan penulis. 7. Kakak Apolonius Dolu yang selalu mendukung dan mendoakan penulis. 8. Seluruh teman-teman di Prodi Sastra Indonesia, secara khusus angkatan

2013 yang telah berjuang bersama-sama hingga saat ini.

9. Semua pihak yang turut membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung membantu penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.


(10)

ix

Meskipun banyak pihak telah terlibat dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, namun tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan penulis. Oleh karena itu segala kritik, saran, dan masukan dapat disampaikan kepada penulis.

Yogyakarta, 31 Juli 2017


(11)

x ABSTRAK

Ate, Heronima Rosalia. 2017. “Sapaan Dalam Bahasa Weejewa Di Kabupaten Sumba Barat Daya” Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini membahas sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tujuan dari penelitian ini mendeskripsikan jenis-jenis kata sapaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolinguistik. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap dan metode simak. Pada tahap analisis data digunakan metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal dan metode formal.

Penelitian ini menghasilkan dua temuan. Pertama, jenis-jenis kata sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan referennya mencakup (a) sapaan kekerabatan, (b) sapaan nonkekerabatan, (c) sapaan berdasarkan nama diri, (d) sapaan berdasarkan kata ganti, (e) sapaan berdasarkan profesi/jabatan, (f) sapaan berdasarkan status sosial. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kata sapaan dalam bahasa Weejewa adalah (a) faktor kekerabatan, (b) faktor perbedaan profesi/jabatan, (c) faktor perbedaan usia, (d) faktor perbedaan jenis kelamin, (e) faktor status sosial, (f) faktor keakraban, (g) faktor situasi, (h) faktor asal penutur.


(12)

xi ABSTRACT

Ate, Heronima Rosalia. 2017. “Sapaan Dalam Bahasa Weejewa Di KAbupaten Sumba Barat Daya”. Thesis. Yogyakarta: Department of Indonesian Literature, Faculty of Leterature, Sanata Dharma University.

This thesis discusses about address terms in Weejewa Language at Sumba Barat Daya regency of East Nusa Tenggara Province. The objective is to describe the types of address terms in Weejewa language and factors influencing its choice in Weejewa language.

This is a descriptive study with sociolinguistic approach. The colllection method used in this thesis are cakap and simak. Data analysis method used are padan refensial and padan pragmatis. Presentation of the result of data analysis methods used are informal and formal methods.

The result of this thesis are first, the types of address terms in Weejewa language are (a) types of address terms based on kinship, (b) types of address terms based on non kinship, (c) types of address terms by name, (d) types of address terms based on pronouns, (e) types of address terms based on profession, (f) types of address terms based on social status. Second, the factors that affect the use of the address are (a) kinship factor, (b) the factor of profession difference, (c) the factor of difference in age, (d) the factor of gender difference, (e) the factor of social status, (f) difference in familiarity factor, (g) the factor of situation, (h) the factor of speaker origin.


(13)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTO ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 7

1.3Tujuan Penelitian ... 7

1.4Manfaat Hasil Penelitian ... 7

1.5Tinjauan Pustaka ... 8

1.6Landasan Teori ... 10

1.7Metodologi Penelitian ... 13

1.7.1 Pengumpulan Data ... 13

1.7.2 Analisis Data ... 14

1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data ... 15


(14)

xiii

BAB II JENIS-JENIS SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

2.1 Pengantar ... 17

2.2 Kata Sapaan hubungan Kekerabatan ... 17

2.3 Kata Sapaan Nonkekerabatan ... 36

2.4 Kata Sapaan Dengan Menyebut Nama ... 40

2.5 Kata Sapaan Berdasarkan Kata Ganti ... 43

2.6 Kata Sapaan Berdasarkan Status Sosial ... 45

2.7 Kata Sapaan Berdasarkan Jabatan/Profesi ... 48

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA 3.1 Pengantar ... 51

3.2 Faktor Hubungan Kekerabatan ... 51

3.3 Faktor Perbedaan Jabatan/Profesi ... 62

3.4 Faktor Status Sosial ... 64

3.5 Faktor Perbedaan Usia ... 66

3.6 Faktor Keakraban ... 67

3.7 Faktor Jenis Kelamin ... 70

3.8 Faktor Situasi ... 72

3.9 Faktor Asal Penutur ... 74

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 76

4.2 Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

LAMPIRAN 1 ... 81


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sumba Barat Daya ... . 3

Gambar 2. Bagan Keluarga Inti ... 53

Gambar 3. Bagan Keluarga Luas I Ayah ... 56

Gambar 4. Bagan Keluarga Luas I Ibu... 58


(16)

xv DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sapaan Hubungan Kekerabatan ... 35

Tabel 2. Sapaan Nonkekerabatan ... 39

Tabel 3. Sapaan Berdasarkan Nama Diri (mitra tutur) ... 43

Tabel 4 .Sapaan Berdasarkan Kata Ganti. ... 45

Tabel 5. Sapaan Berdasarkan Status sosial ... 47

Tabel 6. Sapaan Berdasarkan Jabatan/Profesi……….. 50

Tabel 7. Penggunaan Kata Sapaan Keluarga Inti ... 54

Tabel 8. Keluarga Luas I Ayah ... 57

Tabel 9. Penggunaan Sapaan Keluarga Luas I Ibu ... 59


(17)

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Bahasa merupakan bagian penting dari pola tingkah laku dan pola budaya manusia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keanekaragaman bahasa. Indonesia yang terdiri dari ribuan kepulauan dan suku tentu memiliki berbagai bahasa yang berbeda-beda. Bahasa-bahasa tersebut cenderung menjadi ciri khas dan keunikan dari suatu suku atau daerah tertentu. Bahasa tersebut sering disebut sebagai bahasa daerah misalnya, bahasa Jawa, bahasa Minangkabau, bahasa Aceh, bahasa Agam, bahasa betawi, dsb. Bahasa Weejewa juga merupakan salah satu bahasa daerah yang terdapat di wilayah Timur Indonesia tepatnya di Pulau Sumba Kabupaten Sumba Barat Daya.

Pulau Sumba adalah sebuah pulau kecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Luas wilayahnya 10.710 km², dan titik tertingginya adalah Gunung Wanggameti (1.225 m). Pulau Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan Australia di selatan dan tenggara. Di bagian timur terletak Laut Sawu serta Samudra Hindia terletak di sebelah selatan dan barat. Pulau ini sendiri terdiri dari empat kabupaten yaitu, Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur.

Wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat (Induk). Luas wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya adalah 1.445,77 Km², meliputi tujuh wilayah kecamatan dan masing-masing


(18)

kecamatan terbagi lagi dalam desa dan kelurahan, yaitu ada sebanyak 129 desa dan 2 kelurahan. Secara geografik wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya terletak pada 9º,18 – 10º,20 LS (Lintang Selatan) dan 118º,55 – 120º,23 BT (Bujur Timur). Batas Wilayah administratif Kabupaten Sumba Barat Daya adalah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sumba, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan Kabupaten Sumba Barat, sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Indonesia dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumba Barat.

Dataran Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan dataran yang berbukit – bukit dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar ± 0 hingga 850 MSL (Mean Sea Level) untuk kemiringan lahan wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya dan sepanjang pantai relatif datar. Topografi Kabupaten Sumba Barat Daya berbukit dan mengakibatkan tanah rentan terhadap erosi.

Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat Daya adalah Tambolaka. Kabupaten Sumba Barat Daya terdiri dari tujuh Kecamatan yakni, Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Utara, Kecamatan Wewewa Selatan, Kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi Besar, dan Kecamatan Loura. Untuk lebih jelasnya berikut akan ditampilkan peta wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya.


(19)

Sumber : http://sbdkab.go.id

Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sumba Barat Daya.

Bahasa yang digunakan di kabupaten Sumba Barat Daya adalah bahasa Weejewa dan bahasa Kodi. Bahasa Weejewa digunakan di kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Utara, Kecamatan Wewewa Selatan, dan Kecamatan Loura. Sedangkan bahasa kodi hanya digunakan di kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Bangedo, dan Kecamatan Kodi Besar.

Bahasa Weejewa merupakan salah satu bahasa daerah yang hidup dan berkembang di Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibandingkan dengan bahasa Kodi , bahasa Weejewa memiliki jumlah penutur


(20)

yang paling banyak. Penutur bahasa Weejewa tersebar di seluruh Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Barat (induk). Bahasa Weejewa merupakan bahasa yang mudah dipelajari dibandingkan dengan bahasa kodi sehingga bahasa Weejewa menjadi media yang digunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi.

Sapaan merupakan salah satu fenomena unik yang sering muncul dalam tuturan. Dikatakan unik karena lawan bicara dapat disapa dengan nama diri, istilah kekerabatan, gelar atau istilah sapaan lain. Dalam kegiatan komunikasi sehari-hari, pemakaian kata sapaan untuk sapa menyapa antar anggota masyarakat senantiasa berlangsung setiap saat. Tujuannya adalah untuk menyampaikan maksud-maksud tertentu kepada orang yang disapa (Gustia, dkk,2014). Sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya berfungsi sebagai sarana dalam menjaga komunikasi yang baik antar masyarakat dan juga berfungsi untuk menunjukkan rasa saling menghormati antar masyarakat.

Penggunaan kata sapaan dalam suatu komunikasi tentu dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti siapa yang menyapa, siapa yang disapa, dan bagaimana hubungan antara penyapa dan pesapa. Selain itu, kata sapaan yang digunakan untuk bertegur sapa tidak selalu sama untuk setiap lawan bicara. Penggunaan sapaan yang bervariasi ini merupakan alasan untuk menganalisis faktor-faktor pemakaian sapaan khususnya penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya.

Sebagai sebuah bahasa, bahasa Weejewa memiliki sistem tertentu dalam bertegur sapa. Sistem sapaan itu digunakan untuk membedakan dan menghargai


(21)

orang yang disapa. Berikut beberapa contoh penggunaan kata sapaan dalam bahasa Weejewa.

(1) Inna, ba loddo igha wai pertemuan orangtua ne skolah jam 7 dukki

jam 9.

„Mama, hari senin akan ada pertemuan orang tua di sekolah dari jam 7 sampai jam 9 pagi.‟

(2) Pa’ina, pirra igha tandan ne kalowo?

„Ibu, pisang satu tandan ini harganya berapa? (3) Nyora, ge kako nia mu?

„Nyonya, mau pergi ke mana?‟

Sapaan pada contoh (1) yaitu Inna yang berarti „mama‟ merupakan sapaan yang termasuk dalam jenis hubungan kekerabatan. Sapaan Inna digunakan untuk menyapa ibu kandung. Sapaan Pa’ina pada contoh (2) yang berarti „ibu‟ merupakan sapaan yang termasuk dalam jenis hubungan nonkekerabatan. Sapaan

Pa’ina merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang wanita yang

sebaya dengan ibu/mama. Sedangkan sapaan Nyora pada contoh (3) merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang wanita yang memiliki status sosial lebih tinggi daripada penyapa.

Dalam penelitian ini, ada dua hal yang akan dianalisis. Pertama, analisis mengenai jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kata sapaan dalam bahasa Weejewa.

Analisis mengenai jenis sapaan akan menghasilkan klasifikasi jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan referennya. Pemakaian sapaan-sapaan tersebut dalam peristiwa komunikasi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu


(22)

siapa yang menyapa, siapa yang disapa dan bagaimana hubungan antara penyapa dan pesapa.

Penggunaan sapaan yang bervariasi dalam bahasa Weejewa merupakan salah satu alasan utama menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam bahasa Weejewa. Analisis pada faktor-faktor pemakaian sapaan dalam bahasa Weejewa menghasilkan deskripsi mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa. Faktor-faktor tersebut adalah adalah faktor hubungan kekerabatan, faktor perbedaan jabatan/profesi, faktor status sosial, faktor perbedaan usia, faktor keakraban, faktor perbedaan jenis kelamin, dan faktor asal penutur. Faktor-faktor tersebutlah yang mempengaruhi seseorang memakai kata sapaan dalam pelaksanaan bahasa. Berdasarkan ulasan diatas, peneliti melakukan penelitian berkaitan dengan sapaan khususnya sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya. Pemilihan topik penelitian ini disebabkan masih belum ditemukan penelitian berkaitan dengan sapaan dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya sehingga penelitian ini layak dilakukan. Selain itu juga karena ketertarikan peneliti terhadap bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengenalkan sekaligus melestarikan bahasa daerah di kabupaten Sumba Barat Daya.


(23)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dalam butiran 1.1, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:

1.2.1 Apa saja jenis-jenis sapaan yang terdapat dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya?

1.2.2 Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam di bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan sebagai berikut: 1.3.1 Mendeskripsikan jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa

di Kabupaten Sumba Barat Daya.

1.3.2 Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini adalah deskripsi jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya berdasarkan referennya serta faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan. Penelitian ini memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis penelitian ini adalah memberikan sumbangan atau menambah kajian sosiolinguistik terutama menunjukkan keunikan bahasa Weejewa.


(24)

Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi rujukan/referensi untuk penelitian berkaitan dengan sapaan dan memberikan tambahan pengetahuan dan informasi kepada pembaca, baik mahasiswa jurusan sastra Indonesia maupun pembaca lainnya yang tertarik untuk mempelajari dan memahami lebih dalam mengenai bentuk sapaan. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi dokumentasi mengenai sapaan dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya.

1.5Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka telah ditemukan beberapa pembahasan tentang sistem sapaan. Suhardi (1985) dalam bukunya Sistem Sapaan Bahasa Jawa menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk sapaan bahasa Jawa berhubungan erat dengan sistem kekerabatan, dan berkaitan dengan gelar kebangsawanan serta pemilihan bentuk-bentuk sapaan di dalam komunikasi ditentukan oleh berbagai faktor yang berhubungan dengan penutur, lawan bicara, dan situasi bicara. Selain itu, Kata-kata sapaan bahasa Jawa tidak jarang mengalami perubahan (perluasan dan penyempitan) arti sehingga sangat sulit dirunut bentuknya secara etimologis. Nika, dkk. (2013), mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang menulis sebuah artikel yang berjudul

“Sistem Kata Sapaan Kekerabatan dalam Bahasa Melayu Di Kepenghuluan Bangko Kiri Provinsi Riau” dalam jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Artikel tersebut menghasilkan bentuk dan pemakaian kata sapaan kekerabatan berdasarkan garis keturunan dan garis perkawinan.

Ricardo (2012), mahasiswa Universitas Sumatera Utara juga menulis


(25)

tersebut dilakukan dengan menggunakan teori sosiolinguistik. Dari hasil penelitan tersebut, Ricardo (2012) menyimpulkan bahwa kata sapaan dalam Bahasa Batak Toba terbentuk berdasarkan sistem kekerabatan.

Penelitian mengenai kata sapaan juga pernah dilakukan oleh Syafyahya dkk. (2002) dengan judul penelitiannya “Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di Kabupaten Agam”. Hasna (1995) dalam skripsinya berjudul Kata Sapaan Bahasa Minangkabau dalam Hubungan Perkawinan di Kecamatan Koto Kampung Dalam

Periaman”. Gusthia, dkk. (2014) melakukan penelitian mengenai sapaan yang

berjudul “Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di Kanagarian Lubuk Ulang Aling

Selatan Kecamatan Sangi Batang Hari Kabupaten Solok Selatan”. Jenis penelitian tersebut adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Hasil penelitian-penelitian tersebut mendeskripsikan bentuk kata sapaan kekerabatan yang ada di Kanagarian Lubuk Ulang Aling Selatan Kecamatan Sangir Batang Hari Kabupaten Solok Selatan.

Sartika (2013), mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Universitas

Sanata Dharma menulis skripsi berjudul “Sapaan dalam Bahasa Manggarai

Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa jenis sapaan dalam bahasa Manggarai berdasarkan referennya dibedakan atas hubungan kekerabatan, profesi, jabatan, kata ganti dan sapaan gabungan. Adapun faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan tersebut, yaitu faktor peran dalam masyarakat, faktor status sosial, faktor jenis kelamin, faktor keakraban, faktor usia, dan faktor kekerabatan.


(26)

Berdasarkan tinjauan pustaka, dapat dikemukakan dua catatan, yaitu pertama, telah terdapat berbagai penelitian mengenai kata sapaan dalam bahasa Minangkabau, bahasa Jawa, dan bahasa melayu. Kedua, kata sapaan dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya belum pernah diteliti sehingga penelitian mengenai kata sapaan dalam bahasa Weejewa layak dilakukan.

1.6 Landasan Teori 1.6.1 Pengertian Sapaan

Sistem sapaan yang digunakan di dalam masyarakat berlainan tergantung pada pola budaya lokal. Dalam literatur sosiolinguistik, kata sapaan disebut dengan address terms, yaitu kata atau frasa yang lazim digunakan untuk memanggil orang (Subagyo, 2010: 236).

Menurut Kridalaksana (1985:14), sistem sapaan adalah sistem yang mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menyebut atau memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Kata yang digunakan dalam sistem tersebut disebut kata sapaan. Chaer (1998: 107) menyatakan bahwa kata sapaan adalah kata-kata yang digunakan untuk menyapa, mengatur, atau menyebut orang kedua, atau orang yang diajak bicara.

Wardhaugh (2010: 281) menyatakan bahwa kata sapaan merupakan kata yang digunakan untuk menyebut orang yang diajak bicara. Orang mungkin menyapa atau menyebut orang lain dengan gelar (T), dengan nama pertama ( FN), dengan marga (LN), dengan nama panggilan, atau bahkan oleh beberapa kombinasi dari bentuk-bentuk tersebut.


(27)

Istilah menyapa (term of address) merupakan istilah yang dipakai Ego untuk memanggil seseorang kerabat apabila ia berhadapan langsung dengan kerabat tadi dalam hubungan pembicaraan langsung. Misalnya, istilah menyapa ayah adalah Bapak atau Pak (Koentjaraningrat, 1974: 137).

1.6.2. Jenis Sapaan Berdasarkan Referen

Pateda (1986:67) menyatakan referen adalah kenyataan yang disegmentasikan dan merupakan fokus lambang. Referen yang merupakan acuan menunjuk kepada hubungan antara elemen-elemen linguistik berupa leksem, kata, frasa, kalimat dan atau pengalaman. Dalam Wijana (2011:4-5) dikatakan bahwa referen adalah sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa. Jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan referen dapat diartikan sebagai penggolongan sapaan berdasarkan hal yang diacu oleh sapaan tersebut.

Dalam skripsi ini, klasifikasi jenis-jenis sapaan diasarkan pada hal yang diacu (referen) oleh sapaan tersebut. Misalnya, sapaan Inna menunjuk referen hubungan kekerebatan karena sapaan Inna merupakan kata sapaan yang digunakan untuk menyapa ibu kandung.

1.6.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sapaan

Bahasa bervariasi berdasarkan penggunaanya serta penggunanya, dalam hal ini bahasa itu bervariasi berdasarkan kapan bahasa itu digunakan dan kepada siapa, serta siapa penggunanya (Holmes, 2013:223). Lebih lanjut Holmes menyatakan:


(28)

“Hubungan pembicara dengan mitra bicara sangat penting dalam menentukan gaya bicara yang sesuai saat terjadi komunikasi. Seberapa besar penutur mengenal atau seberapa dekat penutur dengan mitra tutur (jarak hubungan sosial/solidaritas) merupakan dimensi yang penting dari sebuah hubungan sosial. Ada banyak faktor yang mungkin dapat berkontribusi dalam menentukan hubungan sosial dengan orang lain, misalnya faktor usia, jenis kelamin, peran dalam masyarakat (profesi/jabatan), pekerjaan yang sama, atau bagian/berasal dari keluarga yang sama, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut mungkin juga relevan dengan status sosial di dalam masyarakat” (Holmes, 2013: 240).

Tanner (dikutip Supriyanto dkk, 1986: 9) mengatakan bahwa dalam tindak bahasa pada hakikatnya seorang penutur telah mengambil keputusan untuk memilih suatu variasi tertentu yang berupa bentuk-bentuk linguistik. Pengambilan keputusan ini sebenarnya melalui suatu proses yang banyak ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang menentukan adalah jarak sosial, situasi, dan topik pembicaraan.

Fishman (dalam Supriyanto, 1986: 9) menyatakan jarak sosial dapat dilihat dari sudut vertikal maupun horisontal. Dimensi vertikal akan menunjukkan apakah seseorang itu berada di atas atau di bawah (berkedudukan tiggi atau lebih rendah). Dimensi vertikal ini merupakan sebuah alat untuk menempatkan seseorang dalam komitmen hormat dan tidak hormat. Dimensi sosial ini misalnya kelompok umur, kelas, status perkawinan. Adapun dimensi horizontal menunjukkan komitmen akrab dan tidak akrab. Misalnya derajat persahabatan, jenis kelmain, latar belakang etnik atau agama, latar belakang pendidikan, jarak tempat tinggal, dsb.


(29)

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu salah satu jenis penelitian yang memerikan objek penelitian berdasarkan fakta yang ada (Sudaryanto, 1988: 62). Penilitian ini dilaksanakan dengan cara mendeskripsikan fakta yang disusul dengan analisis. Penelitian deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan serta menginterpretasikan bentuk-bentuk sapaan dalam bahasa Weejewa.

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Boleh juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial) (Nababan, 1984: 2).

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode simak dan metode cakap. Menurut Sudaryanto (2015: 203) metode simak, yaitu metode yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa.

Pada metode simak, peneliti menggunakan teknik dasar, yaitu teknik sadap dengan teknik lanjutan yakni teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas libat cakap. Teknik simak libat cakap, yaitu kegiatan penyadapan data yang dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang dapat dilakukan dengan ikut terlibat atau berpartisipasi dengan menyimak, baik secara aktif atau reseptif. Teknik simak bebas libat cakap, yaitu kegiatan


(30)

penyadapan data yang dilakukan dengan tidak berpartisipasi ketika menyimak. Peneliti tidak terlibat dalam dialog, konversasi, atau imbal wicara (Sudaryanto,2015:203-204). Kemudian dilanjutkan lagi dengan teknik catat, yaitu dengan melakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi.

Pada metode cakap, peneliti menggunakan teknik dasar, yaitu teknik pancing dengan teknik lanjutan, yakni teknik cakap sekemuka. Teknik cakap sekemuka adalah kegiatan memancing bicara itu dilakukan dengan percakapan langsung, tatap muka, atau bersemuka; jadi lisan (Sudaryanto, 2015: 209).

1.7.2 Metode Analisis Data

Dalam tahap ini digunakan metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya dari luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Metode padan referensial adalah metode yang alat penentunya merupakan kenyataan yang ditunjuk atau diacu oleh bahasa atau referen bahasa. Dalam hal ini, identitas konstituen kalimat (yang berupa satuan lingual tertentu, dapat kata dapat frasa), penentunya didasarkan pada unsur kenyataan yang berada di luar bahasa tetapi memang diacu oleh bahasa yang bersangkutan yang sedang diteliti itu (Sudaryanto, 2015:15-16). Metode padan referensial digunakan untuk menentukan identitas satuan kebahasaan menurut referen yang ditunjuk (Sudaryanto, 1993:13).


(31)

Contoh penerapan metode padan refensial sebagai berikut. (4) Loka, jam pirra kako pancing ikana?

„Paman, jam berapa pergi memancing Ikan?‟ (5) Rini, baba tobba kalambe?

„Rini, apakah kamu sudah selesai mencuci pakaian?‟

Kata sapaan Loka pada contoh (4) dan Rini pada contoh (5) merupakan contoh kata sapaan dalam bahasa Weejewa. Kata sapaan Loka merupakan kata sapaan yang menunjuk kekerabatan sedangkan Rini pada contoh (5) menunjuk nama diri (mitra tutur).

Metode padan pragmatis adalah metode yang alat penentunya mitra wicara atau mitra tutur. Dalam hal ini, orang yang diajak bicara dengan segala reaksi atau tanggapannya menjadi penentu identitas satuan lingual-satuan lingual tertentu (Sudaryanto, 2015:18). Dalam penelitian ini, metode padan pragmatis digunakan untuk menentukkan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa.

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode penyajian informal dan metode formal. Metode penyajian informal yaitu perumusan kaidah tersebut dengan kata-kata biasa, dimana rumus-rumus atau kaidah-kaidah disampaikan dengan kata-kata biasa, kata-kata yang apabila dibaca langsung dapat dipahami. Metode penyajian formal adalah penyajian hasil analisis data dengan kaidah. Kaidah tersebut dapat berupa tanda/ lambang, rumus, tabel,


(32)

gambar (Sudaryanto, 1993: 145). Dalam skripsi ini, penyajian hasil analisi data dengan metode formal digunakan tanda/lambang, tabel dan gambar.

1.7.4 Sistematika Penyajian

Laporan hasil penelitian ini terdiri dari dalam empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan. Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan pnelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitan, dan sistematika penyajian. Bab kedua berisi uraian mengenai jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya berdasarkan referennya.. Bab ketiga berisi pembahasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaaan sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya. Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan mengenai penelitian dan saran.


(33)

17 BAB II

JENIS-JENIS SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA di KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

2.1 Pengantar

Menurut Chaer (1998: 107), kata sapaan tidak mempunyai perbendaharaan kata sendiri, tetapi menggunakan kata-kata dari perbendaharaan kata nama diri dan kata nama perkerabatan. Subiyakto-Nababan (1992: 153) menyatakan bahwa sapaan terdiri atas nama kecil, gelar, istilah perkerabatan, nama keluarga (bagi suku bangsa yang mempunyai sistem itu), nama hubungan perkerabatan dengan nama seorang kerabatnya (disebut tektonimi).

Dalam bab ini dibahas jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya. Jenis-jenis kata sapaan dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya dibedakan berdasarkan referennya, yakni kata sapaan berdasarkan (a) hubungan kekerabatan, (b) nonkekerabatan, (c) nama diri, (d) kata ganti, (e) status sosial, (f) jabatan/profesi.

2.2 Sapaan Hubungan Kekerabatan

Sapaan hubungan kekerabatan yang dimaksud adalah penggunaan istilah kekerabatan dalam komunikasi sehari-hari. Istilah kekerabatan yang digunakan berdasarkan pengertian Kridalaksana (1985:14). Kridalaksana menggunakan formulasi istilah kekerabatan kerabat ialah orang „sedarah‟ yang dipanggil dan/atau disebut dengan satu istilah kekekerabatan (Koentjaraningrat, 1984:94).


(34)

Istilah kekerabatan adalah istilah untuk menyebut atau menyapa orang yang terikat kepada diri sendiri karena hubungan keturunan, darah, atau perkawinan. Seseorang disebut berkerabat apabila ada pertalian darah atau pertalian perkawinan (Syafyahya, dkk, 2000:7). Istilah-istilah kekerabatan dalam suatu bahasa timbul karena keperluan untuk menyatakan kedudukan diri seseorang secara komunikatif dalam suatu keluarga.

Kerabat dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu pertama, kerabat yang terbentuk karena hubungan darah, dan kedua kerabat yang terbentuk karena hubungan tali perkawinan antara penutur dengan mitra tutur. Kata sapaan yang dipergunakan untuk menyapa kerabat meliputi sapaan yang dipergunakan untuk menyapa nenek dan kakek, bapak dan ibu, saudara bapak dan ibu, saudara kandung, saudara sepupu, anak, keponakan, cucu, dan cicit. Kata sapaan yang dipergunakan untuk menyapa kerabat yang terbentuk karena tali perkawinan, meliputi sapaan yang dipergunakan untuk menyapa mertua, sapaan untuk menyapa besan, suami, istri, dan saudara ipar.

Kata sapaan yang menyatakan hubungan kekerabatan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan jenis sapaan yang paling banyak ditemui. Jenis sapaan yang menyatakan hubungan kekerabatan dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya mencakup dua puluh empat kata, yaitu Ama, Inna, Ana Mane, Ana Mawine, Leiro, Na’a, Wotto, Ama Kaweda, Inna Kaweda, Umbu, Tamoama, Tamoina, Aiba, Amaangua, Inaangua, Loka, Cama, Anakabine, Anguleba, Olebei, Wera, Olesawa, Wasse, Ippa. Berikut ini akan diuraikan kata-kata sapaan hubungan kekerabatan.


(35)

2.2.1 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ama

Kata sapaan Ama muncul dalam tiga variasi. Tiga variasi yang dimaksud, yaitu Ama „ayah/bapak‟, Ama Kaweda „kakek‟, Ama + Nama Anak I.

Kata sapaan Ama secara harafiah berarti „ayah atau bapak‟. Sapaan Ama adalah sapaan yang dipergunakan oleh penyapa pria muda atau wanita muda untuk menyapa ayah kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Contoh kalimat (6) berikut menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan ayah kandung.

(6) Ama, ku dengi ijin kako deku acara na olegu ba yodikia male jam pittu.

„Ayah, saya minta izin untuk pergi ke acaranya teman hari ini jam tujuh malam.‟

Dalam perkembangannya, kata sapaan Ama mengalami perluasan penggunaan. Sapaan Ama bisa juga digunakan oleh seorang cucu untuk menyapa kakek kandungnya. Selain itu, sapaan Ama dapat digunakan untuk menyapa anak laki-laki. Dalam penggunaannya, sapaan Ama merupakan sapaan yang sangat sopan.

Sapaan Ama Kaweda adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa kakek kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi tidak

resmi dan dalam hubungan akrab. Contoh kalimat (7) berikut ini menunjukkan bagaimana seorang cucu berbicara dengan kakeknya.

(7) Ama Kaweda, gei kako niamu tarra lodo ne? Kakek, mau pergi ke mana siang-siang begini?‟


(36)

Bentuk sapaan Ama + Nama Anak I digunakan oleh penyapa pria tua dan wanita tua untuk menyapa pria (tua, sebaya, dan muda) yang sudah mempunyai anak. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab dan tidak akrab. Contoh kalimat (8) berikut menujukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan Ama + Nama Anak I.

(8) Ama Ria, bisa pinjam gai gergaji belli?

„Bapak Ria, apakah saya boleh pinjam gergaji?‟

2.2.2 Sapaan Hubungan Kekerabatan Inna

Kata sapaan Inna juga muncul dalam tiga variasi, yaitu Inna „ibu/mama‟, Inna kaweda „nenek‟, Inna + nama anak I.

Bentuk variasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan penyapa dengan pesapa atau yang disapa. Kata sapaan Inna secara harafiah berarti „mama‟

atau „ibu‟ adalah sapaan yang dipergunakan oleh penyapa pria muda atau wanita

muda untuk menyapa ibu kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Contoh kalimat (9) berikut menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan ibu kandung.

(9) Inna wo’i gai kalambe baru! „Mama, belikan saya baju baru!‟

Dalam perkembangannya, sapaan Inna juga mengalami perluasan penggunaan yaitu sapaan Inna bisa juga digunakan oleh seorang cucu untuk menyapa nenek kandung. Selain itu, kata Inna merupakan sapaan yang sangat


(37)

sopan sehingga kebanyakan pria Sumba Barat Daya menyapa seorang wanita yang mereka hormati dengan sapaan Inna. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(10) Na mimi ba nga’a Inna?

„Nenek, apakah nasinya sudah masak?‟ (11) Inna, ku bei takka gu!

‘Nona, saya benar-benar menyukaimu!’

Contoh (10) menunjukkan penggunaan sapaan Inna oleh seorang cucu kepada neneknya. Adapun contoh (11) menunjukkan penggunaan sapaan Inna oleh seorang pemuda yang mengungkapkan perasaan cinta kepada gadis yang disukainya.

Sapaan Inna Kaweda merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa nenek kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(12) Inna Kaweda Yaggu ne pamama? „Nenek mau siri dan pinang lagi?‟

Contoh (12) menunjukkan penggunaan sapaan Inna Kaweda. Contoh tersebut melukiskan mengenai seorang cucu yang menawarkan kepada neneknya untuk makan siri dan pinang. Kata sapaan Inna Kaweda dalam perkembangannya mengalami perluasan penggunaan. Sapaan tersebut dapat digunakan oleh penyapa kepada orang yang tidak memiliki hubungan darah melainkan karena keadaan lawan bicara yang sudah tua.


(38)

Sapaan Inna + Nama Anak I merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria tua dan wanita tua untuk menyapa wanita (tua, sebaya, dan muda) yang sudah mempunyai anak. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab dan tidak akrab. Contoh kalimat (13) berikut menunjukkankan bagaimana penyapa berbicara dengan pesapa menggunakan sapaan Inna + nama anak I.

(13) Inna Evi, jam pirra latihan koor ba koka? „Mama Evi, besok latihan koor jam berapa?‟

2.2.3 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ana Mane

Kata sapaan hubungan kekerabatan Ana Mane secara harafiah berarti

„anak laki-laki‟. Sapaan Ana Mane digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa anak laki-laki kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(14) Ana Mane Ngeta yoddi kako skolah, jam piira ba nebehinna? „Anak, segera berangkat ke sekolah, sudah jam berapa ini?‟

Contoh (14) menunjukkan mengenai penggunaan kata sapaan Ana Mane oleh seorang Ibu yang memarahi anaknya untuk segera berangkat ke sekolah agar tidak terlambat.

2.2.4 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ana Mawinne

Kata sapaan hubungan kekerabatan Ana Mawine secara harafiah berarti


(39)

untuk menyapa anak perempuan kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(15) Ana Mawine, pati’i ba bubur ina kawedamu? „Anak, apakah bubur untuk nenek sudah dimasak?‟

Contoh (15) menunjukkan mengenai penggunaan kata sapaan Ana Mawinne oleh seorang ibu kepada anak gadisnya mengenai makanan untuk sang nenek.

2.2.5 Sapaan Hubungan Kekerabatan Leiro

Kata sapaan hubungan kekerabatan Leiro memiliki arti „Sayang‟. Kata sapaan Leiro merupakan kata sapaan yang sangat lembut dan digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa anak perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penyapa. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(16) Leiro, mu nga’a ba? Ne wai ngana’a pangindigu!

„Sayang, kamu sudah makan? Ini mama ada bawakan daging!‟

Contoh (16) menunjukkan penggunaan kata sapaan Leiro. Sapaan tersebut biasa digunakan oleh seorang Ibu untuk menyapa dengan sangat lembut anak perempuannya.

2.2.6 Sapaan Hubungan Kekerabatan Na’a

Kata sapaan hubungan kekerabatan Na’asecara harafiah berarti „saudara‟. Kata sapaan Na’a digunakan oleh penyapa wanita untuk menyapa adik maupun kakak laki-laki kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.


(40)

(17) Na’a, pirra budi kako deke ruta na karambo? „Adik, kapan pergi ambil rumput untuk kerbau?‟

Contoh (17) menjelaskan mengenai penggunaan sapaan Na’a yang digunakan oleh seorang kakak perempuan untuk menyuruh adiknya agar segera mengambil makanan untuk kerbau.

2.2.7 Sapaan Hubungan Kekerabatan Wotto

Kata sapaan hubungan kekerabatan Wotto secara harafiah juga berarti

„saudara‟ tetapi dapat juga diartikan „nona‟. Kata sapaan Wotto digunakan oleh penyapa pria untuk menyapa adik maupun kakak perempuan kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(18) Wotto, ge bondala niamu kalambe gu patobamu manna? „Adik, baju yang sudah dicuci di simpan di mana?

Pada contoh (18) menjelaskan mengenai penggunaan sapaan Wotto yang digunakan oleh seorang kakak laki-laki untuk memanggil saudara perempuannya.

2.2.8 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ama Kaweda

Kata sapaan hubungan kekerabatan Ama Kaweda merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa kakek kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini merupakan contoh pemakaian kata sapaan kekerabatan Ama Kaweda.

(19) Ama Kaweda, baba enu ba morromu wali dotera? „Kakek sudah habis minum obat dari dokter?


(41)

Contoh (19) menunjukkan penggunaan sapaan Ama Kaweda oleh seorang cucu kepada kakeknya. Contoh tersebut menunjukkan tentang seorang cucu yang bertanya kepada sang kakek apakah kakeknya sudah selesai meminum obat dari dokter.

Sapaan Ama Kaweda tersebut sudah jarang digunakan khususnya di daerah perkotaan. Masyarakat perkotaan di Kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan kata Sapaan Opa untuk menyapa kakek kandung. Contoh berikut menunjukkan penggunaan kata sapaan Opa.

(20) Opa, woi gai sepeda baru! Opa, belikan saya sepeda baru!

2.2.9 Sapaan Hubungan Kekerabatan Inna Kaweda

Kata sapaan hubungan kekerbatan Inna Kaweda yang berarti „nenek‟ merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa nenek kandung. Sapaan Ina Kaweda digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini merupakan contoh pemakaian kata sapaan kekerabatan Inna Kaweda.

(21) Ina Kaweda, omana nga’a pamamadebehinna kana pia belli ne sariawanmu!

„Nenek, jangan makan sirih pinang lagi agar sariawannya

sembuh!‟

Contoh (21) menunjukkan penggunaan sapaan Inna Kaweda oleh seorang cucu kepada neneknya. Sama halnya dengan sapaan Ama Kaweda, sapaan Inna Kaweda tersebut sudah jarang digunakan khususnya di daerah perkotaan.


(42)

Masyarakat perkotaan di kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan kata Sapaan Oma untuk menyapa nenek kandung. Contoh berikut menunjukkan penggunaan kata sapaan Oma.

(22) Oma, ge ne nia ingigu? „Oma, Dimana sarung saya?‟

2.2.10 Sapaan Hubungan Kekerabatan Umbu

Kata sapaan hubungan kekerabatan Umbu memiliki arti „cucu‟. Kata sapaan ini digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa cucu perempuan dan cucu laki-laki kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(23) Umbu, kako eta beli na wawi apana kana kaweka! „Cucu, lihat dulu babi itu kenapa tiba-tiba berteriak!‟

Contoh (23) menunjukkan penggunaan sapaan Umbu oleh penyapa kepada cucunya. Contoh tersebut tampak menunjukkan seorang nenek/kakek yang menyuruh cucunya untuk memeriksa keadaan seekor babi yang tiba-tiba berteriak.

2.2.11 Sapaan Hubungan Kekerabatan Tamoama

Kata sapaan hubungan kekerabatan Tamoama merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa anak laki-laki (cucu) yang memiliki nama panggilan atau menggunakan nama yang diturunkan dari kakek kandung (nama sang cucu merupakan nama yang diambil dari nama kakek kandung). Sapaan ini juga merupakan sapaan lembut kepada anak laki-laki. Berikut ini contoh dan penjelasannya.


(43)

(24) Tamoama, yawe ne ate na manu mbarana marapu! „Cucu, bawakan hati ayam ini ke Marapu!‟

Contoh (23) menunjukkan penggunaan sapaan Tamoama. Dalam contoh tersebut tampak kakek menyuruh cucu laki-lakinya utnuk membawakan sesaji atau makanan persembahan kepada leluhur.

2.2.12 Sapaan Hubungan Kekerabatan Tamoina

Kata sapaan hubungan kekerabatan Tamoina memiliki arti yang sama dengan sapaan Tamoama, yaitu „cucu‟. Sapaan ini merupakan sapaan digunakan oeh penyapa pria atau wanita untuk menyapa anak perempuan (cucu) yang memiliki nama panggilan atau menggunakan nama yang diturunkan dari nenek kandung (nama sang cucu merupakan nama yang diambil dari nama nenek kandung). Sapaan ini juga merupakan sapaan yang lembut kepada anak perempuan. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(25) Tamoina, pati’i beli ne ro’o sambiloto kaku enu beli dana dua ki ne ti’a gu!

Cucu, rebus daun sambiloto ini, saya mau minum karena perut saya sedang tidak enak!‟

Contoh (25) menunjukkan penggunaan kata sapaan Tamoina. Contoh tersebut menggambarkan seorang nenek/kakek menyuruh cucu perempuan untuk memasak obat dari dedaunan.


(44)

28 2.2.13 Sapaan Hubungan Kekerabatan Aiba

Kata sapaan hubungan kekerabatan Aiba merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa cicit laki-laki atau cicit perempuan. Kata sapaan Aiba digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(26) Aiba, ngindi belli neme ingigu ne’e bali katonga!

„Cicit, bawakan ke sini sarung nenek yang ada di bale-bale!‟

Contoh (26) menunjukkan mengenai penggunaan kata sapaan Aiba. Dalam contoh tersebut tampak seorang nenek menyuruh cicitnya untuk mengambil sarung sang nenek yang tertinggal di bale-bale.

2.2.14 Sapaan Hubungan Kekerabatan Amaangua

Kata sapaan hubungan kekerabat Amaangua merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa saudara laki-laki kandung dari pihak ayah. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(27) Amaangua, mado’I dapa daku eta kango kareko pongu ge? „Bapak, lama tidak betemu kenapa bapak terlihat kurus?‟

Contoh (27) menunjukkan penggunaan kata sapaan Amaangua. Tampak dalam contoh tersebut penyapa berbicara kepada saudara laki-laki dari pihak ayah. Namun, penggunaan kata sapaan Amaangua sudah jarang digunakan. Hal tersebut disebabkan sapaan Amaangua memiliki arti yang sama dengan kata sapaan Ama


(45)

sehingga masyarakat Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya terkadang menyapa saudara laki-laki dari pihak ayah dengan menggunakan kata sapaan Ama saja. Penggunaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

2.2.15 Sapaan Hubungan Kekerabatan Inaangua

Kata sapaan hubungan kekerabatan Inaangua merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa adik atau kakak perempuan dari pihak ibu atau mama. Kata sapaan tersebut digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(28) Inaangua, waipo kambe tana lakka yodi? „Mama, masih ada sisa kacang tanah sedikit?‟

Contoh (28) menunjukkan penggunaan kata sapaan Inaangua. Dalam contoh tersebut penyapa bertanya kepada saudara perempuan dari pihak Ibunya apakah masih ada sisa kacang tanah. Sama halnya dengan kata sapaan Amaangua, sapaan Inaangua juga sudah jarang digunakan karena memiliki arti yang sama dengan kata sapaan Inna sehingga terkadang penyapa menyapa saudara dari pihak ibu hanya dengan menggunakan sapaan Inna. Penggunaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

2.2.16 Sapaan Hubungan Kekerabatan Loka

Kata sapaan hubungan kekerabatan Loka memiliki arti „paman‟. Kata sapaan Loka merupakan kata sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa kakak atau adik laki-laki dari pihak Ibu. Kata sapaan


(46)

tersebut digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(29) Loka, ba koka sore bisa antargai ne sekolah „Om, Apakah besok bisa antarkan saya ke sekolah?‟

Contoh (29) menunjukkan penggunaan kata sapaan Loka oleh penyapa kepada saudara laki-laki dari pihak Ibu. Dalam contoh tersebut penyapa bertanya kesediaan pamannya untuk mengantarkannya ke sekolah.

Kata Sapaan Loka sudah jarang digunakan khususnya di daerah perkotaan. Masyarakat perkotaan di kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan kata Sapaan Om untuk menyapa paman kandung.

2.2.17 Sapaan Hubungan Kekerabatan Cama

Kata sapaan hubungan kekerabatan Cama memiliki arti „bibi‟. Sapaan ini digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa kakak atau adik perempuan dari pihak ayah. Kata sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut contoh dan penjelasannya.

(30) Cama, raigu we’e mutu teh ato kopi? „Tante, mau saya buatkan teh atau kopi?‟

Contoh (30) menunjukkan penggunaan kata sapaan Cama oleh penyapa kepada saudara perempuan dari pihak ayah. Dalam contoh tersebut tampak penyapa menawarkan minuman kepada bibinya. Sama halnya dengan kata sapaan Loka, sapaan cama juga sudah jarang digunakan khususnya di daerah perkotaan.


(47)

Masyarakat perkotaan di kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan sapaan tante untuk menyapa paman kandung.

2.2.18 Sapaan Hubungan Kekerabatan Anakabine

Kata sapaan hubungan kekerabatan Anakabine memiliki arti „keponakan‟. Sapaan ini digunakan oleh penyapa untuk menyapa keponakan kandung perempuan maupun laki-laki. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(31) Anakabine, lodo pirra buddi deimba raport mi? „Ponaan, hari apa kalian akan menerima raport?‟

Contoh (31) menunjukkan penggunaan sapaan Anakabine. Contoh tersebut menjelaskan bagaimana penyapa bertanya kepada keponakannya (perempuan atau laki-laki) mengenai hari apa sang keponakan akan menerima raport.

2.2.19 Sapaan Hubungan Kekerabatan Anguleba

Kata sapaan hubungan kekerabatan Anguleba merupakan sapaan yang

berarti „sepupu‟. Sapaan tersebut digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk

menyapa anak-anak dari kakak/adik laki-laki dan perempuan ayah. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi maupun tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(32) Anguleba, dubula kai ba koka ami todaka watara ne oma!

„Sepupu, besok jangan lupa untuk datang ikut tanam jagung di kebun!‟


(48)

Contoh (32) menunjukkan penggunaan sapaan Anguleba oleh penyapa kepada sepupu dari pihak ayah. Contoh tersebut menujukkan tentang penyapa yang mengingatkan sepupu dari pihak ayahnya untuk datang ikut serta menanam jagung di kebun.

2.2.20 Sapaan Hubungan Kekerabatan Olebei

Kata sapaan Olebei memiliki arti yang sama dengan Anguleba, yaitu

„sepupu‟. Sapaan tersebut digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk

menyapa anak-anak dari kakak/adik laki-laki dan perempuan Ibu. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi maupun tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut Ini contoh dan penjelasannya.

(33) Olebei, gei wali nia mu mana male?

„Sepupu, engkau dari mana kemarin malam?‟

Contoh (33) menunjukkan penggunaan sapaan Olebei. Contoh tersebut menjelaskan tentang seorang penyapa yang bertanya kepada saudara sepupu dari pihak ibunya.

2.2.21 Sapaan Hubungan Kekerabatan Wera

Kata sapaan hubungan kekerabatan Wera memiliki dua arti, yaitu „mertua‟

dan „besan‟. Sapaan istilah kekerabatan Wera yang memiliki arti „mertua‟

digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa bapak atau ibu mertuanya. Sedangkan Wera yang memiliki arti „besan‟ digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa orang tua dari menantu baik menantu pria maupun menantu wanita. Sapaan tersebut digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi


(49)

serta dalam hubungan akrab. Penggunaan kata sapaan Wera disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(34) Wera, maiga dengi wasu kaku rai golu wawi. Na kalada lolo ba wawi ne uma.

„Mertua, saya datang meminta kayu untuk membuat kandang babi. Babi dirumah sudah cukup besar.‟

(35) Slamata siang! peina kabar yodi, Wera? Selamat siang! Bagaimana kabarmu, Besan?‟

Contoh (34) menunjukkan penggunaan kata sapaan oleh penyapa terhadap ibu mertua atau ayah mertua sedangkan contoh (35) menunjukkan penggunaan kata sapaan oleh penyapa terhadap orang tua dari menantu (besan). Namun,

penggunaan kata sapaan „wera‟ yang memiliki arti „mertua‟ sudah jarang

digunakan oleh masyarakat Sumba Barat Daya untuk menyapa ibu mertua atau ayah mertua. Sekarang ini cenderung terjadi pergeseran penggunaan kata sapaan untuk bapa dan ibu mertua menjadi Inna „mama‟ atau Ama „Bapak‟. Pergeseran penggunaan kata sapaan tersebut menunjukkan terjadinya hubungan yang lebih erat antara menantu dan mertua.

2.2.22 Sapaan Hubungan Kekerabatan Wasse

Sapaan hubungan kekerabatan Wasse memilik arti „anak‟. Sapaan Wasse digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa anak menantu baik laki-laki maupun perempuan. Kata sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab berikut ini contoh dan penjelasannya.

(36) Wasse, jam pirra kako ne posyandu? „Anak, jam berapa berangkat ke posyandu?‟


(50)

Contoh (36) menunjukkan penggunaan kata sapaan Wasse oleh penyapa kepada anak menantu perempuan. Tampak dalam contoh tersebut bapak atau ibu mertua bertanya kapan anak menantunya berangkat ke posyandu.

2.2.23 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ippa

Kata sapaan hubungan kekerabatan Ippa memiliki arti „ipar‟. Sapaan Ippa merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa saudara ipar perempuan. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(37) Ippa, bisa panunga gai belli pei pata pati’i ne kana’a simbi? „Ipar, apakah bisa ajarkan kepada saya bagaimana caranya memasak daging kambing ini?‟

Contoh (37) menunjukkan penggunaan sapaan Ippa oleh penyapa kepada saudara ipar perempuannya. Contoh tersebut menjelaskan tentang penyapa yang meminta kepada saudara ipar perempuannya untuk mengajarinya bagaimana cara memasak daging kambing.

2.2.24 Sapaan Hubungan Kekerabatan Olesawa

Kata sapaan hubungan kekerabatan Olesawa memiliki arti yang sama dengan kata sapaan Ippa, yaitu „ipar‟. Sapaan Olesawa merupakan kata sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa saudara ipar laki-laki. Kata sapaan tersebut digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(38) Dengi belli bu’bumu iya, Olesawa!


(51)

Contoh (38) menunjukkan penggunaan kata sapaan Olesawa. Dalam contoh tersebut tampak penyapa meminta sebatang rokok kepada saudara ipar laki-laki.

Tabel 1. Sapaan Hubungan Kekerabatan

No Hubungan Kekerabatan Kata Sapaan

1 Kakek Kandung Ama Kaweda

2 Nenek Kandung Inna Kaweda

3 Ayah Ama

4 Ibu Inna

5 Anak (laki-laki) Ana Mane

6 Anak (perempuan) Ana Mawine

7 Sayang Leiro

8 Kakak/adik Laki-laki kandung Na’a 9 Kakak/adik perempuan kandung Wotto 10 Cucu laki-laki/perempuan Umbu

11 Cucu Laki-laki Tamoama

12 Cucu Perempuan Tamoina

13 Cicit Aiba

14 Kakak/adik laki-laki Ayah Amaangua 15 Kakak/adik perempuan Ibu Inaangua 16 Adik/kakak Laki-laki Ibu Loka 17 Adik/kakak perempuan Ayah Cama

18 Keponakan Anakabine

19 Sepupu dari pihak ayah Anguleba 20 Sepupu dari pihak Ibu Olebei

21 Mertua Wera

22 Ipar (laki-laki) Olesawa

23 Menantu laki-laki/perempuan Wasse


(52)

2.3 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan

Kata sapaan nonkekerabatan merupakan kata sapaan yang digunakan untuk menyapa orang yang tidak memiliki hubungan darah baik karena keturunan maupun karena hubungan perkawinan. Kata sapaan yang dipergunakan kepada bukan kerabat (nonkerabat) meliputi sapaan yang dipergunakan untuk menyapa orang sebaya dengan kakek dan nenek, sebaya dengan orang tua, lebih tua dari orang tua, lebih muda dari orang tua, sebaya dengan kakak, sebaya dengan adik, sebaya dengan penutur. Kata sapaan yang menyatakan hubungan non-kekerabatan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya, yaitu Kaweda, Paiina, Tante, Paama, Om, Ka’a, Alli.

2.3.1 Sapaan Nonkekerabatan Kaweda

Kata sapaan nonkekerabatan Kaweda secara harafiah berarti „tua‟. Sapaan Kaweda merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa kakek atau nenek bukan kandung. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh kalimat (39) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan kaweda.

(39) Kaweda, gei nia ummamu kako antara gu’ „Tua, rumahnya dimana supaya saya antar?‟

2.3.2 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Painna

Kata sapaan nonkekerabatan Painna secara harafiah berarti „Ibu‟ adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa ibu-ibu


(53)

bukan kandung yang sudah memilik anak. Sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh kalimat (40) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan paiinna.

(40) Paiina, pirra ia kobba we ne gaga?

„Ibu, Lombok satu mangkuk ini harganya berapa?

2.3.3 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Tante

Kata sapaan nonkekerabatan Tante yang berarti „bibi‟ adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa wanita bukan kandung yang sudah memilik anak maupun masih bujang. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh kalimat (41) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan Tante.

(41) Tante, permisi, tua yoddi ge nei ne ummana Bapak Maya „Tante, permisi, saya mau bertanya. Dimana rumah Bapak Maya?

2.3.4 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Pa’ama

Kata sapaan nonkekerabatan Paama secara harafiah berarti „bapak‟. Sapaan ini merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa bapak-bapak bukan kandung yang sudah memiliki anak. Sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh kalimat (42) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan pa’ama.


(54)

(42) Pa’ama, Garra olemu kadi karambo? „Bapak dengan siapa mengembala kerbau?‟

2.3.5 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Om

Kata sapaan nonkekerabatan Om yang berarti „paman‟ adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa pria bukan kandung yang sudah memilik anak maupun masih bujang. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut ini contoh kalimat (43) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa dengan menggunakan sapaan Om.

(43) Pirra harga ne rowe iga ikat Om?

„Om, sayur ini harganya berapa satu ikat?‟

2.3.6 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Ka’a

Kata sapaan nonkekerabatan ka’a yang berarti „kakak‟ adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa pria atau wanita bukan kandung dan usianya lebih tua daripada penyapa. Sapaan ka’a dapat juga digunakan untuk menyapa pria/wanita yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penyapa Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh kalimat (44) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang tidak dikenal menggunakan sapaan ka’a.

(44) Ka’a, bisa b’ubu ne loura?


(55)

2.3.7 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Alli

Kata sapaan Alli yang berarti „adik‟ adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa pria atau wanita bukan kandung dan usianya lebih muda daripada penyapa. Sapaan alli dapat juga digunakan untuk menyapa pria/wanita yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penyapa. Sapaan ini juga dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut ini contoh kalimat (45) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang tidak di kenal menggunakan sapaan alli.

(45) Alli, klas pirra ba nebe hinna? „Adik, sudah kelas berapa sekarang?

Tabel 2. Sapaan Hubungan Nonkekerabatan

No Nonkekerabatan Kata sapaan

1 Orang yang sebaya kakek/nenek Kaweda 2 Orang sebaya Ibu painna

3 Orang sebaya Ayah pa’ama

4 Orang sebaya kakak

perempuan/laki-laki Ka’a 5 Orang sebaya adik

laki-laki/perempuan Alli


(56)

2.4 Sapaan Dengan Menyebut Nama

Sistem sapaan yang dengan menyebut nama dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya dapat dikelompokkan menjadi sistem sapaan dengan menyebut nama diri dan sistem sapaan dengan menyebut nama anak pertama atau anak terakhir.

2.4.1 Sapaan dengan Menyebut Nama Panggilan

Nama diri adalah nama yang dipakai dengan menyebutkan nama seseorang (KBBI, 1995: 681). Sapaan nama diri merupakan nama yang diperoleh seseorang ketika lahir. Nama diri merupakan bentuk sapaan yang dipakai untuk mengetahui identitas seseorang, misalnya Gusti, Ratna, Sinta dan lain-lain. Sapaan nama diri dapat berupa nama diri tanpa diikuti bentuk lain dan nama diri yang yang dikombinasikan atau disertai sapaan lain. Bentuk sapaan dengan menyebut nama diri sangat dipengaruhi oleh pola hubungan antara penyapa dengan pesapa. Pemakaian bentuk sapaan nama diri sering digunakan oleh penutur yang memiliki usia sebaya dengan mitra tutur dan penutur yang usianya lebih tua dari mitra tutur atau orang yang disapa. Selain itu, penggunaan kata sapaan nama diri ditemukan dalam situasi tidak resmi, memiliki hubungan yang akrab dan biasanya sudah lama saling mengenal.

Dalam peneltian ini, kata sapaan dengan menyebut nama diri terbagi menjadi dua bagian, yaitu penggunaan sapaan dengan nama panggilan lengkap dan penggunaan sapaan dengan nama panggilan penggal.


(57)

2.4.1.1 Sapaan dengan Menyebut Nama Panggilan Lengkap

Pada sapaan ini, nama seseorang disebut dengan utuh atau lengkap. Contoh kalimat berikut ini menunjukkan bagaimana penggunaan kata sapaan dengan menyebut nama panggilan secara lengkap.

(46) Tina, keketa kalambe ammi ba urra!

„Tina, angkat jemurannya karena akan turun hujan!‟

2.4.1.2 Sapaan Dengan Menyebut Nama Panggilan Penggal

Pada sapaan ini nama seseorang akan disingkat atau terjadi pemenggalan. Contoh kalimat berikut ini menunjukkan bagaimana penggunaan kata sapaan dengan menyebut nama panggilan penggal.

(47) Tinus, ne riti kako woi belli ga roko igha!

„Tinus, ini uang. Pergi belikan ayah sebatang rokok!‟

(48) Ce, ne pi’a wai danamu na duwa ba?

„Ce, apakah lukamu di kaki sudah sembuh?‟

Sapaan nama diri yang dipakai dalam contoh (47) dan (48) adalah nama seorang laik-laki yang bernama lengkap Martinus dan seorang perempuan yang bernama lengkap Marce. Pada contoh (47) menjelaskan mengenai penggunaan sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri ‘Martinus’ yang dipakai secara tidak utuh atau dipenggal oleh penutur menjadi Tinus. Sedangkan pada contoh (48) menjelaskan mengenai penggunaan sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri yang dipakai secara tidak utuh atau dipenggal, yaitu Ce, merupakan penggalan dari sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Marce.


(58)

2.4.2 Sapaan dengan Menyebut Nama Anak Pertama atau Terakhir

Kata sapaan dengan menyebut nama anak ini biasanya digunakan untuk menyapa pria atau wanita (tua, muda atau sebaya) yang sudah berkeluarga. Bentuk sapaan dengan menyebut nama anak sangat dipengaruhi oleh pola hubungan antara penyapa dengan pesapa. Dalam penggunaannya biasanya selalu diawali dengan kata sapaan Ama atau Bapak dan Inna atau mama kemudian diikuti dengan nama anak sulung atau anak bungsu. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(49) Bapa Yanus, tanggal pira ba kako ne Surabaya? „Bapak Yanus, tanggal berapa berangkat ke Surabaya?‟ (50) Ama Rinto, tekki ne mama Rinto kana deke gula mono kopi ne uma!

„Bapak Rinto, tolong beritahu mama Rinto untuk datang mengambil gula dan kopi di rumah!‟

Contoh (48) dan contoh (49) menunjukkan tentang penggunaan kata sapaan dengan menyebut nama anak sulung dan anak bungsu. Pada contoh (48), Yanus merupakan anak sulung dari lawan tutur sehingga penutur menyapa lawan tuturnya dengan kata sapaan bapak kemudian diikuti dengan nama anak sulung menjadi Bapak Yanus. Adapun contoh (49), Rinto merupakan anak bungsu dari lawan tutur sehingga penutur menyapa lawan tuturnya dengan kata sapaan Ama kemudian diikuti dengan nama anak bungsu sehingga menjadi Ama Rinto.


(59)

Tabel 3. Sapaan Berdasarkan Nama Diri (mitra tutur) No Nama Diri (mitra tutur) Kata Sapaan 1 Menyebut Nama Panggilan

Lengkap Tina, dsb.

2 Menyebut Nama Panggilan

Penggal Martinus menjadi tinus/nus, dsb 3 Menyebut Nama Anak Pertama

atau Terakhir

Ama/Bapak diikuti nama anak

pertama/terakhir, dan Inna/mama diikuti nama anak pertama/terakhir.

2.5 Sapaan Berdasarkan Kata Ganti

Jenis sapaan berdasarkan kata ganti adalah jenis sapaan yang sering digunakan untuk menyapa orang yang sudah dikenal ataupun belum dikenal. Dalam penelitian ini, sapaan berdasarkan kata ganti dibagi menjadi dua jenis yaitu sapaan kata ganti orang kedua tunggal dan sapaan kata ganti orang kedua jamak.

2.5.1 Sapaan Kata Ganti Orang Kedua Tunggal

Sapaan kata ganti orang kedua tunggal merupakan kata ganti yang digunakan untuk menunjuk pada orang kedua atau orang yang diajak bicara (mitra tutur). Sapaan kata ganti orang kedua tunggal dalam bahasa Weejewa ada tiga yaitu Wo’u, Oda, dan Ole.

Kata sapaan Wo’u yang berarti „kau‟ digunakan untuk menyapa pria atau wanita yang usianya lebih muda atau sebaya dengan penutur. Kata sapaan wo’u digunakan untuk menyapa orang yang belum dikenal maupun sudah dikenal tetapi dalam hubungan yang tidak akrab. Berikut contoh kalimat (51) dan (52)


(60)

menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan Wo’u.

(51) Ge nei nia umamamu wo’u? „Dimana rumah kamu?

(52) Wo’u deke pena gu?

„Apakah kamu mengambil penaku?

Kata sapaan Oda atau Ole memiliki arti „teman/kawan‟. Namun, penggunaan kedua sapaan tersebut berbeda. Kata Sapaan Oda digunakan untuk menyapa mitra tutur yang usianya sebaya dan lebih muda dari penutur. Penggunaan kata sapaan Oda dalam masyarakat Sumba Barat Daya biasanya digunakan kepada orang yang baru dikenal dan dalam hubungan yang tidak begitu akrab. Sedangkan kata sapaan Ole biasanya digunakan untuk menyapa orang yang lebih muda,tua atau seumuran dengan penyapa dan dalam hubungan yang sudah akrab. Berikut ini contoh penggunaan kata sapaan Oda dan Ole.

(53) Oda, b’alimu weti rowe ne omadana?

„Teman, apakah kamu baru pulang dari memetik sayur?‟

(54) Ole, ya tuddu pu gai ritimu lima ngau!,

„Teman, pinjamkan saya uang lima puluh ribu rupiah.‟

2.5.2 Sapaan Kata Ganti Orang Kedua Jamak

Kata ganti orang kedua jamak dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya, yaitu Yemmi yang berarti kalian. Sapaan yemmi biasanya digunakan untuk menyapa kawan sebaya maupun orang yang lebih tua. Sapaan tersebut


(61)

dapat digunakan dalam situasi resmi maupun tidak resmi. Berikut contoh (55) dan (56) menunjukkan penggunaan kata sapaan Yemmi;

(55) Yemmi, nga’a ba ne loddo nena? „Kalian sudah makan, siang ini?

(56) Daiki urra ne podo’u mi Yemmi?

„Apakah tidak turun hujan ditempat kalian?

Tabel 4. Sapaan Berdasarkan Kata Ganti.

No Kata ganti Kata sapaan

1 Kata ganti orang kedua tunggal

Wou Oda Ole 2 Kata ganti orang kedua jamak Yemmi

2.6 Kata Sapaan Berdasarkan Status Sosial

Kata sapaan dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya dibedakan juga jenisnya berdasarkan status sosial. Walaupun peenggunaannya sudah jarang, masyarakat di kabupaten Sumba barat Daya masih memperhatikan perbedaan status, atau perbedaan kedudukan dalam masyarakat. Masyarakat Sumba Barat Daya menghormati status sosial yang lebih tinggi daripada lawan bicara. Beberapa bentuk sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan status sosial antara lain : Nyora, Maromba, tokko, rato, dawa,

Kata Sapaan Nyora yang berarti „Nyonya‟ digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa wanita dewasa yang memiliki status sosial tinggi dalam suatu masyarakat. Selain itu juga digunakan untuk menyebut orang yang


(62)

memiliki usaha tertentu atau kekayaan. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan tidak akrab. Berikut merupakan contoh pemakaian sapaan Nyora.

(57) Nyora, ge kako niamu? Mai kaku antargu! ‘Nyonya, mau ke mana? Ayo saya antar!

Kata sapaan Maromba secara harafia berarti „Tuan‟. Kata sapaan Maromba merupakan sapaan yang hanya digunakan untuk menyapa seorang Pastor atau Romo. Kata sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut merupakan contoh pemakaian sapaan Maromba kepada seorang Pastor/Romo.

(58) Maromba, jadi we pimpin misa ne wano danagu ba malam paskah?

„Romo, apakah jadi memimpin misa malam paskah di kampung saya?

Kata sapaan Tokko dan Rato secara harafiah berarti „raja‟. Namun, Penggunaan kata sapaan Tokko dan Rato berbeda. Sapaan Tokko digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa kepala adat sedangkan sapaan Rato merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang raja. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh dan penjelasannya.

(59) Tokko, tua ne Marapu appa we a salah kana mate kua ne pare! „Raja, tanyakan ke Marapu apakah ada yang salah sehingga padi di sawah mati!‟


(63)

(60) Rato, nati dara kaka na mua ba’! „Raja, kuda putihnya sudah hilang!

Contoh (59) menunjukkan penggunaan sapaan kepada kepala adat sedangkan contoh (60) menunjukkan penggunaan kata sapaan kepada seorang raja. Namun, untuk kata sapaan Rato telah mengalami pergeseran penggunaan. Sapaan Rato yang digunakan kepada raja tidak lagi digunakan untuk menyapa raja tetapi digunakan untuk menyapa anak laki-laki yang paling disayang. Hal tersebut disebabkan bahwa saat ini masyarakat Sumba tidak lagi memiliki raja.

Kata sapaan Dawa secara harafiah berarti „orang kota‟. Sapaan ini digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa orang yang berasal dari kota. Kata sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut contoh penggunaan kata sapaan Dawa.

(61) Wai kai luwa yemmi ne kota dana, Dawa?

Apakah kalian dikota juga memilik ubi, orang kota?‟

Tabel 5. Sapaan Berdasarkan Status sosial

No Status Sosial Kata Sapaan

1 Nyonya Nyora

2 Tuan Maromba

3 Raja Tokko

4 Raja Rato


(64)

2.7 Sapaan Berdasarkan Jabatan/Profesi

Identitas seseorang dapat juga ditentukan oleh jabatan/profesi yang dipangkunya. Biasanya ada yang menyapa seseorang menurut jabatan/profesi yang dipangkunya.

Dalam masyarakat Sumba, pemakaian sapaan dalam peristiwa komunikasi sudah semakin banyak, baik dari segi jumlah maupun dilihat dari segi variasi pemakaiannya. Hal ini dimungkinkan karena banyak jabatan/profesi kedinasan yang dimunculkan diberbagai bidang untuk merealisasikan tatanan masyarakat yang lebih baik dan teratur. Dalam penggunaannya, sapaan jabatan/profesi ini biasanya didahului oleh kata (ba)pak atau (i)bu, seperti (ba)pak polisi, (ba)pak Lurah, (i)bu dokter dan lain sebagainya. Dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya terdapat beberapa sapaan yang digunakan untuk menyapa orang yang memiliki profesi/jabatan.

Di bidang pemerintahan timbul berbagai jabatan, antara lain, bupati, camat, sekretaris camat (sekcam), lurah. Mereka biasanya disapa sesuai dengan jabatan masing-masing. Berikut contoh (62) dan (63) menujukkan penggunaan kata sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan pekerjaan dibidang pemerintahan.

(62) Ge wali niamu Pa Lurah? Dari mana, Pak Lurah?

(63) Mai belii ne uma ge Ibu sekcam!


(1)

47 Ego Guru (perempuan)

Bu

Guru, Ibu Guru, Guru

48 Ego Suster Sutera, Bu suter, ibu suter

49 Ego Dokter Dotera, Pak Dotera, bapak dokter


(2)

(3)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA

NO

Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan Penyapa Kata

Sapaan

Kekerabatan Jenis kelamin Usia Keakraban Status Sosial

Profesi/ Jabatan

Asal penutur Kerabat Bukan

kerabat

Pria Wanita Tua Muda Akrab Tidak Akrab

Desa Kota

1 Ego Ama + - + - + - + - - - - -

2 Ego Inna + - - + + - + - - - - -

3 Ego Ana Mane + - + - + + + - - - - -

4 Ego Ana Mawine + - - + + + + - - - - -

5 Ego Leiro + - - + + + + - - - - -

6 Ego Na’a + - + - + + + - - - - -

7 Ego Wotto + - - + + + + - - - - -

8 Ego Ama Kaweda + - + - + - + - - - + -

9 Ego Opa + - + - + - + - - - - +

10 Ego Inna Kaweda + - - + + - + - - - + -

11 Ego Oma + - - + + - + - - - - +

12 Ego Umbu + - + + + + + - - - - -

13 Ego Tamoama + - + - + + + - - - - -

14 Ego Tamoina + - - + + + + - - - - -

15 Ego Aiba + - + + + + + - - - - -

16 Ego Amaangua + - + - + - + - - - - -

17 Ego Inaangua + - - + + - + - - - - -

18 Ego Loka + - + - + + + - - - + -


(4)

NO

Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan Penyapa Kata

Sapaan

Kekerabatan Jenis kelamin Usia Keakraban Status Sosial

Profesi/ Jabatan

Asal penutur Kerabat Bukan

kerabat

Pria Wanita Tua Muda Akrab Tidak Akrab

Desa Kota

20 Ego Cama + - - + + + + - - - + -

21 Ego Tante + - - + + + + - - - - +

22 Ego Anakabine + - + + + + + - - - - -

23 Ego Anguleba + - + + + + + - - - - -

24 Ego Olebei + - + + + + + - - - - -

25 Ego Wera + + + + + - + - - - - -

26 Ego Wera + + + + + - + - - - - -

27 Ego Olesawa + + + - + + + - - - - -

28 Ego Wasse + + + + + + + - - - - -

29 Ego Ippa + + - + + + + - - - - -

30 Ego Kaweda - + + + + - - + - - - -

31 Ego Painna - + - + + - - + - - - -


(5)

NO

Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan Penyapa Kata

Sapaan

Kekerabatan Jenis kelamin Usia Keakraban Status Sosial

Profesi/ Jabatan

Asal penutur Kerabat Bukan

kerabat

Pria Wanita Tua Muda Akrab Tidak Akrab

Desa Kota

33 Ego Ka’a - + + + + - - + - - - -

34 Ego Alli - + + + - + - + - - - -

35 Ego

Menyebut nama lengkap/peng

gal

+ + + + - + + - - - - -

36 Ego

Menyebut nama anak pertama/terak

hir

+ + + + - + + - - - - -

37 Ego Wou - + + + - + - + - - - -

38 Ego Oda - + + + + + - + - - - -

39 Ego Ole - + + + - + + - - - - -

40 Ego Yemmi - + + + - + - + - - - -

41 Ego Nyora - + - + + - - + + - - -


(6)

NO

Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan Penyapa Kata

Sapaan

Kekerabatan Jenis kelamin Usia Keakraban Status Sosial

Profesi/ Jabatan

Asal penutur Kerabat Bukan

kerabat

Pria Wanita Tua Muda Akrab Tidak Akrab

Desa Kota

43 Ego Tokko - + + - + + + - - - - -

44 Ego Rato - + + - + + + - - - - -

45 Ego Dawa - + + + + + + - - - - -

46 Ego (ba) pak diikuti

profesi/jabatan - + + - + + + - - + - -

47 Ego (i)Bu diikuti

profesi/jabatan + + - + + + + - - + - -

48 Ego

Toungguru, Toungguru

kabani,

- + + - + + - + - + - -

49 Ego

Toungguru, Toungguru