PERAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MENANG

Hukum UII Yogyakarta) SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh: HARIS AS’AD NIM 21109016 JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2013

MOTO DAN PERSEMBAHAN M OT O

Hiduplan seperti rumput yang walaupun diinj ak, dihancurkan, di bakar, dipotong, tapi selalu muncul kembali. . . lebih hij au, lebih kuat, dari sebelumnya S o bertahanlah dan T abah, maka anda akan menj adi semakin kuat

P E R S E M BA H A N

S kripsi yang sederhana ini kupersembahkan untuk Bapak dan Umi ku tercinta, A dik dan K akak- kakak ku tersayang, teman- teman

A HS seangkatan, I will miss u.

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafaatnya. Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga bimbingan, pengarahan dan bantuan telah banyak penulis peroleh dari berbagai pihak. oleh karena itu, penulis mengcapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Ibu Evi Ariyani, M,H., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya guna membimbing hingga terselesaikannya skripsi ini;

2. Bapak Drs. Mubashirun, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga;

3. Bapak Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal al Syakhshiyyah;

4. Seluruh dosen STAIN Salatiga, yang selama 8 semester telah membagi ilmunya yang sangat bermanfaat;

5. Bapak dan Umi ku yang telah mencurahkan do’a dan keringat untuk anakmu ini, aku tidak akan pernah bisa membalasnya;

6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Teriring do’a dan harapan semoa amal baik dan jasa semua pihak tersebut diatas akan

mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT.Amin. Wassalamualaikum wr.wb.

Salatiga, 20 Agustus 2013

Penulis,

Haris as’ad 21109016

ABSTRAK

As’ad, Haris. 2013. PERAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MENANGANI KASUS- KASUS PERDATA ISLAM (Studi Komparasi Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Islam STAIN SALATIGA dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum UII Yogyakarta). Skripsi. Jurusan Syariah. Program Studi al Ahwal al Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Evi Ariyani, M.H.

Kata Kunci: lembaga bantuan hukum.

Penelitian ini berusaha mengetahui sejauh mana peran dari dua Lembaga Bantuan hukum yang sama-sama berbasis kampus dalam usahanya membantu klien. Penelitian ini dibatasi pada pada masalah hukum Islam. Kajian yang dibahas meliputi peran LKBHI STAIN SALATIGA dan LKBH UII YOGYAKARTA dalam mengadvokasi kasus perdata Islam, Prosedur penanganan kasus di LKBHI STAIN SALATIGA dan LKBH UII YOGYAKARTA, Kendala yang dihadapi LKBHI STAIN SALATIGA dan LKBH UII YOGYAKARTA serta strategi yang digunakan untuk mengatasinya. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan analisa komparatif.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang sangat banyak antara LKBHI STAIN Salatiga dengan LKBH UII Yogakarta. Diantaranya adalah LKBH UII tidak murni prodeo seperti yang diperintahkan oleh UU No 16 Tahun 2011. LKBHI STAIN Salatiga masih sangat kurang sumber daya baik manusia, finansial dan fasilitas. Selisih jumlah klien antar dua LBH tersebut sangat banyak, menunjukkan bahwa LKBH UII lebih banyak dikenal oleh masyarakat, lebih dipercaya dan baik dalam memerankan fungsinya sebagai pelayan hukum bagi masyarakat.

Dalam menangani kasus-kasus perdata Islam, kedua LBH secara prinsipil sama dalam hal prosedur pelayanan klien baik secara non litigasi maupun litigasi. Namun dalam aktualisasinya, LKBHI STAIN Salatiga masih kesulitan dalam memaksimalkan peranannya karena terhambat oleh banyaknya kendala-kendala internal maupun eksternal. Sedangkan LKBH UII Yogyakarta, berhasil memerankan penanganan kasus- kasus perdata Islam bahkan pada kasus-kasus umum dan khusus.

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kehidupan manusia senantiasa memiliki permasalahan, kadang masalah yang menimpa begitu rumit. Hal tersebut dikarenakan manusia adalah makhluk sosial, yang tak lepas dari dinamika sosial yang rawan konflik. Problematika hidup yang besar maupun kecil harus senantiasa diselesaikan. Namun untuk menyelesaikan masalah, seringkali tidak bisa dengan mudah untuk di atasi secara mandiri. Sehingga dibutuhkan pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut. Apalagi sampai ke ranah hukum, tentu hal itu membuat kondisi psikologi yang rawan. Ego masing-masing pihak untuk membenarkan pendapatnya membuat perkara semakin menguras pikiran, hati dan bahkan biaya. Maka dari itu orang yang berperkara membutuhkan nasehat, advis dan bantuan dari orang yang lebih mengetahui tentang hukum acara persidangan.

Sebagai negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana bunyi pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, maka negara harus menjamin persamaan setiap orang di hadapan hukum serta melindungi hak asasi manusia. Persamaan di hadapan hukum memiliki arti bahwa semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan perlakuan di hadapan hukum bagi setiap orang berlaku dengan tidak membeda-bedakan latar belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan atau tempat lahirnya), untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan.

Bentuk persamaan perlakuan di hadapan hukum adalah bahwa semua orang berhak untuk memperoleh pembelaan dari advokat sesuai dengan ketentuan undang-undang, sehingga tidak hanya orang yang mampu saja yang dapat memperoleh pembelaan dari advokat/penasihat hukum tetapi juga fakir miskin atau orang yang tidak mampu juga dapat hak yang sama dalam rangka memperoleh keadilan (access to justice).

Pada saat itulah Lembaga Bantuan Hukum dibutuhkan masyarakat untuk melayani dan memperjuangkan hak-hak keadilan khususnya bagi masyarakat kurang mampu. Karena kita tahu bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk pengacara professional sangat mahal. Sedangkan masyarakat tidak semuanya mampu untuk membayarnya. Dan mereka sangat terbantu dengan adanya Lembaga Bantuan Hukum yang dapat membantu mereka secara prodeo/gratis.

Untuk menunjukkan komitmen Pemerintah akan pentingnya LBH dimana hal itu merupakan wujud pengamalan amanat konstitusi dan pemenuhan hak asasi manusia. Maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum serta PP Nomor

42 Tahun 2013 yang membuat lebih jelas tentang eksistensi LBH. Peraturan tersebut juga mengatur unsur administratif dan unsur operasional LBH sehingga diharapkan lembaga bantuan hukum dapat lebih dimanfaatkan oleh masyarakat.

Kini telah banyak berdiri Lembaga Bantuan Hukum di setiap daerah karena hal itu memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Latar belakang pendirian LBH pun juga beragam, ada yang didirikan dengan khas kesukuan, akademisi, agama, maupun politik. Tentunya Universitas atau Perguruan Tinggi tak mau tertinggal dalam berkiprah mengabdi kepada masyarakat dalam dunia hukum sebagai salah satu asas Tri Dharma perguruan tinggi. Sejak tahun 1962, dimulai dari Universitas Indonesia telah mendirikan LBH berbasis kampus Kini telah banyak berdiri Lembaga Bantuan Hukum di setiap daerah karena hal itu memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Latar belakang pendirian LBH pun juga beragam, ada yang didirikan dengan khas kesukuan, akademisi, agama, maupun politik. Tentunya Universitas atau Perguruan Tinggi tak mau tertinggal dalam berkiprah mengabdi kepada masyarakat dalam dunia hukum sebagai salah satu asas Tri Dharma perguruan tinggi. Sejak tahun 1962, dimulai dari Universitas Indonesia telah mendirikan LBH berbasis kampus

Berlatar belakang akademisi, penggiat hukum di LBH kampus diharapkan mampu berperan dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang butuh bantuan hukum baik di luar maupun di dalam persidangan. Namun, mereka bukan advokat yang memiliki sertifikat yang bisa digunakan untuk mendampingi klien di muka sidang perdata, sehingga hal tersebut dikhawatirkan menjadi kendala dalam memaksimalkan fungsinya.

Lembaga Bantuan Hukum dalam ketentuanya dilarang meminta bayaran kepada pihak yang membutuhkan jasa hukum. Padahal dana sangat dibutuhkan oleh LBH untuk menjalankan program-progam yang telah dirancang ataupun untuk kebutuhan operasional kantor. Seperti pepatah jawa jer basuki mowo beo, dikhawatirkan jika tidak ada dana yang cukup maka keberlangsungan kerja dari LBH akan terhambat atau bahkan terhenti.

Masyarakat diharapkan mengetahui dan memanfaatkan lembaga bantuan hukum. Namun, hal itu nampaknya masih menjadi persoalan tersendiri mengingat memang masih banyak masyarakat kita yang kurang melek hukum, atau yang biasa disebut buta hukum. Istilah buta hukum adalah lapisan masyarakat yang buta huruf atau berpendidikan rendah yang tidak menyadari dan mengetahui hak-haknya sebagai subjek hukum atau karena kedudukan sosial dan ekonomi serta akibat tekanan dari yang lebih kuat sehingga tidak memiliki keberanian untuk membela hak-haknya (Nasution,1981:1)

Ketika masyarakat membutuhkan jasa konsultasi, konselor di sebuah LBH semestinya selalu ada dan siap, mengingat masalah yang menimpa seseorang itu bak penyakit yang datang tak terduga. Serta sudahkah LBH mendampingi masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum secara tuntas dan optimal. Penasehat hukum yang diberi Ketika masyarakat membutuhkan jasa konsultasi, konselor di sebuah LBH semestinya selalu ada dan siap, mengingat masalah yang menimpa seseorang itu bak penyakit yang datang tak terduga. Serta sudahkah LBH mendampingi masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum secara tuntas dan optimal. Penasehat hukum yang diberi

Melihat geliat kegiatan advokasi Lembaga Bantuan Hukum yang lahir di kampus, penulis tertarik untuk meneliti pada dua LBH di dua kampus, yaitu di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Islam STAIN SALATIGA dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA. Karena LKBHI STAIN Salatiga merupakan LBH yang tergolong baru dan sedang berkembang, sedangkan di Salatiga masih sangat minim LBH. Padahal frekuensi kasus yang ditangani oleh Pengadilan Agama cukup tinggi, sehingga hal tersebut bisa menjadi sarana untuk memerankan fungsinya sebagai lembaga pemberi bantuan hukum. Peneliti juga tertarik untuk meneliti LKBH UII Yogyakarta karena lembaga tersebut merupakan salah satu LBH yang cukup matang di Yogyakarta dan sama-sama lahir dari kampus. Yogyakarta sebagai kota besar tentunya memiliki kompleksitas kasus-kasus hukum yang dapat menjadi sarana lembaga tersebut untuk melakukan peran dan fungsinya.

Penelitian ini terfokus pada lembaga bantuan hukum yang lahir dari kalangan kampus dan objek hukum yang ditangani adalah perkara perdata khususnya yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Untuk itu penulis mengambil judul “PERAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MENANGANI KASUS-KASUS PERDATA ISLAM (Studi

Komparasi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Islam STAIN Salatiga dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum UII Yogyakarta).

B. FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini terfokus pada dua Lembaga Bantuan Hukum berbasis kampus, yaitu LKBHI STAIN Salatiga dan LKBH UII Yogyakarta. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti memfokuskan pada beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peran LKBHI STAIN SALATIGA dan LKBH UII YOGYAKARTA dalam mengadvokasi kasus perdata Islam?

2. Bagaimanakah prosedur penanganan kasus di LKBHI STAIN SALATIGA dan LKBH UII YOGYAKARTA?

3. Kendala apa saja yang dihadapi LKBHI STAIN SALATIGA dan LKBH UII YOGYAKARTA serta strategi apa yang digunakan untuk mengatasinya?

C. TUJUAN PENELITIAN

Dalam penelitian ini tentunya penulis mempunyai tujuan-tujuan tertentu sebagai mahasiswa syari’ah di STAIN SALATIGA. Sebagai konsekwensi dari permasalahan pokok, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengetahui peran LKBHI STAIN SALATIGA dan LKBH UII YOGYAKARTA dalam mengadvokasi kasus perdata Islam.

2. Mengetahui prosedur penanganan kasus di LKBHI STAIN SALATIGA dan LKBH UII YOGYAKARTA.

3. Meengetahui kendala apa saja yang dihadapi LKBHI STAIN SALATIGA dan LKBH UII YOGYAKARTA serta strategi apa yang digunakan untuk mengatasinya.

D. KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian ini semoga bermanfaat untuk;

1. Manfaat Akademik

a. Menambah wawasan tentang peran Lembaga Bantuan Hukum berbasis kampus.

b. Sebagai bahan komparasi bagi peneliti selanjutnya dalam penelitian lembaga bantuan hukum.

2. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini, penulis berharap dapat bermanfaat bagi:

a. Kedua LBH yang diteliti agar lebih meningkatkan mutu pelayanan dan bantuan kepada masyarakat.

b. Mengaplikasikan hukum perdata Islam dalam upaya memberikan solusi hukum kepada masyarakat dalam hal perceraian.

c. Masyarakat agar lebih mengetahui dan memahami kedua LBH yang diteliti sehingga dapat memanfaatkan jasa LBH tersebut.

E. PENEGASAN ISTILAH

Peran adalah sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama dalam terjadinya suatu hal atau peristiwa.

(Poerwadarminta, 2006: 870)

Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. (UU No 16 Tahun 2011)

Kasus adalah keadaan yg sebenarnya dari suatu urusan atau perkara; keadaan atau kondisi khusus yg berhubungan dng seseorang atau suatu hal; soal; perkara. ( Poerwadarminta, 2006:527)

Perdata Islam adalah hukum yang mengatur hal-hal keperdataan yang dilandaskan pada syariat Islam.

F. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena penelitian ini membutuhkan data-data empiris dari kegiatan objek penelitian. Sehingga, pengetahuan diperoleh dari hasil pengamatan terhadap fenomena yang terjadi.. Apa yang harus dilakukan adalah mengamati apa yang terjadi dan membuat kesimpulan. Pengetahuan didapatkan atas berbagai fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi. Kemudian data yang diperoleh dari kedua objek tersebut dikomparasikan menurut variable-variabel yang sudah ditentukan.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Karena penelitian ini membutuhkan pemahaman (verstehen) tentang peranan kegiatan objek penelitian dengan implementasi perundang-undangan yang mengatur bantuan hukum.

2. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus pengumpul data. Status peneliti dalam mengumpulkan data diketahui sebagai peneliti. Peneliti dalam hal ini sebagai pengamat penuh, jadi peneliti tidak akan ikut secara penuh dalam kegiatan objek, Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus pengumpul data. Status peneliti dalam mengumpulkan data diketahui sebagai peneliti. Peneliti dalam hal ini sebagai pengamat penuh, jadi peneliti tidak akan ikut secara penuh dalam kegiatan objek,

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Islam (LKBHI) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga yang berlokasi di Jalan Tentara pelajar No. 2 Kota Salatiga. Peneliti memilih lokasi ini karena LBH di kampus ini merupakan LBH yang tergolong baru, dan menempati wilayah di kota Salatiga yang notabene memiliki keragaman masyarakatnya. Dan di Klinik Hukum Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jalan Lawu Nomor 3 Kotabaru, Yogyakarta. Peneliti memilih lokasi ini karena LBH ini merupakan LBH yang cukup mapan dan terletak di kota Yogyakarta yang memiliki dinamika sosial masyaraktnya yang cukup menarik.

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik bola salju (snowball

responden dipilih berdasarkan penunjukan/rekomendasi sebelumnya (Ashshofa, 2004:89), sehingga adalah;

sampling)

yaitu sampel atau

a. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber, yakni berupa kata-kata dan tindakan dari narasumber. Sumber data utama ini dicatat dan di rekam. Narasumber dipilih dan diurutkan sesuai kapasitasnya.

b. Sumber data sekunder, yaitu data-data yang didapatkan dari dokumentasi kegiatan kedua LBH serta buku-buku yang relevan dengan penelitian ini.

5. Prosedur Pengumpulan Data 5. Prosedur Pengumpulan Data

Yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengmatan dan pencatatan secara langsung dengan sistematis terhadaap fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam penelitian ini peneliti akan turun kelapangan untuk menggali data melalui observasi non partisipan. Yaitu observasi yang menjadikan peneliti sebagai penonton atau penyaksi terhadap gejala atau kejadian yang menjadi topic penelitian. Dalam observasi jenis ini peneliti melihat atau mendengarkan pada situasi sosial tertentu tanpa partisipasi aktif di dalamnya (Emzir,2011:40)

Melalui observasi, deskripsi objektif dari individu-individu dalam hubungannya yang aktual satu sama lain dan hubungan mereka dengan lingkungannya dapat diperoleh. Dengan mencatat tingkah laku ekspresi mereka yang timbul secara wajar, tanpa dibuat-buat, teknik observasi menjadi proses pengukuran (evaluasi) itu tanpa merusak atau mengganggu kegiatan-kegiatan normal dari kelompok atau individu yang diamati. Data yang dikumpulkan melalui observasi mudah dan dapat dianalisis .

b. Wawancara mendalam

Wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis data dengan teknik komunikasi secara langsung (Surakhmad,1990:174). Wawancara mutlak diperlukan karena mengingat penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan sumber data primer penelitian ini merupakan pengurus dari kedua LBH yang diteliti.

c. Dokumentasi

Peneliti mengumpulkan data tambahan dengan teknik dokumentasi, yaitu mencari data yang relevan berupa catatan, buku, makalah, dan website. Hal ini Peneliti mengumpulkan data tambahan dengan teknik dokumentasi, yaitu mencari data yang relevan berupa catatan, buku, makalah, dan website. Hal ini

6. Analisis Data

Analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan data Data tersebut dianalisis seperlunya agar diperoleh data yang matang dan akurat. Untuk menganalisisnya, data-data yang diperoleh kemudian direduksi, dikategorikan dan selanjutnya disentisasi atau disimpulkan (Moleong, 2011:288). Data yang didapat akan di kategorikan dan di komparasikan menurut variable yang ditentukan.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Agar diperoleh temuan dan interpretasi yang abash, maka data temuan diteliti kredibilitasnya dengan menggunakan teknik triangulasi. Yaitu dengan pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain,(menggunakan beberapa sumber, metode, peneliti, teori) di luar data itu sebagai pembanding. Pengecekan dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan yang terlewati oleh peneliti, dengan cara menulis ulang atau mewawancarai ulang salah satu subjek penelitian untuk menguatkan data yang diperlukan (Nugrahani,2010:39).

G. SISTEMATIKA PENELITIAN

Sistematika penulisan dalam hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, dalam bab pertama ini penulis memaparkan latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, focus penelitian, penegasan istilah, metode pelitian yang berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi BAB I Pendahuluan, dalam bab pertama ini penulis memaparkan latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, focus penelitian, penegasan istilah, metode pelitian yang berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi

BAB II Kajian Pustaka, pada bab kedua ini penulis memaparkan tentang bantuan hukum, pengertian lembaga bantuan hukum, sejarah bantuan hukum dalam institusional dan konstitusional, fungsi dan tujuan bantuan hukum, unsur-unsur bantuan hukum, syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum menurut PP NO 42 Tahun 2013 serta parameter peran sebuah LBH.

BAB III Profil LKBHI STAIN SALATIGA dan Profil LKBH UII YOGYAKARTA. Bab ketiga ini memaparkan gambaran umum tentang profil kedua LKBH yang diteliti serta menjelaskan program kerja, data perkara klien, prosedur penanganan klien, sumber daya dan upaya kedua LKBH dalam menghadapi dan mengatasi kendala untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, penulis menguraikan kendala teknis dan non teknis dalam mengadvokasi.

BAB IV merupakan analisis data dari temuan-temuan data diatas dan mengkomparasikan kedua LKBH tersebut dari berbagai aspek.

BAB V Penutup, bab terakhir ini penulis menguraikan beberapa kesimpulan penelitian berdasarkan analisis dan saran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Bantuan Hukum

1. Pengertian Bantuan Hukum

Bantuan hukum berasal dari kata “bantuan” yang berati pertolongan dengan tanpa mengharapkan imbalan dan kata “hukum” yang mengandung pengertian keseluruhan kaidah atau norma mengenai suatu segi kehidupan masyarakat dengan maksud untuk menciptakan kedamaian.

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 1 angka 9 memberikan pengertian bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Tidak jauh berbeda pengertian yang disebutkan dalam UU No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.

Frans Hendra Winarta (2000:23) menyatakan bahwa bantuan hukum merupakan jasa hukum yang khusus diberikan kepada fakir miskin yang memerlukan pembelaan secara cuma-cuma, baik di luar (non litigation). maupun di dalam pengadilan (litigation) , secara pidana, perdata dan tata usaha negara, dari seseorang yang mengerti seluk beluk pembelaan hukum, asas-asas dan kaidah hukum, serta hak asasi manusia.

Pengertian bantuan hukum mempunyai ciri dalam istilah yang berbeda menurut Yahya Harahap (2002:334), yaitu;

a. Legal Aid

Bantuan hukum, sistem nasional yang diatur secara lokal dimana bantuan hukum ditujukan bagi mereka yang kurang keuangannya dan tidak mampu membayar penasehat hukum pribadi. Dari pengertian ini jelas bahwa bantuan hukum yang dapat membantu mereka yang tidak mampu menyewa jasa penasehat hukum. Jadi Legal Aid berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara dimana dalam hal ini :

a. Pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan cuma-cuma;

b. Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin;

c. Degan demikian motivasi utama dalam konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan berbeda kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tidak punya dan buta hukum.

b. Legal Assistance

Pengertian legal assistance menjelaskan makna dan tujuan dari bantuan hukum lebih luas dari legal aid. Legal assistance lebih memaparkan profesi dari penasehat hukum sebagai ahli hukum, sehingga dalam pengertian itu sebagai ahli hukum, legal assistance dapat menyediakan jasa bantuan hukum untuk siapa saja tanpa terkecuali. Artinya, keahlian seorang ahli hukum dalam memberikan bantuan hukum tersebut tidak terbatas pada masyarakat miskin saja, tetapi juga bagi yang mampu membayar prestasi.

Bagi sementara orang kata legal aid selalu harus dihubungkan dengan orang miskin yang tidak mampu membayar advokat, tetapi bagi sementara Bagi sementara orang kata legal aid selalu harus dihubungkan dengan orang miskin yang tidak mampu membayar advokat, tetapi bagi sementara

c. Legal Service

Clarence J. Diaz dalam bukunya Bambang Sunggono (1994:9) memperkenalkan pula istilah “legal service”. Pada umumnya kebanyakan lebih cendrung memberi pengertian yang lebih luas kepada konsep dan makna legal service dibandingkan dengan konsep dan tujuan legal aid atau legal assistance.

Bila diterjemahkan secara bebas, arti dari legal service adalah pelayanan hukum, sehingga dalam pengertian legal service, bantuan hukum yang dimaksud sebagai gejala bentuk pemberian pelayanan oleh kaum profesi hukum kepada khalayak di dalam masyarakat dengan maksud untuk menjamin agar tidak ada seorang pun di dalam masyarakat yang terampas haknya untuk memperoleh nasehat-nasehat hukum yang diperlukannya hanya oleh karena sebab tidak dimilikinya sumber daya finansial yang cukup.

Istilah legal service ini merupakan langkah-langkah yang diambil untuk menjamin agar operasi sistem hukum di dalam kenyataan tidak akan menjadi diskriminatif sebagai adanya perbedaan tingkat penghasilan, kekayaan dan sumber-sumber lainnya yang dikuasai individu-individu di Istilah legal service ini merupakan langkah-langkah yang diambil untuk menjamin agar operasi sistem hukum di dalam kenyataan tidak akan menjadi diskriminatif sebagai adanya perbedaan tingkat penghasilan, kekayaan dan sumber-sumber lainnya yang dikuasai individu-individu di

1) Memberi bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan.

2) Dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang dibenarkan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan miskin.

3) Di samping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada yang di berikan hukum kepada setiap orang, legal service di dalam operasionalnya, lebih cendrung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian.

Bantuan hukum memiliki dua konsep (Abdurrahman, 1983:18), yaitu konsep probono dan konsep legal aid. Dalam konsep probono meliputi empat elemen, yaitu :

1) Meliputi seluruh kerja-kerja di wilayah hukum

2) Sukarela

3) Cuma-Cuma

4) Untuk Masyarakat yang kurang terwakili dan rentan.

Sedangkan konsep legal aid merujuk pada pengertian “state subsidized” artinya pelayanan hukum yang dibiayai atau disubsidi oleh negara. Ide bantuan hukum yang dibiayai negara (publicly funded legal aid ) pertama kali ditemukan di Inggris dan Amerika Serikat. Setelah perang dunia ke dua berakhir, pemerintah Inggris membentuk the Rushcliff Committee dengan tujuan untuk meneliti kebutuhan bantuan hukum di Inggris dan Wales. Berdasarkan laporan dari the Rushcliff Committee merekomendasikan bahwa bantuan hukum harus dibiayai oleh negara.

Sedangkan di Amerika Serikat awalnya bantuan hukum merupakan bagian dari program anti kemiskinan pada tahun 1964. Di Amerika mengenal istilah Miranda Rule yang merupakan hak tersangka sebelum diperiksa oleh penyidik/instansi yang berwenang. Miranda Rule berbunyi “You have the right to remain silent. You have the right to the pressence of an attorney. If you cannot afford an attorney, one will be appointed for you. Anything you say can and will be used against you.”Miranda Rule hanya merupakan penegasan saja terhadap hak-hak asasi manusia untuk memperoleh keadilan yang telah ada sebelumnya. Keadilan di sini termasuk keadilan atas kepastian hukum dalam tata cara mengadilinya (Lubis, 2010:15).

Perubahan konsep dalam pemberian bantuan hukum sangat mempengaruhi kemajuan program bantuan hukum di Indonesia. Konsep bantuan hukum tradisional yang dahulu dipakai ternyata tak mampu menjawab semua permasalahan yang terjadi di lapangan, sehingga memunculkan konsep baru yaitu konsep bantuan hukum konstitusional untuk menutupi kelemahan bantuan hukum yang bersifat tradisional. Lambat laun konsep bantuan hukum konstitusional pun dimodifikasi dengan memperkenalkan gerakan bantuan hukum struktural yang dimotori oleh lembaga bantuan Perubahan konsep dalam pemberian bantuan hukum sangat mempengaruhi kemajuan program bantuan hukum di Indonesia. Konsep bantuan hukum tradisional yang dahulu dipakai ternyata tak mampu menjawab semua permasalahan yang terjadi di lapangan, sehingga memunculkan konsep baru yaitu konsep bantuan hukum konstitusional untuk menutupi kelemahan bantuan hukum yang bersifat tradisional. Lambat laun konsep bantuan hukum konstitusional pun dimodifikasi dengan memperkenalkan gerakan bantuan hukum struktural yang dimotori oleh lembaga bantuan

2. Penerima Bantuan Hukum

Dalam UU No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum di sebutkan bahwa penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Koalisi Untuk Bantuan Hukum (KUBAH) dalam Draft Rangcangan Undang-Undang Bantuan Hukum versi KUBAH sebelum Undang-Undang ini ditetapkan mengusulkan agar definisi penerima bantuan hukum tidak semata-mata hanya diterjemahkan orang yang tidak mampu secara ekonomi, namun juga orang atau kelompok yang termarjinalkan karena suatu kebijakan publik; Orang atau kelompok yang hak-hak sipil dan politiknya terabaikan; Komunitas masyarakat adat; perempuan dan penyandang cacat hingga mereka para korban pelanggaran hak-hak dasar seperti penggusuran dan lain-lain.

Mochtar Kusumaatmadja (1975:7) Pemberian bantuan hukum bagi orang-orang yang tidak mampu dimaksudkan sebagai suatu cara untuk memperbaiki ketidakseimbangan sosial. Seseorang yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan hukum, harus menunjukkan bukti-bukti tentang kemiskinannya, misalkan dengan memperlihatkan suatu pernyataan dari Lurah yang disahkan Camat, mengenai penghasilannya yang rendah atau orang tersebut sama sekali tak berpenghasilan dan keterangan-keterangan lain yang berhubungan dengan kemiskinan.

Untuk menjelaskan suatu definisi terhadap suatu arti dari ketidakmampuan adalah sukar sekali. Meskipun cara-cara untuk menyelidiki ketidakmampuan ini tampaknya mudah, tetapi pembuktiannya adalah sangat sulit, tetapi dalam keadaan tertentu seperti lembaga bantuan hukum yang didirikan berdasarkan undang-undang dan dibiayai oleh Untuk menjelaskan suatu definisi terhadap suatu arti dari ketidakmampuan adalah sukar sekali. Meskipun cara-cara untuk menyelidiki ketidakmampuan ini tampaknya mudah, tetapi pembuktiannya adalah sangat sulit, tetapi dalam keadaan tertentu seperti lembaga bantuan hukum yang didirikan berdasarkan undang-undang dan dibiayai oleh

3. Pemberi Bantuan Hukum

Dijelaskan dalam UU Tentang Bantuan Hukum No. 16 Tahun 2011 Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum. Memang tidak semua Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan dalam konteks aturan ini bisa menjadi Pemberi Bantuan Hukum. Dimana di dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan:

1) Pelaksanaan Bantuan Hukum dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang ini.

2) Syarat-syarat Pemberi Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. berbadan hukum;

b. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini;

c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;

d. memiliki pengurus; dan

e. memiliki program Bantuan Hukum.

Hal diatas sangatlah berbeda pengertiannya dengan definisi Bantuan Hukum dalam UU Advokat. Pasal 22 UU Advokat berbunyi: “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Sehingga yang dititik beratkan dalam UU Bantuan Hukum adalah aspek kewajiban dan Hal diatas sangatlah berbeda pengertiannya dengan definisi Bantuan Hukum dalam UU Advokat. Pasal 22 UU Advokat berbunyi: “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Sehingga yang dititik beratkan dalam UU Bantuan Hukum adalah aspek kewajiban dan

Walaupun demikian, UU Bantuan Hukum ini secara jelas menyebutkan posisi Advokat menjadi bagian dari Pemberi Bantuan Hukum yang dalam hal ini bernaung dalam wadah Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan.

Dalam konteks UU Bantuan Hukum ini bisa dikatakan bahwa untuk menjalankan fungsi seperti proses konsultasi, pendidikan hukum, investigasi maupun dokumentasi dapat dilakukan oleh pembela publik lainnya, namun untuk menghadap di persidangan tetap harus dilakukan seorang Advokat.

Untuk mengatasinya biasanya dilakukan dengan merekrut Voluntary Lawyer, yaitu advokat yang menjadi relawan di organisasi bantuan hukum maupun Ghost Lawyer, yaitu advokat mempersiapkan segala sesuatu untuk kepentingan persidangan seperti gugatan, jawab-menjawab dalam peradilan perdata, namun yang hadir/menghadap di persidangan adalah pencari keadilan sendiri.

B. Unsur-Unsur Bantuan Hukum

1. Adanya jasa hukum.

Pemberian bantuan diberikan dalam ruang lingkup permasalahan hukum yang dialami oleh orang yang membutuhkan bantuan karena keterlibatannya dalam masalah hukum sedangkan orang tersebut kurang mengerti hukum atau kurang mengetahui hukum dan termasuk orang yang tidak mampu dalam segi keuangan.

2. Tindakan untuk menjadi pembela/kuasa di luar maupun di dalam pengadilan.

Tindakan yang dilakukan oleh pemberi bantuan hukum berupa pembelaan- pembelaan yang dilakukan sebagai pembela/penasehat hukum dalam perkara pidana yang dilakukan mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Tindakan yang dilakukan oleh pemberi bantuan hukum dalam penanganan perkara perdata/tata usaha negara untuk menjadi kuasa guna mewakili, bertindak untuk dan atas nama serta guna kepentingan orang yang membutuhkan bantuan hukum baik di dalam maupun di pengadilan.

3. Adanya nasehat-nasehat hukum/konsultan hukum.

Memberikan nasehat, pertimbangan, pengertian dan pengetahuan hukum kepada orang yang membutuhkan bantuan hukum terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang sedang dihadapi.

Bantuan hukum diberikan kepada orang yang tidak mampu tetapi jangan diartikan hanya sebagai bentuk belas kasihan kepada yang lemah semata. Seharusnya selain membantu orang miskin, bantuan hukum juga merupakan gerakan moral yang memperjuangkan hak asasi manusia juga untuk mewujudkan cita-cita negara kesejahteraan (welfare state) dan keadilan sosial.

C. Sejarah Bantuan Hukum 1. Secara Konstitusional

Kalau bantuan hukum diartikan sebagai charity maka bantuan hukum di Indonesia sudah ada sejak tahun 1500-an bersamaan dengan datangnya bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Praktek bantuan hukum terlihat adanya praktek gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat di mana dalam masalah-masalah tertentu masyarakat meminta Kalau bantuan hukum diartikan sebagai charity maka bantuan hukum di Indonesia sudah ada sejak tahun 1500-an bersamaan dengan datangnya bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Praktek bantuan hukum terlihat adanya praktek gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat di mana dalam masalah-masalah tertentu masyarakat meminta

Di zaman Hindia Belanda, ada dua golongan pemberi bantuan hukum. Golongan pertama disebut “advocaten en procureurs” yang diatur dalam ketentuan pasal 185 sampai 192 dari Reglement op de rechterlijke organisatie en het beleid der justitie in Indonesie, disingkat RO yang di undangkan pada tanggal 30 April 1847 dengan Staatsblad tahun 1847 nomor 23 dan Staatsblad tahun 1848 nomor 57. Dan golongan kedua disebut “zaakwaarnemers”, yang diatur dalam Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden dimuat dalam Staatsblad tahun 1927 nomor 496. Terakhir ini terkenal dengan istilah pokrol atau pembela dan pengacara (Prodjohamidjojo,1982:5).

Dalam hukum positif Indonesa, bantuan hukum sudah diatur dalam pasal 250 HIR ayat 5. Dalam pasal ini jelas mengatur tentang bantuan hukum bagi terdakwa dalam perkara-perkara tertentu yaitu perkara yang diancam dengan hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup walaupun dalam pasal ini prakteknya lebih mengutamakan bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia. Dan bagi ahli hukum yang ditunjuk wajib memberikan bantuan hukum dengan cuma-Cuma (Soesilo,1979:182).

Meskipun HIR berlaku terbatas namun bisa ditafsirkan sebagai awal mula pelembagaan bantuan hukum ke dalam hukum positif Indonesia. Sebelum adanya undang-undang yang mengatur tentang hukum acara maka ketentuan HIR masih tetap berlaku. Pada tahun 1970 lahirnlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang di dalam Pasal 35, 36, dan 37 mengatur tentang bantuan hukum.

Selain itu, Pasal 56 (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan: "Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka;". Biaya yang dikeluarkan untuk penasihat hukum dalam kaitannya dengan Pasal 56 KUHAP, akan dialokasikan melalui pendanaan dari anggaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia.

Kemudian Indonesia juga mengatur bantuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyatakan dalam Pasal 22: "Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu."

Pada tahun 2005, Indonesia merupakan negara penandatangan pada International Covenant on Civil and Political Rights, dan telah meratifikasi perjanjian internasional ini melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, meski Indonesia saat itu tidak memiliki undang-undang khusus atau peraturan yang meengatur praktik bantuan hukum.

Untuk mengimplementasikan ketentuan ini, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, yang menyebutkan: "Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, Untuk mengimplementasikan ketentuan ini, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, yang menyebutkan: "Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa,

Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa PP 83/2008, secara substantif, tidak mengatur bantuan hukum, melainkan mengatur bagaimana advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Dengan demikian, subyek dari PP 83/2008 adalah advokat, bukan bantuan hukum.

Kemudian pada Tahun 2011 DPR telah mengesahkan UU No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang mengatur secara rinci tentag bantuan hukum di Republik ini. Diundangkan pada tanggal 2 November 2011 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 5248. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Undang- Undang Bantuan Hukum ini sedikit tidaknya mengadopsi konsep legal aid merujuk pada pengertian “state subsidized” atau pelayanan hukum yang dibiayai atau disubsidi oleh negara. Ketentuan mengenai kewenangan negara yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI terdapat dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi:

1) Bantuan Hukum diselenggarakan untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi Penerima Bantuan Hukum”.

2) Pemberian Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.

3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas:

a. menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan Bantuan Hukum; a. menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan Bantuan Hukum;

c. menyusun rencana anggaran Bantuan Hukum;

d. mengelola anggaran Bantuan Hukum secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel; dan

e. menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan Bantuan Hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran.

2. Secara Institusional

Secara institusional, lembaga atau biro bantuan hukum dalam bentuk konsultasi hukum pernah didirikan di Rechtshoge School Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker. Biro ini didirikan dengan maksud untuk memberikan nasehat hukum kepada rakyat tidak mampu dan juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum.

Pada tahun 1953 didirikan semacam Biro Konsultasi Hukum pada sebuah perguruan Tionghoa Sim Ming Hui atau Tjandra naya. Biro ini didirikan oleh Prof, Ting Swan Tiong. Pada sekitar tahun 1962 Prof. Ting Swan Tiong mengusulan kepada Fakultas Hukum Universitas Indonesia agar di Fakultas Hukum didirikan Biro Konsultasi Hukum. Usulan ini disambut baik dan didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia. Pada tahun 1968 diubah namanya menjadi Lembaga Konsultasi Hukum lalu pada tahun 1974 diubah menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum. Di daerah lain biro serupa juga didirikan di Fakultas Hukum Universitas Pajajaran pada tahun 1967 oleh Prof. Mochtar Kusumatmadja.

Adnan Buyung Nasution, S.H. dalam Kongres Peradin III tahun 1969 mengajukan ide tentang perlunya pembentukan Lembaga Bantuan Hukum yang dalam Kongres tersebut akhirnya mengesahkan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia.

Kemudian ditindak lanjuti dengan berdirinya LBH Jakarta yang pada akhirnya diikuti berdirinya LBH-LBH lainnya di seluruh Indonesia. Tidak ketinggalan pula organisasi- organisasi politik, buruh, dan perguruan tinggi juga ikut pula mendirikan LBH-LBH seperti, LBH Trisula, LBH MKGR, LBH Kosgoro, dan sebagainya.

Dengan adanya LBH-LBH di seluruh Indonesia maka muncul Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang bertujuan untuk mengorganisir dan merupakan naungan bagi LBH-LBH. YLBHI menyusun garis-garis program yang akan dilaksanakan bersama di bawah satu koordinasi sehingga diharapkan kegiatan-kegiatan bantuan hukum dapat dikembangkan secara nasional dan lebih terarah di bawah satu koordinasi.

D. Tujuan Bantuan Hukum

Tujuan program bantuan hukum berbeda-beda dan berubah-ubah, bukan saja dari suatu negara ke negara lainnya, melainkan juga dari satu zaman ke zaman lainnya, suatu penelitian yang mendalam tentang sejarah pertumbuhan program bantuan hukum telah dilakukan oleh Dr. Mauro Cappeleti, dari penelitian tersebut ternyata program bantuan hukum kepada masyarakat miskin telah dimulai sejak zaman Romawi. Dari penelitian tersebut, dinyatakan bahwa tiap zaman arti dan tujuan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu erat hubungannya dengan nilai-nilai moral, pandangan politik dan falsafah hukum yang berlaku (Nasution, 1988:4).

Berdasarkan penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa banyak faktor yang turut berperan dalam menentukan apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari pada suatu program bantuan hukum itu sehingga untuk mengetahui secara jelas apa sebenarnya yang menjadi tujuan daripada suatu program bantuan hukum perlu diketahui bagaimana cita-cita moral yang menguasai suatu masyarakat, bagaimana kemauan politik yang dianut, serta falsafah hukum yang melandasinya. Misalnya saja pada zaman Romawi pemberian bantuan hukum Berdasarkan penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa banyak faktor yang turut berperan dalam menentukan apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari pada suatu program bantuan hukum itu sehingga untuk mengetahui secara jelas apa sebenarnya yang menjadi tujuan daripada suatu program bantuan hukum perlu diketahui bagaimana cita-cita moral yang menguasai suatu masyarakat, bagaimana kemauan politik yang dianut, serta falsafah hukum yang melandasinya. Misalnya saja pada zaman Romawi pemberian bantuan hukum

Tujuan bantuan hukum pada negara-negara berkembang pada dasarnya mengadopsi tujuan bantuan hukum di negara-negara barat, yaitu:

1. Untuk menjalankan fungsi dan integritas peradilan yang baik.

2. Bantuan hukum merupakan tuntutan perikemanusiaan.

3. Untuk membangun satu kesatuan sistem hukum nasional.

4. Untuk melaksanakan secara efektiif peraturan-peraturan kesejahteraan sosial untuk kepentingan warga tidak mampu atau miskin.

5. Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab yang lebih besar dari pejabat-pejabat pemerintahan atau birokrasi kepada masyarakat.

6. Untuk memperkuat profesi hukum. Di Indonesia, berdasarkan pada anggaran dasar Lembaga Bantuan Hukum, bantuan hukum mempunyai tiga tujuan yang hendak dicapai oleh Lembaga Bantuan Hukum yang semuanya merupakan satu kesatuan yang bulat yang tidak dapat dipisah- pisahkan karena masing-masing adalah merupakan aspek-aspek problema hukum yang besar yang dihadapi oleh bangsa dan Negara (Abdurrahman, 1978:17). Tujuan bantuan hukum tersebut adalah:

1. Untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan;

2. Untuk mendidik masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dengan tujuan menumbuhkan dan membina kesadaran akan hak-hak sebagai subjek hukum.

3. Untuk turut serta mengadakan pembaharuan hukum dan perbaikan pelaksanaan hukum di segala bidang.

E. Peranan/Fungsi Lembaga Bantuan Hukum dalam Melakukan Advokasi Hukum

Di dalam buku “ 2 tahun berdirinya Lembaga Bantuan Hukum” yang di keluarkan oleh Lembaga Bantuan Hukum tahun 1972, dijelaskan mengenai peranan dan fungsi LBH adalah sebagai berikut :

1. Public service.

Sehubungan dengan kondisi sosial ekonomis karena sebagian besar dari masyarakat kita tergolong tidak mampu atau kurang mampu untuk menggunakan dan membayar jasa advokat, maka Lembaga Bantuan Hukum memberikan jasa-jasanya dengan cuma-cuma

2. Social education.

Sehubungan dengan kondisi sosial ultural, dimana lembaga dengan suatu perencanaan yang matang dan sistematis serta metode kerja yang praktis harus memberikan penerangan-penerangan dan petunjuk-petunjuk untuk mendidik masyarakat agar lebih sadar dan mengerti hak-hak dan kewajiban-kewajibannya menurut hukum.

3. Perbaikan tertib hukum.

Sehubungan dengan kondisi sosial politik, dimana peranan lembaga tidak hanya terbatas pada perbaikan-perbaikan di bidang peradilan pada umumnya pada profesi Sehubungan dengan kondisi sosial politik, dimana peranan lembaga tidak hanya terbatas pada perbaikan-perbaikan di bidang peradilan pada umumnya pada profesi

4. Pembaharuan hukum.

Dari pengalaman-pengalaman praktis dalam melaksanakan fungsinya ditemukan banyak sekali peraturan-peraturan hukum yang sudah usang tidak memenuhi kebutuhan baru, bahkan kadang-kadang bertentangan atau menghambat perkembangan keadaan. Lembaga Bntuan Hukum dapat mempelopori usul-usul perubahan undang-undang.

5. Pembukaan lapangan kerja.