PERBANYAKAN BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L.) VARIETAS DEWI SECARA VEGETATIF DENGAN METODE CANGKOK PUCUK

(1)

commit to user

PERBANYAKAN BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L.) VARIETAS DEWI SECARA VEGETATIF DENGAN METODE

CANGKOK PUCUK

Oleh :

RATSIO WIBISONO H0106022

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

PERBANYAKAN BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L.) VARIETAS DEWI SECARA VEGETATIF DENGAN METODE

CANGKOK PUCUK

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret

Jurusan / Program Studi Agronomi

Disusun oleh :

RATSIO WIBISONO H0106022

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(3)

commit to user

HALAMAN PENGESAHAN

PERBANYAKAN BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L.) VARIETAS DEWI SECARA VEGETATIF DENGAN METODE

CANGKOK PUCUK

yang dipersiapkan dan disusun oleh RATSIO WIBISONO

H0106022

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 24 Januari 2011

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji

Surakarta, Januari 2011 Universitas Sebelas Maret Surakarta

Fakultas Pertanian Dekan

Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS NIP. 19551217.198203.1.003 Ketua

Prof. Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, MS NIP. 19591205.198503.2.001

Anggota I

Ir. Trijono D.S., MP NIP. 19560616.198403.1.002

Anggota II

Ir. Pratignja Sunu, MP NIP. 19530124.198003.1.003


(4)

commit to user KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat-Nya kepada

penulis sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Perbanyakan Belimbing

Manis (Averrhoa carambola L.) Varietas Dewi Secara Vegetatif dengan Metode Cangkok Pucuk” dapat diselesaikan dengan baik tanpa halangan yang berarti.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidaklah lepas dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besar kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

2. Ir. Wartoyo S.P., MS selaku Ketua Jurusan Program Studi Agronomi FP UNS.

3. Prof. Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, MS selaku Dosen Pembimbing Utama

Skripsi atas segala bimbingan, saran, masukan, dan pengarahan demi lebih baiknya skripsi ini.

4. Ir. Trijono D.S., MP selaku Dosen Pembimbing Pendamping Skripsi atas

bimbingan, pengarahan saat penelitian, saran, dan masukannya.

5. Ir. Pratignja Sunu, MP selaku Dosen Pembahas Skripsi yang telah

memberikan masukan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

6. Ir. Sumijati, MP selaku Dosen Pembimbing Akademik.

7. Bapak dan Ibu dosen serta karyawan-karyawan Fakultas Pertanian Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

8. Pak Ndang selaku penjaga kebun yang telah membantu dalam penelitian di

lapangan beserta keluarga atas suguhan dan ramah-tamah yang telah diberikan.

9. Keluargaku tercinta : Ibu, Bapak, Kak Dito, dan Adikku Anis yang selalu

memberi dukungan semangat dan doa yang tidak pernah putus.

10. Teman-teman Agronomi angkatan 2006 (IMAGO 06), kakak-kakak dan adik-adik tingkat FP UNS yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan motivasinya selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.


(5)

commit to user

11. Teman-teman Kurcaci (Aco, Bimo, Tami, Lita, Riska, dan Ocha), Tifa, Olga, Chika dan teman-teman Bajaj semua sebagai saudara se-kampung dari Jakarta serta Indun, Dina, Lia, Dani, dan Dimas yang selalu mendukung, memberikan motivasi, dan pengalaman tak terlupakan.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Demikian, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, Januari 2011


(6)

commit to user DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

RINGKASAN ... ix

SUMMARY ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.) ... 4

B. Cangkok Pucuk ... 5

C. Media Tanam ... 7

D. Zat Pengatur Tumbuh IBA ... 8

E. Hipotesis... 9

III.METODE PENELITIAN ... 10

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 10

B. Bahan dan Alat Penelitian ... 10

C. Cara Kerja Penelitian ... 10

1. Rancangan Penelitian ... 10

2. Pelaksanaan Penelitian ... 11

3. Variabel Pengamatan ... 12

4. Analisis Data ... 13

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

A. Persentase Cangkok Hidup ... 14


(7)

commit to user

1. ... Saat

Muncul Kalus (pada bidang sayatan) ... 15

2. ... Saat Muncul Kalus (di luar bidang sayatan) ... 17

3. ... Perse ntase Pertumbuhan Kalus (di luar bidang sayatan) ... 21

C. Akar ... 22

1. ... Perse ntase Cangkok Tumbuh Akar ... 22

2. ... Juml ah Akar ... 23

3. ... Panja ng Akar ... 25

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

A. Kesimpulan ... 27

B. Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28


(8)

commit to user DAFTAR GAMBAR

No Judul Hal

1 Histogram saat muncul kalus pada bidang sayatan (%) dengan

berbagai macam media dan konsentrasi IBA ... 16

2 Histogram saat muncul kalus di luar bidang sayatan (%) dengan

berbagai macam media dan konsentrasi IBA ... 19

3 Histogram kemunculan kalus di luar bidang sayatan (%) pada umur

8 MST dengan berbagai macam media dan konsentrasi IBA ... 20

4 Grafik pertumbuhan kalus di luar bidang sayatan (%) dengan

berbagai macam media dan konsentrasi IBA ... 22

5 Histogram jumlah akar (unit) pada umur 8 MST dengan berbagai

macam media dan konsentrasi IBA ... 24

6 Histogram rata-rata panjang akar (mm) pada umur 8 MST dengan


(9)

commit to user DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hal

1 Persentase cangkok hidup dan tumbuh akar ... 32

2 Jumlah akar (unit) dan rata-rata panjang akar (mm) pada umur 8 MST ... 33

3 Macam media tanam ... 34

4 Denah letak tanaman induk dan perlakuan cangkok pucuk ... 35

5 Teknik pembuatan cangkok pucuk ... 36


(10)

commit to user

PERBANYAKAN BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L.) VARIETAS DEWI SECARA VEGETATIF DENGAN METODE

CANGKOK PUCUK RATSIO WIBISONO

H0106022 RINGKASAN

Belimbing manis (Averrhoa carambola L.) varietas Dewi merupakan

tanaman buah unggulan lokal kota Depok, Jawa Barat. Guna menghasilkan buah yang berkualitas dan kuantitas yang tinggi, serta menambah jumlah tanaman yang lebih produktif, dapat dilakukan upaya perbanyakan dengan metode cangkok pucuk, sehingga permintaan akan buah belimbing dapat terpenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan media tanam dan konsentrasi IBA yang tepat untuk pembentukan akar pada cangkok belimbing.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai Januari 2011 di Desa Tajurhalang, Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor perlakuan dan 4 ulangan. Faktor pertama adalah macam media, yaitu spagnum I, spagnum II, dan moss. Faktor kedua adalah konsentrasi IBA, yaitu 100 ppm, 150 ppm, dan 200 ppm. Variabel pengamatan meliputi persentase cangkok hidup, saat muncul kalus (pada bidang sayatan), saat muncul kalus (di luar bidang sayatan), persentase pertumbuhan kalus (di luar bidang sayatan), persentase cangkok tumbuh akar, jumlah akar, dan panjang akar. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.


(11)

commit to user

Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan dengan media spagnum I memberikan hasil yang lebih baik daripada media spagnum II dan moss pada kemunculan kalus di luar bidang sayatan pada umur 8 MST sebesar 73,75% dan mampu meningkatkan pertumbuhan kalus di luar bidang sayatan. Perlakuan penambahan IBA dengan konsentrasi 100 ppm mampu menginduksi kalus (pada bidang sayatan) pada minggu pertama. Penelitian ini tidak menunjukkan adanya interaksi antara penggunaan macam media dan berbagai konsentrasi IBA.

PROPAGATION IN VEGETATIVE WAY WITH APICAL LAYERED METHOD

OF STARFRUIT (Averrhoa carambola L.) DEWI’S VARIETY RATSIO WIBISONO

H0106022 SUMMARY

Starfruit (Averrhoa carambola L.) one of them is Dewi’s variety has been

declared as the most sweetest localized fruit that has not been intensively cultivated. So the method of vegetative propagation is needed for increasing the number of starfruit trees with the best quality and quantity product of fruits. The new method of its is apical layered that require the high precision. The success of aipcal layered are determined by microclimate and media application. The aim of research is to find out the kind of media and the level of IBA concentration for inducing root of apical layered.

The research was conducted on October 2010 until January 2011 at Tajurhalang, Bogor and was arranged by Completely Randomized Design with two treatment factors. There were media (spagnum I, spagnum II, and moss) and IBA concentration (100 ppm, 150 ppm, and 200 ppm). So there were nine treatment combinations and each of them was replicated 4 times. The observation variables were consisted of layered grow percentage, the time of callus emerge (on the slide of slice and out of slice), callus grow percentage (out of slice), root grow percentage, the number of roots, and length of roots. The data were analyzed descriptively. The result of the reseach are : 1) spagnum I better than spagnum II


(12)

commit to user

and moss for the time of callus emerge (out of slice) at 73,75% and can be used for improving the callus growth, 2) 100 ppm of IBA can be used for inducing the callus growth, and 3) there are no interaction beetwen kind of media and IBA concentration.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belimbing manis (Averrhoa carambola L.) merupakan anggota famili

Oxalidaceae yang termasuk ke dalam komoditas tanaman buah asli Indonesia. Banyak ahli sepakat bahwa tanaman ini adalah tanaman buah yang berasal dari Indonesia dan sampai saat ini telah banyak ditemukan varietas dari komoditi tersebut, seperti demak kapur, demak kunir, paris, dewi, wulan, dan lain-lain. Salah satu varietas yang menjadi belimbing manis unggulan adalah belimbing dewi. Belimbing dewi merupakan tanaman buah yang menjadi unggulan lokal kota Depok, Jawa Barat, dengan bentuk buah yang sempurna, kulit mengkilap, berwarna kuning bercampur jingga cerah, dan memiliki ukuran buah yang cukup besar.

Belimbing dewi ini mempunyai daya saing yang dapat disejajarkan dengan buah-buah lainnya bahkan berpotensi untuk di ekspor ke negara lain. Namun, keberadaan buah belimbing tersebut sangat terbatas di pasaran karena ketersediaan tanaman induk yang tidak banyak sehingga perlu dikembangkan agar tercipta tanaman-tanaman baru yang nantinya dapat menghasilkan buah berkuantitas maupun berkualitas tinggi.

Perkembangbiakan belimbing manis dapat dilakukan baik secara generatif melalui biji maupun secara vegetatif melalui cangkok (Prahasta, 2009). Pembiakan melalui biji dapat dilakukan dalam jumlah yang cukup banyak namun sifat yang diturunkan dari tanaman induk kepada tanaman baru belum tentu sama, disamping memerlukan waktu yang panjang untuk


(13)

commit to user

menghasilkan buah. Pembiakan secara vegetatif dengan metode cangkok merupakan perbanyakan tanaman yang akan menghasilkan tanaman baru dengan sifat yang sama dengan tanaman induk serta jumlah tanaman yang lebih banyak dalam waktu yang relatif singkat. Namun, menurut para penggemar tanaman buah yang melakukan cangkok, belimbing termasuk tanaman yang cukup sulit untuk dicangkok.

Penggunaan media tanam dan zat pengatur tumbuh dilakukan sebagai cara untuk mengatasi kendala yang muncul dalam perbanyakan belimbing manis akibat kesulitan pada metode cangkok tersebut. Agar ketepatan penggunaan jenis media dan konsentrasi zat pengatur tumbuh dapat ditentukan, maka perlu dilakukan penelitian pada perbanyakan vegetatif dengan tujuan menemukan jenis media dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan akar cangkok pucuk.

Media yang digunakan dalam cangkok adalah media yang mampu menjaga kelembapan, mempunyai aerasi yang baik, dan ringan. Keadaan yang gelap dan lembab akan menyebabkan akar dapat tumbuh lebih cepat (Ashari, 1995). Hindari penggunaan tanah yang masih mentah saat pemilihan media tanam karena tanah mudah kering dan mengeras serta dapat mematahkan cabang. Media yang dapat digunakan antara lain adalah moss, bubuk sabut kelapa, lumut (spagnum), pakis, sekam, dan sebagainya (Hakim, 2009). Jenis media tersebut dapat menentukan hasil pencangkokan karena mampu menjaga kelembapan.

Beberapa zat pengatur tumbuh yang sering digunakan diantaranya adalah auksin, sitokinin, giberelin, dan etilen. Auksin berperan dalam inisiasi akar dan pembesaran sel sedangkan sitokinin berperan dalam pembelahan sel dan inisiasi tunas (Kyte dan Kleyn, 1990). Auksin sintetik seperti IBA dan NAA lebih sering digunakan untuk merangsang pengakaran dan terbukti memberikan hasil yang lebih baik (Herlina dan Benny, 2000). IBA kemungkinan bahan yang terbaik karena tidak menimbulkan keracunan pada konsentrasi tinggi. Penggunaan macam media dan konsentrasi IBA (Indole


(14)

commit to user

Butyric Acid) yang tepat diharapkan dapat meningkatkan pembentukan akar pada cangkok belimbing manis.

B. Perumusan Masalah

Perbanyakan belimbing secara generatif memerlukan waktu yang lama dan seringkali mengalami segregasi sehingga tidak sama dengan induk. Karena itu, perbanyakan secara vegetatif yang diantaranya adalah dengan metode cangkok pucuk merupakan terobosan baru untuk menghasilkan tanaman yang memiliki sifat sama dengan induknya dalam waktu relatif singkat. Mengingat bahwa permintaan buah belimbing cukup tinggi maka perbanyakan vegetatif secara cangkok pucuk diharapkan dapat menghasilkan buah belimbing yang berkualitas dan memiliki kuantitas yang tinggi, serta menambah jumlah tanaman belimbing manis yang lebih produktif, sehingga permintaan akan buah belimbing dapat terpenuhi.

Penggunaan media dan penambahan zat pengatur tumbuh IBA menentukan keberhasilan dalam kemunculan dan pertumbuhan akar pada cangkok belimbing. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji pengaruh macam media dan berbagai konsentrasi IBA terhadap pembentukan akar pada cangkok belimbing.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu:

1. Media apakah yang tepat untuk pembentukan akar pada cangkok

belimbing ?

2. Berapakah konsentrasi IBA yang tepat untuk pembentukan akar pada

cangkok belimbing ?

3. Adakah interaksi penggunaan media dan konsentrasi IBA pada

pembentukan akar cangkok belimbing ?

C. Tujuan Penelitian


(15)

commit to user

1. Mendapatkan media yang tepat untuk pembentukan akar pada cangkok

belimbing.

2. Mendapatkan konsentrasi IBA yang tepat untuk pembentukan akar pada

cangkok belimbing.

3. Mengetahui adanya interaksi antara macam media dan berbagai


(16)

commit to user II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.)

Belimbing dibagi menjadi dua jenis, yaitu belimbing manis (Averrhoa

carambola L.) dan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Banyak ahli

sepakat bahwa tanaman ini merupakan tanaman asli Indonesia dan Malaysia. Sewaktu muda buahnya berwarna hijau muda dan berubah kuning sampai kemerahan setelah tua. Belimbing manis memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi sehingga lebih banyak dibudidayakan (Prahasta, 2009). Belimbing manis mempunyai klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Geraniales

Famili : Oxalidaceae (suku belimbing-belimbingan)

Genus : Averrhoa

Spesies : Averrhoa carambola L. (Anonim, 2010d)

Tumbuhan ini berukuran kecil dengan tinggi 5 – 12 m. Memiliki daun majemuk dan bunga kecil berwarna merah muda yang harum. Buahnya besar, berwarna kuning dengan permukaan licin seperti lilin, berlekuk-lekuk, dan penampang melintang buahnya berbentuk bintang. Belimbing sangat umum terdapat didataran rendah sampai pada ketinggian 500 mdpl, dapat tumbuh dengan baik tanpa perawatan yang sungguh-sungguh, menyukai tanah yang masam, dan tahan terhadap kompetisi hara dengan tumbuhan lain seperti gulma dan sebagainya (Sastrapraja, 1990). Indikator bahwa suatu daerah baik untuk tanaman belimbing ini adalah tumbuhnya pohon jati disekitar daerah tersebut (Ashari, 1995)


(17)

commit to user

Kandungan gizi yang terdapat dalam 100 g buah belimbing manis hanya memberikan sedikit energi (35 Kal), protein 0,5 g, lemak 0,7 g, karbohidrat 7,7 g, serat 0,9 g. Belimbing manis merupakan sumber vitamin C yang baik, juga zat besi dan zat kapur. Kadar vitamin A, B1, B2, C dan niasin berturut-turut 18 RE, 0,03 mg, 0,02 mg, 33 mg dan 0,4 g. Kadar kalsium, fosfor dan besi berturut-turut 8 mg, 22 mg dan 0,80 mg. Di Indonesia buah ini sudah banyak dikenal sebagai obat tradisional. Buah belimbing digunakan untuk pencegahan bahkan terapi berbagai macam penyakit, antara lain menurunkan tekanan darah, anti kanker, memperlancar pencernaan, menurunkan kolesterol, dan membersihkan usus. Belimbing juga kaya anti oksidan yang berfungsi mencegah pembentukan radikal bebas pemicu pembentukan sel kanker (Anin, 2010).

Belimbing manis mempunyai varietas yang cukup banyak, diantaranya adalah demak kapur, demak kunir, pasar minggu, dewi, wulan, bangkok, sembiring, dan lain-lain. Varietas-varietas ini merupakan seleksi yang tumbuh secara alamiah dan beberapa diantaranya adalah hasil pemuliaan melalui persilangan (Prahasta, 2009). Belimbing dewi merupakan salah satu tanaman buah varietas unggul nasional dan menjadi tanaman unggulan dari kota Depok. Bentuk buah bulat agak lonjong dengan panjang 15 cm dan diameter 10 cm. Warna buah kuning agak kemerahan dan mengkilap. Keunggulan belimbing ini terletak pada rasa buahnya yang lebih manis dan kandungan airnya lebih banyak dibanding dengan belimbing manis lainnya. Karena kadar airnya yang tinggi, buah belimbing dewi memiliki bobot yang lebih berat, yaitu satu buah belimbing dewi bisa mencapai 250 – 500 g (Anonim, 2010c).

B. Cangkok Pucuk

Perbanyakan tanaman berarti pengulangan dan penggandaan jenis yang diwujudkan pada terciptanya generasi baru. Tanaman dapat diperbanyak dengan dua cara, yaitu secara generatif dan vegetatif. Perbedaan dua metode tersebut terletak pada bahan yang dipergunakan untuk perbanyakan. Perbanyakan tanaman secara generatif menggunakan biji sebagai bahan


(18)

commit to user

tanam. Sedangkan perbanyakan tanaman secara vegetatif menggunakan bahan tanam selain biji (Sumeru, 1995). Perbanyakan vegetatif dilakukan menggunakan bagian-bagian tanaman seperti cabang, ranting, pucuk, daun, umbi, dan akar. Prinsipnya adalah merangsang tunas adventif yang terdapat pada bagian tersebut agar berkembang menjadi tanaman sempurna yang memiliki akar, batang, dan daun sekaligus (Anonim, 2007).

Perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat dilakukan dengan

beberapa cara, yaitu cutting (setek), layering (cangkok dan runduk), budding

(okulasi), dan grafting (sambungan) (Soerianegara dan Djamhuri, 1979 cit

Rioderiza, 2010). Menurut Rochiman dan Harjadi (1974) stimulasi buatan dari akar dan tunas adventif perlu dilakukan agar bagian vegetatif tanaman mampu berkembang menjadi suatu tanaman yang sempurna. Proses kejadian ini

disebut layerage (cangkok) atau bumbun bila stimulasi akar / tunas baru

tersebut dilakukan pada saat bagian vegetatif masih bersatu dengan tanaman;

dan disebut cuttage atau setek bila stimulasi dilakukan setelah bagian vegetatif

dipisahkan dari tanaman asalnya. Keunggulan tanaman hasil cangkok yaitu memiliki sifat yang sama dengan tanaman induknya, namun kelemahan tanaman hasil cangkok yaitu sistem perakaran yang tidak kuat karena tidak memiliki akar tunggang (Anonim, 2007).

Perbanyakan vegetatif yang dilakukan dengan metode cangkok pucuk ini merupakan sebuah metode baru yang diperkenalkan oleh Ir. Trijono D.S., MP selaku dosen Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Cangkok konvensional yang biasa dilakukan yaitu dengan mengerat lingkar batang / dahan tanaman pada jarak 3 – 4 cm, kemudian melepaskan kulit kayu antara keratan. Lalu luka dibersihkan dari lendirnya dan ditutup dengan media serta selalu dijaga kelembapannya (Ashari, 1995). Namun, cara yang dilakukan pada cangkok pucuk ini mempunyai sedikit perbedaan yaitu dengan cara menyayat batang secara miring dari bagian pangkal ke ujung batang hingga ¾ bagian, namun batang yang disayat tersebut tidak sampai putus. Lalu ditengah sayatan diberi sedikit media dan ditutup dengan media.


(19)

commit to user

Cabang yang akan dicangkok dipilih yang kuat dan sehat. Cabang cangkok berasal dari pohon buah-buahan yang sehat dan kuat serta telah memiliki sifat yang menguntungkan seperti buah lebat, lezat, daging buah tebal, sedikit biji, dan sebagainya (Ashari, 1995). Waktu yang baik untuk mencangkok adalah saat permulaan musim hujan. Cangkok yang telah cukup berakar dapat dipotong dari pohon induk dan ditanam dalam bedeng sampai permulaan musim hujan berikutnya. Kemudian hasil cangkok tersebut dapat dipindah tanam ke kebun yang tetap (Anonim, 1981).

C. Media Tanam

Media tanam merupakan komponen utama ketika akan bercocok tanam. Media tanam yang akan digunakan harus disesuaikan dengan jenis tanaman yang ingin ditanam. Secara umum, media tanam harus dapat menjaga kelembapan daerah sekitar akar, menyediakan cukup udara, dan dapat menahan ketersediaan unsur hara. Beberapa media tanam yang biasa digunakan yaitu spagnum, moss, cocopeat, sekam, pakis, dan sebagainya (Anonim, 2010a).

Spagnum adalah media tanaman dari semacam lumut yang biasanya berada di hutan-hutan. Spagnum merupakan salah satu jenis tumbuhan lumut bermanfaat yang termasuk kedalam lumut Bryophyta dengan bentuk mirip paku selaginela, media yang kering bentuknya seperti remah dan sangat ringan seperti kapas. Spagnum lebih mengikat air dibandingkan pakis, tetapi lebih lancar dalam drainese dan aerasi udara. Media ini biasanya digunakan sebagai media cangkokan atau sebagai pengganti tanah untuk tanaman yang akan dikirim ke tempat jauh karena sifatnya yang ringan dan tidak kotor (Anonim, 2010b). Sel daun dan bongkolnya yang kosong banyak mengandung air. Oleh karena itu, spagnum digunakan untuk membungkus tanaman sebagai sumber pengembunan dan selama pengapalan. Spagnum yang telah diuraikan sebagian berupa abu organik juga masih dapat mengandung uap air sehingga saat ditambahkan ke dalam tanah dapat memperbaiki struktur tanah dan mempertahankan kapasitas air dalam tanah (Santoso, 2004).


(20)

commit to user

Moss yang dijadikan sebagai media tanam berasal dari akar paku-pakuan, atau kadaka yang banyak dijumpai di hutan-hutan. Moss sering digunakan sebagai media tanam untuk masa penyemaian sampai dengan masa pembungaan. Media ini mempunyai banyak rongga sehingga memungkinkan akar tanaman tumbuh dan berkembang dengan leluasa. Menurut sifatnya, media moss mampu mengikat air dengan baik serta memiliki sistem drainase dan aerasi yang lancar (Anonim, 2010a).

D. Zat Pengatur Tumbuh IBA

ZPT pada tanaman (plant regulator) adalah senyawa organik yang

bukan hara (nutrient), yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote),

menghambat (inhibit), dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan.

Sedangkan hormon tumbuh (plant hormone) adalah zat organik yang

dihasilkan oleh tanaman, yang dalam kosentrasi rendah dapat mengatur proses fisiologis (Abidin, 1989). Diketahui bahwa hormon di dalam tanaman merupakan produk metabolit, sehingga kandungan hormon endogen di dalam

tanaman akan berbeda jika umur tanaman berbeda (Kaufman et al, 1991). Ahli

biologi tumbuhan telah mengidentifikasi 5 tipe utama golongan ZPT yaitu auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat, etilen. Auksin terbagi menjadi beberapa jenis yaitu IAA (Indole Acetik Acid), IBA (Indole Butyric Acid), NAA (Naphtalene Acetic Acid) dan 2,4 D (2,4 D – Dichlorophenoxy Acetic Acid) (Wudianto, 1998).

Penggunaan auksin di antaranya adalah untuk merangsang perkecambahan dan pertumbuhan biji, merangsang perakaran setek, cangkok, dan bagian tanaman lainnya dalam usaha perbanyakan tanaman secara

vegetatif; merangsang pertumbuhan bibit sambung pucuk (grafting),

merangsang pertumbuhan buah-buahan, menghambat pertumbuhan tunas tanaman dan gulma (Rismunandar, 1995). Menurut Salisbury dan Ross (1995) terdapat bukti yang kuat bahwa auksin dari batang sangat berpengaruh pada awal pertumbuhan akar. Bila daun muda dan kuncup (yang kaya auksin) dipangkas, jumlah pembentukan akar samping berkurang. Bila hilangnya


(21)

commit to user

organ tersebut diganti dengan auksin, kemampuan pembentukan akar sering menjadi pulih kembali. Auksin juga memacu perkembangan awal akar pada setek batang. Pada stadium pertumbuhan vegetatif, auksin merangsang pembelahan, pembesaran dan deferensiasi sel serta merangsang aliran protoplasma (Noogle dan Fritz, 1979).

Senyawa-senyawa indole yaitu IPA (Indole-3-Propionic Acid) maupun IBA (Indole-3-Butyric Acid) terbukti baik digunakan sebagai ZPT perakaran. IBA mempunyai sifat yang lebih baik dan efektif dari pada IAA dan NAA. Dengan demikian IBA paling cocok untuk merangsang aktifitas perakaran, karena kandungan kimianya lebih stabil dan daya kerjanya lebih lama. IAA biasanya mudah menyebar ke bagian lain sehingga menghambat perkembangan serta petumbuhan tunas dan NAA dalam mempergunakannya harus benar-benar tahu konsentrasi yang tepat yang di perlukan oleh suatu jenis tanaman, bila tidak tepat akan memperkecil batas konsentrasi optimum perakaran (Wudianto, 1998).

Auksin jenis IBA ini mempunyai aktivitas auksin yang lemah, tetapi pada tingkat konsentrasi tinggi IBA menyebabkan sel mengalami kematian. Sifatnya persisten, artinya penguraian oleh enzim-enzim tanaman dapat dikatakan sangat lambat. Demikian juga translokasi (pengangkutan ke bagian lain) IBA berjalan lambat, sehingga IBA tetap berada disekitar tempat aplikasinya. Ketiga sifat tersebut menyebabkan IBA efektif dalam induksi perakaran (Harjadi, 2009).

E. Hipotesis

1. Penggunaan media spagnum I merupakan media yang tepat untuk

pembentukan akar pada cangkok belimbing.

2. Penambahan ZPT IBA konsentrasi 200 ppm merupakan konsentrasi IBA

yang tepat untuk pembentukan akar pada cangkok belimbing.

3. Terjadi interaksi antara macam media dan berbagai konsentrasi IBA


(22)

commit to user

III.METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai Januari 2011 di Desa Tajurhalang, Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor, dengan ketinggian tempat 300 m dpl.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tanaman induk belimbing manis varietas Dewi, media tanam (spagnum I, spagnum II, dan moss) (lampiran 3), dan zat pengatur tumbuh IBA (konsentrasi 100 ppm, 150 ppm, dan 200 ppm). Alat yang digunakan meliputi silet/pisau, plastik, busa, tali rafia, label nama, dan alat tulis.

C. Cara Kerja Penelitian

1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas dua faktor perlakuan sebagai berikut :

a. Faktor pertama yaitu macam media dengan tiga taraf, yaitu :

M1 : Media spagnum I M2 : Media spagnum II M3 : Media moss

b. Faktor kedua yaitu konsentrasi IBA dengan tiga taraf, yaitu :

H1 : Perlakuan dengan penambahan IBA 100 ppm H2 : Perlakuan dengan penambahan IBA 150 ppm H3 : Perlakuan dengan penambahan IBA 200 ppm

Sehingga diperoleh 9 kombinasi perlakuan, yaitu : M1H1 : Media spagnum I dan IBA 100 ppm

M1H2 : Media spagnum I dan IBA 150 ppm M1H3 : Media spagnum I dan IBA 200 ppm M2H1 : Media spagnum II dan IBA 100 ppm


(23)

commit to user

M2H2 : Media spagnum II dan IBA 150 ppm M2H3 : Media spagnum II dan IBA 200 ppm M3H1 : Media moss dan IBA 100 ppm M3H2 : Media moss dan IBA 150 ppm M3H3 : Media moss dan IBA 200 ppm

Kemudian masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 4 ulangan.

2. Pelaksanaan Penelitian

a. Pembuatan larutan IBA

Bahan pelarut yang dipakai adalah NaOH 1 N. Konsentrasi 100 ppm artinya setiap 1 liter larutan mengandung 100 mg IBA. Begitu pula dengan konsentrasi 150 ppm dan 200 ppm. Langkah pembuatan larutan IBA adalah sebagai berikut :

1) IBA ditimbang sesuai dengan kebutuhan masing-masing perlakuan

yaitu 100, 150, dan 200 mg.

2) IBA yang telah ditimbang ditambahkan dengan NaOH sebanyak 5

– 10 tetes sampai IBA larut. NaOH berguna sebagai pelarut dari bentuk serbuk menjadi larutan.

3) Larutan IBA ditambahkan aquadest hingga volume larutan menjadi

1 liter kemudian diaduk sampai rata.

4) IBA siap digunakan sesuai dengan perlakuan masing-masing

konsentrasi.

b. Penyiapan media cangkok

Menaruh masing-masing media cangkok yang akan digunakan pada sebuah wadah kemudian merendam media tersebut pada larutan IBA yang telah dibuat sesuai dengan perlakuan selama 3 jam. Perendaman dapat disesuaikan dengan konsentrasi larutan yang digunakan.


(24)

commit to user

c. Pemilihan tanaman induk

Melakukan pemilihan tanaman induk yang akan digunakan. Tanaman induk yang dipilih yaitu tanaman yang kuat, sehat, dan subur.

d. Pemilihan batang cangkok

Memilih batang cangkok pada bagian pucuk batang tanaman induk. Bagian batang yang digunakan untuk cangkok diambil pada buku

(nodus) ke-20 dari bagian pucuk.

e. Pencangkokan

Pencangkokan dilakukan dengan langkah sebagai berikut :

1) Memilih batang cangkok yang sehat sebagai bahan tanam.

Cangkok dilakukan pada buku (nodus) ke-20 dari bagian pucuk.

2) Melakukan penyayatan pada batang secara miring dari bagian

pangkal ke ujung batang hingga ¾ bagian, namun jangan sampai batang terputus.

3) Bagian batang bawah yang telah disayat, ditutupi dengan plastik

dan ditengah-tengah sayatan tersebut diberi sedikit media.

4) Meletakkan media pada batang yang telah dicangkok hingga

menutupi bagian tersebut kemudian diatas media tersebut dibalut dengan busa lalu membungkusnya dengan plastik (lampiran 5).

f. Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan penyiraman pada tanaman induk dan cangkokan agar kelembapan pada media cangkok dapat tetap terjaga.

3. Variabel Pengamatan

a. Persentase cangkok hidup

Persentase cangkok yang hidup dihitung pada saat umur cangkok 8 MST (Minggu Setelah Tanam) atau pada akhir pengamatan.

% 100

sec x

ruhcangkok Jumlahselu

kokhidup Jumlahcang

p angkokhidu

Persenta =


(25)

commit to user

Pengamatan kemunculan kalus dilakukan pada saat umur cangkok 1 MST hingga akhir pengamatan (8 MST) setiap 1 minggu sekali pada bidang sayatan.

c. Saat muncul kalus (di luar bidang sayatan)

Pengamatan kemunculan kalus dilakukan pada saat umur cangkok 1 MST hingga akhir pengamatan (8 MST) setiap 1 minggu sekali di luar bidang sayatan.

d. Persentase pertumbuhan kalus (di luar bidang sayatan)

Persentase kalus yang terbentuk dihitung pada saat umur cangkok 1 MST hingga akhir pengamatan (8 MST) setiap 1 minggu sekali di luar bidang sayatan.

e. Persentase cangkok tumbuh akar

Persentase cangkok tumbuh akar dihitung pada saat umur cangkok 8 MST atau pada akhir pengamatan.

% 100

sec x

ruhcangkok Jumlahselu

kar koktumbuha Jumlahcang

uhakar angkoktumb

Persenta =

f. Jumlah akar

Jumlah akar diamati pada saat umur cangkok 1 MST hingga akhir pengamatan (8 MST) setiap 1 minggu sekali.

g. Panjang akar

Panjang akar diamati pada saat umur cangkok 1 MST hingga akhir pengamatan (8 MST) setiap 1 minggu sekali.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara deskriptif yang digunakan untuk menjabarkan hasil penelitian.


(26)

commit to user

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan berdasarkan Rancangan Acak Lengkap dengan faktor macam media dan konsentrasi IBA. Variabel yang diamati pada penelitian ini yaitu persentase cangkok hidup, saat muncul kalus (pada bidang sayatan), saat muncul kalus (di luar bidang sayatan), persentase pertumbuhan kalus (di luar bidang sayatan), persentase cangkok tumbuh akar, jumlah akar, dan panjang akar. Hasil dan pembahasan dari masing-masing variabel pengamatan dapat dijelaskan sebagai berikut.

A. Persentase Cangkok Hidup

Persentase cangkok hidup dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan dalam perbanyakan vegetatif dengan metode cangkok. Persentase keberhasilan cangkok hidup adalah sebesar 50% yaitu berjumlah 18 unit cangkok dari 36 unit (lampiran 1). Indikator bahwa cangkok tersebut hidup adalah pucuk cabang cangkok masih terdapat daun dan terlihat segar hingga akhir pengamatan. Cangkok yang mati disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor lingkungan, kelembapan, genetik, dan organisme pengganggu tanaman (OPT). Pengamatan penelitian ini dilakukan setiap satu minggu sekali dan dalam setiap pengamatan dilakukan pembukaan pada media cangkok untuk mengetahui kemunculan kalus dan akar, pembukaan media mempengaruhi kondisi lingkungan cangkok sehingga jaringan yang luka pada sayatan belum mampu memperbaiki luka tersebut atau terkontaminasi, namun kondisi lingkungan terus berubah pada setiap minggunya dan menyebabkan kematian pada cangkok. Cangkok pucuk pada penelitian ini berbeda dengan cangkok konvensional yang biasa digunakan pada pembiakan vegetatif yaitu dengan mengerat lingkar batang dan membuang kulitnya. Cangkok pucuk dilakukan dengan menyayat batang secara miring hingga ¾ bagian dan pada bagian tersebut rentan terhadap perubahan posisi sehingga pada beberapa perlakuan, hal ini menyebabkan batang cangkok patah dan mati.


(27)

commit to user

Kelembapan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan pada perbanyakan vegetatif dengan metode cangkok pucuk. Ashari (1995) menyebutkan bahwa keadaan yang gelap dan lembap akan menyebabkan akar dapat tumbuh dengan cepat. Namun, hal ini akan berakibat sebaliknya jika kelembapan yang diperlukan untuk cangkok tumbuh optimal sangat tinggi. Kelembapan yang tinggi menyebabkan kebusukan pada bagian sayatan atau pelukaan sehingga cangkok akan mudah mati.

Faktor genetik atau karakteristik dari belimbing manis (Averrhoa

carambola L.) menjadi salah satu faktor kematian cangkok. Karakteristik pada

batang belimbing dengan kulit tipis memungkinkan kambium yang terdapat di dalam batang menjadi mudah kering saat terjadi luka dan hal ini menyebabkan kematian cangkok. Keberadaan OPT seperti jamur pada batang cangkok dapat mematikan cangkok tersebut bahkan jika tidak dikendalikan dengan segera dapat menyebabkan kematian pada tanaman induk.

B. Kalus

1. Saat Muncul Kalus (pada bidang sayatan)

Kalus merupakan kumpulan sel-sel parenkim yang laju pertumbuhannya tidak seragam (Sumeru, 1995). Kalus juga dapat didefinisikan sebagai suatu jaringan hidup hasil dari suatu petumbuhan yang terdiri dari massa yang tidak teratur (Wetherell, 1982).

Saat muncul kalus diamati satu kali dalam setiap minggu dan dihitung persentasenya. Pengamatan berfungsi untuk mengetahui waktu kemunculan kalus dibidang sayatan pada cangkok pucuk belimbing manis setiap minggunya. Perlakuan yang mampu menginduksi kalus pada minggu pertama adalah spagnum I dan IBA 100 ppm, spagnum II dan IBA 100 ppm, dan moss dan IBA 100 ppm. Namun, pada perlakuan spagnum I dan IBA 150 ppm kemunculan kalus baru terlihat pada umur 6 MST, sedangkan perlakuan spagnum I dan IBA 200 ppm sampai pada akhir pengamatan belum menunjukkan kemunculan kalus pada bidang sayatan (gambar 1).


(28)

commit to user 0

25 50 75 100

M1H1 M1H2 M1H3 M2H1 M2H2 M2H3 M3H1 M3H2 M3H3

Perlakuan

P

e

rs

e

n

ta

s

e

(

%

)

1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST

Keterangan : M1H1 = Spagnum I dan IBA 100 ppm; M1H2 = Spagnum I dan IBA 150 ppm; M1H3 = Spagnum I dan IBA 200 ppm; M2H1 = Spagnum II dan IBA 100 ppm; M2H2 = Spagnum II dan IBA 150 ppm; M2H3 = Spagnum II dan IBA 200 ppm; M3H1 = Moss dan IBA 100 ppm; M3H2 = Moss dan IBA 150 ppm; M3H3 = Moss dan IBA 200 ppm.

Gambar 1. Histogram saat muncul kalus pada bidang sayatan (%) dengan berbagai macam media dan konsentrasi IBA

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kalus tidak muncul pada bidang sayatan yaitu adanya perubahan kondisi lingkungan dan kontaminasi pada bidang sayatan. Perubahan kondisi lingkungan dapat terjadi pada saat pengamatan dilakukan dengan cara membuka media tanam sehingga kemunculan maupun pertumbuhan kalus pada bidang sayatan menjadi terganggu, bahkan dapat menyebabkan kalus yang telah muncul mengalami stagnasi dan kematian. Hal ini juga menyebabkan penurunan persentase kalus yang muncul pada umur tanam setelahnya, seperti pada perlakuan moss dan IBA 100 ppm saat umur tanam 3 MST yang telah mampu menumbuhkan kalus hingga mencapai persentase sebesar 100%, namun pada umur tanam 4 MST persentase kalus menurun hingga 50%. Faktor lain ialah terkontaminasinya bidang sayatan pada cangkok. Fowler (1983) menyatakan bahwa terbentuknya kalus disebabkan karena adanya rangsangan luka pada bagian tanaman, namun apabila terjadi kontaminasi pada bidang sayatan atau luka, kalus tidak akan muncul pada bidang tersebut.


(29)

commit to user

Penambahan zat pengatur tumbuh IBA kurang mempengaruhi waktu kemunculan kalus pada setiap perlakuan dari cangkok tersebut karena adanya perbedaan respon yang diterima pada masing-masing perlakuan. Waktu kemunculan kalus mulai efektif terlihat saat tanaman berumur 4 MST (gambar 1). Menurut Widyarso (2010) perbedaan waktu saat muncul kalus tersebut akibat adanya perbedaan tanggapan (respon) sel-sel atau jaringan tanaman terhadap ketersedian auksin endogen dan eksogen. Penjelasan tersebut diperkuat oleh pendapat Bhaskaran dan Smith (1990) bahwa efektifitas zat pengatur tumbuh auksin eksogen bergantung pada konsentrasi hormon endogen dalam jaringan tanaman.

2. Saat Muncul Kalus (di luar bidang sayatan)

Kemunculan kalus pada setiap perlakuan cangkok pucuk ini tidak hanya terdapat pada bidang sayatan atau bidang yang terluka, namun kalus juga terlihat berkembang pada bidang di luar sayatan. Kemunculan kalus di luar bidang sayatan dapat tumbuh dan berkembang karena bidang tersebut tertutupi oleh media (kondisi gelap) dan kelembapan menjadi salah satu faktor yang memungkinkan munculnya kalus serta adanya pelukaan atau sayatan pada batang cangkok. Menurut Ashari (1995) keadaan yang gelap dan lembap akan menyebabkan akar dapat tumbuh dengan cepat dan Fowler (1983) menjelaskan bahwa terbentuknya kalus disebabkan karena adanya rangsangan luka pada bagian tanaman dan rangsangan tersebut menyebabkan kesetimbangan pada dinding sel berubah arah, sebagian protoplas mengalir keluar sehingga mulai terbentuk kalus.

Pembentukan akar pada cangkok terjadi karena penumpukan zat-zat makanan yang berasal dari daun-daun dibagian atas sayatan yang tidak dapat bergerak menuju bagian bawah sayatan tersebut. Sehingga pada bagian tersebut, kulit batang akan mengembung akibat adanya penumpukan auksin dan karbohidrat, dan dengan adanya media tanam maka zat-zat tersebut akan menstimulir terbentuknya kalus atau akar


(30)

commit to user

(Rochiman dan Harjadi, 1974). Pembentukan kalus dilanjutkan dengan pembentukan akar pada setek merupakan akibat dari kegiatan suatu jenis hormon tanaman. Beberapa macam hormon mempunyai pengaruh yang berbeda-beda, baik pada banyak akar maupun kualitas akar yang dihasilkan. IBA biasanya menghasilkan sedikit akar yang cepat menjadi panjang dan membentuk akar serabut yang kuat (Kusumo, 1984).

Pembentukan kalus di luar bidang sayatan pada tanaman belimbing terlihat efektif pada minggu pertama hingga minggu keempat setelah tanam (gambar 2). Keberadaan kalus pada bidang di luar sayatan disebabkan oleh kontaminasi yang terjadi pada bidang sayatan. Penumpukan auksin, karbohidrat, zat-zat makanan, dan senyawa lainnya pada bidang sayatan memaksa jaringan meristem pada bagian tersebut menginduksi kalus, namun kontaminasi menghalangi penginduksian tersebut, maka pada bidang di luar sayatan terbentuk kalus dan pembentukan kalus terjadi karena pada bidang di atas luka atau sayatan masih terdapat kambium. Penjelasan tersebut diperkuat oleh pendapat Gunawan (1987) bahwa kalus dapat terbentuk pada bagian yang berkambium. Kalus tersebut dapat tumbuh pada jaringan kambium dan dapat tumbuh dari sel korteks atau galih (rongga gabus) yang kemudian tumbuh akar adventif dari kalus (Sumeru, 1995).


(31)

commit to user 0

25 50 75 100

M1H1 M1H2 M1H3 M2H1 M2H2 M2H3 M3H1 M3H2 M3H3

Perlakuan

P

e

rs

e

n

ta

s

e

(

%

)

1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST

Keterangan : M1H1 = Spagnum I dan IBA 100 ppm; M1H2 = Spagnum I dan IBA 150 ppm; M1H3 = Spagnum I dan IBA 200 ppm; M2H1 = Spagnum II dan IBA 100 ppm; M2H2 = Spagnum II dan IBA 150 ppm; M2H3 = Spagnum II dan IBA 200 ppm; M3H1 = Moss dan IBA 100 ppm; M3H2 = Moss dan IBA 150 ppm; M3H3 = Moss dan IBA 200 ppm.

Gambar 2. Histogram saat muncul kalus di luar bidang sayatan (%) dengan berbagai macam media dan konsentrasi IBA

Persentase kemunculan kalus di luar bidang sayatan pada perlakuan spagnum I dan IBA 150 ppm merupakan hasil yang tertinggi dengan nilai sebesar 73,75% dan diikuti dengan perlakuan spagnum I dan IBA 100 ppm yang mempunyai nilai persentase sebesar 70% (gambar 3). Penggunaan media spagnum memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap cangkok. Menurut Santoso (2004) spagnum termasuk dalam salah satu jenis tumbuhan lumut yang bermanfaat. Sel daun dan bongkolnya yang kosong banyak mengandung air. Spagnum lebih mengikat air dibandingkan pakis, tetapi lebih lancar dalam drainese dan aerasi udara. Media ini biasanya digunakan sebagai media cangkok (Anonim, 2010b). Selain pengaruh media, penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) IBA berperan dalam menginduksi kalus.

Perlakuan moss dan IBA 100 ppm, moss dan IBA 150 ppm, dan moss dan IBA 200 ppm persentase kemunculan kalus masing-masing yaitu sebesar 5%, 1,25%, dan 3,75%. Moss yang dijadikan sebagai media tanam berasal dari akar paku-pakuan, atau kadaka yang banyak dijumpai di


(32)

commit to user

hutan-hutan. Moss sering digunakan sebagai media tanam untuk masa penyemaian sampai dengan masa pembungaan. Menurut sifatnya, media moss mampu mengikat air dengan baik serta memiliki sistem drainase dan aerasi yang lancar (Anonim, 2010a). Rendahnya persentase kalus yang muncul karena penggunaan media moss yang digunakan pada penelitian kurang cocok sebagai media tanam cangkok dan kurang mampu untuk menginduksi kalus jika dibandingkan dengan media lainnya yaitu spagnum I dan spagnum II yang lebih baik dalam pertumbuhan kalus. Hal ini dijelaskan oleh Santoso (2004) bahwa spagnum yang telah diuraikan sebagian berupa abu organik juga masih dapat mengandung uap air sehingga saat ditambahkan ke dalam tanah dapat memperbaiki struktur tanah dan mempertahankan kapasitas air dalam tanah. Perlakuan spagnum II dan IBA 150 ppm memperlihatkan nilai persentase terendah yaitu 0%, karena tanaman pada seluruh ulangan mati (gambar 3).

70 73,75 41,25 6,25 0 67,5 5 1,25 3,75 0 10 20 30 40 50 60 70 80

M1H1 M1H2 M1H3 M2H1 M2H2 M2H3 M3H1 M3H2 M3H3

Perlakuan P e rs e n ta s e ( % )

Keterangan : M1H1 = Spagnum I dan IBA 100 ppm; M1H2 = Spagnum I dan IBA 150 ppm; M1H3 = Spagnum I dan IBA 200 ppm; M2H1 = Spagnum II dan IBA 100 ppm; M2H2 = Spagnum II dan IBA 150 ppm; M2H3 = Spagnum II dan IBA 200 ppm; M3H1 = Moss dan IBA 100 ppm; M3H2 = Moss dan IBA 150 ppm; M3H3 = Moss dan IBA 200 ppm.

Gambar 3. Histogram kemunculan kalus di luar bidang sayatan (%) pada umur 8 MST dengan berbagai macam media dan konsentrasi IBA


(33)

commit to user

Bhaskaran dan Smith (1990) berpendapat bahwa efektifitas zat pengatur tumbuh auksin eksogen bergantung pada konsentrasi hormon endogen dalam jaringan tanaman. Penambahan hormon IBA pada masing-masing perlakuan menunjukkan hasil yang kurang efektif pada rerata kemunculan kalus, pendugaan terjadi karena adanya perbedaan tingkat konsentrasi pada batang yang digunakan sebagai bahan cangkok pada setiap perlakuan.

3. Persentase Pertumbuhan Kalus (di luar bidang sayatan)

Salah satu indikator adanya pertumbuhan dalam cangkok adalah munculnya kalus pada cangkok. Kalus pertama kali muncul dari bagian jaringan tertentu yang selanjutnya berkembang membentuk gumpalan jaringan yang belum mengalami diferensiasi (Widyarso, 2010). Pengamatan pertumbuhan kalus di luar bidang sayatan dilakukan setiap satu minggu sekali, lalu dihitung persentasenya.

Persentase pertumbuhan kalus di luar bidang sayatan pada perlakuan spagnum I dan IBA 100 ppm, spagnum I dan IBA 150 ppm, spagnum I dan IBA 200 ppm, dan spagnum II dan IBA 200 ppm mengalami peningkatan pada setiap minggu. Peningkatan persentase pertumbuhan kalus tersebut berhubungan dengan penggunaan media spagnum I (lampiran 3) yang mampu menjaga kelembapan dengan baik sehingga pertumbuhan kalus mengalami peningkatan hingga 8 MST. Perlakuan spagnum II dan IBA 100 ppm menunjukkan peningkatan persentase pertumbuhan kalus tetapi pada minggu ke-7 mengalami penurunan. Perlakuan spagnum II dan IBA 150 ppm, moss dan IBA 100 ppm, moss dan IBA 150 ppm, dan moss dan IBA 200 ppm belum menunjukkan peningkatan perkembangan kalus (gambar 4). Penambahan hormon IBA pada seluruh konsentrasi memberikan peran positif dalam pertumbuhan dan perkembangan kalus. Hal ini ditunjukkan bahwa setiap perlakuan dapat menumbuhkan kalus, walaupun pada beberapa perlakuan terlihat belum menunjukkan perkembangan kalus yang telah tumbuh pada


(34)

commit to user

batang cangkok yang akibat pengaruh hormon endogen dalam tanaman induk. Efektifitas zat pengatur tumbuh auksin eksogen bergantung pada konsentrasi hormon endogen dalam jaringan tanaman (Bhaskaran dan Smith, 1990). 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

1 2 3 4 5 6 7 8

Minggu ke-... P e rs e n ta s e ( % )

M1H1 M1H2 M1H3 M2H1 M2H2

M2H3 M3H1 M3H2 M3H3

Keterangan : M1H1 = Spagnum I dan IBA 100 ppm; M1H2 = Spagnum I dan IBA 150 ppm; M1H3 = Spagnum I dan IBA 200 ppm; M2H1 = Spagnum II dan IBA 100 ppm; M2H2 = Spagnum II dan IBA 150 ppm; M2H3 = Spagnum II dan IBA 200 ppm; M3H1 = Moss dan IBA 100 ppm; M3H2 = Moss dan IBA 150 ppm; M3H3 = Moss dan IBA 200 ppm.

Gambar 4. Grafik pertumbuhan kalus di luar bidang sayatan (%) dengan berbagai macam media dan konsentrasi IBA

C. Akar

1.

Persentase Cangkok Tumbuh Akar

Akar merupakan organ vegetatif utama yang menyuplai air, mineral, dan bahan-bahan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pertumbuhan akar akan sangat menentukan pertumbuhan

tanaman secara keseluruhan (Gardner et al., 1991). Masalah pembentukan

akar merupakan masalah pokok dan sebagai ukuran keberhasilan dari perbanyakan vegetatif terutama untuk cara cangkok. Jika masalah pembentukan akar tersebut sudah terpecahkan, maka cara perbanyakan dengan cangkok pucuk ini merupakan cara yang dapat diterapkan pada tanaman lainnya. Keberhasilan cangkok pucuk pada tanaman belimbing ini


(35)

commit to user

menunjukkan persentase sangat rendah. Cangkok yang berhasil mengeluarkan akar berjumlah 2 dari keseluruhan jumlah cangkok (36), sehingga persentase keberhasilan cangkok pucuk tersebut sebesar 5,6% (lampiran 1).

Persentase cangkok tumbuh akar yang rendah dipengaruhi oleh fase pertumbuhan dari tanaman induk yang digunakan, bahwa tanaman induk belimbing manis yang digunakan sebagai bahan cangkok pucuk tersebut sedang memasuki fase pertumbuhan generatif karena pada saat penelitian berlangsung, tanaman sedang membentuk bunga sehingga penggunaan fotosintat atau zat-zat makanan untuk pembentukan akar cangkok dipergunakan oleh tanaman untuk melaksanakan fase generatif yaitu untuk membentuk bunga dan buah. Akibatnya diferensiasi akar menjadi terhambat bahkan pada beberapa perlakuan akar belum muncul hingga akhir penelitian. Cangkok yang dilakukan pada fase pertumbuhan vegetatif, dimungkinkan akan lebih efektif dan cepat dalam pertumbuhan dan perkembangan dari akar cangkok.

Persentase cangkok tumbuh akar yang rendah tidak menjadikan penelitian ini mengalami kegagalan, tetapi penelitian ini membuktikan bahwa tanaman belimbing manis dapat diperbanyak secara vegetatif dengan metode cangkok dan hal ini dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan dalam perbanyakan secara vegetatif cangkok belimbing manis

(A. carambola L.) yang jarang dilakukan karena kesulitan dalam

menumbuhkan akar.

2.

Jumlah Akar

Peranan akar sangat penting dalam membantu metabolisme tanaman terutama dalam penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro. Banyaknya akar yang tumbuh tergantung pada adanya air, udara, dan zat hara pada horizon tanah. Tanaman yang berada pada kondisi relatif sedikit air dan unsur hara cenderung membentuk akar lebih banyak (Darmawijaya, 1992).


(36)

commit to user

Jumlah akar cangkok tersebut dihitung pada akhir pengamatan saat tanaman berumur 8 MST. Kemunculan akar pada penelitian ini hanya terdapat pada perlakuan spagnum I dan IBA 100 ppm dan spagnum I dan IBA 200 ppm dengan jumlah akar masing-masing yaitu 2 dan 3 unit (gambar 5). Tanaman induk belimbing manis yang digunakan pada saat penelitian sedang memasuki fase pertumbuhan generatif, hal ini dapat diketahui karena pada cabang-cabang produktif tanaman induk tumbuh bunga dan telah berkembang menjadi bakal buah, sehingga hasil fotosintat berupa karbohidrat dan energi digunakan tanaman untuk membentuk bunga dan buah yang berakibat cangkok kurang mendapat pasokan zat makanan untuk membentuk akar.

2

0 3

0 0 0 0 0 0

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

M1H1 M1H2 M1H3 M2H1 M2H2 M2H3 M3H1 M3H2 M3H3

Perlakuan J u m la h a k a r (h e la i)

Keterangan : M1H1 = Spagnum I dan IBA 100 ppm; M1H2 = Spagnum I dan IBA 150 ppm; M1H3 = Spagnum I dan IBA 200 ppm; M2H1 = Spagnum II dan IBA 100 ppm; M2H2 = Spagnum II dan IBA 150 ppm; M2H3 = Spagnum II dan IBA 200 ppm; M3H1 = Moss dan IBA 100 ppm; M3H2 = Moss dan IBA 150 ppm; M3H3 = Moss dan IBA 200 ppm.

Gambar 5. Histogram jumlah akar (unit) pada umur 8 MST dengan berbagai macam media dan konsentrasi IBA

Menurut Santi dan Kusumo (1992) pertumbuhan vegetatif tanaman selain ditentukan oleh pemupukan yang tepat dan intensif juga ditentukan oleh media tumbuh yang cocok untuk menunjang pertumbuhannya. Perlakuan spagnum I dan IBA 100 ppm dan spagnum I dan IBA 200 ppm


(37)

commit to user

pada penelitian ini menggunakan media spagnum yang cocok digunakan sebagai media cangkok karena dapat menjaga kelembapan dengan baik sehingga merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar. Penggunaan NAA, IAA, dan IBA untuk merangsang pembentukan akar pada setek telah banyak dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan. Penggunaan hormon dengan konsentrasi 100 ppm NAA dapat meningkatkan jumlah dan panjang akar setek tunas kubis (Simatupang, 1995). Penambahan ZPT berupa IBA terbukti mampu menginduksi terbentuknya akar pada tanaman belimbing manis. Perlakuan spagnum I dan IBA 200 ppm dengan

konsentrasi IBA sebesar 200 ppm (part per million) mampu

mendeferensiasi akar cangkok dan memberikan jumlah akar terbanyak yaitu 3 unit. Hal ini diharapkan pada umur tanam yang lebih lama dari 8 MST dengan perlakuan penambahan hormon yang sama dapat menginduksi jumlah akar lebih banyak.

3.

Panjang Akar

Akar yang tumbuh secara optimal akan tumbuh dengan panjang, karena akar yang panjang akan meningkatkan kemampuan dalam menyerap nutrisi. Dwijoseputro (1990) menyebutkan bahwa panjang akar merupakan hasil perpanjangan sel-sel dibelakang meristem ujung akar dan meristem ini mempunyai posisi dibelakang karena selain membentuk sel-sel yang memanjang juga menghasilkan sejumlah sel-sel kearah meristem ujung yang membentuk tudung akar. Penghitungan panjang akar dilakukan pada akhir pengamatan yaitu saat tanaman berumur 8 MST.

Rata-rata panjang akar belimbing manis (A. carambola) dengan

metode cangkok pucuk pada perlakuan spagnum I dan IBA 200 ppm merupakan hasil terpanjang pada penelitian ini dengan panjang akar mencapai panjang 2,25 mm dan pada perlakuan spagnum I dan IBA 100 ppm memiliki panjang akar dengan panjang 0,875 mm (gambar 6). Pemberian ZPT IBA dengan konsentrasi 200 ppm pada perlakuan spagnum I dan IBA 200 ppm mampu menginduksi pemanjangan akar


(38)

commit to user

cangkok. Auksin biasanya memiliki pengaruh pada peningkatan jumlah

dan panjang akar (Wilkins, 1989). Asnawi et al. (1989) juga menjelaskan

bahwa perkembangan akar utama yang dinyatakan dalam panjang dan kerimbunan akar dipengaruhi oleh imbangan zat pengatur tumbuh, bahan tanam, senyawa-senyawa pembangun seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin B dan C, serta mineral.

0,875

0

2,25

0 0 0 0 0 0

0 0,5 1 1,5 2 2,5

M1H1 M1H2 M1H3 M2H1 M2H2 M2H3 M3H1 M3H2 M3H3

Perlakuan P a n ja n g a k a r (m m )

Keterangan : M1H1 = Spagnum I dan IBA 100 ppm; M1H2 = Spagnum I dan IBA 150 ppm; M1H3 = Spagnum I dan IBA 200 ppm; M2H1 = Spagnum II dan IBA 100 ppm; M2H2 = Spagnum II dan IBA 150 ppm; M2H3 = Spagnum II dan IBA 200 ppm; M3H1 = Moss dan IBA 100 ppm; M3H2 = Moss dan IBA 150 ppm; M3H3 = Moss dan IBA 200 ppm.

Gambar 6. Histogram rata-rata panjang akar (mm) pada umur 8 MST dengan berbagai macam media dan konsentrasi IBA

Menurut Hartman dan Kester (1983) salah satu cara meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah dengan menggunakan zat pengatur tumbuh, yaitu auksin. Perlakuan menggunakan auksin pada setek bertujuan untuk meningkatkan setek berakar, meningkatkan jumlah dan kualitas akar per setek, mempercepat pertumbuhan akar, dan meningkatkan keseragaman perakaran. Selain itu auksin dapat meningkatkan pemanjangan perakaran. Hal ini disebabkan karena auksin berpengaruh dalam pembelahan dan pembesaran sel ke arah longitudional


(39)

commit to user

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perlakuan dengan media spagnum I memberikan hasil yang lebih baik

daripada media spagnum II dan moss pada kemunculan kalus di luar bidang sayatan pada umur 8 MST sebesar 73,75% dan mampu meningkatkan pertumbuhan kalus di luar bidang sayatan.

2. Perlakuan penambahan IBA dengan konsentrasi 100 ppm mampu

menginduksi kalus (pada bidang sayatan) pada minggu pertama.

3. Penelitian ini tidak menunjukkan adanya interaksi antara penggunaan

macam media dan berbagai konsentrasi IBA.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan penggunaan zat pengatur

tumbuh IBA dengan konsentrasi 0 – 100 ppm agar diketahui tingkat

efektifitas dan keracunan (toxic) pada cangkok.

2. Berdasarkan penelitian, waktu pengamatan sebaiknya dilakukan lebih dari

2 bulan untuk melihat pertumbuhan optimal akar cangkok.

3. Sampel yang digunakan sebaiknya disediakan sampel destruktif agar

kemunculan kalus dapat teramati dengan baik.

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai teknik cangkok pucuk

sehingga dapat diketahui lebih banyak informasi tentang teknik cangkok pucuk yang digunakan.


(40)

commit to user DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1989. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh.

Angkasa. Bandung.

Anderson, G.A. and W.J. Carpenter. 1974. High Intensity Suplementary Lighting

of Chrysanthenum Stock Plants. Hort. Sci. 1 : 58 – 60.

Anin. 2010. Belimbing Manis (Averrhoa carambola).

http://id.shvoong.com/medicine-and-health/nutrition/1805190-belimbing-manis-averrhoa-carambola/. Diakses pada tanggal 20

Agustus 2010.

Anonim. 1981. Bertanam Pohon Buah-buahan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

. 2007. Kunci Sukses Memperbanyak Tanaman. PT. Agromedia Pustaka.

Jakarta.

. 2010a. Ragam Media Tanam. www.kebonkembang.com. Diakses pada

tanggal 20 Agustus 2010.

. 2010b. Media Tanam Anggrek.

http://blog.beswandjarum.com/muhanugrah/2009/09/03/media-tanam-anggrek/. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2010.

. 2010c. Tabulampot Belimbing Manis.

http://tabulampot.hostzi.com/index.php?option=com_content&task=vie

w&id=20&Itemid=60. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2010.

. 2010d. Belimbing Manis.

http://www.plantamor.com/index.php?plant=165. Diakses pada tanggal

20 Agustus 2010.

Ashari. 1995. Biologi 3 SMA/MA Kelas XII. Jakarta. Yudhistira.

Asnawi, R., M.P. Yufdi, dan M.T. Soemantri. 1989. Pengaruh Air Kelapa

Terhadap Pertumbuhan Setek Panili. Pemb. Littri. 15 (2) : 79 – 83.

Bhaskaran, S. and R.H. Smith. 1990. Regeneration in Cereal Tissue Culture. A

Review Crop Science. 30 : 1328 – 1336.

Darmawijaya, M.I. 1992. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.


(41)

commit to user

Dwijoseputro. 1990. Pengantar Fisologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta.

Fowler, M.W. 1983. Commercial Application and Economic Aspects of Mass

Plant Cell Culture. In Mantell, S.H., Smith, H. (Eds). Plant

Biotechnology. Cambridge Unversity Press. London. 3 – 38.

Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchel. 1991. The Physiology Field Crops.

Penerjemah : Herawati Susilo (Fisiologi Tanaman Budidaya). UI Press. Jakarta.

Gunawan, L.W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. IPB. Bogor.

Hakim, G. 2009. Mencangkok.

http://www.gilang-blog.co.cc/2009/06/mencangkok.html. Diakses pada tanggal 3 Mei 2010.

Harjadi, S. S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hartman, H.T and D.E. Kester. 1983. Plant Propagation : Principles and Practise

Third Ed. Prentice Hall Inc. New Jersey.

Herlina, D. dan Benny O. T. 2000. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh pada

Tanaman Hias dan Bunga. Buletin Forum Florikultura Indonesia. 3 :

1-6.

Kaufman, P.B., L.J. Csehe, S. Warber, J.A. Duke, and H.L. Brielman. 1991.

Natural Products from Plants. CRC Press. Washington DC.

Kusumo, S. 1984. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Yasaguna. Bogor.

Kyte, L. Dan J. Kleyn. 1990. Plant from Test Tube An Introduction to

Micropropagation. Timber Press. Inc. Portland.

Noggle, J.J and G.S. Fritz. 1979. Introductory Plant Physiology. Prentice Hall Inc.

New Jersey.

Prahasta, A. 2009. Agribisnis Belimbing. Pustaka Grafika. Bandung.

Rismunandar. 1995. Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.

Riodevriza. 2010. Pengaruh Umur Pohon Induk Terhadap Keberhasilan Stek dan

Sambungan Shorea selanica BI. Skripsi S1 Fakultas Kehutanan IPB.

Bogor.

Rochiman, K., dan S. S. Harjadi. 1974. Pembiakan Vegetatif Pengantar Agronomi.


(42)

commit to user

Salisbury, F.B. dan C.W. Roos. 1995. Plant Physiology, Third Ed. Penerjemah :

Diah R. Lukman dan Sumaryono (Fisiologi Tumbuhan, Jilid 3). ITB. Bandung.

Santi, A. dan Kusumo. 1992. Pupuk Daun dan Sitokinin untuk Pertumbuhan Vegetatif Anggrek Mukora Chark Kuan pada Media Arang dan Sabut

Kelapa. J. Hortikultura. 2 (2) : 33 – 35.

Santoso, I. 2004. Biologi dan Kecakapan Hidup, Jilid 1B. Ganeca Exact. Jakarta.

Sastrapraja, S. 1990. Buah-buahan. Balai Pustaka. Jakarta.

Simatupang, S. 1995. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Perakaran,

Pertumbuhan, dan Hasil Beberapa Setek Kubis. J. Hortikultura. 5 (3) :

16 – 19.

Sumeru. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta.

Wetherell, D.F. 1982. Introduction to In Vitro Propagation. A Very Publishing

Ground Inc. New Jersey.

Wilkins, M.B. 1989. Physiology of Plant Growth. Penerjemah : Mulyani

(Fisiologi Tanaman). Bumi Aksara. Jakarta.

Widyarso, M. 2010. Kajian Penggunaan BAP dan IBA untuk Merangsang

Pembentukan Tunas Lengkeng (Domocarpus longan Lour) Varietas

Pingpong secara In Vitro. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS.

Surakarta.

Wudianto, R. 1998. Membuat Setek, Cangkok, dan Okulasi. Penebar Swadaya.


(1)

commit to user

pada penelitian ini menggunakan media spagnum yang cocok digunakan sebagai media cangkok karena dapat menjaga kelembapan dengan baik sehingga merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar. Penggunaan NAA, IAA, dan IBA untuk merangsang pembentukan akar pada setek telah banyak dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan. Penggunaan hormon dengan konsentrasi 100 ppm NAA dapat meningkatkan jumlah dan panjang akar setek tunas kubis (Simatupang, 1995). Penambahan ZPT berupa IBA terbukti mampu menginduksi terbentuknya akar pada tanaman belimbing manis. Perlakuan spagnum I dan IBA 200 ppm dengan konsentrasi IBA sebesar 200 ppm (part per million) mampu mendeferensiasi akar cangkok dan memberikan jumlah akar terbanyak yaitu 3 unit. Hal ini diharapkan pada umur tanam yang lebih lama dari 8 MST dengan perlakuan penambahan hormon yang sama dapat menginduksi jumlah akar lebih banyak.

3.

Panjang Akar

Akar yang tumbuh secara optimal akan tumbuh dengan panjang, karena akar yang panjang akan meningkatkan kemampuan dalam menyerap nutrisi. Dwijoseputro (1990) menyebutkan bahwa panjang akar merupakan hasil perpanjangan sel-sel dibelakang meristem ujung akar dan meristem ini mempunyai posisi dibelakang karena selain membentuk sel-sel yang memanjang juga menghasilkan sejumlah sel-sel kearah meristem ujung yang membentuk tudung akar. Penghitungan panjang akar dilakukan pada akhir pengamatan yaitu saat tanaman berumur 8 MST.

Rata-rata panjang akar belimbing manis (A. carambola) dengan metode cangkok pucuk pada perlakuan spagnum I dan IBA 200 ppm merupakan hasil terpanjang pada penelitian ini dengan panjang akar mencapai panjang 2,25 mm dan pada perlakuan spagnum I dan IBA 100 ppm memiliki panjang akar dengan panjang 0,875 mm (gambar 6). Pemberian ZPT IBA dengan konsentrasi 200 ppm pada perlakuan spagnum I dan IBA 200 ppm mampu menginduksi pemanjangan akar


(2)

commit to user

cangkok. Auksin biasanya memiliki pengaruh pada peningkatan jumlah dan panjang akar (Wilkins, 1989). Asnawi et al. (1989) juga menjelaskan bahwa perkembangan akar utama yang dinyatakan dalam panjang dan kerimbunan akar dipengaruhi oleh imbangan zat pengatur tumbuh, bahan tanam, senyawa-senyawa pembangun seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin B dan C, serta mineral.

0,875

0

2,25

0 0 0 0 0 0

0 0,5 1 1,5 2 2,5

M1H1 M1H2 M1H3 M2H1 M2H2 M2H3 M3H1 M3H2 M3H3

Perlakuan P a n ja n g a k a r (m m )

Keterangan : M1H1 = Spagnum I dan IBA 100 ppm; M1H2 = Spagnum I dan IBA 150 ppm; M1H3 = Spagnum I dan IBA 200 ppm; M2H1 = Spagnum II dan IBA 100 ppm; M2H2 = Spagnum II dan IBA 150 ppm; M2H3 = Spagnum II dan IBA 200 ppm; M3H1 = Moss dan IBA 100 ppm; M3H2 = Moss dan IBA 150 ppm; M3H3 = Moss dan IBA 200 ppm.

Gambar 6. Histogram rata-rata panjang akar (mm) pada umur 8 MST dengan berbagai macam media dan konsentrasi IBA

Menurut Hartman dan Kester (1983) salah satu cara meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah dengan menggunakan zat pengatur tumbuh, yaitu auksin. Perlakuan menggunakan auksin pada setek bertujuan untuk meningkatkan setek berakar, meningkatkan jumlah dan kualitas akar per setek, mempercepat pertumbuhan akar, dan meningkatkan keseragaman perakaran. Selain itu auksin dapat meningkatkan pemanjangan perakaran. Hal ini disebabkan karena auksin berpengaruh dalam pembelahan dan pembesaran sel ke arah longitudional (Meyer, 1951 cit Anderson dan Carpenter, 1974).


(3)

commit to user

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perlakuan dengan media spagnum I memberikan hasil yang lebih baik daripada media spagnum II dan moss pada kemunculan kalus di luar bidang sayatan pada umur 8 MST sebesar 73,75% dan mampu meningkatkan pertumbuhan kalus di luar bidang sayatan.

2. Perlakuan penambahan IBA dengan konsentrasi 100 ppm mampu menginduksi kalus (pada bidang sayatan) pada minggu pertama.

3. Penelitian ini tidak menunjukkan adanya interaksi antara penggunaan macam media dan berbagai konsentrasi IBA.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan penggunaan zat pengatur tumbuh IBA dengan konsentrasi 0 – 100 ppm agar diketahui tingkat efektifitas dan keracunan (toxic) pada cangkok.

2. Berdasarkan penelitian, waktu pengamatan sebaiknya dilakukan lebih dari 2 bulan untuk melihat pertumbuhan optimal akar cangkok.

3. Sampel yang digunakan sebaiknya disediakan sampel destruktif agar kemunculan kalus dapat teramati dengan baik.

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai teknik cangkok pucuk sehingga dapat diketahui lebih banyak informasi tentang teknik cangkok pucuk yang digunakan.


(4)

commit to user

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1989. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung.

Anderson, G.A. and W.J. Carpenter. 1974. High Intensity Suplementary Lighting of Chrysanthenum Stock Plants. Hort. Sci. 1 : 58 – 60.

Anin. 2010. Belimbing Manis (Averrhoa carambola).

http://id.shvoong.com/medicine-and-health/nutrition/1805190-belimbing-manis-averrhoa-carambola/. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2010.

Anonim. 1981. Bertanam Pohon Buah-buahan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. . 2007. Kunci Sukses Memperbanyak Tanaman. PT. Agromedia Pustaka.

Jakarta.

. 2010a. Ragam Media Tanam. www.kebonkembang.com. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2010.

. 2010b. Media Tanam Anggrek.

http://blog.beswandjarum.com/muhanugrah/2009/09/03/media-tanam-anggrek/. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2010.

. 2010c. Tabulampot Belimbing Manis.

http://tabulampot.hostzi.com/index.php?option=com_content&task=vie w&id=20&Itemid=60. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2010.

. 2010d. Belimbing Manis.

http://www.plantamor.com/index.php?plant=165. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2010.

Ashari. 1995. Biologi 3 SMA/MA Kelas XII. Jakarta. Yudhistira.

Asnawi, R., M.P. Yufdi, dan M.T. Soemantri. 1989. Pengaruh Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan Setek Panili. Pemb. Littri. 15 (2) : 79 – 83. Bhaskaran, S. and R.H. Smith. 1990. Regeneration in Cereal Tissue Culture. A

Review Crop Science. 30 : 1328 – 1336.

Darmawijaya, M.I. 1992. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


(5)

commit to user

Dwijoseputro. 1990. Pengantar Fisologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta.

Fowler, M.W. 1983. Commercial Application and Economic Aspects of Mass Plant Cell Culture. In Mantell, S.H., Smith, H. (Eds). Plant Biotechnology. Cambridge Unversity Press. London. 3 – 38.

Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchel. 1991. The Physiology Field Crops. Penerjemah : Herawati Susilo (Fisiologi Tanaman Budidaya). UI Press. Jakarta.

Gunawan, L.W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. IPB. Bogor.

Hakim, G. 2009. Mencangkok. http://www.gilang-blog.co.cc/2009/06/mencangkok.html. Diakses pada tanggal 3 Mei 2010. Harjadi, S. S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hartman, H.T and D.E. Kester. 1983. Plant Propagation : Principles and Practise Third Ed. Prentice Hall Inc. New Jersey.

Herlina, D. dan Benny O. T. 2000. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh pada Tanaman Hias dan Bunga. Buletin Forum Florikultura Indonesia. 3 : 1-6.

Kaufman, P.B., L.J. Csehe, S. Warber, J.A. Duke, and H.L. Brielman. 1991. Natural Products from Plants. CRC Press. Washington DC.

Kusumo, S. 1984. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Yasaguna. Bogor.

Kyte, L. Dan J. Kleyn. 1990. Plant from Test Tube An Introduction to Micropropagation. Timber Press. Inc. Portland.

Noggle, J.J and G.S. Fritz. 1979. Introductory Plant Physiology. Prentice Hall Inc. New Jersey.

Prahasta, A. 2009. Agribisnis Belimbing. Pustaka Grafika. Bandung.

Rismunandar. 1995. Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta. Riodevriza. 2010. Pengaruh Umur Pohon Induk Terhadap Keberhasilan Stek dan

Sambungan Shorea selanica BI. Skripsi S1 Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Rochiman, K., dan S. S. Harjadi. 1974. Pembiakan Vegetatif Pengantar Agronomi. IPB Press. Bogor


(6)

commit to user

Salisbury, F.B. dan C.W. Roos. 1995. Plant Physiology, Third Ed. Penerjemah : Diah R. Lukman dan Sumaryono (Fisiologi Tumbuhan, Jilid 3). ITB. Bandung.

Santi, A. dan Kusumo. 1992. Pupuk Daun dan Sitokinin untuk Pertumbuhan Vegetatif Anggrek Mukora Chark Kuan pada Media Arang dan Sabut Kelapa. J. Hortikultura. 2 (2) : 33 – 35.

Santoso, I. 2004. Biologi dan Kecakapan Hidup, Jilid 1B. Ganeca Exact. Jakarta. Sastrapraja, S. 1990. Buah-buahan. Balai Pustaka. Jakarta.

Simatupang, S. 1995. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Perakaran, Pertumbuhan, dan Hasil Beberapa Setek Kubis. J. Hortikultura. 5 (3) : 16 – 19.

Sumeru. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta.

Wetherell, D.F. 1982. Introduction to In Vitro Propagation. A Very Publishing Ground Inc. New Jersey.

Wilkins, M.B. 1989. Physiology of Plant Growth. Penerjemah : Mulyani (Fisiologi Tanaman). Bumi Aksara. Jakarta.

Widyarso, M. 2010. Kajian Penggunaan BAP dan IBA untuk Merangsang

Pembentukan Tunas Lengkeng (Domocarpus longan Lour) Varietas

Pingpong secara In Vitro. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.

Wudianto, R. 1998. Membuat Setek, Cangkok, dan Okulasi. Penebar Swadaya. Jakarta.