Pengembangan Agrowisata Desa Kerta Sebagai Pariwisata Berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan yang telah berjalan selama ini lebih menitikberatkan pada pengembangan sektor sekunder yang ditujukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Namun, sampai saat ini belum mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara merata khususnya masyarakat pedesaan, sehingga belum dapat dipakai sebagai tolak ukur peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Hal ini diakibatkan karena keterlibatan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan dan menikmati hasil pembangunan diberbagai sector relative masih sangat kurang. Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan Pranoto, Ma’arif, Sutjahjo, dan Siregar (2006), bahwa kebijakan pembangunan untuk daerah selama ini belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, bahkan telah menimbulkan kesenjangan kesejahteraan antara kota dan desa.

Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2012:393-395), dalam kurun waktu 2010-2014, tantangan pembangunan semakin berat. Beberapa tantangan yang harus dihadapi untuk mencapai perwujudan masyarakat yang sejahtera di tengah persaingan global yang terus meningkat antara lain: pertama, laju pertumbuhan ekonomi untuk mencapai pembangunan yang inklusif, pembangunan memerlukan percepatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen per tahun dalam 5 tahun mendatang. Kedua, percepatan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan adalah pertumbuhan ekonomi yang mengikutsertakan sebanyak


(2)

2

mungkin penduduk Indonesia (inclusive growth). Ketiga, untuk mengurangi kesenjangan antar pelaku usaha, pertumbuhan ekonomi yang tercipta harus dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya dan lebih merata ke sektor-sektor pembangunan yang banyak menyediakan lapangan kerja. Keempat, mengurangi kesenjangan antar pelaku usaha,pertumbuhan ekonomi yang tercipta harus dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya dan lebih merata ke sektor-sektor pembangunan yang banyak menyediakan lapangan kerja. Kelima, pertumbuhan ekonomi tidak boleh merusak lingkungan hidup. Keenam, pembangunan infrastruktur makin penting jika dilihat dari berbagai dimensi. Ketujuh, sumber pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan harus berasal dari peningkatan produktivitas.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 bahwa kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip-prinsip menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan;menjunjung tinggi hak azasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal; memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas; memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup; memberdayakan masyarakat setempat; menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah, antar pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan;


(3)

3

mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional bidang pariwisata; dan memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di samping harus berpedoman pada prinsip-prinsip yang tertuang dalam Undang-Undang Kepariwisataan, pengembangan pariwisata Indonesia pada dasarnya diarahkan untuk beberapa tujuan diantaranya yaitu memupuk rasa cinta terhadap tanah air, bangsa dan negara, menanamkan jiwa dan semangat serta nilai-nilai luhur bangsa, meningkatkan kualitas budaya bangsa, memperkenalkan peninggalan sejarah, keindahan alam dan bahari, peningkatan kesadaran dan pariwisata masyarakat melalui usaha pembinaan dan penyuluhan terhadap kelompok-kelompok seni budaya, industri kerajinan, pengenalan dan pengembangan budaya bangsa, memelihara kepribadian bangsa dan kelestarian lingkungan (Muljadi, 2014:39).

Pariwisata merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh wisatawan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Kegiatan kepariwisataan dilakukan mulai dari keberangkatan hingga di daerah tujuan di seluruh penjuru dunia. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dorong yang luar biasa sehingga bisa membuat masyarakat setempat mengalami siklus dalam kehidupan (Ismayanti, 2010:181-182). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Bab I pasal 1 ayat 3, menyatakan bahwa pariwisata adalah berbagai kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.


(4)

4

Menurut Prasiasa (2013:8-10), menyatakan bahwa industri pariwisata telah mampu memberikan sumbangan terhadap penerimaan devisa yang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan nasional, meringankan utang negara, dan memelihara nilai tukar (kurs) mata uang rupiah terhadap mata uang asing. Besarnya kontribusi sektor pariwisata dalam meningkatkan penerimaan devisa, sehingga pariwisata dijadikan sebagai salah satu sektor andalan dalam perekonomian nasional, bahkan pariwisata mampu bersaing dalam pemberian pendapatan devisa negara. Sunaryo (2013:68-76), menyatakan pengembangan kepariwisataan yang tidak menerapkan prinsip-prinsip pelestarian dan strategi perencanaan yang berwawasan lingkungan akan dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan yang berupa berbagai permasalahan degradasi lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, ekonomi maupun budaya.

Pesatnya perkembangan industri pariwisata selama ini, tidak saja membawa manfaat ekonomi, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat serta alam dan lingkungan. Dampak negatif terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat, diantaranya terjadinya kesenjangan sosial, individualisme, meningkatnya kriminalitas, tumbuhnya perilaku materialisme dan terjadinya degradasi budaya. Sedangkan dampak negatif terhadap lingkungan alam adalah terjadinya alih fungsi lahan, pencemaran udara, air, terjadinya erosi, abrasi dan dampak negatif lainnya.

Berkembangnya wilayah menjadi destinasi pariwisata, sudah barang tentu menimbulkan perubahan pada seluruh aspek kehidupan masyarakat, salah satunya adalah perubahan mata pencaharian. Perubahan ini umumnya terjadi karena


(5)

5

adanya keinginan dari masyarakat di destinasi pariwisata untuk mengubah kondisi ekonominya, baik yang bersifat individu, keluarga, kelompok usaha maupun kelompok masyarakat (Prasiasa, 2013:61-62). Pujaastawa, Wirawan, dan Adhika, (2005), menyatakan bahwa model kebijakan pembangunan pariwisata dewasa ini diharapkan lebih berpihak bagi kesejahteraan ekonomi rakyat serta mampu memberikan manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan secara merata dan berkelanjutan. Namun dalam kenyataannya manfaat ekonomi yang diperoleh dari sektor pariwisata kerap kali dibarengi oleh berbagai masalah sosial-budaya dan juga lingkungan.

Di Bali, industri pariwisata memang diakui telah membawa peningkatan ekonomi yang sangat signifikan bagi sebagian masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pesatnya pembangunan pariwisata Bali, tidak hanya berdampak positif seperti peningkatan pendapatan daerah, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan, tetapi juga menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran, kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan pertanian. Namun menurut Prasiasa (2011:155), pengembangan pariwisata dan keterlibatan masyarakat juga menimbulkan makna yang berupa makna kesejahteraan, makna pelestarian, dan makna pemberdayaan. Demikian juga pihak yang berpandangan optimis, perkembangan pariwisata di Bali membawa dampak positif terhadap kebudayaan setempat. Misalnya McKean (1978) yang dikutip oleh Pujaastawa, Wirawan, dan Adhika (2005:25), menyatakan bahwa kehadiran wisatawan ke Bali justru dapat memperkokoh benteng pertahanan kebudayaan setempat. Hal tersebut tampak pada masyarakat Bali, dimana perkembangan


(6)

6

pariwisata dipandang sebagai fenomena modernisasi bagi masyarakat dan kebudayaan Bali sesungguhnya berlangsung melalui pelestarian tradisi masa lalu.

Di Kabupaten Gianyar, kegiatan kepariwisataan bermula pada tahun 1920an saat Walter Spies, seorang pelukis asing kelahiran Jerman yang menetap di Ubud, di tepi Sungai Wos, tepatnya di Campuhan Ubud. Nama Walter Spies cukup melegenda di Bali. Kemasyuran nama Walter Spies telah tertulis dalam buku “Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata” karya penulis Perancis Michael Picard (2006). Dalam buku tersebut diulas kiprah Walter Spies sebagai salah satu pioneer Pariwisata Bali selama menetap di Ubud. Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten dari sembilan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali yang kaya akan keanekaragaman seni, adat dan budaya yang masih tetap berkembang dan lestari sampai saat ini, sehingga dikenal sebagai kabupaten seni (Disparda Kabupaten Gianyar, 2014).

Perkembangan kepariwisataan di Kabupaten Gianyar mengalami pasang surut. Keadaan ini dapat dilihat dari data kunjungan wisatawan ke Kabupaten Gianyar dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2012, kunjungan wisatawan mencapai 1.680.105 orang dan mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi 1.658.795 orang, atau menurun sebesar 1,27% dari tahun sebelumnya. Namun seiring berjalannya waktu, kunjungan wisatawan ke Kabupaten Gianyar mengalami peningkatan kembali pada tahun 2014 menjadi 1.921.819 orang atau meningkat sebesar 15,86% (Diparda Kabupaten Gianyar, 2015).

Kemajuan sektor pariwisata seharusnya dapat mendorong terpeliharanya budaya agraris dan kelestarian alam serta produk-produk pertanian sehingga


(7)

7

mampu memenuhi kebutuhan pariwisata di daerah. Untuk memenuhi kebutuhan pariwisata di daerah, pembangunan sektor pariwisata seharusnya dikaitkan dengan pembangunan sektor pertanian. Hal ini dilakukan dalam rangka mempercepat pertumbuhan wilayah dan pembangunan pedesaan serta mendorong tumbuh-kembangnya investasi di bidang pertanian (Dinas Pertanian, Perhutanan, dan Perkebunan Kabupaten Gianyar, 2011).

Pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Gianyar perlu dilakukan secara terpadu dengan sektor pertanian dan sektor-sektor lainnya agar sektor pertanian tidak terpinggirkan. Hal ini penting dilakukan agar pembangunan kepariwisataan dapat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat petani dalam merencanakan, melaksanakan dan menikmati hasil pembangunan serta mampu meningkatkan nilai tambah produk pertanian dan mengangkat kesejahteraan masyarakat petani.

Dalam rangka mempercepat dan menata pembangunan wilayah, Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar telah membagi wilayah ke dalam zona-zona pengembangan dan menetapkan arah kebijakan pembangunan yang dituangkan ke dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 16 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), khususnya pada bagian ketiga tentang strategi penataan ruang wilayah kabupaten pasal 8 yaitu: (1) Pengembangan wilayah-wilayah berdasarkan potensi dan karakter wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a diwujudkan dengan strategi: a) mengarahkan wilayah Gianyar sebelah barat sebagai dominasi kawasan pengembangan pariwisata dengan berbasis kebudayaan Bali dan industri


(8)

8

kerajinan; b) mengarahkan wilayah Gianyar sebelah timur sebagai pusat pemerintahan dan pendidikan serta wisata remaja/rekreasi; c) mengarahkan wilayah Gianyar sebelah tengah sebagai konservasi warisan budaya (culture heritage); d) mengarahkan wilayah Gianyar Sebelah Selatan sebagai dominasi kawasan perdagangan atau jasa dan wisata belanja serta pertanian; e) mengarahkan wilayah Gianyar Sebelah Utara sebagai dominasi kawasan pengembangan pertanian, konservasi daerah resapan air dan culture heritage.

Selain menetapkan zona-zona dalam pengembangan wilayah, Pemerintah Kabupaten Gianyar juga berupaya mengaitkan pembangunan sektor pertanian dengan sektor pariwisata, melalui kebijakan strategis dengan menjadikan Kecamatan Payangan sebagai Kawasan Agropolitan melalui Surat Keputusan Bupati Gianyar Nomor 194 Tahun 2003 tanggal 14 April 2003.

Kecamatan Payangan adalah salah satu dari tujuh kecamatan yang ada di Kabupaten Gianyar yang memiliki wilayah terluas yaitu 75,88 km² atau 20,62% dari luas wilayah Kabupaten Gianyar. Ciri wilayah Kecamatan Payangan adalah 60% merupakan daerah dengan relief bergelombang-berbukit kecil dengan kemiringan lereng 25-40%. Rerata suhu tahunan berkisar antara 21,0-23,5 derajat celcius, rerata jumlah curah hujan tahunan cukup tinggi (2.203 mm), dan lama bulan kering adalah 3-4 bulan (Supartha dkk., 2013:88). Langkah awal dari kebijakan Bupati Gianyar dalam menjadikan Kecamatan Payangan sebagai Kawasan Agropolitan di Kabupaten Gianyar adalah dilakukannya pendataan potensi agrowisata di seluruh wilayah Kecamatan Payangan.Pendataan yang


(9)

9

dilakukan terkait dengan potensi lingkungan fisik maupun nonfisik, sektor ekonomi dan budaya yang mendukung pengembangan agrowisata.

Penilaian yang dilakukan didasarkan atas adanya potensi unggulan kawasan yang didukung aspek fisik dasar dan aspek fisik binaan, sarana dan prasarana yang mendukung, ada tidaknya komoditas/produk unggulan, aksessibilitas, dan potensi unggulan lainnya; potensi sumber daya manusia; persepsi masyarakat terhadap dikembangkannya kawasan tersebut sebagai obyek agrowisata; dan kebijakan pemerintah yang mendukung. Hasil pendataan menunjukkan bahwa lokasi yang berada di kawasan Agropolitan Payangan yang dinyatakan layak dikembangkan sebagai objek agrowisata adalah Desa Kerta dan Desa Buahan Kaja serta persepsi masyarakat secara umum setuju daerahnya dikembangkan sebagai objek agrowisata.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bali (2011), menyatakan bahwa pengembangan Kawasan Agropolitan merupakan konsep pengembangan wilayah berbasis pertanian yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan kawasan pedesaan. Ditinjau dari sistem agribisnis Kawasan Agropolitan merupakan kawasan ekonomi yang berbasis pertanian dan bercirikan komoditi unggulan, dengan batasan skala ekonomi atau skala usaha tanpa dibatasi wilayah administrasi. Tujuan utama pengembangan Kawasan Agropolitan adalah meningkatkan pendapatan masyarakat petani di perdesaan; menumbuhkembangkan pusat pertumbuhan ekonomi baru berbasis pertanian; membuka lapangan pekerjaan baru khusus bagi masyarakat perdesaan sehingga dapat mengurangi urbanisasi; mewujudkan tata ruang ideal antara kota dengan


(10)

10

desa yang saling mendukung, melengkapi dan memperkuat. Sedangkan sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah terwujudnya kawasan agropolitan dan berkembangnya ekonomi lokal yang berbasis produk unggulan daerah yang efektif, efisien, transparan dan berkelanjutan.

Menurut Departemen Pertanian Republik Indonesia (2012), untuk dapat merebut peluang pasar dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu meningkatkan pasar dengan konsep "universal", danpengembangan pasar berdasarkan konsep "uniqueness". Konsep universal dapat ditempuh melalui diversifikasi dan peningkatan kualitas sesuai dengan persyaratan yang diminta konsumen dan pasar global.Sedangkan pada konsep uniqueness, konsumen ditawarkan kepada produk spesifik lokasi yang bersifat unik. Salah satu bidang usaha dalam penciptaan pasar yang didasarkan kepada konsep uniqueness adalah usaha agrowisata.

Agrowisata merupakan terobosan besar dan solusi dalam pembangunan pariwisata secara berkelanjutan. Pengembangan agrowisata merupakan salah satu alternatif yang diharapkan mampu mendorong potensi ekonomi daerah maupun upaya-upaya pelestarian alam, kekayaan hayati dan kekayaan budaya bangsa (Bappenas, 2004). Menurut Rai Utama (2012) menyatakan agrowisata merupakan pariwisata pro pertanian dan memiliki filosofi meningkatkan pendapatan kaum tani, dan meningkatkan kualitas alam pedesaan menjadi hunian yang benar-benar dapat diharapkan sebagai hunian yang berkualitas, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk belajar tentang kehidupan pertanian yang menguntungkan dan ekosistemnya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa agrowisata


(11)

11

bukan semata merupakan usaha/bisnis dibidang jasa yang menjual jasa bagi pemenuhan konsumen akan pemandangan yang indah dan udara yang segar, namun juga dapat berperan sebagai media promosi produk pertanian, menjadi media pendidikan masyarakat, memberi signal bagi peluang pengembangan diversifikasi pruduk agribisnis dan berarti pula dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan baru daerah, sektor pertanian dan ekonomi nasional.

Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 16 Tahun 2012 tentang Rencana tata Ruang Wilayah (RTRW), khususnya pada bagian kedua pasal 10 menetapkan Desa Kerta dengan fungsi utama sebagai Pusat Kawasan Agropolitan Payangan dan Pusat Pengembangan Agrowisata di Kawasan Agrowisata Gianyar Utara. Secara geografis Desa Kerta berada di Kawasan Agropolitan Payangan dan di Kawasan Pengembangan Agrowisata Gianyar Utara dengan luas wilayah 1.442,3 hektar, memiliki areal pertanian yang cukup luas yang terdiri dari, areal persawahan seluas 177,25 hektar yang didukungoleh lima subak, tanah kering (tegal/ladang dan pekarangan seluas 845,09 hektar yang didukung lima subak abian, areal hutan (hutan rakyat dan adat) mencapai 342,16 hektar dan sisanya seluas 27 hektar merupakan fasilitas umum yang terbagi dalam delapan banjar dinas dan delapan desa pekraman.

Perkembangan kepariwisataan di Desa Kerta dalam tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari data kunjungan wisatawan pada dua usaha wisata alam yaitu wisata kebun bunga potong tropika Sekar Bumi dan wisata petualangan alam PT. Bali Quad Discovery Tour. Kunjungan wisatawan pada tahun 2012 tercatat sebanyak 2.717 orang, pada


(12)

12

tahun 2013 tercatat sebanyak 3.590 orang wisatawan, dan pada tahun 2014 meningkat menjadi 6.390 orang atau naik sebesar 77,99% dari tahun 2013.

Dari data kunjungan tersebut terlihat minat wisatawan yang mengunjungi agrowisata bunga potong tropika jauh lebih tinggi yaitu sebanyak 2.102 orang pada tahun 2012, 2.687 orang pada tahun 2013, dan sebanyak 5.042 orang pada tahun 2014, sedangkan minat wisatawan yang mengunjungi wisata petualangan (adventure), hanya 615 orang pada tahun 2012, 903 orang pada tahun 2013, dan sebanyak 1.348 orang pada tahun 2014. Perbedaan jumlah kunjungan tersebut rata-rata mencapai 200%. Hal ini memberikan gambaran cukup baik dalam pengembangan Agrowisata Desa Kerta, mengingat potensi Desa Kerta di bidang pertanian dalam arti luas relatif cukup baik.

Secara geografis letak Desa Kerta sangat strategis, berada diantara dua kawasan pariwisata terkenal yaitu Ubud dan Kintamani. Berdasarkan konsep pengembangan Desa Kerta secara spasial difokuskan sebagai pusat kegiatan Agrowisata Gianyar Utara, maka selain sebagai pintu masuk utama dalam kawasan Agrowisata Gianyar Utara, Desa Kerta juga ditetapkan sebagai Pusat Pengembangan Holtikultura (buah-buahan, sayuran), area pengembangan wisata buah, Bio Energi, dan Desa Budaya/Tradisional.

Cremers (2010) dalam penelitian yang berjudul “Suggestion for the development of ecotourism activities in Desa Kerta”, mengidentifikasi sepuluh kekuatan, sembilan kelemahan, delapan peluang, dan lima ancaman dalam aktivitas ekowisata di Desa Kerta. Hasil penelitian ini merekomendasikan pengembangan aktivitas wisata bersepeda melintasi banjar-banjar yang ada;


(13)

13

mengadakan loka karya tentang pembuatan kerajinan; meningkatkan pasar dan pasar seni di sepanjang jalan utama; mengembangkan aktivitas tracking melalui sawah dan hutan bambu. Selain itu, Cremers juga merekomendasikan dua hal yang sangat mendasar yaitu peningkatan kemampuan berbahasa Inggris bagi warga desa dan penguatan organisasi atau kelembagaan yang mengatur aktivitas ekowisata baru. Dalam pengembangan Agrowisata Desa Kerta dapat disinergikan dengan program pengembangan ekowisata karena ekowisata dan agrowisata memiliki banyak persamaan, yaitu keduanya berbasis pada sumber daya alam dan lingkungan.

Menurut Muljadi dan Warman (2014:56-57), produk pariwisata memiliki sifat kompleks dan berbeda dengan produk yang dihasilkan industri lainnya, terutama industri manufaktur atau pabrikan. Karakteristik inilah yang menjadi produk pariwisata berupa barang dan jasa memiliki keunikan serta memerlukan penanganan yang khusus pula. Pemahaman yang memadai menyangkut karakteristik produk pariwisata akan dapat memberikan pemahaman yang baik terhadap perencanaan, pengembangan, pengelolaan, dan pemasarannya. Adapun karakteristik produk pariwisata adalah tidak dapat disimpan, tidak dapat dipindahkan, proses produksi dan konsumsi berlangsung secara bersamaan, tidak memiliki standar yang baku, tidak dapat dicoba, pengelolaan produk pariwisata mengandung banyak resiko, dan tidak berwujud. Demikian juga halnya dengan Agrowisata Desa Kerta merupakan produk pariwisata yang membutuhkan penerapan etika perencanaan, sistem, dan pola yang jelas, mengingat dalam pengembangannya dihadapkan pada permasalahan yang kompleks.


(14)

14

Selama ini potensi pertanian Desa Kerta belum dapat dikembangkan secara optimal sebagai daya tarik wisata. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain sumber daya manusia yang belum memadai, rendahnya kemampuan manajemen pengelolaan agrowisata, terbatasnya wawasan masyarakat tentang agrowisata dan kewirausahaan, terbatasnya fasilitas pariwisata, dan belum adanya strategi pengembangan yang jelas dan tepat. Pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan, dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang cukup kompleks, sehingga diperlukan suatu sistim untuk membangun sinergitas dan harmonisasi antara unsur-unsur atau komponen-komponen terkait dan yang tidak terkait.

Menurut Sunaryo (2013:20-21), dimensi hubungan keterkaitan yang langsung dan tidak langsung, rangkaian kegiatan-kegiatan yang terkait dengan aktivitas kepariwisataan sifatnya sangat holistik, yaitu saling mengkait satu sama lain yang tidak bisa dipisah-pisahkan serta membentuk suatu kesisteman yang harus diperhatikan secara utuh dan menyeluruh. Hal ini memberi makna bahwa pembangunan kepariwisataan tidak bisa dilakukan hanya dengan mengembangkan daya tariknya saja, tanpa harus memperhatikan aksesibilitas, transportasinya dan fasilitas pendukung lainnya, seperti fasilitas akomodasi, restoran (food and baverage), pusat layanan informasi wisata, kondisi keamanan, fasilitas penjualan cindera mata, penataan landscape yang semuanya harus dikembangkan secara menyeluruh (holistic) dalam suatu sistem perencanaan yang terpadu.

Lebih lanjut Sunaryo (2013:87) menyatakan bahwa dengan menyadari pariwisata adalah kegiatan yg tidak mengenal batas, baik dalam artian sektor


(15)

15

kegiatan, ruang (spasial) dan wilayah (regional), maka pengembangan pariwisata sangat memerlukan pendukungan dan sinergi program pengembangan kepariwisataan secara lintas sektor dan lintas daerah. oleh karna itu, keterpaduan pengembangan antar pihak-pihak yang terkait di dalamnya harus dibangun secara efektif, holistik dan komplementer. Pendekatan melalui pola-pola kemitraan lintas sektor dan wilayah dalam upaya pengembangan destinasi wisata merupakan salah satu model yang perlu di bangun dan di rumuskan implementasinya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Apakah potensi desa yang sudah dan akan dikembangkan sebagai produk Agrowisata Desa Kerta di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar ?

2. Apakah faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar ?

3. Bagaimanakah strategi dan program pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ada dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.


(16)

16

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi desa yang dapat dikembangkan sebagai produk agrowisata serta merumuskan strategi pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.

1.3.2Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. untuk mengetahui potensi desa yang sudah dan akan dikembangkan sebagai produk Agrowisata Desa Kerta di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.

b. untuk mengetahui faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.

c. untuk merumuskan strategi dan program pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1Manfaat Teoritis

Hasl penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi akademik bagi perkembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi, menambah pengetahuan dan wawasan tentang daya tarik agrowisata bagi praktisi, mahasiswa maupun akademisi serta dapat dijadikan bahan acuan dalam penelitian atau kajian tentang daya tarik agrowisata selanjutnya.


(17)

17

Adapun manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan terkait pengembangan agrowisata di Desa Kerta, di Kawasan Agropolitan Payangan maupun di Kawasan Agrowisata Gianyar Utara. 2. Memberikan informasi yang lebih akurat bagi masyarakat, pemerintah desa dan pemerintah daerah mengenai potensi Desa Kerta yang dapat dikembangkan sebagai produk agrowisata.

3. Memberikan informasi yang lebih akurat bagi masyarakat, pemerintah desa maupun pemerintah daerah mengenai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan Agrowisata Desa Kerta.

4. Mendayagunakan keragamanan sumberdaya alam hayati sebagai sumber pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara optimal dan berkelanjutan.

5. Mendorong tumbuh-kembangnya unit-unit usaha agribisnis dalam berbagai tingkatan skala usaha, baik di tingkat produksi/budidaya (on farm) maupun di tingkat pemasaran (off farm).

6. Mendorong pertumbuhan dan perkembangan kelembagaan ekonomi petani serta jaringan usahanya, baik di hulu maupun di hilir.


(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Agrowisata merupakan salah satu bentuk wisata yang sangat komplek, sehingga dapat dipandang sebagai suatu sistem, karena melibatkan berbagai komponen dan banyak pihak, antara lain supply and demand, masyarakat, pemerintah sebagai pemegang kebijakan, pelaku dan pengusaha pariwisata. Untuk dapat mengimplementasikan dan merealisasikan pembangunan pariwisata berkelanjutan (Sustainable Tourism), maka aspek kehidupan masyarakat, kelestarian sumber daya alam dan lingkungan harus lebih diutamakan dibandingkan aspek ekonominya. Salah satu bentuk/produk pariwisata yang mengedepankan aspek kehidupan masyarakat, kelestarian sumber daya alam dan lingkungan adalah agrowisata (agrotourism). Agrowisata pada intinya memiliki konsep mengedepankan aktivitas pertanian dan suasana pedesaan yang masih alami sebagai daya tarik wisatanya, tanpa mengabaikan kenyamanan wisatawan dan pelaku pariwisatanya.

Penelitian ini merujuk pada sembilan hasil penelitian terdahulu tentang pengembangan agrowisata, pariwisata kerakyatan, pariwisata pedesaan, dan kebijakan pengembangan pariwisata, yaitu penelitian Bambang (2006), Wirawan (2007), Suwatno (2008), Sedana (2009), Cremers (2010), Saridarmini (2011), Nurhidayati (2012), Rudita (2012), dan Putra (2012).

Penelitian Bambang (2006) yang berjudul “Pengembangan Agrowisata Berwawasan Lingkungan: Studi Kasus Desa Wisata Tingkir, Salatiga”,


(19)

menyatakan bahwa kegiatan agrowisata merupakan kegiatan jangka panjang sehingga perlu dilakukan perspektif jangka panjang, membangun dan mengembangkan usaha wisata agro berwawasan lingkungan membutuhkan terbinanya sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lestari sehingga agrowisata merupakan usaha agribisnis yang membutuhkan keharmonisan dengan lingkungan hidup dalam segala aspek. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif. Dalam merumuskan model pembangunan agrowisata berwawasan lingkungan dikaji berdasarkan theseven steps of planning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kelurahan Tingkir Lor memiliki potensi untuk dibangun dan dikembangkan sebagai lokasi agrowisata berwawasan lingkungan, sekaligus mengembangkan Desa Wisata Tingkir yang pada saat ini masih belum dapat disebut sebagai tempat tujuan wisata; masyarakat setempat mendukung pembangunan obyek wisata di Desa Wisata Tingkir dengan konsep agrowisata berwawasan lingkungan; berdasarkan pendekatan theseven steps of planning, maka model pembangunan agrowisata berwawasan lingkungan di Desa Wisata Tingkir adalah dengan mengembangkan budidaya agro sebagai obyek (atraksi) wisata melibatkan masyarakat.

Penelitian yang dilakukan Bambang memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu sama-sama memiliki fokus pengembangan agrowisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai objek wisata. Kedua penelitian ini pada prinsipnya sama-sama menuju pada pembangunan pariwisata berkelanjutan. Sedangkan perbedaan penelitian Bambang dan penelitian ini adalah bahwa penelitian Bambang merupakan sebuah studi kasus yang dilakukan di Desa


(20)

Tingkir, Salatiga, dan penelitian ini merupakan penelitian untuk mencari strategi dan program dalam pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.

Penelitian Wirawan (2007) yang berjudul “Perencanaan Pembangunan Pariwisata di Kabupaten Gianyar (Suatu Kajian Tentang Perencanaan Pemulihan Pariwisata Dalam Perspektif Emansipatif). ”Penelitian ini dilakukan karena adanya penilaian bahwa upaya pemulihan pariwisata Bali pasca peristiwa pengeboman di Kuta dan Jimbaran yang kurang serius. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan strategi pembangunan pariwisata dan mekanisme perencanaan yang diterapkan dalam upaya pemulihan pariwisata yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar; perencanaan pembangunan pariwisata yang dilakukan dalam perspektif emansipatif dalam upaya pemulihan pariwisata di Kelurahan Ubud; dan faktor-faktor penghambat dalam perencanaan pemulihan pariwisata di Kelurahan Ubud. Langkah-langkah penataan Bali dan upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah jauh dari keinginan rakyat dan belum menyentuh kepentingan rakyat Bali secara menyeluruh. Pemulihan ekonomi hanya menguntungkan segelintir pihak, sedangkan masyarakat kecil yang memerlukan bantuan belum tersentuh. Pemerintah pusat dan daerah dianggap tidak fokus menyusun dan melakukan agenda pemulihan pariwisata pasca peledakan bom Kuta dan Jimbaran.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan dalam mengupayakan perbaikan maupun pemulihan sektor pariwisata, perlu ditentukan strategi penanganannya


(21)

dan mekanisme perencanaan yang sesuai dengan karakteristik daerah bersangkutan dan lebih banyak melibatkan masyarakat secara emansipatif; dalam perspektif emansipatif, keberdayaan dan kemandirian masyarakat akan dapat menumbuh-kembangkan prakarsa, kreativitas dan inisiatifnya dalam mengupayakan perbaikan kondisi wilayahnya sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya; faktor penghambat yang paling mungkin dan paling dominan ditemui, adalah faktor lingkungan dan faktor pendanaan.

Penelitian Wirawan dan penelitian ini memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama mengambil objek di wilayah Kabupaten Gianyar, sedangkan perbedaannya adalah penelitian Wirawan mengambil ruang lingkupnya lebih luas yaitu di seluruh wilayah Kabupaten Gianyar dan penelitian ini memiliki ruang lingkup hanya di salah satu desa yang ada di wilayah Kabupaten Gianyar, tepatnya di Desa Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar, lokasi ini merupakan Kawasan Agropolitan yang ada di Kabupaten Gianyar. Perbedaan lainnya adalah penelitian Wirawan berfokus pada perencanaan pembangunan pariwisata di Kabupaten Gianyar, khususnya perencanaan pemulihan pariwisata dalam perspektif emansipatif, sedangkan penelitian ini berfokus pengembangan agrowisata. Penelitian Wirawan dilakukan karena adanya penilaian bahwa upaya pemulihan pariwisata Bali pasca peristiwa bom Bali di Kuta dan Jimbaran yang kurang serius, sedangkan penelitian ini dilakukan karena belum adanya strategi dan program yang jelas dalam pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan dan di Kawasan Agrowisata Gianyar Utara.


(22)

Suwatno (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Perencanaan Agrowisata di Kawasan Kedung Kayang Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang” Penelitian ini bertujuan untuk membuat perencanaan agrowisata di kawasan wisata Kedung Kayang dengan menggunakan metode survei. Hasil penelitiannya menujukkan bahwa potensi wisata yang ada dapat dikembangkan menjadi agrowisata. Semua potensi yang ada dapat di kemas dan ditonjolkan melalui perencanaan agrowisata yang dibagi menjadi tiga zona (bagian) yaitu main entrance yang terdiri atas pusat informasi, parkir, pos keamanan, zona utama yaitu terdiri atas empat bagian/zona (zona 1 tanaman bunga, zona 2 tanaman sayur-sayuran, zona 3 tanaman buah, dan zona 4 sebagai hutan konservasi) dan zona pendukungnya yaitu bumi perkemahan, terowongan, home stay, rest area, bukit dan air terjun.

Penelitian Suwatno memiliki persamaan dengan penelitian ini terutama tentang fokus peneliitian. Penelitian Suwatno dan penelitian ini sama-sama berfokus pada objek wisata agro (agrowisata), sedangkan perbedaannya adalah penelitian Suwatno dilakukan di Kawasan Kedung Kayang Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang, dengan tujuan untuk membuat perencanaan agrowisata di kawasan wisata Kedung Kayang Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang. Sedangkan penelitian ini dilakukan di Desa Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar, yang merupakan Kawasan Agropolitan Payangan. Di samping bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan sebagai produk agrowisata, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, serta


(23)

merumuskan strategi dan program pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.

Penelitian Sedana (2009) yang berjudul “Perencanaan Pengembangan Agrowisata di Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar. Penelitian ini dilatarbelakangi adanya kebijakan pembangunan pariwisata Kabupaten Gianyar, dan rencana strategis Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar 2008-2013 dan bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan perencanaan pengembangan agrowisata di Kecamatan Payangan serta faktor-faktor yang mendukung dan menghambat perencanaan pengembangan agrowisata di Kecamatan Payangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam perencanaan pengembangan agrowisata di Kecamatan Payangan, perlu memperhatikan kawasan yang akan dikembangkan dengan identifikasi kebijakan rencana dasar, rencana pengembangan ini sudah sesuai dengan kebijakan pembangunan pariwisata Kabupaten Gianyar; mekanisme perencanaan pembangunan pariwisata yang menggunakan gabungan pendekatan top down dan bottom up planning berjalan sebagaimana mestinya, namun terkadang tidak muncul dalam perencanaan daerah ataupun SKPD; penyusunan rencana pengembangan agrowisata sudah sesuai dengan kebutuhan dalam pengembangan namun karena keterbatasan dana yang direncanakan maka pelaksanaan perencanaan dibuat secara bertahap dan berkelanjutan; sistem yang digunakan oleh kelompok prima tani serta adanya koordinasi yang baik antar dinas terkait sebagai faktor pendukungnya, akan tetapi masih dijumpai adanya faktor


(24)

penghambat dalam perencanaan seperti faktor lingkungan dari aspek politik dan faktor pendanaan.

Penelitian Sedana dan penelitian ini memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaan penelitian yang dilakukan Sedana adalah sama-sama memiliki fokus penelitian terhadap objek wisata agro (agrowisata) dan sama-sama dilatarbelakangi oleh adanya kebijakan pembangunan pariwisata Kabupaten Gianyar, dan rencana strategis Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian Sedana dilakukan di seluruh wilayah Kecamatan Payangan dan bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan perencanaan pengembangan agrowisata di Kecamatan Payangan, sedangkan penelitian ini mengambil ruang lingkup hanya di Desa Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar dan bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan produk agrowisata, mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta merumuskan strategi dan program pengembangan agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.

Cremers (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Suggestion for the development of eco tourism activities in Desa Kerta” merekomendasikan empat strategi dalam pengembangan aktivitas ekowisata di Desa Kerta yaitu pengembangan aktivitas wisata bersepeda melintasi banjar-banjar yang ada; mengadakan loka karya tentang pembuatan kerajinan; peningkatan pasar dan pasar seni sepanjang jalan utama; pengembangan aktivitas trekking melalui hutan bambu dan sawah. Hasil penelitian ini juga merekomendasikan dua hal yang


(25)

sangat mendasar yaitu peningkatan kemampuan berbahasa inggris bagi warga desa dan penguatan organisasi atau kelembagaan yang mengatur aktivitas ekowisata baru.

Penelitian Cremers dan penelitian ini sama-sama dilakukan di Desa Kerta, tetapi memiliki fokus dan tujuan yang berbeda. Penelitian Cremers merupakan kajian tentang aktivitas ekowisata (eco tourism) yang dirangkum dalam bentuk saran-saran atau masukan untuk pengembangan aktivitas ekowisata (eco tourism) di Desa Kerta dan bertujuan untuk membantu warga Desa Kerta dalam mengembangkan aktivitas ekowisata baru (new ecotorism). Sedangkan penelitian ini merupakan penelitian yang berfokus pada pengembangan agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangaan Kabupaten Gianyar dan bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan produk agrowisata, mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta merumuskan strategi dan program pengembangan agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.

Penelitian Saridarmini (2011) yang berjudul “Dampak Agrowisata Berbasis Modal dan Agrowisata Berbasis Masyarakat Di Bali”. Penelitian Saridarmini dilakukan di dua kabupaten yaitu di Kabupaten Badung (Desa Sibang Kaja) dan Kabupaten Karangasem (Desa Sibetan), Propinsi Bali dengan tujuan untuk mengetahui dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari model agrowisata berbasis modal dan masyarakat; untuk mengetahui perbedaan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari model agrowisata berbasis modal dan masyarakat.


(26)

Menggunakan analisis deskriptif untuk mendeskripsikan karakteristik dampak pada variabel sosial, ekonomi, danlingkungan berdasarkan parameter pengukuran terhadap indikator-indikatornya. Khusus untuk penilaian dampak ekonomi dilakukan analisis manfaat dan biaya (B/Cratio) pada model agrowisata berbasis modal, dan analisis finansial usahatani padamodel agrowisata berbasis masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan secara sosial kedua model pengembangan agrowisata dapat menjadi wahana pembelajaran bagi pengunjung. Namun diantara dua model tersebut, model agrowisata berbasis modal belum banyak berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja terutama bagi masyarakat sekitarnya. Lembaga yang terbentuk hanya terbatas pada lembagainternal agrowisata tersebut. Sedangkan model agrowisata berbasis masyarakat, para petani telah terorganisir dalam kelompok tani agrowisata, bahkan telah membentuk koperasi agrowisata dan telah mampu meningkatkan aktivitas petani di luar usahataninya.

Penelitian Saridarmini dan penelitian ini memiliki kesamaan dari sisi fokus penelitian, yaitu sama-sama berfokus pada objek wisata agro (agrowisata). Penelitian Saridarmini dilakukan di dua kabupaten yaitu di Kabupaten Badung (Desa Sibangkaja) dan Kabupaten Karangasem (Desa Sibetan) dan bertujuan untuk mengetahui dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari model agrowisata berbasis modal dan masyarakat; mengetahui perbedaan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari model agrowisata berbasis modal dan masyarakat. Sedangkan penelitian ini dilakukan di Desa Kerta dan bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan produk agrowisata, mengetahui kekuatan, kelemahan,


(27)

peluang dan ancaman serta merumuskan strategi dan program pengembangan agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.

Nurhidayati (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Agrowisata Berkelanjutan Berbasis Komunitas di Kota Batu, Jawa Timur”. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) dalam pengembangan agrowisata di kota Batu, Jawa Timur dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT). Penelitian ini menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif dan lokasi penelitiannya ditetapkan secara purposive di Kota Batu, Jawa Timur. Unit analisis penelitian dilakukan dengan spektrum individu dan institusi (kelembagaan). Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara, wawancara mendalam, dan observasi, sedangkan pengumpulan data sekundernya dilakukan dengan mengumpulkan data yang terdapat di steakholder terkait (SKPD) dan Pemerintah Desa dan Kecamatan. Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis kuantitatif (statistik) dan analisis kualitatif (analisis konten dan interaktif). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip ekonomi CBT dalam pengembangan agrowisata berkaitan dengan terciptanya pekerjaan yang menyerap tenaga kerja lokal, pengembangan usaha sektor pariwisata, dan peningkatan pendapatan komunitas yang berasal dari belanja wisata. Penerapan prinsip sosial CBT dalam pengembangan agrowisata ditandai dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat, berdampak pada perubahan nilai sosial.


(28)

Lebih lanjut Nurhidayati (2012) menyatakan bahwa dari aspek gender, agrowisata menghasilkan segregasi kerja sektor pariwisata, pelabelan (stereotype) dan beban kerja ganda pada perempuan. Penerapan prinsip budaya CBT mengindikasikan tidak menguatkan seluruh aspek sosial kapital, interaksi wisatawan dan komunitas menghasilkan kontak dan pertukaran nilai budaya, pengetahuan baru bagi komunitas dan penerimaan simbul modernitas dari luar komunitas. Penerapan prinsip politik CBT, menunjukkan adanya penguatan peran dan fungsi kelembagaan lokal serta peningkatan kekuasaan oleh komunitas. Penerapan prinsip lingkungan CBT, mendorong berkembangnya konsep daya dukung komunitas. Sedangkan faktor yang mempengaruhi penerapan prinsip ekonomi CBT adalah struktur perekonomian Kota Batu dan peran pemerintah, prinsip sosial CBT dipengaruhi oleh status kekhususan Kota Batu, kekayaan sumber daya alam, dan kekuatan budaya setempat. Prinsip budaya CBT dipengaruhi oleh berkembangnya budaya multikultur, keterbukaan terhadap informasi, dan etos kerja lokal. Sedangkan penerapan prinsip lingkungan CBT dipengaruhi oleh kondisi lingkungan global dan kearifan lokal komunitas.

Penelitian Nurhidayati memiliki beberapa persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan ini, diantaranya tentang fokus, arah, dan medode (pendekatan) penelitian yang digunakan. Penelitian Nurhidayati dan penelitian ini sama-sama memiliki fokus penelitian pada pengembangan agrowisata, dengan arah penelitian menuju pembangunan pariwisata berkelanjutan dan sama-sama menggunakan dua metode (pendekatan), yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif serta keduanya dilakukan di Kawasan Agropolitan, penelitian


(29)

Nurhidayati berada di Kawasan Agropolitan Kota Batu, Jawa Timur, sedangkan penelitian ini berada di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian Nurhidayati dilakukan di Kota Batu, Jawa Timur dengan tujuan untuk mengkaji penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) dalam pengembangan agrowisata di kota Batu, Jawa Timur dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan prinsip-prinsip CBT, dan penelitian ini dilakukan di Desa Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar dan bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan produk agrowisata, mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta merumuskan strategi dan program pengembangan agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.

Rudita, dkk. (2012) dengan penelitiannnya yang berjudul “Potensi Obyek Wisata dan Keterpaduannya dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi tempat-tempat wisata yang akan dikembangkan di wilayah Agropolitan Payangan; mengetahui persepsi wisatawan pada faktor-faktor yang dampak kunjungan wisatanya ke Kawasan Agropolitan Payangan; merumuskan rencana dan strategi pengembangan pariwisata terpadu di Kawasan Agropolitan Payangan dalam rangka pembangunan daerah. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat enam obyek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan di Kawasan Agropolitan Payangan, yaitu: Agrowisata Payangan, Sungai Ayung, Nyepi Kasa, Aci Keburan, Desa Pakraman Pausan, dan Sarkofagus.


(30)

Lebih lanjut Rudita (2012) menyatakan bahwa, berdasarkan skor yang diperoleh masing-masing obyek wisata, apabila dikelompokkan dapat diketahui tiga kelompok obyek wisata yang paling disukai saat ini yaitu obyek wisata yang berkaitan dengan alam (Sungai Ayung dan Agrowisata Payangan), kedua adalah obyek wisata yang berkaitan dengan adat dan tradisi masyarakat setempat (Nyepi Kasa, Desa Pakraman Pausan, dan Aci Keburan), dan ketiga adalah obyek wisata sejarah dan situs kepurbakalaan (Sarkofagus). Faktor yang mempengaruhi kunjungan wisatawan ke Kawasan Agropolitan Payangan menurut persepsi wisatawan dalam penelitian ini adalah pelayanan, jenis wisata dan atraksi yang ditawarkan, fasilitas yang tersedia, sarana transportasi; dan promosi. Faktor pelayanan, yang berpengaruh positif adalah keramahan masyarakat setempat dan kebersihan lingkungan, sedangkan pemandu wisata dan kios berpengaruh negatif. Faktor jenis wisata dan atraksi yang ditawarkan, yang berpengaruh positif adalah wisata budaya dan wisata alam termasuk agrowisata. Ada tiga rencana dan strategi utama pengembangan obyek wisata secara terpadu dengan pengembangan Kawasan Agropolitan Payangan dalam pengembangan wilayah, yakni 1) rencana meningkatkan keterkaitan sektoral dan meningkatkan keterpaduan antar sektor, melalui pengembangan iptek, 2) memperkenalkan dan menawarkan potensi obyek wisata yang ada, dengan pengembangan paket-paket wisata melalui kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat, dan 3) memperkuat kepariwisataan, dengan membangun kemitraan dan membentuk jejaring.

Penelitian Rudita dkk dengan penelitian ini sama-sama dilakukan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar, namun memiliki tujuan,


(31)

fokus dan ruang lingkup yang berbeda. Penelitian Rudita dkk., bertujuan untuk mengetahui potensi tempat-tempat wisata yang akan dikembangkan di wilayah Agropolitan Payangan; mengetahui persepsi wisatawan pada faktor-faktor yang dampak kunjungan wisatanya ke Kawasan Agropolitan Payangan; merumuskan rencana dan strategi pengembangan pariwisata terpadu diKawasan Agropolitan Payangan dalam rangka pembangunan daerah, sedangkan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan produk agrowisata, mengetahui faktor internal dan eksternal, merumuskan strategi dan program pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Penelitian Rudita dkk memiliki fokus penelitian pada beberapa obyek wisata yang akan dikembangkan di Kawasan Agropolitan Payangan dan persepsi wisatawan, sedangkan penelitian ini hanya berfokus pada objek wisata agro (agrowisata) yang ada di Desa Kerta.

Penelitian Putra (2012) yang berjudul “ Pengembangan Wisata Agro di Banjar Temen, Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali”. Bertujuan untuk mengidentifikasi potensi wisata agro di Banjar Temen, faktor internal dan eksternal serta merumuskan strategi umum pengembangan wisata agro di Banjar Temen, sebagai daya tarik pariwisata alternatif; merumuskan strategi alternatif pengembangan wisata agro yang berbasis kerakyatan berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki dan kendala-kendala yang dihadapi dan dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT.

Hasil penelitian Putra (2012) menyatakan bahwa Banjar Temen memiliki potensi wisata agro yang dapat dikembangkan dimasa yang akan datang; posisi


(32)

wisata agro Banjar Temen pada Teori Destination Life Cycle berada pada tahap Involvement, dimana masyarakat mulai menyediakan fasilitas bagi wisatawan, tetapi belum terlihat peran serta pihak lain dalam pengembangan wisata agro; faktor-faktor internal dan eksternal yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah faktor internal yang merupakan kekuatan, antara lain lahan perkebunan yang subur, produk kopi luwak yang bernilai jual tinggi dan proses pengolahannya, pemandangan alam yang indah, lokasi yang berada di jalur pariwisata, dan varietas tanaman yang beragam; faktor yang merupakan kelemahan, antara lain kurangnya SDM yang memiliki keterampilan, kurangnya sarana dan prasarana penunjang pariwisata, terjadinya persaingan harga antar wisata agro di Banjar Temen, kurangnya kerjasama dengan instansi pemerintah, dan kurangnya promosi. Faktor eksternal yang teridentifikasi antara lain yang berupa peluang adalah kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul menuju Kawasan Wisata Kintamani, perubahan minat wisatawan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan perekonomian global dan meningkatnya hubungan kerjasama dengan pelaku pariwisata lainnya. Faktor eksternal yang merupakan ancaman adalah berkembangnya wisata agro sejenis di luar Banjar Temen, situasi keamanan nasional, wabah penyakit yang menular, kondisi sosial dan politik nasional, serta berkembangnya coffee shop di Bali.

Penelitian Putra memiliki beberapa persamaan dengan penelitian ini, dilihat dari fokus penelitian, tujuan penelitian, dan arah atau orientasi penelitian. Penelitian Putra dan penelitian ini sama-sama berfokus pada pengembangan wisata agro (agrowisata), sama-sama bertujuan untuk mengidentifikasi potensi


(33)

desa yang dapat dikembangkan sebagai produk agrowisata, mengidentifikasi faktor internal dan eksternal serta merumuskan strategi dan program pengembangan. Penelitian Putra dan penelitian ini, juga memiliki lokasi penelitian yang sama, yaitu sama-sama dilaksanakan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar dan berorientasi pada pembangunan pariwisata berkelanjutan. Penelitian Putra dan penelitian ini hanya memiliki perbedaan pada ruang lingkup dan komoditi yang menjadi daya tarik wisata, dimana ruang lingkup penelitian Putra hanya dalam lingkup banjar dan jumlah komoditi (varietas) yang terbatas, sedangkan penelitian ini mempunyai ruang lingkup yang lebih luas yaitu satu desa dengan delapan banjar dan beranekaragam komoditas yang potensial untuk dikembangkan sebagai produk agrowisata.

2.2 Konsep Penelitian

Penelitian ini menggunakan lima konsep, yaitu strategi pengembangan, produk pariwisata (4A), agrowisata, agropolitan, dan pariwisata berkelanjutan. Menurut Chandler (1962) yang dikutif Rangkuti (1997:3-7), pemahaman yang baik mengenai konsep strategi dan konsep-konsep lain yang berkaitan, sangat menentukan suksesnya strategi yang disusun. Adapun yang dimaksud dengan konsep-konsep tersebut adalah distinctive competence yaitu tindakan yang dilakukan oleh perusahan agar dapat melakukan kegiatan lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya dan competitive advantage yaitu kegiatan spesifik yang dilakukan oleh perusahan agar lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya.


(34)

2.2.1 Strategi Pengembangan

Strategi adalah seni memadukan atau mengintegrasikan antara faktor kunci keberhasilan, agar terjadi sinergi dalam mencapai tujuan. Strategi merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Menurut Chandler (1962:13) dalam Rangkuti (1997:3-7) menyebutkan bahwa strategi adalah tujuan jangka panjang dari suatu perusahan, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumber daya yang penting untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan Argyris dkk. (1985) menyatakan bahwa strategi merupakan respons secara terus menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi.

Pernyataan Learned dkk. (1965) yang dikutif Rangkuti (1997:3) menyatakan bahwa strategi merupakan alat untuk menciptakan keunggulan bersaing. Pernyataan ini senada dengan pernyataan Porter (1985) yang menyatakan strategi adalah alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing. Sedangkan Stoner dkk., (1995) yang dikutip Tjiptono (1996), menyatakan bahwa strategi dibedakan menjadi dua perspektif, yaitu perspektif apa yang ingin organisasi lakukan (intend to do) dan perspektif apa yang akhirnya organisasi lakukan (eventually does). Berdasarkan perspektif yang pertama, strategi didefinisikan sebagai program untuk menentukan dan mencapai tujuanorganisasi dan mengimplementasikan misinya. Dalam hal ini para manager memainkan peran aktif, sadar dan rasional dalam merumuskan strategi organisasi. Perspektif kedua, strategi didefinisikan sebagai pola tanggapan atau respon organisasi terhadap lingkungannya sepanjang waktu. Makna strategi dalam hal ini,


(35)

setiap organisasi memiliki strategi yang pasti meskipun strategi tersebut tidak pernah dirumuskan secara eksplisit. Pernyataan ini diterapkan oleh para manager yang mempunyai karakter reaktif, yaitu menanggapi dan menyesuaikan diri secara pasif terhadap lingkungannya.

Mintzberg (1978) dalam Rangkuti (1997) strategi dibagi menjadi lima definisi yaitu strategi sebagai rencana, strategi sebagai pola, strategi sebagai posisi (position), strategi sebagai taktik (play) dan strategi sebagai perspektif. Strategi sebagai rencana adalah program atau langkah terencana (a directed course of action) untuk mencapai serangkaian tujuan atau cita-cita yang telah ditentukan; sama halnya dengan konsep strategi perencanaan. Strategi sebagai pola (pattern) adalah sebuah pola perilaku masa lalu yang konsisten, dengan mengunakan strategi yang merupakan kesadaran daripada menggunakan yang terencana ataupun diniatkan. Strategi sebagai pola lebih mengacu pada suatu yang muncul begitu saja (emergent). Strategi sebagai posisi adalah posisi menentukan merek, produk ataupun perusahan dalam pasar, berdasarkan kerangka konseptual para konsumen ataupun para penentu kebijakan: sebuah strategi yang utamanya ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Strategi sebagai taktik merupakan sebuah manuver spesifik untuk mengelabui atau mengecoh lawan (competitor), dan strategi perspektif adalah mengeksekusi strategi berdasarkan teori yang ada ataupun menggunakan insting alami dari isi kepala atau cara berpikir/ideologis.

Strategi merupakan suatu pernyataan yang mengarahkan bagaimana masing- masing individu dapat bekerjasama dalam suatu organisasi, dalam upaya pencapaian tujuan dan sasaran organisasi tersebut. Strategi juga diartikan sebagi


(36)

sekumpulan komitmen atas tindakan atau aksi yang terintegrasi dan terkoordinasi, untuk mengusahakan atau mengolah kompetensi dan sekaligus guna mendapatkan keunggulan bersaing organisasi. Strategi harus menghasilkan sumber-sumber daya yang nyata, tidak hanya berupa pendapatan atau keuntungan, tetapi juga berupa sumber daya yang tidak berwujud atau intangible, seperti reputasi, komitmen individu atau karyawan, identitas merek, dan lainnya (Assauri, 2013:3-4).

Marpaung (2000:52) mendefinisikan strategi sebagai suatu proses penentuan nilai pilihan dan pembuatan keputusan dalam pemanfaatan sumber daya yang menimbulkan suatu komitmen bagi organisasi yang bersangkutan yang mengarah pada masa depan. Assauri (2013:4-5), menyatakan strategi memiliki unsur-unsur yang terdiri dari gelanggang aktivitas atau arena, sarana kendaraan atau vehicles, pembeda atau differentiators, rencana tingkatan atau staging and pacing, dan logika ekonomi atau economic logic. Dalam penelitian ini strategi dimaksudkan sebagai suatu rencana program atau langkah terencana (a directed course of action) untuk mencapai serangkaian tujuan atau cita-cita yang telah ditentukan.

Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatka fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. Pengembangan secara umum berarti pola pertumbuhan, perubahan secara perlahan (evolution) dan perubahan secara bertahap (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002).


(37)

Suwantoro (1997), menyatakan pengembangan adalah suatu proses atau cara bagaimana menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna dan berguna.

Pengembangan pariwisata harus selalu melibatkan masyarakat lokal dan mampu memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat, tidak merusak nilai-nilai sosial budaya masyarakatnya serta mengatur jumlah kunjungan wisatawan ke objek wisata tersebut agar tidak melebihi kapasitas (carrying capacity) yang tersedia (Sucipta, 2010:15). Pengembangan pariwisata secara mendasar perlu memperhatikan beberapa konsep seperti pengembangan pariwisata berkelanjutan, pembangunan wilayah terpadu dan pengembangan produk wisata, pembangunan ekonomi pariwisata, serta pengembangan lingkungan. Pengembangan wilayah berdasarkan potensi dan daya dukung lingkungan serta selalu memperhatikan kelestarian alam dan lingkungannya merupakan tujuan pembangunan pariwisata berkelanjutan (Antara, 2011).

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan strategi adalah cara atau langkah atau aksi yang terkoordinasi dan terintegrasi yang digunakan untuk mengusahakan dan mengelola sumberdaya yang ada, dengan menciptakan keunggulan guna memenangkan persaingan. Sedangkan yang dimaksud dengan pengembangan adalah proses atau rangkaian kegiatan eksplorasi dan penataan sumber daya yang ada, menjadi daya tarik wisata (agrowisata), agar menjadi lebih menarik, bernilai dan bermanfaat. Jadi yang dimaksud strategi pengembangan dalam penelitian ini adalah usaha-usaha yang tersusun secara sistimatis yang diterapkan atau diimplementasikan dalam rangka mengeksplorasi, menata dan mengusahakan sumberdaya yang ada menjadi daya tarik wisata (agrowisata), agar


(38)

lebih diminati oleh wisatawan, bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan alam.

2.2.2 Produk Pariwisata

Produk pariwisata adalah suatu bentukan yang nyata dan tidak nyata, dalam suatu kesatuan rangkaian perjalanan yang hanya dapat dinikmati apabila seluruh rangkaian perjalanan tersebut dapat memberikan pengalaman yang baik bagi yang melakukan perjalanan tersebut (Muljadi, 2012:46). Sedangkan menurut UN-WTO dalam Pitana dan Surya Diarta (2009:128), produk pariwisata didefinisikan sebagai “...any good or service purchased by, or consumed by, a person defined as a visitor”.

Produk wisata sebenarnya bukan saja merupakan produk yang nyata (tangible), akan tetapi merupakan rangkaian produk (barang dan jasa) yang tidak hanya mempunyai segi-segi yang bersifat ekonomis, namun juga bersifat sosial, psikologis dan alam. Produk wisata merupakan berbagai jasa, di mana satu dengan lainnya saling terkait dan dihasilkan oleh berbagai perusahan pariwisata, misalnya akomodasi, angkutan wisata, biro perjalanan, restoran, daya tarik wisata, dan perusahan lain yang terkait. Produk wisata mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu tidak dapat disimpan, tidak dapat dipindahkan, produksi dan proses konsumsi terjadi atau berlangsung secara bersamaan, tidak ada ukuran yang pasti atau objektif, pelanggan atau costumer tidak dapat mencicipi produk itu sebelumnya, pengelolaan produk wisata mengandung risiko besar (Muljadi, 2012:47).

Dalam setiap fase pengembangan, memerlukan komponen wisata., seperti yang dinyatakan Inskeep (1991:38), bahwa di berbagai literatur dimuat


(39)

bermacam-macam komponen wisata. Namun ada beberapa komponen wisata yang selalu ada dan merupakan komponen dasar dari wisata. Komponen-komponen tersebut saling berinteraksi satu sama lain dan dapat dikelompokkan menjadi empat, yang dikenal dengan 4A, yaitu Atraksi (Attraction) atau kegiatan-kegiatan wisata. Kegiatan-kegiatan wisata yang dimaksud, dapat berupa semua hal yang berhubungan dengan lingkungan alami, kebudayaan, keunikan suatu daerah dan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan kegiatan wisata yang menarik wisatawan untuk mengunjungi sebuah obyek wisata seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah yang menawan dan seni pertunjukan.

Lebih lanjut Inskeep (1991:38) menyatakan bahwa selain atraksi, aksessibilitas (accessibilities), yaitu sarana dan prasarana seperti; akses jalan, transportasi lokal, adanya terminal, dan fasilitas komunikasi. Fasilitas (facilities), adalah semua fasilitas yang dibutuhkan dalam kawasan wisata, termasuk tour and travel operations (disebut juga pelayanan penyambutan). Fasilitas tersebut dapat berupa restoran dan berbagai jenis tempat makan lainnya, toko-toko untuk menjual hasil kerajinan tangan, cinderamata, toko-toko khusus. Ansileri (ancillary), yaitu organisasi kepariwisataan (Ancillary services) yang dibutuhkan untuk pelayanan wisata, antara lain Destination Management Organization (DMO), conventional and visitor bureau.

Pernyataan Inskeep di atas, senada dengan pernyataan (Cooper, 1993) yang juga menyebutkan bahwa elemen produk pariwisata dikenal dengan istilah 4 A, yaitu Atraksi, Aksesibilitas (transport lokal, terminal angkutan), Amenitas


(40)

(akomodasi, usaha penyedia makanan dan minuman, tempat hiburan, dan lain-lain) dan ansileri yaitu berupa bentuk pelayanan pariwisata dari organisasi lokal.

Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Sedangkan menurut tim penyusun RIPPDA Kabupaten Timur Tengah Selatan Pusat Studi Pariwisata UGM 2003 yang dikutip Ismaningrum (2005), menyatakan bahwa produk pariwisata merupakan komponen penting dalam industri pariwisata, yang mencakup tiga aspek dan dikenal sebagai triple A (Atraksi, Amenitas dan Aksesibilitas). Atraksi adalah objek yang memiliki daya tarik untuk dilihat, ditonton, dinikmati yang layak dijual ke pasar wisata. Seringkali atraksi ditafsirkan dalam dua komponen yakni sebagai objek wisata (tourist object) dan atraksi wisata (tourist attraction). Atraksi wisata adalah sesuatu yang dapat dilihat lewat pertunjukan dan seringkali membutuhkan persiapan bahkan mengeluarkan biaya untuk menikmatinya. Berbeda dengan objek wisata (tourist object) yang dapat disaksikan tanpa perlu persiapan. Amenitas yaitu segala macam fasilitas yang menunjang kegiatan pariwisata, seperti: rumah makan, hotel, café, sarana komunikasi, papan informasi, money changer dan lain-lainnya. Bahkan sering kali diperlukan jasa asuransi khususnya bagi tipe wisata yang memiliki resiko kecelakaan tinggi. Keberadaan dan kelengkapan berbagai jenis fasilitas menjadi prasyarat mutlak bagi peningkatan kunjungan wisatawan pada suatu objek wisata. Dengan kata lain, meskipun daya


(41)

tarik wisata yang dimiliki dinilai cukup bagus namun bila tidak memiliki jaminan fasilitas yang memadai lambat laun tentu akan ditinggalkan wisatawan. Aksesibilitas merupakan sarana dan prasarana yang menyebabkan wisatawan dapat berkunjung ke destinasi yang diinginkan dengan mudah, aman, nyaman. 2.2.3 Agrowisata

Agrowisata merupakan salah satu produk wisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai objek wisata. Surat Keputusan bersama Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, dan Menteri Pertanian No. KM.47/PW.DOW/MPPT-89 dan Nomor 204/KPTS/HK/0504/1989, agrowisata didefinisikan sebagai suatu bentuk kegiatan yang memanfaatkan usaha agro mulai dari awal sampai dengan produk pertanian dalam berbagai sistem, skala dan bentuk sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian. Sedangkan Goodwin (1998), menyatakan agrowisata sebagai suatu kegiatan yang secara sadar ingin menempatkan sektor primer (pertanian) dikawasan sektor tersier (pariwisata), agar perkembangan sektor primer dapat lebih dipercepat, dan petani memperoleh peningkatan pendapatan dari pariwisata yang memanfaatkan kegiatan sektor pertanian tersebut. Agrowisata dikatakan sebagai kegiatan yang memihak pada masyarakat miskin.

Ismayanti (2010:156-159, menyatakan agrowisata merupakan salah satu bentuk wisata minat khusus, selain wisata olahraga, wisata kuliner, wisata religious, wisata goa, wisata belanja, dan wisata ekologi Sedangkan Muljadi (2012:59), menyatakan bahwa yang merupakan kelompok pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat khusus selain wisata agro adalah wisata buru, wisata tirta,


(42)

wisata petualangan alam, wisata goa, wisata kesehatan, tempat budaya, industri, dan kerajinan. Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, dapat meningkatkan pendapatan petani, melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya (culture) maupun teknologi lokal yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya (Sugeng, 2004).

Agrowisata tidak hanya memanfaatkan keindahan alam dan keanekaragaman kegiatan pertanian, tetapi banyak tercipta model-model agrowisata yang memanfaatkan objek-objek pertanian tertentu, seperti agrowisata hortikultura, agrowisata tanaman perkebunan, ataupun varian kebun-kebun perkebunan adalah contoh dari sekian banyak agrowisata yang dapat dikembangkan (Departemen Pertanian RI, 2009). Hal yang senada juga dinyatakan oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), bahwa agrowisata memiliki pengertian yang sangat luas, dalam banyak hal sering kali berisikan ekowisata. Ekowisata dan agrowisata memiliki banyak persamaan, terutama karena keduanya berbasis pada sumber daya alam dan lingkungan. Di beberapa negara agrowisata dan ekowisata dikelompokkan dalam satu pengertian dan kegiatan yang sama, agrowisata merupakan bagian dari ekowisata.

Agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism) yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan (Departemen Pertanian RI, 2012). Hal yang selaras dinyatakan oleh Rai Utama


(43)

(2007), bahwa agrowisata menganut falsafah ekowisata sehingga sangat beralasan dijadikan jalan terbaik untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas, dan merupakan jenis wisata yang didukung oleh masyarakat tani, sehingga dari sisi penawaran para petani siap dengan produknya dan wisatawan mengharapkan suguhan produk yang ditawarkan oleh para petani. Proses produksi agrowisata terjadi ketika terjadi “perkunjungan” yang mempertemukan antara penawaran dan permintaan.

Departemen Pertanian RI (2012) menyatakan bahwa kecenderungan masyarakat modern dalam memenuhi kebutuhan hidup melakukan kegiatan mengunjungi dan menikmati obyek-obyek yang mempunyai kekhususan (spesifik lokasi) seperti keindahan alam, udara segar, tradisi yang unik, produk olahan tradisional, produk pertanian segar menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Kecenderungan ini merupakan signal tingginya permintaan akan agrowisata dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan produk-produk agribisnis, baik dalam bentuk kawasan ataupun produk pertanian yang memiliki daya tarik spesifik. Hamparan areal pertanaman yang luas seperti areal perkebunan dan hortikultura, disamping menyajikan pemandangan dan udara segar, juga merupakan media pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas, mulai dari pendidikan tentang usaha di bidang perkebunan atau hortikultura tersebut, sampai pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam.

Agrowisata didefinisikan sebagai suatu bisnis yang dilakukan oleh para petani yang bekerja di sektor pertanian bagi kesenangan dan edukasi para pengunjung. Agrowisata juga dinyatakan sebagai salah satu bentuk dari rural


(44)

tourism yang menawarkan kegiatan pertanian sebagai daya tarik wisata serta melibatkan penduduk lokal dalam perencanaan hingga pengelolaan kawasan agrowisata (Andini, 2013). Hal senada dinyatakan Rai Utama (2012), bahwa agrowisata merupakan salah satu usaha bisnis dibidang pertanian yang menekankan penjualan jasa kepada konsumen.

Lucian (2012) mendefinisikan agrowisata sebagai kegiatan ekonomi yang terjadi ketika orang mencoba untuk membangun hubungan antara kegiatan perjalanan, produk pertanian dan jasa makanan. Tirtawinata dkk. (1999) menyatakan ada lima manfaat agrowisata atau agrotourism yaitu (a) meningkatkan konservasi lingkungan, (b) meningkatkan nilai estetika dan keindahan alam, (c) memberi nilai rekreasi, (d) meningkatkan kegiatan ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan (e) mendapatkan keuntungan ekonomi.

Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 16 Tahun 2012 tentang RTRW, Agrowisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi kawasan pertanian untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

Agrowisata dalam penelitian ini didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan potensi alam, pertanian (agro), budaya, dan aktivitas masyarakat pedesaan sebagai daya tarik wisata, dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, area rekreasi, dan hubungan usaha agribisnis pedesaan. Agrowisata dikembangkan berdasarkan konsep pengembangan wilayah, melalui pemanfaatan potensi alam, pertanian, budaya,


(45)

dan aktivitas masyarakat lokal dan mengacu pada prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan.

Pengembangan Agrowisata Desa Kerta diharapkan dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan usaha-usaha agribisnis, mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, penguatan kelembagaan pertanian, sosial-budaya, dan ekonomi, membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi masyarakat setempat dan sekitarnya. Selain itu, pengembangan Agrowisata Desa Kerta, juga diharapkan mampu menjaga kelestarian alam, kekayaan sumberdaya alam hayati (pertanian), budaya, dan aktivitas masyarakat lokal.

2.2.4 Agropolitan

Agropolitan terdiri dari kata Agro (pertanian) dan Politan (polis yang berarti kota), sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Nugroho (2008:174-186) menyatakan bahwa agropolitan adalah hasil pendekatan terhadap teori-teori pembangunan yang berbasis pada sektor pertanian, atau pembangunan wilayah pertanian.

Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan McDouglass dan Friedmann (1975) sebagai siasat untuk pengembangan perdesaan. Meskipun termaksud banyak hal dalam pengembangan agropolitan, seperti redistribusi tanah, namun konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain yang digunakan oleh Friedmann adalah kota di ladang. Friedmann dan Douglass (1975) mengusulkan


(46)

konsep Agropolitan sebagai alternatif untuk pembangunan daerah. Konsep sangat bergantung pada pengembangan pusat pertumbuhan kota, yang terletak di dalam 5-10 kilometer atau satu jam bersepeda dari pedalamannya. Konsep ini memungkinkan leveraging investasi karena lebih dari satu desa yang terlibat dan investasi dapat difokuskan pada Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) yang paling mudah diakses, sehingga tangkapan juga optimal.

Pranoto (2005), menyatakan bahwa konsep pengembangan kawasan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah pedesaan sebagai pusat kegiatan pertanian tertinggal. Proses interaksi kedua wilayah tersebut, secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah pedesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami permasalahan produktivitas yang signifikan, sedangkan di sisi lain, wilayah perkotaan sebagai tujuan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih, sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan sosial dan lingkungan.

Agropolitan sebagai salah satu konsep diharapkan dapat menjadi arah kebijakan pembangunan wilayah sehingga pembangunan fisik yang dilaksanakan tanpa mengorbankan kepentingandan kebutuhan masyarakat di desa, sehingga masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan dengan disertai peningkatan kesejahteraan keluarganya. Melalui pendekatan agropolitan pembanguan wilayah semestinya dapat membawa kemajuan wilayah tanpa mengabaikan kelestarian


(47)

lingkungan, budaya, tradisi dengan disertai inovasi-inovasi bisnis yang terarah dan berkelanjutan (Toekidjo, 2011).

Pengembangan kawasan agropolitan merupakan konsep pengembangan wilayah yang berbasis pertanian dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan di kawasan perdesaan. Menurut Pranoto dkk., (2005), pengembangan agropolitan (pengembangan wilayah berbasis agro) diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam upaya untuk memberdayakan masyarakat pedesaan, mengurangi kemiskinan, dan mendukung kegiatan ekonomi pedesaan yang berorientasi lingkungan. Menurut Ide Agropolitan dipandang mampu menjawab tantangan pemerataan pembangunan dan pembangunan berkelanjutan yang merupakan salah satu pendekatan pembangunan perdesaan berbasis pertanian dalam artian luas dengan menempatkan ”kota-tani” sebagai pusat kawasan dengan segala ketersediaan sumberdayanya, sebagai modal tumbuh dan berkembangnya kegiatan saling melayani dan mendorong usaha agrobisnis antar desa-desa kawasan (interland) dan desa-desa sekitarnya.

Pemerintah Indonesia mengadopsi konsep ini dalam pembangunan pedesaan pada tahun 2002, dengan fokus khusus pada pembangunan infrastruktur seperti jalan pedesaan, pasar dan irigasi (Rustiadi, 2004). Program ini mengikuti "perdagangan mengikuti kapal" prinsip, di mana penyediaan infrastruktur mendahului permintaan dan diharapkan dapat mendorong kegiatan ekonomi dan konsentrasi distribusi pasca-pertanian di pusat pertumbuhan dengan desa-desa pedalaman sehingga skala ekonomi dapat direalisasikan.


(48)

2.2.5 Pariwisata Berkelanjutan

Pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan wisatawan saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang. Mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sambil memelihara integritas kultural, proses ekologi esensial, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan. Produk pariwisata berkelanjutan dijalankan secara harmonis dengan lingkungan lokal, masyarakat dan budaya masyarakat, sehingga mereka menjadi penerima keuntungan yang permanen dan bukan korban pembangunan pariwisata (Anonim, 2004).

Konsep pariwisata berkelanjutan, pada mulanya diperkenalkan oleh World Commission on Environment and Development dengan melengkapi Sustainable Tourism dengan kata Development sehingga menjadi Sustainable Tourism Development, yang dapat diartikan bahwa dalam pembangunan kita hendaknya jangan menghabiskan atau menguras sumber daya pariwisata untuk jangka waktu pendek, tetapi harus memperhatikan kelanjutan pembangunan pariwisata jangka panjang di waktu yang akan datang (Yoeti, 2008:242).

Suwantoro (1997:88-89), menyatakan bahwa dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan harus memperhatikan prinsip-prinsip harus dibantu oleh proses perencanaan dan partisipasi masyarakat; harus ada kepastian, kesinambungan, ada sasaran ekonomi, sosial budaya, dan masyarakat; hubungan antara pariwisata, lingkungan dan budaya harus dikelola sedemikian rupa


(1)

dan analisis dapat dilakukan secara komprehensif, dan mampu mengkontekstualisasi antara tujuan dan target penelitian dengan berbagai kenyataan yang berkembang di lapangan (Arida, 2009:12).

Menurut Effendi dan Manning (2012:250-252), analisis data merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan. Dalam proses ini sering kali digunakan statistik. Salah satu fungsi pokok statistik adalah menyederhanakan data penelitian yang amat besar jumlahnya menjadi informasi yang lebih sederhana dan lebih mudah untuk dipahami. Muhktar (2013:120) menyatakan analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses mengolah, memisahkan, mengelompokkan dan memadukan sejumlah data yang dikumpulkan di lapangan secara empiris menjadi sebuah kumpulan informasi ilmiah yang tersetruktur dan sistematis yang selanjutnya siap dikemas menjadi laporan hasil penelitian.

3.8.1Analisis Matriks Internal Eksternal

Matriks Internal Eksternal dipergunakan untuk merumuskan strategi umum (grand strategi) yang akan diterapkan, setelah posisi Agrowisata Desa Kerta dalam Matriks Internal Eksternal.dapat diketahui Untuk menentukan posisi Agrowisata Desa Kerta di Kawasana Agropolitan Payangan, maka dilakukan tahapan analisis matriks IFAS dan EFAS sebagai berikut:

1. Menentukan kekuatan dan kelemahan IFAS serta peluang dan ancaman EFAS pada kolom 1;

2. Memberikan bobot pada masing-masing faktor dengan skala 1,0 (sangat penting) sampai 0,0 (sangat tidak penting) berdasarkan pengaruh


(2)

faktor-faktor tersebut terhadap pengembangan Agrowisata Desa Kerta. Pemberian bobot dilakukan oleh birokrat, akademisi dan praktisi, yang berkompeten di bidang agrowisata;

3. Menghitung rating pada masing-masing faktor dengan skala mulai dari 4 (sangat baik) sampai 1 berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap pengembangan Agrowisata Desa Kerta;

4. Pada kolom 4, perkalian bobot dengan rating menghasilkan skor dengan hasil yang bervariasi, yaitu mulai dari 4,0 (sangat baik) sampai dengan 1,0 (tidak baik);

5. Memberikan komentar terhadap factor-faktor yang dipilih sekaligus menghitung skor pembobotannya.

Tabel 3.1

Internal Factor Analysis Summary (IFAS)

Faktor-faktor

Strategi Internal Bobot Rating

Skor

Bobot x Rating Komentar Kekuatan

Kelemahan Total

Tabel 3.2

Eksternal Faktor Analysis Summary (EFAS)

Faktor-faktor

Strategi Esternal Bobot Rating

Skor

Bobot x Rating Komentar Peluang

Ancaman Total


(3)

Sumber: Rangkuti (2004)

Matriks internal eksternal ini dikembangkan dari model General Electric (GE-Model). Parameter yang digunakan meliputi parameter kekuatan internal perusahan dan pengaruh eksternal yang dihadapi. Tujuan penggunaan model ini adalah untuk memperoleh strategi bisnis di tingkat korporat yang lebih detail (Rangkuti, 1997:95). Pemberian interval penilaian atas posisi agrowisata terhadap faktor internal dan eksternal menggunakan rumus seperti di bawah ini.

Interval = Range Kelas

Keterangan : Selisih nilai tertinggi dan terendah yakni 4 (sangat baik) sampai ai 1 (sangat kurang baik)

Range = 3

Kelas = Jenis penilaian (sangat baik, baik, kurang baik, sangat kurang baik)

Jadi interval penilaian = ¾ = 0,75

Dari rumus tersebut dapat ditentukan kriteria penilaian hasil analisis pada Tabel 3.3 berikut.

Tabel 3.3 Kriteria Hasil Analisis

Nilai Range Hasil

4 3,26 – 4,00 Sangat baik

3 2,51 – 3,25 Baik

2 1,76 – 2,50 Kurang baik

1 1,00 – 1,75 Sangat kurang baik


(4)

Tabel 3.3, menggambarkan faktor internal dan eksternal Agrowisata Desa Kerta. Indikator faktor internal dengan sebutan sangat baik diidentikkan dengan sangat kuat, baik diidentikkan dengan kuat, kurang baik diidentikkan dengan lemah, dan sangat kurang baik diidentikkan dengan sangat lemah. Kriteria baik dan sangat baik memiliki rentang nilai 2,51 sampai 4,00 merupakan kekuatan, dan kriteria kurang baik dan sangat kurang baik memiliki rentang nilai 1,00 sampai 2,50 merupakan kelemahan. Indikator faktor eksternal yang masuk dalam kriteria baik dan sangat baik dengan rentang nilai 2,51–4,00 adalah peluang, tetapi jika nilai yang diperoleh masuk dalam kriteria kurang baik dan sangat kurang baik dengan rentang nilai 1,00-2,5, merupakan ancaman bagi pengembangan Agrowisata Desa Kerta.

Matriks Internal Eksternal (IE) terdiri dari dua dimensi yaitu total skor dari matriks IFE pada sumbu X dan total skor dari matriks EFE pada sumbu Y. Matriks IE bermanfaat untuk memposisikan suatu SBU perusahan ke dalam matriks yang terdiri dari sembilan sel, seperti pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Matriks Internal-Eksternal

Evaluasi Faktor Internal (Total Nilai IFE yang diberi bobot) 4,0 3,0 2,0 1,0

Evaluasi Faktor Eksternal

(Total nilai EFE)

3,0 2,0 1,0

I II III

IV V VI

VII VIII IX


(5)

Tabel 3.4 di atas, menggambarkan sembilan sel dengan tiga implikasi strategi yang berbeda, yaitu sebagai berikut.

1. Pada Sel I, II, IV, strategi yang harus diterapkan adalah Grow and Build, yaitu strategi penetrasi pasar, pengembangan produk dan pasar.

2. Pada Sel III, V dan VII, strategi yang dibutuhkan adalah Hold and Maintain, yaitu penetrasi pasar dan pengembangan produk.

3. Pada Sel VI, VIII dan IX, dibutuhkan penerapan strategi Harvest or Diverst.

3.8.2 Analisis SWOT

Analisis SWOT dipergunakan untuk mengkaji faktor internal dan faktor eksternal dalam pengembangan Agrowisata Desa Kerta. Kombinasi antara kekuatan dan kelemahan dengan peluang dan ancaman diperoleh Matriks SWOT, seperti pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Matriks SWOT

IFAS EFAS

Kekuatan/Strength (S) Kelemahan/Weaknesses (W) Peluang

(Opportunities) (O)

Strategi SO 1

Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

Strategi WO

3

Coptakan strategi dengan meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang

Ancaman (Threats) (T)

Strategi ST 2

Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

Strategi WT 4

Ciptakan strategi dengan meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman

Matriks Strengths - Weaknesses – Opportunities - Threats (SWOT) merupakan alat pencocokan yang akan membantu perumusan strategi


(6)

pengembangan Agrowisata Desa Kerta. Dalam matriks SWOT ada empat tipe strategi, yaitu strategi SO, strategi WO, strategi ST, dan strategi WT.

Langkah-langkah analisis SWOT adalah sebagai berikut:

1. Menuliskan kekuatan dan kelemahan yang menentukan pengembangan. 2. Menuliskan peluang dan ancaman yang menentukan pengembangan. 3. Mencocokkan kekuatan dengan peluang dan mencatat hasil strategi SO. 4. Mencocokkan kelemahan dengan peluang dan mencatat hasil strategi WO. 5. Mencocokkan kekuatan dengan ancaman dan mencatat hasil strategi ST. 6. Mencocokkan kelemahan dan ancaman serta mencatat hasil strategi WT.

Menurut Rangkuti (1997:19-21), analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).

3.9 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan dua cara yaitu formal dan informal. Penyajian hasil analisis data secara formal, disajikan dalam bentuk tabel, sedangkan penyajian hasil analisis data secara informal dilakukan dengan penjelasan-penjelasan atau dalam bentuk naratif. Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan secara formal dan informal, yaitu dalam bentuk tabel maupun narasi atau penjelasan-penjelasan yang mudah dipahami, berdasarkan Matriks IFAS dan EFAS serta analisis SWOT.