REPRESENTASI KEKERASAN SEKSUAL PADA FILM VIRGIN 2 ( STUDI ANALISIS SEMIOTIK REPRESENTASI KEKERASAN SEKSUAL PADA FILM VIRGIN 2 ).

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana pada FISIP UPN ”Veteran” Jawa Timur

Oleh :

DIAN KURNIAWATI

NPM : 044 3010 270

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

Scene 07 Scene 07

Scene 25 Scene 25

Scene 25 Scene 25


(3)

Scene 29 Scene 29

Scene 29 Scene 32


(4)

Scene 36 Scene 80

Scene 80 Scene 80


(5)

REPRESENTASI KEKERASAN SEKSUAL PADA FILM VIRGIN 2 )

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya para remaja yang saat ini banyak sekali mengikuti budaya barat dengan gaya kehidupan bebas, gaya berpacaran yang menjurus ke arah seksual sering terjadi pada remaja saat ini, bahkan melakukan hubungan seksual tanpa adanya ikatan pernikahan sudah tidak asing lagi terjadi.

Kini mulai tercermin di dalam perfilman Indonesia yang mulai banyak di bumbui oleh adegan dengan lawan jenis yang terkadang terlalu berlebihan bahkan kadang sangat vulgar. Film Virgin 2 (bukan film porno), termasuk salah satu film Indonesia yang booming, tetapi setelah ditonton oleh masyarakat, banyak yang berpendapat bahwa film ini mengecewakan karena alur ceritanya yang membingungkan, selain itu banyak sekali adegan vulgar yang menjurus ke arah pornografiseksual dan kekerasan seksual yang tidak sesuai dengan judul filmnya dan sebenarnya tidak diperlukan, karena adegan seperti itu hanya akan merusak moral dan akan memberikan citra yang buruk bagi bangsa Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui representasi kekerasan seksual yang terdapat dalam film Virgin 2 ini..

Teori yang digunakan berdasarkan kekerasan seksual yang ditampilkan di dalam film Virgin 2 ini, kekerasan yang ditampilkan dalam film ini bentuknya tampak dan bersifat verbal. Namun pada umumnya kekerasan merupakan suatu tindakan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan orang lain.

Penelitian menggunakan metode kualitatif yang dikemukan oleh John Fiske, melalui level realitas dan level representasi yaitu dengan teknik dokumentasi mengamati secara langsung keseluruhan tanda dan lambang yang terdapat dalam film tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian, kekerasan seksual dapat terjadi apabila manusia dipengaruhi sedemikian rupa ( dengan berbagai cara baik verbal maupun non verbal ) sehingga jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya, yaitu faktor dorongan dalam diri yang tidak dapat terkendali, namun faktor lingkungan sekitar juga dapat memberikan pengaruh kepada seseorang dalam melakukan suatu tindakan, baik itu tindakan negatif maupun tindakan yang positif.


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Film sebagaimana media lain, merupakan cerminan dari masyarakat. Membuat film adalah usaha untuk memandang, menyeleksi dan merekontruksi pandangan dalam masyarakat yang dianggap penting oleh para pembuat filmnya. Dengan demikian sajian tema dalam film tidak biasa dipandang sebagai sesuatu yang biasa diterima begitu saja. Sebagai pilihan, tema selalu berkaitan dengan pandangan dominan atau pandangan alternatif terhadap kenyataan yang dilihat dan dihadapi oleh para pembuat film tersebut. Pembuatan film tidak pernah terjadi diruang kosong dan selalu ada konteks politik, budaya, dan ekonomi. Konteks ini menentukan proses produksi termasuk cara pandang pembuat film. (MC Quail, 1991 : 13-14) .

Film adalah gambar yang bergerak, atau biasa diartikan sebagai gambar yang terbuat dari celluloid yang transparan dalam jumlah yang banyak, yang bila digerakkan melalui cahayanya yang kuat akan tampak seperti gambar yang hidup (Siregar, 1989 : 9) .

Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menterjemahkan pikiran-pikiran perasaan komunikator komunikan.


(7)

lambang-lambang yang disampaikan dalam film tersebut merupakan reprentasi dari realitas.

Sebagai representasi dari realitas film mampu membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, idiologi dari kebudayaannya (Sobur, 2004 : 128).

Untuk tujuan komersial film memiliki kemampuan untuk menjangkau khalayak atau publik yang sangat luas, karena film merupakan bagian dari media massa yang efektif dan mempunyai kemampuan yang kuat untuk mempengaruhi persepsi atau tindakan khalayak sasaran. Banyak masyarakat yang meluangkan waktunya untuk mendapatkan suatu hiburan atau informasi dengan cara melihat atau menonton film .

Hal ini terjadi karena media visual seperti film dan televisi mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menirukan dunia nyata melalui duplikasi realitasnya, sehingga lebih mudah memahami apa yang disampaikan olehnya daripada menjelaskannya

Berdasarkan sifatnya film dibedakan menjadi empat, yakni film cerita (story film), film berita (news reel), film documenter (documentery film), dan film kartun (cartoon film). Realitas yang disajikan film story kemungkinan besar adalah bukan realitas sebenarnya (fiktif Belaka) atau dapat dikatakan bahwa film ini di buat berdasarkan imajinasi manusia .

Diketahui bahwa saat ini perfilman di indonesia sedang marak – maraknya menayangkan film – film yang identik dengan adegan free seks


(8)

yang dimainkan oleh pemeran film tersebut, tentunya hal ini cukup meresahkan karena sangat tidak sesuai dengan budaya indonesia yang menganut budaya timur, namun film – fillm yang berbau porno pada saat ini malah semakin boming dan banyak diminati oleh khalayak, tak terkecuali anak – anak yang belum cukup umur dan belum diperbolehkan untuk melihat atau menonton adegan – adegan yang berbau seksual yang terdapat dalam film tersebut.

Film yang mengisahkan tentang cerita kehidupan dan drama percintaan, memang pada dasarnya sangat menarik untuk ditonton atau dilihat, tetapi film seperti ini sekarang banyak dibumbui dengan adegan seksual sehingga dapat memberikan dampak psikologis terutama terhadap anak – anak, karena film ini ditenggarai dapat mempengaruhi pola pikir anak – anak. Belum lagi jika penayangannya berbau porno, hal tersebut dapat mempengaruhi moral anak dan mengakibatkan kematangan seksual anak menjadi lebih cepat sehingga tidak sesuai dengan umur anak tersebut. Jika di tonton oleh remaja, ada kecenderungan untuk mencoba adegan seksual dari apa yang dilihatnya pada film tersebut .

Namun sepertinya para produser film dan stasiun-stasiun televisi seolah kurang memperhatikan efek negatif dari tayangan film drama remaja yang berbau seksual tersebut, bahkan kini para produser film beramai-ramai membuat film yang dibumbui adegan porno demi merauk rupiah yang banyak.


(9)

Dari hasil pemantauan relawan Bandung membagi pemantauan ke dalam tiga bidang yaitu bidang pendidikan, bidang informasi, dan bidang hiburan menyebutkan, tayangan film atau drama sinetron sebagian besar kering dari pesan moral, menawarkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), seks bebas di kalangan remaja dengan jam tayang yang tidak sesuai dan kostum yang tidak mendidik.

Disamping itu dengan penyebaran budaya global dapat melunturkan berbagai bentuk kesenian dan budaya nasional. Penyebaran budaya global juga dapat membentuk suatu gaya hidup baru dalam masyarakat, yaitu gaya hidup konsumtif dan gaya hidup yang serba bebas. Misalnya melalui pemberitaan yang berbau porno menyebabkan lunturnya norma-norma dalam masyarakat, khususnya norma yang mengatur aturan pergaulan antar lawan jenis. Sekarang dengan adanya tayangan yang berbau porno dapat menimbulkan pergaulan bebas dan seks sebelum menikah.

Film “ Virgin 2“ ini berdurasi kurang lebih satu setengah jam. Pada awalnya film ini ditayangkan di bioskop, namun setelah minat para penonton layar lebar mulai berkurang untuk melihat film ini, maka seperti film layar lebar lainnya, film ini kemudian ditayangkan di televisi, dapat di akses dari internet dan juga dapat diperoleh dalam bentuk VCD maupun DVD.

Film yang berjudul ‘Virgin 2” ini diproduksi oleh Starvision Plus. Film yang penyutradaraannya dipercayakan kepada Nayato Fio Nuala ini secara keseluruhan tidak jauh berbeda dengan film-film drama percintaan


(10)

Indonesia lainnya yang menampilkan remaja-remaja dengan gaya hidup bebasnya, dan adegan-adegan seksual yang sangat dominan.

Film “Virgin 2 “ termasuk salah satu film Indonesia yang boming, tetapi setelah di tonton oleh masyarakat banyak yang berpendapat bahwa film ini mengecewakan karena alur ceritanya yang membingungkan dan ada beberapa adegan vulgar yang menjurus ke arah seksual dan konsumsi obat terlarang yang sebenarnya tidak diperlukan karena adegan dan hal seperti itu hanya akan memberikan citra yang buruk bagi bangsa Indonesia

Film ini bercerita mengenai seorang gadis bernama Tina ( Christina Santika ), yang sebelumnya hanyalah seorang siswi SMA dengan kepribadian yang cuek dan pendiam, dia hanya memiliki satu orang sahabat bisu bernama Kenny (Neyna Lisa Bartlett), Kenny bisu akibat usaha bunuh diri yang gagal dan mengakibatkan pita suaranya rusak. Tina diusir oleh Ibunya karena dituduh telah menggoda kekasih Ibunya. Kenyataannya, kekasih Ibunyalah yang ingin mencumbu Tina. Tina berusaha membela diri, tapi Ibunya ternyata lebih mementingkan eksistensi hubungannya dengan sang kekasih. Setelah kejadian itu, Tina kehilangan tempat bernaung, dia bertemu dengan temannya bernama Steffie (Wichita Satari). Steffi menunjukkan betapa baik hatinya sebagai seorang teman. Tina terharu oleh kemurahan hati Steffi yang mau menampungnya. Tapi semua itu hanya kebohongan belaka, karena Steffi ternyata berniat menjual Tina pada seorang Mucikari yang bernama Yama. Tina disekap di sebuah apartemen, diperkosa oleh Yama dan kemudian


(11)

dipaksa untuk melayani klien-klien Yama yang tidak lain adalah para hidung belang.

Representasi kekerasan seksual yang ditampilkan dalam film ini baik verbal maupun non verbal bertentangan dengan norma yang berlaku di negara kita karena dapat mempengaruhi pola pikir dan prilaku masyarakat yang menontonnya. Apalagi adegan seksual tersebut terlalu vulgar dan mendominasi film drama remaja ini, sehingga peneliti ingin mengetahui representasi kekerasan seksual yang terdapat dalam film “Virgin 2”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

”Bagaimana kekerasan seksual direpresentasikan pada film ”Virgin 2” .

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi kekerasan seksual yang terdapat dalam Film “Virgin 2”.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat, baik secara akademis maupun praktis:


(12)

1.4.1 Manfaat Akademis

Manfaat Akademis, diharapkan hasil penelitian ini dapat di gunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi terutama mengenai representasi adegan seksual yang disajikan dalam Film “Virgin 2”.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat Praktis, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pengelola perfilman di Indonesia, agar dalam pembuatan dan penayangan film tidak bertentangan dengan norma yang ada di negara kita


(13)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Komunikasi massa adalah suatu proses. Walaupun teknologi modern dalam bentuk media massa cukup penting bagi proses itu, kehadiran alat – alat ini tidak boleh dikelirukan dengan proses itu sendiri . Komunikasi massa menurut Wright (1959) ditandai oleh ciri – ciri sebagai berikut :

1. Ia diarahkan pada audience yang secara relatif luas dan anonim

2. Pesan disampaikan secara terbuka, sering kali mencapai audience-nya secara serempak dan bersifat sementara

3. Komunikator cenderung, atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks dan melibatkan biaya yang besar.

Dalam komunikasi massa, film dan televisi mempunyai sifat yang sama yaitu audio visual, bedanya hanya mekanik atau non elektronik dalam proses komunikasinya dan rekreatif-edukatif persuasif atau non informatif dalam fungsinya. Dampak film bagi khalayak kuat dalam menghasilkan efek yang bersifat afektif, karena medianya berkemampuan untuk menanamkan kesan, layarnya untuk menayangkan film tersebut relatif besar, gambarnya


(14)

jelas, dan suaranya yang keras dalam ruangan yang gelap membuat penonton semakin terkesima dan mencekam.

Komunikasi massa pada dasarnya merupakan penggunaan saluran. (media) yang mempunyai proses melibatkan beberapa komponen. Dua komponen yang berinteraksi (sumber dan penerima) terlibat, pesan yang diberi kode oleh sumber (encoded), disalurkan melalui sebuah saluran dan diberi kode oleh penerima (decoded), tanggapan yang diamati penerima merupakan umpan balik yang memungkinkan interaksi berlanjut antara sumber dan penerima (Winarso, 2005:18-20).

Pengertian Film menurut Undang – undang nomor 8 Tahun 1992 (8/1992), Tanggal 30 Maret 1992 (Jakarta), tentang : Perfilman, Pasal 1. Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang – dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita, video, dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik atau yang lainnya.

Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menjanjikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum .(McQuail, 1994 : 13).


(15)

Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yaitu yang lazim dipertunjukan di gedung – gedung bioskop dengan para bintang filmnya yang tenar. Film ini di distribusikan sebagai barang perdagangan yang diperuntukkan bagi masyarakat dimana saja. (Onong, 2000 : 211).

Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk sebenarnya, maupun dalam bentuk imajinasi. Film juga dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunitas tertentu. Bahkan bisa membentuk komunits sendiri, karena sifatnya yang universal, meskipun demikian film juga bukan menimbulkan dampak yang negatif. (Victo C Mambor : http://situskunci.tripod.com/teks/victor1. htm).

2.1.2 Perfilman Indonesia

. Film sebagai media visual elektronik secara drastis telah mengubah cara kita dalam memandang dunia, bahkan cara kita dalam memandang diri kita sendiri. Selama kurun waktu 80 tahun terahir, kita telah dibombardir dengan ribuan film yang beredar sebagai informasi massa, tanpa kita menanyakan bagaimana mareka menyampaikan komunikasi tersebut dan apa makna dari komunikasi yang mereka sampaikan.

Menurut sejarah perfilman Indonesia, film yang pertama kali diperkenalkan di negeri ini berjudul ” Lely Van Java” , diproduksi di Bandung tahun 1926 oleh seseorang bernama David. Disususn oleh ” Eulis Ajih”


(16)

produksi Krueger Corporation 1927/1928. film berikutnya adalah ”Lutung Kasarung”, ” Si Conat” dan ” Pareh”. Sampai dengan Tahun 1930 film yang disajikan masih merupakan film bisu.

Film bicara yang pertama berjudul ” Terang Bulan” yang dibintangi oleh Roekiah dan R. Mochtar, dengan naskah yang ditulis oleh penulis indonesia bernama Saerun.

Saat Perang Asia Timur Raya Pecah tahun 1941, dunia perfilman pun berubah wajah. Ketika pemerintah Belanda menyerah kepada bala tentara Jepang, perusahaan – perusahaan film seperti Wong Brothers, South pasific, dan Multi Film diambil alih Jepang dan diganti nama menjadi ” Nippon Eiga Sha”. Yang diproduksi adalah film-film berita seperti ” Djawa Baharu” kemudian diganti menjadi ” Nampo Hado” , lalu film dokumenter, film feature, dan lain-lain.

Dunia perfilman pun ikut berubah ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi kepada R.M Soetarto perwakilan dari Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 6 Oktober 1945 dan kemudian lahirlah Berita Film Indonesia atau B.F.I .

Menginjak dekade lima puluhan, perfilamn Indonesia mulai memasuki alam yang cerah. Munculnya perusahaan-perusahaan film yang dibentuk oleh para sineas dan dipelopori ”Sticoting Hiburan Mataram” dan diikuti oleh Perusahaan Film Nasional ( Perfini ) dipimpin oleh Usmar Ismail dan


(17)

Persatuan artis Republik Indonesia ( Persari ) yang dipimpin oleh Djamaludin Malik. Diikuti pula oleh Sarya Film Trading, Java Industrial Film, Bintang Surabaya, Tan & Wong Brothers Film corp, Golden Arrow, Ksatrya Dharma Film, dan Benteng Film.

2.1.3 Representasi

Representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas di sampaikan dalam komunikasi melalui kata-kata, bunyi atau kombinasinya (Fiske, 2004 : 282 ).

Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep – konsep idiologi yang abstrak dalam bentuk – bentuk yang kongkrit.

Konsep Representasi dapat berubah – berubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah ada sebelumnya. Intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikontruksikan, diproduksikan, melalui proses representasi.

Representasi menunjuk baik pada proses maupun produksi dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep. Konsep idiologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang konkret. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia misalnya dialog, tulisan, video, film


(18)

fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna malalui bahasa .

Menurut Stuart Hall, representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksikan budaya. Kebudayan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ” pengalaman berbagi” . Sedangkan dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia – manusia yang ada di suatu tempat membagi pengalaman yang sama, membagi kode – kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ”bahasa” yang sama, dan saling berbagi konsep – konsep yang sama.

Ada dua proses representasi menurut Stuart Hall. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang ”sesuatu” yang ada di kepala kita masing – masing (peta konseptual). Reprensentasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, ”bahasa” yang berperan penting dalam proses kontruksi makanan. Konsep abstrak yang ada di kepala kita harus di terjemahkan dalam ”bahasa” yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide – ide tentang sesuatu dengan tanda dan simbol – simbol tertentu.

2.1.4 Pengertian Kekerasan

Menurut Galtung, kekerasan terjadi apabila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya. Kata kunci yang perlu diterangkan yaitu aktual (nyata) dan potensial (mungkin), dibiarkan serta diatasi tanpa disingkirkan. Jadi disini


(19)

kekerasan didefinisikan sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang nyata. Jenis kekerasan yang lain adalah kekerasan langsung, misalnya melukai dan membunuh. Dengan melukai dan membunuh berarti menempatkan ”realisasi jasmani aktualnya dibawah realisasi potensialnya” dengan demikian realitas mentalnya juga tidak dimungkinkan karena kita tahu bahwa tanpa integritas jasmani, kebebasan untuk merealisasikan diri terhambat.

Galtung juga menguraikan enam dimensi penting dari kekerasan, yakni:

a. Kekerasan fisik dan kekerasan psikologis. Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti bahkan sampai membunuh. Sedangkan kekerasan psikologis adalah tekanan yang berhubungan dengan kemampuan mental dan otak.

b. Pengaruh positif dan negatif. Sistem orientasi imbalan yang sebenarnya ada pengendalian atau kontrol yang tidak bebas, kurang terbuka dan cenderung manipulatif, meskipun memberikan kenikmatan.

c. Terdapat objek atau tidak. Maksudnya dalam tindakan tertentu tetap terdapat ancaman baik berupa kekerasan fisik ataupun psikologis. Walaupun tidak memakan korban tetapi dapat membatasi tindakan manusia.


(20)

d. Terdapat subjek atau tidak. Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya, namun apabila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung.

e. Disengaja atau tidak bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan. Dari sudut korban, baik disengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.

Kekerasan yang tampak dan tersembunyi. Kekerasan yang tampak nyata dapat dilihat meskipun tidak langsung, sedangkan kekerasan tersembunyi adalah suatu kekerasan yang tidak kelihatan tetapi bisa dengan mudah meledak (Santoso, 2002:168-169).

2.1.5 Kekerasan Seksual

Definisi kekerasan seksual terhadap wanita yang dimaksud dalam film ini adalah segala bentuk kekerasan yang dilakukan laki – laki terhadap wanita yang berupa kekerasan fisik maupun kekerasan mental. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau penempatan seseorang atau objek perhatian seksual yang tidak diinginkannya. Pada dasarnya perbuatan itu dirasakan atau dipahami sebagai suatu tindakan yang merendahkan, menyakiti atau tidak dikehendaki dalam hubungan kekuasaan yang tidak seimbang seperti antara atasan dan bawahan di tempat kerja. Bentuk – bentuk kekerasan seksual antara lain berupa kata – kata, komentar, gambar, memegang, menyentuh, meraba, dan mencium bagian – bagian tubuh tertentu, yang keseluruhannya


(21)

mengarah kepada keinginan untuk melakukan hubungan seksual.(Siregar, 1999 : 324).

Dengan demikian dapat dilihat bahwa ada 2 area utama yang menjadi ruang lingkup dimana kekerasan dapat terjadi, yaitu pertama kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Kekerasan yang terjadi dalam wilayah ini bisa dilakukan oleh suami, anak, bapak , ibu, atau saudara. Kekerasan yang terjadi dalam masyarakat luas. Kekerasan ini bisa dilakukan oleh tetangga, orang yang dikenal baik atau pun tidak dikenal sama sekali.

Kekerasan seksual dapat juga didefinisikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang terkonotasi atau mengarah pada hal – hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, benci, marah, tersinggung dan sebagainya.

Sedangkan definisi kekerasan seksual itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994 : 485) adalah : Perihal yang bersifat atau berciri keras, perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan nama baik atau pun fisik secara seksual dan paksaan.


(22)

2.1.6 Seksualitas Dalam Norma – Norma Masyarakat

Seks berasal dari bahasa latin ”secare” yang artinya tebelah, dengan demikian seks adalah sesuatu yang membelah manusia menjadi dua : pria dan wanita.(Subiyanto, 2005 : 20).

Walaupun keberadaan seks pada awal kehidupan tidak jelas, namun pada awal terjadinya seks di muka bumi tidak ditujukan untuk reproduksi (satu sel membelah menjadi dua) melainkan sebaliknya. Seks primitif ada saat dua sel bergabung sejenak dan saling bertukar gen. Pada percobaannya oleh para peneliti, dua galur gonococcus (penyebab gonore) digabungkan di dalam satu cawan yang sama. Galur pertama kebal terhadap penisilin, sedangkan yang kedua tidak. Setelah beberapa lama semua gonococcus menjadi kebal terhadap penisilin. Bakteri-bakteri ini saling berpasangan dan bakteri yang kebal, memodifikasi gen yang tidak kebal. Percobaan ini membuktikan bahwa seks menjadi salah satu strategi bertahan hidup yang paling sederhana dengan adanya kerjasama. Pada perkembangannya kemudian seks menjadi reproduksi seksual, dimana seks digunakan secara rutin dalam proses reproduksi.

Menurut Hidayana (2004 : 4 ) seksualitas adalah maksud dan motif dalam diri manusia. Seksualitas dapat juga dikatakan sebagai hasrat (desire) dan keinginan (want), yang tumpah tindih dengan aspek – aspek lain kehidupan.

Terdapat perbedan antara seks laki–laki dan perempuan. Seksualitas pada laki – laki adalah bila seorang anak laki – laki telah dewasa, maka naluri


(23)

seks dalam tubuhnya akan lebih nyata dan menjadi kuat. Perangsangan dapat timbul setiap saat dan terjadi agak cepat dan mungkin timbul tanpa disadari. Sedangkan seksualitas pada perempuan berbeda dengan laki – laki, perasaan seksual umumnya terjadi dengan perangsangan yang lebih lambat, tidak sesering dan tidak senyata laki – laki. (Sulistyo : 139 – 140).

Sementara menurut Robert Masland dalam bukunya “ Apa yang ingin diketahui remaja tentang seks “ seksualitas diartikan sebagai “ bagaimana laki – laki dan perempuan berbeda dan mirip satu sama lain, secara fisik, psikologis dan dalam istilah – istilah perilaku :

1. Aktifitas perasaan dan sikap yang dihubungkan dengan reproduksi, dan

2. Bagaimana laki – laki dan perempuan berinteraksi dalam berpasangan dan di dalam kelompok.

Sehingga dapat diterjemahkan ke dalam bahasa sederhana, seksualitas adalah bagaimana orang merasakan dan mengexpresikan sifat dasar dan ciri – ciri seksual yang khusus.(Susanti, 2003 : 19).

Istilah seksualitas menyangkut berbagai dimensi biologis, psikologis, sosial dan perilaku, dan cultural. Dilihat dari dimensi biologis, seksualitas berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana menjaga kesehatan, memfungsikan dengan optimal secara biologis, sebagai alat reproduksi, alat rekreasi dan dorongan seksual.


(24)

Dimensi psikologis, seksualitas berhubungan erat dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual, identitas peran jenis, dan perasaan terhadap seksualitas sendiri.

Dimensi sosial menyorot kepada bagaiman seksualitas muncul dalam relasi antar manusia,, bagaimana lingkungan berpengaruh dalam pembentukan pandangan mengenai seksualitas dan pada akhirnya prilaku seks kita.

Dimensi perilaku menunjukkan bagaimana seksualitas itu diterjemahkan menjadi perilaku seksual. Perilaku seksual merupakan segala bentuk perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan seksual.

Sebagai makhluk sosial, berbudaya, aktifitas seks manusia banyak dipengaruhi faktor – faktor dari dalam diri dan juga faktor lingkungan . Psikolog Kartini Kartono dalam bukunya “ Psikolog Wanita “ menemukan tiga macam komponen yang merupakan faktor yang menentukan seksualitas dalam diri manusia, yaitu :

1. Komponen hormonal, ditentukan oleh hormon – hormon tertentu yang mempengaruhi perkembangan dan aktifiatas seks, diantaranya adalah hormon esterogen (kewanitaan) dan hormon testoteron ( kelelakian). 2. Komponen genesis, terdapat dalam kromosom – kromosom seks, yaitu

kromosom X atau kromosom betina dan kromosom Y atau kromosom jantan. Kromosom inilah yang menentukan jenis kelamin laki – laki, perempuan, laki-laki super jantan, atau laki – laki feminin.


(25)

3. Komponen psikologis, yang terdapat pada seksualitas manusia dipengaruhi oleh faktor – faktor lingkungan, keluarga, milenieu, alam sekitar, dan faktor – faktor cultural serta semua pengalaman hidup setiap individu.(Praptoko, 1996 : 22).

Artinya bahwa seksualitas manusia dipengaruhi oleh tiga komponen diatas. Ketidak normalan atau adanya gangguan dari ketiga komponen tersebut akan berimplikasi pada kehidupan seksual manusia . Sehingga segala permasalahan seks dihadapai manusia bila ditelusuri lebih jauh lagi dan akan bermuara pada tiga komponen tersebut. Komponen hormonal dan genesis akan lebih berpengaruh pada keadaan biologis tetapi tidak menutupi kemungkinan pada perilaku seksual. Keadaan biologis tersebut meliputi perkembangan dan fungsi organ kelamin baik primer maupun sekunder. Sedangkan komponen psikologis lebik banyak menentukan atau berpengaruh kepada prilaku seksual.

Agar hubungan antar manusia di dalam masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka dirumuskan norma – norma dalam masyarakat. Mula – mula norma – norma tersebut terbentuk secara tidak sengaja, namun lama – kelamaan norma – norma tersebut di buat secara sadar . Menurut Soerjono Soekanto (2004) norma – norma yang ada di dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeeda – beda. Ada norma yang lemah, sedang, sampai terkuat daya ikatnya. Pada yang terakhir,


(26)

umumnya anggota masyarakat tidak berani melanggarnya. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma – norma tersebut secara sosiologis dikenal adanya empat pengertian, yaitu : cara (usage), kebiasaan (folkway), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom).

Masing – masing pengertian diatas mempunyai dasar yang sama yaitu masing – masing merupakan norma – norma kemasyarakatan bagi perilaku seseorang yang hidup dalam masyarakat. Setiap pengertian diatas mempunyai kekuatan yang berbeda karena setiap tingkatan menunjuk pada kekuatan memaksa yang lebih besar agar mentaati norma.

Cara (usage) merupakan norma yang mempunyai kekuatang sangat lemah jika dibandingkan dengan kebiasaan (folkway). Penyimpangan terhadapnya tidak akan menyebabkan hukuman yang berat tetapi hanya sekedar celaan.

Kebiasaan (folkway) merupakan perbuatan yang diulang – ulang dalam bentuk yang sama dan diterima oleh masyarakat, sehingga setiap orang akan menyalahkan jika terjadi penyimpangan terhadap kebiasaan tersebut.

Tata kelakuan (mores) memberikan batas – batas pada prilaku individu dan merupakan alat – alat serta melarang seseorang anggota msyarakat melalkukan suatu perbuatan . Tata kelakuan memaksa orang agar menyesuaikan tindakan – tindakannya dengan tata kelakuan dalam masyarakat yang berlaku. Tindakan yang menyimpang, dan jika tindakan yang menyimang masyrakat akan menghukum orang tersebut dengan maksud


(27)

agar mereka menyesuaikan tindannya dengan tata kelakuan yang berlaku dalam masyarakat, misalnya prihal hubungan pria dan wanita.

Adat istiadat (custom) merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola – pola prilaku dalam masyarakat dengan kekuatan yang lebih besar. Anggota masyarakat yang melanggar akan mendapat sangsi yang keras. Dalam berprilaku manusia terikat oleh batas – batas tertentu yang tidak boleh dilanggar, kalau batas – batas tersebut dilanggar maka orang yang bersangkutan akan di hukum. Apabila manusia memahami norma – norma yang mengatur kehidupan bersamanya maka akan timbul kecendrungan untuk mentaati norma – norma tersebut.

Seks bebas adalah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Hasil poling yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Sahabat Anak Dan Remaja Indonesia (Sahara Indonesia) di kota Bandung, menyebutkan bahwa 44,8 persen mahasiswa dan remaja Bandung telah melakukan hubungan seks sebelum menikah. (http://pribadi.or.id/diary/2003/07/05/Bandung-lagi–survey-freesex-remaja.)

Hasil survey Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di kota Salitiga terhadap 188 siswa dari emapat SMA swasta maupun negeri, menunjukkan bahwa sebanyak 3,2 persen siswa telah melakukan hubungan seks (intercourse) dan 2,13 persen telah mencoba melakukan petting (mendekat alat kelamin tanpa intercourse). Hubungan seks yang dilakukan tersebut tidak hanya dilakukan pada pacar, melainkan juga


(28)

pada teman pekerja seks . Perbuatan tersebut paling banyak dilakukan di dalam rumah sendiri, hotel, maupun losmen.(www. Penulislepas.com).

Sistem sosial kita telah banyak mengalami pergeseran nilai, termasuk dalam masalah seksualitas. Menurut Psikolog dari UKSW, Jimmy E Kurniawan bahwa keluarga, sekolah, maupun pemuka agama harus ikut bertanggung jawab atas terjadinya fenomena ini. Tetapi, jangan lupa pengaruh media massa pengusung berhala syahwatlah yang paling besar andilnya dalam merangsang remaja kita untuk melakukan pergaulan seks bebas. Televisi, koran, tabloid, majalah, VCD, dan internet disadari atau tidak, telah menjadi agen provokasi untuk melakukan seks pranikah.

Fenomena seks bebas dapat di kurangi dengan memberikan pengarahan mengenai seks yang sehat sesuai dengan norma keluarga, sekolah, masyarakat, dan agama. Seks yang tidak melahirkan rasa bersalah, penyesalan, dan rasa rendah diri.

Menurut Sarlito W Sarwono (1994), pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yaitu meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan, kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek – aspek kesehatan, kejiwaan, dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma – norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar peraturan – peraturan yang berlaku.


(29)

2.1.7 Analisis Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji suatu tanda. Tanda itu sendiri adalah perangkat – perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini, di tengah – tengah manusia dan bersama manusia. Semiotika atau dalam istilah Bartles Semiologi pada dasrnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal (things). Memaknai (tosinify) tidak berarti dapat di campur adukkan dengan mengkomuniksikan (to comunicate) . Memaknai berarti bahwa objek – objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga termasuk didalam hal mana objek – objek itu hendak berkomunikasi.(Kurniawan dalam Sobur, 2004 : 15).

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) adalah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda. (Little John, 1996) menurut Pienis dengan tanda – tanda kita mencoba menafsirkan keteraturan di tengah – tengah dunia yang terang – benderang ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan. Hjelmslev, mendefinisikan tanda sebagai ”suatu keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan wahana isi (content plan)”.(Sobur, 2004 : 15 – 16).

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti ”tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas


(30)

dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, Peristiwa-peristiwa. Seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, dalam Alex Sobur 2002:95). Pengertian lain juga dikemukakan oleh (Van Zoest, dalam alex Sobur 2002 : 96) mengartikan semiotik sebagai ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan denganny, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda- tanda lain, pengirimnya, dan penerimaanya oleh mereka yang menggunakannya. Menurut preminger (2001), ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Semiotika modern mempunyai dua orang bapak yaitu Charles Sandera Pierce (1839 – 1914) dan Ferdinand De Saussure (1857 – 1913) . Terdapat perbedaan antara Pierce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah tokoh cikal bakal linguistik umum. (Sobur, 2004 : 110).

Menurut Pierce kekerasan simbol adalah bentuk kekerasan yang halus dan tidak tampak. Tidak dikenal dan hanya dikenal dengan hanya menyembunyikan mekanisme tempatnya bergantung. Konsep kekerasan simbol mengiring kita ke arah mekanisme sosial. Yang didalamnya terdapat relasi komunikasi yang saling bertauan dengan relasi kekuasaan. Sistem


(31)

kekuasaan cenderung melanggengkan posisinya yang dominan dengan cara mendominasi media komunikasi. Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, makna-makna yang dipertukarkan didalam komunikasi serta interpretasi terhadap makna-makna tersebut, inilah dominasi simbol atau symbolic domination. Kekerasan simbolik juga dapat terjadi pada tanda bahasa yaitu pada apa yang diucapkan dan diekspresikan.

Berbeda dengan fenomena kekerasan pada cara atau mekanisme bahasa dimana pemaknaan dominasi kekuasaan disembunyikan lewat simbol. Kekerasan pada tanda lebih berkaitan dengan bagaimana sebuah ucapan, sebuah kata, sebuah ungkapan, juga pada sebuah gambar. Kekerasan semiotik digunakan untuk menjelaskan fenomena kekerasan pada tingkat tanda (sign).

Untuk membedakan dengan istilah kekerasan simbol yang digunakan. Kekerasan semiotik berlangsung dalam bentuk citra., tontonan, gambar dan produk sebagai segala sesuatu yang diproduksi dan diperuntukkan dengan sesuatu yang lain dalam rangka memperoleh nilai lebih atau keuntungan.

Menurut John Fiske , semiotika adalah studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Semiotika memiliki tiga bidang studi utama yaitu: 1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang

berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.


(32)

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri ( John Fiske, 2004:60 ).

2.1.8 Model Semiotika John Fiske

Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seorang semiotikus dalam mempelajari semua system tanda social lainnya. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandungannya. Di dalam semiologi seseorang diberikan “kebebasan” dalam memaknai sebuah tanda ( Kurniawan, 2001; 156 ).

Analisis yang dilakukan pada film Virgin 2 ini terbagi menjadi beberapa level, yakni :

1. Level Realitas (Reality)

Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian, dan make-up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, prilaku, dan ucapan, gasture, ekspresi,suara, dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang di tangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis.


(33)

Kode-kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa:

a. penampilan, kostum dan make-up yang digunakan oleh pemain utama pada film Virgin 2. Dalam penelitian ini pemeran yang menjadi objek penelitian adalah Christina Santika. Bagaimana pakaian dan tata rias yang digunakan, serta apakah kostum dan make-up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural.

b. Lingkungan atau Setting, yang ditampilkan daricerita dan tokoh dari film Virgin 2 ini, bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya.

c. Dialog, berupa apa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam dialog.

2. Level Representasi

Level rapresentasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, karakter, action, dialog, setting, casting dan sebagainya. Level representasi meliputi :


(34)

a. Long shot : Pengambilan yang menunjukkan semua bagian dari objek, menekankan pada background. Jika objeknya adalah manusia, maka dapat dikur antara lutut kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Shot ini biasanya dipakai dalam fenomena sosial yang memperlihatkan banyak orang dalam shot yang lebih lama dan lingkungannya dari pada individu sebagai fokusnya serta memberikan informasi mengenai penampilan tokoh mulai dari gesture, body language cara berjalan dan sebagainya.

b. Establishing shot : Biasanya digunakan untuk membuka suatu adegan.

c. Medium shot : Biasanya digunakan untuk memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat. Jika objeknya manusia maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang diatas kepala. d. Close up : Menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah dalam detail sehingga memenuhi layar, dan mengaburkan objek dengan konteksnya. Pengambilan ini memfokuskan pada perasaan dan reaksi dari seseorang, dan kadangkala digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang.

e. View Point : Jarak dan sudut nyata darimana kamera memandang dan merekam objek.


(35)

f. Poin of view : sebuah pengambilan kamera yang mendekatkan posisinya pada pandangan seseorang yang ada dan sedang memperlihatkan aksi lain.

g. Selective focus : Memberikan efek dengan menggunakan peralatan optikal untuk mengurangi ketajaman dari image atau bagian lainnya. Misalnya : Wide angle shot, title shot, anggle shot, dan two shot.

2. Manipulasi waktu

Macamnya Sceen time, subjuctive time, compressed time, long take, similtaneous time, slow motion, replay, flash back, flash forward, overlapping action, universal time, ambiguous time.

3. Teknik kamera : perpindahan

a. Zoom : Perpindahan tanpa memindahkan kamera hanya lensa difokuskan untuk mendekati objek. Biasanya untuk memberikan kejutan kepada penonton.

b. Following pan : kamera berputar untuk mengikuti perpindahan objek. Kecepatan perpindahan terhadap objek menghasilkan mood tertentu yang menunjukkan hubungan penonton dengan subjeknya. c. Tracking (dollying) : perpindahan kamera secara pelan atau maju menjauhi objek (berbeda dengan zoom) kecepatan tracking mempengaruhi perasaan penonton.


(36)

a. Cut : Perubahan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point of view, atau membentuk kesan terhadap image atau ide.

b. Jump cut ; Untuk membuat suatu adegan yang dramatis.

c. Motived cut : Bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya. 5. Penggunaan Suara

a. Comentar voice-over narration : Biasanya digunakan untuk memperkenalkan bagian orang tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada dalam gambar, untuk menginterpretasikan kesan pada penonton dari suatu sudut pandang, menghubugkan bagian atau sequences dan program secara bersamaan.

b. Sound effeck : Untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kajian.

c. Musik : Untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi suatu adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional suatu adegan.

6. Pencahayaaan : Macamnya soft and hard lighting, dan backlighting. Cahaya menjadi unsur media visual, karena cahayanyalah informasi


(37)

dapat dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda dapat dilihat. Maka penyajian film juga pada mulanya disebut sebagai ”painting withlight”, melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangannya bartutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau bisa menunjang dramatik adegan (Biran, 2006:43).

7. Grafis : Macamnya teks, diagram dan animasi.

8. Gaya Bercerita : Macamnya subjective treatment, objective treatment, parallel development, invisible editing, mise-en-scene, montage, talk to camera, dan tone.

9. Segi dan format lainnya :

Macamnya shot, series, serial, talking heads, vox pop, dan intertextuality.

10.Mise-En-scene : kode-kode Mise-en-scene ialah alat-alat yang dipergunakan oleh pembuat film untuk merubah dan menyesuaikan pembacaan shot yang akan kita lakukan. Mise-En-scene juga digunakan untuk mengungkapkan makna melalui suatu hubungan antar adegan yang terlihat dengan adegan lainnya.

Pendekatan karya strukturalis memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna. Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya sastra


(38)

atau seni. Fenomena kesastraan dan estetika didekati sebagai sistem tanda-tanda ( Budiman, 2003 : 11 ).

Tetapi dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada suara dan penataan musik yang ada pada level representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi kekerasan seksual pada film Virgin 2 ini.

3. Level Idiologi ( ideology )

Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan idiologi-idiologi. Sedangkan dalam penelitian ini pemaknaan atas simbol-simbol dalam film Virgin 2 ini menggunakan ideologi feminisme dan dihubungkan dengan nilai-nilai kekerasan.

Penggunaan semiotika dalam film telah menjadi bagian penting dalam masyarakat modern. Analisa film dengan pendekatan semiotika dapat dilakukan mengingat film merupakan fenomena semiotika ( advertisement semiotic activity) . Masyarakat sekarang lebih berorientasi pada apa yang dilihatnya dan telah banyak menggunakan sistem tanda lain diluar sistem tanda verbal. ( Panut,1992:56 ).

2.1.9 Film Dalam Pendekatan Semiotika

Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda. studi ini tidak hanya mengarah pada tanda dalam kehidupan sehari-hari,


(39)

tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut, bentuk-bentuk tanda di sini antara lain berupa kata-kata images, suara, gesture, dan obyek. Bila kita mempelajari tanda tidak biasa memisahkan tanda yag satu dengan tanda yang lain membentuk suatu sistem. Dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan John Hartlye, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode (Chandler, 2002 : www.aber.ae.uk)

Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural and Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transisi pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang ke dua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika. (Ilmu tentang tanda dan makna, Fiske, 2006 :9).

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan (Van Zoest 1993 : 109 dalam sobur, 2004 : 128) film dengan tanda semata-mata. Tanda –tanda itu termasuk berbagi sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk


(40)

mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda ikonis , yakni tanda –tanda yang menggambarkan sesuatu (Van Zoest, 1993 : 109 dalam Sobur , 2004 : 128). Memang ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditujukannya. Gambar-gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikan.

Menurut Fiske dalam bukunya berjudul Television Cultural, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar (Wide Screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan ditelevisi. Fiske mengkategorikan sign pada film ke dalam dua kategori , yakni kode-kode respresentasi (respresentational codes). Kode kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hirarki yang kompleks (Fiske, 1990:40 dalam mawardhani, 2006:39).

Analisis yang dilakukan pada film Virgin2 ini terbagi menjadi beberapa level, yakni :

1. Level pertama adalah realitas (reality), kode sosialnya antara lain penampilan (appearance), kostum (dress), riasan (make-up), lingkungan (setting), kelakuan (behaviour), dialog (speech), gerakan tubuh (gesture), ekspresi (expression).

2. Level kedua adalah representasi (representation), kode sosialnya antara lain kamera (camera), pencahayaan (lighting), perevisian (editing), musik (music), suara ( sound).


(41)

3. Level ketiga adalah idiologi (ideology), yaitu idiologi apa yang ingin disampaikan yang berhubungan dengan penelitian.

Sistem semiotika yang lebih penting dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. (Sobur,2004 : 128)

2.2 Film Virgin 2 ( Bukan Film Porno )

Film Virgin 2 merupakan film yang drama remaja yang mengangkat tema mengenai remaja beserta permasalahan pubertas yang diiringi rasa keingintahuan yang meluap-luap, rasa ingin meniru dan mencoba sesuatu hal baru, dan kerap sekali film drama remaja disajikan identik dengan adegan – adegan yang menjurus ke arah seksualitas.

Berkaitan dengan penelitian yang ingin diteliti adalah pemeran Christina Santika sebagai korban kekerasan seksual dengan lawan mainnya Yama Carlos yang merepresentasikan adegan kekerasan seksual dalam film Virgin 2.

Film ini menceritakan mengenai seorang anak remaja bernama Tina yang tinggal bersama ibunya dan kekasih baru ibunya, suatu hari kekasih ibunya berusaha memperkosa Tina, namun karena kepergok oleh ibunya, kekasih ibunya itu justru memfitnah Tina lah yang menggodanya. Kemudian Tina diusir dari rumah, dan tinggal dengan temannya Steffy yang ternyata keseharian Steffy adalah sebagai pelacur. Karena keluguan Tina, Steffy


(42)

memanfaatkannya dan menjerumuskan Tina ke dunianya yaitu sebagai pelacur dengan mengenalkan Tina dengan Yama. Ternyata Yama punya niat buruk kepada Tina, setelah Tina dibujuk minum minuman keras, untuk melampiaskan nafsu seksualnya, akhirnya Yama menjalankan suatu kekerasan yang sifatnya nyata dengan cara Tina dipukuli dan dipaksa melayani nafsu seksualnya. Kemudian keesokan harinya Tina dijual kepada hidung belang.

2.3 Kerangka Berfikir

Film dibuat dengan adanya tanda semata- mata. Tanda-tanda tersebut termasuk ke dalam sistem yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai suatu efek yang diharapkan.

Film drama remaja pada saat ini banyak macamnya, namun pada umumnya kini mulai identik dengan hal – hal yang berbau free seks atau adegan ponografi dan pornoaksi yang terlalu berlebihan, seperti pada film Virgin 2 ini. Pada film ini terdapat kekerasan seksual yang tampak dengan memaksakan secara sepihak suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh sasarannya, untuk mendapatkan dan melampiaskan nafsu seksualnya pada seseorang yang di inginkannya.

Fenomena film remaja saat ini, banyak menampilkan adegan seksual yang berlebihan. Hal ini di khawatirkan dapat mendorong kaum remaja untuk mencontoh adegan seksual yang ditayangkan pada film tersebut, karena


(43)

mengagap hal tersebut sudah biasa, meskipun sebetulnya bertentangan dengan norma yang ada.

Kekerasan seksual dalam Film Virgin 2 ini, dapat juga memberikan inspirasi pada penonton jika dalam keadaan terdesak untuk mengikuti cara – cara yang tidak baik dalam menginginkan sesuatu yang di impikannya.

Dalam film Virgin 2 ini, Christina Santika adalah korban dari kekerasan seksual oleh lawan mainnya Yama Carlos. Maka dari itu peneliti akan merepresentasikan kekerasan seksual dari film tersebut melalui tokoh Christina Santika dan Yama Carlos. Penelitian ini akan menggunakan analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar ( wide screen ) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan ditelevisi, yang dikemukakan oleh John Fiske. Analisis ini terbagi atas tiga ( 3 ) level, yakni level realitas, level representasi dan level idiologi.


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Peneltian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif . Menurut Lexy Moleong dalam bukunya ” Metodelogi Penelitian Kualitatif ”, tahun 2005, penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena mengenai apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dll. Secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Dalam merepresentasikan kekerasan seksual dalam film ”Virgin 2” melalui pemerannya yakni Christina Santika, peneliti harus terlebih dahulu mengetahui tanda-tanda yang terdapat dalam film tersebut. Serta beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni konteks atau situasi sosial di seputar dokumen atau teks yang akan diteliti. Dalam hal ini peneliti diharapkan dapat memahami the nature/kealamian dan culture meaning/makna kultural dari artifack/teks yang akan diteliti. Kemudian adalah proses atau bagaimana suatu produksi media atau isi pesannya dikreasi secara actual dan diorganisasikan


(45)

secara bersama. Terakhir adalah emergence, yakni pembentukan secara gradual atau bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasi.

Dalam penelitian ini peneliti melakukan analisis data menggunakan metode semiotik yakni suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur,2004:15). Berdasarkan metode analisis tersebut, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda yang ditampilkan dalam film ”Virgin 2” tersebut. Selanjutnya akan menjadi corpus dalam penelitian ini, kemudian secara khusus peneliti menggunakan metode penelitian analisis yang dikemukakan John Fiske untuk menginterpretasikan atau memaknai kekerasan dalam film ”Virgin 2” melalui pemeran Christina Santika dan Yama Carlos.

3.2 Kerangka Konseptual 3.2.1 Corpus

Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis kesemenaan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsur akan memelihara sebuah sistem kemiripan perbedaan yang lengkap. Corpus juga bersifat sehomogen mungkin, homogen pada taraf waktu (singkroni) (Kurniawan, 2000 : 70).


(46)

Pada penelitian kualitatif ini memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi alternatif. Corpus dalam penelitian ini adalah adegan kekerasan dan dialog yang merepresentasikan kekerasan dari pemeran Yama Carlos (Yama ) terhadap Christina Santika ( Tina ) dalam film ”Virgin 2”. Dalam film ini ada scene-scene yang menampilkan kekerasan seksual dari ke 82 scene pada film Virgin 2 ini, yaitu pada scene 7, scene 25, scene 29, scene 32, scene 36 dan scene 80

3.2.2 Definisi Operasional Konsep 3.2.2.1 Representasi

Representasi berasal dari kata dasar dalam bahasa inggris represent yang bermakna stand for, artinya berarti atau juga act a delegate for yang berarti bertindak sebagai pelambang atas sesuatu. representasi juga dapat diartikan sebagai proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda. Yang dimaksud dengan representasi kekerasan seksual pada film ”Virgin 2” melalui pemeran Christina Santika mewakili makna atau wujud dari korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh lawan mainnya Yama Carlos yang berperan sebagi Yama dalam film ”Virgin 2” ini.

Konsep Representasi dapat berubah – berubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah ada sebelumnya. Intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikontruksikan, diproduksikan, melalui proses representasi.


(47)

Ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang ”sesuatu” yang ada di kepala kita masing – masing (peta konseptual). Reprensentasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, adalah ”bahasa” yang berperan penting dalam proses kontruksi makna. Konsep abstrak yang ada di kepala kita harus di terjemahkan dalam ”bahasa” yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide – ide tentang sesuatu dengan tanda dan simbol – simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem ”peta konseptual” kita. Dalam proses kedua , kita mengkonstruksi seperangkat rantai koresponden antara ”peta konseptual” dengan ”bahasa atau simbol” yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsepkita tentang suatu relasi antara ”sesuatu” , ”peta konseptual”, dan ”bahasa atau simbol” adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa . proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan representasi.

Konsep representasi dalam penelitian ini merujuk pada pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok, atau sebuah gagasan ditunjukkan dalam media massa ( Eriyanto,2001 : 113 ). Dalam film Virgin 2 ini terdapat tanda dan simbol-simbol yang menunjukkan adanya adegan yang memperlihatkan kekerasan seksual.


(48)

3.2.2.2 Kategori Kekerasan

Untuk mengetahui seperti apa kekerasan yang terkandung didalam penelitian ini, maka peneliti akan memberikan penjelasan mengenai beberapa kategori kekerasan yang dipakai sebagai acuan untuk meneliti adegan yang dianggap sesuai dengan penelitian.

Kekerasan di bagi dalam empat bagian, yaitu : • Kekerasan Fisik.

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh, dan tewasnya seseorang.

• Kekerasan Psikologis

Sedangkan kekerasan psikologis adalah tekanan yang berhubungan dengan kemampuan mental dan otak. Dapat berupa kata-kata, perbuatan yang mengakibatkan rasa takut, malu, tersinggung, dan merasa terhina

• Kekerasan yang Tampak

Kekerasan yang Tampak (nyata) yang dilakukan secara langsung dan ada pelakunya. Dapat disebut dengan kekerasan personal.

• Kekerasan Tersembunyi

Kekerasan tersembunyi adalah suatu kekerasan yang tidak kelihatan pelakunya tidak tampak / terlihat tetapi bisa dengan


(49)

mudah meledak. Dapat disebut dengan kekerasan struktural. (Santoso, 2002:168-169).

3.2.3 Unit Analisis

Unit analisis pada penelitian ini adalah keseluruhan tanda dan lambang berdasarkan level analisis oleh Jhon Fiske, yang terdapat pada pemeran Yama yang merepresentasikan kekerasan dalam film Virgin 2. Kemudian Penelitian ini juga diinterpretasikan dengan menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh John Fiske yaitu tiga ( 3 ) level, yakni level realitas, level representasi dan level idiologi. Hal ini untuk mengetahui bagaimana pemaknaan kekerasan dalam film Virgin 2 tersebut.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi dan mengamati potongan adegan-adegan atau scene pada film ”Virgin 2” secara langsung. Potongan gambar yang ada kemudian dipilih berdasarkan korelasinya dengan kekerasan seksual. Gambar terpilih ini disebut data primer. Peneliti juga melakukan studi kepustakaan untuk melengkapi data-data dan bahan yang dapat dijadikan referensi. Selanjutnya dari hasil pengamatan simbol-simbol yang terdapat pada potongan visualisasi film dan data-data yang diperoleh akan dianalisis berdasarkan studi semiotik menurut John Fiske.


(50)

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan sign/sistem tanda yang tampak pada pemeran Yama sebagai pelaku kekerasan seksual dan Tina sebagai korban kekerasan seksual dalam film ”Virgin 2” karena sesuai dengan studi yang diambil dalam penelitian ini yaitu studi semiotik yang dikemukakan oleh John Fiske yaitu tiga ( 3 ) level, yakni level realitas, level representasi dan level idiologi. Apanbila ketiga elemen ini berinteraksi, maka peneliti akan merepresentasikan semua unsur atau elemen yang ada pada potongan-potongan visual yang ada pada film virgin 2 yang dipilih. Setelah itu peneliti menyimpulkan berbagai makna atau arti dari visualisasi film tersebut.


(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data 4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Film Virgin 2 di produksi oleh Starvision Plus pada tahun 2008 dan di sutradarai oleh Nayato fio Nuala. Film ini menceritakan tentang persahabatan dua orang remaja putri Tina dan Nadya yang terjerumus ke profesi kelam yang seharusnya tidak mereka lakukan di usia mereka. Masa remaja bukanlah hal yang mudah bagi mereka. Persahabatan seringkali harus dibayar dengan mahal, dan diakhiri kematian tragis, justru ketika mereka ingin merubah jalan hidupnya.

Tina (Christina Santika), sebelumnya seorang siswi SMA dengan kepribadian yang cuek dan lebih pendiam, dia hanya memiliki satu orang sahabat bisu bernama Kenny (Neyna Lisa Bartlett), Kenny bisu akibat usaha bunuh diri yang gagal dan mengakibatkan pita suaranya rusak. Tina diusir oleh Ibunya karena dituduh telah menggoda kekasih Ibunya. Kenyataannya, kekasih Ibunyalah yang ingin mencumbu Tina. Tina berusaha membela diri, tapi Ibunya lebih mementingkan eksistensi hubungannya dengan sang kekasih.


(52)

Setelah kejadian itu, Tina kehilangan tempat bernaung, dia bertemu dengan temannya bernama Steffie (Wichita Satari). Steffi menunjukkan betapa baik hatinya sebagai seorang teman. Tina terharu oleh kemurahan hati Steffi yang mau menampungnya. Tapi semua itu hanya kebohongan belaka, karena Steffi menjual Tina pada seorang Mucikari yang bernama Yama. Tina disekap di sebuah apartemen, diperkosa oleh Yama dan kemudian dipaksa untuk melayani klien-klien Yama.

4.1.2 Penyajian Data

Cerita berawal ketika Tina ( Christina Santika ) diusir oleh Ibunya karena dituduh telah menggoda kekasih Ibunya. Kenyataannya, kekasih Ibunyalah yang ingin mencumbu Tina. Tina berusaha membela diri, tapi Ibunya lebih mementingkan eksistensi hubungannya dengan sang kekasih.

Setelah kejadian itu, Tina kehilangan tempat bernaung, dia bertemu dengan temannya bernama Steffie (Wichita Satari). Steffi menunjukkan betapa baik hatinya sebagai seorang teman. Tina terharu oleh kemurahan hati Steffi yang mau menampungnya. Tapi semua itu hanya kebohongan belaka, karena Steffi menjual Tina pada seorang Mucikari yang bernama Yama ( Yama Carlos ). Tina disekap di sebuah apartemen, diperkosa oleh Yama dan kemudian dipaksa untuk melayani klien-klien Yama.

Hingga akhirnya Tina menemukan satu kesempatan untuk lari dari Yama. Di dalam proses pelarian itulah akhirnya Tina bertemu dengan Nadya


(53)

(Joanna Alexandra), berprofesi sebagai seorang Disc Jockey ( DJ ). Nadya, Mitha (Smitha Anjani) dan Raymond (Ramon Y Tungka) bersahabat sejak SMA, tetapi mereka bukanlah remaja yang punya ‘pegangan yang kuat’, mereka datang dari keluarga yang kurang harmonis, ibarat daun meranggas, mudah terlepas dari pohonnya. Sehingga, Raymond dipenjara karena kasus narkoba, dan meninggalkan Nadya yang mengandung benihnya. Nadya diusir oleh orang tuanya gara-gara ketahuan hamil oleh Raymond, seorang remaja yang jadi bandar narkoba. Setelah Raymond ditangkap Polisi, Nadya hidup dengan sahabatnya Mitha. Sedangkan Mitha yang awalnya jadi pelindung Nadya, malah terperosok cengkraman narkoba yang keji dan biadab, sehingga barang haram yang awalnya menawarkan kamuflase kesenangan, menjeratnya habis-habisan, hingga dia mengalami penganiayaan karena hutangnya ke BD ( Bandar narkoba ). Nadya harus menyelamatkan sahabatnya Mitha.

Pertemuan Tina dengan Nadya, membuat mereka saling melengkapi satu sama lain. Tina merasa telah menemukan seseorang yang merubah pandangannya tentang hidup. Nadya juga merasa telah menemukan seseorang yang menyayanginya, dan mau mengerti dirinya, seorang sahabat sejati. Apalagi yang diperlukan dalam hidup di luar keluarga, selain sahabat yang mengerti, Banyak hal mereka lakukan bersama-sama. Dari mulai tinggal, hingga terpaksa jual kehormatan, karena mereka membutuhkan uang banyak untuk menyelamatkan Mitha akibat hutangnya yang besar pada bandar narkoba, bahkan akibat penyiksaan yang diderita Mitha, tangannya perlu


(54)

diamputasi. Mitha terbaring dalam keadaan koma, sebagai sahabat mereka harus siap melakukan apa saja termasuk mengambil jalan pintas, melakukan kebaikan dengan cara buruk yaitu dengan menjual diri ke para hidung belang yang bersedia membayar dengan jumlah besar untuk melayani hasrat seksual mereka agar dapat melunasi hutang-hutang Mitha kepada para Bandar narkoba dan untuk biaya berobat Mitha. Tentunya Nadya yang sedang hamil pun harus siap menuai akibatnya. Nadya mengalami keguguran dan pendarahan hebat hingga ia meninggal. Sementara Tina yang berusaha mencari pertolongan, malah ditemukan oleh Yama. Kembali Yama menganiaya Tina hingga babak belur. Tina sudah tidak kuat lagi, dalam ketidak berdayaan akhirnya Tina menemukan keberanian untuk melawan, dan Tina mengakhiri kebiadaban Yama dengan menusukkan pisau pada perut dan dada Yama hingga tewas. Tetapi, Tina tidak bisa menyelamatkan Nadya, seperti juga dia tidak bisa menyelamatkan Kenny yang memilih menabrakkan dirinya ke mobil dan mati, daripada hidup dalam kepedihan berkepanjangan.

Dari cerita diatas, Tina adalah seorang gadis yang broken home, dia diusir oleh ibunya sendiri dan akhirnya terlantar dijalanan tanpa tujuan dan tidak ada tempat bernaung yang akhirnya membawa dia pada kehancuran karena lingkungan baru dan orang-orang baru di tempat dia tinggal memanfaatkan kondisinya yang labil sehingga dengan mudah ditipu oleh kebaikan-kebaikan yang ternyata semua itu hanya untuk menutupi dan melancarkan niat jahatnya kepada Tina.


(55)

Karakter Tokoh Tina

Tokoh Tina diperankan oleh Christina Santika. Tina adalah seorang gadis remaja yang digambarkan sebagai gadis yang cantik, berpenampilan cuek tapi seksi, namun Tina selalu mengalami tekanan batin ketika harus berhadapan dengan para lelaki yang berpikiran kotor dan porno kepadanya. Tina juga sangat putus asa karena keadaaan yang menimpa dirinya karena diusir oleh ibunya sendiri kemudian bertemu temannya (Steffi) yang memberinya tempat tinggal, akan tetapi justru kebaikan Steffi agar niat jahatnya tidak tercium oleh Tina, Steffi mengenalkan Tina pada Yama yang ternyata adalah mucikari dan akhirnya Tina dicekoki minuman, lalu diperkosa dan dijual pada klien-klien Yama. Kondisi Tina masih sangat labil diusianya yang baru beranjak dewasa, hal ini membuat Tina tidak sadar akan konsekuensi akibat perbuatannya dan kurang peka terhadap lingkungan disekitarnya.

4.2 Analisis Data

Peneliti menggunakan analisis yang dikemukakan oleh John Fiske dalam menganalisis data ini. Yaitu dengan membaginya dalam tiga level, yaitu level realitas, level representasi, dan level ideology. Pada level realitas, scene dalam film Virgin 2 akan ditampilkan dan dikelompokkan adegan-adegan yang sifatnya menggambarkan kekerasan yang akan diteliti, seperti


(56)

kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan tersembunyi dan kekerasan yang tampak.

Pada level representasi, peneliti akan meneliti kode-kode dari teknik kerja kamera yang ditonjolkan oleh pembuat film yang dicontohkan dalam scene yang menggambarkan kekerasan yaitu kekerasan seksual. Sedangkan pada level ideology, yang diteliti adalah yang idiologi apa yang ingin disampaikan yang berhubungan dengan nilai-nilai kekerasan.

4.2.1 Pada Level Realitas 4.2.1.1 Kostum dan Make-up

Gambar 4.1 Kostum Christina Santika ( Tina ) sehari-hari

Analisis :

Pada gambar 4.1 diatas, terlihat seorang gadis berdiri di dekat lift sedang menunggu temannya adalah tokoh Christina Santika ( Tina ) yang


(57)

dikarakteristikkan sebagai gadis yang cantik dan berkulit putih, dengan pilihan kostum yang standard yaitu jaket, singlet dan celana jeans diatas lutut terlihat bahwa Tina merupakan seorang gadis yang berpenampilan cuek. Akan tetapi kostum yang digunakan sehari-hari adalah model-model baju yang selalu terbuka dibagian dadanya, identik dengan penampilan dari seorang gadis yang seksi, dan itu cenderung membuat laki-laki tergoda dan terangsang nafsu seksualnya.

Hal ini dikerenakan perkembangan kostum yang berlangsung cepat memberikan cara pandang baru terhadap para perempuan. Salah satunya seperti yang dikenakan pemeran Tina, yaitu merupakan kostum bergaya androgyny dengan kata lain memiliki sentuhan maskulin sekaligus feminim disaat bersamaan (okezone.com).

Jadi, secara tidak langsung kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yama, selain kesalahan Tina yang bergaul dengan Steffi ( Wichita Satari ) yang berprofesi sebagai pelacur, juga bisa dikarenakan Tina sendiri yang tidak bisa menjaga cara berpakaiannya.


(58)

Gambar 4.2 Make up Tina

Analisis :

Pada potongan scene diatas akan menjelaskan tentang Make up Tina. Gambar diatas adalah tokoh cerita Tina yang sebenarnya. Make up yang digunakan adalah make up yang natural yang memang sesuai dengan usianya dan memang biasa digunakan dalam keseharian baik dalam rumah maupun saat berada dilingkungan publik. Tidak menggunakan make up yang berlebihan memperlihatkan dari tokoh cerita tersebut untuk tampil cuek dan ekspresif. Dengan menggunakan bedak secukupnya dan lipstick berwarna bibir dioleskan tipis-tipis, yang merupakan simbol dari kepribadian seorang gadis yang cuek namun masih memperlihatkan sisi feminimnya. Dari make up tokoh Tina dapat digambarkan bahwa sosok Tina sebagai gadis yang feminim tapi cuek, seorang gadis tidak harus selalu tampil sebagai sosok yang lembut,


(59)

adakalanya memadukan dengan sifat lainnya termasuk ketegasan yang identik dengan laki-laki agar bisa dianggap setara. Hal itu juga bias tercermin dari penampilan.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kostum dan make up merupakan wujud dari ekspresi diri yang sebenarnya. Fashion dan pakaian / kostum dapat membentuk pikiran masyarakat tentang bagaimana seharusnya memandang laki-laki dan perempuan. Dengan pilihan pakaian / kostum dapat merepresentasikan kepribadian seperti apa yang ditonjolkan. Apa yang terjadi disini adalah lambang yang arbriter, yang dipakai untuk menandai status atau posisi tertentu. Begitu lambang disepakati, diantara tanda-tanda komunitas masyarakat, kekuatan, kesederhanaan serta sifat-sifat yang lain yang ditandai dengan berbagai model dan cara berpakaian serta make up maupun aksesoris yang digunakan. Celana pendek diatas lutut dan topi penutup kepala yang dikenakan adalah merupakan sebuah ideology bahwa seorang gadis tidak harus tampil lembut dengan mengenakan rok atau gaun.

Dalam sebuah penokohan, menyangkut konsep yang menyangkut pada para pelaku (performers) yang dilekati oleh khalayak dengan sifat-sifat khusus yang menarik, yang memelihara sifat tersebut melalui penampilan mereka. Seperti dalam berpenampilan pembentukan citra diri menjadi kepentingan bagi perempuan ( Burton,2000:128 ).


(60)

Gambar 4.3 Kostum (Yama Carlos) Yama sehari hari

Analisis :

Pada potongan gambar 4.3 diatas, terlihat seorang laki laki dengan sorot mata yang tajam dan senyuman yang sinis adalah tokoh cerita ( Yama Carlos ) Yama. Dengan pilihan kostum kaus oblong dan jaket kulit yang garang merupakan cerminan dari seorang pria yang sebenarnya. Kostum yang sangat menunjukkan sisi maskulin yang terawat serta sangat nyentrik dan dikenakan dalam kesehariannya merupakan karakter seorang pria yang maskulin.


(61)

4.2.1.2 Setting

Penggalan Scene 25 (1)

Gambar 4.4 Kamar Mandi Yama

Pada potongan gambar 4.4 diatas terlihat Tina didalam bath-up kamar mandi Yama dan Yama sedang berdiri dihadapannya merupakan penggalan dari scene tersebut. Terlihat dalam gambar, Tina dalam posisi duduk dan menyandarkan kepalanya di tepi bath up sambil memegang baju dan selimut, sedangkan Yama berdiri bertolak pinggang dihadapannya. Tina terlihat terkulai lemas tak berdaya setelah berhasil diperkosa secara paksa dan disiksa dengan kejam oleh Yama dan Yama hanya diam melihat keadaan Tina.


(62)

4.2.1.3 Dialog

Tidak semua dialog dalam film ini yang akan dibahas, melainkan hanya beberapa dialog saja yang dapat menampilkan representasi kekerasan seksual dalam film Virgin 2 ini dengan tokoh Tina dan Yama melalui symbol-simbol yang terkait dengan kode-kode sosial didalamnya. Dalam menganalisis dialog, ditampilkan per-scene secara keseluruhan agar dapat sekaligus memahami konteks pada dialog.

Potongan Gambar Adegan Kekerasan Seksual Penggalan scene 7

Visual : Internal. Kamar Tina – Malam


(63)

Long Shot (LS) Terlihat dengan jelas pada gambar diatas Tina sedang ditarik dan dipeluk erat sampai dengan posisi Tina menindihi kekasih ibunya, hal ini yang menyebabkan ibu Tina salah faham mengira Tinalah yang menggoda kekasihnya karena posisi Tina yang sedang menindihi kekasih ibunya dalam kamar Tina.

Dialog :

Kekasih Ibu Tina : Siniii om bantuin…

Tina : Jangan oomm.. ( sambil mengancingkan bajunya yang ditarik paksa oleh kekasih ibunya tersebut ) Kekasih Ibu Tina : Siniii…( sambil menarik baju Tina dan mendekap

Tina dan menarik Tina hingga possisi Tina berada tepat diatasnya )

Ibu Tina : Tinaaaaaa !!!!! (berteriak karena kaget dan marah memergoki Tina dan kekasihnya dalam kamar Tina) Ngapain sich kamu disini? Keluar loe!!

( Ibu Tina mempertanyakaan kepada kekasihnya dan berteriak marah sambil menangis ).

Ngapain sich ?

Kekasih Ibu Tina : Dia yang mulai ( sambil menunjukkan jari kearah Tina ).


(64)

Ibu Tina : Kamu udah sering ya maki-maki dia? Tina : Aku nggak pernah…

Ibu Tina : Ngapain sich kamu?

Aku doang nggak cukup??!!!

Dasar penipu!! Keluar !!! (memaki kekasihnya) Ibu Tina : Denger yah.. denger yah…??!!

Dia itu pacar mama bukan pacar kamu!!! (berteriak marah dan menampar Tina) Tina : Dia yang mulai…

Ibu Tina : Keluar kamu!!! Pergi…Pergiii…..!!!!

Analisis :

Bahwa dalam penggalan scene dan dialog dari scene 7 diatas, menggambarkan kekerasan yang nyata dan berupa kekerasan fisik karena tampak sangat jelas adegan saat melakukan kekerasan dan kekerasan ditujukan pada fisik korban . Dan dikarenakan adanya pemaksaan yang menjurus kearah hubungan seksual yang tidak diinginkan oleh korbannya, maka dapat disebut kekerasan seksual.

Pada dialog : “siniii oomm bantuinnn….” ,“Jangan ommm…”, “siniiii…..”, kekasih ibu Tina memaksa Tina untuk membantu mengancingkan baju yang dikenakan Tina namun bukan untuk dikancingkan


(65)

melainkan menariknya dengan paksa kemudian mendekap erat tubuh Tina dan dibaringkan tepat diatasnya. Pada kalimat “Jangan omm…”, berarti Tina tidak menginginkan hal itu terjadi. Karenanya adegan dan dialog dari scene 7 ini disebut kekerasan seksual yang nyata dan merupakan kekerasan fisik.

Penggalan scene 25 (1)

Visual : Internal. Kamar Yama - Malam

Gambar 4.6 Tina saat diperkosa oleh Yama

Close Up (CU) Terlihat dalam potongan gambar , Yama sedang berusaha melucuti pakaian Tina dan memperkosa Tina secara paksa. Dan terlihat raut wajah Tina yang mencoba berontak namun tak berdaya karena Tina dalam kondisi mabuk setelah sebelumnya dicekoki minuman oleh Yama saat berkenalan dengan Yama di tempat hiburan malam.


(66)

Dialog: ---

Analisis :

Bahwa dari penggalan scene 25 diatas merupakan representasi dari kekerasan yang dilakukan Yama kepada Tina. Kekerasan yang dilakukan Yama pada scene ini termasuk dalam kekerasan fisik karena berupa tindakan yang menyebabkan korbannya (Tina) merasakan tersakiti dan perbuatan kekerasan Yama kepada Tina dilakukan dengan paksa sehingga terlibat dalam suatu hubungan seksual yang tidak diinginkan oleh korbannya.

Dalam adegan kekerasan yang dilakukan oleh Yama kepada Tina diatas, sama sekali tidak ada dialaog diantara mereka. Itu dikarenakan keedaan Tina saat diperkosa oleh Yama dalam keadaan mabuk berat setelah sebelumnya dicekoki minuman keras oleh Yama saat perkenalan dengan Tina ditempat hiburan malam.


(67)

Penggalan Scene 25 (2)

Visual : Internal. Kamar Yama-Malam

Gambar 4.7 Yama menjambak rambut Tina

Longshot (LS) potongan gambar dari scene 25 diatas terlihat sangat jelas Yama memperlakukan Tina dengan sangat kejam yaitu dengan menjambak rambut Tina, dan Tina dengan kondisi pakaian yang sudah setengah telanjang, berteriak serta menangis kesakitan.

Dialog :

Yama : Oww..oww.oww…

Mau kemana sayaaaangg…..???? (sambil menjambak dan mendoromg Tina kekamar mandi)


(68)

Analisis:

Pada gambar diatas, menggambarkan salah satu tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yama secara nyata, yaitu dengan menjambak rambut dan melucuti pakaian Tina , ini termasuk bentuk kekerasan seksual karena objek tidak menginginkan kejadian tersebut terjadi terhadap dirinya. Namun hal ini juga terjadi karena Tina sebelumnya meminum alkohol yang diberikan Yama dan Tina juga mengenakan celana pendek ( hot pants ) yang terlalu seksi, sehingga mengundang niat jahat dari pria.

Penggalan Scene 29

Visual : Internal. Kamar Yama - Pagi


(69)

Close up (CU) terlihat pada potongan gambar dari scene 29 ini, Yama memaksa Tina untuk menelan obat yang dikeluarkan dari saku celana Yama, yang diperkirakan adalah obat tidur atau obat psikotropika lainnnya agar Tina tetap terkulai lemas tak berdaya sehingga Yama dapat melancarkan niat jahat yang selanjutnya yaitu menjual Tina pada klien Yama yang tidak lain adalah para Hidung belang.

Dialog :

Yama : Sakit loe??? ( Yama mengeluarkan obat dari saku celananya) Ayo, telen..telen.. teleeeennn!!!!

(sambil memasukkan secara paksa obat tidur kemulut Tina dengan mencengkram wajah Tina).

Analisis :

Potongan scene dan dialog diatas menggambarkan kekerasan yang dilakukan Yama pada Tina secara nyata. Dan kekerasan ini termasuk dalam kekerasan fisik sekaligus kekerasan mental / psikologis. Disebut kekerasan fisik karena pelaku kekerasan menyakiti fisik korbannya dan bisa juga disebut kekerasan psikologis karena obat yang diberikan Yama pada Tina mempengaruhi psikologis Tina sehingga membuat Tina tidak sadarkan diri, terkulai lemas dan linglung.


(1)

yang terdapat dalam Film “Virgin 2” menampilkan kekerasan pada umumnya, karena kekerasan pada film ini bentuknya verbal dan nyata. Adegan – adegan yang ditampilkan menjadi representasi kekerasan seksual yang ditampilkan dalam film ini.

5.2. Saran

Film “Virgin 2” ini juga memberikan ruang bagi khalayak untuk berfikir agar dapat memahami makna yang terkandung dan disampaikan dalam film ini melalui ekspresi wajah dan sikap yang di tonjolkan oleh pemeran utama dalam film ini dengan melalui beberapa scene yang diambil dengan berbagi jenis shot.

Adegan vulgar yang ditampilkan dalam film “Virgin 2” ini dianggap terlalu berlebihan yang sebaiknya tidak perlu ditampilkan, karena dapat merusak moral bangsa Indonesia yang masih menganut budaya timur.

Ditilik dari segi popularitas, film bergenre remaja yang dibumbui oleh kekerasan seksual cenderung laku di kalangan publik terutama masyarakat Indonesia. Ada pun beragam kontroversi yang sangat mengundang khalayak untuk mengetahui bahkan menonton tayangan ini di bioskop secara berulang – ulang.

Disinilah letak kesalahan publik dalam menilai suatu karya film, seharusnya mereka lebih cermat dalam menyaring kualitas skenario filmnya


(2)

terutama dengan keselarasan antara genre yang disajikan bukan dari segi seksual yang jelas menyimpang dari alur cerita.

Kebiasaan menonton film dengan kadar kualitas cerita yang rendah cenderung memberikan dampak – dampak yang negative pada pemikiran generasi masa kini, terutama dalam hal pergaulan bebas yang kini sedang marak diperdebatkan. Lagipula, untuk mencapai suatu apresiasi dari sebuah film itu, terletak pada isi atau pokok permasalahan dari tema yang disajikan. Bukan hanya sekedar Booming tetapi juga dapat memberikan manfaat bagi semua orang yang menyaksikan tayangan tersebut.

Oleh karena itu saran dari penulis, sekiranya penulis skenario dan sutradara dalam pembuatan film lebih realistis dan juga menjunjung tinggi Undang – Undang Pornografi dan Pornoaksi dalam menyematkan setiap adegan pada suatu film. Dan kelak bisa menciptakan karya-karya film yang dapat menjunjung tinggi dan memberikan citra yang baik khususnya bagi perfilman Indonesia dan umumnya bagi nama baik bangsa Indonesia di mata dunia, bukan malah menciptakan film yang menjatuhkan dan memberi nilai yang buruk bagi citra perfilman Indonesia, caranya dengan tidak terlalu mengexpose hal-hal yang negatif melainkan lebih mengexpose hal-hal yang positif dalam pembuatan film . Misalnya dengan memunculkan film mengenai tekhnologi, hasil karya yang inovatif karya anak bangsa, keindahan alam Indonesia, kebudayaan dan potensi-potensi lain yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.


(3)

(4)

(5)

Budiaman, kris,(2006), Semiotika Visual. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1999), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka

Effendy, Onong Uchjana, 1993. Televisi Siaran, Teori dan Praktek, Bandung : CV Mandar Maju.

Eriyanto, 2002. Analisis Framming, Konstruksi Ideologi dan Politik Media, Yogyakarta : Lkis.

Fiske, John.(2004) Cultural and Comunication studies, Yogyakarta : Jalasutra Hidayana, Irwan M,(2004) Seksualitas : Teori dan Realitas, Depok : Fisip UI Kurniawan (2001), Semiologi Rolad Barthes, Magelang : Yayasan Indonesia Moleong Lexy,(2005), Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta : PT. Remaja Rosdakarya

Mc. Quail, Dennis (1983), Mass Comunication Teory, an Introduction, California, sage, publication

Santoso, Thomas,(2002), Teori – Teori Kekerasan, Jakarta : Ghalia

Soekanto Soejono, (2004), Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Sobur, Alex,(2004). Analisis Teks Media, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Sulistyo, Rono, Cetakan Ketiga. Pendidikan Seks, Bandung : Universitas Padjajaran Reed H. Blake,(2005), Taksonomi Konsep Komunikasi, Surabaya : Payprus


(6)

Victo. C . Mambor : http.//situskunci.tripod.com/teles/victor1.htm

http : //pribadi.or.id/diary/2003/07/05/Bandung-lagi-survey-freeseks-remaja. www.penulislepas.com

Chandlers2002 : www.aber.ae.uk www.WordPrees.com