Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Akselerasi: studi evaluasi di SMP Negeri 6 Ambon T2 942013137 BAB II

(1)

13

2.1 Program Akselerasi

1. Konsep Program Akselerasi

Akselerasi atau percepatan belajar merupakan salah satu penanganan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dengan kecepatan yang lebih tinggi dari rata-rata anak seusianya atau belajar pada usia yang lebih muda dari umumnya dengan stimulasi belajar yang disesuaikan dengan kecepatan belajar siswa (Colangelo, 1991; Feldhusen, 1995; Pressey, 1949 dalam Winanti dkk, 2007). Hal ini berarti siswa yang memiliki kecerdasan yang sangat tinggi dapat mempelajari berbagai topik yang seharusnya diberikan kepada siswa di kelas yang lebih tinggi. Jadi akselerasi lebih berfokus pada kecepatan dalam belajar, bukan pada kedalaman ataupun keluasan dalam belajar.

Colangelo (1991 dalam Winanti dkk, 2007) menyebutkan bahwa istilah akselerasi merujuk pada pelayanan yang diberikan dan kurikulum yang disampaikan. Sebagai model pelayanan, pengertian akselerasi termasuk juga taman siswa-siswa atau perguruan tinggi pada usia muda, meloncat kelas dan mengikuti pelajaran tertentu pada kelas di atasnya. Sementara itu, sebagai model kurikulum, akselerasi berarti mempercepat bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai siswa pada saat itu.


(2)

Secara konseptual akselerasi didefinisikan oleh Pressey (1949 dalam Winanti dkk, 2007) sebagai:

progress through and educational program at rates, faster or ages younger than conventional . Akselerasi sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program pendidikan yang lebih cepat atau usia yang lebih muda daripada yang konvensional.

Menurut Feldhusen (1995 dalam Muhid dan Rohmatillah, 2007), program akselerasi diberikan untuk memelihara minat siswa yang memiliki potensi lebih terhadap sekolah. Mendorong siswa agar mencapai prestasi akademis yang baik dan untuk menyelesaikan pendidikan yang relatif cepat dalam melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi bagi keuntungan dirinya dan masyarakat.

Herry Widiastono, seperti yang dikutip Wulandari (2004) menyatakan bahwa program percepatan belajar (accelerated) yaitu pemberian pelayanan dengan membolehkan mereka (siswa) menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan teman-temannya. Program ini cocok bagi anak yang berbakat dengan tipe accelerated learner. Depdiknas (2004) mendefinisikan bahwa program akselerasi adalah Program layanan belajar diperuntukan bagi siswa yang diidentifikasikan memiliki ciri-ciri keberbakatan intelektual dan program ini dirancang khusus untuk dapat menyelesaikan program belajar lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkan .


(3)

Dalam program percepatan belajar untuk SD, SLTP, dan SMU yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2000, akselerasi didefinisikan sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan yang diberikan bagi siswa dengan kecerdasan dan kemampuan luar biasa untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan, sehingga mereka dapat menyelesaikan pendidikan formalnya dalam waktu yang lebih singkat atau pada usia yang lebih muda (Direktorat PSLB, 2010).

Akselerasi bukanlah pengganti layanan pendidikan atau program untuk anak berbakat. Sebaliknya, akselerasi (dan kebijakan akselerasi) memberikan kontribusi yang luas, komprehensif bagi program anak berbakat (Colangelo dkk, 2010). Karena program ini diberikan kepada siswa yang memiliki potensi kecerdasan tinggi, dan bakat istimewa, maka pihak sekolah (guru/tenaga kependidikan) harus mengetahui, mengamati dan menyeleksi siswa yang demikian. Hal ini dilakukan agar penyelenggaraan program akselerasi diberikan tepat sasaran kepada siswa yang benar-benar memiliki potensi kecerdasan tinggi dan bakat istimewa.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa program akselerasi berisikan seperangkat kegiatan pelayanan pendidikan yang dirancang khusus dan diperuntukan bagi siswa yang memiliki keberbakatan istimewa dengan kecerdasan dan kemampuan serta bakat dan minat luar biasa dibandingkan dengan siswa lain (siswa biasa), sehingga


(4)

kegiatan belajar dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat dan singkat.

2. Tujuan Program Akselerasi

Akselerasi sebagai salah satu pendekatan yang dilakukan untuk membantu siswa CI mengembangkan potensinya secara optimal bertujuan antara lain (NAGC Position Statement 1992 dalam Direktorat PSLB 2004): (1) Menyesuaikan kecepatan pembelajaran dengan kemampuan siswa, (2) Memberikan tantangan belajar pada tingkatan yang sesuai untuk menghindari kejenuhan belajar akibat dari pembelajaran yang diulang-ulang, dan (3) Mengurangi waktu untuk menyelesaikan sekolah secara tradisional.

Penyelenggaraan program akselerasi bagi siswa sekolah yang di lakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2009), mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut: (1) Memberikan kesempatan bagi peserta didik cerdas istimewa untuk mengikuti program pendidikan sesuai dengan potensi kecerdasan yang dimilikinya; (2) Memenuhi hak asasi peserta didik cerdas istimewa sesuai kebutuhan pendidikan bagi dirinya; (3) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pembelajaran bagi peserta didik cerdas istimewa; (4) Membentuk manusia berkualitas yang memiliki kecerdasan spiritual, emosional, sosial dan intelektual serta memiliki ketahanan dan kebugaran fisik; dan (5) Membentuk manusia yang berkualitas dan berkompeten dalam pengetahuan dan seni, berkeahlian dan berketrampilan, menjadi anggota masyarakat yang bertanggungjawab, serta mempersiapkan peserta didik


(5)

mengikuti pendidikan lebih lanjut dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional.

Selain tujuan di atas, Meier (2000) menjelaskan bahwa the purpose of accelerated learning is to awaken learners to their full learning ability, to make learning enjoyable and fulfilling for them again, and to contribute to their full human happiness, intelligence, competence, and success . Tujuan pembelajaran program akselerasi adalah menggugah sepenuhnya kemampuan belajar para pelajar, membuat belajar menyenangkan, dan memuaskan bagi mereka, serta memberikan sumbangan sepenuhnya pada kebahagiaan, kecerdasan, keberhasilan mereka sebagai manusia.

Ada dua tujuan yang mendasari dikembangkannya program percepatan belajar (akselerasi) bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Depdiknas, 2003): (1) Tujuan Umum, yaitu: (a) Memenuhi kebutuhan peserta didik yang memiliki karakteristik spesifik dari segi perkembangan kognitif dan afektifnya, (b) Memenuhi hak asasi peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan bagi dirinya sendiri, (c) Memenuhi minat intelektual dan perspektif masa depan peserta didik, (d) Memenuhi kebutuhan aktualisasi diri peserta didik, (e) Menimbang peran peserta didik sebagai aset masyarakat dan kebutuhan masyarakat untuk pengisian peran, serta (f) Menyiapkan peserta didik sebagai pemimpin masa depan, dan (2) Tujuan Khusus, yaitu: (a) Memberikan penghargaan untuk dapat menyelesaikan program pendidikan secara lebih cepat sesuai dengan potensinya, (b) Meningkatkan efisiensi


(6)

dan efektivitas dan proses pembelajaran peserta didik, (c) Mencegah rasa bosan terhadap iklim kelas yang kurang mendukung berkembangnya potensi keunggulan peserta didik secara optimal, serta (d) Memacu mutu siswa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosionalnya secara berimbang.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan utama diselenggarakannya program akselerasi yaitu memberikan kesempatan dan pelayanan pendidikan pada siswa cerdas istimewa dan untuk membentuk peserta didik berprestasi dalam proses pelajaran. Sesuai dengan tujuan program percepatan belajar (akselerasi) di atas, tentunya sekolah penyelenggara harus mengelola pendidikan dengan baik agar tujuan tersebut dapat tercapai dengan maksimal.

3. Bentuk Penyelenggaraan Program Akselerasi

Menurut Elliot & Dweck (1999 dalam Alsa, 2007), pengakomodasian perbedaan individual di antara siswa dapat dilaksanakan dengan empat cara, yaitu (1) masuk sekolah berdasar usia mental dan bukan usia kronologis, (2) loncat kelas, (3) waktu belajar dipersingkat, dan (4) masuk sekolah menengah atau universitas lebih awal. Program akselerasi dengan cara mempersingkat waktu belajar memiliki tiga model, yaitu model kelas reguler, model kelas khusus, dan model sekolah khusus. Pada model kelas reguler, siswa tetap berada dalam kelas regulernya dan guru memberikan perlakuan akseleratif pada siswa sehingga dapat loncat kelas; pada model kelas khusus, siswa


(7)

dikelompokkan ke dalam satu kelas tersendiri dan diberi pengajaran akseleratif, dan pada model sekolah khusus, siswa belajar di sekolah yang memang dikhususkan untuk mereka. Model yang diterapkan di Indonesia adalah model kelas khusus, ditambah dengan adanya pemerkayaan (enrichment) (Depdiknas, 2003). Dalam penyelenggaraan program akselerasi di SMP Negeri 6 Ambon, model yang digunakan adalah model kelas khusus.

4. Penyelenggaraan Program Akselerasi

Upaya peningkatan mutu pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait satu sama lain. Faktor-faktor tersebut merupakan sub-sistem dalam pendidikan. Bila ingin mengembangkan sub-sistem tersebut, menuntut perubahan atau penyesuaian pada sub-sistem lain. Bila pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran (output) pendidikannya, maka untuk mencapai keunggulan tersebut, sedikitnya terdapat 8 faktor lainnya yang perlu diarahkan untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut. Faktor-faktor itu meliputi: (1) Masukan (input, intake), (2) Kurikulum, (3) Tenaga Kependidikan, (4) Sarana dan Prasarana, (5) Dana, (6) Manajemen, (7) Lingkungan, dan (8) Proses belajar mengajar.

Kedelapan faktor tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut (Herry, 1999 dalam Ahmadi dkk, 2011):

Pertama, masukan (input, intake) siswa di seleksi secara ketat dengan menggunakan kriteria tertentu dan


(8)

prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria yang digunakan adalah: (1) Prestasi belajar, dengan indikator: angka rapor, Nilai Ebtanas Murni (NEM), dan/atau hasil tes prestasi akademik, berada dua standar deviasi di atas mean populasi siswa, (2) Skor psikotes, yang meliputi: inteligency quotient (IQ) minimal 125, kreativitas, tanggung jawab terhadap tugas (task commitment), dan emotional quotient (EQ) berada dua standar deviasi di atas mean populasi siswa, dan (3) Kesehatan dan kesempatan jasmani, jika diperlukan.

Kedua, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional yang standar, namun dilakukan improvisasi alokasi waktunya sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang memiliki kecepatan belajar serta motivasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan belajar dan motivasi siswa seusianya. Dalam hal ini misalnya untuk menyelesaikan studi di SD, yang biasanya memakan waktu 6 tahun dipercepat menjadi 5 tahun. Demikian pula, untuk menyelesaikan studi di SMP atau SMU, yang biasanya memakan waktu 3 tahun dipercepat menjadi 2 tahun.

Ketiga, tenaga kependidikan. Karena siswanya memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa, maka tenaga kependidikan yang menanganinyapun terdiri atas tenaga kependidikan yang unggul, baik dari segi penguasaan materi pelajaran, penguasaan metode mengajar, maupun komitmen dalam melaksanakan tugas.


(9)

Keempat, sarana-prasarana yang menunjang, yang disesuaikan dengan kemampuan dan kecerdasan siswa, sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan belajar serta menyalurkan kemampuan dan kecerdasannya, termasuk bakat dan minat, baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstra kurikuler.

Kelima, dana. Untuk menunjang tercapainya tujuan yang telah ditetapkan perlu adanya dukungan dana yang memadai, termasuk perlunya disediakan insentif tambahan bagi tenaga kependidikan yang terlibat, baik berupa uang maupun fasilitas lainnya.

Keenam, manajemen, bersangkut paut dengan strategi dan implementasi keseluruhan sumberdaya yang ada dalam sistem sekolah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, bentuk manajemen pada sekolah dengan sistem percepatan belajar harus memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi, realistis, dan berorientasi jauh ke depan. Dengan demikian, pengelolaannya didasari oleh komitmen, ketekunan, pemahaman yang sama, kebersamaan antara semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini.

Ketujuh, lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi keunggulan yang nyata, baik lingkungan dalam arti fisik maupun sosial-psikologis di sekolah, di masyarakat, dan di rumah.

Kedelapan, proses belajar-mengajar yang bermutu dan hasilnya selalu dapat dipertanggungjawabkan (accountable) kepada siswa, orang tua, lembaga, maupun masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perlunya perhatian khusus kepada peserta didik


(10)

yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik seoptimal mungkin. Pengembangan potensi peserta didik memerlukan strategi yang sistematis dan terarah karena strategi pendidikan yang ditempuh selama ini, termasuk kurikulum yang ada, memberikan perlakuan yang standar kepada semua peserta didik yang sebenarnya berbeda kemampuan dan kecerdasannya. Potensi unggul peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa tidak akan begitu saja muncul tanpa stimulasi yang sesuai. Salah satu stimulasi yang sesuai adalah melalui pemberian pelayanan pendidikan yang berdiferensiasi, yaitu pemberian pengalaman pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kecerdasan peserta didik, dengan menggunakan kurikulum yang berdiversifikasi yaitu kurikulum standar yang diimprovisasi alokasi waktunya sehingga sesuai dengan kecepatan belajar dan motivasi belajar siswa. Dengan sistem percepatan kelas (akselerasi), siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa diberi peluang untuk dapat menyelesaikan studi di SD menjadi 5 tahun, di SMP dan SMU masing-masing 2 tahun, dengan menyelesaikan semua target kurikulum tanpa meloncat kelas. Penyelenggaraan sistem percepatan belajar (akselerasi) bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan salah satu strategi alternatif yang relevan karena siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa memiliki kecepatan belajar dan motivasi belajar di atas kecepatan belajar dan motivasi belajar siswa lainnya.


(11)

2.2 Evaluasi Program

Suchman (1961 dalam Arikunto dan Safruddin, 2014) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain dikemukakan oleh Worthen dan Sanders (1973 dalam Arikunto dan Safruddin, 2014), kedua ahli tersebut mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi, prosedur, serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Stufflebeam (1971 dalam Arikunto dan Safruddin, 2014) mengatakan bahwa evaluasi merupakan penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif keputusan.

Setiap program, khususnya dalam pendidikan, dikatakan lengkap apabila disertai dengan evaluasi sebagai kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari program itu. Evaluasi program perlu dilakukan secara objektif dan mendasar sehingga bermakna dan merupakan bentuk pertanggungjawaban. Hasil evaluasi akan menentukan keberlangsungan suatu program.


(12)

Evaluasi sangat dibutuhkan terutama dalam memaparkan secara sistematis dan detail, untuk mengetahui sampai sejauh mana suatu program pendidikan itu telah berjalan. Berikut ada empat faktor pendorong atau kecenderungan yang menyebabkan evaluasi dibutuhkan (Marni, 2013):

1. Akuntabilitas, merujuk pada justifikasi untuk pencapaian hasil yang realistis suatu program. 2. Pelaporan perihal dana. Jika suatu program akan

dipertanggungjawabkan, tentu dibutuhkan rincian secara detail penggunaan dananya secara transparan.

3. Kegiatan untuk mengetahui sampai sejauh mana performa dan hasil kerja yang sedang atau telah dilakukan baik dalam tahap proses, hasil, dan dampak.

4. Pengambilan keputusan suatu program pendidikan. Untuk memutuskan apakah program dapat terus dilaksanakan, direvisi dan dikembangkan, atau dihentikan.

Alasan di atas menjadi penting dan mempunyai makna yang mendalam untuk digeneralisasikan bahwa setiap program perlu untuk di evaluasi.

Sebelum membahas tentang evaluasi program lebih lanjut, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dasar tentang program . Arikunto dan Safruddin (2014) menyebutkan dua pengertian program, secara umum dan khusus. Pengertian program secara umum adalah rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan. Sedangkan pengertian secara khusus, program adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan


(13)

secara berkesinambungan dengan waktu dan pelaksanaannya biasanya membutuhkan waktu yang panjang. Program juga merupakan rangkaian kegiatan yang membentuk satu sistem yang saling terkait satu dengan lainnya dengan melibatkan lebih dari satu orang untuk melaksanakannya.

Wirawan (2012) menyatakan bahwa program adalah kegiatan atau aktivitas yang dirancang untuk melaksanakan kebijakan dan dilaksanakan dalam waktu yang tidak terbatas. Kebijakan bersifat umum dan untuk merealisasikannya disusun berbagai jenis program. Menurutnya, program tersebut perlu dievaluasi untuk menentukan apakah layanan atau intervensinya telah mencapai tujuan yang ditetapkan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa, evaluasi program adalah metode sistematik untuk mengumpulkan, menganalisis, dan memakai informasi untuk menjawab pertanyaan dasar mengenai program.

Menurut Isaac dan Michael (1984) seperti dikutip oleh Marni (2013), sebuah program harus diakhiri dengan evaluasi, untuk melihat apakah program tersebut berhasil menjalankan fungsi sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan kebijakan lanjutan dari program, karena dari hasil evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang atau telah dilaksanakan.

Wujud dari hasil evaluasi adalah adanya rekomendasi dari evaluator untuk pengambilan keputusan (decision maker). Menurut Arikunto dan


(14)

Syafrudin (2014), ada empat kemungkinan kebijakan berdasarkan hasil evaluasi yaitu:

1. Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.

2. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan, tetapi hanya sedikit).

3. Melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.

4. Menyebarluaskan program (melaksanakan program di tempat-tempat lain atau mengulangi lagi program di lain waktu), karena program tersebut berhasil dengan baik, maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang lain.

Tujuan dari diadakannya evaluasi program adalah untuk mengetahui pencapaian tujuan program dengan langkah mengetahui keterlaksanaan kegiatan program, karena evaluator program ingin mengetahui bagian mana dari komponen dan subkomponen program yang belum terlaksana dan apa sebabnya (Arikunto dan Safruddin, 2014).

Evaluasi dilaksanakan untuk mencapai berbagai tujuan sesuai dengan objek evaluasinya. Tujuan melaksanakan evaluasi menurut Wirawan (2012) antara lain adalah:

1. Mengukur pengaruh program terhadap masyarakat.

2. Menilai apakah program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana.


(15)

3. Mengukur apakah pelaksanaan program sesuai dengan standar.

4. Evaluasi program dapat mengidentifikasi dan menemukan mana dimensi program yang jalan, mana yang tidak berjalan.

5. Pengembangan staf program.

6. Memenuhi ketentuan undang-undang. 7. Akreditasi program.

8. Mengukurcost effectivenessdancost efficiency. 9. Mengambil keputusan mengenai program. 10.Accountabilitas.

11. Memberikan balikan kepada pimpinan dan staf program.

12. Memperkuat posisi politik

13. Mengembangkan teori ilmu evaluasi atau riset evaluasi.

Evaluasi program dilakukan dengan suatu maksud atau tujuan yang berguna dan jelas sasarannya. Sekurang-kurangnya ada empat kegunaan utama evaluasi program (Widoyoko, 2013), yaitu:

1. Mengkomunikasikan program kepada publik

Sekolah memiliki kewajiban untuk mengkomunikasikan efektivitas program (termasuk program akselerasi) kepada orang tua maupun publik lainnya melalui hasil-hasil evaluasi yang dilaksanakan, dengan demikian publik dapat menilai tentang efektivitas program dan memberikan dukungan yang diperlukan.

2. Menyediakan informasi bagi pembuat keputusan Informasi yang dihasilkan dari evaluasi program (program akselerasi) akan berguna bagi setiap tahapan dari manajemen sekolah mulai sejak perencanaan, pelaksanaan ataupun ketika akan mengulangi dan melanjutkan program. Hasil evaluasi dapat dijadikan dasar bagi pembuatan


(16)

keputusan, sehingga keputusan tersebut lebih valid. Pembuat keputusan biasanya memerlukan informasi yang akurat agar dapat memutuskan sesuatu secara tepat.

3. Penyempurnaan program yang ada

Evaluasi program yang dilaksanakan dengan baik dapat membantu upaya-upaya dalam rangka menyempurnakan jalannya program sehingga lebih efektif. Berdasarkan hasil evaluasi akan dapat diperoleh informasi tentang dampak dari berbagai aspek program terhadap siswa, dan berhasil juga teridentifikasi berbagai faktor yang perlu diperhatikan atau perlu penyempurnaan.

4. Meningkatkan partisipasi

Dengan adanya informasi hasil evaluasi program (program akselerasi), maka orang tua atau masyarakat akan terpanggil untuk berpartisipasi dan ikut mendukung upaya-upaya peningkatan kualitas pendidikan. Hasil evaluasi program yang dimasyarakatkan akan menggugah kepedulian masyarakat terhadap program tersebut, menarik perhatiannya, dan akhirnya akan menumbuhkan rasa ikut memiliki (self of belonging).

Implementasi program harus senantiasa di evaluasi untuk melihat tingkat efektifitas program tersebut mencapai maksud pelaksanaan program yang telah ditetapkan sebelumnya. Tanpa adanya evaluasi, program yang berjalan tidak akan dapat dilihat efektifitasnya. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan baru yang berhubungan dengan program itu tidak akan didukung oleh data. Karenanya, evaluasi program


(17)

bertujuan untuk menyediakan data dan informasi serta rekomendasi bagi pengambil kebijakan (decision maker) untuk memutuskan apakah akan melanjutkan, memperbaiki, atau menghentikan sebuah program.

2.3 Model Evaluasi Program

Ada banyak model yang bisa digunakan dalam melakukan evaluasi program khususnya program pendidikan. Meskipun terdapat beberapa perbedaan antara model-model tersebut, tetapi secara umum semuanya memiliki persamaan yaitu mengumpulkan data atau informasi obyek yang di evaluasi sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan.

Terdapat beberapa model evaluasi yang dapat digunakan dalam melakukan kegiatan evaluasi terhadap suatu program (Arikunto dan Safruddin, 2014) sebagai berikut:

1. Goal Oriented Evaluation Model

Merupakan model yang muncul paling awal. Yang menjadi objek pengamatan pada model ini adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan, terus-menerus, mengecek sejauh mana tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam proses pelaksanaan program. Model ini dikembangkan oleh Tyler.

2. Goal Free Evaluation Model

Dikembangkan oleh Michel Scriven. Model ini disebut juga dengan evaluasi lepas dari tujuan, tetapi bukannya lepas sama sekali dari tujuan tetapi


(18)

hanya lepas dari tujuan khusus. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan secara rinci atau perkomponen.

3. Formatif Summatif Evaluation Model

Evaluasi Formatif secara prinsip merupakan evaluasi yang dilaksanakan ketika program masih berlangsung atau ketika program masih dekat dengan permulaan kegiatan. Tujuan evaluasi formatif tersebut adalah mengetahui sejauh mana program yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus mengidentifikasikan hambatan. Dengan diketahuinya hambatan dan hal-hal yang menyebabkan program tidak lancar, pengambil keputusan secara dini dapat mengadakan perbaikan yang mendukung kelancaran pencapaian tujuan program. Evaluasi Sumatif dilakukan setelah program berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif adalah untuk mengukur ketercapaian program.

4. Countenance Evaluation Model

Dikembangkan oleh Stake. Model ini menekankan pada adanya pelaksanaan dua hal pokok, yaitu: (a) deskripsi (description), dan (b) perimbangan (judgements), serta membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi program, yaitu: (a) anteseden (antecedents/context), (b) transaksi (transaction/ process), (c) keluaran (output - outcomes).

5. CSE UCLA Evaluation Model

Ciri dari model ini adalah adanya 4 tahap yang dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil, dan dampak.


(19)

Hernandez, seperti yang dikutip oleh Arikunto menjelaskan ada 4 tahap dalam model ini, yaitu: a)

Needs Assessment, b) Program Planning, c) Formative Evaluation, dan d) Summative Evaluation.

6. CIPP Evaluation Model

Model evaluasi ini adalah model yang paling banyak dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. Model CIPP ini dikembang oleh Stufflebeam, dkk pada tahun 1967 di Ohio State University. Model evaluasi CIPP melakukan tindakan evaluasi yang mencakup empat sasaran evaluasi yakni konteks, input, proses, dan produk.

7. Discrepancy Evaluation Model

Evaluasi kesenjangan (discrepancy evaluation) menurut Provus adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara baku (standard) yang sudah ditentukan dalam program dengan kinerja (performance) sesungguhnya dari program tersebut. Baku adalah kriteria yang ditetapkan, sedangkan kinerja adalah hasil pelaksanaan program.

Evaluasi terhadap program akselerasi membutuhkan model evaluasi yang cocok untuk melakukan kegiatan tersebut. Dilihat dari beberapa substansi program tersebut, evaluasi ini dilakukan untuk melihat hal yang melatarbelakangi penyelenggaraannya, desain perencanaannya, pelaksanaannya, dan produk yang dihasilkan dari program tersebut, yang pada akhirnya hasil evaluasi ini akan memberikan rekomendasi terhadap keberadaan program tersebut. Apabila dilihat dari keempat substansi tersebut, maka model evaluasi CIPP


(20)

merupakan salah satu model yang cocok digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap program akselerasi.

Konsep model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, and Product) pertama kali ditawarkan oleh Stufflebeam pada tahun 1965 sebagai hasil usahanya mengevaluasi ESEA (the Elementary and Secondary Education Act). Konsep tersebut ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk memperbaiki. The CIPP approach is based on the view that the most important purpose of evaluation is not to prove but to improve (Madaus, Scriven, Stufflebeam, 1993, dalam Widoyoko, 2013).

Gambar 2.1 menggambarkan elemen dasar dari CIPP Model dalam tiga lingkaran konsentris. Lingkaran dalam mewakili nilai-nilai inti yang memberikan dasar untuk suatu evaluasi. Roda sekitar nilai dibagi menjadi empat fokus evaluatif yang berhubungan dengan program atau usaha lainnya: tujuan, rencana, tindakan, dan hasil. Roda luar menunjukkan jenis evaluasi yang melayani masing-masing empat fokus evaluatif. Ini adalah evaluasi konteks, input, proses, dan produk.


(21)

Gambar 2.1Key Components of the CIPP Evaluation Model and Associated Relationships with Programs(Stufflebeam, 2003)

Setiap panah ganda menunjukkan hubungan dua arah antara fokus evaluatif tertentu dan jenis evaluasi. Tugas menetapkan tujuan menimbulkan pertanyaan untuk evaluasi konteks, yang pada gilirannya memberikan informasi untuk memvalidasi atau memperbaiki tujuan. Perencanaan upaya perbaikan menghasilkan pertanyaan untuk evaluasi masukan, yang sejalan menyediakan penilaian rencana dan arahan untuk memperkuat rencana. Kegiatan perbaikan memunculkan pertanyaan untuk evaluasi proses, yang pada gilirannya memberikan penilaian tindakan dan umpan balik untuk memperkuat keempat komponen tersebut.

Definisi formal evaluasi yang mendasari model CIPP adalah sebagai berikut:

Evaluation is the process of delineating, obtaining, providing, and applying descriptive and judgmental information about the merit and worth of some object s goals, design, implementation, and outcomes to guide improvement decisions, provide accountability reports, inform institutionalization/ dissemination decisions, and improve understanding of the involved phenomena (Stufflebeam, 2003).

Definisi di atas merangkum ide-ide kunci dalam model CIPP. Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat empat tujuan evaluasi, yaitu: keputusan membimbing; memberikan catatan untuk akuntabilitas; menginformasikan keputusan tentang menginstal dan/atau menyebarkan produk yang dikembangkan, program, dan jasa; dan


(22)

mempromosikan pemahaman tentang dinamika fenomena yang diperiksa.

Model CIPP ini dirancang untuk melayani kebutuhan baik untuk evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi CIPP yang formatif, ketika mereka secara proaktif sebagai kunci pengumpulan dan pelaporan informasi kepada perbaikan. Sebagai evaluasi sumatif, ketika mereka melihat kembali pada proyek atau program kegiatan selesai atau pertunjukan jasa, bekerja sama dan jumlah arti nilai informasi yang relevan, dan fokus pada akuntabilitas (Stufflebeam, 2003).

Hubungan peran evaluasi formatif (perbaikan) dan sumatif (akuntabilitas) untuk evaluasi konteks, input, proses, dan produk terwakili dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1The Relevance of Four Evaluation Types to Improvement and Accountability

Context Input Process Product Improveme nt/Formati ve orientation Guidance for choosing goals and assigning priorities Guidance for choosing a program/se rvice strategy Guidance for impleme ntation Guidance for termination, continuation, modification, or installation Input for specifying the procedural design, schedule, and budget Accountabi lity/Summ ative

Record of goals and priorities and bases for

Record of chosen strategy Record of the actual Record of achievements, assessment


(23)

orientation their choice along with a record of assessed needs, opportunities, and problems and design and reasons for their choice over other alternatives process and its costs compared with needs and coast, and recycling decisions

(Sumber: Stufflebeam, 2003).

Berdasarkan skema di atas, evaluator akan merancang dan melakukan evaluasi untuk membantu guru, kepala sekolah, atau penyedia layanan lain bertanggung jawab merencanakan dan melaksanakan program atau layanan. Mereka juga akan mengatur dan menyimpan informasi terkait evaluasi formatif untuk digunakan dalam menyusun suatu akuntabilitas/ laporan evaluasi sumatif.

Menurut Arikunto dan Safruddin (2014), model evaluasi CIPP adalah model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem. Dengan demikian, jika evaluator sudah menetapkan model CIPP sebagai model yang akan digunakan untuk mengevaluasi suatu program, maka mau tidak mau harus menganalisis program tersebut berdasarkan komponen-komponennya.

Komponen dalam model evaluasi CIPP dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Evaluasi Konteks (Context Evaluation)

Menurut Stufflebeam (2003 dalam Wirawan, 2012), evaluasi konteks untuk menjawab pertanyaan: apa yang perlu dilakukan? (What needs to be done?). Evaluasi ini mengidentifikasi dan menilai kebutuhan-kebutuhan yang mendasari disusunnya suatu program.


(24)

Tujuan dari evaluasi konteks pada model evaluasi CIPP adalah untuk mengidentifikasi informasi awal mengenai bagaimana program akan berfungsi (Fitzpatrick et al., 2004 dalam Wang, 2010). Sax (1980) mendefinisikan evaluasi konteks, sebagai berikut: the delineation and specification of project s environment, its unmet, the population and sample individual to be served, and the project objectives. Contect evaluation provides a rationale for justifying a particular type of program intervention . Evaluasi konteks merupakan penggambaran dan spesifikasi tentang lingkungan program, kebutuhan yang belum dipenuhi, karakteristik populasi dan sampel dari individu yang dilayani dan tujuan program. Evaluasi konteks membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program (Widoyoko, 2013). Evaluasi konteks menurut Arikunto dan Safruddin (2014) dilakukan untuk menjawab pertanyaan: a) kebutuhan apa yang belum terpenuhi oleh program, b) tujuan pengembangan manakah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan, c) tujuan manakah yang paling mudah dicapai.

2. Evaluasi Masukan (Input Evaluation)

Evaluasi masukan untuk mencari jawaban atas pertanyaan: apa yang harus dilakukan (What should be done?). Evaluasi ini mengidentifikasi problem, aset, dan peluang untuk membantu para pengambil keputusan mendefinisikan tujuan, prioritas-prioritas, dan membantu


(25)

kelompok-kelompok lebih luas pemakai untuk menilai tujuan, prioritas, dan manfaat-manfaat dari program, menilai pendekatan alternatif, rencana tindakan, rencana staf, dan anggaran untuk feasibilitas dan potensi cost effectiveness untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan yang ditargetkan. Para pengambil keputusan memakai Evaluasi Masukan dalam memilih di antara rencana-rencana yang ada, menyusun proposal pendanaan, alokasi sumber-sumber, menempatkan staf, menskedul pekerjaan, menilai rencana-rencana aktivitas, dan pengangguran (Stufflebeam, 2003 dalam Wirawan, 2012).

Evaluasi masukan dilakukan sebagai sarana menempatkan sistem pendukung, strategi solusi, dan desain prosedural di tempat untuk pelaksanaan program di masa mendatang (Fitzpatrick et al., 2004 dalam Wang, 2010). Terutama keterangan yang meliputi isu-isu seperti biaya, hasil, keuntungan, kerugian, dan faktor-faktor yang terkait dengan program lainnya.

Maksud dari evaluasi masukan adalah kemampuan awal siswa dan sekolah dalam menunjang program tersebut (Arikunto dan Safruddin, 2014). Evaluasi masukan membantu mengatur keputusan, mengatur sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi: a) sumber daya manusia, b) sarana dan peralatan pendukung, c)


(26)

dana/anggaran, dan d) berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan (Widoyoko, 2013).

3. Evaluasi Proses (Process Evaluation)

Evaluasi proses berupaya untuk mencari jawaban atas pertanyaan: apakah program sedang dilaksanakan? (Is it being done?). Evaluasi ini berupaya mengakses pelaksanaan dari rencana untuk membantu staf program melaksanakan aktivitas dan kemudian membantu kelompok pemakai yang lebih luas menilai program dan menginterpretasikan manfaat (Stufflebeam, 2003 dalam Wirawan, 2012).

Evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada apa (what) kegiatan yang dilakukan dengan program, siapa (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggungjawab program, kapan (when) kegiatan akan selesai (Arikunto dan Safruddin, 2014). Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki (Widoyoko, 2013).

4. Evaluasi Produk/Hasil (Product Evaluation)

Evaluasi produk diarahkan untuk mencari jawaban pertanyaan: Did it succed?. Evaluasi ini berupaya mengidentifikasi dan mengakses keluaran dan manfaat, baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya untuk membantu staf menjaga upaya memfokuskan pada mencapai manfaat yang


(27)

penting dan akhirnya untuk membantu kelompok-kelompok pemakai lebih luas mengukur kesuksesan upaya dalam mencapai kebutuhan-kebutuhan yang ditargetkan (Stufflebeam, 2003 dalam Wirawan, 2012).

Fungsi evaluasi produk/hasil seperti dirumuskan oleh Sax (1980) adalah to allow to project director (or teacher) to make decision regarding continuation, termination, or modification of program . Dari hasil evaluasi proses diharapkan dapat membantu pimpinan proyek atau guru untuk membuat keputusan yang berkenan dengan kelanjutan, akhir maupun modifikasi program (Widoyoko, 2013). Sementara menurut Tayibnapis (2008) evaluasi produk untuk membantu membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun apa yang dilakukan setelah program itu berjalan.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang model evaluasi CIPP diatas, maka komponen-komponen program akselerasi dalam penelitian ini dapat dianalisis dengan menggunakan model CIPP. Evaluasi program akselerasi di SMP Negeri 6 Ambon dapat dinilai dari konteks, input, proses, dan produk, karena sekolah tersebut sudah melaksanakannya selama tujuh tahun.

2.4 Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Marni Serepinah, tahun 2014, dengan judul Evaluasi Program Kelas Akselerasi (Studi Evaluatif di SDK


(28)

Penabur 4 Jakarta). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, evaluasi masukan, utamanya meliputi dasar/pedoman penyelenggaraan Program Akselerasi SDK 10 PENABUR Jakarta telah memenuhi kriteria penyelenggaraan program, dimana legalitas penyelenggaraan program baik secara de facto dan de jure telah memiliki legalitas penyelenggaraan program. Kurikulum, rekrutmen peserta didik, kualifikasi pendidik, bahan pembelajaran, dan sarana prasarana penunjang pembelajaran pada umumnya telah sesuai dan berjalan dengan efektif. Beberapa hal yang memerlukan perhatian adalah rekruitmen peserta didik yang masih belum sesuai kriteria penerimaan untuk tingkat IQ siswa. Minimnya pelatihan, seminar atau lokakarya untuk guru akselerasi dan masih terdapat guru yang mengajar dengan latar belakang jenjang pendidikan D3 (Diploma 3). Oleh karena itu dibutuhkan rekrutmen yang selektif dan perlunya sosialisasi dan koordinasi dengan bagian pendidikan BPK PENABUR dan dinas setempat terkait dengan Program Akselerasi yang terdapat di SDK 10 PENABUR Jakarta. Kedua, evaluasi proses mencakup perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian siswa akselerasi baik kelas 3, 5, dan 6 terhadap kemampuan guru dalam persiapan pembelajaran, proses, interaksi, pengelolaan keaktifan siswa, dan kegiatan penutup pembelajaran menunjukkan kategori baik. Sungguhpun demikian, orang tua siswa mengharapkan kegiatan di luar kelas, non teori seperti eksperimen, praktik, dan pengamatan terhadap hal-hal yang mendukung bidang


(29)

studi perlu diperbanyak. Ketiga, evaluasi keluaran dan dampak, secara umum menunjukkan tingkat pencapaian yang baik, bahkan perbandingan nilai ujian nasional kelas akselerasi menunjukkan grafik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas reguler. Aspek dampak, 100 % lulusan siswa akselerasi diterima di SMP unggulan dan umumnya mereka tetap melanjutkan sekolah di SMP yang terdapat di lingkungan BPK PENABUR. Akan tetapi kurang dari 20% siswa melanjutkan ke SMP dengan program kelas akselerasi, karena jauhnya jarak rumah ke sekolah SMP penyelenggara Program Akselerasi di lingkungan sekolah BPK PENABUR. Secara keseluruhan, SDK 10 PENABUR Jakarta telah mampu menyelenggarakan Program Akselerasi yang bertujuan menyediakan tempat bagi siswa dengan IQ yang berada di atas rata-rata. Orang tua siswa juga memberikan masukan positif terhadap kelas akselerasi di SDK 10 PENABUR Jakarta dan bangga apabila anak mereka dapat melalui tes dan mengikuti Program Akselerasi. Sosialisasi yang kurang dan lokasi yang cukup jauh mengakibatkan Program Akselerasi ini tidak dapat dijangkau oleh siswa lainnya dari semua sekolah di lingkungan PENABUR yang tersebar di DKI Jakarta.

Hasil penelitian yang relevan juga dilakukan oleh Dewi Chandrakirana Damayanti, tahun 2013. Tesis Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus Universitas Pendidikan Indonesia. Judul penelitian Penyelenggaraan Program Akselerasi Belajar Bagi Peserta Didik Cerdas Istimewa dilihat dari Opini Guru, Orang Tua dan Peserta Didik (Studi Kasus pada SMP


(30)

Negeri 1 Baleendah Kabupaten Bandung) . Dari hasil penelitian dinyatakan bahwa: (1) terdapat empat pola rekrutmen peserta didik cerdas istimewa sesuai edaran dari Dinas pendidikan Provinsi Jabar (2) Proses dan evaluasi belajar dilaksanakan di kelas khusus (3) terdapat lima alternatif gagasan layanan belajar bagi peserta didik cerdas istimewa. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat alternatif gagasan layanan belajar bagi peserta didik cerdas istimewa selain program akselerasi belajar.

Penelitian yang dilakukan oleh Jovita Dwi Satyarini, tahun 2010 mengambil judul Manajemen Program Akselerasi di Sekolah Unggulan Terpadu (Studi Multisitus di SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 2 Lumajang) . Berdasarkan temuan penelitian diperoleh kesimpulan: (1) perencanaan penyelenggaraan program akselerasi melibatkan seluruh warga sekolah, (2) mekanisme penyelenggaraan program akselerasi meliputi kegiatan meyusun dan mengirimkan proposal kepada Dinas Pendidikan Kabupaten yang akan merekomendasikannya kepada Dinas Pendidikan Provinsi untuk dilakukan penelitian dan evaluasi terhadap proposal tersebut. Apabila dianggap meme-nuhi kriteria, Dinas Pendidikan Provinsi akan mener-bitkan Surat Keputusan Penetapan, (3) strategi penentuan input program akselerasi mengikuti konsep

Three-Ring Conception dari Renzulli. Pelaksana tes adalah lembaga psikologi yang bersertifikasi dan direkomendasikan oleh Dirjen Dikdasmen, (4) kurikulum dan pembelajaran pada program akselerasi adalah kurikulum nasional dan muatan lokal.


(31)

Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum berdife-rensiasi Kalender akademik program akselerasi memu-at empmemu-at bulan hari efektif setiap semesternya, (5) stra-tegi penentuan output menggunakan berbagai jenis ulangan. Program remidial juga harus diikuti akseleran jika tidak mampu mencapai KKM dan harus kembali ke program reguler jika dinilai tidak mampu mengikuti pembelajaran di program akselerasi. Akseleran dinyata-kan lulus dari satuan pendididinyata-kan dengan mengikuti kriteria kelulusan sekolah, (6) mekanisme pembinaan meliputi pembina pusat, provinsi, dan kabupaten. (7) monitoring dilakukan secara berjenjang, dilaksanakan oleh Ditjen Dikdasmen cq. Dit PLB, Dinas Pendidikan Provinsi (Subdin PLB), dan Dinas Pendidikan Kabupaten; dan (8) melakukan evaluasi program setiap tahun.

Selain itu juga penelitian yang dilakukan oleh Citra Ceria, tahun 2011 dengan judul Evaluasi Pelaksanaan Program Akselerasi di SMA Negeri 1 Banjarmasin . Temuan dalam penelitian menunjukkan bahwa: (1) Animo masyarakat cukup tinggi terhadap program akselerasi dan dalam hal partisipasi pun sudah cukup baik; (2) Dari segi input, kompetensi guru sudah sesuai dengan kriteria yang diinginkan dan telah mencapai 87,5%. Dari segi karakteristik siswa, yang diterima pada program ini telah mencapai 85,7% sesuai standar yang berlaku. Untuk sarana dan prasarana kelas program akselerasi sudah memenuhi pencapaian yang sangat baik yaitu 100%. Kurikulum yang digunakan untuk program akselerasi ini adalah kurikulum nasional yaitu Kurikulum Tingkat Satuan


(32)

Pendidikan (KTSP) yang dikembangkan sesuai dengan karakteristik siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa. (3) Dari segi proses, Proses Belajar Mengajar (aktivitas guru dan siswa) sudah menunjukkan hal yang baik dengan pencapaian 100%. Untuk strategi pembelajaran pun sudah mencapai 100%. Namun untuk pengelolaan program hanya mencapai 50% karena tidak adanya Job Description

untuk masing-masing anggota pengurus program. (4) Dari segi produk, prestasi akademik menunjukkan hasil yang sangat baik karena setiap tahunnya selalu menghasilkan 100% kelulusan dengan nilai rata-rata di atas standar. Namun dari segi prestasi non akademik baru mencapai 33,3% karena siswa program ini hanya sedikit yang mengikuti lomba-lomba ekstrakurikuler.

Penelitian yang dilakukan oleh Marni Serepinah (2014) memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Citra Ceria (2011), yaitu melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan program akselerasi tetapi terdapat perbedaan pada jenjang pendidikan, model evaluasi yang digunakan, serta komponen-komponen program akselerasi yang dievaluasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Chandrakirana Damayanti (2013) memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jovita Dwi Satyarini (2010), yakni menekankan pada aspek manajemen penyelenggaraan program akselerasi. Tetapi perbedaannya terletak pada pendekatan yang digunakan.

Adapun kesamaan mendasar dengan penelitian yang relevan di atas dengan yaitu sama-sama meneliti


(33)

tentang penyelenggaraan program akselerasi, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif, serta teknik pengumpulan data juga sama. Namun yang membedakan penelitian-penelitian tersebut adalah jenjang pendidikan, komponen-komponen program yang diteliti, serta model evaluasi yang digunakan.

Dari hasil penelitian yang relevan di atas, terdapat kesamaan dan perbedaan dengan penelitian yang hendak dilakukan. Jika dilihat dari tema yang diteliti maka penelitian yang hendak dilakukan ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Marni Serepinah (2014) dan Citra Ceria (2011), yaitu mengkaji tentang evaluasi program akselerasi walaupun model evaluasi yang digunakan berbeda dengan model evaluasi yang digunakan oleh Marni Serepiah (2014), akan tetapi sama dalam jenjang pendidikan, yaitu SMP. Jika dilihat dari komponen-komponen program akselerasi yang dievaluasi maka penelitian yang hendak dilakukan ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian yang relevan tersebut, karena komponen-komponen program akselerasi yang diteliti secara berbeda-beda dalam penelitian-penelitian tersebut, akan diteliti lebih dalam lagi melalui penelitian ini.


(34)

2.5 Kerangka Berpikir

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian

Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dijelaskan bahwa SMP Negeri 6 Ambon menyelenggarakan program akselerasi. Program tersebut kemudian dievaluasi

Context, Input, Process, dan Product. Setelah dievaluasi, maka menghasilkan rekomendasi kebijakan bagi pihak sekolah terkait keberlangsungan program yang bersangkutan ke depan.

Program Akselerasi SMP Negeri 6 Ambon

Evaluasi Program:

Context Input)

Process Product

Hasil Evaluasi

Rekomendasi Kebijakan

Program Akselerasi SMP Negeri 6 Ambon


(1)

studi perlu diperbanyak. Ketiga, evaluasi keluaran dan dampak, secara umum menunjukkan tingkat pencapaian yang baik, bahkan perbandingan nilai ujian nasional kelas akselerasi menunjukkan grafik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas reguler. Aspek dampak, 100 % lulusan siswa akselerasi diterima di SMP unggulan dan umumnya mereka tetap melanjutkan sekolah di SMP yang terdapat di lingkungan BPK PENABUR. Akan tetapi kurang dari 20% siswa melanjutkan ke SMP dengan program kelas akselerasi, karena jauhnya jarak rumah ke sekolah SMP penyelenggara Program Akselerasi di lingkungan sekolah BPK PENABUR. Secara keseluruhan, SDK 10 PENABUR Jakarta telah mampu menyelenggarakan Program Akselerasi yang bertujuan menyediakan tempat bagi siswa dengan IQ yang berada di atas rata-rata. Orang tua siswa juga memberikan masukan positif terhadap kelas akselerasi di SDK 10 PENABUR Jakarta dan bangga apabila anak mereka dapat melalui tes dan mengikuti Program Akselerasi. Sosialisasi yang kurang dan lokasi yang cukup jauh mengakibatkan Program Akselerasi ini tidak dapat dijangkau oleh siswa lainnya dari semua sekolah di lingkungan PENABUR yang tersebar di DKI Jakarta.

Hasil penelitian yang relevan juga dilakukan oleh Dewi Chandrakirana Damayanti, tahun 2013. Tesis Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus Universitas Pendidikan Indonesia. Judul penelitian Penyelenggaraan Program Akselerasi Belajar Bagi Peserta Didik Cerdas Istimewa dilihat dari Opini Guru, Orang Tua dan Peserta Didik (Studi Kasus pada SMP


(2)

Negeri 1 Baleendah Kabupaten Bandung) . Dari hasil penelitian dinyatakan bahwa: (1) terdapat empat pola rekrutmen peserta didik cerdas istimewa sesuai edaran dari Dinas pendidikan Provinsi Jabar (2) Proses dan evaluasi belajar dilaksanakan di kelas khusus (3) terdapat lima alternatif gagasan layanan belajar bagi peserta didik cerdas istimewa. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat alternatif gagasan layanan belajar bagi peserta didik cerdas istimewa selain program akselerasi belajar.

Penelitian yang dilakukan oleh Jovita Dwi Satyarini, tahun 2010 mengambil judul Manajemen Program Akselerasi di Sekolah Unggulan Terpadu (Studi Multisitus di SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 2 Lumajang) . Berdasarkan temuan penelitian diperoleh kesimpulan: (1) perencanaan penyelenggaraan program akselerasi melibatkan seluruh warga sekolah, (2) mekanisme penyelenggaraan program akselerasi meliputi kegiatan meyusun dan mengirimkan proposal kepada Dinas Pendidikan Kabupaten yang akan merekomendasikannya kepada Dinas Pendidikan Provinsi untuk dilakukan penelitian dan evaluasi terhadap proposal tersebut. Apabila dianggap meme-nuhi kriteria, Dinas Pendidikan Provinsi akan mener-bitkan Surat Keputusan Penetapan, (3) strategi penentuan input program akselerasi mengikuti konsep

Three-Ring Conception dari Renzulli. Pelaksana tes adalah lembaga psikologi yang bersertifikasi dan direkomendasikan oleh Dirjen Dikdasmen, (4) kurikulum dan pembelajaran pada program akselerasi adalah kurikulum nasional dan muatan lokal.


(3)

Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum berdife-rensiasi Kalender akademik program akselerasi memu-at empmemu-at bulan hari efektif setiap semesternya, (5) stra-tegi penentuan output menggunakan berbagai jenis ulangan. Program remidial juga harus diikuti akseleran jika tidak mampu mencapai KKM dan harus kembali ke program reguler jika dinilai tidak mampu mengikuti pembelajaran di program akselerasi. Akseleran dinyata-kan lulus dari satuan pendididinyata-kan dengan mengikuti kriteria kelulusan sekolah, (6) mekanisme pembinaan meliputi pembina pusat, provinsi, dan kabupaten. (7) monitoring dilakukan secara berjenjang, dilaksanakan oleh Ditjen Dikdasmen cq. Dit PLB, Dinas Pendidikan Provinsi (Subdin PLB), dan Dinas Pendidikan Kabupaten; dan (8) melakukan evaluasi program setiap tahun.

Selain itu juga penelitian yang dilakukan oleh Citra Ceria, tahun 2011 dengan judul Evaluasi Pelaksanaan Program Akselerasi di SMA Negeri 1 Banjarmasin . Temuan dalam penelitian menunjukkan bahwa: (1) Animo masyarakat cukup tinggi terhadap program akselerasi dan dalam hal partisipasi pun sudah cukup baik; (2) Dari segi input, kompetensi guru sudah sesuai dengan kriteria yang diinginkan dan telah mencapai 87,5%. Dari segi karakteristik siswa, yang diterima pada program ini telah mencapai 85,7% sesuai standar yang berlaku. Untuk sarana dan prasarana kelas program akselerasi sudah memenuhi pencapaian yang sangat baik yaitu 100%. Kurikulum yang digunakan untuk program akselerasi ini adalah kurikulum nasional yaitu Kurikulum Tingkat Satuan


(4)

Pendidikan (KTSP) yang dikembangkan sesuai dengan karakteristik siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa. (3) Dari segi proses, Proses Belajar Mengajar (aktivitas guru dan siswa) sudah menunjukkan hal yang baik dengan pencapaian 100%. Untuk strategi pembelajaran pun sudah mencapai 100%. Namun untuk pengelolaan program hanya mencapai 50% karena tidak adanya Job Description

untuk masing-masing anggota pengurus program. (4) Dari segi produk, prestasi akademik menunjukkan hasil yang sangat baik karena setiap tahunnya selalu menghasilkan 100% kelulusan dengan nilai rata-rata di atas standar. Namun dari segi prestasi non akademik baru mencapai 33,3% karena siswa program ini hanya sedikit yang mengikuti lomba-lomba ekstrakurikuler.

Penelitian yang dilakukan oleh Marni Serepinah (2014) memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Citra Ceria (2011), yaitu melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan program akselerasi tetapi terdapat perbedaan pada jenjang pendidikan, model evaluasi yang digunakan, serta komponen-komponen program akselerasi yang dievaluasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Chandrakirana Damayanti (2013) memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jovita Dwi Satyarini (2010), yakni menekankan pada aspek manajemen penyelenggaraan program akselerasi. Tetapi perbedaannya terletak pada pendekatan yang digunakan.

Adapun kesamaan mendasar dengan penelitian yang relevan di atas dengan yaitu sama-sama meneliti


(5)

tentang penyelenggaraan program akselerasi, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif, serta teknik pengumpulan data juga sama. Namun yang membedakan penelitian-penelitian tersebut adalah jenjang pendidikan, komponen-komponen program yang diteliti, serta model evaluasi yang digunakan.

Dari hasil penelitian yang relevan di atas, terdapat kesamaan dan perbedaan dengan penelitian yang hendak dilakukan. Jika dilihat dari tema yang diteliti maka penelitian yang hendak dilakukan ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Marni Serepinah (2014) dan Citra Ceria (2011), yaitu mengkaji tentang evaluasi program akselerasi walaupun model evaluasi yang digunakan berbeda dengan model evaluasi yang digunakan oleh Marni Serepiah (2014), akan tetapi sama dalam jenjang pendidikan, yaitu SMP. Jika dilihat dari komponen-komponen program akselerasi yang dievaluasi maka penelitian yang hendak dilakukan ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian yang relevan tersebut, karena komponen-komponen program akselerasi yang diteliti secara berbeda-beda dalam penelitian-penelitian tersebut, akan diteliti lebih dalam lagi melalui penelitian ini.


(6)

2.5 Kerangka Berpikir

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian

Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dijelaskan bahwa SMP Negeri 6 Ambon menyelenggarakan program akselerasi. Program tersebut kemudian dievaluasi

Context, Input, Process, dan Product. Setelah dievaluasi, maka menghasilkan rekomendasi kebijakan bagi pihak sekolah terkait keberlangsungan program yang bersangkutan ke depan.

Program Akselerasi SMP Negeri 6 Ambon

Evaluasi Program:

Context Input)

Process Product

Hasil Evaluasi Rekomendasi

Kebijakan

Program Akselerasi SMP Negeri 6 Ambon


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Akselerasi: studi evaluasi di SMP Negeri 6 Ambon T2 942013137 BAB I

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Akselerasi: studi evaluasi di SMP Negeri 6 Ambon

1 1 44

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Akselerasi: studi evaluasi di SMP Negeri 6 Ambon T2 942013137 BAB IV

0 1 120

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Akselerasi: studi evaluasi di SMP Negeri 6 Ambon T2 942013137 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Akselerasi: studi evaluasi di SMP Negeri 6 Ambon

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Implementasi Program Pengembangan Diri di SMP Negeri I Kebumen T2 942011003 BAB II

0 0 25

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Guru SMP Negeri 9 Ambon T2 BAB II

0 0 21

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Kinerja Tiga Kepala SMP Negeri Salatiga Tahun 2014 T2 BAB II

0 1 14

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Dana Alokasi Khusus (DAK) Di SMP Negeri 2 Dempet T2 BAB II

1 2 45

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Di SMP Negeri 2 Dempet Tahun 2014 T2 BAB II

0 0 22