Validasi metode kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik pada penetapan kadar nikotin dalam ekstrak tembakau pada rokok Merek X
i
VALIDASI METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) FASE TERBALIK PADA PENETAPAN KADAR NIKOTIN
DALAM EKSTRAK TEMBAKAU PADA ROKOK “MEREK X”
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh: Demas NIM : 098114092
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
(2)
ii
Persetujuan Pembimbing
VALIDASI METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) FASE TERBALIK PADA PENETAPAN KADAR NIKOTIN
DALAM EKSTRAK TEMBAKAU PADA ROKOK “MEREK X”
Skripsi yang diajukan oleh: Demas
NIM : 098114092
telah disetujui oleh:
Pembimbing Utama
(3)
(4)
iv
D o the best and let G od do the rest
A nonim
Kupersembahkan buat:
Kedua orangtuaku dan kakakku terkasih
(5)
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya susun ini tidak memuat karya atau bagian dari pekerjaan orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya indikasi plagiarisme dalam naskah yang saya susun ini, maka saya bersedia menanggung segala resiko dan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yogyakarta, 19 Maret 2013
Penulis,
(6)
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Demas
Nomor Mahasiswa : 098114092
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul :
VALIDASI METODE KROMATOGRRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) FASE TERBALIK PADA PENETAPAN KADAR NIKOTIN
DALAM EKSTRAK TEMBAKAU PADA ROKOK “MEREK X”
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hal untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannnya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Dengan demikian pernyataan ini saya buat sebenarnya.
Yogyakarta, 28 Juni 2013
Penulis,
(7)
vii PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Validasi Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Fase Terbalik pada Penetapan Kadar Nikotin dalam Ekstrak Tembakau Pada Rokok “Merek X”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
2. Dra. M.M. Yetty Tjandrawati, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasihat, dukungan, dan motivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi.
3. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing di laboratorium yang telah memberikan bimbingan, nasihat, saran, dan motivasi kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.
4. Jeffry Julianus, M.Si. selaku dosen penguji yang memberikan banyak kritik dan saran yang membangun untuk skripsi ini.
5. Lucia Wiwid Wijayanti, M.Si. selaku dosen penguji yang memberikan banyak kritik dan saran yang membangun untuk skripsi ini.
6. Rini Dwi Astuti, M.Sc., Apt. sebagai Kepala Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
7. C.M. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt. sebagai Kaprodi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
8. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. atas saran yang diberikan selama penelitian
9. Seluruh staf laboratorium kimia: Mas Bimo, Pak Parlan, dan Mas Kunto atas bantuannya selama penelitian berlangsung.
(8)
viii
10.Semua dosen dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
11.Eric Antonius dan Is Sumitro sebagai rekan kerja dalam penelitian skripsi ini
yang telah banyak membantu baik suka maupun duka selama ini.
12.Teman-teman FST 09 yang telah memberikan semangat dan dukungan selama
penelitian dan penyusunan skripsi.
13.Semua orang yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi
yang tidak dapat disebutkan penulis satu per satu.
Penulis menyadari kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Akhir
kata, penulis meminta maaf apabila ada kesalahan dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk majunya ilmu pengetahuan farmasi.
Yogyakarta, 19 Maret 2013
(9)
ix DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERSEMBAHAN iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vi
PRAKATA vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
INTISARI xvii
ABSTRACT xviii
BAB 1. PENGANTAR 1
A. Latar Belakang 1
1. Perumusan masalah 2
2. Keaslian karya 3
3. Manfaat penelitian 4
a. Manfaat metodologis 4
b. Manfaat praktis 4
(10)
x
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA 5
A. Tembakau 5
B. Nikotin 6
C. Rokok 7
D. Spektrofotometri UV-Visible 8
1. Transisi sigma ke sigma bintang (δ → δ*) 10 2. Transisi n ke sigma bintang (n → δ*) 10 3. Transisi n ke phi bintang (n → π*) 11
4. Transisi phi ke phi bintang (π → π*) 11
E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) 11
1. Definisi 11
2. Instrumentasi 13
F. Parameter Validasi Metode Analisis 17
1. Akurasi 18
2. Presisi 19
3. Selektifitas atau spesifisitas 20
4. Linearitas 21
5. Rentang 22
G. Landasan Teori 22
H. Hipotesis 23
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 24
A. Jenis dan Rancangan Penelitian 24
(11)
xi
C. Definisi Operasional 25
D. Bahan Penelitian 25
E. Alat Penelitian 25
F. Tata Cara Penelitian 26
1. Pembuatan Fase Gerak 26
2. Pembuatan Larutan Internal Standar Asetanilida 26
3. Pembuatan Larutan Baku Nikotin 27
4. Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan 28
5. Penyiapan Sampel 29
6. Validasi Metode 30 G. Analisis Hasil 33
1. Selektifitas 33
2. Linearitas dan rentang 33
3. Akurasi 33
4. Presisi 34
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 35
A. Pemilihan Komponen Fase Gerak 35
B. Pembuatan Larutan Baku Nikotin dan Asetanilida 36
C. Penentuan Panjang Gelombang Nikotin dan Asetanilida 37
D. Proses Ekstraksi Sampel 40
E. Waktu Retensi Nikotin dan Asetanilida 42
F. Pembuatan Kurva Baku 44
(12)
xii
1. Selektifitas 46
2. Linearitas 47
3. Akurasi 48
4. Presisi 49
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 51
A. Kesimpulan 51
B. Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 52
LAMPIRAN 55
BIOGRAFI PENULIS 112
(13)
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Panjang gelombang UV cut-off pada beberapa jenis pelarut 15
Tabel II. Parameter validasi untuk tiap tipe prosedur 18
Tabel III. Nilai recovery yang diperbolehkan untuk setiap kadar analit 19
Tabel IV. Kriteria penerimaan presisi untuk setiap kadar analit 20
Tabel V. Persamaan regresi linear baku nikotin dan asetanilida 45
Tabel VI. Hasil perhitungan resolusi sampel 46
Tabel VII. Hasil persen perolehan kembali (%recovery) baku nikotin 48
Tabel VIII.Hasil penentuan koefisien variasi 50
(14)
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur molekuler anabasin, anatabin, dan nornikotin 5
Gambar 2. Struktur molekuler nikotin 6
Gambar 3. Struktur molekuler nikotin dalam tiga bentuk 6
Gambar 4. Struktur asetilkolin dan nikotin 7
Gambar 5. Diagram tingkat energi elektronik 10
Gambar 6. Kromatogram yang menunjukkan pemisahan senyawa-senyawa
pada suatu sampel 12
Gambar 7. Kromatogram yang terdiri dari signal detektor dan waktu 14
Gambar 8. Skema sistem dan instrumentasi yang digunakan pada
kromatografi cair kinerja tinggi 14
Gambar 9. Interaksi ionik antara silanol dan TEA 36
Gambar 10. Kromofor pada nikotin dan asetanilida 37
Gambar 11. Spektra panjang gelombang maksimum nikotin pada tiga tingkat
konsentrasi 38
Gambar 12. Spektra panjang gelombang maksimum asetanilida pada tiga
tingkat konsentrasi 39
Gambar 13. Hubungan derajat protonasi nikotin dengan pH 41
Gambar 14. Bagian polar dan non polar pada nikotin dan asetanilida 43
Gambar 15. Kromatogram baku nikotin dan asetanilida 44
Gambar 16. Kurva baku hubungan antara konsentrasi baku nikotin
dan AUC 47
(15)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Certificate of Analysis (COA) baku nikotin 56
Lampiran 2. Certificate of Analysis (COA) baku asetanilida 57
Lampiran 3. Perhitungan polaritas fase gerak yang digunakan 58
Lampiran 4. Spektrum Nikotin 59
Lampiran 5. Spektrum Asetanilida 60
Lampiran 6. Kromatogram seri baku 62
Lampiran 7. Hasil Perolehan AUC seri baku nikotin dan asetanilida 65
Lampiran 8. Persamaan dan gambar kurva baku nikotin 66
Lampiran 9. Kromatogram dan resolusi sampel 67
Lampiran 10. Contoh perhitungan kadar sampel dan recovery 70
Lampiran 11. Kromatogram sampel dan sampel adisi 71
Lampiran 12. Perolehan nilai AUC sampel dan sampel adisi, perhitungan
nilai recovery untuk akurasi 101
Lampiran 13. Contoh kromatogram sampel untuk perhitungan nilai KV 102
(16)
xvi
VALIDASI METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) FASE TERBALIK PADA PENETAPAN KADAR NIKOTIN DALAM
EKSTRAK TEMBAKAU PADA ROKOK “MEREK X”
INTISARI
Nikotin merupakan senyawa golongan alkaloid yang terdapat di dalam daun tembakau. Produk dari tembakau yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat ialah rokok. Penetapan kadar nikotin dalam rokok perlu dilakukan sebagai bentuk kewajiban produsen terhadap konsumen seperti yang tertulis di dalam PP nomor 109 tahun 2012 Pasal 10 Ayat 1.
Penelitian ini mengikuti jenis dan rancangan penelitian deskriptif dan non eksperimental. Metode yang digunakan ialah metode kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik yang menggunakan fase diam oktil silika (C8) dan fase gerak methanol:ammonium asetat 10mM + TEA 0,1% (70:30) dengan kecepatan alir 1,0 mL/menit. Metode ini perlu divalidasi terlebih dahulu agar hasil analisis yang dilakukan nantinya dapat dipercaya dan dapat diterima.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode analisis yang digunakan ini memiliki selektivitas, linearitas, dan presisi yang baik. Nilai resolusi yang didapatkan untuk selektivitas ialah 2,929. Nilai koefisien korelasi untuk linearitas ialah 0,9999 pada konsentrasi baku nikotin 20-100 µg/mL. Nilai koefisien variasi sebesar 7,389 %, 0,7473%, dan 1,187% untuk kadar sampel 20, 40, dan 60 µ g/mL. Nilai recovery yang didapatkan untuk akurasi tidak memenuhi persyaratan recovery yang baik sehingga metode ini dinyatakan tidak memenuhi persyaratan validitas.
(17)
xvii
Method Validation of Reversed Phase High Performance Liquid Chromatography For The Determination Nicotine in “X Brand” Cigarette
Tobacco Extract
ABSTRACT
Nicotine is a group of alkaloid substance found in tobacco leaves. Product of nicotine that people consume is called cigarette. The determination level of nicotine should be posted in each of cigarette box in order to tell the costumers how much nicotine within one cigarette. Those information is functioned as a duty from the producers to customers based on PP no. 109 thn 2012 Pasal 10 Ayat 1.
This research conducted with a descriptive and non-experimental plan and design. Reversed phase high performance liquid chromatography method is used octil silica (C8) stationary phase and methanol:ammonium acetate 10mM + TEA 0,1% (70:30) mobile phase with flow rate 1,0 mL/min. This method must be validated in order to get a guaranteed and trusted result.
The result from this research indicates this method have good selectivity, linearity, and precision parameter. The resolution value of selectivity is 2.929. The coefficient correlation for linearity value is 0.9999 on 20-100 µ g/mL standard concentration. Good precision on 20, 40, and 60 µg/mL sample level with coefficient variance value are 7.389 %, 0.7473%, and 1.187%. Recovery value for accuracy is not fulfilled the requirement of test, so this method is not fulfilled the requirement of validity.
Keywords: nicotine, high performance liquid chromatography (HPLC), method validation
(18)
1 BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkembang yang kaya akan
keanekaragaman hayati. Salah satu sumber komoditi perdagangan di Indonesia
yang berasal dari keanekaragaman hayati ialah rokok. Rokok terbuat dari
gulungan tembakau yang dibungkus dengan daun nipah atau kertas (Departemen
Pendidikan Nasional, 2008). Tembakau diproses dari daun tanaman genus
Nicotiana sehingga nantinya dapat digunakan sebagai bahan utama pembuat
rokok. Kandungan kimia yang paling dominan terdapat pada tembakau ialah
nikotin.
Nikotin merupakan senyawa alkaloid yang dikenal di masyarakat karena
memiliki efek positif dan efek negatif. Efek positif nikotin bagi penggunanya,
yaitu dapat mengurangi kecemasan, membuat rileks, dan meningkatkan
kewaspadaan (Benowitz, 1992). Salah satu efek negatif nikotin ialah dapat
membuat orang yang mengkonsumsi rokok menjadi ketagihan. Berdasarkan riset
yang dilakukan oleh World Health Organization pada tahun 2008, Indonesia
menempati peringkat ketiga untuk kategori negara dengan konsumen rokok
terbanyak. Hal ini menunjukkan bahwa efek nikotin di Indonesia sudah meluas di
kalangan masyarakat.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 Pasal 10 Ayat 1,
(19)
melakukan pengujian kandungan kadar nikotin dan tar per batang untuk setiap
varian yang diproduksi”, oleh karena itu diperlukan metode analisis yang telah
tervalidasi untuk penetapan kadar nikotin di dalam rokok. Metode analisis yang
digunakan perlu divalidasi terlebih dahulu agar hasil analisis yang dilakukan
nantinya dapat dipercaya dan dapat diterima. Parameter-paramater validasi yang
digunakan, yaitu selektivitas, linearitas, akurasi, presisi, dan rentang.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT) fase terbalik. Metode ini digunakan karena dapat
memisahkan senyawa multikomponen yang terdapat pada ekstrak rokok dan
sekaligus mengkuantifikasi komponen-komponen pada ekstrak rokok.
Berdasarkan hasil optimasi yang telah dilakukan dalam rangkaian penelitian ini,
sistem kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik memberikan kondisi optimal
pada fase diam oktil silika (C8) dan fase gerak metanol:ammonium asetat 10 mM
+ trietilamin (TEA) 0,1% (70:30) dengan kecepatan alir 1,0 mL/menit. Sistem
yang digunakan ini memenuhi parameter pemisahan yang baik, yaitu resolusi
3,915; retention time (tR) nikotin 4,638 menit; tailing factor (TF) 1,983 dan tR
asetanilida 3,645 menit; TF 1,699 (Antonius, 2013).
1. Rumusan Masalah
Apakah metode KCKT fase terbalik yang menggunakan fase diam oktil
silika (C8) dan fase gerak metanol:ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1% (70:30)
(20)
tembakau pada rokok memenuhi parameter-parameter validasi, yaitu selektivitas,
linearitas, akurasi, presisi, dan rentang?
2. Keaslian Karya
Penelitian mengenai nikotin yang sudah dilakukan ialah penetapan kadar
nikotin dalam sampel biologis menggunakan metode kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT), kromatografi gas, spektrofotometri massa, dan kromatografi
cair-MS (LC-cair-MS) (Nakajima, Yamamoto, Kuroiwa, dan Yokoi, 2000); penetapan
kadar nikotin dalam macam-macam merek rokok (Alali dan Massadeh, 2003);
penetapan kadar nikotin dalam tembakau dengan metode LC-MS-MS (Vlase,
Filip, Mindrutau, dan Leucuta, 2005); validasi metode KCKT fase terbalik pada
penetapan kadar nikotin dalam ekstrak etanolik daun tembakau (Syenina, 2011);
optimasi komposisi dan kecepatan alir fase gerak sistem KCKT fase terbalik pada
penetapan kadar nikotin dalam rokok “Merek X” menggunakan standar internal
asetanilida (Antonius, 2013). Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan belum
pernah dilakukan penelitian mengenai validasi metode KCKT fase terbalik pada
penetapan kadar nikotin dalam ekstrak tembakau pada rokok.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif
metode dalam menganalisis nikotin yang terdapat pada rokok, yaitu menggunakan
(21)
b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai parameter-parameter validasi, yaitu selektivitas, linearitas,
akurasi, presisi, dan rentang dalam metode penetapan kadar nikotin dalam ekstrak
tembakau pada rokok menggunakan KCKT fase terbalik.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui validitas metode KCKT
fase terbalik yang menggunakan fase diam oktil silika (C8) dan fase gerak
metanol:ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1% (70:30) dengan kecepatan alir 1,0
mL/menit pada penetapan kadar nikotin dalam ekstrak tembakau pada rokok
dengan melihat parameter-parameter validasi, yaitu selektivitas, linearitas,
akurasi, presisi, dan rentang sehingga nantinya metode KCKT fase terbalik dapat
(22)
5 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tembakau
Tembakau (Nicotiana tabacum L.) merupakan tanaman dari famili
Solanaceae. Tinggi tanaman ini ialah 1-3 meter. Daun tanaman tembakau
berbentuk oval, elips atau lanset dengan panjang sekitar 100 cm. Bunga dari
tanaman tembakau berwarna merah menyala, merah muda menyala, dan putih
(Ross, 2005).
Daun tembakau memiliki beberapa kandungan kimia, salah satunya ialah
golongan alkaloid. Golongan alkaloid yang paling banyak terkandung di dalam
daun tembakau ialah nikotin. Selain itu terdapat tiga senyawa alkaloid lainnya
yang berada dalam jumlah yang lebih sedikit, yaitu anabasin, anatabin, dan
nornicotine (Domino, 1999).
Gambar 1. Struktur molekuler anabasin, anatabin, dan nornikotin (Burton, Bush, dan Hempfling, 1999).
Produk olahan tembakau dapat dibagi menjadi tiga jenis. Jenis yang
pertama ialah tembakau digulung, dibakar, kemudian diasapkan, contohnya ialah
rokok. Jenis yang kedua ialah tembakau dipanaskan tetapi tidak dibakar,
(23)
atau dipanaskan biasanya disebut smokeless tobacco (Henningfield, London, dan
Pogun, 2009).
B. Nikotin
Nikotin merupakan senyawa alami yang terkandung di dalam daun
tanaman tembakau (Nicotiana tabacum Solanaceae). Senyawa ini termasuk ke
dalam golongan senyawa alkaloid yang sangat toksik, karsinogenik, dan dapat
digunakan sebagai insektisida. Nikotin adalah senyawa amin tersier tersusun dari
cincin piridin dan cincin pirolidin (Alali dan Massadeh, 2003).
Gambar 2. Struktur molekuler nikotin (Sadat, Vaid, Crrus, dan Yadollah, 2009).
Nikotin dapat muncul dalam berbagai bentuk, yaitu nikotin diprotonasi,
nikotin monoprotonasi, dan nikotin dalam bentuk basa bebas. Bentuk-bentuk
nikotin ini akan mempengaruhi sifat dari nikotin dan proses ekstraksi nikotin.
Ketika nikotin terprotonasi, nitrogen yang ada di dalam cincin piridin menjadi
lebih asam dibandingkan dengan cincin pirolidin (Sadat, dkk., 2009).
(a) (b) (c)
Gambar 3. Struktur molekuler nikotin dalam tiga bentuk. a) diprotonasi, b) monoprotonasi, dan c) basa bebas (Sadat, Vaid, Crrus, dan Yadollah, 2009).
N
N CH3 H
(24)
N
N CH3
H
H3C
O
O
N CH3
H3C
CH3
Nikotin merupakan senyawa toksik bagi manusia. LD 50 (Lethal Dose
50%) nikotin adalah 40-50 mg untuk manusia. Senyawa ini dapat menyebabkan
ketagihan, meningkatkan konsentrasi dan ingatan. Hal ini dikarenakan struktur
nikotin menyerupai struktur asetilkolin sehingga nikotin dapat menjadi agonis
untuk reseptor asetilkolin nikotinik. Aktivasi reseptor ini menyebabkan pelepasan
neurotransmitter (asetilkolin) sehingga terjadi peningkatan konsentrasi dan
ingatan pengguna nikotin. Nikotin dapat digunakan untuk terapi penyakit
Alzheimer, Parkinson, dan schizophrenia (Sadat, dkk., 2009).
Gambar 4. Struktur asetilkolin dan nikotin (Domino, 1999)
C. Rokok
Rokok merupakan suatu produk yang mengandung nikotin, terdiri dari
gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas, dimana nantinya produk ini
ditujukan untuk dibakar. Rokok umumnya berbentuk silinder dengan panjang
sekitar 90 mm (Stratton, Shetty, Wallace, dan Bondurant, 2001). Rokok terdiri
dari 3 bagian, yaitu filter, kertas, dan tembakau. Pada bagian tembakau biasanya
ditambahkan beberapa macam zat tambahan, yaitu gliserol, minyak lemon,
hexanal, linalool, gula, dan kalium sorbat. Zat tambahan ini berfungsi sebagai
humektan (gliserol dan gula), pemberi rasa (minyak lemon, hexanal, linalool, dan
Nikot in
(25)
gula) dan pengawet (kalium sorbat). Zat-zat tambahan yang ditambahkan ke
dalam tembakau disebut dengan sauce (Geiss dan Kotzias, 2007).
Salah satu jenis rokok yang berasal dari Indonesia ialah kretek. Kretek
merupakan produk rokok yang terdiri dari tembakau, cengkeh, dan bahan
tambahan lainnya. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh standardized
smoking machine, kretek menghantarkan lebih banyak nikotin, karbon monoksida,
dan tar dibandingkan rokok biasa (Geiss dan Kotzias, 2007).
D. Spektrofotometri UV-Visible
Spektrofotometri merupakan teknik analisis yang menggunakan sumber
radiasi untuk mengukur konsentrasi suatu senyawa kimia. Salah satu sumber
radiasi ialah sinar. Sinar yang digunakan pada spektrofotometri UV-Visibel ialah
sinar UV dan sinar tampak (visible). Kedua sinar ini dapat menimbulkan radiasi
elektromagnetik yang dapat diserap oleh sampel. Jumlah yang diserap oleh
sampel berhubungan dengan konsentrasi analit di dalam suatu larutan. Instrumen
yang digunakan untuk tujuan tersebut ialah spektrofotometer (Jeffery, Basset,
Mendham, dan Denney, 1989).
Energi berhubungan dengan radiasi elektromagnetik, yang dirumuskan
sebagai berikut :
(1)
Radiasi bertindak sebagai gelombang elektromagnetik sehingga dapat dirumuskan
dengan persamaan berikut :
(2) (3) E = hv
(26)
Dimana v adalah frekuensi, c adalah kecepatan cahaya (3 x 108 ms-1), dan λ adalah panjang gelombang (Owen, 2000).
Pada saat radiasi mengenai suatu benda yang terjadi, yaitu radiasi
dipantulkan, radiasi disebarkan, radiasi diserap, fluorosensi atau fosforesensi, dan
reaksi fotokimiawi. Pada pengukuran secara spektrofotometri UV-vis, kejadian
yang diharapkan ialah radiasi diserap. Kejadian yang terjadi pada saat suatu
molekul mengabsorpsi sinar ultraviolet dan sinar tampak ialah molekul tersebut
akan tereksitasi secara elektronik. Proses ini dapat ditunjukkan dengan persamaan
berikut :
M + hv → M*
Dimana M merupakan molekul, hv merupakan foton, dan M* merupakan molekul
yang tereksitasi. Molekul yang tereksitasi tidak akan bertahan lama sehingga
keberadaannya akan berakhir dengan proses relaksasi. (Gandjar dan Rohman,
2010).
Penyerapan sinar UV akan menyebabkan eksitasi elektron-elektron ikatan
sehingga panjang gelombang pita yang mengabsorpsi dapat dihubungkan dengan
ikatan yang mungkin ada dalam suatu molekul. Penyerapan radiasi ultraviolet
dibatasi oleh sejumlah gugus-gugus fungsional (kromofor) yang mengandung
elektron valensi dengan tingkat eksitasi yang relatif lebih rendah.
Elektron-elektron yang terlibat pada penyerapan radiasi ultraviolet, yaitu :
a. Elektron sigma (δ) : elektron-elektron yang menempati ikatan sigma.
b. Elektron phi (π) : elektron-elektron yang menempati orbital phi pada molekul organik yang berikatan rangkap.
(27)
c. Elektron bukan ikatan (n) : elektron yang tidak ikut serta dalam pembentukan
ikatan kimia suatu molekul, biasanya terdapat di sekitar atom N, O, S dan
halogen (Gandjar dan Rohman, 2010).
Empat jenis transisi elektronik yang terjadi diantara tingkat-tingkat energi
di dalam suatu molekul, yaitu transisi sigma ke sigma bintang (δ→ δ*), transisi n ke sigma bintang (n → δ*), transisi n ke phi bintang (n → π*), dan transisi phi ke phi bintang (π→ π*) (Sastrohamidjojo, 2001).
Gambar 5. Diagram tingkat energi elektronik (Gandjar dan Rohman, 2010).
1. Transisi sigma ke sigma bintang (δ → δ*)
Jenis transisi ini terjadi pada daerah ultraviolet vakum (kurang dari 180
nm) sehingga menjadi kurang bermanfaat untuk analisis secara spektrofotometri
UV. Contohnya ialah pada metana yang hanya mempunyai jenis ikatan –C-H,
memiliki pita serapan elektron sigma pada panjang gelombang 125 nm (Gandjar
dan Rohman, 2010).
2. Transisi n ke sigma bintang (n → δ*)
Jenis transisi ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung
atom-atom yang memiliki pasangan elektron bebas (elektron n) pada panjang
(28)
ini ialah pergeseran serapan kearah panjang gelombang yang lebih pendek dalam
pelarut yang lebih polar (pergeseran hipokromik) (Sastrohamidjojo, 2001).
3. Transisi n ke phi bintang (n → π*)
Jenis transisi ini terjadi apabila molekul organik memiliki gugus
fungsional tidak jenuh. Jenis transisi ini juga merupakan transisi yang paling
cocok untuk analisa secara spektrofotometri UV-vis dengan panjang gelombang
antara 200-700 nm. Pada jenis transisi ini biasanya terjadi pergeseran hipokromik
pada pelarut yang polar (Gandjar dan Rohman, 2010).
4. Transisi phi ke phi bintang (π → π*)
Jenis transisi ini terjadi apabila molekul organik memiliki gugus
fungsional tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus tersebut dapat
memberikan orbital phi yang diperlukan. Jenis transisi ini juga merupakan transisi
yang paling cocok untuk analisa secara spektrofotometri UV-vis dengan panjang
gelombang antara 200-700 nm. Pada jenis transisi ini biasanya terjadi pergeseran
kearah panjang gelombang yang lebih panjang pada pelarut yang polar
(pergeseran batokromik) (Sastrohamidjojo, 2001).
E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
1. Definisi
Kromatografi cair kinerja tinggi atau biasa disebut dengan KCKT
merupakan teknik analisis dengan menggunakan bantuan kolom dan fase gerak.
Zat-zat terlarut atau solut akan terpisah karena adanya interaksi antara fase gerak
(29)
untuk pemisahan senyawa-senyawa organik dan anorganik, untuk analisis
senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap, dan untuk mengisolasi maupun
memurnikan senyawa (Gandjar dan Rohman, 2010).
Empat macam tipe utama teknik KCKT, yaitu fase normal, fase terbalik,
ion exchange, dan size exclusion. Keempat tipe ini dibedakan oleh tipe interaksi
molekuler yang terjadi. Ada tiga jenis tipe interaksi molekuler, yaitu ionic forces,
polar forces, dan dispersive forces (Kazakevich dan LoBrutto, 2007).
Gambar 6. Kromatogram yang menunjukkan pemisahan senyawa-senyawa pada suatu sampel (Kazakevich dan LoBrutto, 2007).
a) KCKT fase normal. Pada KCKT fase normal interaksi molekuler yang
dominan ialah tipe polar forces atau interaksi polar antara analit dengan fase
diam. Fase gerak bersifat non-polar (seperti hexana, heptana, dll) dengan
tambahan sedikit senyawa-senyawa polar (seperti metanol, etanol). Sedangkan
fase diam bersifat polar karena banyak mengandung gugus hidroksil (-OH)
dengan packing material seperti silika (SiO2) dan alumina (Al2O3) (Kazakevich
(30)
b) KCKT fase terbalik. Pada KCKT fase terbalik interaksi molekuler yang
dominan ialah tipe dispersive force (interaksi hidrofobik atau van der Waals)
antara analit dengan fase diam. Fase gerak pada KCKT fase terbalik bersifat polar.
Sedangkan fase diam bersifat non polar atau hidrofobik (Kazakevich dan
LoBrutto, 2007).
c) Kromatografi ion exchange. Pada kromatografi ion exchange interaksi
molekuler yang dominan ialah tipe ionic forces antara analit dengan fase diam.
Retensi analit dan selektivitas dalam kromatografi ion exchange sangat tergantung
pada pH dan kekuatan ionik dari fase gerak (Gandjar dan Rohman, 2010).
d) Kromatografi size exclusion. Pada kromatografi size exclusion pemisahan
molekul terjadi berdasarkan ukurannya. Faktor utama yang menentukan waktu
retensi analit ialah hydrodynamic radius dari molekul analit (Kazakevich dan
LoBrutto, 2007).
2. Instrumentasi
Pada kromatografi cair kinerja tinggi, sampel dimasukkan ke dalam tempat
injeksi yang menuju ke kolom kromatografi. Fase gerak dipompakan ke dalam
kolom. Zat-zat terlarut akan terpisah. Pemisahan zat-zat terlarut akan terdeteksi
oleh detektor pada saat zat-zat terlarut tersebut meninggalkan kolom. Hasil yang
diperoleh dari proses tersebut ialah suatu kromatogram yang terdiri dari signal
(31)
Gambar 7. Kromatogram yang terdiri dari signal detektor dan waktu (Snyder, dkk., 2010).
Instrumentasi dari KCKT terdiri dari beberapa komponen, yaitu wadah
fase gerak, pompa, tempat untuk memasukkan sampel, kolom, dan detektor
(Gandjar dan Rohman, 2010).
Gambar 8. Skema sistem dan instrumentasi yang digunakan pada KCKT (Snyder, dkk., 2010).
a) Wadah fase gerak. Wadah fase gerak harus bersih dan inert. Fase gerak
sebelum digunakan harus dilakukan penghilangan gas terlebih dahulu (degassing).
Penghilangan gas perlu dilakukan pada fase gerak agar tidak mengacaukan
analisis karena gas yang terkumpul dapat menyumbat pada kolom. Bahan-bahan
yang digunakan untuk membuat fase gerak dianjurkan memiliki kemurnian yang
sangat tinggi atau berstandar KCKT (HPLC grade). Selain itu sebelum digunakan
untuk mengaliri kolom, fase gerak harus disaring terlebih dahulu agar
pengotor-Sam pel Kolom Tempat injeksi Pompa Wadah fase gerak Detektor S i n y a l waktu
(32)
pengotor yang ada pada fase gerak tidak menyumbat kolom KCKT (Gandjar dan
Rohman, 2010).
b) Fase gerak. Fase gerak biasanya terdiri dari beberapa campuran pelarut
sehingga nantinya memiliki daya elusi yang diinginkan. Daya elusi tersebut akan
ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat
komponen-komponen sampel (Snyder, dkk, 2010).
Fase gerak yang biasanya digunakan pada KCKT fase terbalik ialah fase
gerak yang bersifat lebih polar, contohnya metanol dan asetonitril atau campuran
keduanya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan fase gerak, yaitu
kompatibilitas antar pelarut, polaritas, kelarutan sampel, viskositas, stabilitas, dan
pH. Selain itu fase gerak harus dapat tercampur dengan baik dan tidak terdapat
endapan apabila terdiri dari beberapa campuran pelarut (Kazakevich dan
LoBrutto, 2007).
Hal lainnya yang perlu diperhatikan pada fase gerak ialah tentang panjang
gelombang UV cut-off. Pelarut yang memiliki panjang gelombang UV cut-off
lebih tinggi dibandingkan panjang gelombang untuk analisis sampel tidak dapat
digunakan (Gandjar dan Rohman, 2010).
Tabel I. Panjang gelombang UV cut-off pada beberapa jenis pelarut (Kazakevich dan LoBrutto, 2007).
(33)
c) Pompa. Pompa yang digunakan untuk KCKT harus inert terhadap fase
gerak. Bahan yang umumya digunakan untuk pompa, yaitu gelas, baja tahan karat,
teflon, dan batu nilam. Tujuan dari penggunaan pompa dalam KCKT ialah untuk
menjamin proses penghantaraan fase gerak berlangsung secara tepat, konstan, dan
reprodusibel (Snyder, dkk, 2010).
d) Tempat injeksi. Tempat injeksi merupakan tempat untuk menginjeksikan
sampel menuju aliran fase gerak. Seiring dengan perkembangan jaman, tempat
injeksi tidak lagi manual tetapi sudah autosamplers. Autosamplers ini
memudahkan pengguna KCKT untuk mengatur volume yang akan diinjeksikan
berdasarkan program yang ada. Pengguna KCKT tinggal meletakkan sampel yang
ada di vial pada rak autosamplers (Kazakevich dan LoBrutto, 2007).
e) Kolom. Kolom merupakan bagian dari KCKT yang biasanya berbentuk
seperti tabung dengan diameter dan panjang tertentu. Pada kolom terdapat fase
diam di dalamnya. Fase diam pada KCKT umumnya berupa silika yang sudah
dimodifikasi secara kimiawi. Oktil silika (C8) merupakan jenis fase diam yang
biasanya digunakan untuk KCKT fase terbalik selain oktadesil silika.
Karakteristik dari oktil silika ialah memiliki sifat non polar. Akan tetapi gugus
silanol yang tersisa atau tidak direaksikan akan menyebabkan solut yang polar
atau bersifat basa akan mengekor. Batas pH untuk fase diam ini umumnya ialah
antara 2,5 - 7,5 (Gandjar dan Rohman, 2010).
f) Detektor. Detektor pada KCKT digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu
(34)
massa) dan detektor yang spesifik (seperti detektor UV-vis, detektor fluorosensi,
dan detektro elektrokimia). Detektor yang paling sering digunakan ialah detektor
UV-vis. Cara kerja detektor ini didasarkan atas penyerapan radiasi ultraviolet dan
sinar tampak pada kisaran panjang gelombang 190-800 nm oleh molekul yang
memiliki struktur atau gugus kromoforik (Snyder, dkk, 2010).
F. Parameter Validasi Metode Analisis
Validasi metode analisis merupakan suatu proses untuk menilai suatu
metode dan membuktikan bahwa metode tersebut sudah cocok untuk tujuan
analisisnya. Penilaian tersebut dapat dilihat dengan menggunakan
parameter-parameter tertentu berdasarkan percobaan di laboratorium (Harmita, 2004).
Parameter-parameter yang digunakan pada proses validasi metode analisis
sangat beragam tergantung tipe prosedur yang digunakan. Tipe prosedur yang
digunakan ada tiga, yaitu :
a) Kategori I : metode analitik untuk penentuan bahan baku obat atau bahan
aktif pada hasil akhir farmasetika.
b) Kategori II : metode analitik untuk penentuan campuran dalam bahan baku
atau komponen sisa pada produk akhir farmasetika.
c) Kategori III : metode analitik untuk penentuan performa karakteristik obat
(35)
Tabel II. Parameter validasi untuk tiap tipe prosedur (Ahuja dan Dong, 2005).
1. Akurasi
Akurasi merupakan suatu prosedur analisis untuk melihat ketelitian
metode analisis atau kesesuaian antara nilai yang diperoleh dari hasil analisis dan
nilai sebenarnya (Ermer dan Miller, 2005).
Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali. Akurasi dapat
ditentukan dengan dua cara, yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) dan
metode penambahan baku (standard addition method). Metode penambahan baku
dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah baku ke dalam sampel.
Sebelumnya sampel telah dianalisis terlebih dahulu. Selisih kedua hasil yang
didapat dibandingkan dengan kadar sebenarnya baku yang ditambahkan (Harmita,
(36)
Tabel III. Nilai recovery yang diperbolehkan untuk setiap kadar analit (Gonzalez dan Herrador, 2007).
2. Presisi
Presisi merupakan prosedur analisis untuk melihat derajad kesesuaian
hasil uji individual beberapa penginjeksian suatu seri standard. Presisi diukur
sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif. Presisi dapat dilakukan pada
tiga tingkatan yang berbeda, yaitu keterulangan (repeatability), presisi antara
(intermediate precision), dan ketertiruan (reproducibility) (Gandjar dan Rohman,
2010).
Presisi terdiri dari dua komponen, yaitu keterulangan dan presisi antara
(intermediate precision). Keterulangan merupakan variasi yang dirasakan oleh
satu analis pada satu instrument. Keterulangan tidak membedakan antara variasi
instrument atau sistem dan proses preparasi sampel. Keterulangan dilakukan
dengan cara menganalisis beberapa replikasi sampel dengan menggunakan
metode analisis. Kemudian dihitung simpangan baku relatifnya (koefisien variasi).
Intermediate precision merupakan variasi yang terjadi pada saat kerja di
(37)
Sebelumnya hal ini dikenal dengan ketangguhan (ruggednes) (Snyder, dkk.,
2010).
Kriteria seksama diberikan jika metode analisis memberikan simpangan
baku relatif atau koefisien variasi sebesar 2% atau kurang. Akan tetapi kriteria ini
dapat berubah sesuai dengan konsentrasi analit yang diperiksa, jumlah sampel,
dan kondisi laboratorium (Harmita, 2004).
Tabel IV. Kriteria penerimaan presisi untuk setiap kadar analit (Gonzalez dan Herrador, 2007).
3. Selektivitas atau spesifisitas
Selektivitas atau spesifisitas menggambarkan kemampuan suatu metode
analisis untuk mengukur analit yang diinginkan secara tepat dan spesifik pada
matriks sampel. Pada matriks sampel ada kemungkinan terdapat
komponen-komponen lainnya. Komponen-komponen-komponen lain yang mungkin terdapat di dalam
matriks sampel, yaitu pengotor, dan lain lain (Ermer dan Miller, 2005).
Spesifisitas suatu metode analisis dapat diketahui dengan cara melihat
(38)
satu cara untuk mengetahui spesifisitas metode analisis. Nilai resolusi yang
dianjurkan harus mendekati atau lebih dari 1,5 (Snyder, dkk., 2010).
4. Linearitas
Linearitas menggambarkan kemampuan suatu metode analisis untuk
mendapatkan hasil uji yang secara langsung proporsional terhadap konsentrasi
analit di dalam sampel. Pengukuran linearitas dapat dilakukan langsung pada
analit atau dapat dilakukan pada sampel yang telah ditambah analit. Linearitas
dapat dilihat dengan dua cara, yaitu secara evaluasi visual dan secara statistika
menggunakan regresi linear (Ermer dan Miller, 2005).
Pengukuran linearitas dilakukan dengan cara membuat seri baku terlebih
dahulu. Seri baku yang dibuat biasanya memiliki rentang antara 50-150% kadar
analit di dalam sampel. Suatu metode analisis dikatakan linear apabila memenuhi
persyaratan nilai koefisien korelasi (r) ≥ 0,999. Pembuatan kurva baku yang akan digunakan untuk perhitungan kadar zat sampel dapat dilakukan dengan tiga
macam teknik standar. Teknik standar tersebut, yaitu standar eksternal, standar
internal, dan standar adisi (Snyder, dkk., 2010).
Standar internal merupakan teknik standar yang menggunakan bahan lain
selain analit. Standar internal digunakan untuk mengkompensasi hilangnya
sampel pada saat ekstraksi dilakukan. Pada saat menggunakan standar internal
dalam metode analisis tetap digunakan standar eksternal. Standar internal
ditambahkan ke dalam seri baku standar eksternal yang telah dibuat dengan
(39)
5. Rentang
Rentang merupakan interval antara batas terendah dan tertinggi analit yang
telah memenuhi persyaratan keakuratan, keseksamaan, dan lineritas (Harmita,
2004). Rentang kerja dari suatu metode analisis didapatkan dari hasil karakteristik
validasi yang didapatkan pada bagian akurasi, presisi, dan lineritas (Ermer dan
Miller, 2005).
G. Landasan Teori
Nikotin merupakan senyawa golongan alkaloid yang terkandung di dalam
daun tembakau. Senyawa ini tersusun dari cincin piridin dan cincin pirolidin.
Salah satu produk tembakau ialah rokok. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
nomor 109 tahun 2012 Pasal 10 Ayat 1, “setiap orang yang memproduksi produk
tembakau berupa rokok harus melakukan pengujian kandungan kadar nikotin dan
tar per batang untuk setiap varian yang diproduksi”, oleh karena itu diperlukan
metode yang mempunyai sensitivitas dan selektivitas yang tinggi untuk
menetapkan kadar nikotin.
Metode analisis yang digunakan ialah KCKT fase terbalik. Metode ini
dipilih karena berdasarkan penelitian sebelumnya metode ini dapat memberikan
hasil yang baik dalam penetapan kadar nikotin di dalam ekstrak etanolik daun
tembakau. Proses ekstraksi yang dilakukan cukup panjang sehingga diperlukan
standar internal asetanilida untuk mengkompensasi hilangnya nikotin pada saat
ekstraksi dilakukan. Nikotin memiliki kromofor sehingga detektor yang dipilih
(40)
penggunaan fase diam oktil silika (C8) dan fase gerak metanol:ammonium asetat
10 mM + TEA 0,1% (70:30) dengan kecepatan alir 1,0 mL/menit. Hasil yang
didapatkan yaitu resolusi 3,915; TF nikotin 1,983 dan TF asetanilida1,699.
Metode KCKT yang telah optimum harus divalidasi terlebih dahulu
sebelum dilakukan penetapan kadar agar hasil analisis yang didapatkan nantinya
dapat dipertanggungjawabkan, dapat dipercaya, dan dapat diterima berdasarkan
parameter-parameter validasi yang digunakan. Parameter-paramater validasi yang
digunakan, meliputi selektivitas yang ditentukan dengan resolusi, linearitas yang
ditentukan dengan koefisien korelasi (r), akurasi yang ditentukan dengan persen
perolehan kembali (recovery), presisi yang ditentukan dengan koefisien variasi,
dan rentang yang ditentukan dari kadar terendah sampai tertinggi sampel yang
memenuhi parameter linearitas, akurasi, dan presisi.
H. Hipotesis
Metode KCKT fase terbalik memberikan kondisi optimum pemisahan
pada penggunaan fase diam oktil silika (C8) dan fase gerak metanol:ammonium
asetat 10 mM + TEA 0,1% (70:30) dengan kecepatan alir 1,0 mL/menit pada
penetapan kadar nikotin dalam ekstrak etanolik rokok memenuhi
parameter-parameter validasi, meliputi selektivitas yang ditentukan dengan resolusi,
linearitas yang ditentukan dengan koefisien korelasi (r), akurasi yang ditentukan
dengan persen perolehan kembali (recovery), presisi yang ditentukan dengan
koefisien variasi, dan rentang yang ditentukan dari kadar terendah sampai
(41)
24 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental, karena tidak
dilakukan perlakuan atau manipulasi pada subjek uji yang digunakan dan
merupakan rancangan deskriptif karena hanya menggambarkan data yang
diperoleh.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sistem KCKT fase terbalik dengan fase diam oktil silika (C8) dan fase gerak metanol:ammonium asetat 10 mM +
TEA 0,1% (70:30) dengan kecepatan alir 1,0 mL/menit.
2. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah parameter validasi yaitu selektivitas, linearitas, akurasi, presisi, dan rentang.
3. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini, yaitu :
a. Larutan baku nikotin yang bersifat mudah teroksidasi oleh udara dan
cahaya. Hal ini diatasi dengan menggunakan alumunium foil untuk
menutupi alat-alat gelas.
(42)
C. Definisi Operasional
1. Sistem KCKT yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode KCKT fase terbalik yang menggunakan fase diam oktil silika (C8) dan fase gerak
metanol:ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1% (70:30) dengan kecepatan alir
1,0 mL/menit.
2. Kadar nikotin dinyatakan dalam satuan µg/mL.
3. Validasi metode yang dilakukan pada penelitian ini meliputi pengukuran terhadap parameter-parameter validasi yaitu selektivitas, linearitas, akurasi,
presisi, dan rentang.
D. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan memiliki kualitas pro analysis kecuali dinyatakan
lain, yaitu baku nikotin (E. Merck), asetanilida (E. Merck), ammonium asetat
(E.Merck), metanol (E. Merck), kalium hidroksida (E. Merck), kloroform (E.
Merck), trietilamin (E. Merck), etanol teknis, aquadest, dan aquabidest yang
didapatkan dari Laboratorium Kimia Analisis Instrumen Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rokok
“Merek X” yang dibeli di Lotte Mart Yogyakarta.
E. Alat Penelitian
Alat yang digunakan berupa : seperangkat alat spektrofotometri UV-VIS
merek Shimadzu tipe Uv mini-1240, seperangkat KCKT fase terbalik merek
(43)
merek Shimadzu), kolom oktil silika (C8) merek Shimadzu (spesifikasi ukuran
diameter internal 4,6 mm x 25 cm, ukuran diameter partikel 5 µ m fully encapped
residual silanol), seperangkat komputer merek Dell B6RDZ1S Connexant System
RD01-D850 A0-0382 JP France S.A.S, printer HP Deskjet D2566 HP-024-000
625 730, ultrasonikator merek Retsch tipe T460 No V935922013 EY, destilator
aquabidest merek Thermo Scientific, syringe, neraca analitik Scaltec SBC 22
(max 60/120 g, min 0,001 g, d=0,01/0,1 mg), milipore filter, mikropipet Socorex,
organic and anorganic solvent membrane filter (Whatman) ukuran pori 0,45 m
dengan diameter 47 mm, pompa vakum, sentrifuge dan seperangkat alat gelas
(Pyrex).
F. Tata Cara Penelitian
1. Pembuatan Ammonium Asetat 10 mM dan TEA 0,1%
a. Pembuatan larutan ammonium asetat 10 mM. Menimbang seksama
kurang lebih 0,7708 g ammonium asetat (BM = 77,08), dilarutkan dengan
aquabidest pada labu takar 1000 mL hingga batas tanda. Didapatkan larutan
ammonium asetat 10 mM.
b. Pembuatan trietilamin (TEA) 0,1% v/v. Mengambil sebanyak 1 mL
trietilamin, ditambahkan ke dalam larutan ammonium asetat, dilarutkan dengan
aquabidest pada labu takar 1000 mL hingga batas tanda. Didapatkan larutan
(44)
2. Pembuatan Fase Gerak
Fase gerak yang digunakan yaitu campuran metanol:ammonium
asetat+TEA 0,1% dengan perbandingan 70:30. Masing-masing larutan disaring
menggunakan kertas saring Whatman yang dibantu dengan pompa vaccum dan
diawaudarakan selama 15 menit. Pencampuran fase gerak dilakukan diluar sistem
KCKT.
3. Pembuatan Larutan Standar Internal Asetanilida
a. Pembuatan larutan stok asetanilida. Menimbang seksama kurang lebih
0,5 gram asetanilida, dilarutkan dengan metanol pada labu takar 10,0 mL hingga
batas tanda. Didapatkan larutan stok asetanilida 50 mg/mL.
b. Pembuatan larutan intermediet asetanilida. Larutan intermediet
asetanilida 2,5 mg/mL dibuat dengan cara mengambil 0,5 mL larutan stok
asetanilida 50 mg/mL, dimasukkan ke dalam labu takar 10,0 mL, kemudian
diencerkan dengan metanol hingga batas tanda.
c. Pembuatan larutan intermediet kerja asetanilida. Larutan intermediet
kerja asetanilida 0,1 mg/mL (100 µg/mL) dibuat dengan cara mengambil 0,2 mL
larutan intermediet asetanilida 2,5 mg/mL, dimasukkan ke dalam labu takar 5,0
mL, kemudian diencerkan dengan metanol hingga batas tanda.
4. Pembuatan Larutan Baku Nikotin
a. Pembuatan larutan stok baku nikotin. Larutan stok dibuat dengan cara
(45)
labu takar 5,0 mL. Larutan diencerkan dengan metanol hingga batas tanda.
Didapatkan larutan stok nikotin 0,1 g/mL (100 mg/mL).
b. Pembuatan larutan intermediet baku nikotin. Larutan intermediet
nikotin 10 mg/mL dibuat dengan cara mengambil 0,5 mL larutan stok nikotin 100
mg/mL, dimasukkan ke dalam labu takar 5,0 mL, kemudian diencerkan dengan
metanol hingga batas tanda.
c. Pembuatan larutan intermediet kerja baku nikotin. Larutan intermediet
kerja nikotin 0,2 mg/mL (200 µg/mL) dibuat dengan cara mengambil 0,2 mL
larutan intermediet asetanilida 10 mg/mL, dimasukkan ke dalam labu takar 10,0
mL, kemudian diencerkan dengan metanol hingga batas tanda.
d. Pembuatan seri larutan baku nikotin. Dibuat seri larutan baku dengan
konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan 100 µg/mL dengan cara mengambil sebanyak 500,
600; 700; 800 dan 900 µL dari larutan intermediet kerja nikotin, dimasukkan ke
dalam labu takar 5,0 mL, kemudian diencerkan dengan metanol hingga batas
tanda.
e. Pembuatan seri larutan baku nikotin dengan penambahan standar
internal asetanilida. Standar internal asetanilida 20 µg/mL dibuat dengan cara
mengambil sebanyak 500 µL larutan intermediet kerja asetanilida, dimasukkan ke
dalam labu takar 5,0 mL yang sebelumnya telah diisi seri larutan baku nikotin
(500, 600; 700; 800 dan 900 µ L larutan intermediet kerja nikotin), kemudian
(46)
5. Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan
a. Penentuan panjang gelombang pengamatan nikotin. Dilakukan
screening larutan baku nikotin 20 µg/mL, 30 µg/mL, dan 40 µg/mL pada daerah
panjang gelombang 225 – 300 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Panjang gelombang pengamatan ditentukan berdasarkan spektra serapan
maksimum yang dihasilkan.
b. Penentuan panjang gelombang pengamatan asetanilida. Dilakukan
screening larutan baku asetanilida 1 µg/mL, 5 µg/mL, dan 10 µg/mL pada panjang
gelombang 225 – 300 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Panjang
gelombang pengamatan ditentukan berdasarkan spektra serapan maksimum yang
dihasilkan.
6. Penyiapan Sampel
a. Pembuatan KOH 10 M. Menimbang seksama lebih kurang 56,11 g
(BM=56,11), dimasukkan ke dalam labu takar 100,0 mL, kemudian diencerkan
dengan aquabidest hingga batas tanda.
b. Pembuatan KOH 0,1 M. Mengambil 2,0 mL KOH 10 M, dimasukkan
ke dalam labu takar 200,0 mL, kemudian diencerkan dengan aquabidest hingga
batas tanda.
c. Preparasi sampel rokok. Diambil 20 batang rokok “merek X” yang telah
dibeli, dipotong tegak lurus bagian batang rokok. Bagian batang rokok yang
mengandung serbuk tembakau dan cengkeh dikeluarkan. Serbuk diaduk kemudian
(47)
dengan ayakan nomor mesh 16, didapatkan campuran serbuk halus tembakau
yang lolos dari ayakan. Campuran serbuk halus tembakau ini siap untuk
diekstraksi lebih lanjut.
d. Ekstraksi sampel. Sebanyak 0,2 g serbuk sampel rokok dilarutkan
dalam 20 mL etanol teknis, kemudian ditambahkan 20 µL asetanilida 10 mg/mL.
Larutan tersebut dipanaskan di atas waterbath pada suhu 70oC selama 10 menit.
Setelah selesai dipanaskan, larutan etanol diambil 5,0 mL, dimasukkan ke dalam
flakon. Larutan tersebut kemudian diuapkan di atas waterbath pada suhu 70oC
hingga didapatkan estrak kental. Ekstrak kental yang didapatkan ditambahkan 1,0
mL KOH 0,1 M dan 4,0 mL aquabidest, diawadurakan hingga seluruh ekstrak
kental terlarut. Larutan tersebut kemudian dipindahkan ke dalam tabung
sentrifuge, ditambahkan 3,0 mL kloroform, divortex selama 30 detik. Setelah
divortex, disentrifugasi selama 24 menit dengan kecepatan 4000 rpm. Setelah
selesai disentrifugasi, didapatkan dua fase cair yang tidak saling campur, diambil
fase kloroform (bagian bawah), dimasukkan ke dalam flakon. Proses ini dilakukan
kembali sehingga nanti didapatkan fase kloroform kedua. Fase kloroform
kemudian digabung menjadi satu, diuapkan hingga seluruh pelarut menguap,
ditambahkan 5,0 mL fase gerak, diawaudarakan selama lebih kurang 5 menit.
Diambil 1,0 mL larutan yang telah diawaudarakan, disaring dengan milipore dan
dimasukkan ke dalam vial KCKT, vial KCKT diawaudarakan selama lebih kurang
(48)
7. Validasi Metode
a. Penentuan resolusi sampel. Sebanyak 20 µL hasil ekstraksi sampel yang
telah disaring dengan milipore dan diawaudarakan selama 15 menit diinjeksikan
pada sistem KCKT fase terbalik dengan fase diam oktil silika (C8) dan fase gerak
metanol:ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1% (70:30) dengan kecepatan alir 1,0
mL/menit. Dilakukan repetisi tiga kali. Resolusi dihitung dengan memasukkan
selisih waktu retensi dan lebar setengah tinggi peak nikotin ke dalam rumus
perhitungan resolusi.
b. Pembuatan kurva baku dan penentuan linearitas. Dibuat seri larutan
baku nikotin dengan konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan 100 µg/mL sebanyak 1 mL,
masing-masing larutan ditambahkan standar internal asetanilida 20 µg/mL
sebanyak 100 µL, kemudian disaring dengan menggunakan milipore kemudian
diawaudarakan selama 15 menit. Sebanyak 20 µL dari masing-masing larutan
diinjeksikan pada sistem kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik dengan fase
diam oktil silika (C8) dan fase gerak metanol:ammonium asetat 10 mM + TEA
0,1% (70:30) dengan kecepatan alir 1,0 mL/menit. Dari kromatogram akan
diperoleh luas area nikotin dan luas area asetanilida untuk masing-masing
konsentrasi. Luas area ini kemudian dibandingkan sehingga didapatkan
perbandingan luas area nikotin terhadap asetanilida. Perbandingan kedua luas area
ini kemudian diplotkan terhadap konsentrasi nikotin untuk memperoleh regresi
linear dengan persamaan y = bx + a dan nilai koefisien korelasi (r) yang akan
(49)
c. Penentuan perolehan kembali (recovery) dan penentuan koefisen variasi
adisi baku nikotin dalam sampel. Dibuat dua macam larutan yaitu larutan sampel
dan larutan sampel yang ditambahkan baku nikotin (adisi). Larutan sampel dibuat
dengan tiga tingkatan berdasarkan penimbangan sampel rokok. Larutan sampel
pertama untuk level rendah dibuat dengan cara menimbang sampel sebanyak 125
mg, kemudian dilakukan ekstraksi sampel. Larutan sampel kedua untuk level
sedang dibuat dengan cara menimbang sampel sebanyak 150 mg, kemudian
dilakukan ekstraksi sampel. Larutan sampel ketiga untuk level tinggi dibuat
dengan cara menimbang sampel sebanyak 175 mg. Ekstrak sampel siap untuk
diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan cara mengambil 1,0 mL ekstrak
sampel, disaring dengan milipore dan dimasukkan ke dalam vial KCKT, vial
KCKT diawaudarakan selama lebih kurang 2 menit. Sampel siap diinjeksikan.
Dilakukan replikasi sebanyak tiga kali untuk tiap level. Larutan sampel yang
ditambahkan baku nikotin (adisi) dibuat dengan cara menambahkan baku nikotin
pada vial KCKT untuk setiap level, untuk level rendah ditambahkan 2,5 µg/mL,
untuk level sedang ditambahkan 5 µg/mL, dan untuk level tinggi ditambahkan 10
µg/mL. Setiap level perlakuan dilakukan replikasi sebanyak tiga kali. Kadar baku
nikotin yang ditambahkan dalam sampel merupakan selisih nilai kadar sampel
adisi dan kadar sampel. Kemudian dihitung perolehan kembali (recovery),
(50)
G. Analisis Hasil
1. Selektivitas
Selektivitas ditentukan dengan menghitung resolusi dari kromatogram
yang dihasilkan oleh ekstraksi sampel rokok. Menurut Synder dkk. (2010), syarat
resolusi yang baik yaitu dimana senyawa analit terpisah dari senyawa-senyawa
yang lain adalah ≥ 1,5.
Resolusi dihitung dengan rumus :
(3)
Dimana : Rs = resolusi
t2 = waktu retensi puncak kedua t1 = waktu retensi puncak pertama
0,5W(1) = lebar setengah tinggi puncak pertama 0,5W(2) = lebar setengah tinggi puncak kedua
2. Linearitas dan Rentang
Linearitas ditentukan dengan nilai koefisien korelasi (r), yang diperoleh
dari AUC baku nikotin yang diplotkan terhadap konsentrasi baku. Nilai r yang
dipersyaratkan adalah ≥ 0,999 (Snyder, dkk, 1997). Sedangkan rentang diperoleh dari kadar terendah hingga tertinggi sampel yang memberikan akurasi, presisi, dan
linearitas yang baik.
3. Akurasi
Menurut Harmita (2004), akurasi ditentukan dengan persen perolehan
kembali (recovery), yang dapat dihitung dengan rumus :
(4) x 100%
(51)
Kriteria penerimaan nilai recovery berdasarkan Gonzalez dan Herrador, 2007
ialah sebagai berikut :
4. Presisi
Menurut Gandjar dan Rohman (2010), presisi dinyatakan dengan koefisien
variasi (KV), yang dapat dihitung dengan rumus :
(5)
Kriteria penerimaan KV berdasarkan Gonzalez dan Herrador, 2007 ialah sebagai
(52)
35 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan validitas metode KCKT fase
terbalik pada penetapan kadar nikotin dalam ekstrak etanolik rokok dengan
melihat parameter-parameter validasi, yaitu selektivitas, linearitas, akurasi, dan
presisi. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan rentang kadar
sampel yang memenuhi parameter linearitas, akurasi, dan presisi yang baik.
Metode KCKT fase terbalik dipilih sebagai metode analisis karena dapat
memisahkan senyawa multikomponen yang terdapat pada ekstrak rokok dan
sekaligus mengkuantifikasinya.
A. Pemilihan Komponen Fase Gerak
Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini ialah campuran antara
metanol dan ammonium asetat 10 mM dengan penambahan TEA sebanyak 0,1%
dengan perbandingan 70:30. Fase gerak ini merupakan hasil optimasi fase gerak
dari penelitian sebelumnya yang menghasilkan pemisahan yang optimal
(Antonius, 2013).
Metanol digunakan dalam komponen fase gerak karena metanol dapat
melarutkan nikotin dan asetanilida. Penambahan ammonium asetat berdasarkan
pada Anonima (2012) yang menggunakan sistem KCKT dengan detektor UV-Vis
(260 nm), kecepatan alir 1,0 mL/menit, kolom C18, fase gerak ammonium asetat
(53)
ammonium asetat berfungsi mengatur pH fase gerak menjadi kurang dari 8
(Snyder, dkk., 2010). Trietilamin (TEA) 0,1 % ditambahkan ke dalam ammonium
asetat dengan tujuan untuk menutup gugus-gugus silanol bebas yang masih ada di
dalam kolom C8 sehingga peristiwa peak tailing dapat diminimalisir. Penutupan
gugus silanol oleh TEA berdasarkan interaksi ionik yang terjadi di antara kedua
senyawa tersebut.
Si O NH
CH2
H2C
CH3
CH3 H2C
CH3
Gambar 9. Interaksi ionik antara silanol dan TEA (Schug dan Taylor, 2012)
B. Pembuatan Larutan Baku Nikotin dan Asetanilida
Larutan baku nikotin dibuat dengan cara melarutkan sejumlah tertentu
baku nikotin ke dalam pelarut. Pelarut yang digunakan ialah metanol. Metanol
dipilih sebagai pelarut baku nikotin karena dapat melarutkan nikotin dan dapat
bercampur dengan fase gerak yang digunakan. Hal ini sesuai dengan syarat yang
dianjurkan oleh Snyder, dkk (2010) bahwa pelarut analit yang digunakan harus
dapat bercampur dengan fase gerak yang digunakan.
Seri baku nikotin dibuat dalam lima tingkat konsentrasi. Pada seri baku
tersebut ditambahkan standar internal dalam konsentrasi tetap ke dalamnya.
Penggunaan standar internal ini biasanya digunakan untuk metode analisis yang
membutuhkan proses preparasi sampel yang panjang. Standar internal yang
silanol
(54)
digunakan ialah asetanilida. Asetanilida dipilih sebagai standar internal karena
dapat terpisah sempurna dengan peak analit, tidak terdapat di sampel rokok, dan
memiliki kemiripan struktur kimiawi dengan analit sehingga diharapkan dapat
menyerupai perilaku analit di setiap tahap preparasi sampel. Seri konsentrasi baku
nikotin yang dibuat yaitu 20, 40, 60, 80, dan 100 µg/mL dengan penambahan
asetanilida sebesar 10 µg/mL.
C. Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan Nikotin dan Asetanilida
Penentuan panjang gelombang nikotin dan asetanilida dilakukan untuk
memperoleh panjang gelombang pengamatan yang memberikan serapan
maksimum (λmaksimum). Panjang gelombang nikotin ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer UV, secara teoritis nikotin memiliki serapan
maksimum pada panjang gelombang 260 nm. Nikotin dapat memberikan serapan
pada daerah sinar ultraviolet karena memiliki kromofor pada bagian cincin
piridinnya. Pengukuran λmaksimum nikotin menggunakan tiga seri konsentrasi nikotin, yaitu 20, 30, dan 40 µg/mL dengan scanning panjang gelombang dari
200-300 nm.
Gambar 10. Kromofor pada nikotin dan asetanilida
Kromofor
Nikotin Kromofor
(55)
Gambar 11. Spektra λmaksimum nikotin pada tiga tingkat konsentrasi, 20, 30, dan 40
µg/mL. Keterangan : A = konsentrasi 20 µg/mL, absorbansi 0,291, λmaksimum 260,5; B = konsentrasi 30 µg/mL, absorbansi 0,53791, λmaksimum 260,5; C = konsentrasi 40 µg/mL,
absorbansi 0,655, λmaksimum 260
Pada gambar di atas menunjukkan bentuk spektra nikotin. Bentuk spektra
nikotin ini dapat digunakan sebagai analisis kualitatif, karena setiap senyawa
memiliki bentuk spektra yang berbeda-beda. Hasil scanning panjang gelombang
nikotin menunjukkan bahwa nikotin memiliki λmaksimum yang berbeda untuk tiap konsentrasi. Pada konsentrasi 20 dan 30 µg/mL, λmaksimum dari hasil pengukuran ialah 260,5 nm. Sedangkan pada konsentrasi 40 µg/mL, λmaksimum dari hasil pengukuran ialah 260 nm. Hasil pengukuran yang didapatkan ini masih
memenuhi persyaratan toleransi pengukuran λmaksimum. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1995), toleransi pengukuran λmaksimum untuk suatu senyawa ialah 2 nm dari panjang gelombang yang ditentukan.
A
B
(56)
Panjang gelombang asetanilida juga ditentukan dengan menggunakan
spektrofotometer UV, secara teoritis asetanilida memiliki serapan maksimum
pada panjang gelombang 239 nm. Asetanilida memiliki kromofor pada cincin
benzenanya sehingga dapat memberikan serapan pada daerah sinar ultraviolet.
Pengukuran λmaksimum asetanilida menggunakan tiga seri konsentrasi asetanilida, yaitu 1, 5, dan 10 µg/mL dengan scanning panjang gelombang dari
200-300 nm.
Gambar 12. Spektra λmaksimum asetanilida pada tiga tingkat konsentrasi, 1, 5, dan 10 µg/mL. Keterangan : A = konsentrasi 1 µg/mL, absorbansi 0,239, λmaksimum 240; B = konsentrasi 5 µg/mL, absorbansi 0,361, λmaksimum 240,5; C = konsentrasi 10 µg/mL,
absorbansi 0,776, λmaksimum 240,5
Gambar 12 di atas menunjukkan bentuk spektra asetanilida. Hasil scanning
panjang gelombang asetanilida menunjukkan bahwa asetanilida memiliki
λmaksimum yang berbeda untuk tiap konsentrasi. Pada konsentrasi 1 µg/mL,
λmaksimum dari hasil pengukuran ialah 240 nm. Sedangkan pada konsentrasi 5 dan 10 µg/mL, λmaksimum dari hasil pengukuran ialah 240,5 nm. Hasil
A
B
(57)
pengukuran yang didapatkan ini masih memenuhi persyaratan toleransi
pengukuran λmaksimum.
Penentuan panjang gelombang pengamatan berdasarkan analisis hasil
pengukuran λmaksimum nikotin dan asetanilida. Panjang gelombang pengamatan yang dipilih ialah 260 nm. Pemilihan ini berdasarkan λmaksimum dari nikotin. Menurut Gandjar dan Rohman (2010), pada λmaksimum, kepekaan yang didapatkan juga maksimum karena perubahan absorbansi untuk setiap satuan
konsentrasi adalah yang paling besar.
Pada penelitian ini, nikotin merupakan analit yang diukur di dalam sampel
sehingga konsentrasinya dapat berubah-ubah, oleh karena itu untuk meningkatkan
kepekaan pengukuran nikotin digunakan λmaksimum nikotin, yaitu 260 nm. Sedangkan asetanilida pada penelitian ini digunakan sebagai standar internal,
konsentrasi asetanilida diketahui dan tidak berubah-ubah sehingga tidak masalah
apabila tidak digunakan λmaksimum asetanilida.
D. Proses Ekstraksi Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini ialah rokok “Merek X”.
Rokok mengandung senyawa multikomponen sehingga perlu adanya proses
ekstraksi yang tepat untuk mengekstraksi nikotin dari dalam rokok. Ekstraksi
sampel dilakukan dengan dua cara, yaitu ekstraksi padat-cair dan ekstraksi
cair-cair. Pada ekstraksi padat-cair, sampel rokok diestraksi menggunakan etanol. Hal
ini bertujuan untuk mengambil nikotin yang ada pada sampel. Pada tahap ini tidak
(58)
dalam etanol akan ikut terekstraksi. Penambahan asetanilida dilakukan sebelum
ekstraksi dimulai dan digunakan sebagai standar internal.
Pada ekstraksi cair-cair, cairan ekstrak etanolik yang telah diuapkan
ditambahkan aquabidest, larutan KOH 0,1%, dan kloroform. Penambahan ketiga
larutan tersebut akan membentuk dua lapisan yang tidak saling campur, yaitu
lapisan aquabides dan lapisan kloroform. Penambahan larutan KOH 0,1%
dilakukan untuk menciptakan suasana basa pada campuran aquabides dan
kloroform dengan pH 8. Pada pH ini senyawa nikotin akan lebih banyak berada
dalam bentuk unprotonated dibandingkan bentuk monoprotonated, seperti yang
ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 13. Hubungan derajat protonasi nikotin dengan pH (Geiss dan Kotzias, 2007).
Bentuk unprotonated nikotin yang lebih banyak ini akan memudahkan
senyawa ini terlarut ke dalam pelarut non polar, yaitu kloroform karena bentuk
unprotonated nikotin bersifat lebih non polar dibandingkan bentuk
Unprot onat ed M onoprot onat ed
Diprot onat ed Persen
(59)
monoprotonated nikotin. Pada ekstraksi cair-cair ini, senyawa-senyawa yang
bersifat polar akan terdistribusi ke dalam aquabides, sedangkan senyawa-senyawa
yang bersifat non polar akan terdistribusi ke dalam kloroform. Pada tahap ini
dilakukan pencampuran menggunakan vortex dan sentrifugasi menggunakan
sentrifuge. Pencampuran menggunakan vortex dilakukan selama 30 detik agar
terjadi distribusi senyawa polar dan non polar ke dalam pelarut polar dan pelarut
non polar. Sentrifugasi dilakukan selama 24 menit dengan kecepatan putar 4000
rpm. Prinsip dari sentrifugasi ialah untuk memisahkan senyawa-senyawa
berdasarkan bobot molekulnya dengan bantuan kecepatan putar dan gravitasi.
Tujuan ekstraksi cair-cair pada penelitian ini ialah untuk proses cleaning up analit
dari senyawa-senyawa lain yang terdapat di dalam ekstrak rokok. Sampel kering
ekstrak etanol fraksi kloroform siap diinjeksikan setelah dilarutkan ke dalam
metanol 30%.
E. Waktu Retensi Nikotin dan Asetanilida
Waktu retensi merupakan waktu yang dibutuhkan oleh suatu senyawa
untuk meninggalkan kolom sehingga dapat dideteksi oleh detektor. Waktu retensi
dapat digunakan sebagai salah satu parameter analisis kualitatif karena tiap
senyawa memiliki waktu retensi yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh
interaksi yang terjadi dari senyawa tersebut dengan fase diam dan fase gerak yang
digunakan. Waktu retensi senyawa akan menjadi lebih singkat apabila
(60)
pula sebaliknya, waktu retensi senyawa menjadi lebih lama apabila interaksinya
dengan fase diam lebih kuat dibandingkan dengan fase gerak.
Pada penelitian ini fase diam yang digunakan merupakan oktil silika (C8)
yang bersifat lebih non polar dibandingkan fase geraknya metanol:ammonium
asetat 10mM + TEA 0,1% (70:30). Senyawa yang akan dianalisis ialah nikotin
dan asetanilida. Berdasarkan struktur molekulernya, asetanilida bersifat lebih
polar dibandingkan dengan nikotin. Hal ini dikarenakan gugus heteroatom pada
asetanilida lebih banyak dibandingkan dengan nikotin. Asetanilida memiliki dua
heteroatom (N dan O), sedangkan nikotin hanya memiliki satu heteroatom (N).
Selain itu apabila dilihat dari nilai polar surface area berdasarkan pada Anonimb
(2013), nikotin memiliki nilai sebesar 16,13, sedangkan asetanilida memiliki nilai
sebesar 29,10. Hal ini menunjukkan bahwa asetanilida bersifat lebih polar
dibandingkan dengan nikotin.
Gambar 14. Bagian polar dan non polar pada nikotin dan asetanilida
Nikotin Asetanilida
Keterangan : Polar : Non polar : Keterangan :
Polar : Non polar :
(61)
Gambar 15. Kromatogram baku nikotin dan asetanilida
Gambar 15 di atas menunjukkan hasil pemisahan yang terjadi antara baku
nikotin dan asetanilida. Asetanilida memiliki tR sebesar 3,645 menit, sedangkan
nikotin memiliki tR sebesar 4,638 menit. Hal ini membuktikan bahwa asetanilida
bersifat lebih polar dibandingkan dengan nikotin karena memiliki tR yang lebih
singkat. Selain faktor kepolaran senyawa, waktu retensi nikotin dan asetanilida
juga ditentukan oleh koefisien distribusi (D), semakin besar nilai D maka semakin
lambat migrasi analit karena afinitas relatif analit diantara dua fase (fase diam dan
fase gerak) lebih besar pada fase diam. Berdasarkan hasil penelitian Antonius
(2013), koefisien distribusi asetanilida sebesar 0,0150 dan koefisien distribusi
nikotin sebesar 0,0298, oleh karena itu waktu retensi asetanilida lebih singkat
dibandingkan waktu retensi nikotin.
F. Pembuatan Kurva Baku
Kurva baku merupakan kurva yang menunjukkan hubungan antara respon
instrumen yang digunakan dan konsentrasi analit yang telah diketahui. Hasil dari
(62)
merupakan respon instrument (area under curve), b merupakan slope, x
merupakan konsentrasi analit, dan a merupakan intersep.
Persamaan regresi linear yang digunakan harus memenuhi persyaratan
koefisien korelasi (r). Koefisien korelasi menunjukkan linearitas suatu metode.
Menurut Snyder, dkk (2010), suatu metode analisis dikatakan linear apabila
memenuhi persyaratan nilai koefisien korelasi (r) ≥ 0,999. Pada penelitian ini dibuat tiga replikasi kurva baku. Kurva baku yang memberikan nilai r paling baik
akan digunakan untuk pengujian parameter-parameter validasi.
Tabel V. Persamaan regresi linear baku nikotin dan asetanilida
Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3
Konsentrasi nikotin (µg/mL) AUC nikotin / AUC asetanilida Konsentrasi nikotin (µg/mL) AUC nikotin / AUC asetanilida Konsentrasi nikotin (µg/mL) AUC nikotin / AUC asetanilida 20 0,821437 20 1,13377 20 0,950709 40 1,84410 40 2,51173 40 1,84429 60 2,85491 60 3,80095 60 3,32943 80 3,86590 80 5,21319 80 4,38124 100 4,95714 100 6,17602 100 5,45552 A = -0,2193
B = 0,05147 r = 0,9999
y = 0,5147x-0,2193
A = -0,06866 B = 0,06393 r = 0,9982
y = 0,06393x-0,06866
A = -0,2717 B = 0,05773 r = 0,9976
y = 0,05773x-0,2717
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa replikasi pertama menunjukkan hasil
koefisien korelasi yang paling baik dengan nilai r yang didapatkan sebesar 0,9999.
Persamaan regresi linear yang diperoleh adalah y = 0,5147x-0,2193. Persamaan
regresi linear inilah yang nantinya digunakan untuk pengujian
(63)
G. Validasi Metode
Validasi metode merupakan suatu rangkaian proses evaluasi untuk
membuktikan bahwa metode analisis yang digunakan sudah sesuai untuk
tujuannya. Referensi yang digunakan pada penelitian ini ialah validasi metode
kategori I. Validasi metode kategori ini digunakan untuk kuantifikasi bahan aktif
yang ada pada sampel. Sampel yang digunakan merupakan rokok sehingga bahan
aktif yang ada di dalamnya ialah nikotin. Parameter-parameter validasi yang
diujikan, yaitu selektivitas, akurasi, presisi, linearitas, dan rentang.
1. Selektivitas
Selektivitas menggambarkan kemampuan suatu metode analisis untuk
dapat memisahkan senyawa analit secara tepat dan spesifik dari senyawa-senyawa
lainnya yang ada pada matriks sampel. Parameter yang digunakan untuk
selektivitas ialah nilai resolusi. Menurut Snyder, dkk (2010) suatu metode analisis
dikatakan selektif apabila memiliki resolusi ≥ 1,5. Nilai resolusi ini menunjukkan pemisahan yang terjadi diantara puncak kromatogram. Pemisahan yang terjadi
baru dapat diterima apabila memenuhi syarat nilai resolusi yang baik.
Pada penelitian ini penentuan selektivitas dilakukan dengan cara melihat
nilai resolusi dari kromatogram sampel. Hasil yang didapatkan sebagai berikut :
Tabel VI. Hasil perhitungan resolusi sampel
Repetisi Resolusi Rata-rata resolusi 1 2,975
2,929 2 2,937
(64)
Tabel VI di atas dapat dilihat bahwa semua repetisi yang dilakukan
memenuhi syarat nilai resolusi yang baik dengan rata-rata resolusi yang
didapatkan ialah 2,929. Hal ini menunjukkan bahwa metode analisis yang
digunakan memiliki selektivitas yang baik sehingga senyawa analit dapat terpisah
secara tepat dan spesifik dari senyawa-senyawa lainnya yang ada pada matriks
sampel.
2. Linearitas
Linearitas menggambarkan kemampuan suatu metode analisis untuk
mendapatkan hasil maupun respon yang proposional terhadap kadar analit di
dalam sampel. Parameter yang digunakan dalam linearitas ialah koefisien korelasi
(r).
Gambar 16. Kurva baku hubungan antara konsentrasi baku nikotin dan AUC
Menurut Snyder, dkk (2010) suatu metode analisis dikatakan linear apabila
memenuhi persyaratan nilai koefisien korelasi (r) ≥ 0,999. Koefisien korelasi yang diperoleh dari kurva baku yang dibuat ialah 0,9999. Hal ini menunjukkan bahwa
metode analisis yang digunakan memiliki linearitas yang baik sehingga hasil yang
didapatkan proporsional terhadap kadar analit di dalam sampel.
y = 0,05147x-0,2193 r = 0,9999
0 1 2 3 4 5 6
0 20 40 60 80 100
A U C n ik o ti n / A U C a s e ta n il id a
(65)
3. Akurasi
Akurasi menggambarkan ketepatan suatu metode analisis, dimana hasil
pengukuran yang didapatkan mendekati hasil sebenarnya. Parameter yang
digunakan dalam akurasi ialah persen perolehan kembali (% recovery). Menurut
Harmita (2004) akurasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan metode
simulasi dan metode penambahan baku (standard addition method). Pada
penelitian ini, persen perolehan kembali dilakukan dengan cara metode
penambahan baku karena tidak dapat dibuat blanko sampel yang diperlukan
untuk metode simulasi. Metode penambahan baku dilakukan dengan cara
menganalisis sampel terlebih dahulu, kemudian menambahkan sejumlah tertentu
analit ke dalam sampel, dicampur, dan dianalisis kembali (Harmita, 2004).
Pada penelitian ini, penentuan persen perolehan kembali dilakukan pada
lima tingkat penambahan adisi, yaitu penambahan baku nikotin 2,5 µg/mL,
penambahan baku nikotin 5 µg/mL, dan penambahan baku nikotin 10 µg/mL,
penambahan baku nikotin 20 µg/mL, penambahan baku nikotin 50 µg/mL. Hasil
yang didapatkan sebagai berikut :
Tabel VII. Hasil persen perolehan kembali (%recovery) baku nikotin
Konsentrasi nikotin yang ditambahkan (µg/mL) Konsentrasi baku nikotin yang terukur (µg/mL) Recovery (%)
n = 3 Simpangan baku
2,5 0,5400 21,60 ±2,498
5 4,857 97,13 ±4,402 10 9,300 93,00 ±9,550 20 7,307 36,53 ±10,07 50 19,66 39,31 ±9,290
(66)
Pada tabel VII di atas dapat dilihat bahwa penambahan baku nikotin 2,5
µg/mL (kadar sampel 20 µg/mL), 5 µg/mL (kadar sampel 40 µg/mL), 10 µg/mL
(kadar sampel 60 µg/mL), 20 µg/mL (kadar sampel 80 µg/mL) dan 100 µg/mL
(kadar sampel 100 µg/mL) tidak memenuhi persyaratan recovery yang baik untuk
kadar analit 100%. Persyaratan recovery untuk kadar analit 100% ialah 98-102%
(Herrador dan Gonzalez, 2007). Hasil rata-rata recovery yang didapatkan sebesar
21,60%, 97,13%, 93,00%, 36,53%, dan 39,31%.
(A)
(B)
Gambar 17. Contoh kromatogram sampel dan sampel adisi. Keterangan : (A) = kromatogram sampel, (B) = kromatogram sampel adisi baku nikotin 5 µg/mL
4. Presisi
Presisi menggambarkan keterulangan suatu metode analisis yang dilihat
(67)
kali. Presisi yang dilakukan pada penelitian ini termasuk ke dalam ripitabilitas.
Parameter yang digunakan dalam mengevaluasi presisi ialah koefisien variasi
(KV). Koefisien variasi merupakan hasil persentase dari standar deviasi (SD)
sehingga menunjukkan derajat variasi dari hasil pengukuran yang dilakukan.
Penentuan koefisien variasi pada penelitian ini dilakukan pada tiga tingkat
kadar sampel, yaitu 20 µg/mL, 40 µg/mL, dan 60 µg/mL. Hasil yang diperoleh
sebagai berikut :
Tabel VIII. Hasil penentuan koefisien variasi
Konsentrasi sampel (µg/mL)
Konsentrasi rata-rata n = 3
Simpangan baku
Koefisien variasi (%)
20,00 17,54 ±1,296 7,389
40,00 39,97 ±0,2987 0,7473 60,00 56,77 ±0,6740 1,187
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa tiga tingkat konsentrasi sampel telah
memenuhi persyaratan koefisien variasi yang baik untuk 100 ppm (≤ 8) (Herrador dan Gonzalez, 2007). Hasil koefisien variasi yang didapatkan, secara berurutan
dari kadar rendah ke kadar tinggi sebesar 7,389%, 0,7473%, dan 1,187%. Hal ini
menunjukkan bahwa metode analisis untuk konsentrasi sampel kadar rendah,
(68)
51 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Penetapan kadar nikotin dalam rokok menggunakan metode KCKT fase terbalik dengan fase diam oktil silica (C8) dan fase gerak metanol:ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1% (70:30) pada kecepatan alir 1,0 mL/menit telah memenuhi parameter validasi yang meliputi selektivitas (Rs = 2,929), linearitas (r = 0,9999), dan presisi dengan nilai koefisien variasi sebesar 7,389 %, 0,7473%, dan 1,187% untuk kadar sampel 20, 40, dan 60 µg/mL. Nilai recovery yang didapatkan untuk parameter akurasi tidak memenuhi persyaratan recovery yang baik sehingga metode ini dinyatakan tidak memenuhi persyaratan validitas.
2. Saran
Metode KCKT fase terbalik ini perlu dilakukan perbaikan metode apabila metode ini digunakan untuk penetapan kadar nikotin dalam ekstrak tembakau pada rokok “merek x”.
(1)
(2)
3. Kadar sampel 60 µg/mL
(3)
(4)
(5)
Lampiran 14. Perhitungan nilai KV untuk presisi
Kadar sampel (µg/mL)
Rata-rata Recovery (%)
n = 3
Simpangan deviasi
Koefisien variasi (%)
20,00 17,54 ±1,296 7,389
40,00 39,97 ±0,2987 0,7473
(6)
112
Penulis skripsi berjudul “Validasi Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Fase Terbalik Pada Penetapan Kadar Nikotin Dalam Rokok Merek X” bernama lengkap Demas. Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 21 November 1990. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis telah menempuh pendidikan formal di TK Bunda Hati Kudus (1995-1997), SD Bunda Hati Kudus (1997-2003), SMP Bunda Hati Kudus (2003-2006), dan SMA Kolese Santo Yusup (2006-2009) sebelum melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma pada tahun 2009. Selama di Fakultas Farmasi Sanata Dharma, penulis pernah berpartisipasi dalam berbagai kegiatan dan organisasi, antara lain Pharmacy Competition sebagai anggota sie keamanan, Unit Kegiatan Fakultas (UKF) basket dan voli sebagai anggota aktif. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen Praktikum Kimia Dasar (2012), Praktikum Kimia Organik (2010-2013), Praktikum Kimia Analisis (2012), Praktikum Analisis Farmasi (2013), dan Praktikum Validasi Metode (2013).