MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN TEKNIK THINK-PAIR-SQUARE.

(1)

halaman

Lembar Persetujuan ……… i

Lembar Pernyataan ... ii Abstrak ...

Kata Pengantar ... Daftar Isi ... Daftar Tabel ... Daftar Gambar ……… Daftar Lampiran ... BAB I PENDAHULUAN ... 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1.2 Rumusan Masalah ... 1.3 Tujuan Penelitian ... 1.4 Manfaat Penelitian ... 1.5 Definisi Operasional ... 1.6 Hipotesis Penelitian ... BAB II KAJIAN PUSTAKA ...

2.1 Pembelajaran Kooperatif... 2.2 Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik TPS ... 2.3 Kemampuan Pemahaman Matematis ... 2.4 Kemampuan Komunikasi Matematis ………... 2.5 Pembelajaran Konvensional ………... 2.6 Teori Belajar yang Mendukung ... 2.7 Penelitian yang Relevan ...

iii iv vii xi xiii xiv 1 1 7 8 8 9 11 12 12 17 23 25 27 29 30


(2)

3.1 Metode Penelitian ... 3.2 Desain Penelitian ... 3.3 Populasi dan Sampel ... 3.4 Variabel Penelitian ………. 3.5 Instrumen Penelitian ...

3.5.1 Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis ... 3.5.1.1 Analisis Validitas ... 3.5.1.2 Analisis Reliabilitas ... 3.5.1.3 Analisis Daya Pembeda ... 3.5.1.4 Analisis Indeks Kesukaran ... 3.5.2 Lembar Observasi ... 3.5.3 Angket untuk Siswa ... 3.5.4 Angket untuk Guru ... 3.6 Pengembangan Bahan Ajar ... 3.7 Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 3.7.1 Tahap Persiapan Penelitian ... 3.7.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 3.8 Teknik Pengumpulan Data ... 3.9 Teknik Pengolahan Data ...

3.9.1 Data Hasil Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis ... BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 4.1 Hasil Pengolahan Data ...

33 33 35 38 38 38 42 44 46 48 49 49 51 51 51 51 52 54 55 55 58 58


(3)

Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 4.1.2 Hasil Postes Kemampuan Pemahaman dan

Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 4.1.3 Hasil Gain Kemampuan Pemahaman dan

Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 4.1.4 Hasil Angket untuk Siswa ... 4.1.5 Hasil Observasi ……... 4.1.6 Hasil Angket untuk Guru ………... 4.2 Temuan dan Pembahasan ...

4.2.1 Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi

Matematis ………... 4.2.2 Aktivitas dan Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik TPS ... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...

5.1 Kesimpulan ... 5.2 Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... DAFTAR LAMPIRAN ………

58

65

72 79 85 87 88

88

92 94 94 94 95 99


(4)

DAFTAR TABEL

halaman Tabel 3.1 Kriteria Skor Kemampuan Pemahaman Matematis ...

Tabel 3.2 Kriteria Skor Kemampuan Komuniklasi Matematis ……… Tabel 3.3 Klasifikasi Koefisien Validitas ... Tabel 3.4 Hasil Perhitungan dan Interpretasi Validitas Tes ... Tabel 3.5. Klasifikasi Derajat Reliabilitas ... Tabel 3.6 Hasil Perhitungan dan Derajat Reliabiltas Tes ... Tabel 3.7 Klasifikasi Daya Pembeda ...

40 41 43 44 45 46 47


(5)

Tabel 3.9 Klasifikasi Indeks Kesukaran ... Tabel 3.10 Hasil Perhitungan dan Interpretasi Indeks Kesukaran ... Tabel 3.11 Klasifikasi Gain Ternormalkan (G) ...

Tabel 4.1. Statistik Deskriptif Skor Data Pretes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Kelas Eksperimen dan

Kontrol ... Tabel 4.2 Uji Normalitas Skor Pretes ... Tabel 4.3 Uji Homogenitas Varians Skor Pretes ………... Tabel 4.4 Rekapitulasi Uji Normalitas dan Homogenitas Skor Pretes .. Tabel 4.5 Uji Kesamaan Rata-rata Skor Pretes ... Tabel 4.6 Statistik Deskriptif Skor Data Postes Kemampuan

Pemahaman dan Komunikasi Kelas Eksperimen dan

Kontrol ………... Tabel 4.7 Uji Normalitas Skor Postes ………... Tabel 4.8 Uji Homogenitas Varians Skor Postes ... Tabel 4.9 Rekapitulasi Uji Normalitas dan Homogenitas Skor Postes .. Tabel 4.10 Uji Perbedaan Rata-rata Skor Postes ………... Tabel 4.11 Statistik Deskriptif Data Gain Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Kelas Eksperimen dan Kontrol ... Tabel 4.12 Uji Normalitas Skor Gain Ternormalkan ……… Tabel 4.13 Uji Homogenitas Varans Skor Gain Ternormalkan …... Tabel 4.14 Uji Perbedaan Rata-rata Skor Gain Ternormalkan ... Tabel 4.15 Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Matematika di Sekolah

48 49 55 59 60 62 63 64 65 67 68 69 71 72 74 75 78 80


(6)

dengan Teknik TPS ... Tabel 4.17 Sikap Siswa terhadap Soal-soal Pemahaman dan

Komunikasi Matematis ...

83

DAFTAR GAMBAR

halaman Gambar 3.1 Alur Kegiatan Penelitian ……… 53


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman LAMPIRAN A 1. RENCANA PEMBELAJARAN ...

2. BAHAN AJAR ... LAMPIRAN B 1. KISI-KISI TES KEMAMPUAN PEMAHAMAN

DAN KOMUNIKASI MATTEMATIS ... 2. TES KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN

KOMUNIKASI MATEMATIS ... 3. LEMBAR OBSERVASI KEGIATAN SISWA ….. 4. KISI-KISI ANGKET UNTUK SISWA ... 5. LEMBAR ANGKET UNTUK SISWA ... 6. LEMBAR ANGKET UNTUK GURU ... LAMPIRAN C 1. HASIL UJI COBA TES KEMAMPUAN

PEMAHAMAN MATEMATIS ...

100 115

144

146 149 150 151 153


(8)

KOMUNIKASI MATEMATIS ... LAMPIRAN D 1. SKOR HASIL PRETES ... 2 SKOR HASIL POSTES ... 3 SKOR HASIL GAIN ... LAMPIRAN E 1. ANALSIS DATA PRETES ...

2. ANALSIS DATA POSTES ... 3. ANALSIS DATA GAIN ... LAMPIRAN F 1. PERHITUNGAN SKOR SKALA SIKAP SISWA ...

2. VALIDITAS SKALA SIKAP SISWA ... 3. SKOR SIKAP NETRAL DAN SIKAP SISWA …….

159 163 167 171 176 180 18 190 191 195


(9)

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berperan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Dengan adanya peningkatan sumber daya manusia, diharapkan bangsa kita mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah peningkatan mutu pendidikan, baik prestasi belajar siswa maupun kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar-mengajar. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa, dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global.

Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebutuhan akan aplikasi matematika saat ini dan masa depan tidak hanya untuk keperluan sehari-hari, tetapi terutama dalam dunia kerja, dan untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan (Hudoyo, 1998).

Pengajaran matematika diberikan di SMP bertujuan untuk memberikan layanan kepada siswa untuk mengembangkan potensi yang menyangkut aspek


(11)

kognitif, afektif, maupun psikomotor. Pembelajaran matematika diberikan juga di sekolah menengah agar siswa mampu menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif.

Sejalan dengan fungsi dan perlunya pembelajaran matematika, selanjutnya secara rinci para ahli di bidang pendidikan matematika merumuskan lima kemampuan matematis yang harus dikuasai siswa dari tingkat dasar sampai menengah. Kelima kemampuan matematis tersebut adalah pemahaman, penalaran, komunikasi, pemecahan masalah, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan (Depdiknas, 2006).

Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa selama ini dalam proses pembelajaran matematika di kelas, pada umumnya siswa mempelajari matematika hanya diberi tahu oleh gurunya dan bukan melalui kegiatan eksplorasi. Kegiatan belajar seperti ini membuat siswa cenderung belajar menghafal dan tanpa memahami atau mengerti apa yang diajarkan oleh gurunya. Berdasarkan hal tersebut, Kramarski dan Slettenhaar (Ansari, 2004) menyatakan bahwa dalam model pembelajaran seperti di atas, umumnya aktivitas siswa mendengar dan menonton guru melakukan kegiatan matematik, kemudian guru menyelesaikan soal sendiri dan memberi soal latihan untuk diselesaikan oleh siswanya.

Akibat penerapan model pembelajaran matematika yang cenderung konvensional yang menekankan pada latihan mengerjakan soal (drill) dan mengulang prosedur cara-cara menyelesaikan soal, serta mengingat rumus dan algoritma tertentu. Pola pembelajaran seperti ini kurang menanamkan pemahaman


(12)

konsep, karena siswa kurang aktif. Dampaknya kurang mengundang sikap kritis dalam diri siswa, sehingga jika siswa diberi soal yang berbeda dengan soal yang telah diselesaikan oleh gurunya, maka siswa akan merasa sukar untuk menyelesaikan, karena mereka tidak memahami konsep Sumarmo (1999).

Sumarmo (1987) menemukan bahwa keadaan skor kemampuan siswa dalam pemahaman masih rendah dan siswa masih banyak mengalami kesukaran dalam pemahaman relasional. Wahyudin (1999) juga menemukan bahwa rata-rata tingkat penguasaan matematika siswa cenderung rendah. Hasil temuan-temuan di atas dapat dijadikan gambaran umum mengenai hasil belajar matematika di tingkat pendidikan menengah.

Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan yang harus dikuasai siswa dalam proses pembelajaran. Kemampuan komunikasi matematis adalah penting karena matematika pada dasarnya adalah bahasa yang sarat dengan notasi dan istilah sehingga konsep yang terbentuk dapat dipahami oleh siswa jika mempunyai kemampuan komunikasi. Matematika bukan hanya sekedar alat bantu berfikir, menemukan pola, menyelesaikan masalah, atau menggambarkan kesimpulan, tetapi juga sebagai suatu bahasa untuk mengkomunikasikan berbagai macam ide secara jelas, tepat, dan ringkas. Namun di sisi lain, dalam pelaksanaan pembelajaran matematika sehari-hari, guru jarang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-idenya.

Hal ini sesuai dengan hasil studi Sumarmo (1994) terhadap siswa SMP dan guru yang hasilnya antara lain pembelajaran matematika pada umumnya kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal sehingga siswa kurang aktif


(13)

dalam belajar. Hal ini di dukung juga oleh Wahyudin (1999) bahwa sebagian besar siswa tampak mengikuti dengan baik setiap penjelasan atau informasi dari guru, siswa sangat jarang mengajukan pertanyaan pada guru sehingga guru asyik sendiri menjelaskan apa yang telah disiapkannya, dan siswa hanya menerima saja yang disampaikan oleh guru. Pada kondisi seperti ini, siswa hampir tidak mempunyai kesempatan untuk menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri dan mengakibatkan siswa kurang memiliki kemampuan nalar yang logis, analitis, kritis, dan kreatif.

Hal ini mengakibatkan siswa akan mengalami kesulitan dalam memberikan penjelasan yang benar dan logis atas jawabannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Cai, Lane, dan Jakabcsin (Ansari, 2004) yang mengemukakan bahwa karena siswa jarang diminta untuk berargumentasi dalam pelajaran matematika, akibatnya sangat asing bagi mereka untuk berbicara tentang matematika.

Lindquist (NCTM, 1989) mengemukakan bahwa kita memerlukan komunikasi dalam matematika jika hendak meraih secara penuh tujuan sosial seperti melek matematika, belajar seumur hidup, dan matematika untuk semua orang. Apabila kita sepakat bahwa matematika merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasa terbaik dalam komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi adalah faktor penting dari mengajar, belajar, dan mengakses matematika. Tanpa komunikasi dalam matematika maka kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika.


(14)

Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan, komunikasi matematis merupakan kemampuan yang harus dimiliki siswa. Namun, menurut hasil penelitian yang dilakukan Firdaus (2005), ditemukan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih tergolong kurang. Terdapat lebih dari separuh siswa memperoleh skor kemampuan kurang dari 60% dari skor ideal, sehingga kualitas kemampuan komunikasi matematis belum dalam kategori baik. Temuan ini serupa dengan temuan pada penelitian terdahulu yang telah dilakukan Ansari (2004).

Kurangnya kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis memperlihatkan bahwa proses pembelajaran yang dilaksanakan saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan semua pihak. Agar kemampuan komunikasi matematis siswa dapat berkembang, kemampuan pemahaman matematis siswa juga perlu ditingkatkan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Cai, Lane, dan Jakabsin (Ansari,2004) bahwa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa diperlukan kemampuan pemahaman matematis. Dari penjelasan di atas, kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis merupakan hal yang penting dan perlu ditingkatkan dalam pembelajaran matematika. Karenanya, guru dalam memilih model pembelajaran perlu mempertimbangkan tugas matematika dan suasana belajar yang dapat memotivasi dan mendorong siswa untuk mencapai kemampuan tersebut.

Model pembelajaran yang sesui dengan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa adalah pembelajaran kooperatif. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa akan lebih aktif karena terjadi proses diskusi atau


(15)

interaksi di antara dalam kelompoknya. Melalui kegiatan diskusi, percakapan dalam mengungkapkan ide-ide matematika dapat membantu siswa mengembangkan pikirannya, sehingga siswa yang terlibat dalam perbedaan pendapat atau mencari solusi dari suatu permasalahan akan memahami konsep matematika dengan lebih baik dan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematisnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kramarski (Rohaeti, 2003) yang menyatakan bahwa interaksi siswa dalam kelompok dapat mempertinggi pemahaman siswa terhadap tugas dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan komunikasi matematis. Selain dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa, pembelajaran kooperatif juga memiliki kelebihan yang sangat bermanfaat bagi siswa. Kelebihan tersebut diantaranya siswa dapat belajar memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan siswa lain, belajar menghargai pendapat yang berbeda, dan mengembangkan keterampilan untuk bekerja sama dan kolaborasi dalam suatu kelompok.

Salah satu teknik dalam pembelajaran kooperatif adalah Think-Pair-Square (TPS). Teknik ini didesain untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir dan bekerja secara individual (think), berdiskusi dengan teman pasangan (pair), dan dilanjutkan dengan berdiskusi dengan pasangan lain dalam kelompok (square). Kagan (Maitland, 2001) menyarankan penggunaan teknik TPS ini dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir, komunikasi, dan mendorong siswa untuk berbagi informasi dengan siswa lain. Pembelajaran kooperatif dengan teknik Think-Pair-Square (TPS) yang dimaksud dalam penelitian ini berbeda pengertian dengan Think-Pair-Share. Pembelajaran


(16)

kooperatif dengan teknik Think-Pair-Square melibatkan kelompok belajar yang terdiri dari empat orang.

Berdasarkan uraian di atas, penulis telah melakukan penelitian yang berjudul “Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa SMP melalui Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Think-Pair-Square (TPS)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional?

2. Apakah kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional?

3. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional?

4. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional?


(17)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui apakah kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional.

2. Mengetahui apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional.

3. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional

4. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan yang berarti bagi peneliti, guru, dan siswa. Manfaat dan masukan itu antara lain:

1. Untuk Peneliti

Memberi gambaran dan informasi tentang peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS.


(18)

2. Untuk Guru

Memberi alternatif model pembelajaran matematika untuk dapat dikembangkan menjadi lebih baik sehingga dapat dijadikan salah satu upaya untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.

3. Untuk Siswa

Memberi pengalaman baru bagi siswa dan mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran matematika di kelas, sehingga selain dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis, juga membuat pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna dan bermanfaat.

1.5 Definisi Operasional

1. Kemampuan pemahaman matematis adalah kemampuan siswa dalam menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika, memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep, dan menerapkan konsep secara algoritma.

2. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi dengan gambar, tabel atau grafik, kemampuan siswa dalam menjelaskan ide atau situasi dengan kata-kata sendiri, dan kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi ke dalam bentuk model matematika. 3. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan

kepada siswa untuk belajar dan bekerja dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 siswa dengan kemampuan heterogen.


(19)

4. Pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS adalah rangkaian pembelajaran yang terdiri dari:

a. Think

Siswa diberi waktu dan kesempatan untuk berpikir dan bekerja secara individual, dan membuat catatan tentang hal-hal yang tidak dipahami atau berhubungan dengan tugas.

b. Pair

Siswa berpasangan dengan salah seorang teman dalam kelompoknya untuk mendiskusikan kemungkinan jawaban atau hal-hal yang telah ditulis dalam catatan pada waktu tahap think.

c. Square

Pasangan siswa bergabung dengan pasangan lain dalam kelompoknya untuk mendiskusikan tugas-tugas yang belum dapat diselesaikan dan menetapkan jawaban akhir kelompok. Kemudian diadakan diskusi kelas. 5. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh

guru sehari-hari, yaitu pembelajaran secara tradisional atau klasikal. Proses pembelajaran diawali dengan guru menjelaskan materi pelajaran, memberi contoh soal dan cara menyelesaikannya, memberi kesempatan bertanya kepada siswa, kemudian guru memberi soal untuk dikerjakan siswa sebagai latihan (drill).


(20)

1.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran

kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional..

2. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

3. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

4. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.


(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pembelajaran Kooperatif

Stahl (1994) berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dapat meningkatkan belajar siswa lebih baik, dan meningkatkan sikap tolong menolong dalam perilaku sosial. Suryadi (1999) menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa.

Suherman (2003) mengungkapkan bahwa pembelajaran kooperatif mencakupi suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif menekankan pada kehadiran teman sebaya yang berinteraksi antar sesamanya yang saling ketergantungan sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan atau membahas suatu masalah atau tugas.

Slavin (1985) menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar dan bekerja dalam kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok heterogen.

Suherman (2003) mengemukakan bahwa guru memainkan peranan penting agar model pembelajaran kooperatif berhasil dengan baik. Materi, masalah, atau tugas yang diberikan kepada siswa harus disusun sedemikian rupa sehingga setiap


(22)

siswa dapat menyumbangkan ide kepada kelompoknya dan menimbulkan rasa saling membutuhkan antar anggota yang satu dengan yang lain. Selain itu, guru juga harus memiliki pemahaman yang baik tentang pembelajaran kooperatif dan memberikan pengarahan kepada siswa ketika akan melaksanakan model pembelajaran ini.

Model pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa untuk meningkatkan sikap positif pada matematika. Melalui kerja sama dalam kelompok, para siswa membangun rasa percaya diri pada diri mereka untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan. Seperti yang diungkapkan oleh Malone dan Krismanto (1997) bahwa siswa mempunyai perkembangan sifat yang positif dan persepsi yang baik tentang belajar matematika dalam pengelompokan, dan merekomendasikan penggunaan kegiatan kelompok dalam belajar matematika untuk mendorong motivasi siswa dalam pembelajaran.

Banyak kelebihan yang diperoleh dari model pembelajaran kooperatif, di antaranya adalah pada saat melakukan kegiatan diskusi kelompok, siswa berlatih mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain, serta saling membantu dalam membangun pengetahuan baru dengan mengintegrasikan pengetahuan lama yang telah dimiliki. Selain itu, percakapan yang mengungkapkan ide-ide matematika ketika berdiskusi, dapat membantu siswa dalam mengasah pikirannya dan membuat hubungan-hubungan, sehingga siswa yang terlibat dalam perbedaan pendapat atau mencari solusi dari suatu permasalahan akan memahami konsep matematika dengan lebih baik dan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematisnya.


(23)

Malone dan Krismanto (1997) mengungkapkan bahwa pembentukan kelompok yang disukai siswa adalah berdasarkan keheterogenan kemampuan siswa. Artinya, dalam setiap kelompok terdiri dari siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan kurang. Dengan kelompok yang heterogen, diharapkan siswa yang pandai dapat membimbing atau membantu siswa yang lain yang belum mengerti dan siswa yang kurang pandai tidak merasa enggan untuk bertanya.

Menurut Ibrahim (2000), model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan penting dalam pembelajaran, yaitu: 1. Meningkatkan hasil belajar akademik

Model pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik dan membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit, sehingga prestasi siswa yang belajar dalam kelompok kooperatif lebih baik daripada mereka yang belajar secara individual. Selain itu, pembelajaran kooperatif juga dapat memberikan keuntungan bagi siswa kurang pandai maupun siswa pandai. Bagi siswa yang kurang pandai, akan lebih termotivasi untuk belajar karena mereka tahu bahwa tujuan mereka dapat tercapai jika mereka bersama-sama mencapai tujuan tersebut, dan bagi siswa pandai akan menjadi tutor bagi siswa kurang pandai. Proses ini, selain dapat meningkatkan pemahaman suatu konsep siswa pandai juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi verbal dan kemampuan akademiknya karena menjadi tutor membutuhkan ide-ide yang lebih mendalam tentang suatu materi.


(24)

2. Penerimaan terhadap perbedaan individual

Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk belajar saling bergantung atas tugas-tugas bersama dan saling menghargai. Pembentukan kelompok yang heterogen, akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling menerima, saling mengajar, saling mendukung, dan meningkatkan relasi dan interaksi antar agama, budaya dan gender.

3. Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan penting dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Hal ini penting untuk dimiliki siswa ketika berada dalam masyarakat dengan budaya yang semakin beragam, atau dunia kerja yang sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain.

Banyak keuntungan yang dapat dipetik dalam pembelajaran kooperatif, akan tetapi tidak semua belajar dalam kelompok dapat dianggap sebagai pembelajaran kooperatif. Siswa yang duduk berkelompok tetapi mengerjakan tugas-tugas secara individual atau menugaskan seseorang dalam anggota kelompok untuk menyelesaikan seluruh tugas, tidak dapat dikatakan sebagai belajar kooperatif.

Johnson dan Johnson (Lie, 2004) mengemukakan lima unsur pembelajarn kooperatif agar dapat mencapai hasil yang maksimal, yaitu:


(25)

Setiap anggota kelompok harus memiliki perasaan bahwa keberhasilan individu merupakan keberhasilan bagi kelompoknya dan begitu pula sebaliknya. Hal ini menuntut guru untuk dapat menciptakan suasana belajar yang dapat mendorong siswa untuk sling membutuhkan dan bergantung satu sama lain di dalam kelompoknya.

2. Tanggung jawab perseorangan

Setiap anggota kelompok diberi tanggung jawab secara individual untuk mengerjakan bagian tugasnya sendiri, mengetahui apa yang harus dipelajari, dan mengetahui apa yang ditargetkan kelompoknya. Hal bertujuan agar setiap individu merasa dituntut untuk memberikan andil bagi keberhasilan kelompok dan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.

3. Tatap muka

Setiap anggota kelompok bertemu muka dan berdiskusi. Dengan interaksi tatap muka, siswa dapat melakukan dialog, dan menghargai perbedaan pendapat dengan memanfaatkan kelibihan dan mengisi kekurangan anggotanya.

4. Komunikasi antar anggota

Siswa memiliki kemampuan berinteraksi, seperti mengajukan pendapat, mendengarkan opini teman, dan mengadakan kompromi, negosiasi, atau klarifikasi. Untuk dapat memiliki kemampuan ini, diperlukan proses yang panjang. Namun, proses sangt bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional siswa.


(26)

5. Evaluasi proses kelompok

Guru perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya dapat bekerja sama dengan lebih efektif.

2.2 Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Think-Pair-Square (TPS)

Ibrahim (2000) mengemukakan beberapa tipe pembelajaran kooperatif, yaitu Student-Teams-Achievement-Division (STAD), Teams-Games-Tournament (TGT), Jigsaw, Investigasi Kelompok, pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural.

STAD merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Kelompok terdiri dari 4-5 siswa dengan kemampuan heterogen. Dalam pelaksanaannya, setiap siswa dalam kelompok mempelajari materi pelajaran, dan dilanjutkan dengan saling membantu dan berdiskusi di antara anggota kelompok.

TGT merupakan model pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada siswa dengan kemampuan akademik yang sama, untuk bersaing secara sehat dalam sebuah turnamen akademik. Sebelum mengikuti turnamen akademik, siswa diberi kesempatan untuk belajar dalam kelompoknya.

Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif yang memberikan tanggung jawab pada setiap anggota dalam kelompok untuk mempelajari pokok bahasan tertentu, dan dilanjutkan dengan berdiskusi dengan siswa dari kelompok lain yang mempelajari pokok bahasan yang sama. Setelah itu, siswa kembali ke


(27)

kelompok asal untuk menjelaskan dan mendiskusikan kepada teman-teman dalam kelompoknya.

Investigasi Kelompok merupakan model pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada kelompok untuk terlibat dalam menentukan pokok bahasan yang akan dipelajari dan dianalisis. Selanjutnya, kelompok mempresentasikan hasil analisisnya ke seluruh kelas.

Pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural lebih menekankan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Salah satu struktur yang terkenal adalah teknik think-pair-share. Tahap pertama yang harus dilakukan yaitu think. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk berpikir dan merespon pertanyaan atau masalah yang diberikan. Tahap kedua yaitu pair, siswa diminta untuk mendiskusikan jawaban dengan pasangannya. Kemudian tahap terakhir yaitu share, siswa berbagi jawaban dengan seluruh kelas.

Dalam teknik Think-Pair-Square (TPS) guru membagi siswa dalam kelompok heterogen yang beranggotakan empat orang. Sebagai kegiatan awal, guru membagi siswa dalam kelompok heterogen yang beranggotakan empat orang. Kegiatan awal adalah tahap think atau tahap berpikir. Pada tahap ini siswa bekerja secara individual sebelum bekerjasama dan berdiskusi dengan kelompoknya. Aktivitas berpikir dapat dilihat dari proses membaca suatu teks matematika atau berisi cerita matematika kemudian membuat catatan apa yang telah dibaca.


(28)

Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk membaca, memahami, memikirkan kemungkinan jawaban, dan membuat catatan tentang hal-hal yang tidak dipahami atau informasi yang berhubungan dengan tugas. Kegiatan membuat/menulis catatan setelah membaca merangsang aktivitas berpikir sebelum, selama dan setelah membaca. Kegiatan ini bertujuan agar setiap siswa dapat memberikan respon terhadap ide-ide yang terdapat pada LKS, untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa sendiri.

Kemampuan membaca, dan membaca secara komprehensif (reading comprehension) secara umum dianggap berpikir, meliputi membaca baris demi baris atau membaca yang penting saja. Seringkali suatu teks bacaan diikuti oleh panduan, bertujuan untuk mempermudah diskusi dan mengembangkan pemahaman siswa.

Selanjutnya tahap pair atau tahap berpasangan. Pada tahap ini, siswa diminta untuk berpasangan dengan salah seorang teman dalam kelompoknya untuk mendiskusikan kemungkinan jawaban atau hal-hal yang telah ditulis pada tahap think. Dengan berpasangan, partisipasi aktif siswa dalam kelompok dapat lebih dioptimalisasikan.

Setelah pasangan siswa berdiskusi kemudian pasangan ini bergabung dengan pasangan lain dalam kelompoknya untuk membentuk kelompok berempat (square). Kedua pasangan ini mendiskusikan tugas-tugas yang belum dipahami ketika diskusi dengan pasangan, dan menetapkan hasil akhir jawaban kelompoknya. Pada tahap ini, siswa saling memberikan ide atau informasi yang


(29)

mereka ketahui tentang soal yang diberikan untuk memperoleh kesepakatan dari penyelesaian soal tersebut.

Dengan adanya tahap pair dan square, terjadi lebih banyak interaksi untuk berdiskusi sehingga dapat lebih meningkatkan dan mengoptimalisasikan partisipasi aktif siswa dalam kelompok. Selain itu, siswa juga akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk berkontribusi dalam kelompoknya, dan interaksi antara siswa juga menjadi lebih mudah (Lie, 2004). Jadi, diharapkan tidak ada lagi siswa yang tidak aktif dalam kelompoknya.

Aspek penting yang terjadi selama proses pair dan square adalah berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata dan bahasa yang mereka pahami. Pada fase ini memungkinkan siswa untuk terampil berbicara. Berkomunikasi dalam suatu diskusi dapat membantu kolaborasi dan meningkatkan aktivitas siswa. Hal ini mungkin terjadi karena ketika siswa diberi kesempatan untuk berkomunikasi dalam matematika, sekaligus mereka berpikir bagaimana cara mengungkapkannya dalam tulisan. Oleh karena itu keterampilan berkomunikasi dapat membantu kemampuan siswa mengungkapkan ide-ide yang dimiliki melalui tulisan. Pada saat berkomunikasi atau berdialog dengan siswa lain dalam kelompoknya, mereka mengkonstruksi berbagai ide untuk dikemukakan melalui dialog.

Pada tahap square, selain berkomunikasi dalam kelompoknya, mereka menuliskan hasil diskusi pada lembar kerja yang telah disediakan (Lembar Kerja Siswa). Aktivitas menuliskan hasil diskusi membantu merealisasikan salah satu tujuan pembelajaran, yaitu pemahaman siswa tentang materi yang dipelajari.


(30)

Dengan tahap-tahap yang dilalui dalam pembelajaran ini diharapkan bahwa pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa.

Setelah tahap think, pair, dan square selesai, diadakan diskusi kelas. Siswa atau kelompok lain diberi kesempatan untuk menanggapi dan mengemukakan pendapatnya masing-masing. Dengan kegiatan ini, siswa dibiasakan untuk dapat mengkomunikasikan ide-idenya secara bertanggung jawab, dan bagi kelompok atau siswa yang tidak dapat menyelesaikan tugasnya, tidak akan tertinggal. Dengan demikian, melalui kegiatan ini siswa juga dapat meningkatkan pemahamannya tentang suatu konsep dan melihat bagaimana cara mengkomunikasikan matematika dengan benar.

Kelebihan-kelebihan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS ini, di antaranya adalah (Lie, 2004):

1. Merupakan teknik yang sederhana dalam pembelajaran koopertif dan mudah dilaksanakan dalam kelas, sehingga model pembelajaran ini dapat dilakukan secara mendadak dan mudah digunakan dalam kelas dengan jumlah siswa yang banyak.

2. Dengan anggota kelompok berempat, guru akan lebih mudah memonitor dan mudah dipecah menjadi berpasangan, dan lebih banyak tugas yang dapat dilakukan.

3. Lebih banyak terjadi diskusi, baik pada waktu berpasangan maupun dalam kelompok berempat, sehingga akan lebih banyak ide muncul.


(31)

4. Optimalisasi partisipasi siswa dan member kesempatan kepada siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain.

5. Siswa diberi kesempatan untuk berdiskusi dan berpasangan dengan siswa yang lebih pandai atau lemah, daripada cara klasikal yang hanya satu orang atau beberapa orang saja yang berbicara.

6. Kegiatan guru dalam proses belajar-mengajar semakin berkurang. Guru berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan dan memotivasi siswa untuk belajar mandiri serta menumbuhkan rasa tanggung jawab.

Pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS ini juga memiliki kekurangan, yaitu membutuhkan pengaturan waktu dan sosialisasi yang baik, serta dapat menyulitkan proses pengambilan suara (Lie, 2004). Untuk mengatasi kekurangan tersebut, maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

1. Guru harus pandai mengatur waktu yang tersedia seefisien mungkin sesuai dengan tingkat kesulitan materi.

2. Meminta siswa untuk terlebih dahulu mempelajari materi di rumah.

3. Guru harus dapat mensosialisasikan dengan baik tentang manfaat, tujuan, keuntungan yang diperoleh, dan tahap-tahap yang harus dilalui, agar siswa memahami dan tertarik untuk melakukan proses pembelajaran dengan teknik TPS ini.


(32)

2.3 Kemampuan Pemahaman Matematis

Terdapat beberapa terjemahan dari kata pemahaman, Sumarmo (1987) menyatakan bahwa pemahaman merupakan arti dari kata understanding. Ruseffendi (1991) menyebutkan bahwa pemahaman terjemahan dari comprehension, sedangkan Ansari (2004) mengatakan pemahaman sebagai terjemahan dari istilah knowledge. Beragamnya terjemahan kata pemahaman di atas, menunjukkan bahwa pemahaman telah menjadi salah satu fokus para peneliti dalam mengkaji lebih lanjut dalam penelitian pendidikan matematika.

Konsep-konsep dalam matematika tersusun secara sistematis, logis dan hierarkis dari yang paling sederhana ke yang paling kompleks. Dengan kata lain, pemahaman dan penguasaan suatu materi/konsep merupakan prasyarat untuk dapat menguasai materi/konsep selanjutnya. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa kemampuan pemahaman matematis merupakan hal yang penting dalam pembelajaran matematika.

Pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap konsep matematika, menurut NCTM (1989) dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam: (1) mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan; (2) mengidentifikasi dan membuat contoh dan bukan contoh; (3) menggunakan model, diagram, dan simbol-simbol matematika untuk mempresentasikan suatu konsep; (4) mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk lainnya; (5) mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; (6) mengidentifikasi sifat suatu konsep dan mengenal syarat yang menentukan suatu konsep; (7) membandingkan dan membedakan konsep-konsep.


(33)

Gilbert (Rahman, 2004) menyatakan bahwa pemahaman adalah kemampuan menjelaskan suatu situasi dengan kata-kata yang berbeda dan dapat menginterpretasikan atau menarik kesimpulan dari tabel, data, grafik, dan sebagainya. Menurut Skemp (Sumarmo, 2005), pemahaman digolongkan menjadi dua jenis, yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman relasional. Pemahaman instrumental adalah pemahaman atas konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya dan dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana. Pada pemahaman relasional, termuat suatu skema atau struktur yang dapat digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas dan dapat mengaitkan suatu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya.

Kilpatrick & Findell (Ester, 2007) mengemukakan indikator pemahaman konsep antara lain kemampuan siswa dalam:

1. Menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari

2. Menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika 3. Menerapkan konsep secara algoritma

4. Memberikan contoh dan bukan contoh dari konsep 5. Mengaitkan berbagai konsep

6. Mengklarifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi atau tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut

Pada kenyataannya matematika adalah mata pelajaran yang kurang disukai siswa (Wahyudin, 1999) sehingga kurang diminati, menyebabkan lemahnya kemampuan pemahaman siswa. Padahal pemahaman konsep, prosedur, serta


(34)

keterampilan memecahkan masalah merupakan kompetensi yang harus dicapai siswa. Upaya untuk meningkatkan minat siswa terhadap pelajaran matematika adalah dengan mengaplikasikan konsep/materi dalam matematika untuk menyelesaikan soal-soal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa mengetahui kegunaan matematika dan menjadi lebih menarik. Sebagaimana diungkapkan Ruseffendi (1991) bahwa agar berminat terhadap matematika paling tidak siswa harus melihat kegunaannya.

Dalam penelitian ini, kemampuan pemahaman matematis yang dimaksud adalah kemampuan siswa dalam menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika, memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep, dan menerapkan konsep secara algoritma.

2.4 Kemampuan Komunikasi Matematis

Secara umum, komunikasi dapat diartikan sebagai proses menyampaikan pesan dari seseorang kepada orang lain baik secara langsung (lisan) maupun tidak langsung (melalui media). Abdulhak (Ansari, 2004) memaknai komunikasi sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan melalui saluran tertentu dan untuk tujuan tertentu.

Sumarmo (2005) mengemukakan kemampuan yang tergolong pada komunikasi matematis, yaitu :

1. Menyampaikan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea, atau model matematis.


(35)

3. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.

4. Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis.

5. Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi.

6. Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika ke dalam bahasa sendiri.

Menurut Schulman (Ansari, 2004), komunikasi matematis merupakan: 1) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi mattematika; 2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap stratregi dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematis; dan 3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, membagi pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan orang lain

NCTM (2000) mengungkapkan pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika, yaitu program pengajaran matematika di sekolah hendaknya menekankan siswanya untuk: (1) mengatur dan mengaitkan kemampuan berpikir matematis mereka dengan komunikasi; (2) mengkomunikasikan kemampuan berpikir matematis mereka secara koheren (tersusun secara logis) dan jelas kepada teman-temannya, guru, dan orang lain; (3) menganalisis dan menilai kemampuan berpikir matematis dan strategi yang dipakai orang lain; (4) menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara benar.


(36)

Kenyataan bahwa masih banyak guru yang menggunakan model pembelajaran konvensional, menyebabkan siswa kurang memiliki kesempatan untuk mengungkapkan ide-ide matematika, memberi penjelasan atas jawabannya, atau menanggapi pendapat orang lain. Hal tersebut menyebabkan siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya. Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika hendaknya guru selalu mendorong kemampuan siswa dalam komunikasi. Sebagaimana diungkapkan Pugalee (2001) bahwa dalam pembelajaran siswa perlu dibiasakan untuk memberikan argumen atas setiap jawabannya dan memberikan tanggapan atas jawaban orang lain. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan komunikasi dalam matematika menjadi sebuah sifat dasar dari pengembangan program matematika yang baik, dan sebagai hasilnya siswa akan senang mengekspresikan hasil pemikirannya.

Dalam penelitian ini, kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud adalah kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi dengan gambar, tabel, atau grafik, kemampuan siswa dalam menjelaskan ide atau situasi dari suatu gambar atau grafik yang diberikan dengan kata-kata sendiri, kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi ke dalam bentuk model matematika.

2.5 Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh para guru SMP dalam mengajar matematika selama ini. Dalam pembelajaran konvensional, guru cenderung aktif sebagai sumber informasi dan siswa


(37)

cenderung pasif dalam pasif dalam menerima pelajaran. Guru menyajikan materi pelajaran dalam bentuk jadi. Artinya, guru lebih banyak berbicara dan menerangkan materi pelajaran, memberi contoh-contoh soal, dan menjawab semua permasalahan yang dihadapi siswa. Sedangkan siswa hanya menerima materi pelajaran dan menghafalnya, serta banyak mengerjakan latihan soal. Jadi, kebermaknaan belajar siswa rendah.

Nasution (1982: 209) mengemukakan kelemahan dan keunggulan dari pembelajaran konvensional adalah

1. Kurikulum disajikan secara linear.

2. Kurikulum dijadikan bahan acuan yang harus diikuti.

3. Aktivitas pembelajaran terikat pada buku pegangan (buku teks).

4. Siswa dianggap sesuatu yang kosong (kertas putih), dan guru menggoreskan pengetahuan diatasnya.

5. Guru bertindak sebagai sumber informasi.

6. Penilaian dilakukan dengan pemberian tes hasil belajar yang terpisah dari proses belajar mengajar.

7. Siswa banyak bekerja secara individual.

Sedangkan keunggulan dari pembelajaran konvensional adalah guru merasa nyaman karena seakan-akan tidak ada tuntutan terhadap inovasi atau perubahan-perubahan dalam proses belajar mengajar, karena guru diberi wewenang penuh terhadap kegiatan belajar mengajar.


(38)

2.6 Teori Belajar yang Mendukung

Teori belajar yang mendasari pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS adalah teori belajar yang berpandangan konstruktivisme. Pandangan ini menekankan peran aktif siswa dalam membangun pengetahuannya.

Teori belajar konstruktivisme dari Piaget mengatakan bahwa pengetahuan seseorang terbentuk berdasarkan keaktifan orang itu sendiri dalam berhadapan dengan persoalan, bahan, atau lingkungan baru. Hal tersebut berarti orang itu sendirilah yang aktif membentuk pengetahuannya. Konstruktivisme menurut Piaget ini disebut konstruktivisme personal karena lebih menekankan keaktifan seseorang secara individu dalam mengkonstruksi pengetahuannya.

Menurut Piaget (Suparno, 2001) pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi siswa membentuk pengetahuan sendiri melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi terjadi apabila struktur pengetahuan baru dibentuk berdasarkan pengetahuan yang sudah ada. Proses akomodasi merupakan proses menerima pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pengetahuan lama sehingga terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium). Untuk mencapai keseimbangan (equilibrium), struktur pengetahuan lama dimodifikasi dan disesuaikan dengan pengetahuan baru tersebut.

Selain Piaget, konstruktivis lainnya adalah Vygotsky. Teori belajar Vygotsky mengatakan bahwa belajar dilakukan oleh seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungan sosial maupun fisiknya, atau dengan kata lain perkembangan intelektual anak dipengaruhi oleh faktor sosial. Konstruktivisme menurut Vygotsky ini disebut sebagai konstruktivisme sosial.


(39)

Dari beberapa pendapat tentang konstruktivisme, dapat dikatakan bahwa teori konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru kepada siswa, tetapi siswa aktif dalam membangun pengetahuannya. Namun, ada perbedaan pandangan antara Piaget dan Vygotsky. Menurut Piaget pengetahuan baru dibentuk melalui konstruktivisme seseorang yang sedang berpikir secara individu, sedangkan menurut Vygotsky pengetahuan baru dibentuk melalui konstruksi pribadi yang berinteraksi dengan lingkungannya.

Berdasarkan uraian mengenai teori belajar dari Piaget dan Vygotsky, maka ciri-ciri pembelajaran yang berbasis pada konstruktivisme sangat sesuai dengan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS yang diterapkan dalam penelitian ini. Dalam pembelajaran ini, diawali dengan siswa secara individu mengkonstruksi pengetahuannya melalui kegiatan think, dilanjutkan dengan kegiatan berdiskusi dengan teman pasangannya dalam kelompok melalui kegiatan pair, dan dengan pasangan lain dalam kelompoknya melalui kegiatan square, kemudian mempresentasikan hasil pembentukan konsep atau pengetahuan ke seluruh kelas.

2.7 Penelitian yang Relevan

Permasalahan mengenai kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis bukanlah kajian yang baru di dunia pendidikan matematika. Ansari (2004) menggunakan strategi Think-Talk-Write (TTW) dalam kelompok kecil untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMU. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa yang belajar dengan strategi TTW dalam kelompok kecil memiliki kecenderungan perkembangan kemampuan


(40)

pemahaman dan komunikasi yang semakin meningkat daripada siswa yang belajar secara konvensional. Akan tetapi, penerapan strategi TTW dalam penelitian ini belum efektif karena rata-rata kemampuan pemahaman dan komunikasi untuk siswa–siswa yang belajar dengan strategi tersebut belum mencapai nilai cukup. Ada sejumlah penyebabnya, yaitu kurangnya pengetahuan prasyarat, proses pembelajaran yang dilakukan selama ini cenderung berpusat pada guru, kurangnya kemampuan membaca dan berdiskusi, serta jumlah siswa dalam satu kelas yang cenderung banyak.

Rohaeti (2003) menggunakan metode Introducing the new concepts, Metacognitive questioning, Practising, Reviewing and Reducing difficulties, Obtaining mastery, Verification, and Enrichment (IMPROVE) untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMP. Hasil penelitiannya adalah kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan metode IMPROVE lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa. Rata-rata pemahaman matematis siswa yang menggunakan metode IMPROVE berada dalam kualifikasi sedang, dan yang menggunakan cara biasa dalam kualifikasi kurang. Demikan juga untuk kemampuan komunikasi matematis, siswa yang pembelajarannya menggunakan metode IMPROVE kemampuan komunikasi matematisnya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya dengan cara biasa.

Ester (2007) melaporkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMK melalui pembelajaran kooperatif dengan


(41)

teknik TPS lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dengan cara biasa (konvensional). Rata-rata pemahaman matematis siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif berada dalam kualifikasi sedang, dan yang menggunakan cara biasa dalam kualifikasi kurang. Demikan juga untuk kemampuan komunikasi matematis, siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran kooperatif kemampuan komunikasi matematisnya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya dengan cara biasa.


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam latar belakang masalah telah diuraikan bahwa pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS diduga dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis. Dengan kata lain, terdapat hubungan sebab akibat antara pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS dengan peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis.

Karena penelitian ini untuk melihat hubungan sebab akibat antara pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS dengan peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMP, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen.

3.2 Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis yang mendapat pembelajaran koopertif dengan teknik TPS. Untuk mengetahui pengaruh pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS terhadap peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa, diperlukan kelas lain yang menggunakan model pembelajaran lama atau yang biasa dilakukan sehari-hari sebagai pembanding. Sebagaimana diungkapkan Gulo (2002) bahwa dalam suatu penelitian eksperimen, khususnya penelitian yang ingin menyelidiki keefektifan penggunaan metode mengajar baru,


(43)

diperlukan kelas lain atau kelompok siswa yang menggunakan metode lama atau yang biasa dilakukan sebelumnya sebagai pembanding. Kelas pembanding ini disebut sebagai kelas kontrol. Hasil dari kelas kontrol ini akan menjadi pembanding dari kelas eksperimen untuk mengetahui apakah hasil kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol.

Dalam penelitian ini terdapat dua kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas yang mendapat perlakuan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS disebut kelas eksperimen, dan kelas pembanding yang menggunakan pembelajaran yang biasa dilakukan sehari-hari atau pembelajaran konvensional disebut kelas kontrol.

Untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis, pada kedua kelas tersebut dilakukan pretes dan postes. Pretes diberikan sebelum proses pembelajaran dalam penelitian ini dimulai, sedangkan postes setelah seluruh proses pembelajaran selesai.

Penelitian ini adalah penelitian kuasi-eksperimen. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain yang melibatkan dua kelompok dengan pretes dan postes. Pengambilan kelompok tidak dilakukan secara acak. Desain ini disebut desain kelompok kontrol non-ekivalen (Ruseffendi, 2003), yang gambarnya adalah sebagai berikut:

O X O --- O O


(44)

dengan: O = pretes dan postes

X = kelas yang mendapat perlakuan pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS.

3.3 Populasi dan Sampel

Penelitian ini adalah studi eksperimen yang dilaksanakan di SMP Negeri 14 Bandar Lampung. Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh siswa kelas VIII SMPN 14 semester 1 tahun pelajaran 2009/2010. Sampel penelitiannya adalah dua kelas VIII dari delapan kelas paralel yang ada. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Dari dua kelas tersebut, satu kelas merupakan kelas eksperimen dan satu kelas lainnya merupakan kelas kontrol. Jumlah siswa pada kelompok eksperimen 32 orang dan pada kelompok kontrol 32 orang siswa, sehingga jumlah siswa pada kedua kelas sampel adalah 64 orang. Adapun alasan pemilihan sampel sebagai berikut.

1. SMP Negeri 14 Bandar Lampung termasuk kategori sedang dalam perolehan nilai UN tahun pelajaran 2008/2009, sehingga memungkinkan adanya siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Sehingga kondisi ini cocok untuk menerapkan pembelajaran kooperatif.

2. Siswa kelas VIII sudah satu tahun beradaptasi dengan lingkungan ataupun iklim belajar di SMP.


(45)

Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan di kelas eksperimen adalah sebagai berikut:

1. Guru menginformasikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, materi yang akan dipelajari, dan tugas-tugas yang akan dikerjakan siswa. Untuk memotivasi siswa, guru mengaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari.

2. Membentuk kelompok heterogen yang terdiri dari empat siswa berdasarkan nilai matematika semester sebelumya. Kelompok terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.

3. Kepada setiap siswa, guru membagikan teks bacaan yang berupa Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang berisi tugas-tugas yang harus diselesaikan. 4. Siswa melakukan tahap think, yaitu sebelum bekerjasama dan berdiskusi

dengan kelompoknya, setiap siswa diberi kesempatan untuk membaca, memahami, memikirkan kemungkinan jawaban, dan membuat catatan tentang hal-hal yang berhubungan dengan tugas.

5. Setelah tahap think selesai, maka dilanjutkan dengan tahap pair. Pada tahap ini siswa diminta untuk berpasangan dengan salah seorang teman dalam kelompoknya untuk mendiskusikan kemungkinan jawaban, atau hal-hal yang telah ditulis dalam catatan pada tahap think.

6. Pada tahap square, kedua pasangan ini mendiskusikan tugas-tugas yang belum dapat diselesaikan atau hal-hal yang belum dipahami ketika diskusi dengan pasangan, dan menetapkan hasil akhir jawaban kelompoknya.


(46)

7. Setelah tahap think, pair, dan square selesai, diadakan diskusi kelas. Kelompok-kelompok dengan jawaban yang benar tetapi memiliki cara penyelesaian yang berbeda, atau jawaban yang salah, diberi kesempatan mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas. Siswa atau kelompok lain menanggapi atau mengemukakan pendapatnya.

8. Kegiatan akhir pembelajaran adalah membuat refleksi dan kesimpulan atas materi yang dipelajari (feedback). Guru perlu memberikan feedback terhadap apa yang telah dilakukan oleh kelompok dan hasil kerja kelompok. Selain itu juga memperbaiki kesalahan-kesalahan atau kekurangan-kekurangan selama pembelajaran berlangsung.

9. Selama kegiatan pembelajaran ini, guru berkeliling kelas untuk mengamati aktivitas siswa dan mengontrol jalannya diskusi. Jika ada kelompok yang mengalami kesulitan, guru melakukan intervensi dengan memberikan bantuan seperlunya.

Langkah pembelajaran untuk kelas kontrol adalah seperti yang biasa dilakukan sehari-hari (pembelajaran konvensional).


(47)

3.4 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Adapun variabel bebas ialah perlakuan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS pada kelas eksperimen. Variabel terikat ialah hasil belajar siswa yaitu kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis.

3.5 Instrumen Penelitian

1. Tes kemampuan pemahaman matematis 2. Tes kemampuan komunikasi matematis

3. Format observasi terhadap aktivitas siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS.

4. Angket untuk siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS.

5. Angket untuk guru.

3.5.1 Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis

Tes digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Tes yang digunakan berbentuk uraian, dengan maksud untuk melihat proses pengerjaan siswa agar dapat diketahui sejauhmana siswa mampu melakukan pemahaman dan komunikasi matematis. Tes terdiri dari lima butir soal untuk mengukur kemampuan pemahaman matematis, dan lima butir soal untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis.


(48)

Sebelum soal tes disusun, kisi-kisi soal dibuat terlebih dahulu, dilanjutkan dengan menentukan kriteria penskoran yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa.

Tes kemampuan pemahaman matematis siswa disusun sedemikian rupa sehingga siswa menjawab sesuai dengan indikator kemampuan pemahaman matematis yang dimaksud yaitu menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika, memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep, dan menerapkan konsep secara algoritma.

Tes kemampuan komunikasi matematis disusun sedemikian rupa sehingga siswa menjawab sesuai dengan indikator kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud yaitu kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi dengan gambar, tabel atau grafik, kemampuan siswa dalam menjelaskan ide atau situasi dengan kata-kata sendiri, dan kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi ke dalam bentuk model matematika.

Kriteria pemberian skor, baik untuk tes pemahaman maupun komunikasi, berpedoman pada Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh Cai, Lane, dan Jakabcsin (Ansari, 2004) sebagai berikut:


(49)

Tabel 3.1

Kriteria Skor Kemampuan Pemahaman Matematis

Skor Kriteria

4 Menunjukkan kemampuan pemahaman:

a. Penggunaan konsep dan prinsip terhadap soal matematika secara lengkap

b. Penggunaan algoritma secara lengkap dan benar, dan melakukan perhitungan dengan benar

3 Menunjukkan kemampuan pemahaman:

a. Penggunaan konsep dan prinsip terhadap soal matematika hampir lengkap

b. Penggunaan algoritma secara lengkap, namun mengandung sedikit kesalahan dalam perhitungan

2 Menunjukkan kemampuan pemahaman:

a. Penggunaan konsep dan prinsip terhadap soal mattematika kurang lengkap

b. Penggunaan algoritma, namun mengandung perhitungan yang salah

1 Menunjukkan kemampuan pemahaman:

a. Penggunaan konsep dan prinsip terhadap soal matematika sangat terbatas

b. Jawaban sebagian besar mengandung perhitungan yang salah 0 Tidak ada jawaban, kalaupun ada tidak menunjukkan pemahaman


(50)

Tabel 3.2

Kriteria Skor Kemampuan Komunikasi Matematis

Skor Menulis (Written Text)

Menggambar (Drawing)

Ekspresi matematis

(Mathematical Expression) 0 Tidak ada jawaban, kalaupun ada menunjukkan tidak memahami konsep

sehingga informasi yang diberikan tidak berarti apa-apa 1 Hanya sedikit dari

penjelasan yang benar

Gambar, diagram, atau tabel yang dibuat hanya sedikit yang benar

Hanya sedikit dari model matematika yang benar

2 Penjelasan secara matematis masuk akal, namun hanya sebagian lengkap dan benar

Membuat gambar, diagram, atau tabel namun kurang lengkap dan benar

Membuat model

matematika dengan benar dan melakukan

perhitungan, namun ada sedikit kesalahan atau salah dalam mendapatkan solusi 3 Penjelasan secara

matematis masuk akal dan benar, meskipun tidak tersusun secara logis dan ada sedikit kesalahan

Membuat gambar, diagram atau tabel dengan lengkap dan benar

Membuat model

matematika dengan benar, melakukan perhitungan, dan mendapatkan solusi secara lengkap dan benar

4 Penjelasan secara matematis masuk akal, benar, dan tersusun secara logis

Skor maksimal: 4 Skor maksimal: 3 Skor maksimal: 3

Agar memenuhi syarat sebagai instrumen yang baik, soal tes diujicobakan terlebih dahulu kepada siswa lain yang tidak menjadi sampel penelitian. Hasil uji coba tersebut dianalisis untuk mengetahui validitas, reliabilitas, indeks kesukaran, dan daya pembeda.


(51)

3.5.1.1 Analisis Validitas

Validitas merupakan tingkat keabsahan atau ketepatan suatu tes. Suatu instrumen dikatakan valid (absah atau sahih) bila instrumen itu mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi (Suherman dan Kusumah, 1990).

Validitas suatu instrumen hendaknya dilihat dari berbagai aspek. Dalam penelitian ini, analisis penelitian yang dilakukan meliputi validitas isi dan validitas butir soal.

Validitas isi berkenaan dengan ketepatan materi yang dievaluasikan. Dengan kata lain, materi yang dipakai sebagai alat evaluasi merupakan sampel representatif dari pengetahuan yang harus dikuasai siswa (Suherman dan Kusumah, 1990). Validitas isi yang dinilai adalah kesesuaian antara butir soal dengan kisi-kisi soal, penggunaan bahasa atau gambar dalam soal, dan kebenaran materi atau konsep, kemudian hasilnya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing.

Validitas butir soal digunakan untuk mengetahui dukungan suatu butir soal terhadap skor total. Dengan demikian, dari hasil perhitungan validitas ini dapat diselidiki lebih lanjut butir-butir soal yang mendukung dan yang tidak mendukung. Dukungan setiap butir soal dinyatakan dalam bentuk korelasi, sehingga untuk mendapatkan validitas butir soal bisa digunakan rumus Product Moment Pearson, yaitu:

rxy = ∑ . – ∑ ∑

∑ ∑ ∑ ∑

,


(52)

rxy = koefisien validitas, xi = skor butir soal, yi = skor total,

n = jumlah siswa.

Hasil perhitungan koefisien korelasi diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi koefisien validitas yang dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3

Klasifikasi Koefisien Validitas

Besarnya rxy Klasifikasi

0,80 < rxy ≤ 1,00 Validitas sangat tinggi (sangat baik) 0,60 < rxy ≤ 0,80 Validitas tinggi (baik)

0,40 < rxy ≤ 0,60 Validitas sedang (cukup) 0,20 < rxy ≤ 0,40 Validitas rendah (kurang) 0,00 < rxy ≤ 0,20 Validitas sangat rendah rxy ≤ 0,00 Tidak valid

Sumber: (Suherman dan Kusumah, 1990).

Kemudian untuk mengetahui apakah antara dua variabel, dalam hal ini adalah skor butir soal dan skor total, terdapat hubungan (dependen) atau tidak terdapat hubungan (independen), dilakukan tes siginifikan korelasi dengan uji-t. Hipotesis nol yang diuji adalah kedua variabel independen, sedangkan hipotesis alternatifnya adalah kedua variabel dependen. Uji-t yang digunakan yaitu:

thitung =

r

xy , Sudjana (2005),

dengan:

n = jumlah siswa, rxy = koefisien validitas,


(53)

Untuk taraf signifikan = 0,05, H0 diterima jika –ttabel < thitung < ttabel, selain itu H0 ditolak.

Hasil perhitungan dan interpretasi validitas butir soal tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4

Hasil Perhitungan dan Interpretasi Validitas Tes

Jenis Tes No Soal Koefisien Korelasi (rxy) Interpretasi Koefisien Validitas

thitung ttabel Kesimpu lan

Kemampuan Pemahaman Matematis

1 0,740 Tinggi 6,026 1,697 Valid

3 0,692 Tinggi 5,250 1,697 Valid

5 0,750 Tinggi 6,210 1,697 Valid

7 0,679 Tinggi 5,066 1,697 Valid

9 0,678 Tinggi 5,052 1,697 Valid

Kemampuan Komunikasi Matematis

2 0,751 Tinggi 6,229 1,697 Valid

4 0,791 Tinggi 7,081 1,697 Valid

6 0,841 Tinggi 8,514 1,697 Valid

8 0,711 Tinggi 5,538 1,697 Valid

10 0,724 Tinggi 5,748 1,697 Valid

3.5.1.2 Analisis Reliabilitas

Reliabilitas soal merupakan ukuran yang menyatakan tingkat keajegan atau kekonsistenan dari soal tes. Menurut (Suherman dan Kusumah, 1990), suatu alat evaluasi dikatakan reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan untuk subjek yang sama pada waktu yang berbeda.

Tes di dalam penelitian ini berbentuk uraian, sehingga perhitungan reliabiltas tes menggunakan rumus Cronbach’s Alpha, yaitu:


(54)

r11 =

1 −

∑ , (Suherman dan Kusumah, 1990), dengan:

r11 = derajat reliabilitas, n = jumlah butir soal, 2 = variansi skor butir soal,

"

2 = variansi skor total.

Perhitungan derajat reliabilitas soal dilakukan dengan menggunakan program Anates.

Hasil perhitungan derajat reliabilitas kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi derajat reliabilitas yang dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5

Klasifikasi Derajat Reliabilitas

Besarnya r11 Klasifikasi

r11 ≤ 0,20 Derajat reliabilitas sangat rendah 0,20 < r11 ≤ 0,40 Derajat reliabilitas rendah

0,40 < r11 ≤ 0,70 Derajat reliabilitas sedang 0,70 < r11≤ 0,90 Derajat reliabilitas tinggi 0,90 < r11 ≤ 1,00 Derajat reliabilitas sangat tinggi

Sumber: Suherman dan Kusumah (1990)

Hasil perhitungan dan interpretasi derajat reliabilitas tes soal kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis dapat dilihat pada Tabel 3.6.


(55)

Tabel 3.6

Hasil Perhitungan dan Derajat Reliabiltas Tes

Jenis Tes Derajat

Reliabilitas Kategori

Pemahaman Matematis 0,71 Tinggi

Komunikasi Matematis 0,78 Tinggi

3.5.1.3 Analisis Daya Pembeda

Daya pembeda suatu butir soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (menguasai materi yang ditanyakan) dengan siswa yang kurang pandai (belum/ tidak menguasai materi yang ditanyakan). Daya pembeda suatu butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara siswa yang dapat menjawab soal dan siswa yang tidak dapat menjawab soal (Suherman dan Kusumah, 1990). Daya pembeda dihitung dengan membedakan subjek menjadi dua kelompok setelah diurutkan menurut peringkat perolehan skor hasil tes. Kelompok itu adalah 50% kelompok atas dan 50% kelompok bawah. Rumus yang digunakan untuk daya pembeda tiap butir soal sebagai berikut:

DP = #$% #$&

# % atau DP =

#$% #$& # & (Suherman dan Kusumah, 1990), dengan:

DP = Daya pembeda


(56)

JBB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar, JSA = Jumlah siswa kelompok atas,

JSB = Jumlah siswa kelompok bawah.

Hasil perhitungan daya pembeda diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi daya pembeda yang dapat dilihat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7

Klasifikasi Daya Pembeda

Besarnya DP Klasifikasi

DP ≤ 0,00 Sangat jelek 0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek

0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup 0,40 < DP ≤ 0,70 Baik

0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat Baik Sumber: Suherman dan Kusumah (1990)

Hasil perhitungan dan interpretasi daya pembeda soal tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis dapat dilihat pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8.

Hasil Perhitungan dan Interpretasi Daya Pembeda Jenis Tes No

Soal

Daya

Pembeda Kategori

Pemahaman Matematis

1 0,50 Baik

3 0,69 Baik

5 0,44 Baik

7 0,44 Baik

9 0,56 Baik

Komunikasi Matematis

2 0,38 Cukup

4 0,50 Baik

6 0,47 Baik

8 0,38 Baik


(57)

3.5.1.4 Analisis Indeks Kesukaran

Analisis indeks kesukaran tiap butir soal dihitung berdasarkan jawaban seluruh siswa yang mengikuti tes. Skor hasil tes yang diperoleh siswa diklasifikasikan atas benar dan salah seperti pada analisis daya pembeda. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks kesukaran adalah sebagai berikut:

IK =#$% ( #$&

# % ( # & , (Suherman dan Kusumah, 1990)

dengan:

IK = Indeks Kesukaran,

JBA = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal dengan benar, JBB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar, JSA = Jumlah siswa kelompok atas,

JSB = Jumlah siswa kelompok bawah.

Hasil perhitungan indeks kesukaran diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi indeks kesukaran yang dapat dilihat pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9

Klasifikasi Indeks Kesukaran

Besarnya IK Klasifikasi

IK = 0,00 Soal terlalu sukar 0,00 < IK ≤ 0,30 Soal sukar 0,30 < IK ≤ 0,70 Soal sedang 0,70 < IK < 1,00 Soal mudah IK = 1,00 Soal terlalu mudah Sumber: Suherman dan Kusumah (1990)


(58)

Hasil perhitungan indeks kesukaran soal tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis yang telah diujicobakan dapat dilihat pada Tabel 3.10.

Tabel 3.10

Hasil Perhitungan dan Interpretasi Indeks Kesukaran Jenis Tes No

Soal

Indeks

Kesukaran Kategori Kemampuan

Pemahaman Matematis

1 0,50 Sedang

3 0,53 Sedang

5 0,47 Sedang

7 0,41 Sedang

9 0,41 Sedang

Kemampuan Komunikasi Matematis

2 0,63 Sedang

4 0,50 Sedang

6 0,47 Sedang

8 0,38 Sedang

10 0,34 Sedang

3.5.2 Lembar Observasi

Lembar observasi diberikan kepada pengamat untuk memperoleh gambaran secara langsung aktivitas belajar siswa dan bertujuan untuk membuat refleksi terhadap proses pembelajaran dan keterlaksanaan model pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS.

3.5.3 Angket untuk Siswa

Angket adalah sekumpulan pernyataan atau pertanyaaan yang harus dilengkapi oleh responden dengan memilih jawaban, atau menjawab pertanyaan


(59)

melalui jawaban yang sudah disediakan, atau melengkapi kalimat dengan jalan mengisi (Ruseffendi, 2003).

Angket dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkap respon yang berkenaan dengan pembelajaran matematika, pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS, dan pengaruh pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS terhadap kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis. Angket ini dibuat dengan berpedoman pada bentuk skala Likert dengan empat pilihan jawaban. Tes skala sikap ini diberikan kepada siswa kolompok eksperimen setelah semua kegiatan pembelajaran berakhir yaitu setelah postes.

Agar pernyataan dalam angket ini memenuhi persyaratan yang baik, maka terlebih dahulu meminta pertimbangan dosen pembimbing untuk memvalidasi isi setiap itemnya. Pada angket disediakan empat skala pilihan yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Pilihan netral (N) tidak digunakan, untuk menghindari jawaban aman, sekaligus mendorong siswa untuk menunjukkan keberpihakannya terhadap pernyataan yang diajukan.

Angket yang digunakan terdiri dari 21 pernyataan yang menggabungkan antara pernyataan positif dan negatif. Pernyataan positif dan negatif ini bertujuan agar jawaban siswa menyebar, tidak menuju pada satu arah saja di samping itu untuk menjaring kekonsistenan siswa dalam memberikan respon. Angket sikap diisi kelompok eksperimen setelah melaksanakan postes.


(60)

3.5.4 Angket untuk Guru

Angket diberikan kepada guru untuk dimintai tanggapannya tentang pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS yang digunakan selama penelitian. Guru diminta tanggapannya tentang model pembelajaran pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS, saran dan kritikan yang dilakukan dalam penelitian. Pemberian angket diberikan setelah seluruh proses penelitian dilakukan. Angket diberikan kepada guru matematika di sekolah tempat penelitian yang bertindak sebagai pengamat.

3.6 Pengembangan Bahan Ajar

Bahan ajar yang digunakan dalam penelitian ini berisi tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh siswa dan mengerjakannya dalam diskusi kelompok. Selain itu, tugas-tugas disusun sedemikian rupa sehingga bisa memenuhi indikator-indikator kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis yang ditentukan dalam penelitian ini.

Materi yang dipilih dalam penelitian ini adalah materi kelas VIII SMP yaitu pokok bahasan fungsi. Materi ini merujuk pada Kurikulum 2006.

3.7 Prosedur Pelaksanaan Penelitian 3.7.1 Tahap Persiapan Penelitian

Tahap ini diawali dengan kegiatan studi kepustakaan mengenai kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS. Kemudian dilanjutkan dengan menyusun


(1)

BAB V

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

sebagai berikut:

1.

Kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran

kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang mendapat

pembelajaran konvensional.

2.

Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran

kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang mendapat

pembelajaran konvensional.

3.

Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang

mendapat pembelajaran konvensional.

4.

Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang

mendapat pembelajaran konvensional.

4.2. Saran

Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan dalam penelitian ini, maka

penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut:


(2)

95

1.

Pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS dapat meningkatkan kemampuan

pemahaman dan komunikasi matematis serta siswa menunjukkan sikap yang

positif terhadap pembelajaran ini. Oleh karena itu pembelajaran kooperatif

dengan teknik TPS dapat digunakan di kelas sebagai alternatif untuk

meningkatkan prestasi belajar siswa.

2.

Pada awal pelaksanaan pembelajaran, masih terdapat siswa bekerja sendiri

dan tidak mau berbagi jawaban dalam menyelesaikan soal. Untuk itu

dibutuhkan peranan seorang guru untuk memberikan pengertian akan manfaat

bekerja sama dalam kelompoknya, sehingga semua proses dalam

pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.

3.

Kemampuan matematis yang diteliti dalam pembelajaran kooperatif dengan

teknik TPS ini adalah kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis.

Untuk peneliti yang lain, dapat melakukan penelitian lanjutan tentang

pengaruh pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS terhadap kemampuan

matematis lainnya seperti kemampuan koneksi, penalaran, dan pemecahan

masalah.

4.

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 14 Bandar Lampung yang

merupakan sekolah berkategori sedang. Untuk peneliti yang lain, dapat

menggunakan sekolah lain yang berkategori tinggi dan rendah.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ansari, B.I. (2004). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan

Komunikasi Matematik Siswa SMU melalui Strategi Think-Talk-Write.

Disertasi pada PPS UPI. Bandung: Tidak Dipublikasikan..

Arikunto, S. (1995). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi

Aksara.

Astuti, W (2000). Penerapan Strategi Belajar Kooperatif Tipe Student Teams

Achievement Division (STAD) pada Pembelajaran Matematika Kelas II di

MAN Magelang. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak Dipublikasikan

Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi

Dasar Matematika SMP/MTs. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Darta. (2004). Pembelajaran Matematika Kontekstual dalam Upaya Mengembangkan

Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematika Mahasiswa

Calon Guru. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Model Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan dan Model Silabus Mata Pelajaran SMP/MTs. Jakarta: BP.

Cipta Jaya.

Ester, R. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik TPS Terhadap

Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematika Siswa

SMK (Studi Eksperimen di SMK Negeri 2 Cimahi). Tesis Pada PPS UPI.

Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Firdaus. (2005). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa melalui

Pembelajaran dalam Kelompok Kecil Tipe Team Assisted Individualization

dengan Pendekatan Berbasis Masalah. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak

Dipublikasikan.

Gulo, W. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta. Gramedia.

Hudoyo, H. (1998). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di

Depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional.

Ibrahim, M. (2000). Pembelajaran Kooperatif. Pusat Sains dan Matematika Sekolah

Program Pascasarjana UNESA: University Press.


(4)

96

Lie, A. (2004). Cooperative Learning. Jakarta: PT Grasindo.

Maitland, L. (2001). Think-Pair-Share and Think-Pair-Square. [online] Tersedia:

http://www.flcc.edu/science/biology/thinkpairshare.pdf .

[27 April 2009].

Malone, J.A. dan Krismanto, A. (1997). “Indonesian Students’ Attitudes and

Perception towards Small-Group Work in Mathematics’. Journal of

Science and Mathematics Educations in Southeast Asia. XVI (2). 97-103.

Marzuki, A. (2006). Implementasi Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Tipe STAD dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan

Pemecahan Masalah Matematik Siswa. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak

Dipublikasikan..

Meltzer, D.E. (2002). Addendum to: The Relationship between Mathematics

Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: a possible “hidden

variable”

in

diagnostic

pretest

score.

[online].

Tersedia:

http:www.physics.iastate.edu/per/docs/addendum on normalized gain. Pdf.

[23 Oktober 2008].

Nasution, S. (1982). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar,

Jakarta: Bumi Aksara.

National Council of Teachers of Mathematics. (1989). Curriculum and Evaluation

Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM

National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and Standards for

School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

Pugalee, D.A. (2001). Using Communication to Develop Student’s Mathematical

Literation, Journal Research of Mathematical Education. [online]. Tersedia:

http://www.mynctm.org/ecsources/article-summary. [21 Oktober 2008].

Rahman, A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan

Generalisasi Matematik Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbalik. Tesis

pada PPS UPI. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Riduwan. (2004). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta.

Rohaeti, E. (2003). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Metode

IMPROVE untuk Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi


(5)

Matematik Siswa SLTP. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak

Dipublikasikan.

Ruseffendi, E.T. (1994). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA.

Bandung: Tarsito.

_____________. (1994). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non

Eksata Lainnya. Bandung: Tarsito

Ruseffendi, E. T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung:

IKIP Bandung Press.

Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Second

Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon Publishers.

Stahl, R.J. (1994). Cooperatif Learning in Social Studies. Handbook for Teacher.

USA: Kane Publishing Service, Inc.

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Suherman, E.,dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. UPI

Bandung: JICA FPMIPA-UPI.

Suherman, E. dan Kusumah, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan

Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusuma.

Sumarmo, Utari (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis Siswa

SMA dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logika Siswa dan Beberapa

Unsur Proses Belajar Mengajar. Bandung : Disertasi pada PPS UPI.

Bandung: Tidak Dipublikasikan.

___________. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan

Pemecahan Masalah pada Guru dan Siswa SMP di Kodya Bandung. Laporan

Penelitian IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

___________. (2000). Kecenderungan Pembelajaran Matematika pada Abad 21:

Bandung: Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika FP MIPA UPI.


(6)

98

___________. (2005). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan

Kurikulum Tahun 2002 Sekolah Menengah. Makalah pada Seminar

Pendidikan Matematika. Gorontalo: UNG-Gorontalo.

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:

Kanisius.

Suryadi, D. (1999). Pedoman Pembelajaran Matematika SD untuk Meningkatkan

Keterampilan Intelektual Tingkat Tinggi. Diktat: Tidak Dipublikasikan.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta

Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam rangka

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP.

Disertasi pada PPS UPI. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Suryosubroto, B. (1997). Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Trihendradi, C. (2009). Step by Step SPSS 16 Analisis Data Statistik. Yogyakarta:

ANDI.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan

Siswa dalam Pembelajaran Matematika. Disertasi pada PPS UPI. Bandung:

Tidak Dipublikasikan

Whidiarso,

W.

(2007).

Uji

Hipotesis

Komparatif.

[online]

Tersedia:

http://elisa.ugm.ac.id/files/wahyu_psy/maaio0d2/Membaca_t-tes.pdf

[27 Juni 2009]


Dokumen yang terkait

Perbedaan hasil belajar biologi antara siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif teknik think pair share dan teknik think pair squre

0 4 174

Pengaruh Metode Write Pair Switch Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Berdasarkan Tingkat Kemampuan Kognitif

10 55 143

Penerapan model pembelajaran cooperative teknik think pair square (Tps) dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqih kelas VIII H di Mts pembangunan uin Jakarta

0 15 161

PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN THINK PAIR SHARE (TPS).

0 4 44

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMA NEGERI 6 PADANGSIDIMPUAN MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE (TPS) BERBANTUAN AUTOGRAPH.

0 5 32

PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN SIKAP SISWA YANG DIBERI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE DENGAN TIPE THINK PAIR SQUARE PADA SMP NEGERI PEMATANG SIANTAR.

0 3 46

PERBEDAAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KOMUNIKASI MATEMATIS ANTARA SISWA YANG DIBERI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SQUARE DENGAN THINK-PAIR-SHARE.

0 2 24

PERBEDAAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SQUARE MENGGUNAKAN AUTOGRAPH DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SQUARE TANPA AUTOGRAPH.

0 1 28

KEMAMPUAN PEMAHAMAN, BERPIKIR KRITIS, DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMA MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN THINK-PAIR-SQUARE-SHARE DENGAN PENDEKATAN INDUKTIF-DEDUKTIF.

0 2 46

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE ‘THINK- PAIR-SQUARE’ DI SMP NEGERI 1 YOGYAKARTA DENGAN TOPIK

0 7 279