Pengaruh Metode Write Pair Switch Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Berdasarkan Tingkat Kemampuan Kognitif

(1)

(Penelitian Quasi Eksperimen di Kelas VII SMP Negeri 3 Parungpanjang)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh

Tommy Adithya

NIM : 109017000075

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, Januari 2014.

Tujuan utama penelitian ini adalah : 1) Untuk mengetahui pengaruh metode pembelajaran terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa, 2) Untuk mengetahui pengaruh tingkat kemampuan kognitif siswa terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa, 3) Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dan tingkat kemampuan kognitif siswa terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 3 Parungpanjang tahun ajaran 2013/2014 dengan sampel sebanyak 79 siswa, 40 siswa kelas eksperimen dan 39 siswa kelas kontrol. Masing-masing siswa di tiap kelas dikelompokan kembali berdasarkan tingkat kemampuan kognitif yang dimilikinya. Sehingga terbentuk 3 kelompok berbeda di tiap kelas yakni kelompok rendah, kelompok sedang dan kelompok tinggi.

Uji hipotesis penelitian menggunakan uji ANAVA dua jalur. Hasil uji hipotesis penelitian menunjukan nilai signifikansi untuk pengaruh metode pembelajaran sebesar 0,003 dengan nilai rata-rata kelas eksperimen sebesar 67,87 dan nilai rata-rata kelas kontrol 59,48. Hasil uji hipotesis kedua menunjukan nilai signifikansi untuk pengaruh tingkat kemampuan kognitif sebesar 0,000 dengan nilai rata-rata siswa kemampuan rendah sebesar 57,45 dan nilai rata-rata siswa kemampuan sedang sebesar 76,53. Hasil uji hipotesis yang ketiga menunjukan nilai signifikansi untuk pengaruh interaksi sebesar 0,601 dengan nilai rata-rata keseluruhan 63,73.

Dari hasil uji hipotesis diambil 3 kesimpulan untuk penelitian ini : 1) Terdapat pengaruh metode pembelajaran terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa, 2) Terdapat pengaruh tingkat kemampuan kognitif siswa terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa, 3) Tidak terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dan tingkat kemampuan kognitif siswa terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.

Kata kunci : Metode Write Pair Switch, Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa, Tingkat Kemampuan Kognitif Siswa


(6)

ii

Cognitive Levels” Thesis of Department of Mathematics Education, Faculty of Tarbiya and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2014.

The main purpose of this research is to identify three conditions. First is to identify the effect of teaching methods to students mathematical communication skill. Second is to identify the effect of students cognitive level to students mathematical communication skill. Third is to identify the effect of interaction between teaching methods and students cognitive level to students mathematical communication skill. Research was conducted at SMP Negeri 3 Parungpanjang for academy year 2013/2014 with 79 students as sample, 40 students from experiment class and 39 students from control class. Students for each class then divided to three group based on their individual cognitive level. These three group labeled as high skill group, middle skill group, low skill group.

Research hypothesis analyzed using Two way of ANOVA. The result show the significant value of teaching methods effect is 0.003 with 67.87 mean of experiment class and 59.48 mean of control class. Second result give the significant value of students cognitive level effect is 0.000 with 57.45 mean of low group and 76.53 mean of middle group. The third result give the significant value of interaction effect is 0.601 with total mean 63.73.

Three conclusions are taken from the result. First, teaching methods have a significant effect to students mathematical communication skill. Second, student cognitive level have a significant effect to students mathematical communication skill. Third, there is no significant effect from interaction between teaching methods and student cognitive level to students mathematical communication skill.

Key words: Write Pair Switch, Students Mathematical Communication Skill, Students Cognitive Level


(7)

iii

memberikan segala karunia, nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat kesehatan yang berlimpah dari dunia sampai akhirat. Shalawat dan Salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman. Selesainya skripsi ini tidak terlepas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Nurlena Rifa’I, M.A, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Maifalinda Fatra, M. Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Otong Suhyanto, M. Si, sebagai Sekretaris Jurusan Pendidikan

Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Lia Kurniawati, M. Pd, selaku Dosen Pembimbing Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Abdul Muin, M.Pd, selaku dosen pembimbing I yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Khairunnisa, M.Si, selaku pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen dan Staf Jurusan Pendidikan Matematika yang telah

memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

8. Bapak Drs. A. Sanusi selaku Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Parungpanjang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

9. Bapak Drs. Arif Dwi Handoyo selaku Wakil Kepala Sekolah dan juga Guru Pamong yang telah banyak membantu selama proses penelitian di sekolah.


(8)

iv

kasih sayangnya serta do’a kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Lebih khusus lagi untuk Mama, yang telah menjadi kekuatan terbesar untukku menyelesaikan skripsi ini. Tanpa Mama skripsi ini takkan pernah selesai pada waktunya.

12.Rekan seperjuanganku (Mairanti Pratiwi), yang telah bersama-sama bekerja

keras dalam menyelesaikan tugas skripsi ini. Semoga perjuangan kita akan memberikan hasil yang indah pada akhirnya.

13.Yang selalu selangkah di depan (Linda Rusdiana, S.Pd), petunjuk dan

semangat darinya membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Sahabatku (Yulisa Desriyanti), yang telah meluangkan banyak waktunya

untuk menemani dan memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.

15. Kepada seluruh mahasiswa/i jurusan pendidikan matematika angkatan 2009, khususnya kelas C, semoga kebersamaan kita menjadi kenangan terindah untuk menggapai kesuksesan di masa mendatang.

16. Dan kepada semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan karena terbatasnya kemampuan penulis. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi khasanah ilmu pengetahuan, Amin.

Jakarta, 12 Januari 2014 Penulis


(9)

v

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian... 5

F. Manfaat Penelitian... 5

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ... 7

A. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ... 7

B. Metode Pembelajaran Konvensional ... 11

C. Metode Pembelajaran Write Pair Switch ... 12

D. Tingkat Kemampuan Kognitif Siswa ... 14

E. Penelitian yang Relevan ... 18

F. Kerangka Berfikir ... 18

G. Hipotesis Penelitian ... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 22

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

B. Desain Penelitian ... 22

C. Populasi dan Sampel ... 23

D. Teknik Pengumpulan Data ... 24

E. Instrumen Penelitian ... 24


(10)

vi

2. Siswa Kemampuan Kognitif Sedang Kelas Eksperimen ... 39

3. Siswa Kemampuan Kognitif Rendah Kelas Kontrol ... 41

4. Siswa Kemampuan Kognitif Sedang Kelas Kontrol ... 42

5. Perbandingan Siswa Kelas Eksperimen dengan Siswa Kelas Kontrol ... 44

6. Perbandingan Siswa Kemampuan Kognitif Rendah dengan Siswa Kemampuan Kognitif Sedang ... 46

7. Nilai Rata-rata Keseluruhan ... 46

B. Pengujian Hipotesis ... 47

1. Uji Normalitas Nilai Siswa Kemampuan Rendah Kelas Eksperimen ... 47

2. Uji Normalitas Nilai Siswa Kemampuan Sedang Kelas Eksperimen ... 48

3. Uji Normalitas Nilai Siswa Kemampuan Rendah Kelas Kontrol ... 49

4. Uji Normalitas Nilai Siswa Kemampuan Sedang Kelas Kontrol ... 50

5. Uji Homogenitas Data ... 51

6. Uji Hipotesis Penelitian ... 52

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 55

1. Terdapat Pengaruh Metode Pembelajaran Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ... 55

2. Terdapat Pengaruh Tingkat Kemampuan Kognitif Siswa Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ... 58

3. Tidak Terdapat Pengaruh Interaksi Antara Metode Pembelajaran Dengan Tingkat Kemampuan Kognitif Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ... 59


(11)

vii

DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 66


(12)

viii

Tabel 2.2 Tingkat Kemampuan Kognitif (Diadopsi Dari Marybelle Savage) 17

Tabel 3.1 Waktu Penelitian ... 22

Tabel 3.2 Desain Penelitian ... 23

Tabel 3.3 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 25

Tabel 3.4 Hasil Uji Prasyarat Instrumen ... 28

Tabel 3.5 Hasil Uji Reliabilitas dengan Software SPSS ... 29

Tabel 3.6 Struktur Data ... 33

Table 4.1 Struktur Data Hasil Penelitian... 37

Tabel 4.2 Deskriptif Data Kelompok Rendah Kelas Eksperimen ... 38

Tabel 4.3 Deskriptif Data Kelompok Sedang Kelas Eksperimen ... 40

Tabel 4.4 Deskriptif Data Kelompok Rendah Kelas Kontrol ... 41

Tabel 4.5 Deskriptif Data Kelompok Sedang Kelas Kontrol ... 43

Tabel 4.6 Perbandingan Nilai Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 44

Tabel 4.7 Hasil Uji Normalitas Kelompok Rendah Kelas Eksperimen ... 47

Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas Kelompok Sedang Kelas Ekperimen ... 48

Tabel 4.9 Hasil Uji Normalitas Kelompok Rendah Kelas Kontrol ... 49

Tabel 4.10 Hasil Uji Normalitas Kelompok Sedang Kelas Kontrol ... 50

Tabel 4.11 Hasil Uji Homogenitas dengan Software SPSS ... 51

Tabel 4.12 Hasil Uji ANAVA dengan SPSS ... 53

Tabel 4.13 Interaksi Metode Pembelajaran dengan Tingkat Kemampuan Kognitif Siswa ... 59


(13)

ix

Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Nilai Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 45 Gambar 4.2 Grafik Sebaran Data Nilai Siswa Kelompok Rendah Kelas

Eksperimen ... 48 Gambar 4.3 Grafik Sebaran Data Nilai Siswa Kelompok Sedang Kelas

Eksperimen ... 49 Gambar 4.4 Grafik Sebaran Data Nilai Siswa Kelompok Rendah Kelas

Kontrol ... 50 Gambar 4.5 Grafik Sebaran Data Nilai Siswa Kelompok Sedang Kelas

Kontrol ... 51 Gambar 4.6 Hasil Jawaban Siswa Kelompok Sedang Kelas Eksperimen .... 56 Gambar 4.7 Hasil Jawaban Siswa Kelompok Sedang Kelas Kontrol ... 56 Gambar 4.8 Hasil Jawaban Siswa Kelompok Sedang Kelas Eksperimen .... 57 Gambar 4.9 Hasil Jawaban Siswa Kelompok Sedang Kelas Kontrol ... 57 Gambar 4.10 Hasil Jawaban Siswa Kelompok Rendah Kelas Eksperimen .... 58 Gambar 4.11 Hasil Jawaban Siswa Kelompok Rendah Kelas Kontrol ... 59


(14)

x

Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen ... 66

Lampiran 2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ... 74

Lampiran 3 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 78

Lampiran 4 Pedoman Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematis ... 94

Lampiran 5 Kisi-kisi Tes Kemampuan Prasyarat ... 95

Lampiran 6 Instrumen Tes Kemampuan Prasyarat ... 96

Lampiran 7 Kunci Jawaban Tes Kemampuan Prasyarat ... 97

Lampiran 8 Hasil Tes Kemampuan Prasyarat ... 98

Lampiran 9 Kisi-kisi Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sebelum Validitas ... 100

Lampiran 10 Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sebelum Validitas ... 101

Lampiran 11 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sebelum Validitas ... 102

Lampiran 12 Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 104

Lampiran 13 Perhitungan Uji Validitas ... 105

Lampiran 14 Tabel Hasil Uji Validitas ... 106

Lampiran 15 Perhitungan Uji Taraf Kesukaran ... 107

Lampiran 16 Tabel Hasil Uji Taraf Kesukaran ... 108

Lampiran 17 Perhitungan Uji Daya Pembeda ... 109

Lampiran 18 Tabel Hasil Uji Daya Pembeda ... 110

Lampiran 19 Hasil Uji Reliabilitas Dengan Software SPSS ... 111

Lampiran 20 Rekapitulasi Hasil Uji Prasyarat Instrumen... 113

Lampiran 21 Kisi-kisi Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Setelah Validitas ... 114

Lampiran 22 Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Setelah Validitas ... 115


(15)

xi

Eksperimen dengan Software SPSS ... 118

Lampiran 26 Hasil Uji Normalitas Nilai Siswa Kelompok Sedang Kelas Eksperimen ... 120

Lampiran 27 Hasil Uji Normalitas Nilai Siswa Kelompok Rendah Kelas Kontrol ... 122

Lampiran 28 Hasil Uji Normalitas Nilai Siswa Kelompok Sedang Kelas Kontrol ... 124

Lampiran 29 Hasil Uji Homogenitas Data dengan Software SPSS ... 126

Lampiran 30 Hasil Uji ANAVA dengan Software SPSS ... 127


(16)

1

A.

Latar Belakang Masalah

Sudah sejak lama matematika dikenal sebagai cabang ilmu pengetahuan yang identik dengan angka-angka, simbol-simbol, teori-teori yang kebanyakan orang menganggapnya sulit untuk dimengerti. Bagi sebagian besar siswa, matematika merupakan momok sehingga mereka enggan untuk mengenalnya lebih jauh. Namun beberapa tahun belakangan terjadi perubahan yang positif, para siswa dan orangtuanya mulai memahami pentingnya matematika dalam kehidupan. Banyak siswa yang mulai menekuni matematika secara lebih mendalam, ada pula dari mereka yang sengaja memanggil guru privat untuk belajar secara pribadi di rumah. Perubahan positif ini tentu diikuti dengan hasil yang positif pula, para siswa mendapat peningkatan nilai dalam mata pelajaran matematika di sekolah. Namun matematika bukan hanya sebatas bagaimana menggunakan sebuah rumus untuk menyelesaikan sebuah soal yang diberikan guru, pada hakekatnya matematika diciptakan untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari sehingga pada setiap akhir operasi matematika sudah seharusnya terdapat jawaban atas masalah yang ada di kehidupan nyata bukan hanya jawaban dari soal yang disajikan.

Pada kenyataannya kebanyakan siswa berfikiran bahwa matematika merupakan ilmu yang berasal dari suatu tempat yang jauh di luar angkasa sehingga setiap soal dan teorinya tak memiliki hubungan apapun dengan dunia yang dikenalnya. Sehingga masalah baru muncul, banyak siswa yang mampu mengerjakan dan menyelesaikan soal yang diberikan guru dengan tepat, namun ketika guru atau seorang teman memintanya untuk menjelaskan proses penemuan jawaban tersebut dan hubungannya dengan dunia nyata masih banyak siswa yang kebingungan untuk menjawabnya. Kemampuan siswa untuk menjelaskan ide-ide matematis melalui lisan atau tulisan dan kemampuan siswa menyatakan situasi serta benda-benda di dunia nyata ke dalam ide matematis ataupun sebaliknya


(17)

(menyatakan ide matematis sebagai situasi atau benda di kehidupan nyata) disebut Kemampuan Komunikasi Matematis.

Komunikasi matematis merupakan salah satu standar yang diterapkan oleh National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) bagi semua sekolah dan lembaga pendidikan yang mengajarkan matematika kepada siswanya. Adapun standar lain yang diterapkan NCTM yaitu Kemampuan Penalaran dan Pembuktian (Reasoning and Proof), Kemampuan Koneksi (Connection), Kemampuan Representasi (Representation), dan Kemampuan Pemecahan Masalah (Problem Solving).1 Kelima standar ini merupakan anak tangga yang menopang satu sama lainnya, sehingga hanya apabila kelima standar dapat dipenuhi barulah siswa akan dapat memahami dan menggunakan matematika secara maksimal dalam kehidupannya.

Lebih khusus lagi pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang lebih dikenal dengan KTSP, dinyatakan bahwa salah satu tujuan dari pembelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.2 Terlihat jelas salah satu tujuan dari pembelajaran matematika di Indonesia adalah agar siswa dapat mengkomunikasikan ide matematis dengan peristiwa dunia nyata dengan maksud agar masalah yang dihadapi dapat menjadi lebih jelas dan mudah untuk diselesaikan. Dari kedua standar di atas dapat disimpulkan bahwa Komunikasi Matematis merupakan aspek penting yang harus dikembangkan dalam diri siswa dan semua orang yang ingin mempelajari matematika dengan tepat dan sesuai dengan hakekatnya. Di sinilah peranan penting seorang guru di sekolah, karena merupakan kewajiban seorang guru untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan dan potensi yang dimiliki semua siswanya. Dalam hal ini kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan komunikasi matematis siswa.

1

NCTM, Principles and Standards for School Mathematics, (Reston: NCTM, 2000) 2


(18)

Metode Write-Pair-Switch merupakan salah satu metode pengembangan terbaru dari model Cooperative Learning.3 Metode Write-Pair-Switch akan menciptakan suasana belajar yang penuh dengan interaksi antar peserta didik,4 hal ini diharapkan dapat membantu guru dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Komunikasi dan pertukaran informasi tersebut tidak hanya berupa lisan namun juga berupa tulisan, sehingga selain dapat memfasilitasi siswa untuk mengemukakan idenya secara lisan metode Write-Pair-Switch juga akan melatih siswa untuk mengemukakan ide-ide matematisnya melalui tulisan.

Secara teoritis metode Write-Pair-Switch dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa, hal ini berdasar pada teori dan pendapat para ahli yang akan dipaparkan lebih lanjut pada bab berikutnya. Namun pada kenyataannya ruang kelas merupakan suatu komunitas yang heterogen dalam berbagai aspek, dengan setiap siswa merupakan individu yang berbeda satu sama lainnya. Perbedaan tersebut akan menghasilkan kelompok-kelompok yang berbeda apabila kita memandang dari sudut pandang berlainan. Dalam hal ini penulis membedakan siswa berdasarkan tingkat kemampuan kognitif siswa, yaitu siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.5 Sehingga muncul sebuah pertanyaan yang menarik mengenai kemampuan komunikasi matematis siswa yang memiliki kemampuan kognitif berbeda, kelompok siswa manakah yang memiliki kemampuan komunikasi matematis paling baik. Pertanyaan lain yang muncul adalah mengenai pengaruh metode Write-Pair-Switch terhadap siswa yang berasal dari kelompok berbeda tersebut, dan pada kelompok mana pengaruh yang paling besar akan ditemukan. Dengan mengacu pada alasan yang telah dikemukakan di atas maka penulis memilih judul “Pengaruh Metode Write-Pair-Switch Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Berdasarkan Tingkat Kemampuan Kognitif” sebagai judul penelitian yang akan dilakukan kali ini.

3

George, M. Jacobs . Kimura, H., Cooperative Learning and Teaching. (TESOL International Association: TESOL Press, 2013)

4 Ibid. 5

Professional Examination Service 2007, Three Levels of Cognitive Behavior, 2013, (http://www.bpsweb.org/pdfs/threelevels.pdf)


(19)

B.

Identifikasi Masalah

Penelitian dilakukan berkaitan dengan masalah yang muncul seperti yang telah diuraikan dalam latar belakang yaitu mengenai kurangnya kemampuan komunikasi matematika siswa serta kurangnya kesadaran guru akan pentingnya pengembangan kemampuan komunikasi matematis siswa. Identifikasi masalah yang ditemui yaitu:

1. Siswa belum terbiasa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika.

2. Siswa kurang percaya diri dengan kemampuan komunikasi matematisnya 3. Siswa belum terbiasa belajar matematika secara berkelompok.

C.

Pembatasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang muncul penulis membatasi permasalahan yang hendak diteliti yaitu :

1. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh implementasi metode write-pair-switch terhadap kemampuan komunikasi matematis yang ditinjau berdasarkan kategori tingkat kemampuan kognitif yang dimiliki masing-masing siswa.

2. Kemampuan komunikasi matematis yang diteliti meliputi empat butir indikator yaitu : memberi jawaban dengan kalimat sendiri, membuat model matematika dari suatu permasalahan, menyatakan hasil pemeriksaan suatu pernyataan, menyatakan konsep matematika kedalam ilustrasi di kehidupan nyata.

3. Penelitian dilaksanakan pada siswa kelas VII-7 dan VII-8 di SMP Negeri 3 Parungpanjang.

4. Materi yang disampaikan pada saat penelitian adalah Persamaan Linier Satu Variabel dan dilakukan selama 8 kali pertemuan.


(20)

D.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh dari metode pembelajaran terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa?

2. Apakah terdapat pengaruh tingkat kemampuan kognitif siswa terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa?

3. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dan tingkat kemampuan kognitif siswa terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa?

E.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh penerapan metode Write-Pair-Switch dalam pembelajaran di kelas terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa dan apakah terdapat pengaruh tingkat kemampuan kognitif terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Lebih lanjut lagi pengaruh yang dimaksud akan dikategorikan berdasarkan interaksinya dengan tingkat kemampuan kognitif siswa (kemampuan tinggi, sedang, dan rendah).

F.

Manfaat Penelitian

1. Bagi Sekolah

Dapat menjadi masukan yang baik bagi sekolah dalam rangka perbaikan dan peningkatan pembelajaran terutama dalam mengenal metode-metode pembelajaran yang baru dan kegunaannya.

2. Bagi Guru

Guru dapat memperoleh pengalaman dan pengetahuan untuk memilih metode yang sesuai dalam rangka meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa, khususnya mengenai metode Write-Pair-Switch.


(21)

3. Bagi Siswa

Siswa mendapat pengalaman belajar dengan metode baru yaitu metode Write-Pair-Switch. Dengan metode baru tersebut diharapkan persepsi siswa tentang matematika dapat menjadi lebih baik dan siswa dapat lebih senang belajar matematika, dan tentu saja dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya dengan lebih baik.

4. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat memberikan pengalaman langsung kepada peneliti sebagai calon guru dalam mengembangkan strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang inovatif serta implementasinya di sekolah.


(22)

7

A.

Landasan Teoritis

1.

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu standar pengembangan yang harus dicapai dalam proses pembelajaran matematika di sekolah.1 Selain itu komunikasi matematis merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika yang tercantum pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang digunakan di Indonesia.2

Menurut Polla komunikasi matematika adalah salah satu faktor yang penting dalam proses pembelajaran matematika di dalam atau di luar kelas. Komunikasi memegang peranan penting dalam matematika. Setiap orang yang berkepentingan dengan matematika akan memerlukan komunikasi dalam perbendaharaan informasi yang lebih banyak.3

Peressini dan Bassett berpendapat bahwa tanpa komunikasi dalam matematika, kita hanya akan sedikit memiliki keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika. Pendapat ini menyiratkan makna bahwa dengan komunikasi matematis, guru tertolong untuk dapat lebih memahami kemampuan siswa pada saat menginterpretasi dan mengungkapkan pemahamannya tentang ide matematika yang sedang atau telah mereka pelajari selama proses pembelajaran. Sedangkan untuk terciptanya situasi pembelajaran yang lebih kondusif sehingga dapat mengoptimalkan kemampuan siswa dalam komunikasi matematis, siswa dapat diorganisasikan dalam kelompok-kelompok kecil. Model pembelajaran dalam kelompok-kelompok kecil

1

NCTM, Principles and Standards for School Mathematics, (Reston: NCTM, 2000) 2

BSNP, Standar Isi Standar Kompetensi Kompetensi Dasar, (Jakarta : BSNP, 2006) h. 146 3

Isrok’atun, Meningkatkan Komunikasi Matematika Siswa SMP Melalui Realistic Mathematics Education (RME) Dalam Rangka Menuju Sekolah Bertaraf Internasional, Jurnal Pendidikan DasarNomor 11, 2009. h. 8


(23)

ini memungkinkan timbulnya komunikasi dan interaksi yang lebih berkualitas antarsiswa.4

Menurut NCTM komunikasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari matematika dan pembelajaran matematika. Melalui komunikasi, ide-ide matematika akan didiskusikan dan mengalami proses refleksi, sehingga ide-ide tersebut dapat disempurnakan secara maksimal. Proses komunikasi matematis ini akan membangun pengalaman belajar yang nyata serta pemahaman yang lebih baik.5

Komunikasi baik berupa lisan atau tulisan tentu memiliki keterkaitan erat terhadap bahasa, tak terkecuali dengan komunikasi matematis. Hal ini didukung oleh pernyataan Barrody, bahwa sesungguhnya matematika adalah bahasa (mathematics as a language); matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, atau alat untuk menyelesaikan masalah, namun matematika juga adalah alat untuk mengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat, dan ringkas.6

Pentingnya komunikasi matematis berdasar pada manfaat matematika itu sendiri dalam bidang komunikasi. Cockroft mengemukakan beberapa alasan mengapa matematika perlu diajakan kepada siswa antara lain karena matematika merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas.7 Pernyataan tersebut menunjukan bahwa salah satu tujuan dari pembelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa dapat berkomunikasi dengan matematika sehingga penyampaian informasi menjadi lebih singkat dan jelas. Hal ini diperkuat dengan kesimpulan Cockroft yang menyatakan, pada dasarnya semua alasan pentingnya mengajarkan matematika berdasar pada manfaat matematika itu sendiri dalam menyelesaikan masalah di kehidupan sehari-hari.8

4

Ibid. 5

NCTM, op. cit., p. 60 6

Kadir, Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMP di Daerah Pesisir Kabupaten Buton Setelah Mendapat Pembelajaran kontekstual Pesisir, FKIP Unhalu Kendari, 2009

7

Mulyono, Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar (Jakarta : Rineka Cipta, 1999) h.253


(24)

Cobb, Wood, dan Yackel mengidentifikasi masalah yang sering ditemui guru dalam pengembangan komunikasi matematika, yaitu matematika begitu kuat dikaitkan dengan simbol dan angka sehingga komunikasi lisan ataupun tulisan tentang ide-ide matematika sering kali dianggap tidak penting. Di sinilah peranan penting guru untuk merangsang siswa berbicara atau menuliskan ide-ide matematika mereka. Silver, Smith, dan Nelson menyatakan cara terbaik merangsang siswa untuk berpartisipasi aktif dalam komunikasi matematika adalah dengan kegiatan kelas yang terstruktur.9

NCTM telah merumuskan standar yang akan menjadi acuan pengembangan komunikasi matematika mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, yaitu :10

1. Menggabungkan dan membangun ide-ide serta pemahaman matematika melalui komunikasi.

2. Menyampaikan dengan jelas ide-ide matematika yang telah dimiliki kepada teman kelas, guru, dan orang lainnya.

3. Menganalisis dan Mengevaluasi ide-ide matematika teman sekelas atau orang lain yang disampaikan padanya.

4. Menggunakan bahasa matematika untuk mamaparkan ide matematikanya secara tepat dan jelas.

Utari Sumarmo memaparkan pendapatnya mengenai kemampuan yang tergolong kedalam komunikasi matematika, yaitu :11

1. Menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, ide, atau model matematika

2. Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan 3. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika

4. Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis 5. Membuat konjektur, merumuskan definisi, dan generalisasi

6. Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika.

9

NCTM. op. cit., h. 60 10

Ibid. 11Isrok’atun.


(25)

Adapun Cappo & Osterman berpendapat bahwa matematika sebagai komunikasi memiliki 5 jenis kegiatan, yaitu : menulis (writing), merepresentasikan (representing), mendengarkan (listening), membaca (reading) , dan menyampaikan secara lisan (talking).12 Hal ini sejalan dengan pendapat Baroody yang mengatakan bahwa pembelajaran harus dapat membantu siswa mengkomunikasikan ide matematika melalui lima aspek komunikasi yaitu: representing, listening, reading, discussing, and writing.13

Collins, dkk dalam buku Mathematics Applications and Connections mengatakan bahwa salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para siswa untuk mengembangkan dan mengintegrasikan keterampilan berkomunikasi melalui modeling, speaking, writing, talking, drawing, serta mempresentasikan apa yang telah dipelajari.14

Lebih lanjut lagi Jacobs menyimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis sebagai salah satu aktivitas sosial (talking) maupun sebagai alat bantu berpikir (writing) yang direkomendasikan para pakar agar terus ditumbuhkembangkan di kalangan siswa. Komunikasi memainkan peranan sentral dalam Professional Teaching Standards NCTM, karena mengajar adalah mengkomunikasikan.15

Sesuai dengan yang telah disampaikan dalam pembatasan masalah. Kemampuan Komunikasi Matematis yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi kemampuan siswa dalam:

 Memberikan jawaban dengan kalimatnya sendiri,

 Membuat model matematika dari suatu permasalahan

 Menyatakan hasil pemeriksaan suatu pernyataan

 Menyatakan konsep matematika ke dalam ilustrasi di kehidupan nyata.

12

W. George C., Yvonne M. P., James H. Vance, Learning Mathematics in Elementary and Middle Schools, (Toronto: Pearson., 2004) p. 13

13

Wahid Umar, Membangun Kemampuan Komunikasi Matematis Dalam Pembelajaran Matematika, STKIP Siliwangi Bandung vol.1 no.1, 2012

14 Ibid. 15


(26)

2.

Metode Pembelajaran Konvensional

Metode pembelajaran konvensional dapat diartikan sebagai metode pembelajaran yang lazim digunakan oleh guru disekolah yang menjadi tempat penelitian. Pembelajaran matematika yang dilaksanakan di sekolah tempat penelitian ini adalah pembelajaran dengan metode ekspositori. Metode ekspositori menekankan proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu. Oleh karena metode ekspositori lebih menekankan kepada proses verbal, maka sering juga disebut dengan istilah chalk and talk.16

Metode pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher centered approach). Dikatakan demikian, sebab dalam strategi ini guru memegang peran yang sangat dominan. Melalui metode ini guru menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan dapat dikuasai siswa dengan baik. Fokus utama metode ini adalah pencapaian akademik (hasil belajar) siswa.17

Seperti metode pembelajaran lainnya metode pembelajaran ekspositori juga memiliki karakteristik yang menjadi ciri khasnya. Karakteristik pembelajaran ekspositori antara lain :18

1. Penyampaian materi secara verbal. Artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam metode pembelajaran ini, oleh karena itu metode ini sering juga disebut metode ceramah.

2. Konsep dihapal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang. 3. Tujuan utamanya adalah penguasaan materi pelajaran. Seperti pada poin

kedua, dalam metode ini guru menilai penguasaan materi siswa berdasarkan kemampuan siswa dalam mengungkapkan kembali materi yang telah diberikan.

16Wina Sanjaya.Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. (Jakarta : Kencana, 2009) h.179

17Ibid., h.179 18Ibid., h.179


(27)

Metode ekspositori memiliki kelemahan dan keunggulan tertentu seperti layaknya metode pembelajaran lainnya. Keunggulan metode ini antara lain, yang pertama, guru dapat mengontrol urutan penyampaian materi secara mutlak. Kedua, guru dapat menyampaikan materi dengan waktu yang relatif singkat. Ketiga, dapat digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.19

Kelemahan metode ini yang pertama, tidak efektif untuk kelompok siswa dengan kemampuan menyimak rendah. Kedua, tidak dapat melayani perbedaan individu setiap siswa. Ketiga, karena komunikasi hanya terjadi satu arah (antara guru dan sekelompok siswa) maka sulit untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam bersosialisasi (komunikasi). Keempat, karena pembelajaran berpusat pada guru maka metode ini sangat bergantung pada kemampuan dan kecakapan yang dimiliki guru.20

Kelemahan utama metode ekspositori adalah desain dan cara penyampaiannya yang membuat siswa menghapal konsep atau materi yang disampaikan, hal ini tidak merangsang siswa untuk berpikir. Lebih lagi dengan komunikasi satu arah tidak memberikan kesempatan bagi siswa untuk membangun komunikasi dalam pembelajaran baik antara siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa lainnya.

3.

Metode Pembelajaran

Write-Pair-Switch

(WPS)

Lebih dari 100 metode Cooperatif Learning telah dikembangkan saat ini,21 dan ada ribuan variasi yang dapat dilakukan dari metode-metode tersebut. Write-Pair-Switch adalah salah satu dari sekian banyak metode yang diciptakan dengan mengembangkan model pembelajaran Cooperative Learning. Metode ini merupakan hasil pengembangan dari metode Think-Pair-Share yang telah dikenal dan dipergunakan lebih dahulu oleh para pelaku pendidikan. Salah satu keunggulan dari metode ini adalah kemampuannya untuk membangun suasana belajar yang memungkinkan terjadinya interaksi dan komunikasi maksimal antar

19Ibid., h.190

20

Ibid., h.191 21

George M. Jacobs, Cooperative learning: Theory, principles, and techniques. Paper presented at the First International Online Conference on Second and Foreign Language Teaching and Research, 2004 p. 4


(28)

siswa serta kesempatan yang sama bagi setiap siswa untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran di kelas baik secara individu maupun kelompok.22 Selain itu masih banyak kelebihan-kelebihan lain yang dapat diperoleh dengan menggunakan metode ini dalam pembelajaran, kelebihan tersebut akan dibahas secara lebih mendalam pada bagian berikutnya.

Metode Write-Pair-Switch memiliki langkah-langkah yang tidak terlalu rumit sehingga mudah bagi guru untuk menerapkannya dalam pembelajaran di kelas. Karena pada dasarnya yang membuat sebuah pembelajaran menjadi menarik bukanlah metodenya yang memuat banyak langkah namun bagaimana guru dapat mengemas materi yang akan dipelajari menjadi topik atau tugas yang variatif.23

Adapun langkah-langkah metode Write-Pair-Switch, yaitu : 24

1. Guru membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil (2-4 siswa tiap kelompok).25 Pada tahap ini siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dengan jumlah siswa tiap kelompok mengikuti aturan yang ada dalam prinsip pembelajaran kooperatif.

2. Guru meminta setiap siswa untuk mengerjakan tugas dan menuliskan jawaban secara individu. Pada tahap ini siswa diminta untuk mengerjakan soal atau menyelesaikan tugas yang diberikan guru secara individu.

3. Kemudian siswa berpasangan dan mendiskusikan jawabannya masing-masing. Pada tahap ini siswa diminta mendiskusikan jawabannya sendiri dengan teman kelompoknya, hal ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mengembangkan apa yang telah dikerjakan masing-masing siswa secara individu.

4. Siswa berganti pasangan dan berdiskusi tentang jawabannya masing-masing serta hasil diskusi dengan pasangan sebelumnya. Sama dengan langkah ketiga, namun pada tahap ini siswa bertukar pasangan dengan teman kelompoknya yang lain.

22

George. 2013. op. cit. 23

George. 2004. op. cit., p. 4 24

George. 2013. op. cit., 25

George M. Jacobs, Power, M. A., Loh, W. I. , The teacher's sourcebook for cooperative learning: Practical techniques, basic principles, and frequently asked questions. (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2002)


(29)

Tabel 2.1

Perbedaan Metode WPS dan Metode Ekspositori

No. Write Pair Switch Ekspositori

1 Siswa menjadi subyek dalam pembelajaran, guru hanya memfasilitasi.

Siswa menjadi objek yang menerima materi yang disampaikan guru.

2 Siswa aktif dalam pembelajaran, bertanya, berdiskusi, dan mencari jawaban atas pertanyaan yang belum diketahui.

Siswa pasif dalam pembelajaran, hanya mendengarkan dan mencatat semua yang disampaikan oleh guru.

3 Interaksi dan komunikasi antar siswa lebih maksimal, terjadi banyak pertukaran informasi.

Komunikasi antar siswa terkait materi sangat minim karena siswa hanya mendengarkan guru

Lebih khusus lagi dalam penelitian ini, metode Write-Pair-Switch adalah metode pembelajaran yang dilakukan melalui tahapan : Siswa menuliskan jawaban dari tugas yang diberikan guru secara individu. Siswa berpasangan dan saling mendiskusikan jawabannya masing-masing. Setelah itu siswa diminta bertukar pasangan dan kembali berdiskusi. Kemudian siswa diberikan kesempatan untuk menyempurnakan jawabannya.

4.

Tingkat Kemampuan Kognitif Siswa

Setiap manusia yang normal tentu pernah melakukan kegiatan berpikir dalam hidupnya. Ada yang berpikir secara ringan dan ada pula yang berpikir keras untuk memecahkan suatu masalah yang datang pada kehidupannya. Sebagaimana kisah nabi Ibrahim yang berfikir ketika melihat situasi di lingkungan tempat hidupnya. Dikisahkan Ibrahim kecil termenung melihat ayahnya Azar menyembah patung

yang dibuatnya sendiri. Ibrahim bertanya “untuk apa engkau menyembah patung berhala tersebut ayah?”. Azar menoleh pada Ibrahim dan berkata “ini sebagai


(30)

Ibrahim yang merasa tidak puas dengan jawaban itu berkata “dia (patung itu) bahkan tak bisa menciptakan dirinya sendiri”, “dia bahkan tak bisa bergerak bila tidak dipindahkan” sambung Ibrahim. Azar marah mendengar hal itu dan menghukum Ibrahim agar Ia jera. Namun Ibrahim kecil terus berpikir dan merenung, berusaha menemukan Tuhan yang menurutnya patut Ia sembah. Sampai suatu ketika Allah SWT mengirimkan wahyu kepada Ibrahim, wahyu tersebut merupakan jawaban dari semua proses berfikir yang dilakukan Ibrahim.26

Para ahli filsafat mengatakan bahwa, berpikir adalah awal dari lahirnya semua ilmu pengetahuan. Matematika sebagai ilmu pengetahuan yang dikenal sulit tentu memiliki banyak penemu di dalam pengembangannya. Penemuan diperoleh setelah penelitian selama bertahun-tahun dan melalui proses berpikir keras seperti yang dilakukan Fibonacci, John Napier, Phytagoras, dan Karl Friederich Gauss.

Marybelle Savage membagi kemampuan kognitif ini kedalam 3 tingkatan : kemampuan tingkat tinggi yang disebut kemampuan pemecahan masalah dan evaluasi (problem solving & evaluation), kemampuan tingkat menengah atau sedang yang disebut kemampuan menginterpretasikan (interpretation), dan kemampuan tingkat rendah yang disebut kemampuan mengetahui (knowledge).27

Untuk dapat memahami secara baik apa yang dimaksud dengan 3 tingkat kemampuan kognitif dalam penelitian ini, berikut definisi dari ketiga tingkatan menurut Marybelle Savage yang diadaptasi dari Taksonomi Bloom dan Levine.28

a. Tingkat Pertama (Rendah) – Knowledge

Kemampuan kognitif pada tingkat ini meliputi kemampuan mengingat, memahami, dan menggunakan apa yang telah dipelajari atau materi yang telah diberikan. Permasalahan pada tingkat ini mengacu pada kemampuan individu untuk memahami keterkaitan antara satu informasi dengan informasi lainnya yang telah diberikan.29

26

Hamid S. R , Buku Pintar Tentang Islam, (Jakarta:Pustaka Amani, 1995) 27

Professional. op. cit. 28

Ibid. 29


(31)

b. Tingkat Kedua (Sedang) – Interpretation

Kemampuan kognitif pada tingkat ini meliputi kemampuan pemahaman konsep yang mendalam (tentang bagaimana dan mengapa sesuatu diselesaikan), bukan hanya mengingat dan menyebutkan kembali definisi atau informasi yang telah diberikan. Permasalahan yang disajikan pada tingkat ini mengacu pada kemampuan siswa untuk menganalisis suatu masalah, menggunakan teori, tehnik, dan prinsip yang telah dipelajarinya.30

c. Tingkat Ketiga (Tinggi) – Problem Solving & Evaluation

Kemampuan kognitif pada tingkat ini mencakup kemampuan pemahaman secara menyeluruh. Permasalahan yang disajikan pada tingkat ini meliputi kemampuan merumuskan sebuah prosedur atau langkah-langkah yang harus digunakan atau diperlukan dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Dan untuk menemukan prosedur serta langkah-langkah ini diperlukan kemampuan mengorganisasi informasi secara terstruktur. Tingkat ini juga memuat kemampuan untuk mengevaluasi data baik berupa data kualitatif maupun data kuantitatif.31

Dikatakan bahwa tingkatan kemampuan kognitif ini bersifat hierarchical (berhirarki). Yang dimaksud adalah siswa atau individu yang mampu mencapai kemampuan tingkat tertinggi diasumsikan memiliki kemampuan-kemampuan pada tingkat dibawahnya. Karena pada proses penyelesaian masalah tingkat tinggi membutuhkan kemampuan dari tingkat di bawahnya. Dengan kata lain tidak mungkin siswa dapat mencapai tingkat kemampuan kognitif tinggi apabila belum menguasai kemampuan pada tingkat rendah dan sedang. Lebih lanjut lagi pembagian siswa berdasarkan tingkat kemampuan kognitif ini mengharuskan siswa untuk dapat menyelesaikan soal dengan tingkat mudah terlebih dahulu sebelum menyelesaikan soal dengan tingkat di atasnya. Masing-masing tingkatan kemampuan memiliki rumpun kata kerja dan indikator pencapaian yang berbeda seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.2

30

Ibid. 31


(32)

Tabel 2.2

Tingkat Kemampuan Kognitif (Diadopsi dari Marybelle Savage)

Level fungsi Kognitif Kata kerja

Level 1: Knowledge Define Repeat Record List Recall Translate Restate Discuss Describe Recognize Level 2: Interpretation Interpret

Apply Employ Use Demonstrate Dramatize Analyze Operate Calculate Solve

Level 3: Problem solving dan evaluation Compose Plan Propose Design Formulate Construct Create Prepare Evaluate Choose

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan definisi bahwa tingkat kemampuan kognitif dalam penelitian ini yaitu suatu aktivitas berpikir matematis untuk memperoleh suatu pengetahuan tertentu yang dapat dilihat dari pencapaian prestasi siswa sebelumnya dan kemampuan materi prasyarat siswa yang melibatkan penggunaan beberapa tingkat kemampuan kognitif.

Secara umum tingkat kemampuan kognitif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan awal siswa terkait dengan materi prasyarat yang diketahui melalui tes kemampuan awal.

 Kemampuan kognitif tinggi adalah kemampuan dalam menyelesaikan soal problem solving

 Kemampuan kognitif sedang adalah kemampuan dalam menyelesaikan soal analisis.

 Kemampuan kognitif rendah adalah kemampuan dalam menyelesaikan soal pemahaman dan aplikasi konsep.


(33)

B.

Penelitian Yang Relevan

Penelitian Qisthiani Nasikhah & Mujiyem Sapti tahun 2011 yang berjudul Eksperimentasi Model Pembelajaran TPS (Think Pair Share) Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Kelas VII SMP Se-Kecamatan Purworejo. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa metode Think Pair Share menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih baik dibandingkan metode konvensional dengan hasil siswa yang memiliki kemampuan komunikasi tinggi memiliki hasil belajar lebih baik dari siswa yang memiliki kemampuan komunikasi sedang.32

Penelitian Arifah Muzayyanah tahun 2010 yang berjudul Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa dalam Pembelajaran Matematika melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) di SMA Negeri 1 Godean. Penelitian ini memberikan hasil bahwa metode Think Pair Share dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.33

Penelitian Tommy Adithya tahun 2013 yang berjudul Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Write Pair Switch Untuk Meningkatkan Aktivitas Komunikasi Matematis Siswa. Penelitian dengan desain SKOAA ini memberikan kesimpulan bahwa metode Write Pair Switch dapat meningkatkan aktivitas komunikasi matematis siswa yang merupakan bagian dari kemampuan komunikasi matematis itu sendiri. Dari 3 indikator yang diteliti diperoleh hasil observasi awal nilai proporsi sebesar 0,1325. Pada observasi kedua nilai proporsi meningkat menjadi 0,43. Peningkatan proporsi sebesar 0.3075 kemudian diuji empiris menggunakan uji perbedaan 2 proporsi, dan diperoleh hasil bahwa peningkatan tersebut signifikan.34

32Qisthiani M., Eksperimentasi Model Pembelajaran TPS (Think Pair Share) Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Kelas VII SMP Se-Kecamatan Purworejo. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. ISBN : 978 – 979 – 16353 – 6 – 3

33Arifah M., Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa dalam Pembelajaran Matematika melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) di SMA Negeri 1 Godean. Tahun 2010

34Tommy A., Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Write Pair Switch Untuk Meningkatkan Aktivitas Komunikasi Matematis Siswa. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Volume 1, Tahun 2013, ISSN 977-2338831. h. 180


(34)

C.

Kerangka Berpikir

Sebagai pengembangan dari model pembelajaran Cooperative Learning metode Write-Pair-Switch memiliki prinsip-prinsip khusus yang menjadi kelebihan dalam penerapannya pada proses pembelajaran, di antaranya: Social Skills, Responsibility, Higher Level Thinking Skills, Increased Participation,35 Heterogeneous Grouping , Collaborative Skills, Group Autonomy, Individual Accountability, Positive Interdependence, Cooperative as a Value,36 Simultaneous Interaction,37 dan Participation Communication.38 Tidak setiap metode memiliki semua kelebihan-kelebihan diatas, maka peneliti hanya akan memaparkan kelebihan yang berkaitan dengan metode Write-Pair-Switch dalam penelitian kali ini.

Dalam prinsip Collaborative Skills salah satu aspek terpenting adalah memberikan argumen atau penjelasan,39 hal ini memiliki relasi langsung dengan indikator komunikasi matematis yaitu menyampaikan ide matematis secara lisan (talking). Hal ini sejalan dengan prinsip social skill yang akan melatih kemampuan anak dalam kehidupan sosial, hal ini meliputi kemampuan menyimak, berdiskusi, menyelesaikan konflik, kepemimpinan dan bekerja sama.40 Kemampuan-kemampuan tersebut memiliki keterkaitan dengan indikator komunikasi matematis yakni talking dan listening. Pada prinsip Simultaneous Interaction dikatakan bahwa dalam pembelajaran konvensional yang terjadi adalah guru berbicara dan siswa mendengarkan, namun dengan cooperative learning siswa diberikan kesempatan untuk bertanya, berdiskusi, dan menyampaikan ide-idenya (talking) melalui interaksi dengan teman sekelasnya.41

Prinsip Equal Participation dan Individual Accountability memberikan kesempatan yang sama bagi siswa untuk mengemukakan pendapatnya, prinsip ini merupakan salah satu keunggulan utama yang diberikan metode

35

Spencer Kagan, Cooperative Learning: Seventeen Pros and Seventeen Cons Plus Ten Tips for Success. (San Clemente, CA: Kagan Publishing, 1999) 2013, (http://www.kaganonline.com)

36

George. 2004. op. cit., p. 4 37

Ibid., p.4 38

Wina. Op. cit., h. 247 39

George. 2004. op. cit., p. 3 40

Spencer. Op. cit. 41


(35)

Switch dimana semua siswa mendapat beban tugas yang sama sehingga mereka terstimulasi untuk memberikan idenya sendiri.42 Prinsip Participation Communication melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Komunikasi yang dimaksud meliputi cara menyatakan ketidaksetujuan atau cara menyanggah pendapat orang lain secara santun, tidak memojokan; cara menyampaikan gagasan dan ide-ide yang dianggap baik dan berguna. Kemampuan komunikasi memang memerlukan waktu. Siswa tak mungkin dapat menguasainya dalam sekejap. Oleh sebab itu, guru perlu terus melatih dan melatih sampai pada akhirnya siswa memiliki kemampuan untuk menjadi komunikator yang baik (mampu menyampaikan ide-idenya secara baik dan benar).43

Wina Sanjaya menambahkan, beberapa keunggulan utama dari penggunaan strategi pembelajaran koperatif adalah : pembelajaran koperatif dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal (talking) dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain.44 Pembelajaran kooperatif juga dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri serta menerima umpan balik (listening). Siswa dapat berpraktik memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya (discussing).45 Dua hal yang menjadi kelebihan pembelajaran kooperatif ini memiliki korelasi langsung dengan indikator-indikator pencapaian dalam pengembangan komunikasi matematika siswa seperti yang telah diuraikan di atas.

Semua teori di atas diperkuat oleh pernyataan Nodding dan Artzt yang menyatakan bahwa salah satu cara terbaik untuk mengembangkan komunikasi matematis adalah dengan menciptakan komunitas matematika yang kondusif, hal itu dapat dilakukan dengan berbagai jenis aktivitas salah satunya melalui Cooperative Learning.46 Lebih lanjut lagi Artzt mengatakan bahwa melalui

42

George. 2013. Op. cit. 43

Wina. Op. cit., h. 247 44

Ibid., h. 249 45

Ibid., h. 250 46


(36)

pembelajaran kooperatif yang dilakukan secara efektif dan melakukan penilaian yang cermat terhadap komunikasi yang terjadi pada setiap aktivitas siswa baik individu maupun kelompok, dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematis dalam pemecahan masalah.47

Mengacu pada semua teori dan pendapat para ahli diatas, secara teoritis dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode Write-Pair-Switch dalam pembelajaran di kelas memiliki pengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Hal ini dapat dilihat dari kesesuaian antara indikator kemampuan komunikasi matematis siswa dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki model pembelajaran kooperatif. Juga dapat dilihat dari pendapat para ahli yang secara jelas menyatakan bahwa salah satu cara mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa adalah dengan mengimplementasikan pembelajaran kooperatif dalam kelas.

D.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pada kerangka berpikir dan rumusan masalah yang telah dicantumkan sebelumnya, hipotesis penelitian ini adalah :

1. Terdapat pengaruh metode pembelajaran terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.

2. Terdapat pengaruh tingkat kemampuan kognitif siswa terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.

3. Terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dan tingkat kemampuan kognitif siswa terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa

47


(37)

22

A.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 3 Parungpanjang, Bogor. Penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014. Jadwal penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.1 Waktu Penelitian

No Jenis Kegiatan Sep Okt Nov Des

1 Perencanaan V

2 Observasi V

3 Penelitian V V

4 Analisis Data V V

5 Laporan Penelitian V

B.

Desain penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Sampel terdiri dari dua kelas berbeda yang nantinya akan mendapatkan pembelajaran dengan metode yang berbeda. Kelas eksperimen akan mendapat metode Write-Pair-Switch dan kelas kontrol akan belajar dengan metode konvensional.

Desain penelitian menggunakan desain Posttest-only Control Group Design atau yang disebut juga Desain Kelompok Kontrol dengan Tes Akhir Saja (KKTAS).1 Dalam desain penelitian ini objek yang ingin diteliti akan dites pada tes akhir yang diberikan setelah kedua kelas mendapatkan perlakuan seperti yang telah dipaparkan di atas. Desain penelitian jenis ini dinilai sebagai desain yang paling efisien dan pilihan terbaik untuk jenis penelitian eksperimen seperti yang akan dilakukan peneliti kali ini.

1


(38)

Desain penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 3.2 Desain Penelitian

Kelompok Perlakuan Post Tes

E X O

C O

Keterangan

E : Kelompok eksperimen C : Kelompok kontrol

X : Penerapan metode write-pair-switch dalam pembelajaran pada kelompok eksperimen.

: Tes kemampuan komunikasi matematis yang diberikan kepada kedua kelompok

Simbol X menunjukan variabel eksperimental dalam hal ini adalah metode write-pair-switch. Simbol O mewakili observasi yang dilakukan untuk memperoleh data dari objek yang diteliti tentang pengaruh yang diberikan oleh variabel eksperimental, lebih lengkapnya akan dibahas pada sub bab berikutnya.

C.

Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah himpunan lengkap dari satuan-satuan atau individu-individu yang karakteristiknya ingin kita ketahui.2 Dalam penelitian ini populasi meliputi seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 3 Parungpanjang Bogor tahun ajaran 2013/2014. Jumlah kelas VII di SMP Negeri 3 Parungpanjang sebanyak 8 dengan jumlah siswa sebanyak 317 siswa. Dari 8 kelas ini kemudian dipilih dua kelas yang akan menjadi objek penelitian. Satu kelas menjadi kelas eksperimen dan satunya menjadi kelas kontrol.

2


(39)

2. Sampel

Sampel adalah sebagian anggota populasi yang memberikan keterangan atau data yang diperlukan dalam suatu penelitian.3 Data yang diberikan oleh sampel dapat digunakan untuk menaksir data keseluruhan pada populasi. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 39 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik Cluster Random Sampling (Sampel Acak Klaster), dengan sampel dipilih berkelompok dari beberapa kelas yang homogen. Sampel terdiri dari 40 siswa kelas VII.7 yang menjadi kelas eksperimen dan 39 siswa kelas VII.8 yang menjadi kelas kontrol.

D.

Teknik Pengumpulan Data

Data utama yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah nilai kemampuan komunikasi matematis siswa. Data tersebut akan diperoleh melalui tes kemampuan komunikasi matematis (KKM) yang diberikan kepada kedua kelompok. Tes KKM akan diberikan pada kelompok eksperimen yang belajar dengan metode Write-Pair-Switch dan kelompok kontrol yang belajar dengan metode konvensional.

E.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes kemampuan komunikasi matematis siswa yang berbentuk tes uraian tertulis. Tes disusun berdasarkan indikator kemampuan komunikasi matematis yang telah dituliskan pada bab II. Artinya setiap butir soal yang terdapat pada instrumen dimaksudkan untuk mengukur indikator tertentu. Sebelum digunakan instrumen akan diujikan dalam serangkaian tes terlebih dahulu. Kisi-kisi instrumen tes kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat pada bagian lampiran. Skor yang diberikan pada penilaian hasil tes berkisar pada nilai 0 sampai dengan 4. Pedoman pemberian skor yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.2

3


(40)

Tabel 3.3

Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

No. Indikator Skor Kriteria

1 Memberikan Jawaban dengan Kalimat Sendiri

1 Menjawab namun tidak dengan kalimat sendiri 2 Menjawab dengan kalimat sendiri namun hanya

sedikit berkaitan dengan konsep.

3 Menjawab dengan kalimat sendiri namun terdapat sedikit kesalahan.

4 Menjawab dengan kalimat sendiri dan sesuai dengan konsep. 2 Membuat Model Matematika dari Suatu Peristiwa

1 Tidak dapat membuat model yang tepat.

2 Membuat model dengan tepat namun tidak dapat menentukan penyelesaiannya.

3 Membuat model dengan tepat namun sedikit keliru dalam menentukan penyelesaian.

4 Membuat model dengan tepat dan menentukan penyelesaian dengan benar.

3 Menyatakan Hasil Pemeriksaan Suatu Pernyataan

1 Tidak dapat memahami pernyataan dengan tepat.

2 Memahami pernyataan, namun keliru saat mengevaluasi.

3 Memahami pernyataan, mengevaluasi dengan tepat, namun kesulitan menyatakan hasil evaluasi.

4 Memahami pernyataan, mengevaluasi dengan tepat, dan menyatakan hasil evaluasi dengan baik.

4 Menyatakan Konsep Matematika ke dalam Peristiwa Nyata

1 Menyatakan konsep matematika kedalam peristiwa nyata namun tidak berkaitan dengan konsep. 2 Menyatakan konsep matematika kedalam peristiwa

nyata namun masih banyak kesalahan.

3 Menyatakan konsep matematika kedalam peristiwa nyata namun ada sedikit kesalahan.

4 Menyatakan konsep matematika kedalam peristiwa nyata dengan benar.


(41)

Instrumen yang digunakan akan melalui uji validitas dan reliabilitas untuk mengetahui keabsahan data yang akan diperoleh. Instrumen yang diujikan berjumlah delapan butir soal, dan diujikan pada kelas lain di sekolah tempat penelitian. Soal diujikan pada kelas IX yang telah memperoleh materi pada instrumen soal.

1. Uji Validitas Instrumen

Uji validitas instrumen dilakukan untuk mengetahui apakah suatu instrumen valid atau tidak. Instumen yang valid artinya dapat mengukur indikator yang ingin diukur dan hasilnya dapat dikatakan sahih. Untuk mengetahui valid tidaknya sebuah soal digunakan teknik korelasi product moment yang dikemukakan oleh Pearson, sebagai berikut :4

∑ ∑ ∑

√ ∑ ∑ ∑ ∑

Keterangan:

N : Banyaknya peserta tes X : Skor butir soal

Y : Skor total

rxy : Koefisien korelasi antara variabel X dan Y Kriteria Pengujiannya:

Jika , maka soal tersebut valid Jika , maka soal tersebut tidak valid

Berdasarkan hasil uji validitas 8 butir soal yang dilakukan di kelas IX SMP Parungpanjang diperoleh hasil 7 soal bernilai valid dan 1 soal tidak valid. Hasil ini digunakan sebagai pertimbangan dalam menyusun instrument tes akhir atau post-test.

4

Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), edisi Revisi, Cet. VI, hal.72


(42)

2. Uji Daya Pembeda

Uji daya pembeda bertujuan untuk mengetahui kemampuan instrumen dalam membedakan antara siswa berkemampuan tinggi dengan siswa berkemampuan rendah. Uji daya pembeda diawali dengan mengelompokan siswa menjadi dua kelompok yaitu kelompok atas dan kelompok bawah. Pembagian kelompok didasarkan pada skor total yang diperoleh siswa. Rumus untuk menentukan indeks daya pembeda adalah sebagai berikut :5

Keterangan :

: Skor maksimal peserta kelompok atas : Skor maksimal peserta kelompok bawah : Jumlah skor peserta kelompok atas : Jumlah skor peserta kelompok bawah : proporsi peserta kelompok atas : proporsi peserta kelompok bawah

Klasifikasi daya pembeda :6 D : 0,00 – 0,20 : jelek D : 0,20 – 0,40 : cukup D : 0,40 – 0,70 : baik D : 0,70 – 1,00 : baik sekali

Dari hasil perhitungan uji daya pembeda diperoleh hasil 1 butir soal memiliki daya pembeda sangat baik, 4 butir soal memiliki daya pembeda baik, 2 butir soal memiliki daya pembeda cukup, dan 1 butir soal memiliki daya pembeda jelek. Selanjutnya uji prasyarat instrumen dilanjutkan dengan menguji taraf kesukaran.

5Ibid., h.213 6Ibid., h.218


(43)

3. Uji Taraf Kesukaran Instrumen

Uji taraf kesukaran digunakan untuk mengetahui indeks kesukaran suatu soal. Soal yang dikatakan baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Rumus yang digunakan untuk mengukur taraf kesukaran suatu soal adalah:7

Keterangan :

P = taraf kesukaran

B = Jumlah skor seluruh peserta = Skor maksimal seluruh peserta

Klasifikasi tingkat kesukaran:8 : soal sukar : soal sedang : soal mudah

Dari hasil pehitungan diperoleh hasil 6 butir soal dinyatakan memiliki indeks kesukaran sedang dan 2 butir soal memiliki indeks kesukaran sukar. Berdasarkan hasil 3 uji prasyarat instrumen yang telah dilakukan, maka peneliti memilih instrumen yang akan digunakan dengan urutan sebagai berikut :

Tabel 3.4

Hasil Uji Prasyarat Instrumen

Nomor Soal Validitas Daya Pembeda Kesukaran

1 Valid Baik Sedang

2 Valid Baik Sedang

3 Valid Baik Sedang

5 Valid Sangat Baik Sukar

7 Valid Baik Sukar

Langkah berikutnya adalah pengujian instrumen menggunakan uji reliabilitas.

7Ibid., h. 208 8Ibid., h.210


(44)

4. Uji Reliabilitas Instrumen

Uji reliabilitas dilakukan untuk menguji ketetapan suatu tes apabila diujikan kembali pada subyek yang sama. Artinya apabila diujikan kembali pada siswa maka hasilnya tidak akan jauh berbeda. Sehingga dapat dikatakan hasil penilaian terhadap indikator yang diukur bersifat reliable atau dapat dipercaya. Untuk mengetahui reliabilitas instrumen digunakan rumus Alpha Cronbach sebagai berikut :9

∑ Keterangan:

: Reliabilitas yang dicari n : Banyaknya butir soal

: Varians tiap soal : Varians total

Kriteria Klasifikasi Reliabilitas10

0,800 – 1,00 : Sangat Tinggi 0,200 – 0,400 : Rendah

0,600 – 0,800 : Tinggi 0,00 – 0,200 : Sangat Rendah 0,400 – 0,600 : Cukup

Berdasarkan hasil penghitungan menggunakan SPSS dan Excel diperoleh nilai reliabilitas instrumen yang diujikan sebesar 0,907. Artinya tingkat ketetapan instrumen yang diujikan sangat tinggi.

Tabel 3.5

Hasil Uji Reliabilitas Dengan Software SPSS

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized Items

N of Items

.907 .908 7

9Ibid., h.109 10Ibid., h.75


(45)

F.

Teknik Analisis Data

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data hasil penelitian berdistribusi normal atau tidak. Data yang berdistribusi normal apabila dibuat dalam bentuk kurva akan menghasilkan kurva normal. Pengujian normalitas data hasil penelitian dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk (uji W) dengan bantuan software SPSS. Syarat penggunaan uji Shapiro-Wilk ini adalah jumlah data yang akan diujikan ≤ 50, dan data berasal dari sampel yang dipilih secara acak dari suatu populasi.11 Adapun beberapa rumus yang digunakan dalam uji Shapiro-Wilk ini yaitu :12

a. Pembagi (d) uji W :

n : jumlah data yang akan di ujikan b. Pembatas (k) uji W :

c. Rumus Whitung (W) :

Nilai d berasal dari perhitungan rumus yang pertama.

Nilai batas sigma (k) berasal dari perhitungan rumus yang kedua.

11Richard, O. Gilbert, Statistical Methods for Environmental Pollution Monitoring, (New York : Vam Nostrand Reinhold Company Inc, 1987) p. 159

12Ibid., p. 159

Jika n genap


(46)

Seperti halnya uji normalitas lainnya uji Shapiro-Wilk ini juga memiliki 2 buah hipotesis yang diujikan, yaitu :

H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal H1 : Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal

Kriteria pengujian yang digunakan dalam uji Shapiro-Wilk ini adalah apabila nilai Whitung ≤ 0,05 maka data dikatakan tidak berdistribusi normal (H0 ditolak). Sebaliknya apabila nilai Whitung > 0,05 maka data dikatakan berdistribusi normal (H0 diterima).13

Sesuai dengan desain penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya sampel dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelas dan masing-masing kelas dibagi kembali menjadi 3 kelompok berbeda berdasarkan level kognitif yang dimiliki siswa. Pembahasan hasil uji normalitas akan dibahas pada bab selanjutnya.

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelompok sampel memiliki kesamaan karakteristik (homogen) atau tidak. Dalam penelitian ini, pengujian homogenitas menggunakan uji Levene. Pemilihan uji Levene berdasar pada desain penelitian yang memunculkan data dengan jumlah kelompok lebih dari dua. Penghitungan uji Levene dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan software SPSS. Adapun rumus yang digunakan dalam uji Levene ini adalah sebagai berikut :14

Adapun pasangan hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:

H0 : Kelompok sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians sama atau homogen

H1 : Kelompok sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians berbeda atau tidak homogen

13Ibid., h. 160

14National Institute of Standards and Technology : Levene Test, 2013 http://www.itl.nist.gov/div898/software/dataplot/refman1/auxillar/levetest


(47)

Kriteria pengujian yang digunakan dalam uji Levene ini adalah apabila nilai Whitung ≤ 0,05 maka kelompok data dikatakan memiliki varians yang tidak homogen (H0 ditolak). Sebaliknya apabila nilai Whitung > 0,05 maka kelompok data dikatakan memiliki varians yang homogen (H0 diterima). Dengan desain dan hasil penelitian yang diperoleh akan dicari nilai homogenitas bersama yang melibatkan empat kelompok data sekaligus.

3. Pengujian Hipotesis

Apabila uji normalitas dan homogenitas menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen maka analisis dilanjutkan dengan melakukan uji hipotesis penelitian. Dalam penelitian ini uji hipotesis penelitian menggunakan uji analisis varians atau disingkat menjadi ANAVA. Uji ANAVA dilakukan untuk menguji hipotesis yang berkaitan dengan dua atau lebih nilai rata-rata. Lebih spesifik lagi uji ANAVA yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji ANAVA 2 jalur yang digunakan untuk menguji hipotesis tentang perbedaan rata-rata antara kelompok sampel yang dibagi berdasarkan Two Factorial Design atau Treatmen by Level Design.

Sesuai dengan rumusan masalah dan hipotesis dalam penelitian ini uji ANAVA dua jalur dilakukan untuk mengetahui 3 hal, yang pertama apakah terdapat pengaruh metode terhadap kemampuan komunikasi matematis?. Kedua, apakah terdapat pengaruh tingkat kemampuan kognitif terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa?. Ketiga, apakah interaksi antar dan metode dengan tingkat kemampuan kognitif turut mempengaruhi kemampuan komunikasi matematis siswa?. Ketiga hipotesis akan diuji dengan kriteria pengujian yang berbeda-beda untuk masing-masing bagiannya. Dalam penelitian ini penghitungan ANAVA menggunakan software SPSS dengan memanfaatkan fasilitas analisis univariate. Dengan menetapkan kategori faktor analisis yang melibatkan dua variabel yaitu metode pembelajaran dan tingkat kemampuan kognitif maka akan diperoleh tiga hasil nilai signifikansi yang berbeda. Pembahasan mengenai hasil uji ANAVA akan dilakukan pada bab berikutnya.


(48)

Untuk mengerjakan ANAVA 2 jalur harus dipersiapkan tabel kerja seperti pada tabel 3.5.

Tabel 3.6 Struktur Data

Level Kognitif (A)

Metode (B)

Total WPS

(B1)

Konvensional (B2) Rendah

(A1)

Sedang (A2)

Total

Untuk melakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan ANAVA 2 jalur, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah :15

a. Menghitung Jumlah kuadrat total (JKt), Antar A (JkA), Antar B (JkB), Interaksi A x B (JkAB), dan Dalam kelompok (Jkd), dengan formula sebagai berikut.

∑ ∑

∑ ∑

15

Tulus Winarsunu, Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan, (Malang: UMM Press, 2009) h. 108-112


(49)

b. Menghitung derajat kebebasan total (dbt), antar A (dbA), antar B (dbB), interaksi A x B (dbAB), dan dalam kelompok (dbd)

dbt = N – 1, dbA = K – 1, dbB = K – 1, dbAB = dbA X dbB

dbd = dbt– (dbA +dbB +dbAB)

c. Menghitung rata-rata kuadrat antar A (RkA), antar B (RkB), interaksi A x B (RkAB), dan dalam kelompok (RkD)

, , d. Menghitung rasio FA, FB, FAB

,

, dan

.

Kriteria pengujian, jika Fhitung ˃Ftabel pada taraf signifikan yang dipilih dengan db pembilang adalah db yang sesuai, maka H0 ditolak. Jadi terdapat perbedaan rata-rata antara kelompok-kelompok yang diuji, sebaliknya untuk Fhitung ≤ Ftabel, maka H0 diterima. Untuk ANAVA 2 jalur, langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pengujian terhadap hipotesis statistik pengaruh interaksi, yaitu F(OAB). Jika F(OAB) ≤ Ftabel atau H0 diterima berarti tidak terdapat pengaruh interaksi, maka selanjutnya dilakukan uji hipotesis pengaruh utama (main effect), yaitu uji F(OA) untuk melihat perbedaan rerata antar A, dan uji F(OB) untuk mempelajari perbedaan antar B. Sebaliknya jika F(OAB) > Ftabel atau H0 ditolak, berarti terdapat pengaruh interaksi yang signifikan, maka konsekuensinya harus diuji pengaruh sederhana (simple effect). Simple effect adalah perbedaan rerata antar A pada tiap kelompok Bi (i = 1,2,3,... ) atau perbedaan rerata antar B pada tiap kelompok Ai (i = 1,2,3,... ).16

16

Kadir, Statistika untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: PT Rosemata Sampurna, 2010), h. 216-217


(50)

G. Hipotesis Statistik

Adapun hipotesis statistik yang akan diuji adalah sebagai berikut : 17 1. Masalah 1

Baris (Metode Pembelajaran) H0 :

H1 : ada 2. Masalah 2

Kolom (Level kognitif siswa) H0 : H1 : ada

3. Masalah 3

Interaksi antara baris dan kolom (metode pembelajaran dan level kognitif siswa)

H0 : H1 : ada .

Keterangan :

: Pengaruh metode WPS terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa : Pengaruh metode konvensional terhadap kemampuan komunikasi

matematis siswa

: Pengaruh tingkat kemampuan kognitif rendah terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa

: Pengaruh tingkat kemampuan kognitif sedang terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa

: Pengaruh interaksi metode pembelajaran dan tingkat kemampuan kognitif siswa terhadap kemampuan komunikasi matematis.

Adapun kriteria pengujian untuk uji ANAVA dua jalur ini adalah: Jika maka H0 ditolak

Jika maka H0 diterima

17

Richard Lungan, Aplikasi Statistika dan Hitung Peluang, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h. 295-296


(51)

36

A.

Deskripsi Data

Penelitian dilakukan di kelas VII SMP Negeri 3 Parungpanjang. Dengan kelas VII-7 ditetapkan sebagai kelas eksperimen dan kelas VII-8 sebagai kelas kontrol. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 79 siswa, 40 siswa kelas eksperimen dan 39 siswa kelas kontrol. Siswa kelas eksperimen belajar dengan menggunakan metode Write Pair Switch (WPS) sementara kelas kontrol belajar dengan menggunakan metode konvensional. Kemampuan yang akan diteliti adalah kemampuan komunikasi matematis dan materi yang dipelajari adalah Persamaan Linear Satu Variabel (PLSV).

Dari 40 siswa kelas eksperimen dibentuk kembali 3 kelompok berdasarkan tingkat kemampuan kognitif siswa. Pembagian ini dilakukan dengan acuan tes kemampuan prasyarat yang diberikan sebelum penerapan metode pembelajaran di kedua kelas dilakukan. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tes kemampuan prasyarat diketahui 14 siswa kelas eksperimen masuk ke dalam kategori siswa dengan kemampuan kognitif sedang, 26 siswa masuk kategori kemampuan kognitif rendah dan tidak ada siswa yang masuk kategori kemampuan kognitif tinggi. Dengan cara yang sama dilakukan pembagian kepada 39 siswa kelas kontrol berdasarkan kemampuan kognitifnya. Diperoleh hasil 12 siswa masuk kategori kemampuan kognitif sedang, 27 siswa masuk kategori kemampuan kognitif rendah dan tidak ada siswa yang masuk kategori kemampuan kognitif tinggi.

Kelompok siswa ini kemudian diberikan perbedaan perlakuan berupa metode pembelajaran yang digunakan di dalam kelas. Kelas Eksperimen belajar dengan metode WPS sedangkan kelas kontrol belajar dengan metode Konvensional. Setelah itu kedua kelas diberikan tes akhir berupa instrumen tes kemampuan komunikasi matematis yang telah melalui uji kelayakan instrumen sebelumnya.


(52)

Data hasil tes akhir kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1

Struktur Data Hasil Penelitian

Level Kognitif Metode Pembelajaran

WPS Konvensional

Rendah

40 65 30 55

45 65 35 55

45 70 35 65

50 70 40 60

50 70 45 60

55 70 45 60

55 70 45 60

55 70 45 65 ̅. 57.45

60 75 50 65 Sd. 11,25

60 75 50 65

60 75 50 70

60 50 75

65 55

65 55

65 55

̅ 61,73 ̅ 53,33

Sd 9,89 Sd 11,09

Sedang

65 85 60 85

70 85 60 85

75 85 65

75 90 70

75 70

80 75 ̅. 76.53

80 75 Sd. 8,09

80 75

80 80

85 80

̅ 79,28 ̅ 73,33 Sd 6,75 Sd 8,61

̅. 67,87 59,48 ̅.. 63.73


(53)

1. Siswa Kemampuan Kognitif Rendah di Kelas Eksperimen

Kemampuan komunikasi matematis siswa diukur menggunakan instrumen tes kemampuan komunikasi matematis yang sebelumnya telah lolos uji validitas, reliabilitas, dan serangkaian uji lainnya. Pada tabel 4.1 terlihat siswa berkemampuan kognitif rendah di kelas eksperimen memiliki nilai rata-rata kemampuan komunikasi matematis sebesar 61,73 dengan simpangan baku sebesar 9,89. Dapat kita lihat pula sebanyak 14 siswa atau sekitar 53% dari siswa kelompok rendah kelas eksperimen memiliki nilai lebih baik dari nilai rata-rata kelompoknya.

Lebih lanjut lagi deskriptif data hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa kelompok rendah di kelas eksperimen dapat dilihat pada tabel hasil penghitungan dengan menggunakan SPSS di bawah ini :

Tabel 4.2

Deskriptif Data Kelompok Rendah Kelas Eksperimen

Dari tabel 4.2 dapat dilihat nilai rata-rata hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa di kelas eksperimen sebesar 61,73. Nilai lower bound dan upper bound menunjukan dinamika nilai rata-rata apabila sampel diperbanyak. Upper bound menunjukan batas atas nilai rata-rata yang akan diperoleh jika sampel diperbanyak, sedangkan lower bound menunjukan batas bawah nilai rata-rata. Terlihat selisih nilai rata-rata hasil penelitian tidak terlalu jauh dari nilai estimasi


(54)

rata-rata sesungguhnya. Hal ini menunjukan rata-rata yang diperoleh dapat dikatakan representatif atau dapat mewakili dengan baik nilai rata-rata populasi yang ingin diketahui.1

Nilai tertinggi yang diperoleh siswa kelompok rendah di kelas eksperimen adalah 75 dan nilai terendahnya 40. Nilai median yang diperoleh sebesar 65 dengan nilai kemiringan/skewness -0,591 menunjukan bahwa kurva sebaran nilai condong ke arah kanan. Hal ini dapat dilihat pada uji normalitas pada bagian selanjutnya.

2. Siswa Kemampuan Kognitif Sedang di Kelas Eksperimen

Pada tabel 4.1 terlihat siswa berkemampuan kognitif sedang di kelas eksperimen memiliki nilai rata-rata kemampuan komunikasi matematis sebesar 79,28 dengan simpangan baku sebesar 6,75. Jika kita bandingkan kedua kelompok ini terlihat perbedaan nilai rata-rata sebesar 17,55 dengan keunggulan nilai dimiliki siswa kelompok sedang. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh yang diberikan tingkat kemampuan kognitif terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen, dengan hasil menunjukan bahwa siswa dengan tingkat kemampuan kognitif yang lebih baik akan memiliki kemampuan komunikasi matematis yang lebih baik pula. Jika ditinjau dari nilai simpangan baku dapat diketahui bahwa siswa kelompok rendah dari kelas eksperimen memiliki nilai yang lebih bervariasi dari siswa kelompok sedang. Dapat kita lihat pula sebanyak 9 siswa atau sekitar 64% dari siswa kelompok sedang di kelas eksperimen memiliki nilai lebih baik dari nilai rata-rata kelompoknya. Hal ini lebih baik jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh siswa kelompok rendah dari kelas eksperimen dimana hanya 53% siswa yang memiliki nilai di atas rata-rata kelompoknya.

Lebih lanjut lagi deskriptif data hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa kelompok sedang di kelas eksperimen dapat dilihat pada tabel hasil penghitungan dengan menggunakan SPSS di bawah ini :

1Introduction to SAS. UCLA : Annotated SPSS Output Descriptive Statistics, 2013 www.ats.ucla.edu/stat/spss/output/descriptives.htm


(55)

Tabel 4.3

Deskriptif Data Kelompok Sedang Kelas Eksperimen

Dari tabel 4.3 dapat dilihat nilai rata-rata hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa kelompok sedang di kelas eksperimen sebesar 79,28. Sama halnya dengan hasil pada kelompok rendah, terlihat selisih nilai rata-rata hasil penelitian tidak terlalu jauh dari nilai estimasi rata-rata sesungguhnya. Hal ini menunjukan rata-rata yang diperoleh dapat dikatakan representatif terhadap nilai rata-rata populasi.

Nilai tertinggi yang diperoleh siswa kelas kontrol adalah 90 dan nilai terendahnya 65. Nilai median yang diperoleh sebesar 80 dengan nilai kemiringan/skewness -0,575 menunjukan bahwa kurva sebaran nilai juga condong ke arah kanan, hal ini sejalan dengan keterangan bahwa 64% nilai siswa diatas atau sama dengan nilai rata-rata kelas.

Hasil perbandingan dua kelompok pada kelas eksperimen ini mengindikasikan adanya pengaruh tingkat kemampuan kognitif terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen. Hal ini terlihat dari selisih nilai yang diperoleh siswa kelompok rendah dan siswa kelompok sedang pada kelas eksperimen. Namun untuk dapat menyimpulkan adanya pengaruh signifikan masih harus memperhatikan hasil dari kedua kelompok di kelas kontrol dan juga analisis dari uji empiris menggunakan ANAVA dua jalur.


(56)

3. Siswa Kemampuan Kognitif Rendah di Kelas Kontrol

Pada tabel 4.1 dapat kita lihat nilai rata-rata siswa kelompok rendah di kelas kontrol sebesar 53,33 dengan nilai simpangan baku sebesar 11,09. Jika dibandingkan dengan nilai rata-rata siswa kelompok rendah dari kelas eksperimen, nilai siswa kelas kontrol ini lebih rendah dengan selisih nilai sebesar 8,40. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh yang diberikan metode pembelajaran terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa berkemampuan kognitif rendah. Namun untuk dapat menyatakan adanya pengaruh signifikan harus mempertimbangkan hasil yang diperoleh siswa kelompok sedang dari kelas kontrol.

Nilai simpangan baku siswa kelompok rendah di kelas kontrol mengindikasikan bahwa variasi nilai pada kelompok ini merupakan yang terbanyak dibandingkan tiga kelompok lainnya. Dari tabel 4.1 juga dapat kita lihat sebanyak 15 siswa atau 55% dari total siswa kelompok rendah di kelas kontrol memiliki nilai lebih besar dari rata-rata kelompoknya.

Lebih lanjut lagi deskriptif data hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa kelompok rendah di kelas kontrol dapat dilihat pada tabel hasil penghitungan dengan menggunakan SPSS di bawah ini :

Tabel 4.4


(57)

Pada tabel 4.4 dapat dilihat nilai rata-rata hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa kelompok rendah di kelas kontrol sebesar 53,33. Sama halnya dengan hasil dari dua kelompok sebelumnya, terlihat selisih nilai rata-rata hasil penelitian tidak terlalu jauh dari nilai estimasi rata-rata sesungguhnya. Hal ini menunjukan rata-rata yang diperoleh dapat dikatakan representatif terhadap nilai rata-rata populasi.

Nilai tertinggi yang diperoleh siswa kelas kontrol adalah 75 dan nilai terendahnya 30. Nilai median yang diperoleh sebesar 55 dengan nilai kemiringan/skewness -0,228 menunjukan bahwa kurva sebaran nilai juga condong ke arah kanan, hal ini sejalan dengan keterangan bahwa 55% nilai siswa di atas atau sama dengan nilai rata-rata kelas.

4. Siswa Kemampuan Kognitif Sedang di Kelas Kontrol

Pada tabel 4.1 terlihat siswa berkemampuan kognitif sedang di kelas kontrol memiliki nilai rata-rata kemampuan komunikasi matematis sebesar 73,33 dengan simpangan baku sebesar 8,61. Jika kita bandingkan dengan kelompok rendah di kelas yang sama terlihat perbedaan nilai rata-rata sebesar 20,00 dengan keunggulan nilai dimiliki siswa kelompok sedang. Hal ini sejalan dengan apa yang diperoleh ketika kita membandingkan nilai siswa kelompok rendah dengan kelompok sedang di kelas eksperimen. Berdasarkan hasil tersebut terdapat indikasi adanya pengaruh yang diberikan tingkat kemampuan kognitif terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa, dengan hasil menunjukan bahwa siswa dengan tingkat kemampuan kognitif yang lebih baik akan memiliki kemampuan komunikasi matematis yang lebih baik pula. Hal ini terjadi di kedua kelas baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Jika ditinjau dari nilai simpangan baku dapat diketahui bahwa siswa kelompok rendah dari kelas kontrol memiliki nilai yang lebih bervariasi dari siswa kelompok sedang. Dapat kita lihat pula sebanyak 7 siswa atau sekitar 58% dari siswa kelompok sedang di kelas kontrol memiliki nilai lebih baik dari nilai rata-rata kelompoknya. Hal ini lebih baik jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh siswa kelompok rendah dari kelas


(1)

(2)

UJI NORMALITAS DATA HASIL PENELITIAN DENGAN SOFTWARE SPSS SISWA KELOMPOK SEDANG KELAS KONTROL


(3)

(4)

(5)

(6)