PENGARUH SUHU PADA ADSORPSI KATION Ca2+ OLEH ADSORBEN SILIKA DARI BAGASSE TEBU.

(1)

PENGARUH SUHU PADA ADSORPSI KATION Ca2+OLEH ADSORBEN SILIKA DARI BAGASSE TEBU

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi

Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Oleh : Karlinda NIM 13307141024

PROGRAM STUDI KIMIA JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

PENGARUH SUHU PADA ADSORPSI KATION Ca2+OLEH ADSORBEN SILIKA DARI BAGASSE TEBU

Oleh: Karlinda NIM 13307141024

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) cara mensintesis silika gel dari bagasse tebu, 2) karakter silika gel dari bagasse tebu yang telah disintesis, 3) pengaruh suhu dan konsentrasi terhadap adsorpsi kation Ca2+ oleh adsorben silika yang berasal dari bagasse tebu.

Subjek penelitian adalah adsorben silika gel dari bagasse tebu. Objek penelitian adalah pengaruh suhu pada adsorpsi kation Ca2+oleh silika dari bagasse tebu. Sintesis silika gel dilakukan dengan metode sol-gel, yaitu mereaksikan HCl 1 M dengan larutan natrium silikat hasil sintesis dari bagasse tebu hingga terbentuk gel dengan pH 7. Gel yang terbentuk dikeringkan dalam oven dengan suhu 80°C hingga massa konstan. Silika gel dikarakterisasi dengan FTIR dan XRD. Silika gel kemudian digunakan sebagai adsorben dalam proses adsorpsi terhadap kation Ca2+ pada pH 5, waktu kontak 15 menit, dan berbagai variasi suhu. Pengukuran konsentrasi Ca2+ sebelum dan sesudah adsorpsi dilakukan dengan menggunakanAtomic Absorption Spectrophotometer(AAS).

Hasil karakterisasi secara Difraksi Sinar-X menunjukkan bahwa silika gel yang disintesis berstruktur amorf dengan puncak landai pada 2θ=22,0132°. Spektra FTIR menunjukkan bahwa silika gel berhasil disintesis, yang ditandai dengan munculnya puncak pada bilangan gelombang 3464,81 cm-1 yang mengindikasikan adanya gugus -OH pada silanol dan puncak pada bilangan gelombang 1094,65 cm-1 merupakan gugus Si-O pada siloksan. Hasil analisis menggunakan AAS dan hasil perhitungan menunjukkan bahwa suhu dan konsentrasi mempengaruhi proses adsorpsi. Suhu optimal pada proses adsorpsi dengan konsentrasi 10 ppm yaitu 27°C.


(3)

EFFECTS OF TEMPERATURE ON Ca2+CATION ADSORPTION BY SILICA ADSORBEN FROM SUGARCANE BAGASSE

By: Karlinda NIM 13307141024

ABSTRACT

This research aims to determine 1) how to synthesis silica gel from sugarcane bagasse, 2) the characters of silica gel from sugarcane bagasse that had synthesized, 3) the effect of temperature and concentration on Ca2+ cation adsorption by silica adsorbent from sugarcane bagasse.

The subject of this research was silica gel adsorbent from sugarcane bagasse. The object of this research was the effect of temperature on Ca2+ cation adsorption by silica from sugarcane bagasse. Synthesis of silica gel was prepared by sol-gel method that reacted HCl 1 M with synthesized sodium silicate solution from sugarcane bagasse until gel formation in pH 7. The gel was dried in oven at 80°C up to constant mass. The silica gel was characterized by FTIR and XRD. The silica gel was then used as the adsorbent in adsorption process Ca2+cation at pH 5, contact time of 15 minutes, and various temperature variation. Measuring the concentrations of Ca2+ cation in before and after adsorption were treated by using Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS).

The results of X-Ray Diffraction characterization showed that silica gel had amorphous structure with peak at 2θ=22.0132°. FTIR spectra showed that the gel silica had been synthesized successfully which were indicated by appearance of peak at wavenumber of 3464.81 cm-1 that indicating the -OH group of silanol and peak at wavenumber of 1094.65 cm-1wasSi-O group of siloksan. The result of analysis AAS showed that temperature and concentration influenced the adsorption process, the optimum temperature on adsorption process at concentration of 10 ppm was 27°C.


(4)

(5)

(6)

(7)

MOTTO

Tak peduli seberapa banyak orang yang membencimu Tak peduli seberapa banyak orang yang tak percaya padamu

Tak peduli seberapa banyak orang yang iri pada hidupmu Tak peduli seberapa banyak orang yang tak suka padamu Tak peduli seberapa banyak orang yang ingin menjatuhkanmu

Tak peduli betapa banyak hinaan yang telah kau dapatkan Tak peduli seberapa banyak hal buruk yang kau terima YANG PERLU KAU LAKUKAN HANYA TERUS BERJUANG

MELEWATI SEGALANYA. Kamu pasti bisa Kamu pasti bahagia

Nikmatilah segala proses dihidupmu

BERFIKIR DAN BERTINDAK DENGAN TENANG DAN SESUAI ATURAN UNTUK MENDAPATKAN HASIL YANG


(8)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan skripsi ini kepada :

1. Allah SWT yang telah memberikan limpahan berkah dan nikmat yang luar biasa.

2. Kedua orang tua Bapak Karsito dan Ibu Lasmini yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, semangat, nasehat dan doa yang tiada henti-hentinya.

3. Adikku Ahmad Raya Sukoco dan Sayidati Asmaul Khusnah yang selalu memberikan semangat dan masukan.

4. Heru Setito Bakti yang selalu mengingatkan, memberikan semangat, motivasi, masukan, dan doa.

5. Aruminah, Sutarmi, Anggraeta Puspa, Lucky Enjang Sari, Seti fani, Hernanda Apriyanto dan Herlinda Tri Yunita Sari selaku rekan satu penelitian yang selalu memberi semangat dan kerjasama yang baik.

6. Teman-teman Kimia B 2013 terkhusus Enny Dwi Cahyanti, Lathifa Hidayati, Ratih Widyandari, Yenni Rafika Pratiwi, dan Herlinda Meilianita yang selalu menemani dalam perjuangan ini, saling memberi semangat dan nasehat yang tiada henti.

7. Temanku Amida Dhestiana Musaffa dan Erfan Erfiani yang telah memberikan dukungan.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Suhu pada Adsorpsi Kation Ca2+oleh Adsorben Silika dari Bagasse Tebu.

Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Hartono selaku Dekan FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.

2. Bapak Jaslin Ikhsan, Ph.D selaku Ketua Jurusan Pendidikan Kimia dan Koordinator Program Studi Kimia serta Koordinator Tugas Akhir Skripsi Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian dan memberikan nasihat serta saran-saran.

3. Ibu Prof. Dr. Endang Widjajanti L. FX M.S. selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah membimbing akademik selama 4 tahun.

4. Ibu Dra. Susila Kristianingrum, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan ilmu.

5. Bapak Sunarto, M.Si selaku penguji utama yang telah memberikan pertanyaan, kritik, dan saran.

6. Ibu Annisa Fillaeli, S.Si., M.Si selaku penguji pendamping yang telah memberikan pertanyaan, kritik, dan saran.


(10)

(11)

DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN SAMPUL... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ...Error! Bookmark not defined. HALAMAN PERNYATAAN...Error! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN...Error! Bookmark not defined. MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Identifikasi Masalah ...6

C. Batasan Masalah...6

D. Rumusan Masalah ...7

E. Tujuan Penelitian ...7

F. Manfaat Penelitian ...8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori...9

1. Tebu...9

2. Bagasse Tebu...10

3. Silika...12

4. Metode Sol-Gel ...14

5. Adsorpsi...16


(12)

7. Unsur Makro Kation Ca2+...22

8. Pengaruh Suhu pada Adsorpsi...24

9. Difraksi Sinar X (XRD) ...25

10. Spktroskopi FTIR ...28

11. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)...31

B. Penelitian Yang Relevan ...35

C. Kerangka Berpikir...37

BAB III METODE PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian ...39

B. Variabel Penelitian ...39

C. Alat dan Bahan Penelitian...40

D. Prosedur Kerja...41

E. Teknik Analisis Data...45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN...46

1. Hasil Sintesis Silika Gel dari Bagasse Tebu ...46

2. Hasil Analisis Secara Difraksi Sinar-X (XRD)...46

3. Hasil Analisis secara Spektroskopi FTIR...47

4. Hasil Adsorpsi Kation Ca2+oleh Silika Gel pada Variasi Suhu...48

B. PEMBAHASAN ...50

1. Sintesis Silika Gel dari Bagasse Tebu ...51

2. Analisis Secara Difraksi Sinar-X (XRD) ...60

3. Analisis secara Spektroskopi FTIR ...61

4. Adsorpsi Kation Ca2+oleh Silika Gel pada Variasi Suhu ...63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...71

A. Kesimpulan ...71

B. Saran...71

DAFTAR PUSTAKA...73


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perbedaan Antara Fisisorpsi dan Kemisorpsi ... 21

Tabel 2. Sifat Kalsium ... 24

Tabel 3. Serapan Karakteristik Senyawa-Senyawa Organosilikon... 31

Tabel 4. Data Hasil AAS Proses Adsorpsi... 49

Tabel 5. Interpretasi Spektra FTIR Silika Kiesel Gel 60 Merck dan Silika Gel... 62

Tabel 6. Hasil Proses Adsorpsi pada Waktu 15 menit dan 60 Menit... 65

Tabel 7. Klasifikasi Asam dan Basa Beberapa Senyawa dan Ion Logam Menurut Prinsip HSAB ... 69


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur Silika Gel ... 12

Gambar 2.1. (a) Elektron Penembak Menumbuk Elektron Atom Pada Kulit Terdalam ... 25

Gambar 2.1. (b) Elektron Atom Kulit Terluar Mengisi Kekosongan dan Memancarkan Sinar X ... 25

Gambar 2.2. Diagram Sinar X Datang dan Terdifraksi oleh Ato-Atom Kristal...26

Gambar 3. Difraktogram XRD Silika Gel dari Bagasse Tebu ... 28

Gambar 4. Skema Alat Spektroskopi FTIR ... 30

Gambar 5. Skema Instrumentasi Spektrophotometer Serapan Atom Berkas Ganda... 33

Gambar 6. Silika Gel Hasil Sintesis dari Bagasse Tebu ... 46

Gambar 7. Difraktogram Sinar X Silika Gel Hasil Sintesis dari Bagasse Tebu... 47

Gambar 8. (a) Hasil Analisis FTIR Silika Gel Hasil Penelitian ... 48

Gambar 8. (b) Hasil Analisis FTIR Kiesel Gel 60 Merck ... 48

Gambar 9. Grafik Pengaruh Suhu terhadap Absorbansi ... 49

Gambar 10. Grafik Pengaruh Suhu terhadap % Terikat ... 50

Gambar 11. Abu Bagasse Netral... 55


(15)

Gambar 13. Mekanisme Reaksi Pembentukan Ikatan Siloksan... 57 Gambar 14. Mekanisme Reaksi Pembentukan Silika Gel ... 59 Gambar 15. Reaksi Pengikatan Kation Ca2+pada Gugus Silanol dan


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan untuk Sintesis Silika Gel dari Bagasse Tebu ... 80 Lampiran 2. Hasil Karakterisasi FTIR dan XRD Silika Gel... 82 Lampiran 3.Perhitungan untuk Pembuatan Larutan Eksperimen Adsorpsi... 85 Lampiran 4. Penentuan Persamaan Garis Regresi Linear Larutan Standar Ca2+.. 87 Lampiran 5. Analisa Adsorpsi dengan Spektrofotometer Serapan Atom... 94 Lampiran 6. Data dan Perhitungan Pengaruh Suhu pada Eksperimen Adsorpai 103 Lampiran 7. Skema Penelitian ... 106 Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian... 110


(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman yang tumbuh

subur di daerah beriklim tropis termasuk di Indonesia. Tebu digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula pasir. Menurut Akhinov, dkk. (2010: 1), di Indonesia diperkirakan terdapat 64 pabrik gula yang hingga saat ini masih beroperasi. Pabrik-pabrik gula tersebut beroperasi dengan kapasitas produksi yang berbeda-beda. Menurut Rusono, dkk. (2013: 175), jumlah produksi gula di Indonesia pada tahun 2011 adalah 2.228 kilo ton dengan konsumsi sebesar 4.503 kilo ton dan produksi tahun 2012 adalah 2.601 kilo ton dengan konsumsi sebesar 5.335 kilo ton. Data tersebut membuktikan bahwa, hingga saat ini kebutuhan masyarakat Indonesia akan gula masih belum dapat terpenuhi. Semakin meningkatnya jumlah penduduk juga menuntut semakin meningkatnya konsumsi gula di masyarakat, maka diperkirakan bahwa dari tahun ke tahun produksi gula akan selalu mengalami peningkatan.

Proses pembuatan gula tidak hanya menghasilkan produk utama namun juga menghasilkan hasil samping yang berupa limbah produksi. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) tahun 2008 komposisi rata-rata hasil samping industri gula di Indonesia terdiri dari limbah cair 52,9 %, blotong 3,5 %, ampas (bagasse) 32,0 %, tetes 4,5 % dan gula 7,05 % serta abu 0,1 %. Dari berbagai hasil samping tersebut bagasse tebu merupakan limbah produksi yang hingga saat ini belum banyak dimanfaatkan.


(18)

Bagasse merupakan limbah padat sisa penggilingan tebu. Menurut Novitasari, dkk. (2012: 67), sebagian besar bagasse dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler. Namun jumlah bagasse yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan pembakaran oleh boiler pabrik, sehingga bagasse yang tidak digunakan akan menumpuk dan menimbulkan masalah bagi pabrik gula. Ampas tebu yang bersifat meruah membutuhkan area yang luas dalam hal penyimpanan. Selain itu Akhinov,dkk. (2010: 1), menyatakan bahwa bagasse tebu mengandung 48-52% air; 3,3% gula; 47,7% serat dan mikroba, yang apabila ditumpuk dalam waktu yang lama akan terfermentasi dan melepaskan panas. Oleh karena itu sering kali terjadi kasus kebakaran di beberapa pabrik gula yang diperkirakan penyebabnya adalah ampas tebu. Sehingga perlu pemanfaatan yang tepat terhadap limbah bagasse tebu.

Berdasarkan hasil analisa XRF terhadap abu bagasse diketahui bahwa dalam abu bagasse mengandung mineral– mineral yang berupa Si, K, Ca, Ti, V, Mn, Fe, Cu, Zn dan P. Dengan kandungan terbesar adalah mineral Si yaitu sebesar 55,5%. Karena kandungan silika dalam abu bagasse besar maka abu bagasse berpotensi sebagai bahan baku pembuatan silika gel (Akhinov, dkk., 2010: 1). Bagasse yang awalnya hanya dimanfaatkan sebagai bahan bakar maupun bahan baku dalam beberapa industri seperti industri kertas dan industri kanvas, juga dapat dimanfaatkan sebagai silika gel yang mempunyai nilai jual yang lebih.

Silika merupakan salah satu padatan anorganik dapat berstruktur kristalin, seperti kristobalit dan kuarsa (Sulasri, 2013: 10). Silika banyak


(19)

sekali digunakan dalam industri baik sebagai produk akhir maupun sebagai bahan penunjang proses industri, seperti industri pasta gigi, perawatan kulit, pemrosesan bir, pelapisan kertas, bahkan dimanfaatkan sebagai desikan, pendukung katalis, katalis polyolefin, antibloking agent dan dalam bidang farmasi (Akhinov,dkk., 2010: 1). Amaria (2012: 56), juga menyatakan bahwa penggunaan silika sangat luas, antara lain untuk detergen, komponen alat elektronik, mekanik, medis, adesif, kolom kromatografi dan keramik.

Selain penggunaan tersebut, silika gel juga sering dimanfaatkan sebagai adsorben dalam proses adsorpsi karena memiliki sisi aktif pada permukaannya yang berupa gugus silanol (≡Si-OH) dan gugus siloksan (≡Si -O-Si≡). Silika gel banyak dimanfaatkan karena memiliki berbagai kelebihan. Menurut Sulastri (2009: 367) kelebihan silika gel diantaranya yaitu mudah diproduksi, memiliki sifat inert, hidrofilik, mempunyai kestabilan termal dan mekanik yang tinggi, serta relatif tidak mengembang dalam pelarut organik. Namun di samping kelebihan silika gel juga mempunyai kelemahan yaitu, gugus silanol yang dimiliki oleh silika gel mempumyai sifat keasaman yang lemah dan juga mengandung atom oksigen sebagai donor yang sifatnya lemah (Tokman, 2003: 202).

Adsorpsi merupakan proses penyerapan yaitu terjadinya penarikan molekul gas atau cairan pada permukaan adsorben. Metode adsorpsi sering digunakan dalam berbagai proses kimia karena dirasa efisien, sederhana, dapat bekerja pada konsentrasi rendah, lebih mudah dilakukan dan juga biayanya relatif murah. Pada proses adsorsi zat yang terikat pada permukaan


(20)

padatan disebut adsorbat, sedangkan padatan yang menahan atau mengikat disebut adsorben. Adsorben yang baik harus memiliki luas permukaan efektif yang besar dan juga memiliki sejumlah besar jaringan pori-pori sebagai jalan bagi molekul menuju kedalam adsorben.

Silika gel yang berasal dari abu bagasse dapat digunakan sebagai adsorben karena memenuhi dua sifat yang harus dimiliki oleh adsorben tersebut. Affandi, dkk. (2009: 472) telah berhasil melakukan sintesis silika xerogel dari abu bagasse tebu yang memiliki luas permukaan sebesar 69-152 m2g-1, volume pori sebesar 0,059-0,137 cm3g-1dan diameter pori sebesar 32-34 Å atau 3,2-3,4. Sehingga silika gel dari abu bagasse dapat dimanfaakan sebagai penjerap yang baik. Menurut Buhani dan Suharso (2010: 177), silika juga memiliki kemampuan untuk melepaskan kembali sorbat yang diikatnya sehingga sangat tepat jika diaplikasikan melalui prinsip pupuk slow release

fertilizer di mana unsur hara yang telah terjerap oleh silika dapat dilepaskan

secara perlahan sesuai dengan laju penyerapan tanaman dan juga sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan tanaman.

Tanaman membutuhkan dua jenis unsur hara yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro, keduanya merupakan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman untuk melakukan proses fotosintesis. Menurut Sutedjo (1988: 85), unsur hara makro merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak, sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan tanaman hanya dalam jumlah yang sedikit. Unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman di antaranya yaitu zat arang, oksigen, hidrogen, nitrogen, fosfat, kalium,


(21)

kalsium, kapur, magnesium dan belerang. Sedangkan unsur hara mikro yang dibutuhkan tanaman di antaranya yaitu zat borium, klor, kuningan, besi, mangan, molibdenum dan seng, yang kadang-kadang juga masih membutuhkan silisium (Si), natrium (Na) dan kobalt (Co).

Kalsium dalam bentuk kation Ca2+ merupakan salah satu zat hara makro yang dibutuhkan tanaman. Kation Ca2+ sangat dibutuhkan tanaman dalam pembentukan protein, pembentukan bagian tanaman yang aktif, dan pembentukan dinding sel sehingga berpengaruh pada kesegaran tanaman. Apabila kebutuhan kalsium tidak terpenuhi, maka akan mengganggu pertumbuhan tanaman, seperti pertumbuhan ujung dan bulu – bulu akar akan terhenti dan bagian – bagian yang telah terbentuk akan mati dan berwarna coklat kemerah– merahan (Rizky, 2011: 4-5). Kation Ca2+juga termasuk zat essensial yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh tanaman sehingga perlu adanya tambahan zat dari luar. Untuk itu perlu adanya asupan nutrisi kalsium yang mungkin terkandung pada pupuk.

Berdasakan uraian di atas, dilakukan penelitian dengan mensintesis silika gel melalui proses sol-gel menggunakan prekursor natrium silikat dari bagasse tebu. Menurut Indriyanti, dkk. (2011: 405), metode sol-gel memiliki kelebihan yaitu relatif mudah dan dapat dilakukan pada temperatur kamar. Selanjutnya hasil sintesis silika gel dari bagasse tebu tersebut akan digunakan sebagai uji pendahuluan dalam pembuatan pupuk SRF sehingga akan dicari optimasi adsorpsi terbaik supaya kation Ca2+dapat termuat lebih banyak pada


(22)

adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yaitu faktor suhu. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu pada adsorpsi kation Ca2+oleh adsorben silika dari bagasse tebu.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, pokok permasalahan yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis bahan dasar yang digunakan dalam penelitian, 2. Jenis metode yang digunakan untuk mensintesis adsorben,

3. Jenis adsorbat yang akan diadsorpsi oleh adsorben silika yang berasal dari bagasse tebu,

4. Jenis adsorben yang akan disintesis dalam penelitian, 5. Variasi suhu yang digunakan selama proses adsorpsi, 6. Variasi konsentrasi yang digunakan pada penelitian, 7. Variasi waktu adsorpsi yang digunakan dalam penelitian, 8. Perlakuan yang dilakukan dalam proses adsorpsi,

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka perlu diberikan pembatasan masalah, yaitu:

1. Jenis bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah silika yang berasal dari bagasse tebu yang diambil dari pedagang es tebu sekitar kampus ISI, 2. Jenis metode yang digunakan untuk mensintesis adsorben pada penelitian

ini adalah metode sol-gel,


(23)

4. Jenis adsorben yang akan disintesis dalam penelitian ini adalah silika gel dari bagasse tebu,

5. Variasi suhu yang digunakan selama proses adsorpsi 27, 32, 37, 42, 47 dan 52oC.

6. Variasi konsentrasi yang digunakan yaitu 10 dan 20 ppm.

7. Variasi waktu yang digunakan yaitu 15 dan 60 menit, dan waktu optimum untuk proses adsorpsi adalah 15 menit.

8. Proses adsorpsi dilakukan pada pH 5, serta waktu adsorpsi yang digunakan yaitu 15 menit.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat ditentukan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana cara mensintesis silika gel dari bagsse tebu?

2. Bagaimana karakter silika gel dari bagsse tebu yang telah disintesis? 3. Bagaimana pengaruh suhu dan konsentrasi terhadap adsorpsi kation Ca2+

oleh adsorben silika yang berasal dari bagasse tebu? E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui cara mensintesis silika gel dari bagasse tebu.

2. Mengetahui karakter silika gel dari bagasse tebu yang telah disintesis. 3. Mengetahui pengaruh suhu dan konsentrasi terhadap adsorpsi kation Ca2+


(24)

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi peneliti

a. Memberikan informasi tentang cara mensintesis silika gel dari bagasse tebu.

b. Memberikan informasi tentang karakter silika gel dari bagasse tebu yang telah disintesis.

c. Memberikan informasi tentang pengaruh suhu dan konsentrasi terhadap adsorpsi kation Ca2+ oleh adsorben silika yang berasal dari bagasse tebu.

2. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis dari limbah industri pengolahan tebu menjadi gula yaitu bagasse tebu, sehingga limbah tersebut tidak mencemari lingkungan.

3. Bagi akademisi

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya terkait sintesis silika dari bagasse tebu.


(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori

1. Tebu

Tanaman tebu tumbuh di dataran rendah. Tanaman tebu termasuk jenis rumput-rumputan. Tebu diperkirakan berasal dari Papua dan mulai dibudidayakan sejak 8000 SM. Tanaman ini menyebar seiring dengan migrasi manusia. Tebu menyebar, mulai dari Papua ke Kepulauan Solomom, New Hibride, dan Kaledonia Baru (Suwarto, dkk., 2014: 248). Tebu hanya dapat di tanam di daerah yang memiliki iklim tropis. Di Indonesia, perkebunan menempati luas yang mencapai 375 ribu hektar pada tahun 2012 yang tersebar di Medan, Lampung, Solo, Tegal, dan Mojokerto. Pada tahun 2012 produksi tebu Indonesia mencapai dua juta ton (Li-An’Amie dan Nugraha, 2014: 1).

Menurut Suwarto (2014: 248), berdasarkan klasifikasinya, tanaman tebu dikelompokkan sebagai berikut,

Divisi : Spermatophyta

Subdivio : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Graminales

Famili : Gramineae

Genus : Saccharum


(26)

Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan spesies paling penting dalam genus Saccharum sebab kandungan sukrosanya paling tinggi dan kandungan seratnya paling rendah (Wijayanti, 2008: 3).

Tanaman tebu mempunyai batang yang tinggi kurus, tidak bercabang dan tumbuh tegak. Tanaman yang tumbuh baik, tinggi batangnya dapat mencapai 3 – 5 meter atau lebih. Pada batang terdapat lapisan lilin yang berwarna putih dan keabu-abuan. Lapisan ini banyak terdapat sewaktu batang masih muda. Ruas-ruas batang dibatasi oleh buku-buku yang merupakan tempat duduk daun tebu. Di ketiak daun terdapat sebuah kuncup yang biasa disebut “mata”. Bentuk ruas batang dan warna batang tebu yang bervariasi merupakan salah satu ciri dalam pengenalan varietas tebu (Wijayanti, 2008: 3). Tanaman tebu memiliki sistem perakaran serabut. Batangnya berbentuk silinder, beruas-ruas. Batangnya memiliki cincin yang tumbuh melingkar. Tebu ditanam sebagai bahan baku pembuatan gula (Suwarto, 2014: 248). Tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik gula. Dalam proses produksi gula, dari setiap tebu yang diproses, dihasilkan bagasse tebu sebesar 90%, gula yang dimanfaatkan hanya 5% dan sisanya berupa tetes tebu (molase) dan air (Migas, 2004: 1).

2. Bagasse Tebu

Bagasse atau ampas tebu adalah zat padat dari tebu yang diperoleh sebagai sisa dari pengolahan tebu pada industri pengolahan gula pasir. Bagasse mengandung air 48 – 52%, gula 3,3% dan serat 47,7% (Akhinov, 2010: 1). Berdasarkan Li-An’Amie dan Nugraha (2014: 1), ampas tebu


(27)

merupakan salah satu sumber serat alam terbanyak yang terdapat di Indonesia. Selain ketersediannya yang melimpah, ampas tebu berpotensi karena memiliki sifat yang tahan kelembapan, tahan terhadap jamur, awet dan memiliki rasa manis. Sriatun, dkk. (2015: 35), juga menyatakan bahwa ampas tebu (bagasse) mengandung lignoselulosa yaitu suatu komposit yang terdiri dari selulosa (50%), hemiselulosa (25%) dan lignin (25%).

Bagasse tebu biasanya dihasilkan dari proses ekstraksi cairan tebu yang diolah di pabrik gula. Abu Bagasse mempunyai sifat fisika antara lain densitas 2,52 g/cm3, luas permukaan 5140 cm2/g, ukuran partikel C28,9 μ m, dan berwarna abu kemerahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa abu bagasse dari limbah pabrik gula dapat diolah menjadi silika (Hanafi dan Nandang, 2010: 37). Hal tersebut juga terbukti dengan besarnya kandungan silikon (Si) sebesar 55,5 % yang merupakan kandungan tertinggi dibandingkan dengan mineral-mineral lain yang berada pada bagasse Akhinov, dkk. (2010: 1). Govindarajan dan Jayalakhsmi (2011: 549) melaporkan bahwa pada suhu 500˚C hingga 700 ˚C abu bagasse tebu memiliki struktur amorf sedangkan pada 1000˚C memiliki struktur kristalin. Menurut Hanafi dan Nandang (2010: 36), pada pembakaran bagasse, semua komponen organik diubah menjadi gas CO2 dan H2O dengan meninggalkan abu yang merupakan komponen anorganik dengan mengikuti reaksi:

CxHyOz+ O2 CO2(g) + H2O(g) + abu

Selain kandungan komponen organik, bagasse yang telah diabukan juga mengandung oksida-oksida anorganik yaitu SiO2 71%, Al2O3 1,9%,


(28)

Fe2O3 7,8%, CaO 3,4%, MgO 0,3%, K2O 8,2%, P2O5 3,0% dan MnO 0,2% (Sriatun, dkk., 2015: 35).

3. Silika

Secara umum rumus kimia silika gel adalah SiO2.xH2O. Silika gel merupakan silika amorf yang terdiri dari globula-globula SiO4 tetrahedral yang tersusun secara tidak teratur dan beragregasi membentuk kerangka tiga dimensi yang lebih besar (sekitar 1-25μ m). (Sriyanti, dkk., 2005: 2). Menurut Oscik (1982: 188), struktur satuan mineral silika gel pada dasarnya mengandung kation Si4+ yang terkoordinasi secara tetrahedral dengan anion O2-. Namun demikian, susunan tetrahedral SiO4 pada silika gel tidak beraturan. Struktur kimia dari silika gel dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur silika gel

Di alam senyawa silika ditemukan dalam beberapa bahan alam seperti pasir, kuarsa, gelas, dan sebagainya. Silika sebagai senyawa yang terdapat di alam berstruktur kristalin, sedangkan sebagai senyawa sintetis adalah amorf (Sulastri dan Kristianingrum, 2010: 211). Silika gel merupakan salah satu padatan anorganik yang dapat digunakan untuk keperluan adsorpsi


(29)

karena memiliki gugus silanol (≡Si-OH) dan gugus siloksan (≡Si-O-Si≡) yang merupakan sisi aktif pada permukaannya. Menurut Sulastri dan Kristianingrum (2010: 212), gugus siloksan ada dua macam yaitu Si-O-Si rantai lurus dan gugus siloksan yang membentuk struktur lingkar dengan empat anggota. Jenis pertama tidak reaktif dengan pereaksi pada umumnya, tetapi sangat reaktif terhadap senyawa logam alkali. Jenis gugus siloksan yang membentuk lingkar dengan empat anggota mempunyai reaktivitas yang tinggi, dapat mengadakan kemisorpsi dengan air, amoniak dan metanol. Reaksi dengan air akan menghasilkan dua gugus Si-OH, reaksi dengan amoniak akan menghasilkan gugus Si-NH2 dan silanol, sedangkan reaksi dengan metanol akan menghasilkan gugus silanol dan Si-O-CH3. Disamping itu silika gel mempunyai pori-pori yang luas, berbagai ukuran partikel dan area permukaan yang khas (Kristianingrum, 2011: 282).

Selain itu, silika gel memiliki karakteristik yang unik, yaitu porositas tinggi (80-90%), densitas rendah (0,003-0,35 gram/cm3), konduktivitas termal rendah (<0,005 W/mK), indeks bias rendah (~1.05) dan luas permukaan yang tinggi (500-1600 m2/gram). Silika mampu untuk mengikat sorbat melalui proses penyerapan (adsorpsi), silika juga memiliki kemampuan melepaskan kembali sorbat yang diikatnya. Silika gel dapat digunakan sebagai adsorben. Hal ini dikarenakan silika gel mudah di produksi, sangat inert, hidrofilik, mempunyai kestabilan termal dan mekanik yang tinggi, serta relatif tidak mengembang dalam pelarut organik jika dibandingkan dengan padatan resin polimer organik (Sulastri, 2009: 367). Menurut Sriyanti, dkk.


(30)

(2005: 2), silika gel memiliki kelebihan sifat, yaitu memiliki kestabilan tinggi terhadap pengaruh mekanik, temperatur, dan kondisi keasaman. Kelebihan sifat silika gel ini menyebabkan silika gel banyak digunakan sebagai adsorben, material pendukung katalis, dan lain-lain. Sebagai adsorben silika gel memiliki kelemahan yaitu, rendahnya efektivitas adsorpsi silika terhadap ion logam, ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan oksigen (silanol dan siloksan) sebagai donor pasangan elektron, yang berakibat lemahnya ikatan ion logam pada permukaan silika. (Buhani dan Sunarso, 2010: 177)

Sifat silika gel ditentukan oleh orientasi dari ujung tempat gugus hidroksil berkombinasi. Oleh karena ketidak-teraturan susunan permukaan SiO4 tetrahedral, maka jumlah distribusinya per unit area bukan menjadi ukuran kemampuan adsorpsi silika gel, meskipun gugus silanol dan siloksan terdapat pada permukaan silika gel. Kemampuan adsorpsi ternyata tidak sebanding dengan jumlah gugus silanol dan gugus siloksan yang ada pada permukaan silika gel, tetapi tergantung pada distribusi gugus OH per unit area adsorben (Oscik, 1982; 188)

4. Metode Sol-Gel

Proses sol-gel yaitu penambahan bahan yang diimobilkan dilakukan pada saat matriks berbentuk sol, kemudian menuju ke arah pembentukan padatan (gel). Metode ini relatif mudah dilakukan, tidak memerlukan waktu yang lama dan interaksi antara padatan dan bahan yang diimobilkan relatif kuat (Sriyanti, dkk., 2005: 2). Proses sol-gel adalah pelarutan pada temperatur


(31)

temperatur tinggi karena dapat dilakukan pada temperatur yang rendah, seperti proses dasar pada sintesis gelas. Pembentukan matriks silika diperoleh melalui hidrolisis pada suatu alkoksi yang diikuti dengan jembatan okso. Hidrolisis menghasilkan konversi ikatan Si-OR ke Si-OH yang memadat membentuk suatu polimer berjembatan okso Si-O-Si. Reaksi yang terjadi dalam daerah yang terlokalisasi menuju pembentukan partikel sol. Material yang kental kemudian mengeras membentuk suatu gel yang porous (Brinker dan Scherer, 1990: 6). Saat ini metode sol-gel banyak dikembangkan. Teknik sol-gel banyak dimanfaatkan untuk proses sintesis material, terutama memperlihatkan kemampuan, versatilitas, kemurnian, homogenitas, dan modifikasi sifat material dengan mengubah parameter sintesisnya (Zawrah et al, 2009: 129).

Menurut Rahman dan Padavettan (2012: 2), proses sol-gel banyak digunakan untuk menghasilkan silika, kaca, dan bahan keramik karena mempunyai kemampuan membentuk produk yang murni dan homogenitas yang tinggi. Metode sol-gel memiliki beberapa keunggulan diantaranya yaitu, relatif mudah dilakukan, tidak memerlukan waktu yang lama serta interaksi antara padatan dan bahan yang diimobilkan relatif kuat (Sriyanti dkk., 2005: 2). Selain itu menurut Buhani dan Suharso (2009: 178), keunggulan lain dari metode sol-gel yaitu dapat dipreparasi pada temperatur rendah, bercampur dengan baik pada sistem multi-komponen, homogen, memiliki kemurnian tinggi, serta ukuran, bentuk dan sifat partikel dapat dikontrol, dapat dibuat


(32)

material hibrida-organik serta dapat digunakan untuk meningkatkan selektivitas dalam kromatografi.

Proses sol-gel dimulai dengan pengasamkan larutan natrium silikat hingga terbentuk gel karena silika memiliki kelarutan yang tinggi, yaitu pada pH lebih dari 10 (Scott, 1993). Pengasaman natrium silikat dapat dilakukan dengan menggunakan asam klorida. Menurut Sriyanti (2005: 3), pengasaman natrium silikat dengan HCl menyebabkan pembentukan gel yang sangat cepat, hal ini terjadi di sekitar pH 9-7. Penambahan HCl terus menerus akan menyebabkan gel melarut kembali. Penambahan asam klorida pada larutan natrium silikat mengakibatkan terjadinya penurunan pH dan meningkatkan konsentrasi H+dalam Na2SiO3. Silikat akan berubah menjadi asam silikat dan terjadi proses polimerisasi dan kondensasi hingga terbentuk gel silika.

5. Adsorpsi

Proses sorpsi terdiri dari adsorpsi dan desorpsi. Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu terhadap zat tertentu yang terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap ke dalam, sedangkan proses pemindahan molekul dari permukaan disebut desorpsi. Adsorpsi dapat terjadi pada antarfasa padat-cair, padat-gas atau gas-cair (Tandy, E., dkk., 2012: 34-35).

Metode adsorpsi umumnya berdasarkan adanya interaksi antara ion logam dengan gugus fungsional yang ada pada permukaan adsorben melalui pembentukan kompleks. Proses pembentukan kompleks ini terjadi pada


(33)

permukaan padatan yang mempunyai gugus fungsional yang mengandung atom donor oksigen, nitrogen, fosfor dan belerang seperti –OH, -NH2, -SH, – COOH, fosforil dan sebagainya (Jal. P.K, dkk., 2004: 1006). Adsorpsi merupakan proses akumulasi substansi adsorbat pada permukaan adsorben yang disebakan oleh gaya tarik antar molekul atau interaksi kimia atau suatu akibat dari medan gaya pada permukaan padatan (adsorben) yang menarik molekul-molekul gas/uap atau cairan (Oscik, 1982: 191). Dalam adsorpsi digunakan istilah adsorbat dan adsorben, dimana adsorbat adalah substansi yang terjerap atau substansi yang akan dipisahkan dari pelarutnya, sedangkan adsorben merupakan suatu media penyerap. Daya adsorpsi merupakan ukuran kemampuan suatu adsorben untuk menarik sejumlah adsorbat (Syauqiah, dkk., 2011: 12). Adsorben merupakan bahan yang sangat berpori, dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding-dinding pori atau pada letak-letak tertentu di dalam partikel itu (Tandy, E., dkk., 2012: 35). Kebanyakan adsorben yang digunakan dalam proses adsorpsi adalah alumina, karbon aktif, silika gel, dan zeolit (Nurhasni, dkk., 2014: 131). Adsorben silika di dalam air membentuk silanol (SiOH), yang memiliki gugus fungsional aktif –OH. Dari berbagai pendapat tentang mekanisme reaksi, protonasi dan deprotonasi gugus aktif–OH silanol diusulkan oleh beberapa peneliti sebagai suatu reaksi dasar yang terjadi pada permukaan logam oksida seperti silika. (Ikhsan, dkk., 2015: 11).

Menurut Syauqiah, dkk. (2011: 13-14), secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi adalah sebagai berikut:


(34)

a. Luas permukaan

Semakin luas permukaan adsorben, maka makin banyak zat yang teradsorpsi. Luas permukaan adsorben ditentukan oleh ukuran partikel dan jumlah dari adsorben.

b. Jenis adsorbat

Peningkatan polarisabilitas adsorbat akan meningkatkan kemampu-an adsorpsi molekul ykemampu-ang mempunyai polarisabilitas ykemampu-ang tinggi (polar) memiliki kemampuan tarik menarik terhadap molekul lain dibandingkan molekul yang tidak dapat membentuk dipol (non polar); Peningkatan berat molekul adsorbat dapat meningkatkan kemampuan adsorpsi. Adsorbat dengan rantai yang bercabang biasanya lebih mudah diadsorbsi dibandingkan rantai yang lurus.

c. Struktur molekul adsorbat

Hidroksil dan amino mengakibatkan berkurangnya kemampuan penyisihan, sedangakan Nitrogen meningkatkan kemampuan penyisihan. d. Konsentrasi Adsorbat

Semakin besar konsentrasi adsorbat dalam larutan maka semakin banyak jumlah substansi yang terkumpul pada permukaan adsorben, dikarenakan konsentrasi adsorbat yang tinggi dapat menghasilkan daya dorong yang tinggi bagi molekul adsorbat untuk masuk ke dalam situs aktif adsorben (Altaher dan Elqada, 2011: 1117). Handayani dan Sulistiyono (2009: 131), juga menyatakan bahwa semakin besar konsentrasi larutan, semakin banyak jumlah zat terlarut yang dapat diadsorbsi sehingga tercapai


(35)

keseimbangan tertentu, dimana laju zat yang diserap sama dengan zat yang dilepas dari adsorben pada suhu tertentu.

e. Temperatur

Suhu sangat mempengaruhi proses adsorpsi, ion akan semakin banyak teradsorpsi seiring dengan menurunnya suhu (Kundari dan Wiyuniati 2008: 493) .

f. pH

pH larutan mempengaruhi kelarutan ion logam, aktivitas gugus fungsi pada biosorben dan kompetisi ion logam dalam proses adsorpsi. Semakin rendah pH maka semakin besar daya adsorpsi (Altaher dan Elqada, 2011). pH dapat berpengaruh signifikan pada adsorpsi kation karena pH memengaruhi sifat hidrolisis masing-masing kation (Ikhsan, dkk., 2015: 11). g. Kecepatan pengadukan

Menentukan kecepatan waktu kontak adsorben dan adsorbat. Bila pengadukan terlalu lambat maka proses adsorpsi berlangsung lambat pula, tetapi bila pengadukan terlalu cepat kemungkinan struktur adsorben cepat rusak, sehingga proses adsorpsi kurang optimal.

h. Waktu Kontak

Penentuan waktu kontak yang menghasilkan kapasitas adsorpsi maksimum terjadi pada waktu kesetimbangan.

i. Waktu kesetimbangan dipengaruhi oleh:

1) tipe biomasa (jumlah dan jenis ruang pengikatan), 2) ukuran dan fisiologi biomasa (aktif atau tidak aktif),


(36)

3) ion yang terlibat dalam sistem biosorpsi 4) konsentrasi ion logam.

Porositas adsorben juga mempengaruhi daya adsorbsi dari suatu adsorben. Adsorben dengan porositas yang besar mempunyai kemampuan menyerap yang lebih tinggi dibandingkan dengan adsorben yang memiliki porositas kecil. Untuk meningkatkan porositas dapat dilakukan dengan mengaktivasi secara fisika seperti mengalirkan uap air panas ke dalam poripori adsorben atau mengaktivasi secara kimia. (Syauqiah, dkk., 2011: 14)

Molekul dan atom dapat menempel pada permukaan dengan dua cara. Dalam fisisorpsi (adsorpsi fisika) terdapat antaraksi van der Waals (contohnya, dispersi atau antaraksi dipolar) antara adsorbat dan substrat. Antaraksi van der Waals mempunyai jarak jauh, tetapi lemah, dan energi yang dilepaskan jika partikel terfisisorpsi mempunyai orde besaran yang sama dengan entalpi kondensasi. Entalpi fisisorpsi dapat diukur dengan mencatat kenaikan temperatur sampel dengan kapasitas kalor yang diketahui, dan nilai khasnya berada sekitar -20 kJ mol-1. Sedangkan dalam kemisorpsi (adsorpsi kimia) partikel melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia (biasanya ikatan kovalen). Entalpi kemisorpsi jauh lebih besar daripada entalpi fisisorpsi, dan nilai khasnya adalah sekitar -200 kJ mol-1 (Atkins, 1999: 437-438). Menurut Hartati, dkk. (2011: 26) perbedaan fisisorpsi dan kemisorpsi ditampilkan dalam Tabel 1.


(37)

Tabel 1. Perbedaan antara fisisorpsi dan kemisorpsi

Adsorpsi fisika Adsorpsi kimia

Melibatkan gaya van der Waals antara adsorben dan adsorbat

Melibatkan pembentukan ikatan kimia antara adsorben dan adsorbat

Entalpi adsorpsi rendah (sekitar 5 kkal/mol)

Entalpi adsorpsi tinggi (20-100kkal/mol)

Dapat membentuk lapisan multi molekul

Terbentuk monolayer

Reversible Irreversible

Fenomena umum, muncul dalam sistem padat/cair atau padat gas

Proses yang sangat spesifik, lebih spesifik dari pada adsorpsi fisika Energi ikat umumnya berkisar

antara 10-100 meV Energi ikat umumnya berkisarantara 1-10 meV Tidak melibatkan energi aktivasi Melibatkan energi aktivasi Kesetimbangan dapat dicapai pada

waktu yang singkat

Butuh waktu yang lebih lama untuk mencapai kesetimbangan

6. Unsur Hara Tanaman

Tanaman menyerap seluruh unsur hara dalam bentuk kation atau anion yang terlarut dalam air tanah. Didalam tanah unsur hara akan terserap masuk ke dalam tanaman dengan mekanisme tukar kation dan anion. Kebutuhan unsur hara tanaman membutuhkan pupuk kimia yang pada umumnya bersifat cepat tersedia (quick release) bagi tanaman, sehingga cepat habis digunakan atau tercuci oleh air. Ada juga pupuk yang bersifat lambat terurai (slow release) sehingga dapat bertahan lama dalam tanah. (Kurnia, - : 39)


(38)

Unsur hara merupakan ion atau molekul tertentu yang diserap oleh tanaman Unsur hara dibagi menjadi dua jenis, yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro adalah nsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah banyak. Unsur hara mikro adalah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah sedikit. Unsur hara makro: Nitrogen(N), fosfor(P), kalium(K), kalsium(Ca), Magnesium (Mg), dan Sulfur (S). Unsur hara mikro: Mangan (Mn), Seng (Zn), Besi (Fe), Silisium (Si), Natrium (Na), Kobalt (Co), Molibdenum, khlor, Kuningan (Sutedjo dan Kartasapoetra, 1988: 85).

7. Unsur Makro Kation Ca2+

Kalsium merupakan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman untuk pertumbuhan meristem, terutama pertumbuhan yang tepat dan fungsi ujung akar (Winangun, 2005: 75). Kalsium juga berperan dalam proses pembelahan dan perpanjangan sel, serta mengatur distribusi hasil fotosintesis. Kalsium didistribusikan oleh air ke dalam jaringan tanaman. Meski kalsium rata-rata tersedia dalam jumlah yang cukup dalam media namun, jika tidak berada dalam wilayah jangkauan akar maka tanaman tetap mengalami kekurangan kalsium (Arwida, 2008: 40).

Unsur kalsium diperlukan oleh tanaman dalam jumlah relatif banyak dan diserap dalam bentuk ion Ca2+. Kekurangan kalsium bisa menghambat pertumbuhan tunas baru. Jika terjadi pada masa awal pembungaan bisa menyebabkan gugurnya kuncup bunga. Namun untuk kekurangan kalsium ringan biasanya ditandai oleh daun yang keriting dan munculnya warna putih


(39)

pada tepian daun muda yang disebabkan oleh menurunnya kadar klorofil. Sedangkan kekurangan kalsium yang parah bisa menyebabkan kerusakan dan kematian akar. Disamping kekurangan kalsium, kelebihan kalsium juga menyebabkan dampak negatif bagi tanaman, diantaranya yaitu menyebabkan pertumbuhan terhamat dan mengganggu penyerapan magnesium dan kalium (Arwida, 2008: 40). Menurut Winangun (2005: 75), kekurangan kalsium banyak terjadi di tanah yang sangat asam. Kekurangan kalsium dapat menghambat pembentukan akar baru, daun, dan bagian tanaman yang lain. Kekurangan unsur hara kalsium menyebabkan tanaman menjadi kerdil, pertambahan panjang yang lambat, dan pertamahan tepi daun terhambat sehingga daun menggulung.

Vogel (1990: 300) menyatakan bahwa, kalsium menguraikan air dengan membentuk kalsium hidroksida dan hidrogen. Garam – garamnya biasanya berupa bubuk putih dan membentuk larutan yang tak berwarna, kecuali bila anionnya berwarna. Dalam suasana basa, ion kalsium dalam air dapat bereaksi dengan CO2 menghasilkan CaCO3 yang dapat mengendap, sesuai reaksi berikut

CO2(g) + Ca2+(aq) + 2 OH-(aq)→ CaCO

3(s) + H2O (l) (Vogel, 1990: 317)


(40)

Tabel 2. Sifat Kalsium

Sifat Kalsium

1 Hidrolisis Mn++ H2O↔[M(OH)](n+1)+(n-1)H+ Mn++ 2H2O↔ M(OH)

2+ 2H+

(Log K=1,3) (Log K=1,3x10-6) 2 Jari-Jari Atom

Ion Terhidrat

1,97 Å 1,00 Å 4,12 Å 3

Elektronega-tifitas 1,0

(Ikhsan, dkk., 2015: 15)

8. Pengaruh Suhu pada Adsorpsi

Suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas dingin suatu benda. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sering kali hanya menggunakan indra peraba untuk mengukur suhu, namun dengan perkembangan teknologi sebuah alat yang disebut thermometer dipercaya

dapat mengukur suhu dengan lebih valid, sehingga baik suhu tubuh manusia, suhu pada benda maupun suhu larutan diukur dengan menggunakan

thermometer(Kristanto dan Riandari, 2013: 23).

Adsorpsi merupakan proses kinetika, maka pengaturan suhu akan mempengaruhi kecepatan proses adsorpsi sehingga juga akan mempengaruhi daya adsorpsi. Reaksi yang terjadi pada proses adsorpsi adalah reaksi eksoterm karena pada saat molekul-molekul adsorbat menempel pada permukaan adsorben terjadi pembebasan sejumlah energi, maka dari itu adsorpsi akan berkurang pada temperatur lebih tinggi dan sebaliknya tingkat


(41)

adsorpsi umumnya meningkat seiring dengan menurunnya suhu. (Nurhasni, dkk., 2014: 133).

Menurut Kundari dan Wiyuniati (2008: 493), semakin tinggi suhu maka semakin sedikit ion yang terjerap oleh adsorben.

9. Difraksi Sinar X (XRD)

Radiasi sinar-x dihasilkan saat elektron penembak yang bergerak dipercepat, akibat beda tegangan (potensial) anoda yang tinggi, menumbuk permukaan suatu bahan padat (logam). Semakin cepat gerak elektron, semakin besar sinar-x yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah elektron, semakin besar intensitas sinar x. Salah satu analisis untuk material kimia yaitu difraksi sinar X (Budi, 2011: 35). Berdasarkan Budi (2011: 35-36), jika sebuah elektron bebas bergerak dipercepat, mampu menerobos suatu atom hingga menumbuk elektron pada kulit terdalam keluar. Karena adanya kekosongan pada kulit terdalam, maka untuk mempertahankan keadaan stabil, elektron terluar akan mengisi kekosongan pada kulit atom terdalam dengan memancarkan gelombang sinar-x seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.1.


(42)

(a) Sebuah elektron penembak menumbuk elektron atom pada kulit terdalam hingga keluar;

(b) elektron atom kulit terluar mengisi kekosongan dengan memancarkan sinar-x.

Gambar 2.2. Diagram sinar x datang dan terdifraksi oleh atom-atom kristal Difraksi sinar X (X-Ray Diffraction), atau yang sering dikenal

dengan XRD, merupakan instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengetahui karakteristik suatu material. Dari proses difraksi sinar x tersebut dapat mengidentifikasi struktur, ukuran butir, unsur dan parameter kisi suatu kristal. Seiring dengan perkembangan teknologi, difraksi sinar x sendiri dapat dilakukan dengan beberapa alat yang berbeda diantaranyaX-Ray

Diffraction dan X-Ray Physics Basic Unit (Wahyuni dan Hastuti, 2010:

32-33). Metode analisis X- Ray Diffraction (XRD) didasarkan pada pengukuran

transmisi dan difraksi dari sinar X yang dilewatkan pada sampel padat yang kemudian dapat menentukan system kristal, kualitas kristal, dan identifikasi campuran dan analisis kimia (Tutu, dkk., 2015: 193).

Sinar-x memiliki daya tembus yang cukup besar dan panjang gelombangnya berorde 10-10 m yang bersesuaian dengan ukuran kisi kristal. Karena itu sinar-x dapat digunakan untuk menganalisis struktur kristal bahan


(43)

padatan melalui peristiwa difraksi. Peristiwa difraksi sinar x pada kristal padatan dinyatakan dengan persamaan Bragg:

λ = 2dsinθ

denganλ = panjang gelombang radiasi sinar-X, d = jarak antar bidang dalam kristal dan θ = sudut difraksi (Budi, 2011: 35). Persamaan diatas menjunjukkan bahwa sistem kerja difraktometer sinar-X didasarkan pada hukum Bragg yang menjelaskan tentang pola, intesitas dan sudut difraksi (θ) yang berbeda-beda pada tiap bahan. Interferensi berupa puncak-puncak sebagai hasil difraksi, terjadi interaksi antara sinar-X dengan atom-atom pada bidang kristal (Cullity, 1978: 8).

Sinar X dihasilkan ketika tegangan tinggi dikenai terhadap dua elektron. Ketika elektron mempunyai energi yang cukup dan kecepatan yang tinggi, maka elektron tersebut akan keluar dari katoda dan menumbuk elektron materi pada anoda. Elektron tersebut kemudian melambat dan kehilangan energinya. Ketika elektron kehilangan energinya, terbentuklah sinar X kontinyu dengan beberapa panjang gelombang (Waseda dkk., 2011: 6) Berdasarkan hasil experimen Hariharan dan Sivakumar (2013: 1264-1265), pita lebar yang kuat berpusat pada 22°(2θ) menunjukkan silika amorf yang ditunjukan oleh Gambar 3.


(44)

Gambar 3. Difraktogram XRD silika gel dari bagasse tebu

10. Spktroskopi FTIR

FT-IR merupakan salah satu metode spektroskopi yang sangat populer, yaitu metode dengan menggunakan spektroskopi inframerah yang dilengkapi dengan transformasi fourier untuk menganalisis hasil

spektrumnya. Metode spektroskopi yang digunakan adalah metode absorpsi, yaitu metode spektroskopi yang didasarkan atas perbedaan penyerapan radiasi inframerah. Absorbsi inframerah oleh suatu materi dapat terjadi jika dipenuhi dua syarat, yaitu kesesuaian antara frekuensi radiasi inframerah dengan

frekuensi vibrasional molekul sampel dan perubahan momen dipol selama

bervibrasi (Anam, dkk., 2007: 79-80). Spektroskopi inframerah berguna untuk identifikasi senyawa organik karena spektrumnya yang sangat kompleks yang terdiri dari banyak puncak-puncak. Jika sinar inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka terdapat sejumlah frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada struktur elektronik dari


(45)

molekul tersebut. Molekul yang menyerap energi tersebut terjadi perubahan energi vibrasi dan perubahan tingkat energi rotasi (Suseno dan Firdausi, 2008: 23).

Pada suhu kamar, molekul senyawa organik dalam keadaan diam, setiap ikatan mempunyai frekuensi yang karakteristik untuk terjadinya vibrasi ulur (stretching vibrations) dan vibrasi tekuk (bending vibrations) dimana

sinar inframerah dapat diserap pada frekuensi tersebut. Energi ulur (stretch)

suatu ikatan lebih besar daripada energi tekuk (bend) sehingga serapan ulur

suatu ikatan muncul pada frekuensi lebih tinggi dalam spektrum inframerah daripada serapan tekuk dari ikatan yang sama. Frekuensi vibrasi suatu ikatan dapat dihitung dengan persamaan hukum Hooke, yaitu

v= ]1/2

dimana v adalah frekuensi spasial (cm-1), c kecepatan cahaya dalam ruang

hampa, f tetapan gaya ikatan, m1 dan m2 masing-masing massa dari atom 1

dan atom 2 yang saling berikatan (Suseno dan Firdausi, 2008: 24).

Fourier Transform Infrared (FTIR) merupakan metode bebas

reagen, tanpa penggunaan radioaktif dan dapat mengukur kadar hormon secara kualitatif dan kuantitatif. Prinsip kerja FTIR adalah mengenali gugus fungsi suatu senyawa dari absorbansi inframerah yang dilakukan terhadap senyawa tersebut. Pola absorbansi yang diserap oleh tiap-tiap senyawa berbeda-beda, sehingga senyawa-senyawa dapat dibedakan dan dikuantifikasikan (Sankari, 2010: 42).


(46)

Berikut adalah skema alat spektroskopi FTIR ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 4. Skema Alat Spektroskopi FTIR (Nicolet, 2001: 6) Daerah inframerah dibagi menjadi tiga daerah yakni derah inframerah jauh pada daerah bilangan gelombang <400 cm-1, daerah inframerah tengah pada daerah bilangan gelombang 4000-400 cm-1 dan daerah inframerah dekat pada bilangan gelombang 13000-4000 cm-1. Banyak aplikasi inframerah bekerja pada daerah tengah (Stuart, 2004: 24). Serapan karakteristik senyawa-senyawa karbon-silikon ditunjukan pada Tabel 3.


(47)

Tabel 3. Serapan karakteristik senyawa-senyawa organo-silikon Gugus Fungsional Frekuensi (cm-1) Panjang Gelombang (µm)

Si-H 2230-2150 4,48-4,65

890-860 11,24-11,63

Si-OH 3390-3200 2,95-3,13

870-820 11,49-12,20

Si-O 1110-100 9,01-10,00

SO-O-Si (disiloksan) 1053 9,50

Si-O-Si (linier) 1080 9,26

1025 9,76

Si-O-Si (trimersiklis) 1020 9,80

Si-O-Si (tetramersiklis) 1082 9,42

Si-OCH3 1090-1050 9,18-9,52

Si-OC2H5 1090 9,18

Si-C 890-690 11,24-14,49

Si-CH3 1260 7,93

820-800 12,21-12,50

Si(CH3)2 1260 7,93

840 11,90

Si-C6H5 1632 6,13

1428 7,00

1125 8,89

(Sastrohamidjojo, 1992: 102) 11. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)


(48)

cahaya oleh atom, yang atom-atom tersebut menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya (Khopkar, 1990: 288). Kelebihan analisis unsur dengan SSA antara lain analisis dapat dilakukan dengan cepat, ketelitian tinggi sampai tingkat runut (kemungkinan untuk menentukan kosentrasi semua unsur pada kosentrasi runut), dan tidak memerlukan pemisahan (penentuan suatu unsur dapat dilakukan dengan kehadiran unsur lain, asalkan katoda berongga yang diperlukan tersedia) (Khopkar, 1990: 296). Penentuan kosentrasi unsur logam dalam sampel dapat dilakukan antara absorbansi terhadap kosentrasi larutan standar. Hal ini sesuai dengan Hulum Lambert-Beer

A =ϵ. b . c Keterangan:

A = absorbansi

b = tebal larutan (tebal kuvet diperhitungkan juga umumnya 1 cm) c = konsentrasi larutan yang diukur

ε = tetapan absorptivitas molar (jika konsentrasi larutan yang diukur dalam molar).

Hukum Lambert-Beer dapat digunakan jika sumbernya adalah monokromatis. Pada AAS diperlukan sumber radiasi yang mengemisikan sinar pada pada panjang gelombang yang tepat sama pada proses absorpsinya dan itu adalah lampuhallow cathode(Khopkar, 1990: 290).


(49)

Cara kerja spektrofotometri serapan atom adalah berdasarkan atas penguapan larutan sampel, kemudian logam yang terkandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengabsorpsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda (Hollow Cathode Lamp) yang

mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyaknya penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya (Winarna, dkk,. 2015: 38)

Menurut Sari (2010: 9), pada sistem instrumentasi spektrophotometer serapan atom dikenal dua jenis sistem optik yaitu berkas tunggal dan berkas ganda, namun yang banyak digunakan dalam spektrophotometer serapan atom modern adalah jenis berkas ganda. Instrumen spektrofotometri serapan atom ditunjukkan oleh Gambar 5.

Gambar 5. Instrumen Spektrofotometri Serapan Atom (Anggraeni, 2015: 8)

Komponen utama pada instrumentasi metode SSA adalah sumber cahaya, monokromator, gas dan alat pembakar, kuvet dan detektor.


(50)

a. Sumber cahaya

Sumber cahaya berupa lampu yang dapat memancarkan energi yang cukup. Ada jenis lampu yang dapat memancarkan spektrum kontinyu sebaliknya ada lampu yang dapat memancarkan spektrum garis. Pada metode SSA dipergunakan jenis lampu katoda dengan spektrum garis. Lampu katoda terdiri atas sebuah katoda berongga berbentuk tabung dan berhadapan dengan anoda dari kawat wolfram, keduanya terbungkus dengan bahan gelas. Lampu ini diisi dangan gas mulia seperti argon, neon, helium atau krypton sampai tekanan maksimal 1 cmHg. Pada anoda dan katoda dipasang tegangan sebesar kira-kira 300 V dan melalui katoda dialirkan arus sebesar 10 mA. Akibatnya, katoda menjadi berpijar dan mengakibatkan penguapan atom logam yang elektron-elektronnya mengalami eksitasi dalam rongga katoda. Lampu ini akan memancarkan emisi spektrum yang khas untuk logam bahan penyusun katoda.

b. Monokromator

Monokromator merupakan suatu alat yang diletakkan diantara nyala dan detektor pada suatu rangkaian instrumentasi SSA. Monokromator terdiri atas sistem optik yaitu celah, cermin dan kisi.

c. Gas dan alat pembakar


(51)

1) Gas pembakar yang bersifat oksidasi misalnya udara (O2) atau campuran O2dan N2O.

2) Gas pembakar yang bersifat bahan bakar adalah gas alam, propane, butane, asetilen dan H2. Gas pembakar dapat pula berupa campuran udara dengan propane, udara dengan asetilen (terbanyak dipakai) dan N2O dengan asetilen.

d. Kuvet

Kuvet merupakan suatu tempat untuk nyala api dan atom-atom yang ada didalamnya, seolah-olah berfungsi sebagai kuvet.

e. Detektor

Detektor berfungsi sebagai mengukur radiasi yang ditransmisikan oleh sampel dan mengukur intensitas radiasi tersebut dalam bentuk energi listrik. Syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah detektor adalah memiliki respon yang linear terhadap energi sinar dalam kawasan spektrum yang bersangkutan. Pada SSA detektor yang lazim dipakai adalah Detektor Tabung Pengadaan Foton atau Photon Multiplier Tube Detector (PMTD) (Sari, 2010: 10-12).

B. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang telah dilakukan oleh Samsudin Affandi, dkk. (2009) berjudul “A facile method for production of high-purity silica xerogels from


(52)

memiliki luas permukaan sebesar 69-152 m2 g-1, volume pori sebesar 0,059-0,137 cm3 g-1 dan diameter pori sebesar 32-34 Å atau 3,2-3,4 nm.

Berdasarkan Sulastri (2013), dalam penelitiannya menggunkana spektrofotometer FTIR yang berjudul “Sintesis dari Abu Sekam Padi Melalui Proses Sol Gel sebagai Penukar Kation Logam Berat dalam Larutan” menyebutkan bahwa adanya puncak serapan gugus fungsi silanol (≡Si-OH) dan siloksan (=Si-O-Si=).

Kristianingrum, dkk. (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Jenis Asam pada Sintesis Silika Gel dari Abu Bagasse dan Uji Sifat Adsorptifnya Terhadap Ion Logam Tembaga (II)” menyebutkan bahwa silika gel hasil sintesis dengan asam klorida, asam sulfat, asam asetat, dan asam sitrat 3M mempunyai nilai keasaman berturut-turut sebesar 8,320; 6,554; 6,836 dan 7,574 mmol/g. Kadar air masing-masing 12,880; 15,118; 11,085 dan 17,423%. Hasil karakterisasi dengan spektroskopi infra merah menunjukkan bahwa silika gel hasil sintesis mempunyai kemiripan dengan kiesel gel 60 G dan memiliki struktur amorf.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah ada tersebut, pada penelitian ini akan dilakukan sintesis silika gel dari bagasse tebu dengan menggunakan metode sol gel. Silika gel yang diperoleh digunakan untuk adsorpsi kation Ca2+pada berbagai variasi suhu. Sintesis ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh suhu terhadap adsorpsi kation Ca2+.


(53)

C. Kerangka Berpikir

Penelitian ini dilakukan untuk memanfaatkan siika yang terkandung dalam bagasse tebu karena hingga saat ini bagasse tebu belum dimanfaatkan dengan baik, hanya digunakan sebagai bahan bakar boiler dalam pabrik, sebagai bahan penunjang proses produksi maupun sebagai produk akhir, dan juga sebagai makanan ternak, namun pemanfaatan tersebut masih belum dapat mengatasi ketersediaan bagasse yang sangat meruah. Untuk itu perlu adanya pemanfaatan bagasse menjadi hasil yang lebih bermanfaat dan bernilai jual tinggi.

Berdasarkan penelitian Akhinov, dkk. (2010: 1) dengan menggunakan XRF diketahui bahwa didalam bagasse tebu kandungan (Si) sangat tinggi yaitu mencapai 55,5%. Oleh karena itu abu dari bagasse sangat berpotensi digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan silika gel untuk kepentingan adsorpsi. Silika gel memiliki kemampuan mengikat yang tinggi karena memiliki gugus silanol (Si-OH) dan siloksan (Si-O-Si) yang merupakan sisi aktif permukaannya sehingga baik untuk digunakan sebagai penjerap pada proses adsorpsi, di samping itu silika gel juga dapat melepaskan unsur hara yang lambat sehingga dapat diaplikasikan melalui prinsip pupuk slow release fertilizer (SRF) (Ikhsan dkk., 2015).

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan silika gel dari abu bagasse dengan menggunakan metode sol-gel. Hasil sintesis silika gel dikarakterisasi dengan menggunakan spektroskopi FTIR dan XRD. Silika gel yang telah


(54)

larutan pada berbagai variasi suhu. Berdasarkan proses adsorpsi ini akan diketahui pengaruh suhu terhadap adsorpsi kation Ca2+oleh adsorben silika dari bagasse tebu. Dimana suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi adsorpsi. Menurut Nurhasni, dkk. (2014: 133), tingkat adsorpsi akan meningkat seiring dengan menurunnya suhu.


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah adsorben silika gel dari bagasse tebu. 2. Objek Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah pengaruh suhu pada adsorpsi kation Ca2+oleh silika dari bagasse tebu.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas

Variasi suhu yang digunakan selama proses adsorpsi adalah 27oC, 32oC, 37oC, 42oC, 47oC dan 52oC.

2. Variabel Kontrol

Variabel kendali dalam penelitian ini adalah tekanan yang digunakan selama proses adsorpsi yakni 1 atm, pH yang digunakan yaitu 5 serta waktu adsorpsi yang digunakan yaitu 15 menit.

3. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah kation Ca2+yang terikat oleh silika dari bagasse tebu.


(56)

C. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

a. Spektrofotometer Serapan Atom Shimadzu AA-7000 b. Spektrofotometer FTIR Thermo Nicolet Avatar 360 c. Difraktometer Sinar X Rigaku Miniflex 600

d. Oven

e. Neraca massa

f. Crush

g. pH indikator universal h. Thermometer

i. Magnetic stirrerdan pemanas

j. Muffle furnace k. Ayakan 200 mesh

l. Perangkat penyaring Buchner m. Teflon

n. Alat centrifuge

o. Alat-alat gelas: tabung reaksi, gelas ukur, Erlenmeyer, pipet volum, beker glass, labu ukur, pipet tetes, kaca arloji, spatula dll.

2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah a) Bagasse tebu


(57)

c) Aquadest

d) Larutan HCl dan NaOH untuk penyesuaian pH e) Ca (NO3)2.4H2O sebagai sumber Ca2+

f) Air demineralisata g) Kertas saring h) Indikator pH

D. Prosedur Kerja

Propsedur kerja dari penelitian ini mengadopsi dari jurnal penelitian yang telah dilakukan oleh Jaslin Ikhsan (2015)

1. Preparasi Sampel Bagasse tebu

1) Sampel bagasse tebu dikeringkan dan dibersihkan.

2) Sampel bagasse tebu dibakar dan ditumbuk sampai halus.

3) Sampel dikalsinasi di dalam muffle furnace pada suhu 600oC

selama 5 jam.

4) Sampel hasil kalsinasi ditumbuk dan diayak pada ukuran 200 mesh hingga diperoleh abu bagasse yang halus.

2. Sintesis Silika Gel dari Abu Bagasse Tebu a. Pembuatan Natrium Silikat dari abu bagasse

1) Sebanyak 20 gram abu bagasse yang telah halus dimasukkan dalam teflon kemudian ditambahkan 1 L larutan HCl 0,1 M.


(58)

2) Campuran diaduk dengan magnetik stirer selama 2 jam, dan

dibiarkan semalam, disaring dengan penyaring Buchner dan dicuci dengan aquades sampai netral.

3) Hasil pencucian dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai massa konstan.

4) Hasil abu yang telah kering direaksikan dengan larutan 1 M NaOH yaitu 6 g abu/200 mL NaOH dalam wadah teflon

5) Campuran tersebut dipanaskan sampai mendidih selama 1 jam sambil diaduk denganmagnetic stirrer.

6) Filtrat dipisahkan dari endapannya dengan menyaring campuran menggunakan kertas saring Whatman no.42. Diperoleh larutan

Na2SiO3berwarna bening kekuningan. b. Pembuatan silika gel

1) Larutan Na2SiO3hasil sintesis, ditambah dengan HCl 1 M tetes demi tetes sambil diaduk hingga pH netral dan dibiarkan selama 18 jam.

2) Endapan dipisahkan dari larutannya menggunakan penyaring Buchner dengan kertas saring Whatman no.42 kemudian dicuci

dengan aquades sampai netral sehingga diperoleh silika gel. 3) Gel silika yang diperoleh, dioven pada suhu 80oC sampai massa

konstan, kemudian ditimbang.

4) Hasil akhir ini adalah silika hasil pemisahan dari bagasse tebu (SG).


(59)

3. Karakterisasi a. Spektroskopi FTIR

Pengukuran spektrum inframerah dilakukan menggunakan instrumen spektroskopi FTIR. Sampel di scanning pada daerah panjang gelombang 300-4000 cm-1 dengan spektorfotometer FTIR Thermo Nicolet Avatar 360.

b. XRD

Pengukuran difraksi sinar-X menggunakan instrumen Rigaku Miniflex 600. Sampel diletakkan pada sample holder dalam alat difraktometer sinar-X. Sampel kemudian disinari menggunakan sinar X, dimana selama proses penyinaran sampel dirotasi dengan kecepatan 60 rpm. Sudut pembacaan dalam pengukuran difraksi sinar-X diperoleh grafik intensitas versus sudutdifraksi ( θ).

4. Adsorspsi tepi untuk menentukan suhu optimal a. Pembuatan larutan Ca(NO3)2

1) Larutan Ca2+10 ppm

Sebanyak 0,059 gram kristal Ca(NO3)2.4H2O dilarutkan dalam air demineralisata dan diencerkan hingga tanda batas dengan labu takar 1000 mL.


(60)

Sebanyak 0,118 gram kristal Ca(NO3)2.4H2O dilarutkan dalam air demineralisata dan diencerkan hingga tanda batas dengan labu takar 1000 mL.

b. Uji Pengaruh Suhu pada Adsorpsi Kation Ca2+ oleh Silika Gel

a. Sebanyak 0,2 gram sorben silika gel dilarutkan ke dalam 200 mL larutan Ca(NO3)2 10 ppm dan larutan Ca(NO3)2 20 ppm larutan Ca(NO3)2

b. Dipanaskan dan diaduk campuran suspensi dengan magnetic stirrer.

c. pH dipertahankan konstan yaitu pH 5 dan waktu 15 menit untuk setiap kenaikan suhu.

d. Pemanasan dilakukan untuk menaikkan suhu hingga 53 ºC dari (27oC, 32oC, 37oC, 42oC, 47oC dan 52oC).

e. Sebanyak 5 mL sampel diambil dan dipusingkan dengan centrifuge, dan filtratnya kemudian dianalisis dengan spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui konsentrasi Ca2+. Perbedaan konsentrasi awal dan sisa kation merupakan jumlah Ca2+yang teradsorp oleh silika gel

Melakukan hal yang sama untuk suhu 32oC, 37oC, 42oC, 47oC dan 52oC.


(61)

E. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini, analisis data yang dilakukan dengan metode spektrofotometer, yaitu:

a. Penentuan konsentrasi larutan Ca(II)

Untuk menentukan konsentrasi larutan Ca2+ setelah proses adsorpsi dapat dilakukan dengan mensubstitusikan pada persamaan garis regresi linier yang sudah diperoleh. Selanjutnya masing-masing harga absorbansi dari larutan sampel disubstitusikan ke dalam persamaan:

Y= aX + b

Berdasarkan persamaan di atas maka konsentrasi larutan Ca2+ dalam larutan dapat ditentukan. Perhitungan dilakukan secara otomatis oleh program komputerisasi dari alat AAS.

b. Penentuan jumlah Ca2+terikat (%)

Jumlah Ca2+ terikat (%) dihitung dengan menggunakan data konsentrasi sisa tersebut. % terikat dihitung dengan persamaan berikut:


(62)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Hasil Sintesis Silika Gel dari Bagasse Tebu

Penelitian ini dilakukan dengan mensintesis silika gel dari bagasse tebu. Sintesis silika gel dilakukan dengan melakukan pengasaman dan penetralan larutan natrium silkat dari bagasse tebu. Kemudian mengekstraksinya hingga terbentuk silika gel. Hasil sintesis silika gel dari bagasse tebu dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Silika Gel Hasil Sintesis Dari Bagasse Tebu

Hasil sintesis silika dari bagasse tebu tersebut selanjutnya dikarakterisasi secara difraksi sinar X dan spektoskopi FTIR.

2. Hasil Analisis Secara Difraksi Sinar-X (XRD)

Setelah selesai dilakukan sintesis, silika gel dari bagasse tebu yang dihasilkan dianalisis menggunakan XRD. Karakerisasi atau analisis secara XRD bertujuan untuk mengetahui struktur silika hasil sintesis. Dari hasil penelitian diperoleh silika hasil sintesis berupa padatan yang mempunyai


(63)

struktur amorf. Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai struktur silika hasil sintesis dapat dilihat pada Gambar 7.

2-theta (deg)

Int

ensit

y

(cps)

20 40 60

0 500 1000 1500 2000

Gambar 7. Difraktogram sinar X silika gel hasil sintesis dari bagasse tebu 3. Hasil Analisis secara Spektroskopi FTIR

Selain dianalisis menggunakan XRD, hasil sintesis silika gel dari bagasse tebu juga perlu untuk dianalisis menggunakan spektroskopi FTIR. Dimana analisis tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang terdapat pada silika hasil sintesis dan juga untuk memastikan keberhasilan dari proses sintesis yang dilakukan. Jika gugus fungsi yang diharapkan telah muncul pada spektra hasil analisis FTIR maka dapat dipastikan bahwa sintesis yang dilakukan telah berhasil dengan pembanding yang digunakan yaitu kiesel gel


(64)

dengan tipe 60 dari Merck. Hasil analisis spektroskopi FTIR ditunjukkan oleh Gambar 8.

Gambar 8 . (a) Hasil analisis FTIR silika gel hasil penelitian dan (b) Hasil analisis FTIR kiesel gel 60 Merck

4. Hasil Adsorpsi Kation Ca2+oleh Silika Gel pada Variasi Suhu

Proses adsorpsi dilakukan dengan memvariasi suhu adsorpsi untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap adsorpsi kation Ca2+ dengan adsorben yang berupa silika gel dari bagasse tebu. Analisis dilakukan dengan menggunkan instrumen AAS. Data hasil AAS ditunjukkan oleh Tabel 4.


(65)

Tabel 4. Data Hasil AAS Proses Adsorpsi

Suhu (°C) 10 ppm 20 ppm

Konsentrasi Absorbansi Konsentrasi Absorbansi

awal 10,1291 0,7162 9,6223 0,6823

27 3,4575 0,2700 7,1253 0,5153

32 3,5144 0,2738 7,5051 0,5407

37 5,1486 0,3831 7,0909 0,5130

42 4,9871 0,3723 7,1148 0,5146

47 4,4862 0,3388 7,3511 0,5304

52 4,1947 0,3193 6,9100 0,5009

Konsentrasi yang digunakan yaitu 10 ppm dan 20 ppm. Pengaruh suhu terhadap adsorpsi dapat dilihat dari Gambar 9.

Gambar 9. Grafik Pengaruh Suhu terhadap Absorbansi

Analisis untuk perhitungan % terikat kation Ca2+dapat ditentukan dengan


(66)

Hasil perhitungan dapat dilihat dari grafik hubungan antara % kation Ca2+ yang terikat dengan suhu (°C) seperti pada Gambar 10.

Gambar 10. Grafik Pengaruh Suhu terhadap % Terikat

B. PEMBAHASAN

Penelitian yang berjudul “Pengaruh Suhu pada Adsorpsi Kation Ca2+oleh Adsorben Silika dari Bagasse Tebu” dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara mensintesis silika gel dari bagasse tebu, mengetahui karakter silika gel dari bagasse tebu yang telah disintesis, dan mengetahui pengaruh suhu dan konsentrasi terhadap sifat adsorpsi kation Ca2+ oleh adsorben silika dari bagasse tebu. Bahan utama dalam penelitian ini yaitu bagasse tebu yang diperoleh dari pedagang es tebu disekitar kampus ISI, di mana bagasse tersebut merupakan limbah padat yang berupa serat hasil penggilingan tebu. Namun bagasse yang diperoleh dari penjual


(67)

es masih basah artinya masih mengandung banyak air sehingga perlu untuk dikeringkan terlebih dahulu sebelum pembakaran menjadi arang.

Pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari selama satu atau dua hari tergantung bagaimana intensitas panas dari cahaya matahari. Pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kandungan air pada bagasse tebu karena adanya kandungan air di dalam abu bagasse dapat mempengaruhi hasil pembakaran yang nantinya juga dapat berpengaruh terhadap hasil analisis dari silika gel. Kandungan air yang terdapat pada abu bagasse dapat menghalangi proses difusi komponen kimia yang terkandung dalam bagasse tebu saat pembakaran. Oleh karena itu dengan dilakukan pengeringan terlebih dahulu diharapkan bisa membantu mempercepat proses penguapan air pada permukaan bagasse sehingga akan lebih mudah saat dilakukan proses pembakaran menjadi arang. Bagasse yang telah kering kemudian dibakar hingga mebentuk arang yang berwarna hitam. Arang tersebut kemudian ditumbuk hingga halus untuk memperkecil ukurannya sehingga akan mempermudah saat proses pembentukan abu. Prosedur selanjutnya yang dilakuakan yaitu sintesis terhadap silika gel dari bagasse tebu.

1. Sintesis Silika Gel dari Bagasse Tebu

Pada penelitian ini dipelajari bagaimana pembuatan suatu material berpori yaitu silika gel yang disintesis dari abu bagasse dengan metode sol gel yang nantinya dapat diaplikasikan sebagai media penyimpanan kation dan dalam penelitian ini yang disimpan adalah kation Ca2+. Tujuan dari sintesis silika gel ini yaitu untuk memperoleh silika dari bagasse tebu, yang kemudian dapat


(68)

digunakan untuk mengetahui karakter silika gel dari bagasse tebu yang telah disintesis tersebut, dan juga mengetahui pengaruh suhu terhadap adsorpsi kation Ca2+oleh adsorben silika gel dari bagasse tebu.

Penelitian ini dimulai dengan menyiapkan sampel, yaitu mengkalsinasi bagasse tebu yang telah menjadi arang di dalammuffle furnacepada suhu 600oC

selama 5 jam hingga diperoleh abu bagasse tebu halus yang berwarna abu-abu putih, yang telah bebas karbon dan berstruktur amorf. Pada penelitian ini yang dibutuhkan adalah silika, di mana silika terkandung di dalam komponen anorganik pada arang bagasse tebu. Oleh karena itu dilakukan kalsinasi untuk menghilangkan komponen organik dan zat pengotor dari arang bagasse tebu, sehingga hanya akan tersisa komponen anorganiknya yang mengandung silika. Pengabuan bagasse mengakibatkan terjadinya perubahan kimia pada komponen penyusunnya. Jika sebelumnya bagasse mengandung air, sisa gula, serat lignin dan selulosa serta mikroba, maka adanya pemanasan suhu tinggi menyebabkan komponen-komponennya terdekomposisi dan hanya tersisa komponen anorganik berupa oksidaoksida logam.

Pemilihan suhu kalsinasi didasarkan pada Govindarajan dan Jayalakshmi (2011: 549) yang menyatakan bahwa struktur abu bagasse tebu berubah dari amorf pada 500°C sampai 700°C menjadi kristalin pada suhu 1000°C. Sementara itu, Goyal dkk. (2009: 1) juga menyatakan bahwa pada temperatur 700°C, silika masih berstruktur amorf, namun kristal silika tumbuh sepanjang waktu pengabuan. Berdasarkan keterangan tersebut kalsinasi dilakukan pada suhu dibawah 700°C dan juga diatas suhu 500°C. Pembakaran tidak dilakukan


(69)

pada suhu 700°C karena ditakutkan abu akan berstruktur kristal, dan jika pada suhu 500°C waktu pembakaran menjadi abu akan semakin lama, karena menurut Chakraverty et.al., (1988: 22), pembakaran fraksi organik dalam bagasse tebu pada temperatur yang rendah memiliki kecepatan pembakaran yang rendah. Sehingga untuk mempercepat proses pembakaran dan memperoleh abu dengan struktur amorf digunakan suhu pemanasan 600°C. Agar mendapatkan hasil yang maksimal arang ditumbuk terlebih dahulu agar ukurnnya menjadi lebih kecil, karena dengan ukuran yang semakin kecil maka pemanasan menggunakan furnace dapat terjadi secara merata dan abu yang dihasilkan akan lebih sempurna. Menurut Chakraverty et.al., (1988: 22), pembakaran yang sempurna menghasilkan abu bagasse tebu yang berwarna putih, sedangkan proses pembakaran yang kurang sempurna akan menghasilkan abu dengan warna yang masih hitam. Hasil pengabuan pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa abu yang terbentuk berubah warna menjadi abu-abu, perubahan warna tersebut menandakan bahwa struktur abu juga sudah berubah dari sebelumnya saat sebagai arang yang berwarna hitam. Berdasarkan Sriyanti, dkk., (2005: 5) reaksi pengabuan yang terjadi adalah :

(Zat berisi C, H, O dan Si) (s) + O2→ CO2(g) + H2O(g) + SiO2(s)

Abu yang telah terbentuk kemudian ditumbuk kembali dengan menggunakan mortar untuk memperkecil ukuran abu dan memperluas permukaannya sehingga akan lebih mudah lolos dalam pori-pori ayakan ukuran 200 mesh. Proses pengayakan dilakukan untuk mendapatkan abu dengan ukuran yang sama.


(70)

Tahap selanjutnya yaitu pencucian abu menggunakan asam klorida. Abu bagasse halus direndam dengan larutan asam di dalam teflon, kemudian diaduk dengan magnetik stirer selama 2 jam. Pencucian tersebut dilakukan untuk

menghilangkan zat-zat pengotor yang berupa oksida logam yang masih terdapat pada abu seperti K2O, CaO, TiO2, MnO, Fe2O3, CuO, dan ZnO. Menurut Kamath and Proctor (1998: 484), abu bagasse harus diaktifkan dengan larutan asam (HCl, H2SO4, atau HNO3) untuk menghilangkan oksida logam dan komponen dalam abu bagasse tebu yang tidak diperlukan sekaligus meningkatkan porositas dan aktivitas adsorpsi. Dalam penelitian ini asam yang digunakan yaitu asam klorida (HCl) 0,1 M, larutan itu dipilih berdasarkan Chandrasekhar et. al. (2006: 7931), yang menyatakan bahwa asam klorida merupakan bahan kimia yang sangat efektif untuk mengurangi zat-zat anorganik yang terdapat di dalam bagasse tebu.

Setelah dicuci dengan asam kemudian disaring dengan menggunakan penyaring Buchner untuk memperoleh residunya, hasil penyaringan kemudian

dicuci lagi dengan menggunakan aquademineralisata untuk menghilangkan kandungan klor. Abu yang telah dicuci kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 80°C hingga massa konstan. Hasil dari proses tersebut seperti pada Gambar 11.


(71)

Gambar 11. Abu Bagasse Netral

Residu hasil pencucian yang berupa abu bagasse netral tersebut digunakan pada tahap selanjutnya yaitu tahap sintesis natrium silikat.

Sintesis natrium silikat dilakukan dengan mereaksikan abu bagasse yang telah netral dengan larutan basa yang berupa larutan NaOH. Silika mampu larut dalam larutan alkali terutama natrium hidroksida. Sehingga dalam penelitian ini digunakan NaOH 1 M sebanyak 200 ml untuk setiap 6 gram abu, campuran kemudian dipanaskan dalam wadah teflon hingga mendidih pada suhu ± 90oC selama 1 jam. Pada penelitian ini pemanasan dilakukan dengan suhu luar (suhu

magnetic stirrer) 400oC dan suhu dalam yaitu suhu larutan 90oC sambil

dilakukan pengadukan dengan kecepatan konstan. Pengadukan menggunakan

magnetic stirrer dimaksudkan untuk mempercepat reaksi homogenisasi antara

NaOH dan abu. Campuran kemudian didinginkan pada suhu kamar dan disaring dengan penyaring Buchner dan kertas saring Whatman no.42. Penyaringan

dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan antara residu dan filtrat yang kemudian diambil filtratnya. Filtrat yang diperoleh merupakan larutan natrium silikat yang berwarna bening kekuningan. Larutan natrium silikat tersebut


(72)

digunakan sebagai prekursor dalam pembuatan silika gel. Persamaan reaksi pembentukan larutan natrium silikat dapat dilihat pada persamaan berikut.

SiO2(s) + 2 NaOH(aq) Na2SiO3(aq) + H2O (l)

Larutan NaOH akan bereaksi dengan SiO2 yang terkandung dalam abu. Reaksi tersebut akan menyebabkan silika larut dan kemudian akan terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan silika yang ada dalam abu dengan larutan NaOH. Adanya gaya tarik menarik antara silika dengan NaOH akan menyebabkan terjadinya pemisahan larutan yang mengandung silika. Larutan tersebut merupakan larutan natrium silikat. Mekanisme reaksi pembentukan natrium silikat dapat dilihat pada Gambar 12 (Prastiyanto dkk., 2006 :4).

Gambar 12. Mekanisme reaksi pembentukan natrium silikat

Hasil penelitian untuk larutan natrium silikat dari penelitian yang dilakukan yaitu larutan natrium silikat sebanyak 60 ml tiap 200 ml NaOH 1 M. Setelah terbentuk larutan natrium silikat langkah selanjutnya yaitu pembuatan silika gel dengan menggunakan proses sol-gel yaitu proses pembentukan hidrosol hasil reaksi natrium silikat dengan asam. Dalam penelitian ini asam yang digunakan yaitu asam klorida 1 M sebanyak 100 ml untuk setiap 60 ml


(73)

larutan natrium silikat. Hal tersebut berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Zuryati (2005) dimana telah terbukti bahwa silika gel hasil penelitian dengan asam klorida mempunyai porositas yang lebih besar dibandingkan penggunaan asam lain. Porositas merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi proses adsorpsi, semakin besar porositas maka akan semakin besar kapasitas adsorpsinya. Sehingga dengan menggunakn HCl diharapkan proses adsorpsi akan semakin maksimal dan kapasitas adsorpsinya lebih besar. Menurut Mujiyanti dkk. (2010: 157), penambahan asam klorida pada prekursor yaitu natrium silikat menyebabkan terjadinya protonasi gugus siloksi (Si-O-) menjadi silanol (Si-OH). Kemudian gugus silanol yang terbentuk diserang lanjut oleh gugus siloksi (Si-O-) dengan bantuan katalis asam untuk membentuk ikatan siloksan (Si-O-Si). Spesies anion silikat akan menggantikan– OH pada Si-OH sehingga membentuk siloksan (Si-O-Si) dan -OH yang lepas akan berikatan dengan H+ membentuk molekul air. Mekanisme reaksi pembentukan ikatan siloksan ditunjukkan pada Gambar 13 berikut:

Gambar 13. Mekanisme reaksi pembentukan ikatan siloksan

HCl 1 M ditambahkan secara tetes demi tetes sambil diaduk hingga terbentuk gel dengan pH netral. Sebelum ditetesi dengan HCl, pH larutan adalah basa


(74)

yaitu pH 12, penambahan HCl 1 M pada larutan natrium silikat dapat menurunkan pH dan meningkatkan konsentrasi H+ dalam Na2SiO3. Menurut Scott (1993), silika mempunyai kelarutan yang tinggi pada pH > 10, untuk itu agar silika tidak larut maka pH perlu diturunkan menjadi asam yaitu pH dibawah 10. Menurut Sriyanti dkk. (2005: 3), pembentukan silika gel dapat terjadi sangat cepat pada pH 9-7 dengan penambahan HCl pada larutan natrium silikat, namun jika HCl ditambahkan terus menerus maka gel dapat larut kembali, sehingga dalam penelitian ini pH dijaga dan dibuat pada pH 7. Pengecekan pH dilakukan dengan menggunakan kertas pH universal. Pengadukan dilakukakn dengan menggunakan magnetik stirer agar proses

homogenisasi berlangsung dengan baik. Penambahan asam klorida dilakukakn dengan tujuan agar berlangsung reaksi kondensasi dan reaksi polimerisasi. Berikut reaksi yang terjadi:

Na2SiO3(aq) + 2HCl(aq)⟶H2SiO3(aq) + 2NaCl(aq)

Gel yang terbentuk belum sempurna, masih dalam bentuk endapan berupa agregat-agregat, untuk itu perlu didiamkan selama 18 jam agar gel mampu terbentuk secara sempurna. Setelah didiamkan kemudian disaring dengan menggunakan penyaring Buchner dan kertas saring Whatman no.42 untuk

memisahkan antara endapan yang merupakan gel dengan filtrat. Setelah diperoleh gel, kemudian dicuci dengan aquades dan diperoleh silika gel. Pencucian dengan aquades dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan mineral-mineral ion yang kemungkinan terjebak dalam pori silika dan juga membebaskan ion Cl- yang terbentuk saat penambahan HCl pada proses


(1)

105 Untuk suhu 27oC pada silika gel

Absorbansi pengikatan = 0,5153

1. Perhitungan konsentrasi sisa Ca2+secara eksperimen Y = 0,06688X + 0,038758

0,5153 = 0,06688X + 0,038758 X =

X = 7,1253

2. Perhitungan % Ca2+yang terikat secara eksperimen

% terikat = x100%

= x100%

= 64,0576%

Suhu (oC) X % terikat (%)

27 7,1253 64,0576

32 7,5051 62,1417

37 7,0909 64,2311

42 7,1149 64,1100

47 7,3511 62,9185


(2)

Lampiran 7 Skema Penelitian 1. Preparasi Bagasse Tebu

600°C, selama 5 jam

Ayakan 200 mesh Bagasse tebu

Dikeringkan

dibawah sinar Dibakar

Sampel dikalsinasi

Ditumbuk dan Diayak

Abu bagasse tebu halus berwarna abu-abu


(3)

107 2. Pembuatan natrium silikat

Netral Filtrat Dicuci Disaring dengan penyaring Buchner 2 jam Diaduk dengan magnetic stirrer

1 L HCl 0,1 M Toples

plastik 20 gr abu

bagasse tebu

400 ml NaOH 1 M Teflon Oven, 80°C Abu bagasse netral Konstan Dipanaskan dan diaduk Disaring Residu Larutan Natrium Silikat Filtrat 90°C, selama 1 jam


(4)

3. Pembuatan Silika Gel Tetes demi tetes

Diaduk denganmagnetic stirrer

Dicuci hingga netral

Karakterisasi FTIR, Silika Gel Dikeringkan pada suhu

80°C selama 5 jam Hidrogel

Silika

Filtrat Disaring

Gel, pH 7 Larutan Natruim Silikat HCl 1 M


(5)

109 4. Eksperimen Adsorpsi Variasi Suhu

0,2 gram silika gel

Erlenmeyer 200 mL larutan

Ca(NO3)2

Memanaskan dan Mengaduk

pH 5, waktu 15 menit

Setelah suhu teramati 27°C, 32°C, 37°C, 42°C, 47°C, dan 52°C

Sampel di AAS Centifuge Mengambil 5 mL


(6)

Lampiran 8 Dokumentasi Penelitian

Pengeringan abu bagasse

Pereaksian abu dengan HCl

Sintesis natrium silikat

Abu bagasse halus

Abu bagasse netral

Pemisahan residu dan filtrat natrium silikat