EVALUASI DAMPAK PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN ASAM LEMAK JENUH DAN TAK JENUH SOSIS JAMUR TIRAM.

(1)

EVALUASI DAMPAK PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN ASAM LEMAK JENUH DAN TAK JENUH SOSIS JAMUR TIRAM

SKRIPSI

Oleh :

Agustina Leonita Handaja T NPM. 0933010008

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

SURABAYA 2013


(2)

EVALUASI DAMPAK PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN ASAM LEMAK JENUH DAN TAK JENUH SOSIS JAMUR TIRAM

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan

Oleh :

Agustina Leonita Handaja T NPM. 0933010008

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

SURABAYA 2013


(3)

(4)

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya, skripsi berjudul Evaluasi Dampak Pengukusan Terhadap kandungan Asam lemak jenuh dan Tak Jenuh Sosis Jamur Tiram ini dapat terselesaikan dengan baik.

Skripsi ini disusun untuk memberikan manfaat bagi masyarakat terkait pengolahan sosis jamur tiram terbaik sebagai makanan vegetarian yang baik bagi kesehatan. Selain itu, penyusunan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu persyaratan akademik kurikulum perguruan tinggi dalam menempuh program Strata Satu (S1) dan sebagai mata kuliah wajib intrakurikuler yang ditempuh oleh setiap mahasiswa UPN “Veteran” Jawa Timur.

Setelah terselesaikannya penyusunan skripsi ini, penulis berterima kasih atas bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ir, Sutiyono, MT, selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jawa Timur.

2. Ir. Latifah, MS, selaku Ketua Program Studi Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jawa Timur serta Dosen Pembimbing II yang telah memberikan dukungan, saran, dan pengarahan.

3. Drh. Ratna Yulistiani, MP, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan dukungan, saran, dan pengarahan.

4. Dr. Dedin F. Rosida, STP, MKes dan Ir. Rudi Nurismanto, MSi, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan arahan serta meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Papa, mama, Daniel, dan Ik Lok yang selalu mendukung dan membantu penulis selama proses penyelesaian skripsi.

6. Seluruh staf laboratorium yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama melakukan analisa di laboratorium Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jawa Timur maupun di Unit Layanan Pengujian Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.


(6)

vi

7. Teman-teman Teknologi Pangan angkatan 2009 : Fida, Yeye, Yanti, Dian, April, Rosidah, Santi, Ima, Cicin, Tari, Angel, Vita, Ulfa, Fitri, Hudan, Adit, Demy, Novan, Ipung, Ismail, dan Halim yang selalu memberikan semangat.

8. Nina, Dyah, GITA Family, Fr. Hartoyo, Fr. Bona, Ce Ijing, Ce Yenny, dan teman-teman BIAK Santo Marinus Yohanes yang telah mendukung dan memberikan semangat selama penyusunan skripsi.

9. Seluruh pihak terkait dan berkepentingan yang telah membantu penyusunan skripsi ini.

Merupakan suatu kebanggaan bagi penulis telah menyelesaikan salah satu kewajiban sebagai mahasiswi UPN “Veteran” Jawa Timur, yakni menyelesaikan skripsi dengan sebaik-baiknya. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa skripsi yang telah disusun ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan di kesempatan berikutnya.

Semoga apa yang telah penulis berikan melalui skripsi ini akan memberikan manfaat bagi civitas akademika UPN “Veteran” Jawa Timur maupun masyarakat luas.

Surabaya, 22 Juli 2013 Hormat saya,


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KETERANGAN REVISI ...iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ...ix

DAFTAR GAMBAR... ... x

DAFTAR LAMPIRAN ...xi

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) ... 4

B. Sosis ... 5

C. Lemak dan Minyak ... 9

1. Asam Lemak Jenuh ... 11

2. Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal ... 12

3. Asam Lemak Tak Jenuh Majemuk ... 13

4. Minyak Goreng ... 15

5. Kerusakan Lemak dan Minyak ... 16

D. Pemasakan (Pemanasan) ... 18

E. Analisa Keputusan ... 19

F. Landasan Teori ... 19

G. Hipotesis ... 21

BAB III BAHAN DAN METODE A. Tempat Dan Waktu Penelitian ... 22

B. Bahan Penelitian ... 22

C. Alat Penelitian ... 22


(8)

viii

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kandungan gizi Jamur Tiram per 100 g berat kering ... 5

Tabel 2 Jenis-jenis sosis ... 9

Tabel 3 Struktur kimia dan tata nama asam lemak jenuh ... 12

Tabel 4 Struktur kimia dan tata nama asam lemak tak jenuh ... 14

Tabel 5 Standar komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh pada beberapa minyak goreng ... 15

Tabel 6 Cara pencegahan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan oksidasi ... 16

Tabel 7 Kombinasi perlakuan antara A dan B ... 27

Tabel 8 Kekerasan sosis Jamur Tiram ... 31

Tabel 9 Nilai rata-rata kesukaan terhadap sosis Jamur Tiram ... 33

Tabel 10 Analisa keputusan penelitian tahap I ... 36

Tabel 11 Nilai rata-rata derajat ketidakjenuhan sosis Jamur Tiram dengan perlakuan jenis minyak nabati dan lama pengukusan ... 37


(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Gambaran makroskopis Jamur Tiram ... 4

Gambar 2 Gambaran mikroskopis sistem emulsi ... 6

Gambar 3 Penyebab variasi antara berbagai asam lemak ... 11

Gambar 4 Asam lemak jenuh ... 11

Gambar 5 Asam lemak tak jenuh tunggal ... 13

Gambar 6 Asam lemak tak jenuh majemuk ... 13

Gambar 7 Reaksi pembentukan peroksida ... 17

Gambar 8 Stabilitas emulsi sosis jamur Tiram dengan berbagai tingkat jumlah penambahan minyak nabati ... 32


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur Analisa ... 45

Lampiran 2 Kuisioner Uji Organoleptik ... 50

Lampiran 3 Uji Kekerasan Metode Penetrometer ... 52

Lampiran 4 Uji Hedonik Terhadap Aroma Sosis Jamur Tiram ... 55

Lampiran 5 Uji Hedonik Terhadap Warna Sosis Jamur Tiram ... 58

Lampiran 6 Uji Hedonik Terhadap Kekerasan Sosis Jamur Tiram ... 61

Lampiran 7 Uji Hedonik Terhadap Rasa Sosis Jamur Tiram ... 64

Lampiran 8 Perhitungan Analisa Stabilitas Emulsi ... 67

Lampiran 9 Derajat Kejenuhan Asam lemak Sosis Jamur Tiram dengan Penambahan Minyak Goreng Curah ... 68

Lampiran 10 Derajat Kejenuhan Asam lemak Sosis Jamur Tiram dengan Penambahan Minyak Kelapa Sawit ... 72

Lampiran 11 Derajat Kejenuhan Asam lemak Sosis Jamur Tiram dengan Penambahan Minyak Kedelai ... 75

Lampiran 12 Derajat Kejenuhan Asam Lemak Sosis Jamur Tiram ... 79


(12)

xii

EVALUASI DAMPAK PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN ASAM LEMAK JENUH DAN TAK JENUH SOSIS JAMUR TIRAM

AGUSTINA LEONITA HANDAJA T 0933010008

ABSTRAK

Sosis jamur tiram merupakan produk emulsi minyak dalam air (oil in water atau o/w). Produk pangan olahan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) ini memiliki kandungan protein yang tinggi, namun bahan baku produk ini memiliki kandungan lemak yang rendah. Dalam produk emulsi, kandungan minyak, air, dan pengemulsi harus seimbang agar terbentuk sistem emulsi yang stabil sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui jumlah penambahan minyak nabati terbaik secara fisik dan organoleptik.Minyak nabati yang ditambahkan dalam pembuatan sosis jamur tiram dan telah melewati proses pengukusan bisa mengalami perubahan kandungan asam lemak. Oleh karena itu, perlu diketahui derajat ketidakjenuhan asam lemaknya dan mempelajari komposisi asam lemak sosis jamur tiram dengan derajat kejenuhan tertinggi (bilangan iod terendah) sehingga dapat diketahui efeknya bagi kesehatan.

Penelitian ini terdiri dari 2 tahap penelitian. Penelitian tahap I untuk mengetahui jumlah penambahan minyak terbaik. Penelitian tahap II untuk mengetahui derajat kejenuhan asam lemak dan mengetahui komposisi asam lemak sosis jamur tiram yang mengandung asam lemak jenuh tertinggi. Metode penelitian yang digunakan dalam tahap II, yakni Rancangan Acak Lengkap pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor,yakni jenis minyak nabati (minyak goreng curah, minyak kelapa sawit, dan minyak kedelai) dan lama pengukusan(30 menit, 45 menit, dan 60 menit) dengan 3 kali ulangan.

Hasil penelitian tahap I menunjukkan bahwa sosis jamur tiram dengan penambahan jumlah minyak 44% (b/b) memiliki aroma (5,05/agak suka), warna (5,62/suka), dan rasa (5,57/suka) serta stabilitas emulsi terbaik (80%). Hasil penelitian tahap II menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan jenis minyak dan lama pengukusan memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat kejenuhan asam lemak sosis jamur tiram.Sosis jamur tiram dengan penambahan minyak goreng curah dan mengalami pengukusan selama 60 menitmerupakan sosis dengan bilangan iod terendah atau memiliki derajat ketidakjenuhan terendah. Kandungan asam lemak tak jenuh sosis tersebut sebesar 49,208%, sedangkan kandungan asam lemak jenuh sebesar 50,694% dan kandungan asam lemak trans sebesar 0,515%. Sosis jamur tiram dengan bilangan iod terendah ini masih memenuhi standar angka referensi diet (DRV) untuk asam lemak sehingga masih baik untuk dikonsumsi.

Kata Kunci: Asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh, sosis jamur tiram, pengukusan


(13)

A. Latar Belakang

Makanan vegetarian mulai digemari oleh masyarakat terutama mereka yang ingin menghentikan konsumsi produk pangan hewani. Pola hidup sebagai vegetarian sangat baik untuk kesehatan tubuh, hal ini disebabkan makanan vegetarian tidak mengandung kolesterol seperti yang terkandung dalam produk pangan hewani. Sumber-sumber pangan nabati juga dapat menggantikan sumber pangan hewani seperti daging sapi dan daging ayam.

Jamur tiram merupakan sumber pangan nabati yang memiliki potensi baik untuk kesehatan karena jamur tiram memiliki kandungan protein dan air yang tinggi serta memiliki kandungan lemak yang rendah dan tidak mengandung kolesterol. Menurut Sumarmi (2006), lemak yang terkandung dalam jamur tersebut sebagian besar merupakan asam lemak tak jenuh. Jamur tiram dibudidayakan dalam media tanam bahan organik tanpa pestisida sehingga dapat dikategorikan sebagai bahan pangan yang baik.

Umumnya jamur tiram diolah dengan cara digoreng atau dimasak bersama sayuran lain dalam sup. Jamur tiram yang mengandung protein cukup tinggi dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan sosis. Jamur tiram bisa menggantikan penggunaan daging sapi maupun daging ayam dalam pembuatan sosis hingga 100% dengan penambahan putih telur.

Sosis merupakan produk pangan olahan yang digemari masyarakat. Selain praktis, jenis makanan ini banyak dipilih masyarakat karena memiliki kandungan protein yang tinggi. Winarno (1997) menyatakan bahwa sosis merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water atau o/w). Dalam produk emulsi, kandungan minyak, air, dan pengemulsi harus seimbang agar terbentuk sistem emulsi yang stabil.

Jamur tiram memiliki kandungan lemak yang rendah, yakni sebesar 1,7 - 2,2% (Sumarmi, 2006). Penambahan minyak perlu dilakukan dalam pembuatan sosis jamur tiram karena dalam sosis harus terkandung


(14)

2

komponen minyak, protein, dan air. Jenis minyak yang digunakan adalah minyak nabati sehingga konsumsi sosis jamur tiram tidak berpotensi meningkatkan kandungan kolesterol di dalam darah, meskipun begitu sosis jamur tiram masih berpotensi memiliki resiko buruk bagi kesehatan. Resiko tersebut disebabkan oleh proses pemanasan dalam pembuatan sosis. Pemanasan dapat menyebabkan penurunan jumlah asam lemak tak jenuh dalam sosis jamur tiram.

Menurut Edwar et al (2011) pemanasan minyak goreng dengan suhu tinggi dan waktu yang lama dapat menyebabkan pemutusan pada ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tak jenuh. Pemutusan tersebut dapat menurunkan ketidakjenuhan asam lemak dan menghasilkan asam lemak jenuh dan berbagai jenis gugus radikal bebas. Asam lemak tidak jenuh majemuk akan lebih mudah mengalami oksidasi dibandingkan asam lemak tidak jenuh tunggal.

Jenis minyak yang digunakan serta lama pemanasan sosis perlu diperhatikan untuk menghasilkan sosis jamur tiram yang aman bagi kesehatan. Berdasarkan alasan tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui jenis minyak dan lama pemanasan yang optimal terkait kandungan asam lemak tak jenuh sosis jamur tiram.

Perlakuan penambahan minyak dalam pembuatan sosis jamur tiram menggunakan minyak kelapa sawit, minyak goreng curah, dan minyak kedelai yang memiliki perbedaan komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh serta tidak mengandung kolesterol.

Minyak goreng mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh pada rangkaian karbonnya. Pemanasan dengan suhu tinggi dan lama dapat menyebabkan kerusakan asam lemak tidak jenuh sehingga membentuk asam lemak jenuh dan berbagai jenis gugus radikal bebas (Edwar et al, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hemanto et al (2010), tingkat kerusakan minyak nabati terbesar akibat pemanasan pada suhu 110oC selama 30 menit terjadi pada sampel minyak zaitun dengan kandungan radikal bebas sebesar 30 µmol/L, sedangkan pada minyak goreng curah sebesar 25 µmol/L dan minyak kelapa sawit sebesar 20 µmol/L.


(15)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahapan penelitian dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui jumlah penambahan minyak nabati yang menghasilkan sosis dengan sifat fisik dan organoleptik terbaik

2. Untuk mengetahui pengaruh jenis minyak nabati dan lama pengukusan terhadap derajat kejenuhan asam lemak sosis jamur tiram

3. Untuk mengetahui komposisi asam lemak sosis jamur tiram dengan derajat kejenuhan asam lemak terbesar serta pemenuhannya terhadap kebutuhan gizi asam lemak per hari.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini, yaitu:

1. Meningkatkan pemanfaatan jamur tiram, yaitu sebagai bahan baku untuk pembuatan sosis

2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang metode pembuatan sosis jamur tiram dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi 3. Memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan terkait pengaruh lama

pengukusan dan penggunaan jenis minyak nabati terhadap komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh pada sosis jamur tiram.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus)

Produksi jamur budidaya di dunia diperkirakan mencapai 6.1 juta ton pada tahun 1997 dan 12.2 juta ton pada tahun 2002, menunjukkan peningkatan dua kali lipat dalam 5 tahun. Demikian juga produksi jamur Pleurotus spp. dari 2.8% menjadi 14.2%. Jamur tiram (Pleorotus ostreatus) mengandung protein sebesar 19.9-34.7% berat kering dan mengandung lemak kurang dari 2% berat kering serta memiliki 85.2-94.7% air (Cheung, 2008). Gambaran makroskopis jamur tiram dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Gambaran makroskopis Jamur Tiram (Pleoratus ostreatus) (Cheung, 2008)

Menurut Cheung (2008), kandungan asam amino esensial jamur (g/100 g berat kering) berkisar dari 34% sampai 47%. Kandungan asam amino terbesar pada jamur tiram, yakni asam amino leusin sebesar 72.8 mg/g protein, sedangkan kandungan yang terkecil, yakni sistin sebesar 16.8 mg/g protein.

Jamur tiram mempunyai kandungan lemak kurang dari 2% berat kering, meskipun begitu jamur merupakan sumber asam lemak tak jenuh terutama asam oleat dan linoleat. Kadar asam lemak tak jenuh majemuk pada jamur umumnya tinggi, terdapat lebih dari 75% dari total asam lemak,


(17)

yang paling banyak adalah asam palmitat (19.2%), asam oleat (8.3%), dan asam linoleat (68.8-84.0%).

Kandungan karbohidrat jamur bervariasi tergantung spesies dan berkisar antara 35% sampai 79% berat kering. Jamur tiram memiliki kandungan karbohidrat sebesar 61.1% berat kering. Kandungan kalori jamur secara umum rendah sehingga baik untuk diet. Jamur tiram mengandung 4.16-4.23 Kkal/g berat kering.

Kadar abu jamur berkisar antara 6 hingga 10.9%. Jamur budidaya juga merupakan sumber beberapa vitamin yang bagus, yakni riboflavin (vitamin B2), niasin, dan folat dengan konsentrasi yang bervariasi sekitar 1.8-5.1 mg/100 g berat kering, 31-65 mg/100 g berat kering, dan 0.30-0.64 mg/100 g berat kering. Jamur juga mengandung serat pangan. Dalam 100 g jamur menyediakan 10% hingga 40.0% asupan serat pangan yang disarankan. Kandungan gizi jamur tiram secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi Jamur Tiram per 100 g berat kering

Zat Gizi Kandungan

Protein 19.9-34.7%

Lemak <2%

Air 85.2-94.7%

Karbohidrat 61.1%

Abu 6-10.9%

Riboflavin 1.8-5.1 mg

Niasin 31-65 mg

Folat 0.30-0.64 mg

Serat 10-40%

Sumber: Cheung, 2008

B. Sosis

Sosis adalah daging lumat yang dicampur dengan bumbu atau rempah-rempah kemudian dimasukkan dan dibentuk dalam pembungkus atau casing (Anonima, 2010). Proses pembuatan sosis saat ini tidak lagi sebatas memberikan garam dan melakukan pengeringan pada daging, namun sekarang ini sosis dibuat dari daging yang digiling dan diberikan bumbu dan biasanya dibentuk menjadi bentuk yang simetris (Tauber, 1985).


(18)

6

Sosis merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water atau o/w). Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi cairan dalam cairan lain yang molekul-molekul kedua cairan itu tidak berbaur tetapi saling antagonistik (Winarno, 1997).

Di bidang teknologi pangan, emulsi umumnya merupakan campuran air dan minyak. Emulsi dibedakan menjadi tipe emulsi o/w (oil in water) dan tipe w/o (water in oil). Paling tidak ada dua cairan yang tidak saling melarutkan terlibat pada pembentukan emulsi. Salah satu cairan merupakan fase internal atau fase terdispersi atau fase diskontinyu, sedangkan cairan yang lain merupakan fase eksternal atau fase pendispersi atau fase kontinyu. Gambaran mikroskopis emulsi dapat dilihat pada Gambar 2.

Minyak dalam Air (o/w) Air dalam Minyak (w/o) Minyak Air

Gambar 2. Gambaran mikroskopis sistem emulsi (Hadiwiyoto, 2011)

Menurut Hadiwiyoto (2011), satu hal yang sangat penting untuk emulsi adalah kestabilannya yang dapat dijelaskan secara termodinamika dengan hukum Gibbs-Helmholtz. Jika dua cairan dicampur tidak membentuk interface di antara keduanya, maka keduanya akan saling melarutkan satu sama lain. Dalam hal ini energi bebas pencampuran adalah negatif. Sebaliknya jika kedua larutan tersebut membentuk interface yang stabil pada pencampuran, maka energi bebas pada pembentukan interface tersebut positif. Oleh karena itu, pada pembentukan emulsi yang stabil diperlukan energi untuk mendispersikan suatu cairan ke dalam cairan yang lain. Meskipun demikian, pada kenyataanya emulsi sangat tidak stabil.


(19)

Komponen-komponennya mudah terpisah satu dengan yang lain hanya dalam hitungan menit atau jam.

Emulsi dikatakan stabil jika dalam waktu paling sedikit 5 hari pada suhu 15oC tidak terjadi pemisahan komponen-komponennya atau paling tidak 50% dari fase internalnya yang berupa bola-bola kecil (droplets atau globula) tetap dalam kedudukannya.

Friberg (1997) menyatakan bahwa bola-bola kecil (droplets atau globula) yang merupakan fase terdispersi bergerak terus-menerus dalam emulsi dan sering bertabrakan satu sama lain. Setelah tabrakan, bola-bola kecil tersebut dapat memisah lagi, mungkin menempel satu sama lain dengan lapisan tipis di antara bola-bola kecil tersebut (flokulasi atau flocculation) atau mungkin bersatu menjadi bola-bola kecil yang lebih besar (peleburan atau coalescence).

Menurut Winarno (1997), emulsi yang mantap (permanent emulsion) memerlukan bahan ketiga yang mampu membentuk sebuah selaput (film) di sekeliling butiran yang terdispersi sehingga mencegah bersatunya kembali butir-butir tersebut. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk bahan ketiga diantaranya adalah emulsifier, stabilizer atau emulsifying agent. Beberapa bahan yang dapat berfungsi sebagai emulsifier adalah kuning telur, telur utuh, gelatin, pasta kanji, kasein, albumin, atau beberapa tepung yang sangat halus seperti tepung paprika atau mustard.

Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik pada minyak maupun air. Bila emulsifier tersebut lebih terikat pada air atau lebih larut dalam air (polar) maka dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air (o/w). Sebagai contoh adalah susu. Sebaliknya bila emulsifier lebih larut dalam minyak (nonpolar) terjadilah emulsi air dalam minyak (w/o). Contohnya mentega dan margarin.

Hadiwiyoto (2011) menyatakan bahwa emulsifier akan terabsorpsi pada interface di antara dua cairan dan menempel pada permukaan fase internal. Tegangan interfasial akan menurun dan dinding pemisah antara fase internal dan fase eksternal akan terbentuk sehingga menurunkan total energi dari sistem emulsi tersebut. Konsekuensinya fase internal akan tetap


(20)

8

berada pada tempatnya dalam jangka waktu lama atau dikatakan membentuk emulsi yang stabil.

Emulsifier tidak mempengaruhi proses terjadinya destabilisasi emulsi, tetapi emulsifier dapat memperlambat peristiwa tersebut atau dengan kata lain dapat memperpanjang masa stabilitas emulsi. Fungsi emulsifier adalah untuk menstabilkan fase internal dan eksternal tetap dalam kedudukannya. Jenis-jenis emulsifier dapat berupa surfaktan, protein, polimer amphifilik, atau kombinasi surfaktan dan polimer.

Menurut Price dan Schweigert (1987), berdasarkan metode pembuatannya, sosis dikelompokkan ke dalam enam kelas, yaitu sosis segar, sosis kering dan semi kering, sosis masak, sosis masak dan diasap, sosis tidak dimasak tetapi diasap, dan bola daging (Tabel 2).

Berdasarkan kehalusan emulsi daging, sosis dibedakan menjadi sosis kasar dan sosis emulsi. Pada pembuatan sosis kasar tahapan pengolahannya lebih sederhana, yaitu menggiling daging sampai halus kemudian mencampurkannya dengan lemak sampai merata. Sedangkan pada pembuatan sosis emulsi, tahapan pencampurannya terdiri dari pencampuran, pencacahan, dan pengemulsian (Anonima, 2010).

Secara lengkap tahapan pengolahan kedua jenis sosis tersebut sebagai berikut:

1. Pemilihan bahan-bahan yang akan digunakan 2. Penggilingan

3. Pencampuran (termasuk tahapan pencacahan dan pengemulsian) 4. Pemasukan ke dalam casing

5. Pengikatan 6. Penggantungan

7. Pemasakan (perebusan, pengukusan atau pengasapan)

8. Pendinginan (penyemprotan dengan air dingin atau penyimpanan dingin 9. Pengupasan


(21)

Tabel 2. Jenis-jenis sosis

No. Jenis Sosis Karakteristik Contoh

1. Sosis Segar Daging segar, tidak dikuring, digiling, berbumbu, dibungkus, dimasak sebelum dihidangkan

Sosis babi segar, bratwurst, bockwurst

2. Sosis kering, semi kering

Daging kuring,

mengalami fermentasi, pengeringan, dapat diasap sebelum

pengeringan atau dapat pula dihidangkan secara langsung Pepperoni, chorizor, dry salami, dry cervelet, thuringer, soft salami, mortadella, soft cervelat

3. Sosis masak Dikuring atau tidak, digiling, berbumbu, dibungkus, dimasak, dan kadang-kadang diasap, dapat langsung

dihidangkan

Sosis hati, braunschweiger

4. Sosis masak dan diasap

Daging kuring digiling, berbumbu, dikukus, dimasak melalui pengasapan, dapat langsung dimasak Frankfurters, bologna, cotto salami

5. Sosis tidak dimasak tetapi diasap

Daging segar dikuring atau tidak, dibungkus, diasap, harus dimasak sebelum dihidangkan

Mettwurst, kielbasa

6. Bola daging (cooked meat specialities)

Daging mutu tinggi, dikuring atau tidak dimasak, jarang diasap, dapat langsung

dihidangkan

Loaves, head cheese, scrapple

Sumber: Price dan Schweigert, 1987

C. Lemak dan Minyak

Lemak dan minyak adalah senyawa lipida yang paling banyak di alam. Lemak adalah salah satu komponen makanan multifungsi yang sangat penting untuk kehidupan. Fungsi lemak dalam tubuh antara lain sebagai sumber energi, bagian dari membran sel, mediator aktivitas biologis antar sel, isolator dalam menjaga keseimbangan suhu tubuh, pelindung organ-organ tubuh serta pelarut vitamin A, D, E, dan K. Penambahan lemak dalam makanan memberikan efek rasa lezat dan tekstur makanan menjadi lembut


(22)

10

serta gurih. Di dalam tubuh, lemak menghasilkan energi dua kali lebih banyak dibandingkan dengan protein dan karbohidrat, yaitu 9 Kkal/gram lemak yang dikonsumsi (Sartika, 2008).

Lemak dan minyak terdiri dari trigliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak atau asam karboksilat. Minyak nabati terdapat dalam buah-buahan, kacang-kacangan, biji-bijian, akar tanaman, dan sayur-sayuran. Dalam jaringan hewan, lemak terdapat di seluruh badan, tetapi jumlah terbanyak terdapat dalam jaringan adipose dan tulang sumsum (Ketaren, 2008).

Berdasarkan strukturnya lemak mempunyai wujud cair dan padat. Wujud padat dan cairnya lemak dipengaruhi oleh tingkat kejenuhan asam lemak yang terdapat di dalamnya. Lemak yang kandungan asam lemaknya terutama asam lemak tak jenuh akan bersifat cair pada suhu kamar dan biasanya disebut sebagai minyak, sedangkan yang kandungan asam lemaknya terutama asam lemak jenuh akan berbentuk padat (Edwar et al. 2011).

Jenis lemak yang paling utama dalam nutrisi, yakni:

a. Triasilgliserol (TAG, juga dikenal sebagai trigliserida): mengandung tiga asam lemak yang terikat pada satu molekul gliserol; mencakup 95% dari lipid dalam diet.

b. Fosfolipid: mengandung kerangka gliserol berserta dua asam lemak (nonpolar) dan satu gugus kepala polar dengan residu asam fosfat dan gula atau asam amino. Contoh yang paling umum adalah fosfatidilkolin (lesitin).

c. Sterol: mengandung karbon, hidrogen, dan oksigen yang terangkai dalam bentuk cincin dengan rantai samping. Kolesterol merupakan sterol utama dalam jaringan hewan, sering dikaitkan dengan asam lemak, membentuk ester kolesteril. Tumbuhan mengandung fitosterol.

Asam lemak adalah komponen utama lemak dalam diet. Struktur umumnya terdiri atas satu kerangka karbon dengan gugus karboksil (COOH) di ujung yang satu dan gugus metil (CH3) pada ujung yang lain. Asam-asam lemak berbeda satu sama lain dalam berbagai hal (Gambar 3). Perbedaan ini menyebabkan keanekaragaman sifat fisik asam lemak dan


(23)

lemak yang terbentuk yang berpengaruh pada fungsi metabolik dan dampaknya bagi kesehatan (Barasi, 2009).

Gambar 3. Penyebab variasi antara berbagai asam lemak (Barasi, 2009)

1. Asam Lemak Jenuh

Asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA) adalah asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap pada atom karbon. Ini berarti asam lemak jenuh tidak peka terhadap oksidasi dan pembentukan radikal bebas seperti halnya asam lemak tak jenuh. Struktur rantai asam lemak jenuh dapat dilihat pada Gambar 4 (Sartika, 2008).


(24)

12

Asam lemak jenuh selain banyak ditemukan pada lemak hewani juga terdapat pada minyak kelapa, kelapa sawit serta minyak lainnya yang sudah pernah dipakai untuk menggoreng (jelantah), meskipun pada mulanya adalah asam lemak tak jenuh (Sartika, 2008). Struktur kimia dan tata nama asam lemak jenuh dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Struktur kimia dan tata nama asam lemak jenuh

Nama Umum Karbon Nama

Sistematik Struktur Kimia

Asetat (acetic) 2 Etanoat CH3COOH

Butirat (butyric) 4 Butanoat CH3(CH2)2COOH

Valerat (valeric) 5 Pentanoat CH3(CH2)3COOH

Kaproat (caproic) 6 Heksanoat CH3(CH2)4COOH

Enantat (enanthic) 7 Heptanoat CH3(CH2)5COOH

Kaprilat (caprylic) 8 Oktanoat CH3(CH2)6COOH

Pelargonat (pelargonic) 9 Nonanoat CH3(CH2)7COOH

Kaprat (capric) 10 Dekanoat CH3(CH2)8COOH

Laurat (lauric) 12 Dodekanoat CH3(CH2)10COOH

Miristat (myristic) 14 Tetradekanoat CH3(CH2)12COOH

Palmitat (palmitic) 16 Heksadekanoat CH3(CH2)14COOH

Stearat (stearic) 18 Oktadekanoat CH3(CH2)16COOH

Arakidat (arachidic) 20 Eikosanoat CH3(CH2)18COOH

Lignocerat 24 Tetrakosanoat CH3(CH2)22COOH

Sumber: Kusnandar, 2010

2. Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal

Asam lemak tak jenuh tunggal (Mono Unsaturated Fatty Acid/MUFA) merupakan jenis asam lemak yang mempunyai 1 (satu) ikatan rangkap pada rantai atom karbon. Asam lemak ini tergolong dalam asam lemak rantai panjang (LCFA) yang kebanyakan ditemukan dalam minyak zaitun, minyak kedelai, minyak kacang tanah, minyak biji kapas, dan kanola. Struktur rantai asam lemak tak jenuh tunggal dapat dilihat pada Gambar 5. Salah satu jenis MUFA adalah Omega-9 (Oleat), memiliki sifat lebih stabil dan lebih baik perannya dibandingkan asam lemak tak jenuh majemuk (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) (Sartika, 2008).


(25)

Gambar 5. Asam lemak tak jenuh tunggal (Sartika, 2008)

3. Asam Lemak Tak Jenuh Majemuk

Asam lemak tak jenuh majemuk (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) adalah asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap, bersifat cair pada suhu kamar bahkan tetap cair pada suhu dingin karena titik lelehnya lebih rendah dibandingkan dengan MUFA dan SFA. Struktur rantai asam lemak tak jenuh tunggal dapat dilihat pada Gambar 6 (Sartika, 2008).

Gambar 6. Asam lemak tak jenuh majemuk (Sartika, 2008)

Asam lemak ini banyak ditemukan pada minyak ikan dan nabati seperti safflower, jagung, dan biji matahari. Sumber alami PUFA yang penting bagi kesehatan. Contoh PUFA adalah asam linoleat (Omega-6) dan linolenat (Omega-3), tergolong dalam asam lemak rantai panjang (LCFA) yang banyak ditemukan pada minyak nabati dan minyak ikan (Sartika, 2008). Struktur kimia dan tata nama asam lemak jenuh dapat dilihat pada Tabel 4.


(26)

14

Tabel 4. Struktur kimia dan tata nama asam lemak tak jenuh

Nama Umum Nama Sistematik

Karbon

Ikatan

Ganda Rumus

- cis-dec-9-enoat 10 1 CH2=CH.(CH2)7COOH

- cis-dodec-9-enoat 12 1 CH3CH2CH=CH(CH2)7COOH

Miristoleat (myristoleic) cis-tetradec-9-enoat 14 1 CH3(CH2)3CH=CH(CH2)7COOH

Palmitoleat (palmitoleic) cis-9-heksadekaenoat 16 1 CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7COOH

Oleat (oleic) cis-oktadekanoat 18 1, cis CH3(CH2)7.CH=CH(CH2)7COOH

Elaidat (elaidic) trans-9-oktadekanoat 18 1, trans CH3(CH2)7.CH=CH(CH2)7COOH

Linoleat (linoleic) cis, cis-9, 12-oktadecadie-noat 18 2 CH3(CH2)4(CH=CHCH2)2.(CH2)6COOH

Linolenat (linolenic) cis, cis, cis-9, 12, 15-oktadeka-trienoat

18 3 CH3CH2(CH=CHCH2)3.(CH2)6COOH

Arakidonat (arachidonic) cis, cis, cis, cis- 5, 8, 11, 14-eiko-satetraenoat

20 4 CH3(CH2)4(CH=CHCH2)4(CH2)2COOH

EPA cis, cis, cis, cis, cis-5, 8, 11, 14, 17-eikosapentaenoat

20 5 CH3CH2(CH=CHCH2)5(CH2)2COOH

DHA cis, cis, cis, cis, cis, cis-4, 7, 10, 14, 16, 19-dokosaheksaenoat

22 6 CH3CH2(CH=CHCH2)6CH2COOH

Selakoleat (Selacholeic) Cis-15, tetrakosenoat 24 1 CH3(CH2)7CH=CH(CH2)13COOH


(27)

4. Minyak Goreng

Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar, biasanya digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, biji-bijian, kacang-kacangan, jagung, kedelai, dan kanola. Minyak goreng diperoleh dari hasil tahap akhir proses pemurnian minyak dan terdiri atas beragam jenis senyawa trigliserida. Minyak goreng tersusun oleh berbagai jenis asam lemak jenuh/tak jenuh.

Lipid sederhana dalam bahan pangan mengandung jenis molekul trigliserida yang beragam yang disebabkan oleh perbedaan asam lemak yang terikat pada stuktur gliserol. Minyak kedelai, minyak zaitun, minyak jagung, dan minyak kacang tanah banyak mengandung asam lemak tak jenuh (85-90%), sedangkan minyak kelapa banyak mengandung asam lemak jenuh (91%). Komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh pada beberapa minyak goreng dapat dilihat pada Tabel 5 (Kusnandar, 2010).

Tabel 5. Komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh pada beberapa minyak goreng Asam Lemak Sumber Pangan Minyak Zaitun Minyak Sawit Minyak Jagung Minyak Kacang Tanah Minyak Kedelai Minyak Kelapa Jenuh (%)

C10 - - - 12

C12

Laurat - 0,2 - - - 44

C14

Miristat 1 1,1 1 - - 18

C16

Palmitat 5 44 10 8 12 11

C18

Stearat 2 4,5 2 4 2 6

Tak Jenuh (%)

C18:1

Oleat 83 39,2 40 60 24 7

C18:2

Linoleat 7 10,1 40 25 54 2 C18:3

Linolenat 0,4 8 -


(28)

16

5. Kerusakan Lemak Dan Minyak

Bentuk kerusakan terutama ketengikan yang paling penting disebabkan oleh aksi oksigen udara terhadap lemak. Kecepatan proses oksidasinya tergantung dari tipe lemak dan kondisi penyimpanan. Dalam bahan pangan berlemak, konstituen yang mudah mengalami oksidasi spontan adalah asam lemak tak jenuh.

Faktor-faktor yang mempercepat oksidasi (akselerator) dapat dibagi menjadi 4 kelas, yaitu a) radiasi, misalnya oleh panas dan cahaya, b) bahan pengoksidasi (oxidizing agent) misalnya peroksida, perasid, ozone, asam nitrat serta beberapa senyawa organik nitro, dan aldehida aromatik, c) katalis metal khususnya garam dari beberapa macam logam berat dan d) sistem oksidasi, misalnya adanya katalis organik yang labil terhadap panas. Cara pencegahan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan oksidasi dapat dilihat pada Tabel 6 (Ketaren. 2008).

Tabel 6. Cara pencegahan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan oksidasi

Akselerator Dihambat/Dicegah Dengan

1. Suhu tinggi Suhu rendah (refrigerasi)

2. Sinar (UV dan biru) dan ionisasi

radiasi (α, β, α dan x) Wadah berwarna atau opak, bahan pembungkus

3. Peroksida (termasuk lemak yang dioksidasi)

Menghindarkan oksigen

4. Enzim lipoksidase Merebus (blanching)

5. Katalis Fe-organik (misalnya hemoglobin)

Anti-oksidan Metal deactivator

6. Katalis logam (Cu, Fe) Metal deactivator EOTA,

as-sitrat Sumber: Ketaren, 2008

Sifat fisik lemak dan minyak serta kemudahannya untuk teroksidasi akan ditentukan oleh jenis asam lemak penyusunnya. Apabila semakin banyak kandungan lemak tak jenuhnya, maka kerusakan lemak akibat reaksi oksidasi akan semakin mudah terjadi (Kusnandar, 2010).

Asam lemak pada umumnya bersifat semakin reaktif terhadap oksigen dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada rantai


(29)

molekul. Sebagai contoh, asam linoleat akan teroksidasi lebih mudah daripada asam oleat pada kondisi yang sama. Proses oksidasi tidak ditentukan oleh besar kecilnya jumlah lemak dalam bahan sehingga bahan yang mengandung lemak dalam jumlah kecil pun mudah mengalami proses oksidasi.

Oksidasi spontan lemak tidak jenuh didasarkan pada serangan oksigen pada ikatan rangkap (ikatan tidak jenuh) sehingga membentuk hidroperoksida tidak jenuh. Asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam molekul trigliserida terdiri dari asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Asam-asam tidak jenuh ini jika dioksidasi, masing-masing akan membentuk oleat hidroperoksida, linoleat hidroperoksida, dan linolenat hidroperoksida yang bersifat reaktif.

Peroksida yang dihasilkan bersifat tidak stabil dan akan mudah mengalami dekomposisi oleh proses isomerisasi atau polimerisasi dan akhirnya menghasilkan persenyawaan dengan berat molekul lebih rendah (Ketaren, 2008). Secara umum reaksi pembentukan peroksida dapat dilihat pada Gambar 7.

RCH=CHR’ + O=O  RCH  CHR’  RCHCHR’

O O  O Peroksida O

Moloksida

RCH + CHR’ O O

Gambar 7. Reaksi pembentukan peroksida (Ketaren, 2008)

Senyawa peroksida mampu mengoksidasi molekul asam lemak yang masih utuh dengan cara melepaskan 2 atom hidrogen sehingga membentuk ikatan rangkap baru dan selanjutnya direduksi sampai membentuk oksida. Terbentuknya peroksida, disusul dengan terbentuknya ikatan rangkap baru akan menghasilkan deretan persenyawaan aldehida dan asam jenuh dengan


(30)

18

berat molekul lebih rendah (terutama dengan jumlah atom C1-C9) misalnya senyawa epihirin aldehida (Ketaren, 2008).

D. Pemasakan (Pemanasan)

Tahap pemasakan (pemanasan) sosis dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni pengasapan, perebusan, dan pengukusan. Pengasapan merupakan suatu cara pengolahan atau pengawetan yang memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemakaian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami (kayu) yang akan membentuk senyawa-senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar serta dihasilkan panas (Wibowo, 1996).

Merebus adalah teknik memasak dengan air panas, makanan terendam dalam air. kontak langsung dengan air mendidih. Sebaiknya makanan dimasukkan setelah air mendidih, dan api agak dikecilkan agar kandungan zat gizi tidak banyak yang rusak terutama untuk sayur atau setup buah (compote). Proses perebusan dengan suhu tinggi dan waktu yang lama, akan merusak kandungan zat gizi, cita rasa menurun, merusak tekstur dan warna makanan.

Teknik memasak dengan menggunakan uap air (mengukus) bisa diharapkan sebagai alternatif cara memasak yang sehat. Dengan proses memasak dalam waktu tertentu tidak akan mengubah warna bahan pangan serta kandungan zat gizinya. Terlebih jika dilakukan dengan baik dan benar, yaitu menggunakan pengukus yang tertutup rapat, sehingga uap dapat memasak dengan efektif. Kelebihan lain mengukus, yaitu dapat menahan vitamin dan mineral pada bahan pangan agar tidak banyak mengalami kerusakan (Anonimc, 2012).

Pengukusan dengan uap panas menghasilkan retensi zat gizi larut air yang lebih besar dibandingkan dengan pengukusan menggunakan air karena adanya pemanasan yang hampir sama diseluruh bagian bahan (Harris dan Karmas, 1989).


(31)

E. Analisa Keputusan

Analisa keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Tujuan dari analisa keputusan adalah untuk menentukan keputusan secepat-cepatnya. Ketepatan keputusan tergantung dari informasi yang dapat dikumpulkan dan diolah dalam analisa. Mengambil keputusan berarti menjatuhkan pilihan pada satu alternatif yang paling baik sehingga harus mempunyai kriteria dan ukuran tertentu (Atmosudirjo, 1987).

Proses pengambilan keputusan didahului dengan adanya permasalahan alternatif-alternatif yang ada serta kriteria untuk mengukur atau membandingkan setiap alternatf yang memberikan hasil atau keuntungan yang paling besar dengan resiko yang paling kecil. Jadi masalah yang mempersulit suatu keputusan adalah adanya alternatif yang harus dipilih sebagai landasan untuk tindakan yang harus dilaksanakan (Assauri, 1990).

F. Landasan Teori

Sosis merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water atau o/w). Oleh karena itu, di dalam sosis yang baik harus mengandung komponen minyak dan air yang berasal dari bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis.

Jamur tiram memiliki kandungan protein dan air yang tinggi sehingga berpotensi untuk diolah menjadi sosis, tetapi kandungan lemak dalam jamur tiram kurang dari 2%. Rendahnya kandungan lemak dalam jamur tiram memerlukan penambahan minyak dalam pembuatan sosis jamur tiram sehingga dapat terbentuk sistem emulsi yang stabil. Tejopranoto (1988), menyatakan bahwa lemak yang mengandung asam lemak jenuh lebih sukar diemulsikan daripada lemak yang mengandung asam lemak dengan satu atau dua ikatan rangkap dengan jumlah atom karbon yang sama. Oleh karena itu, minyak yang digunakan dalam pembuatan sosis jamur tiram, yakni minyak nabati. Selain lebih mudah diemulsikan, minyak nabati juga


(32)

20

memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi dibandingkan lemak hewani.

Minyak nabati yang digunakan dalam pembuatan sosis jamur adalah minyak yang banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pengolahan pangan. Penggunaan minyak nabati ini dimaksudkan untuk menghasilkan sosis jamur yang rendah kolesterol.

Jumlah minyak nabati yang ditambahkan dalam pembuatan sosis jamur tiram dapat mempengaruhi kekerasan sosis. Semakin banyak jumlah minyak yang ditambahkan, kekerasan sosis jamur tiram akan meningkat, namun menurut Rahardjo (2008), jumlah penambahan minyak yang digunakan dalam pembuatan sosis jamur tiram sebesar 50% dari berat jamur. Meningkatnya kekerasan sosis menunjukkan bahwa stabilitas emulsi semakin meningkat.

Sosis jamur tiram dimasak dengan cara pengukusan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko et al (2012), kualitas organoleptik sosis ikan lele dumbo terbaik dan memenuhi SNI dimiliki oleh sosis yang diolah dengan pengukusan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hermanto et al (2010), pemanasan minyak pada suhu 110oC selama 30 menit telah menghasilkan radikal bebas sebesar 30 µmol/L pada minyak zaitun, 25 µmol/L pada minyak goreng curah, dan 20 µmol/L pada minyak kelapa sawit.

Ketaren (2008) menyatakan bahwa oksidasi spontan asam lemak tak jenuh didasarkan pada serangan oksigen terhadap ikatan rangkap (ikatan tak jenuh) sehingga membentuk hidroperoksida tak jenuh. Peroksida yang dihasilkan bersifat tidak stabil dan mudah mengalami dekomposisi oleh proses isomerisasi atau polimerisasi dan akhirnya menghasilkan persenyawaan dengan berat molekul lebih rendah.

Senyawa peroksida mampu mengoksidasi molekul asam lemak yang masih utuh dengan cara melepaskan 2 atom hidrogen sehingga membentuk ikatan rangkap baru dan selanjutnya direduksi sampai membentuk oksida. Terbentuknya peroksida dan berlanjut dengan terbentuknya ikatan rangkap baru akan menghasilkan deretan persenyawaan aldehida dan asam jenuh dengan berat molekul lebih rendah (terutama dengan jumlah atom C1-C9) misalnya senyawa epihirin aldehida.


(33)

Hasil penelitian Edwar et al (2011) menunjukkan bahwa pemanasan terhadap minyak goreng sawit dan minyak goreng jagung selama 60 menit pada suhu 200oC dengan pengukuran yang dilakukan setiap 10 menit ditemukan bahwa semakin lama waktu pemanasan menyebabkan semakin banyak penurunan jumlah titrasi larutan Huble pada kedua jenis minyak goreng tersebut. Penurunan jumlah titrasi larutan Huble menunjukkan penurunan jumlah asam lemak tak jenuh.

G. Hipotesis

Semakin besar kandungan asam lemak tak jenuh dalam minyak nabati dan semakin lama pengukusan berpengaruh nyata terhadap kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh sosis jamur tiram.


(34)

BAB III

BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Laboratorium Analisa Pangan, dan Laboratorium Uji Inderawi Program Studi

Teknologi Pangan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

serta di Unit Layanan Pengujian Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Penelitian dilakukan pada bulan April-Juli 2013.

B. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis jamur adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) jenis Oystern yang diperoleh dari petani jamur di Sidoarjo, minyak goreng curah yang dibeli di pasar di Surabaya serta minyak kelapa sawit merek Filma dan minyak kedelai merek Happy yang dibeli di supermarket di Surabaya serta tepung tapioka, putih telur, air es, bumbu, plastik Polyethylene, dan benang bol.

Bahan yang digunakan dalam melakukan analisa kimia sosis jamur adalah BF3 methanol kompleks (14% b/v), Heksan, gas N2, I2, Br2, asam asetat glasial, larutan Na2S2O3 0,1 N standar, KIO3, KI, larutan pati 1%, H2SO4 pekat, Natrium Karbonat, Kloroform, K2Cr2O7 murni, dan aquades.

C. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam pembuatan sosis jamur adalah food processor, autoklaf, pisau, telenan, baskom, sendok, timbangan, plastik PE ukuran 4x15 cm, plastik HDPE, dan serbet.

Alat yang digunakan dalam melakukan analisa sosis jamur adalah Agilent 6980N Network GC System dengan autosampler dan kolom J&W Scientific (HP-5 5% fenilmetilsiloksan 30 m, 0.32 mm, 0.25 µm), library Wiley versi 8.0, seperangkat alat ekstraktor soxhlet, buret, statip, penetrometer,


(35)

oven, lemari es, desikator, centiruge 2500 rpm, kertas saring Whatman No. 41, benang bol, labu Erlenmeyer, gelas arloji, neraca analitik, botol vial, aluminium foil, wadah plastik dan spon untuk sampel analisa kromatografi gas, pipet tetes, mikropipet, pipet volumetri 10 mL, hotplate, penangas air, tabung reaksi bertutup, vortex, dan beaker glass.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahapan penelitian, yaitu:

1. Penelitian Tahap I

Penelitian tahap I dilakukan untuk mengetahui jumlah penambahan minyak nabati yang menghasilkan sosis dengan sifat fisik dan organoleptik terbaik.

a. Perlakuan yang diteliti

Jumlah penambahan minyak nabati, yaitu: A1: 40% (b/b)

A2: 42% (b/b) A3: 44% (b/b) A4: 46% (b/b) A5: 48% (b/b) A6: 50% (b/b)

b. Peubah Tetap

- Jenis jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) jenis Oystern - Suhu pemanasan sebesar 110oC

- Lama pencampuran dengan food processor selama 10 menit - Minyak nabati yang digunakan adalah minyak kelapa sawit merek

Filma

- Berat putih telur 262.5 gram - Berat tepung tapioka 52.5 gram - Volume air es 40 mL


(36)

24

c. Parameter

Parameter yang diamati pada penelitian ini, yakni:

- Sifat fisik sosis jamur tiram meliputi kekerasan (metode penetrometer) dan stabilitas emulsi (AOAC, 1995)

- Sifat organoleptik sosis jamur tiram meliputi warna, aroma, rasa, dan kekenyalan (uji Hedonik)

d. Prosedur Penelitian Tahap I

1. Pencucian jamur tiram putih menggunakan serbet basah 2. Penimbangan jamur tiram putih sebanyak 500 gram 3. Pemotongan jamur tiram putih dengan pisau

4. Homogenisasi dan penggilingan jamur tiram putih dengan 262.5 gram putih telur, 40 mL air es, 52.5 gram tepung tapioka dan bumbu serta minyak kelapa sawit sebanyak 40%. 42%, 44%, 46%, 48%, dan 50% (b/b) menggunakan food processor selama 10 menit

5. Pembungkusan adonan ke dalam plastik polyethylen sepanjang 10 cm

6. Pemasakan sosis jamur tiram dengan cara pengukusan selama 30 menit

7. Pendinginan sosis jamur tiram hingga mencapai suhu kamar 8. Analisa sifat fisik (kekerasan dan stabilitas emulsi) dan


(37)

Jamur tiram putih

Penambahan Tepung tapioka,

Minyak nabati putih telur, air es,

40%, 42%, 44%, dan bumbu

46%, 48%, 50%

Sosis jamur tiram Analisa: - Sifat Fisik (kekerasan, stabilitas emulsi) - Uji organoleptik

(warna, aroma, rasa, dan kekenyalan) Gambar 8. Diagram alir prosedur penelitian tahap I

Penimbangan 500 gram

Pemotongan

Homogenisasi dan penggilingan selama 10 menit

Pembungkusan dalam casing

Pengukusan selama 30 menit pada suhu 110oC

Pendinginan hingga suhu kamar Pencucian


(38)

26

2. Penelitian Tahap II

Penelitian tahap II dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis minyak nabati dan lama pengukusan terhadap komposisi asam lemak dan rasio asam lemak tak jenuh/asam lemak jenuh pada sosis jamur tiram. Metode penelitian yang digunakan dalam tahap II penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor masing-masing terdiri dari 3 level dengan 3 kali ulangan.

a. Peubah berubah

Faktor I: Jenis minyak nabati, yaitu: A1: Minyak kelapa sawit A2: Minyak goreng curah A3: Minyak kedelai

Faktor II: Lama pengukusan, yaitu: B1: 30 menit

B2: 45 menit B3: 60 menit

b. Peubah Tetap

- Jenis jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) jenis Oystern - Suhu pemanasan sebesar 110oC

- Lama pencampuran dengan food processor selama 10 menit - Berat putih telur 262.5 gram

- Berat tepung tapioka 52.5 gram - Volume air es 40 mL

Sehingga diperoleh 9 kombinasi perlakuan antara jenis minyak dan lama pengukusan.


(39)

Tabel 7. Kombinasi perlakuan antara A dan B

Jenis Minyak Nabati

Lama Pengukusan

B1 B2 B3

A1 A1B1 A1B2 A1B3

A2 A1B2 A2B2 A2B3

A3 A3B1 A2B2 A3B3

Keterangan:

A1B1: Jenis minyak: minyak kelapa sawit; lama pemanasan 30 menit A1B2: Jenis minyak: minyak kelapa sawit; lama pemanasan 45 menit A1B3: Jenis minyak: minyak kelapa sawit; lama pemanasan 60 menit A2B1: Jenis minyak: minyak goreng curah; lama pemanasan 30 menit A2B2: Jenis minyak: minyak goreng curah; lama pemanasan 45 menit A2B3: Jenis minyak: minyak goreng curah; lama pemanasan 60 menit A3B1: Jenis minyak: minyak kedelai; lama pemanasan 30 menit A3B2: Jenis minyak: minyak kedelai; lama pemanasan 45 menit A3B3: Jenis minyak: minyak kedelai; lama pemanasan 60 menit

Menurut Gazpers (1994), model matematika untuk perlakuan yang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) adalah sebagai berikut:

i = 1, … , a j = 1, … , b k = 1, … , c Keterangan:

Yijk : Nilai pengamatan dari suatu percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B) µ : Nilai tengah umum (rata-rata sesungguhnya)

αi : Pengaruh perlakuan ke-i dari A βj : Pengaruh perlakuan ke-j dari B


(40)

28

(αβ)ij : Pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B

εijk : Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k memperoleh perlakuan kombinasi ke-ij

c. Parameter

Parameter yang diamati pada penelitian ini, yakni:

- Perubahan derajat ketidakjenuhan asam lemak dalam sosis jamur tiram (analisa bilangan iod metode Hanus, AOAC)

- Komposisi asam lemak dalam sosis jamur tiram dengan bilangan iod terendah (kromatografi gas; AOAC)

d. Prosedur Penelitian Tahap II

1. Pencucian jamur tiram putih menggunakan serbet basah 2. Penimbangan jamur tiram putih sebanyak 500 gram 3. Pemotongan jamur tiram putih dengan pisau

4. Homogenisasi dan penggilingan jamur tiram putih dengan 262.5 gram putih telur, 40 mL air es, 52.5 gram tepung tapioka dan bumbu serta minyak kelapa sawit/ minyak goreng curah/ minyak kedelai menggunakan food processor selama 10 menit

5. Pembungkusan adonan ke dalam plastik PE sepanjang 10 cm 6. Pemasakan sosis jamur tiram dengan cara pengukusan selama

30 menit/ 45 menit/ 60 menit pada suhu 110oC

7. Pendinginan sosis jamur tiram hingga mencapai suhu kamar 8. Analisa perubahan derajat ketidakjenuhan asam lemak dan


(41)

Jamur tiram putih

Jenis minyak nabati: Tepung tapioka,

- Minyak kelapa putih telur, air es,

Sawit dan bumbu

- Minyak goreng curah - Minyak kedelai

Lama Pengukusan - - 30 menit - 45 menit

- 60 menit

Sosis jamur tiram Analisa:

- Perubahan derajat ketidakjenuhan

asam lemak

(analisa bilangan iod) - Komposisi asam lemak (analisa kromatografi gas)

Gambar 9. Diagram alir prosedur penelitian tahap II Penimbangan 500 gram

Pemotongan

Homogenisasi dan penggilingan selama 10 menit

Pembungkusan dalam casing

Pengukusan pada suhu 110oC

Pendinginan hingga suhu kamar Pencucian


(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sosis merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water atau o/w). Oleh karena itu, di dalam sosis yang baik harus mengandung komponen minyak dan air yang berasal dari bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis.

Dalam pembuatan sosis jamur tiram, perlu dilakukan penambahan minyak nabati. Minyak merupakan salah satu komponen dalam sistem emulsi sosis, tetapi bahan baku sosis jamur tiram memiliki kandungan lemak yang rendah sehingga syarat terbentuknya sistem emulsi yang stabil harus dipenuhi dari luar, yakni dengan menambahkan minyak nabati. Jumlah minyak nabati yang proporsional perlu diperhatikan agar dapat menghasilkan sosis jamur tiram dengan stabilitas emulsi yang baik dan disukai masyarakat. Oleh karena itu, penelitian tahap I ini bertujuan untuk mengetahui jumlah penambahan minyak nabati terbaik dalam pembuatan sosis jamur tiram.

A. Penelitian Tahap I

Penambahan minyak nabati dapat mempengaruhi sifat fisik dan sifat organoleptik sosis jamur tiram terutama tingkat kekerasannya. Hal ini dikarenakan sistem emulsi sosis berpengaruh terhadap tingkat kekerasannya. Jamur tiram yang mengandung lemak dalam jumlah rendah memerlukan penambahan minyak dari luar agar dapat terbentuk sistem emulsi yang baik.

Berdasarkan pengamatan secara fisik yang dilakukan terhadap sosis jamur tiram, diketahui beberapa sifat fisik sosis jamur tiram, diantaranya kekerasan dan stabilitas emulsi. Dalam tahap penelitian ini juga dilakukan pengujian secara organoleptik. Sifat-sifat tersebut dapat menentukan jumlah penambahan minyak terbaik yang dapat menghasilkan sosis yang disukai dan memiliki sifat fisik yang baik.


(43)

1. Kekerasan Sosis Jamur Tiram

Jumlah penambahan minyak nabati memberikan hasil pengukuran kekerasan dengan penetrometer yang berbeda. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kekerasan sosis Jamur Tiram Sifat Fisik Jumlah Penambahan Minyak Nabati

40% 42% 44% 46% 48% 50% Kekerasan

(mm/g.detik) 0,110 0,116 0,134 0,159 0,165 0,173

Kekerasan sosis jamur tiram meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penambahan minyak nabati. Sosis jamur dengan jumlah penambahan minyak nabati 40% memiliki tingkat kekerasan sebesar 0,110 mm/gr.detik, sedangkan sosis jamur dengan jumlah penambahan minyak nabati 50% memiliki tingkat kekerasan sebesar 0,173 mm/gr.detik. Semakin besar hasil pengukuran penetrometer, maka sosis jamur tiram semakin keras.

Minyak kelapa sawit yang digunakan dalam pembuatan sosis jamur tiram untuk pengujian sifat fisik ini mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan lemak hewani sehingga penambahan jumlah minyak kelapa sawit dapat meningkatkan kekerasan sosis jamur tiram. Tejopranoto (1988), menyatakan bahwa lemak yang mengandung asam lemak jenuh lebih sukar diemulsikan daripada lemak yang mengandung asam lemak dengan satu atau dua ikatan rangkap dengan jumlah atom karbon yang sama.

2. Stabilitas Emulsi Sosis Jamur Tiram

Penambahan minyak nabati dalam pembuatan sosis jamur tiram juga mempengaruhi tingkat stabilitas emulsinya. Hal ini dikarenakan rendahnya kandungan lemak jamur tiram. Oleh karena itu, jumlah penambahan minyak nabati dapat mempengaruhi stabilitas emulsi sosis. Setelah dilakukan tahap-tahap pengujian stabilitas emulsi terhadap sosis jamur tiram pada masa simpan hari ke-7, diketahui tingkat stabilitas


(44)

32

emulsi sosis jamur tiram dengan 6 jenis perlakuan penambahan jumlah minyak nabati (Gambar 8).

Gambar 8. Stabilitas emulsi sosis Jamur Tiram dengan berbagai tingkat jumlah penambahan minyak nabati

Berdasarkan uji stabilitas emulsi sosis jamur tiram (Gambar 8), diketahui bahwa sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati sebanyak 46% memiliki kestabilan emulsi yang paling rendah (76%). Sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati sebanyak 40% dan 42% memiliki tingkat kestabilan emulsi sebesar 78%. Sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati sebanyak 44%, 48%, dan 50% memiliki tingkat kestabilan emulsi yang paling tinggi (80%).

Tingkat stabilitas emulsi sosis jamur tiram mengalami kenaikan pada perlakuan penambahan minyak nabati 44%, tetapi menurun pada perlakuan penambahan minyak nabati 46% dan meningkat kembali pada perlakuan penambahan minyak nabati 48%. Sosis jamur tiram dengan perlakuan penambahan minyak 44%, 48%, dan 50% memiliki tingkat stabilitas emulsi yang sama, yaitu sebesar 80%.

Hasil uji stabilitas emulsi sosis ikan kurisi dengan perlakuan penambahan isolat protein dan karaginan (Widodo, 2008), sosis ikan nurisi memiliki titik optimal di mana stabilitas emulsi mencapai tingkat tertinggi dan menurun ketika penambahan isolat protein maupun karaginan ditingkatkan. Sosis memiliki titik optimal di mana komposisi sistem emulsi berada pada jumlah terbaik sehingga membentuk sistem emulsi yang baik. Berdasarkan hasil analisa stabilitas emulsi sosis jamur


(45)

tiram, sosis jamur tiram belum menunjukkan titik optimal karena sosis jamur tiram dengan perlakuan penambahan minyak 44%, 48%, dan 50% memiliki tingkat stabilitas emulsi yang sama, yaitu sebesar 80%.

Tejopranoto (1988) menyatakan bahwa makin banyak jumlah minyak yang ditambahkan, emulsi cenderung makin tidak stabil. Hal ini terjadi karena penambahan minyak yang terlalu banyak akan menyebabkan jumlah minyak yang tidak seimbang dengan jumlah protein dan air sehingga ada sebagian minyak yang terselubungi dan terlepas dari sistem emulsi.

Stabilitas emulsi sosis jamur tiram dengan perlakuan penambahan minyak 46% yang lebih rendah dibandingkan sosis jamur tiram dengan perlakuan penambahan minyak 44%, 48%, dan 50% bisa disebabkan oleh banyak faktor seperti proses pencampuran yang kurang sempurna atau adanya faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi selama masa penyimpanan seperti suhu penyimpanan. Menurut Suryani et al (2000), beberapa faktor-faktor yang menyebabkan ketidakstabilan emulsi, yaitu kecepatan dan waktu pencampuran yang tidak tepat, tidak sesuainya rasio antara fase terdispersi dan fase pendispersi, dan guncangan mekanik atau getaran.

3. Sifat Organoleptik Sosis Jamur Tiram

Penambahan minyak nabati dapat mempengaruhi sifat fisik sosis jamur tiram sehingga perlu diketahui tingkat kesukaannya. Hasilpenilaian panelis terhadap sosis jamur tiram dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai rata-rata kesukaan terhadap sosis Jamur Tiram

Jumlah Penambahan

Minyak

Aroma Warna Kekenyalan Rasa

40% 5,00 4,43 4,52 5,33

42% 5,00 4,19 5,00 5,38

44% 5,05 5,62 4,43 5,57

46% 4,62 4,38 3,95 5,19

48% 5,00 5,00 5,33 5,48

50% 4,90 4,29 4,00 5,14


(46)

34

a. Aroma

Berdasarkan hasil penilaian kesukaan terhadap aroma sosis jamur tiram (Lampiran 4) diketahui bahwa sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati 44% memiliki rata-rata tertinggi, yakni sebesar 5,05 atau agak disukai. Sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati 46% memiliki rata-rata aroma terendah, yakni sebesar 4,62 atau agak disukai. Berdasarkan uji Kruskal Wallis terhadap aroma sosis jamur tiram tidak terdapat perbedaan yang nyata (p0,05) di antara keenam sosis jamur tiram yang diujikan.

Aroma sosis jamur tiram, yakni langu khas jamur tiram. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh Rahardjo (2003), kesukaan panelis terhadap aroma sosis jamur tiram hanya dipengaruhi oleh cara penyajian sehingga perbedaan aroma dapat diperoleh jika cara penyajian sosis jamur tiram berbeda. Cara penyajian yang disukai, yakni dengan digoreng.

b. Warna

Berdasarkan hasil penilaian kesukaan terhadap warna sosis jamur tiram (Lampiran 5) diketahui bahwa sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati 44% memiliki rata-rata tertinggi, yakni sebesar 5,62 atau disukai. Sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati 42% memiliki rata-rata warna terendah, yakni sebesar 4,19 atau netral. Berdasarkan uji Kruskal Wallis terhadap warna sosis jamur tiram terdapat perbedaan yang nyata (p0,05) di antara keenam sosis jamur tiram yang diujikan.

Warna sosis jamur tiram, yakni putih tulang untuk sosis dengan jumlah penambahan minyak 40%. Semakin meningkat jumlah penambahan minyak, warna putih semakin gelap (kecoklatan). Pengukusan sosis jamur tiram dapat menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan sehingga semakin meningkat jumlah penambahan minyak nabati menyebabkan warna sosis semakin gelap. Apriyantono (2001), menyatakan bahwa reaksi pencoklatan nonenzimatis (reaksi Maillard) melibatkan senyawa karbonil yang


(47)

dapat berasal dari gula pereduksi atau hasil oksidasi asam askorbat, hidrolisis pati, dan oksidasi lipid.

c. Kekenyalan

Berdasarkan hasil penilaian kesukaan terhadap kekenyalan sosis jamur tiram (Lampiran 6) diketahui bahwa sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati 48% memiliki rata-rata tertinggi, yakni sebesar 5,33 atau agak disukai. Sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati 46% memiliki rata-rata kekenyalan terendah, yakni sebesar 3,95 atau netral. Berdasarkan uji Kruskal Wallis terhadap kekenyalan sosis jamur tiram terdapat perbedaan yang nyata (p0,05) di antara keenam sosis jamur tiram yang diujikan.

Berdasarkan hasil uji kesukaan terhadap kekenyalan sosis tempe yang dilakukan oleh Tejopranoto (1988), penambahan minyak yang terlalu banyak atau terlalu sedikit kurang disukai. Hal ini sesuai dengan hasil uji kesukaan terhadap kekenyalan sosis jamur tiram. Jumlah penambahan minyak yang lebih disukai, yakni 48%.

d. Rasa

Berdasarkan hasil penilaian kesukaan terhadap rasa sosis jamur tiram (Lampiran 7) diketahui bahwa sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati 44% memiliki rata-rata tertinggi, yakni sebesar 5,57 atau disukai. Sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati 50% memiliki rata-rata rasa terendah, yakni sebesar 5,14 atau agak disukai. Berdasarkan uji Kruskal Wallis terhadap rasa sosis jamur tiram tidak terdapat perbedaan yang nyata (p0,05) di antara keenam sosis jamur tiram yang diujikan.

Rasa dari sosis jamur tiram, yakni khas jamur tiram. Rasa sosis jamur tiram tidak dipengaruhi oleh penambahan jumlah minyak nabati karena rasa sosis jamur tiram didominasi oleh rasa khas jamur tiram. Hasil pengujian ini sesuai dengan hasil pengujian yang dilakukan oleh Rahardjo (2003) terhadap sosis jamur tiram, yakni memiliki rasa khas jamur tiram.


(48)

36

4. Analisa Keputusan

Keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih tindakan terbaik dari sejum;ah alternatif yang ada. Pengambilan keputusan adalah proses yang mencakup semua pemikiran dan kegiatan yang diperlukan guna membuktikan dan memperlihatkan pilihan terbaik tersebut (Siagian, 1990).

Berdasarkan hasil analisa sifat fisik dan analisa organoleptik diperoleh jumlah penambahan minyak nabati terbaik, yaitu sebesar 44% (b/b) dilihat dari segi warna, rasa, dan aroma serta memiliki tingkat stabilitas emulsi yang paling baik (Tabel 10).

Tabel 10. Analisa Keputusan Penelitian Tahap I Penambahan

Jumlah Minyak

Keke-rasan (mm/g.dtk)

Stabilitas Emulsi

(%)

Organoleptik

Aroma Warna Kekenyalan Rasa 40% 0,110 78 5,00 4,43 4,52 5,33 42% 0,116 78 5,00 4,19 5,00 5,38 44% 0,134 80 5,05 5,62 4,43 5,57 46% 0,159 76 4,62 4,38 3,95 5,19 48% 0,165 80 5,00 5,00 5,33 5,48 50% 0,173 80 4,90 4,29 4,00 5,14

Untuk penelitian tahap II, jumlah penambahan minyak yang digunakan, yakni sebesar 44%. Menurut Tejopranoto (1988), penambahan minyak nabati yang terlalu banyak atau terlalu sedikit kurang disukai.

B. Penelitian Tahap II

1. Derajat Ketidakjenuhan Asam Lemak Sosis Jamur Tiram

Penelitian tahap II memberikan hasil analisis terkait pengaruh jenis minyak nabati dan lama pengukusan terhadap kandungan asam lemak sosis jamur tiram melalui analisa bilangan iod lemak sosis jamur tiram.

Hasil analisis ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata (p0,05) antara perlakuan jenis minyak nabati dan


(49)

lama pengukusan terhadap derajat ketidakjenuhan asam lemak (bilangan iod) sosis jamur tiram. Demikian juga pada masing-masing faktor berpengaruh nyata (p0,05) terhadap jumlah bilangan iod sosis tersebut. Rata-rata derajat ketidakjenuhan asam lemak (bilangan iod) dengan perlakuan jenis minyak nabati dan lama pengukusan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Nilai rata-rata derajat ketidakjenuhan sosis Jamur Tiram dengan perlakuan jenis minyak nabati dan lama pengukusan

Perlakuan Bilangan

Iod (g I2 / 100 g

lipid)

Notasi LSR 5%

Jenis Minyak Lama

Pengukusan

Minyak Goreng Curah

30 menit 163,9 d 0,64

45 menit 159,5 g 0,67

60 menit 156,9 h 0,68

Minyak Kelapa sawit

30 menit 167,1 b 0,60

45 menit 164,8 c 0,62

60 menit 162,9 e 0,65

Minyak kedelai

30 menit 168,4 a -

45 menit 161,2 f 0,66

60 menit 157,1 g 0,67

Berdasarkan hasil analisis derajat ketidakjenuhan asam lemak sosis jamur tiram (Gambar 9) diketahui bahwa sosis dengan penambahan minyak goreng curah, minyak kelapa sawit, dan minyak kedelai mengalami penurunan bilangan iod setelah mengalami pengukusan selama 30 menit, 45 menit, dan 60 menit. Penurunan bilangan iod ini menunjukkan bahwa kandungan asam lemak tak jenuh pada sosis jamur tiram mengalami penurunan.

Dari hasil analisis derajat ketidakjenuhan asam lemak sosis jamur tiram (Gambar 9), sosis jamur tiram dengan lama pengukusan 30 menit mengalami penurunan bilangan iod terbesar pada sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai, yakni 25,98%, namun bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai masih lebih tinggi dari bilangan iod sosis dengan penambahan minyak kelapa sawit dan minyak goreng curah.


(50)

38

Gambar 9. Derajat ketidakjenuhan asam lemak sosis Jamur Tiram

Sosis jamur tiram dengan lama pengukusan 45 menit mengalami penurunan bilangan iod terbesar pada sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai, yakni 29,14%, namun bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai lebih rendah dari bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kelapa sawit dan lebih tinggi dari bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan minyak goreng curah.

Sosis jamur tiram dengan lama pengukusan 60 menit mengalami penurunan bilangan iod terbesar pada sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai, yakni 30,95%, namun bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai lebih rendah dari bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kelapa sawit dan lebih tinggi dari bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan minyak goreng curah.

Penurunan bilangan iod lemak sosis jamur tiram disebabkan oleh adanya perubahan ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh menjadi


(51)

senyawa aldehid dan asam lemak jenuh. Perubahan ini disebabkan oleh proses pengukusan yang menyebabkan lemak sosis jamur tiram terpapar panas dalam kondisi terdapat udara (oksigen) yang memicu terjadinya oksidasi dan pembentukan radikal bebas.

Menurut hasil analisis ragam, lama pengukusan mempengaruhi penurunan bilangan iod. Hal ini dikarenakan semakin lama waktu pengukusan, semakin lama lemak sosis jamur tiram terpapar panas dan oksigen. Asam lemak tak jenuh jika dioksidasi akan membentuk senyawa peroksida yang bersifat reaktif dan disusul dengan terbentuknya ikatan rangkap baru akan menghasilkan senyawa aldehid dan asam lemak jenuh.

Hasil penelitian Edwar et al (2011) menunjukkan bahwa pemanasan terhadap minyak goreng sawit dan minyak goreng jagung selama 60 menit pada suhu 200oC dengan pengukuran yang dilakukan setiap 10 menit ditemukan bahwa semakin lama waktu pemanasan menyebabkan semakin banyak penurunan jumlah titrasi larutan Huble pada kedua jenis minyak goreng tersebut. Penurunan jumlah titrasi larutan Huble menunjukkan penurunan jumlah asam lemak tak jenuh.

Pembuatan sosis jamur tiram menggunakan penambahan minyak nabati agar sosis jamur tiram memiliki sistem emulsi yang baik dan tidak mengandung kolesterol. Minyak nabati mengandung asam lemak tak jenuh dalam jumlah tinggi sehingga lebih mudah teroksidasi daripada lemak hewani. Kusnandar (2010) menyatakan bahwa kandungan asam lemak tak jenuh minyak sawit sebesar 49,7% dan kandungan asam lemak tak jenuh minyak kedelai sebesar 86%. Menurut Lanry (2010), minyak goreng curah mengandung asam lemak tak jenuh sebesar 52,43%.

Menurut Kusnandar (2010), sifat fisik lemak dan minyak serta kemudahannya untuk teroksidasi akan ditentukan oleh jenis asam lemak penyusunnya. Apabila semakin banyak kandungan lemak tak jenuhnya, maka kerusakan lemak akibat reaksi oksidasi akan semakin mudah terjadi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Edwar et al (2011) tentang ketidakjenuhan asam lemak minyak goreng sawit dan minyak


(52)

40

goreng jagung, minyak goreng jagung lebih cepat mengalami penurunan jumlah asam lemak tak jenuh daripada minyak goreng sawit. Meskipun penurunan jumlah asam lemak tak jenuh pada minyak jagung lebih tinggi dibandingkan minyak kelapa sawit, jumlah asam lemak minyak jagung awalnya lebih tinggi sehingga setelah dilakukan pemanasan, jumlah tersebut masih tetap lebih tinggi dibandingkan minyak kelapa sawit.

Hasil penelitian minyak jagung dan minyak kelapa sawit tersebut hampir sama dengan hasil penelitian minyak kedelai, minyak goreng curah, dan minyak kelapa sawit pada sosis jamur tiram. Sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dari sosis jamur tiram lainnya setelah dilakukan pengukusan selama 30 menit, namun sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai memiliki bilangan iod yang lebih rendah dari sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kelapa sawit.

Hal ini dikarenakan jumlah asam lemak tak jenuh total dan kandungan asam lemak tak jenuh majemuk (terutama asam linoleat) minyak kedelai awal lebih tinggi daripada minyak kelapa sawit dan minyak goreng curah sehingga sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai lebih banyak mengalami perubahan ikatan rangkap setelah mengalami pengukusan. Minyak kelapa sawit dan minyak goreng curah lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh tunggal (asam oleat) daripada asam lemak tak jenuh majemuk.

Menurut Sartika (2008), asam lemak tak jenuh majemuk memiliki sifat kurang stabil dibandingkan asam oleat. Ketaren (2008) menyatakan bahwa asam lemak pada umumnya bersifat semakin reaktif terhadap oksigen dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada rantai molekul.

Asam lemak tak jenuh majemuk akan lebih mudah mengalami oksidasi dibandingkan asam lemak tak jenuh tunggal karena asam lemak tak jenuh majemuk mempunyai energi ikatan yang lebih rendah bila dibandingkan energi ikatan yang terdapat pada asam lemak tak jenuh tunggal (Edwar et al, 2011).

Sosis jamur tiram dengan bilangan iod yang terendah dilakukan analisa kromatografi gas untuk mengetahui komposisi asam lemak dari


(1)

40

goreng jagung, minyak goreng jagung lebih cepat mengalami penurunan jumlah asam lemak tak jenuh daripada minyak goreng sawit. Meskipun penurunan jumlah asam lemak tak jenuh pada minyak jagung lebih tinggi dibandingkan minyak kelapa sawit, jumlah asam lemak minyak jagung awalnya lebih tinggi sehingga setelah dilakukan pemanasan, jumlah tersebut masih tetap lebih tinggi dibandingkan minyak kelapa sawit.

Hasil penelitian minyak jagung dan minyak kelapa sawit tersebut hampir sama dengan hasil penelitian minyak kedelai, minyak goreng curah, dan minyak kelapa sawit pada sosis jamur tiram. Sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dari sosis jamur tiram lainnya setelah dilakukan pengukusan selama 30 menit, namun sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai memiliki bilangan iod yang lebih rendah dari sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kelapa sawit.

Hal ini dikarenakan jumlah asam lemak tak jenuh total dan kandungan asam lemak tak jenuh majemuk (terutama asam linoleat) minyak kedelai awal lebih tinggi daripada minyak kelapa sawit dan minyak goreng curah sehingga sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai lebih banyak mengalami perubahan ikatan rangkap setelah mengalami pengukusan. Minyak kelapa sawit dan minyak goreng curah lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh tunggal (asam oleat) daripada asam lemak tak jenuh majemuk.

Menurut Sartika (2008), asam lemak tak jenuh majemuk memiliki sifat kurang stabil dibandingkan asam oleat. Ketaren (2008) menyatakan bahwa asam lemak pada umumnya bersifat semakin reaktif terhadap oksigen dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada rantai molekul.

Asam lemak tak jenuh majemuk akan lebih mudah mengalami oksidasi dibandingkan asam lemak tak jenuh tunggal karena asam lemak tak jenuh majemuk mempunyai energi ikatan yang lebih rendah bila dibandingkan energi ikatan yang terdapat pada asam lemak tak jenuh tunggal (Edwar et al, 2011).


(2)

41

sosis jamur tiram tersebut. Dari hasil analisa bilangan iod ini, sosis jamur tiram yang memiliki bilangan iod terendah, yakni sosis jamur tiram dengan penambahan minyak goreng curah dan dengan pengukusan selama 60 menit. Sosis dengan perlakuan ini memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang paling rendah sehingga perlu diketahui lebih detail mengenai komposisi asam lemak yang terkandung dalam sosis tersebut.

2. Analisa Komposisi Asam Lemak Sosis Jamur Tiram

Sosis jamur tiram dengan penambahan minyak goreng curah dan dengan pengukusan selama 60 menit diekstraksi untuk mendapatkan lemaknya lalu dilakukan analisa komposisi asam lemak menggunakan alat kromatografi gas (GC) (Tabel 12).

Tabel 12. Komposisi asam lemak sosis Jamur Tiram dengan penambahan minyak goreng curah dan pengukusan selama 60 menit

Jenis Asam Lemak

Jumlah Relatif

Asam Lemak (%)*

Jumlah Asam Lemak per 5 gram

Sosis (g)

Jumlah Kalori Asam Lemak (kal)

Jumlah Kalori Asam

Lemak (%) ** Asam Oleat 48,951 0,0979 0,8811 0,04406 Asam Palmitoleat 0,257 0,0005 0,0045 0,00023 Asam Palmitat 41,814 0,0836 0,7524 0,03762 Asam Stearat 6,730 0,0135 0,1215 0,00608 Asam Miristat 1,516 0,0030 0,0270 0,00135 Asam Arakidat 0,515 0,0010 0,0090 0,00045 Asam Laurat 0,119 0,0002 0,0018 0,00009 * Persentase dari jumlah lemak total

** Persentase berdasarkan pada kebutuhan 2000 kalori

Berdasarkan hasil analisa komposisi asam lemak sosis jamur tiram dengan penambahan minyak goreng curah dan dengan pengukusan selama 60 menit, kandungan asam lemak tak jenuh sosis tersebut sebesar 49,208%, sedangkan kandungan asam lemak jenuh sebesar 50,179% dan kandungan asam lemak trans sebesar 0,515%. Kandungan asam lemak yang paling tinggi pada sosis ini, yakni asam


(3)

42

Minyak goreng curah baru mengandung asam lemak tak jenuh yang terdiri dari 44,93% asam oleat dan 7,50% asam linoleat (Lanry, 2010). Asam oleat sosis jamur tiram lebih tinggi 4,021% dari asam oleat minyak goreng curah baru. Selain berasal dari minyak goreng curah, asam oleat sosis jamur tiram juga berasal dari jamur tiram sehingga ada sedikit peningkatan jumlah kandungan asam oleat pada sosis jamur tiram. Sosis jamur tiram juga tidak mengandung asam linoleat. Tidak adanya asam linoleat pada sosis jamur tiram karena asam lemak ini diduga telah mengalami perubahan ikatan rangkap menjadi senyawa aldehid dan asam lemak jenuh.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hermanto (2010) menunjukkan bahwa minyak goreng curah yang telah dipanaskan selama 30 menit pada suhu 1100C memiliki kandungan asam lemak tak jenuh sebesar 64,17%, sedangkan kandungan asam lemak jenuh sebesar 33,75%. Jika dibandingkan dengan hasil analisa komposisi asam lemak sosis jamur tiram dengan penambahan minyak goreng curah yang mengalami pengukusan selama 60 menit, kandungan asam lemak tak jenuh minyak goreng curah yang dipanaskan selama 30 menit lebih tinggi dan kandungan asam lemak jenuhnya lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa pemanasan menyebabkan perubahan komposisi asam lemak, meskipun asam lemak terdapat dalam produk pangan emulsi, yakni sosis.

Konsumsi 5 gram sosis jamur tiram memenuhi kebutuhan kalori per hari dari asam lemak tak jenuh tunggal sebesar 0,04406%, dari asam lemak tak jenuh ganda sebesar 0,00023%, dari asam lemak jenuh sebesar 0,04514%, dan dari asam lemak trans sebesar 0,00045%. Jumlah ini masih memenuhi standar angka referensi diet (DRV) untuk lemak bagi orang dewasa sebagai persentase dari asupan energi total harian, yakni asam lemak tak jenuh tunggal sebesar 12%, asam lemak tak jenuh majemuk sebesar 6%, asam lemak jenuh sebesar 10%, dan asam lemak trans sebesar 2% (Barasi, 2009).


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan sifat fisik dan sifat organoleptik, sosis jamur tiram terbaik, yakni sosis jamur tiram dengan penambahan minyak sebanyak 44% (b/b).

2. Sosis jamur tiram dengan perlakuan jenis minyak nabati dan lama pengukusan memiliki interaksi yang nyata terhadap derajat kejenuhan asam lemak sosis jamur tiram. Sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai dan mengalami pengukusan selama 60 menit memiliki penurunan bilangan iod terbesar, yakni 30,95%. Meskipun begitu, jumlah bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai masih lebih tinggi dari bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan minyak goreng curah dan lama pengukusan yang sama. 3. Berdasarkan hasil analisis derajat ketidakjenuhan asam lemak sosis

jamur tiram, diperoleh sosis dengan bilangan iod terendah atau memiliki derajat ketidakjenuhan terendah, yakni sosis jamur tiram dengan penambahan minyak goreng curah dan mengalami pengukusan selama 60 menit. Kandungan asam lemak tak jenuh sosis tersebut sebesar 49,208%, sedangkan kandungan asam lemak jenuh sebesar 50,694% dan kandungan asam lemak trans sebesar 0,515%. Sosis jamur tiram dengan bilangan iod terendah ini masih memenuhi standar angka referensi diet (DRV) untuk asam lemak sehingga masih baik untuk dikonsumsi.

B. SARAN

Saran yang diperoleh dari penelitan ini, yakni melakukan penelitian lebih lanjut terkait faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi sosis


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan, N. Kusnandar, F. dan Herawati, D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat

Anonima. 2010. Sosis. Jurnal Tekno Pangan dan Agroindustri Vol. 1 (9) 124-127. http://www.warintek.ristek.go.id/pangan_kesehatan/pangan/ipb/Sosis.pdf [diakses tanggal 21 Maret 2013]

Anonimb. Tanpa Tahun. Pengasapan. http://elearning.upnjatim.ac.id/courses/ JTP2127/document/PENGASAPAN.pdf?cidReq=JTP2127 [diakses tanggal 21 Februari 2013]

Anonimc. 2012. Rahasia Teknik Memasak Sehat.

https://www.sahabatnestle.co.id/Page/menu/chef/tips/rahasia-teknik-memasak-sehat [diakses tanggal 21 Februari 2013]

Apriyantono, A. 2001. Off-flavour pada daging unggas. Lokakarya Nasional Unggas Air. Ciawi, Bogor. Hal 58-71

Assauri, Sofyan. 1990. Teknik dan Metode Peramalan Edisi Pertama. Jakarta: LPFEUI

Atmosudirjo. 1987. Pengambilan Keputusan (Decision Making). Jakarta: Ghalia Indonesia

Barasi, M.E. 2009. At a Glance Ilmu Gizi (terj). Jakarta: Penerbit Erlangga

Cheung, P. 2008. Nutritional Value and Health benefits of Mushrooms. Di dalam Cheung, P. (ed). 2008. Mushrooms As Functional Foods. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sond, Inc.

Edwar, Z. Suyuthie, H. Yerizel, E. dan Sulastri, D. 2011. Pengaruh Pemanasan Terhadap Kejenuhan Asam Lemak Minyak Goreng Sawit dan Minyak Goreng Jagung. Jurnal Indon Med Assoc Vol. 61 (6) 248-252

Friberg, S.E. 1997. Emulsion Stability. Di dalam Friberg, S.E dan Larsson, K. (ed). 1997. Food Emulsions Third Edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker Inc : New York.

Hadiwiyoto, S. 2011. Produk Meat Emulsions. Majalah Food Review Vol. VI (3) 34-38

Harris, R.S. dan Karmas, E. 1989. Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan. Bandung: Institut Teknologi Bandung


(6)

45

Hemanto, S. Muawanah, A. dan Wardhani, P. 2010. Analisis Tingkat Kerusakan Lemak Nabati dan Lemak Hewani Akibat Proses Pemanasan. Jurnal Valensi Vol. 1 (6) 262-268

Ketaren. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press)

Kusnandar, F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta; Dian Rakyat Lanry, Fyol. 2010. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Kandungan Asam

Lemak Tidak Jenuh dan Minyak Pelikan pada Minyak Goreng Curah Baru. Skripsi. Universitas Andalas

Price, J.F. dan Schweigert, B.S. 1987. The Science of Meat and Meat Product, 3rd Ed. West Port, Connecticut: Food and Nutrition Press, Inc.

Rahardjo, Sekti. 2003. Kajian Proses dan Fomulasi Pembuatan Sosis Nabati dari Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus). Skripsi. Institut Pertanian Bogor Sartika, R.A. 2008. Pengaruh Asam Lemak Jenuh, Tidak jenuh, dan Asam

Lemak Trans Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2(4) 154-160

Siagian, Sondang P. 1990. Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan. Jakarta: Haji Masagung

Sumarmi. 2006. Botani dan Tinjauan Gizi Jamur Tiram Putih. Jurnal Inovasi Pertanian Vol. 4 (2) 124-130

Suryani, A. Sailah, I. dan Hambali, E. 2000. Teknologi Emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor : Bogor.

Tauber. 1985. Sausage. Di dalam Desrosier, N.W (ed). 1985. Element of Food Technology. Westport, Connecticut: The AVI Publishing Co.

Tejopranoto, Soeharno. 1998. Sifat-Sifat Analog Sosis Dari Tempe. Skripsi. Institut Pertanian Bogor

Wibowo, S. 1996. Industri Pengasapan Ikan. Jakarta: PT. Penebar Swadaya Widodo, 2008. Karakteristik Sosis Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus)

Dengan Penambahan Isolat Proten Kedelai dan Karagenan Pada Penyimpanan Suhu Chilling dan Freezing. Skripsi. Institut Pertanian Bogor Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama