Tindak Pidana TEORI PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF

35

BAB III TEORI PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF

A. Tindak Pidana

Secara tradisional Hukum pidana dapat diartikan sebagai hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan. 44 Menurut Prof. Dr. Moeljatno, SH, berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana, bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut. 45 Berkenaan dengan pengertian dari hukum pidana, C.S.T. Kansil juga memberikan definisi, bahwa hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran 44 Samidjo, Ringkasan dan Tanya Jawab hukum Pidana, Bandung: CV Armico, 1985, h 1. 45 Prof. Moeljatno, SH, Asas-Asas hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, h 1. 36 dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. 46 Sedangkan tindak pidana terdiri dari dua kata, yakni “tindak” dan “pidana”. Kata tindak berarti perbuatan, sedangkan kata pidana memiliki makna kejahatan atau kriminal. Sehingga tindak pidana dalam arti sempit berarti perbuatan kriminal atau melakukan kejahatan. Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. 47 Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melawan hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggu jawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 48 Menurut Soesilo, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan Undang-Undang dan yang dapat dipertanggung jawabkan. 49 Atau 46 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2000, h 14. 47 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, h. 54. 48 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, h. 5. 37 suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang- Undang telah dikatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 50 Dalam hukum positif istilah tindak pidana juga dikenal istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum. 51 Semua istilah itu merupakan terjemahan dari kata Belanda yakni strafbaar fait. Istilah strafbaar fait merupakan istilah resmi dalam straff book atau KUHP yang berlaku di Indonesia, dan istilah tindak pidana ini disebut juga dengan istilah delik, kedua istilah ini diartikan sebagai suatu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subyek tindak pidana. 52 Selain itu untuk mengetahui perbuatan apa saja yang dapat dikatakan sebagai perbuatan tindak pidana, perlu kiranya diketahui unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana, yaitu: 1. Adanya suatu norma, yaitu adanya suatu larangan atau suruhan kaidah. 2. Adanya sanksi atas pelanggaran norma itu, berupa ancaman dengan hukuman pidana. 53 Menurut Sahruddi, untuk menentukan perbuatan seseorang, apakah termasuk tindak pidana atau tidak. Undang-Undang merumuskan bahwa tiap-tiap tindak pidana 49 R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Bogor: Pelita, t.th, h. 26. 50 Adami Chazmi, Pelajaran Hukum Pidana Bagaian I, Jakarta: Grafindo Persada, 2002, h. 72. 51 M. Ichan, M. Endrio Susilo, Hukum Islam Sebuah Alternatif, Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Yogyakarta, 2008, h. 70. 52 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989, h. 55. 53 Ibid,. h. 12. 38 terdapat unsur subyektif dan obyektif. 54 Yang dimaksud dengan unsur subyektif adalah unsur yang terdapat dalam diri si pelaku tindak pidana yang terdiri dari kesalahan apakah seseorang dapat dipersalahkan sehingga akan dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Adapun ukuran seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab menurut Van Eck, yakni: 1. apakah orang tersebut sadar melakukan perbuatannya. 2. apakah ia mengetahui bahwa perbuatannya adalah salah. 3. apakah bertindak setelah berbuatannya dipikirkan dalam tenang. 4. apakah pada kesempatan itu ia mempunyai pertimbangan tanpa perasangka tentang bermacam-macam nilai. 55 Untuk unsur subyektif dalam tindak pidana meliputi: 1. Kesengajaan daus, hal ini terdapat dalam tindak pidana kesusilaan Pasal 202 KUHP, merampas kemerdekaan Pasal 333 KUHP, pembunuhan Pasal 338 KUHP. 2. Kealpaan culpa, hal ini terdapat dalam tindak pidana perampasan kemerdekan Pasal 334 KUHP, menyebabkan seseorang terbunuh atau mati Pasal 359 KUHP. 3. Niat pornemen, hal ini terdapat dalam tindak pidana percobaan atau poging Pasal 53 KUHP. 4. Maksud loogmark, hal ini terdapat dalam tindak pidana perncurian Pasal 362 KUHP, pemerasan Pasal 368 KUHP, penipuan Pasal 372 KUHP. 54 Syaruddi Husein, Ratna Asih, Pengatar Ilmu Hukum Indonesia, Medan: Fakultas Hukum USU, 1977. H. 114-115. 55 Loebby Loqman, Hal-hal Periadaan Pidana, Jakarta: tp, 1992, h. 12. 39 5. Dengan rencana terlebih dahulu, hal ini terdapat dalam tindak pidana pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP. 6. Perasaan takut, hal ini terdapat dalam tindak pidana membuang anak sendiri Pasal 308 KUHP, membunuh anak sendiri Pasal 341 KUHP. 56 Sedangkan yang berkaitan dengan unsur objektif, yakni: 1. Tindak tanduk yaitu tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukum oleh Undang-Undang. Seperti. Mengambil milik orang lain Pasal 362 tentang pencurian. 2. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam dengan hukuman. Seperti, Pasal 338 tentang pembunuhan obyeknya adalah terbunuh atau matinya orang lain 3. Keadaan atau yang khusus omestandingheid yaitu hal-hal yang khusus yang dilarang dan diancam oleh Undang-Undang. Seperti Pasal 281 tentang melanggar kesusilaan umum. Dalam hal ini yang tergolong khusus ialah perbuatan yang dilakukan di depan umum. Sehingga dapat dikatakan, bahwa tindak pidana atau strafbaar feit merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dianggap melanggar sesuatu ketentuan yang telah di atur dalam 56 Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana Bagian I, Bandung: Arimco, 1990, h. 116-117. 40 peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan asas hukum pidana Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea , yang artinya bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Sedangkan untuk memvonis seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana guna memberikan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan, maka perlu adanya pembuktian berdasarkan alat-alat bukti yang diperoleh secara sah dan diakui oleh Undang-Undang serta membuktikan benar atau salah seseorang telah melakukan tindak pidana dengan mengacu kepada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Pasal 1 KUHP ayat 1 yakni, tidak suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. Pasal 184 ayat 1 KUHAP, bahwa alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Dalam hukum acara perdata, seorang Hakim dapat memutuskan perkara berdasarkan dengan kebenaran formal. Sedangkan dalam hukum acara pidana, seorang Hakim harus memutuskan perkara berdasarkan kebenaran materil. Hal ini menjadi sangat penting, karena dengan alat-alat bukti yang ditemukan menjadi terang atas tindak pidana tersebut. Selain itu, berakibat pada hukuman yang akan dijalani oleh terdakwa. Maka hakim dituntut untuk benar-benar menemukan kebenaran dan menghindari terjadinya kesalahan dalam menjatuhkan hukuman kepada siapapun. 41

B. Pengertian Pembuktian