Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkara hukum merupakan perkara yang amat penting dalam kehidupan, karena dengan adanya hukum kita terbebas dari perbuatan yang dapat merugikan diri kita sendiri bahkan orang lain. Agama dan Negara memiliki aturan hukum yang berbeda satu dengan lainnya akan tetapi tujuannya sama, yakni sama-sama bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia, kebahagiaan dunia serta di akhirat nanti. Di sisi lain perkembangan teknologi informasi yang memudahkan setiap orang mengakses sesuatu dengan menggunakan layanan internet, membuat seseorang bebas melakukan apapun sesuai dengan keinginannya, bahkan terkadang menimbulkan tindakan-tindakan yang tergolong pelanggaran hukum pidana dengan modus yang lebih modern. Hadirnya gambar atau video porno melalui telepon genggam HP dan layanan internet yang dapat diakses oleh siapa pun dan di mana pun, menjadi bukti nyata dari tindak pidana yang tergolong lebih modern tersebut. Ironisnya tindak pidana semacam ini dapat merugikan orang lain, baik yang menggunakan layanan internet maupun orang yang tidak menggunakan layanan internet sama sekali. Misalnya, pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet, pelecehan seksual dengan menempilkan fose pulgar yang telah di edit menggunakan program elektronik dan mengubah wajah asli kepada wajah target. 2 Baik Agama maupun Negara memiliki aturan hukum tentang pidana, tindak pidana biasanya dikenal dengan kata “Het strafbaar feit” yang berasal dari bahasa Belanda dan mempunyai arti tindakan yang dapat dihukum, peristiwa pidana atau tindak pidana itu sendiri. Hal ini menunjukan bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang pelakunya dikenakan hukuman pidana. 1 Adapun untuk menyatakan seseorang telah melakukan tindak pidana maka harus diadakan pemeriksaan terlebih dahulu dan melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan, guna memperoleh sebuah putusan yang adil dari seorang qâdhi hakim dengan merujuk kepada aturan yang berlaku. Karena putusan erat hubungannya dengan sanksi yang akan diterima oleh terdakwa dan betapa fatalnya jika putusan tersebut salah, seperti menghukum orang yang benar, melepaskan orang yang melanggar hukum, atau memberikan seseorang sesuatu yang bukan haknya. Maka salah satu cara untuk meyakinkan qâdhi hakim dalam mengambil putusan yang bersifat adil ialah dengan cara menghadirkan alat bukti dan barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut. Begitu pula dalam upaya pembuktian terhadap orang yang melakukan perzinahan, dimana hukum Islam menyerukan adanya empat saksi yang benar-benar melihat secara langsung telah terjadi perzinahan, hal ini guna kehati-hatian seorang qâdhi dalam memutuskan perkara tersebut karena berdampak pada hukuman yang akan di tanggung oleh terdakwa. Namun seiringnya perkembangan zaman dan teknologi, sulit untuk kita melihat langsung orang tersebut benar-benar telah melakukan perzinahan, terlebih 1 Djoko Prakoso dan Nurwadina, Pidana mati di Indonesia dewasa ini, cet.II, Jakarta: Graha Indonesia, 1985, h. 13. 3 maraknya fasilitas yang mudah didapat oleh siapa pun, seperti kamar atau perhotelan yang disewakan dengan bebas. Di sisi lain beredarnya gambar, video yang mempertontonkan gerakan-gerakan erotis menjadi bukti dari tindak pidana yang termasuk kategori perzinahan dalam hukum Islam. Hal ini mudah jika alat bukti dan barang bukti tersebut berbentuk atau dapat dilihat dengan seksama, namun menjadi berbeda jika alat bukti dan barang bukti tersebut tidak dapat dilihat dengan seksama melainkan dengan bantuan alat lainnya, seperti data elektronik atau document, video, audio, dan gambar. Dalam tatanan hukum kita, hasil pengabadian atau rekaman yang berupa audio atau video merupakan bagian dari proses projustisia perkara pidana. 2 Padahal pembuktian merupakan sebuah proses untuk membuktikan bahwa benar suatu peristiwa telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. 3 Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP pasal 184 mengenai alat bukti ialah Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan terdakwa. Sedangkan hukum pidana umum tidak mengatur mengenai penggunaan data elektronik sebagai salah satu alat bukti. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dalam ilmu pengetahuan khususnya dibidang teknologi memberikan warna baru untuk mengungkap kebenaran dengan informasi yang lebih modern yakni menggunakan data elektronik. 2 Sumber. http:www.endradharmalaksana.comcontentview11946lang,ba. 3 Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Djambatan, 1989, h. 106. 4 Sebaliknya pembuktian dengan menggunakan data elektronik hanya diatur dalam tidak pidana khusus yang menjadikan data elektronik sebagai alat bukti petunjuk seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun l999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memperluas makna dari bukti petunjuk, menjadikan data elektronik sebagai bukti lain yang berupa : 1. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. 2. Dokumen, yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Meski demikian, penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. 4 Sedangkan di dalam hukum Islam sendiri belum ada aturan yang memuat bahwa data elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti untuk mengungkap tindak pidana. Ini menjadi permasalahan yang baru bagi penegak hukum untuk menggunakan data 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 188 ayat 3. 5 elektronik sebagai alat bukti dalam mencari kebenaran fakta dari sebuah pelanggaran khususnya pelanggaran yang tergolong tindak pidana, dengan memeriksa data elektronik yang di gunakan pelaku dalam aksinya, dan selanjutnya menjadi masukan bagi majelis hakim untuk memutuskan suatu perkara. Berlandaskan permasalahan yang telah penulis paparkan di atas, maka penulis bermaksud mengkajinya guna mengetahui data elektronik yang digunakan sebagai alat bukti dengan merujuk kepada sumber-sumber yang dapat di pertanggungjawabkan serta dapat dikaji kembali di kemudian hari.

B. Batasan dan Rumusan Masalah