23 Terlepas dari perbedaan para ulama yang telah dikemukakan di atas, tentang alat-
alat bukti dalam jumlah maupun macam-macamnya, maka dapat diuraikan bahwa alat- alat bukti yang terdapat dalam hukum pidana Islam, sebagai berikut:
i. Syahadah kesaksian
Secara bahasa, arti syahadah adalah kesaksian. Menurut Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas bin Hamza:
30
صاخ ظف ب ّش ع خأ يه ةدا ّلا
Artinya: Persaksian itu ialah mengemukakan tentang sesuatu kasus dengan lafadz tertentu
. Dalam hukum Islam saksi ialah memberi keterangan tentang sesuatu yang
ia ketahui melihat kejadian atau mendengar, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah at-Thalaq65 ayat 2:
…
…
Artinya: …dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…
Di sisi lain Allah berfirman dalam surah al-Baqarah 2 ayat 282:
29
Ibnu Rusdy, Bidayah al-Mujtahid, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960, Jilid II, h. 462.
30
Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas bin Hamza, Nihayah al-Muhtaj, jus VIII, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, t. th, h. 277.
24
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada
hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di
antaramu. jika tak ada dua oang lelaki, Maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya
jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka
dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak
menimbulkan keraguanmu.
Tulislah muamalahmu itu, kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai
25 yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu,
jika kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
jika kamu lakukan yang demikian, Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah;
Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Sedangkan untuk menjadi saksi ada syarat-syarat tertentu yakni islam, adil, balig, berakal, dapat bicara, hafal kuat ingatannya dan tidak tumah.
31
a. Islam
Untuk menjadi saksi, dalam Agama Islam mengharuskan orang yang menjadi saksi beragamakan Islam, sebagaimana firman Allah SWT di atas yang
tercantum dalam surah al-Baqarah2 ayat 282 b.
Adil Syarat yang ke-dua untuk menjadi saksi adalah adil. Dimana seorang saksi
tidak boleh memilih-milih orang yang akan dibelanya melainkan seorang saksi harus adil dalam menyampaikan keterangan-keterangan yang ia ketahui,
Allah SWT berfirman dalam surah at-Thalaq65 ayat 2:
…
…
Artinya: dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.
Menurut Malikiyah, pengertian adil adalah selalu memelihara Agama dengan jalan menjahui dosa besar dan menjaga diri dari dosa kecil, dapat
dipercaya dan baik perilakunya. Sedangkan menuru Syafiíyah, adil adalah
31
Sabiq, Fiqih Sunah, h. 428.
26 menjahui dosa besar dan tidak senantiasa melakukan dosa kecil. Bila seorang
tidak pernah melakukan dosa besar namu melakukan dosa kecil berkepanjangan, maka persaksiaannya tidak di terima.
32
c. Balig
Seorang saksi haruslah orang yang sudah balig, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah2 ayat 289:
…
…
Artinya: …dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki di antaramu... Kata
berasal dari kata rijalun yang berarti laki-laki yang sudah dewasa dan tidak termasuk di dalamnya anak-anak dibawah umur atau belum
balig.
d. Berakal
Seorang saksi disyaratkan harus berakal. Orang yang berakal adalah orang yang mengetahui kewajiban yang pokok dan yang bukan, yang mungkin dan
yang tidak mungkin, serta mudharat dan yang bermanfaat. Dengan demikian persaksian orang yang gila dan kurang sempurna akalnya tidak dapat diterima.
Hal ini didasarkan kepada hadist yang telah disebutkan di atas yakni,
قّفي ىتح ن لا ع
orang gila sampai ia sadar sembuh.
33
32
Djazuli, Fiqih Jinayah, h.49.
33
H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005, h. 42
27 e.
Dapat berbicara Dalam hal orang yang dapat berbicara atau tidak sebagai saksi terdapat
perbedaan pendapat dikalangan ulama, seperti Imam Maliki yang berpendapat bahwa orang yang tidak bisa berbicara dapat dijadikan sebagai saksi apabila
isyaratnya dapat dipahami, Imam Hambali berpendapat bahwa orang yang tidak bisa berbicara tidak dapat diterima kesaksiannya walaupun isyaratnya
dapat dipahami kecuali jika ia dapat menuliskan kesaksiannya tersebut, adapun menurut Imam Hanafi bahwa kesaksian yang di berikan oleh orang
yag tidak dapat berbica tidak dapat diterima baik berupa tulisan maupun isyarat, sedangkan Mazhab
Syaَi’i dalam hal kesaksian orang yang tidak bisa berbicara terdapat dua persepsi yang berbeda, yakni:
1. Dapat diterima kesaksian orang yang tidak bisa berbicara, karena
isyaratnya sama seperti ucapannya. Sebagaimana yang dilaksanakan dalam akad nikah dan talak.
2. Tidak dapat diterima kesaksian orang yang tidak bisa berbicara, karena
menganggap bahwa isyarat seperti ucapan hanya berlaku dalam keadaan darurat, dimana tidak dapat digantikan oleh orang lain sedangkan
kesaksian bukanlah hal yang darurat karena dapat digantikan oleh yang lainnya.
34
34
Ibid.,
28 f.
Hafal Seorang saksi disyaratkan harus mampu mengingat apa yang disaksikannya
dan memahami serta menganalisis apa yang dilihatnya, di samping dapat dipercaya atas apa-apa yang dikatakannya. Dengan demikian apabila saksi
pelupa atau pikun maka persaksiannya tidak dapat diterima, namun jika hanya sedikit saja yang ia lupa maka kesaksiaannya masih dapat diterima.
35
g. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak tumah ilah saksi tidak boleh yang
daya ingatannya lemah, hal ini disebabkan untuk menghindari kesalaha pahaman atas keterangan yang diberikan oleh saksi.
Dalam menentukan jumlah saksi yang harus dihadirkan, para ulama berbeda pendapat. Seperti dalam jarimah yang hukumannya badaniah, menurut
Jumhur Fuqaha pembuktiannya harus dengan dua orang saksi laki-laki dan tidak boleh seorang laki-laki dengan dua orang perempuan atau seorang saksi laki-laki
ditambah sumpah korbannya. Ketentuan ini berlaku baik dalam qishash jiwa maupun bukan jiwa, berbeda dengan pendapat Imam Malik, dimana ketentuan
dua orang saksi laki-laki hanya berlaku pada qishash atas jiwa saja, sedangkan qishash atas bukan jiwa pembuktiannya bisa dengan seorang saksi laki-laki dan
sumpah korbannya.
36
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Ath- Thalaaq65 ayat 2, sebagai berikut:
35
Ibid.,
36
Ibid, h. 232.
29
...
...
Artinya: …dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah …
Dalam hal ini menurut penulis saksi laki-laki lebih berhak memberi kesaksiaannya dari pada perempuan dengan alasan emosional laki-laki lebih stabil
jika dibandingkan perempuan yang emosionalnya terkadang lebih tinggi terlebih jika dalam keadaan haid. Namun penulis beranggapan jika tidak ada saksi laki-
laki dan hanya ada saksi perempuan maka seorang qâdhi hakim tidak boleh menolaknya melainkan mengdengarkan persaksiaannya yang kemudian menjadi
masukan baga dirinya dalam memutuskan perkara yang sedang dikajinya. Adapun ketentuan jumlah saksi yang harus membenarkan telah terjadi
perzinaan adalah dengan empat orang saksi, hal ini untuk kehati-hatian bagi seorang qâdhi menjatuhkan putusan sehingga berakibat pada sanksi yang akan
dijalani terdakwa, Allah SWT berfirman dalam surah an-Nisa4 ayat 15:
Artinya: dan terhadap Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah
ada empat
orang saksi
diantara kamu
yang menyaksikannya. kemudian apabila mereka telah memberi persaksian,
Maka kurunglah mereka wanita-wanita itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain
kepadanya .
30 Terkait dengan jumlah saksi Imam N
asa’i, mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
ظ ىف ّحف ّ ءاّ ش ةعبرأب تي
Artinya: Ajukanlah empat orang saksi, apabila tidak bisa maka hukuman had akan dikenakan terhadapmu
.
37
ii. Iqrar pengakuan
Menurut bahasa iqrar dapat diartikan
تابثِإا
penetapan, penemuan. Sedangkan menurut istilah
قتس لا ىف ل ح ىفام ظف لاب ق لا سف ى ع ّغ ل قح ثب را خأا
Artinya: Mengakui adanya hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau yang bersetatus sebagai ucapan,
meskipun untuk masa yang akan datang.
38
Menurut Abu Hanafi mensyaratkan bahwa pengakuan itu harus diucapkan di muka sidang pengadilan. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafií, dan
Imam Ahmad pengakuan itu boleh diucapkan di muka sidang dan boleh di luar sidang. Hanya sudah tentu bila pengakuannya diucapkan di luar sidang, maka di
dalam persidangan harus ada dua orang saksi atas pengakuannya.
39
Berkaitan dengan pengakuan Allah SWT berfirman dalam surah al-Imran3 ayat 81:
37
Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 43.
38
Djazuli, Fiqih Jinayah, h. 100.
39
Ibid, h. 60.
31
Artinya: Dan ingatlah, ketika Allah mengambil Perjanjian dari Para nabi: Sungguh, apa saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab dan
Hikmah kemudian
datang kepadamu
seorang Rasul
yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-
sungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman: Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang
demikian itu? mereka menjawab: Kami mengakui. Allah berfirman: Kalau begitu saksikanlah hai Para Nabi dan aku menjadi saksi
pula bersama kamu.
Jadi iqrar adalah memberitahukan akan adanya hak orang lain pada diri si pelaku, adapun fungsinya adalah menguatkan alasan kepada qâdhi untuk
menjatuhkan pidana kepada orang yang memberikan pengakuan dirinya.
iii. Sumpah
Menurut bahasa sumpah sama dengan al-husna al-mamal yang artinya bagus dan indah, dan bayinah yang artinya sumpah.
40
Sedangkan secara istilah sumpah adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan tuntutan
pembunuhan. TM Hasybi as-Shiddieqie mendefinisikan, sumpah adalah mempertegu kebenaran sesuatu yang dimaksud dengan menyebut nama Allah
atau sesuatu sifatnya.
41
40
Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 243.
41
TM Hasybi as-Shiddieqie, al-Islam, Jus II, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, h. 213.
32 Adapun mengenai penyebutan nama Allah adalah dalam sumpah yaitu
dengan menggunakan lafadz
لااب
demi Allah dan bukan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah at-Tahrim ayat 66:
Artinya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu[1486] dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan hadist Rosulullah SAW, yang artinya; “Riwayat Abu daud dan Nasa’i dari Huroiroh r.a. marfu’ : janganlah
kalian bersumpah dengan nama ayah-ayah kalian atau ibu-ibu kalian dan jangan pula dengan nama-nama dewa-dewa, dan janganlah kamu bersumpah denagn
nama Allah kecuali kalau kalian sungguh-sungguh ”
Berdasarkan pengertian para ahli di atas dapat di simpulkan bahwa sumpah yang dilakukan oleh para pihak berpekara haruslah bersandarkan kepada
Allah SWT dan janganlah bersumpah melainkan dengan sebenar-benarnya.
iv. Qorinah petunjuk
Menurut Wahbah Zuhaili, qorinah adalah setiap tanda yang jelas yang menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukan kepadanya.
Sedangkan Subhi Mahmassani, Qorinah adalah tanda-tanda yang sampai drajat keyakinan.
42
42
Subhi Mahmassani, Filsafat Tasyri al-Islam, h. 258.
33 Dalam hal pembuktian yang berdasarkan pembuktian qorinah haruslah
mencakup sekurang-kurangnya dua hal, yakni: 1.
terhadap sesuatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan dasar dan pegangan
2. terhadap hubungan yang menunjukan adanya keterkaitan antara keadaan yang
jelas zhahir dan yang samar khafi. Dalam surah Yusuf12 ayat 26-27, dikisahkan tentang tuduhan
pemerkosaan yang dilakukan oleh Juleha terhadap Nabi Yusuf, sebagaimana Allah SWT berfirman:
Artinya: 26. Yusuf berkata: Dia menggodaku untuk menundukkan diriku kepadanya, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu
memberikan kesaksiannya: Jika baju gamisnya koyak di muka, Maka wanita itu benar dan Yusuf Termasuk orang-orang yang
dusta.
27. dan jika baju gamisnya koyak di belakang, Maka wanita Itulah yang dusta, dan Yusuf Termasu
43
k orang-orang yang benar .
Pada masa sahabat alat bukti petunjuk menjadi salah satu alat bukti yang sah dan telah digunakan sejak zaman dahulu, hal ini tergambar dalam kisah yang menerangkan
telah datang seseorang membawa wanita yang melahirkan anaknya dengan umur kandungan enam bulan penuh kehadapan Sayidina Utsman, kemudian Sayidina Utsman
43
Al- Qur’an dan terjamah, surah Yusuf12 ayat 26-27.
34 berkata rajamlah wanita tersebut, beliau memerintahkan hal tersebut karena wanita
tersebut teleh melakukan perzinaan dengan dasar bukti petunjuk yakni anak yang dilahirkannya.
35
BAB III TEORI PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF
A. Tindak Pidana
Secara tradisional Hukum pidana dapat diartikan sebagai hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya
yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan.
44
Menurut Prof. Dr. Moeljatno, SH, berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana, bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1.
Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut. 2.
Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan
apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut.
45
Berkenaan dengan pengertian dari hukum pidana, C.S.T. Kansil juga memberikan definisi, bahwa hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran
44
Samidjo, Ringkasan dan Tanya Jawab hukum Pidana, Bandung: CV Armico, 1985, h 1.
45
Prof. Moeljatno, SH, Asas-Asas hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, h 1.