Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-undang

64 Pasal 4 Ayat 1: Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Ayat 2: Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Ayat 3: Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam pasal di atas, menjelaskan bahwa data elektronik merupakan salah satu alat bukti yang sah dan aturan terhadap data elektronik sebagai alat bukti adalah perluasan dari alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHAP. Hal ini menjadikan data elektronik sebagai alat bukti yang dapat meyakinkan hakim di dalam persidangan untuk memberikan putusan terhadapat perkara yang diperiksannya. Namun alat bukti berupa data elektronik tersebut tidak begitu saja langsung diterima oleh hakim melainkan harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu oleh saksi ahli tentang keotentikan atau keaslian data elektronik tersebut.

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi

Di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 40 ditegaskan, setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas 65 informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun, kecuali untuk keperluan proses peradilan pidana rekaman pembicaraan melalui jaringan telekomunikasi tidak dilarang. Pasal 42 ayat 2: Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas : a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5 lima tahun keatas, seumur hidup atau mati. Seperti, tindak pidana pembuhunan berencana Pasal 340 KUHP. Penegasan dibolehkannya penggunaan rekaman itu diperkuat dengan ketentuan bahwa pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi untuk kepentingan peradilan pidana bukan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 40 di atas. Sehingga ketentuan yang dimuat dalam Pasal 42 tersubut memberikan ruang data elektronik sebagai salah alat bukti dalam tindak pidana. Adapun data elektronik yang akan digunakan dalam pembuktian berupa hasil penyadapan yang dilakukan jasa telekomunikasi kepada penggu jasa telekomunikasi dalam bentuk audio atau suara. 66

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-undang

Nomor 31 Tahun l999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berkenaan dengan data eletronik sebagai alat bunkti, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun l999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 26 A, menegaskan bahwa: Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Dalam praktek hukum, penggunaan data elektronik seperti hasil rekaman, video, dokumen merupakan bagian dari proses projustisia perkara pidana. KUHAP tidak mengatur mengenai data elektronik sebagai alat bukti Pasal 184 kecuali keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Tetapi pada kenyataannya barang bukti elektronik sudah sering digunakan dalam penyelidikan, penyidikan tindak pidana umum. Oleh karena itu sering timbul perbedaan 67 persepsi dalam menghadirkan bukti yang bersifat elektronik sebagai barang bukti atau alat bukti, maka perlu diperhatikan terlebih dahulu mengenai ketentuan-ketentuan berikut ini: 1. Pasal 181 KUHAP yang menyatakan: a. Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu. b. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa apabila keterangan mengenai data elektronik diberikan oleh terdakwa, maka data elektronik tersebut merupakan keterangan terdakwa. Sedangkan jika keterangan mengenai data elektronik diberikan oleh saksi, maka merupakan keterangan saksi. 2. Keterangan ahli menurut Pasal 186 KUHAP adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Pasal 184 ayat 1 KUHAP menetapkan, keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Pendapat ahli juga merupakan salah satu sumber hukum dan diakui secara internasional dalam dunia ilmu hukum baik hukum pidana maupun hukum perdata. Bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 186 KUHAP, keterangan mengenai isi bukti data elektronik yang disampaikan oleh seorang ahli merupakan alat bukti keterangan ahli. Di sini seorang ahli akan membaca, melihat, memberikan 68 penilaian tentang hal-hal yang berkaitan dengan isi data elektronik dan mengambil kesimpulan sesuai keahliannya. Data elektronik yang ada harus diperiksa keabsahannya sehingga dapat diperoleh jaminan keotentikannya dan dapat dipertanggung jawabkan. Untuk memperoleh keputusan atau kesimpulan yan memiliki kekuatan pembuktian, data elektronik memerlukan keterangna seorang ahli. 3. Apabila dokumen elektronik disalin, diterjemahkan, dan ditranfer ke dalam bentuk tulisan, apakah dapat disebut alat bukti surat sesuai dengan maksud Pasal 184 ayat 1 huruf c KUHAP? Agar dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti surat, harus dipenuhi ketentuan Pasal 184 ayat 1 huruf c KUHAP jo. Pasal 187 KUHAP, yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang muat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggu jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; 69 c. Surat dari keterangan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara sermi dari padanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembukti yang lain; Jika dihubungkan dengan keberadaan data elektronik dalam proses pembuktian di persidangan, maka data elektronik harus diahlikan ke dalam bentuk tulisan agar dapat disebut surat. Berdasarkan ketentuaan tersebut, perlu diperhatikan bahwa surat itu harus dibuat oleh pejabat umum, pejabat, atau seorang ahli, yang telah dikuatkan dengan sumpah. 4. Pemaparan sebelumnya menjelaskan bahwa khusus untuk tindak pidana korupsi, alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari data atau dokumen elektronik. Ketentuan Pasal 188 KUHAP mengatur mengenai alat butki petunjuk seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya mengenai alat bukti berupa petunjuk. Namun untuk mengetahui apakan barang bukti berupa data elektronik ini ada relevansinya atau tidak, perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 188 KUHAP, yakni: 1 Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, namun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya; 70 2 Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi b. Surat c. Keterangan terdakwa 3 Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan berdasarkan ari nuraninya. Berdasarkan ketentuan Pasal 188 KUHAP, apabila keterangan saksi menguatkan dan dokumen elektronik sudah ditransfer dalam bentuk tulisan atau surat sesuai dengan Pasal 187 KUHAP, serta keterangan terdakwa tidak menyangkal, maka data atau dokumen elektronik itu dapat dikualifikasikan sebagai petunjuk. Meski demikian, penilaian atas kekuatan pembuktian dari alat- alat bukti itu mempunyai persesuaian satu sama lain dengan barang bukri berupa data atau dokumen elektronik tersebut sebagai petunjuk sepenuhnya diserahkan kepada hakim setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya Pasal 188 ayat [3]. Pembentuk Undang-Undang memasukkan ketentuan ayat 3 tersebut karena alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang masih memerlukan alat bukti lain untuk kesempurnaan pembuktian. Kesempurnaan pembuktian dimaksud tersirat dalam KUHAP Pasal 183, menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dari dua 71 alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Merujuk pada ketentuan mengenai bukti petunjuk di atas, jelas bahwa bagi seorang hakim diwajibkan untuk menggali alat bukti lain sebagaimana telah diuraikan di atas. Selain itu, terhadap alat bukti petunjuk dituntut kecermatan dan ketelitian seorang hakim di dalam memberikan penilaiannya, terutama terhadap ada atau tidak adanya persesuaian antara suatu kejadian atau keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan jaksa penuntut umum JPU. Guna mendapatkan kesempurnaan pembuktian melalui bukti elektronik electronic evidence sehingga Hakim memiliki keyakinan atas terjadinya suatu tindak pidana dan seseorang adalah pelakunya, Hakim memerlukan bantuan seorang ahli keterangan ahli, kecuali pembicara dalam rekaman, video, gambar, dan dokument tersebut mengakuinya di dalam sidang pengadilan bahwa itu adalah dirinya. Berlainan halnya dengan kekuatan pembuktian rekaman di dalam Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hasil rekaman atau alat bukti elektronik tersebut telah ditetapkan sebagai alat bukti tersendiri. Begitu juga dengan data elektronik yang telah menjadi salah satu alat bukti dari tindak pidana dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi danTransaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi 72

C. Analisi Data Elektronik Sebagai Alat Bukti Tindak Pidana Menurut Hukum