Penyelesaian Sengketa Hadhanah Menurut Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam

(1)

TESIS

Oleh

MUSTIKA INDAH PURNAMA SARI

117011005/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUSTIKA INDAH PURNAMA SARI

117011005/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nomor Pokok : 117011005

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. Dr. Abdullah Syah, MA)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Abdullah Syah, MA

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

Nama : MUSTIKA INDAH PURNAMA SARI

Nim : 117011005

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PENYELESAIAN SENGKETAHADHANAHMENURUT

PERSPEKTIF FIQIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :MUSTIKA INDAH PURNAMA SARI


(6)

Perceraian menimbulkan berbagai akibat hukum terhadap suami istri dan tidak terkecuali terhadap anak, yakni terkait masalah pemeliharaan anak (hadhanah) setelah terjadinya perceraian. Masing-masing orang tua menganggap diri mereka sebagai pihak yang lebih pantas melaksanakan tugashadhanahanak-anak yang telah lahir dari perkawinan tersebut hingga menimbulkan sengketa diantara keduanya. Agartercapai suatu penyelesaian diantara mereka maka harus dilakukan suatu upaya penyelesaiannya baik itu menurut perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).Permasalahan yang timbul dalam penyelesaian sengketa hadhanahini adalah terkait pihak mana yang lebih berhakmengasuh anak pada saat tenggang waktu penentuan hak hadhanah anak belum diputuskan, bagaimana penyelesaian sengketa

hadhanah menurut perspektif fiqih dan KHI, bagaimana hak dan tanggung jawab

orang tua yang hakhadhanahtidak jatuh kepadanya.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yakni suatu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan dan data sekunder seperti Al-Qur’an, hadist, peraturan perundang-undangan, putusan hakim dan pendapat praktisi hukum yang berkaitan denganhadhanah.

Pihak yang berhak mengasuh anak pada saat tenggang waktu penentuan hak hadhanah anak belum diputuskan adalah ibu, hal ini sejalan dengan urutan pertama bagi orang-orang yang berhak melaksanakan tugas hadhanahatas anak. Apalagi jika anak tersebut masih belum mumayizz (Pasal 105 KHI) akan tetapi bila anak tersebut telah mumayyiz maka anak dapat menentukan sendiri untuk sementara berada dalam pengasuhan pihak yang dikehendakinya baik itu ayah, ibu, nenek, kakek maupun kerabat lainnya. Penyelesaian sengketa hadhanah menurut perspektif fiqih dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:1. Di luar pengadilan dengan cara melakukan perdamaian(al-islah/shulh) dengan mengunakan metode at-tahkim, 2. Melalui lembaga peradilan Islam. Sedangkan penyelesaian sengketa hadhanah menurut KHI dapat dilakukan dengan cara mediasi dan dengan mengajukan gugat di pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Hak orang tua yang hak hadhanahnya tidak jatuh kepadanya, diantaranya adalah hak untuk melihat/ mengujungi anak, hak mendapat penghormatan, hak menjadi wali nikah (bila anak tersebut perempuan), hak menjadi ahli waris dari anak-anaknya, sementara kewajibannya terhadap anak diantaranya kewajiban menafkahi anak (bila tugashadhanahberada pada ibu), memberikan kasih sayang kepada anak.


(7)

divorce causes various legal consequences on husband and wife, including their children, related to hadhanah (child custody) after a divorce occurs. Each of the parents claims that he/she has the right to carry out the hadhanah on the children who are born from the marriage so that there will a dispute between them. The resolution must be made, either by following the fiqih perspective or by following the Compilation of Islamic Law (KHI). The problem which arises in the resolution of dispute in hadhanah is which one has the right to take care of the children before the decision who will be give the custody of the children is made, how about the resolution of hadhanah according to fiqih perspective and to the Compilation of Islamic Law, and how about the right and obligation of the parent whose right to obtain hadhanah is lost.

The research used judicial normative approach by studying literature materials and secondary data such as the Koran, hadist, legal provisions, laws, and regulations, judge’s verdicts, and the opinions of legal practitioners, all of which were related to hadhanah.

The party who will take care of the children before the decision of who will be given the custody of the children has not yet been made is the mother. This is in line with the rank for the person who has the right to be given the custody, let alone if they are still before mummayiz (Article 105 of the Civil Code). If they are already mummayiz (having arrived at the age of discretion), they will decide themselves who will take care of them, their father, mother, grandparents, or any other relative. The resolution of hadhanah from the fiqih perspective can be made with two alternatives: 1) by making peaceful resolution (al-ishlah or shulh), using at-tahkim method outside the Court, 2) through Islamic Judicature Body. The resolution of the dispute in hadhanah, according to KHI, can be done by mediation and filing a claim to Religious Court/Sharia Court. The parent who is not given hadhanah right such as the right to see or to visit the children, the right to be respected, the right to be wali nikah (if the child is female), and the right to be the heir of the children; while his obligation toward the children is, among others, the obligation to allowance to the children (if the mother who is given the custody) and give love and affection to the children.


(8)

Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul“Penyelesaian SengketaHadhanahMenurut Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar BapakProf. H. Dr. Abdullah Syah, MA., Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD dan Ibu Dr. Utary Maharani Barus, S.H., M.Hum., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Fakultas Hukum Kenotariatan Universitas Sumatera Utara 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.


(9)

penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ibunda tercinta dan cinta kasih ayahanda tercinta dan kasih sayang alm. Mustika Agus Melya Dewi kakak saya tersayang serta tidak pula penulis ucapkan terima kasih kepada Saudara Mustika Rio Naldy berserta keluarga yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis.Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada dr. Saipul Muhammad, yang selama ini telah menjadi inspirasi dan memberikan semangat sehingga menjadi motivasi dan warna tersendiri dalam kehidupan dan juga dalam penyelesaian tesis pada di Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Sahabat-sahabat penulis, Febri, Rina dan Ika, serta rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan Reguler Grup B tahun 2011, atas segala do’a dan dukungan serta kenangan indah bersama yang terjalin dari persahabatan yang kita bina sekarang dan untuk selamanya.


(10)

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Agustus 2013 Penulis,


(11)

Nama : Mustika Indah Purnama Sari

Tempat/Tanggal Lahir : Sinabang, 26 Mei 1988

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jln. Pahlawan Lr. Kasuari No.131 Suka

Karya Sinabang, Kab. Simeulue

Telepon/Hp : 085372249908

II. KELUARGA

Nama Ayah : Alm. Muslim

Nama Ibu : Lena Rukmini

III. PENDIDIKAN FORMAL

SD Negeri 5 Simeulue Timur lulus tahun 2000

SLTP Negeri 3 Simeulue Timur lulus tahun 2003

SMA Negeri 1Simeulue Timur lulus tahun 2006

S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala lulus tahun 2010 S-2 Program Studi Magister Kenotariatan FH-USU lulus tahun 2013


(12)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 18

G. Metode Penelitian ... 20

1. Sifat dan Pendekatan Penelitian ... 20

2. Sumber Data ... 21

3. Teknik Pengumpulan Data ... 23

4. Alat Pengumpulan Data... 23

5. Analisis Data ... 24

BAB II PIHAK YANG BERHAK MENGASUH ANAK PADA SAAT TENGGANG WAKTU PENENTUAN HAK HADHANAH ANAK ... 25


(13)

ISLAM ... 53

A. Cara Penyelesaian SengketaHadhanahMenurut Fiqih Islam . 53 B. Cara Penyelesaian Sengketa Hadhanah Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 67

BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN ORANG TUA YANG HAK HADHANAHTIDAK JATUH PADANYA ... 81

A. Hak dan Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua ... 81

B. Hak dan Kewajiban Orang Tua Yang Hak Hadhanah Tidak Jatuh Kepadanya ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 120

A. KESIMPULAN ... 120

B. SARAN ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 124 LAMPIRAN


(14)

Al-Farag : Menyudahi.

Alhidhu : Rusuk.

Al-Islah/As-Sulh : Perdamaian.

Al-Khibrah : Keterangan para ahli.

Ashabah : Keluarga dari pihak ayah.

Baby Sister : Pengasuh bayi.

Baligh : Dewasa.

Case Approach : Pendekatan kasus

Cerai Ba’in : Talak yang dijatuhkan suami pada

istrinya yang telah habis masa iddahnya.

Cerai Raji'i : Talak yang dijatuhkan suami pada

istrinya yang belum habis masa

iddahnya.

Conceptus : Konsepsi.

Court Congestion : Penumpukan perkara.

Fasik : Orang yang tidak mentaati Allah dan

mengerjakan dosa besar atau dosa-dosa kecil secara terus menerus.

Fuqaha : Ahli fiqih.

Grand Theory : Teori utama.

Hadhanah Ash : Mengasuh /Memelihara bayi.

Hadhinah : Wanita pengasuh.

Hajar Aswad : Batu yang berasal dari surga.

Iddah : Masa tunggu.

Hakam : Juru damai

Ijtihad : Menemukan hukum yang belum ada.

Khalawat : Berdua-duan di suatu tempat dimana

tidak ada orang lain

Khalifatullahn Fiardh : Wakil Allah.

Library Research : Penelitian kepustakaan.

Mahram : Perempuan yang masih termasuk sanak

saudara dekat keturunan, susuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh nikahi.

Maqashid : Mendapat pahala.

maru'f : Kebaikan.

Mawaddah : Cinta.


(15)

harus menjauhi larangan agama.

Nafkah Furu' : Nafkah untuk garis lurus ke bawah.

Nafkah Ushul : Nafkah untuk garis lurus ke atas.

Nasab : Keturunan.

Nash : Jelas dan tidak mengandung makna lain.

Qadha : Hukum/ketetapan/perintah.

Qadhi : Wakil.

Qarinah : Praduga/Petunjuk.

Radha' : Susuan/menyusui.

Sakinah : Tentram.

Sunnah : Perbuatan yang apabila Dikerja mendapat

pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.

Syara' : Sepangkat peraturan

berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragam Islam.

Syar'iyyah : Kebijaksanaan masalah kenegaraan.

Tamyiz : Keadaan dimana seorang anak manusia

telah menggerti dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya.

Teater : Tontonan/pertunjukan.

Theorid : Teori.

Wala' : Memerdekakan hamba sahaya.

Wali Nasab : Wali karena hubungan


(16)

HIR : Herziene Indonesische Reglement

HR : Hadist Riwayat

Ibid : Ibidem

KHI : Kompilasi Hukum Islam

KUA : Kantor Urusan Agama

Loc. cit. : Loco Citato

Op.cit : Opo Citato

PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa

PERMA : Peraturan Mahkamah Agung

PNS : Pegawai Negeri Sipil

QS. : Qur'an Surat

RBG : Rechtsreglement Buitenggewesten

SAW : Shallahu 'Alaihi Wassallam

SWT : Subhanahu Wa Ta'ala


(17)

Perceraian menimbulkan berbagai akibat hukum terhadap suami istri dan tidak terkecuali terhadap anak, yakni terkait masalah pemeliharaan anak (hadhanah) setelah terjadinya perceraian. Masing-masing orang tua menganggap diri mereka sebagai pihak yang lebih pantas melaksanakan tugashadhanahanak-anak yang telah lahir dari perkawinan tersebut hingga menimbulkan sengketa diantara keduanya. Agartercapai suatu penyelesaian diantara mereka maka harus dilakukan suatu upaya penyelesaiannya baik itu menurut perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).Permasalahan yang timbul dalam penyelesaian sengketa hadhanahini adalah terkait pihak mana yang lebih berhakmengasuh anak pada saat tenggang waktu penentuan hak hadhanah anak belum diputuskan, bagaimana penyelesaian sengketa

hadhanah menurut perspektif fiqih dan KHI, bagaimana hak dan tanggung jawab

orang tua yang hakhadhanahtidak jatuh kepadanya.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yakni suatu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan dan data sekunder seperti Al-Qur’an, hadist, peraturan perundang-undangan, putusan hakim dan pendapat praktisi hukum yang berkaitan denganhadhanah.

Pihak yang berhak mengasuh anak pada saat tenggang waktu penentuan hak hadhanah anak belum diputuskan adalah ibu, hal ini sejalan dengan urutan pertama bagi orang-orang yang berhak melaksanakan tugas hadhanahatas anak. Apalagi jika anak tersebut masih belum mumayizz (Pasal 105 KHI) akan tetapi bila anak tersebut telah mumayyiz maka anak dapat menentukan sendiri untuk sementara berada dalam pengasuhan pihak yang dikehendakinya baik itu ayah, ibu, nenek, kakek maupun kerabat lainnya. Penyelesaian sengketa hadhanah menurut perspektif fiqih dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:1. Di luar pengadilan dengan cara melakukan perdamaian(al-islah/shulh) dengan mengunakan metode at-tahkim, 2. Melalui lembaga peradilan Islam. Sedangkan penyelesaian sengketa hadhanah menurut KHI dapat dilakukan dengan cara mediasi dan dengan mengajukan gugat di pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Hak orang tua yang hak hadhanahnya tidak jatuh kepadanya, diantaranya adalah hak untuk melihat/ mengujungi anak, hak mendapat penghormatan, hak menjadi wali nikah (bila anak tersebut perempuan), hak menjadi ahli waris dari anak-anaknya, sementara kewajibannya terhadap anak diantaranya kewajiban menafkahi anak (bila tugashadhanahberada pada ibu), memberikan kasih sayang kepada anak.


(18)

divorce causes various legal consequences on husband and wife, including their children, related to hadhanah (child custody) after a divorce occurs. Each of the parents claims that he/she has the right to carry out the hadhanah on the children who are born from the marriage so that there will a dispute between them. The resolution must be made, either by following the fiqih perspective or by following the Compilation of Islamic Law (KHI). The problem which arises in the resolution of dispute in hadhanah is which one has the right to take care of the children before the decision who will be give the custody of the children is made, how about the resolution of hadhanah according to fiqih perspective and to the Compilation of Islamic Law, and how about the right and obligation of the parent whose right to obtain hadhanah is lost.

The research used judicial normative approach by studying literature materials and secondary data such as the Koran, hadist, legal provisions, laws, and regulations, judge’s verdicts, and the opinions of legal practitioners, all of which were related to hadhanah.

The party who will take care of the children before the decision of who will be given the custody of the children has not yet been made is the mother. This is in line with the rank for the person who has the right to be given the custody, let alone if they are still before mummayiz (Article 105 of the Civil Code). If they are already mummayiz (having arrived at the age of discretion), they will decide themselves who will take care of them, their father, mother, grandparents, or any other relative. The resolution of hadhanah from the fiqih perspective can be made with two alternatives: 1) by making peaceful resolution (al-ishlah or shulh), using at-tahkim method outside the Court, 2) through Islamic Judicature Body. The resolution of the dispute in hadhanah, according to KHI, can be done by mediation and filing a claim to Religious Court/Sharia Court. The parent who is not given hadhanah right such as the right to see or to visit the children, the right to be respected, the right to be wali nikah (if the child is female), and the right to be the heir of the children; while his obligation toward the children is, among others, the obligation to allowance to the children (if the mother who is given the custody) and give love and affection to the children.


(19)

A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman sekarang ini maka berkembang pula pola pikir manusia dalam menghadapi permasalahan kehidupan yang semakin komplit, tidak terkecuali menyangkut masalah perceraian. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 (selanjutnya cukup disebut Undang-Undang Perkawinan) adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adakalanya perkawinan tidak seperti yang diharapkan untuk menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmahkarena harus berakhir dengan perceraian.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perkawinan dapat putus karena perceraian, hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan yaitu: Perkawinan dapat putus karena; a. kematian; b. perceraian; dan atas keputusan Pengadilan. Perceraian dipilih sebagai solusi terhadap problem yang terjadi dalam bahtera rumah tangga, sebaliknya tidak selamanya perceraian memberikan ketenangan seperti apa yang dikehendaki.

Sebuah rumah tangga yang berujung perceraian akan menimbulkan beberapa akibat hukum, salah satunya akibat hukum terhadap anak, yakni terkait pemeliharaan dan pengasuhan pasca terjadinya perceraian. Anakpun menjadi binggung harus


(20)

memilih untuk bersama ayah atau ibunya. Hal ini merupakan suatu pilihan yang sulit, karena anak membutuhkan kedua orang tuanya.Oleh karena itu masalah memelihara anak/pengasuhan(hadhanahpasca terjadinya perceraian)sangat perlu diperhatikan.

Hak asuh anak atau dalam hukum Islam dikenal dengan istilah hadhanah.

Hadhanah adalah suatu kegiatan mengasuh, memelihara, mendidik anak hingga ia

dewasa atau mampu berdiri sendiri.1 Adakalanya permasalahanhadhanah terkadang menjadi polemik yang berkepanjangan, dikarenakan adanya kecenderungan dari masing-masing pihak yang bercerai ingin memperoleh hak hadhanah atas anak mereka ketika perkara hak asuh anak tidak dapat dikompromikan. Berbagai tindakan pun dilakukan mereka, diantaranya; satu sama lain saling menuduh telah melalaikan kewajibannya sebagai orang tua, menuduh tidak mampu mengurus anak, saling mencegah kunjungan salah satu orang tua, bahkan yang paling memperhatikan adanya orang tua yang mempengaruhi pola pikir dan psikis anak tentang perilaku buruk ayah atau ibunya,yang bertujuan agar si anak berada dalam pengasuhannya, akibatnya anaklah yang menjadi korban. Oleh karena sebab itu diperlukan penyelesaian terhadap hal tersebut, agar tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan para pihak yang bersengketa termasuk juga anak.

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya cukup disingkat UU Perlindungan Anak) menegaskan bahwa :“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sementara menurut


(21)

Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, pada Bab I ketentuan umum Pasal 1 angka (2), yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin.

Pada dasarnya anak yang masih kecil sangat memerlukan orang lain dalam menata kehidupannya, baik itu dalam pengaturan fisiknya, maupun dalam pembentukan akhlaknya, peran keluarga untuk melakukan tugas hadhanah sangat berperan dalam hal tersebut.Oleh sebab itu masalah hadhanah mendapat perhatian khusus dalam ajaran Islam.Apalagi anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga dan dibina karena melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijujung tinggi.

Orang tua tidak hanya dituntut memberikan kasih sayang namun juga bertanggung jawab atas pemeliharaan, perhatian, serta hal-hal yang dibutuhkan seorang anak. Severe menyatakan bahwa;“anak-anak merupakan tolak ukur bagi keberhasilan dan orang tua menilai diri sendiri berdasarkan sukses dan prestasi yang didapatkan oleh si anak.2 Jadi jika anak-anak tersebut tumbuh dan berkembangan serta memiliki kecerdasaan dan masa depan yang cermerlang maka orang tua baru bisa dikatakan berhasil dan sukses dalam melaksanakan tugasnya sebagai orang tua. Mengasuh anak adalah wajib bagi orang tua dan merupakan hak anak yang harus dipenuhi orang tua, sebab apabila disia-siakan tentu akan menimbulkan bencana dan kebinasaan baginya.

2 Severe, Resorasi Media Perlindungan Anak Konflik Hukum, Terjemahan Aviandari D.


(22)

Apabila terjadi perceraian antara suami istri dan telah memiliki anak dan diantara mereka ada yang masih dibawah umur,maka orang tuanyalah dibebankan kewajiban untuk melakukan tugas pemeliharaan tersebut. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi;

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan yang memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya pnghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Selain itu pengasuhan atas anak khususnya untuk masyarakat di wilayah provinsi Aceh juga berlaku ketentuan yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak Pasal 7, yang berbunyi:

1. Anak berhak diasuh oleh orang tua/walinya di dalam keluarga.

2. Pengasuhan di dalam keluarga berfungsi untuk menjamin tumbuh kembang anak ke arah kehidupan yang lebih baik secara fisik, mental, sosial dan emosional serta intelektual anak.

3. Pengasuhan di dalam keluarga dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang mengutamakan kepentingan terbaik anak, menjunjung tinggi ketentuan syariat Islam dan adat istiadat.

Sementara itu, anak juga mempunyai kewajiban terhadap orang tua sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 46 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi:


(23)

2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuanya.

Menurut pandangan Islam, dalam Al-Qur’an tercantum ketentuan untuk pemeliharaan anak, dalam surat at-Tahrim ayat 6 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”3

Pada ayat tersebut di atas, orang tua di tuntut untuk memelihara keluarganya agar terpelihara dari api neraka dan seluruh anggota keluarganya melaksanakan perintah dan meninggalkan laranganNya, termasuk juga anak.4

Betapa banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kepada kedua orang tua untuk memelihara, menjaga dan bertanggungjawab dalam memelihara keluarganya. Demi kepentingan seorang anak, sikap peduli dari kedua orang tua terhadap masalah hadhanah memang sangat diperlukan.Namun hal tersebut tidak dapat terwujud jika orang tua tidak sepakat dalam penentuan hadhanah sehingga menimbulkan sengketa diantara mereka.

Selanjutnya untuk kepentingan anak dan pemeliharaanya diperlukan beberapa persyaratan bagi yang melakukanhadhanah, yakni5;

1. Berakal sehat.

2. Merdeka/Baligh/Cakap.

3Mahmud Junus,

Al-Qur’an dan Terjemahan Al-Qur’an Al Karim, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1994), hlm. 4560.

4Abdurahman Ghodzali,Fiqih Munahakat, (Jakarta: Kencana, 2008). hlm.177. 5


(24)

3. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik

mahdhun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu perkerjaan yang

bisa mengakibatkan tugashadhanahmenjadi terlantar. 4. Beragama Islam.

5. Orang yang dapat dipercayai.

6. Mantan istri yang belum menikah lagi.

Selain itu ada juga larangan bagi seseorang untuk mengasuh anak, diantaranya;6 1. Budak.

2. Kefasikan/orang jahat/pembunuh. 3. Kafir.

4. Ibu yang menikah lagi.

Kemudian apabila ada suatu keadaan dimana ibu atau ayah si anak dianggap tidak layak untuk melakukan tugas hadhanah, maka urutan-urutan mereka yang berhak melakukan tugahadhanah,yakni7:

1. Ibu.

2. Ibunya Ibu dan ke atas. 3. Ayah dan Ibu dari Ayah.

4. Saudara perempuan ayah sekandung. 5. Saudara perempuan seibu.

6. Saudara perempuan seayah.

7. Kemenakan perempuan sekandung (seibu seayah). 8. Kemenakan perempuan seibu.

9. Saudara perempuan seibu yang sekandung (adik Ibu). 10. Saudara perempuan seayah yang sekandung (adik Ayah) 11. Saudara perempuan ibu yang seibu.

12. Saudara perempuan ibu yang seayah dan seterusnya (mendahulukan yang sekandung dari masing keluarga ibu dan ayah).

6Muhammad Amin Suma, Hukum Keluaraga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja

Gralindo Persada, 2004), hlm.752-753. 7

Iman Jauhari,Kapita Selekta Hukum Islam,Jilid 2, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007), hlm. 341.


(25)

Sengketa yang terjadi pada umat manusia adalah suatu problema hidup yang dihadapi manusia. Manusia sebagai khalifah di bumi dituntut untuk dapat menyelesaikan persoalan, karena manusia dibekali oleh Allah SWT dengan akal pikiran dan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam mengatur kehidupannya. Manusia juga harus mencari dan menemukan pola penyelesaian sehingga penegakan keadilan dapat terwujud, tidak terkecuali sengkata hadhanah. Sengketa hadhanah juga memerlukan suatu penyelesaian agar tidak berkepanjang, akibatnya menimbulkan penderitaan bagi orang tua dan anak, selain itu banyak waktu yang terbuang, energi dan banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak. Oleh karena itu diperlukan suatu cara penyelesaian agar permasalahan hadhanah anak tidak terus menjadi pemicu terjadinya perselisihan antara mantan suami istri setelah terjadinya perceraian, namun cara tersebut diharapkan dapat mengikat para pihak (mantan suami istri) dalam pelaksanaannya.

Berdasarkan uraian di atas, kajian mengenai penyelesaian sengketa hadhanah dalam Perspektif Fiqih dan Hukum Islam perlu untuk dilakukan.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini adalah:

1. Pihak manakah yang berhak untuk mengasuh anak pada saat tenggang waktu penentuan hakhadhanahanak?

2. Bagaimana cara penyelesaian sengketa hadhanah menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam?


(26)

3. Bagaimana hak dan kewajiban orang tua yang hak hadhanah tidak jatuh kepadanya?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis siapa yang berhak mengasuh anak pada

saat tenggang waktu penentuan hakhadhanahanak.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis cara penyelesaian sengketa hadhanah menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hak dan kewajiban orang tua yang hak hadhanahtidak jatuh padanya.

D. Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai, maka dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:

1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya kepada masyarakat agar mengetahui persoalan yang berkaitan denganhadhanah.

2. Secara praktik, diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada mahasiswa ataupun praktisi-praktisi hukum khususnya dalam lingkup hukum keluarga agar mengetahui tentang penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan hadhanah.


(27)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang dilakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Penyelesaian Hadhanah dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam ”. Namun ada beberapa penelitian yang menyangkut dengan Hak Asuh Atas Anak antara lain penelitian yang dilakukan oleh:

1. Edi Sucipto, NIM; 002105006; Magister Hukum; Judul Tesis: “HadhanahSetelah Terjadi Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Penerapannya di Pengadilan Agama Medan”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana ketentuanhadhanahdalam Kompilasi Hukum Islam?

b. Bagaimana penerapan penyelesaianhadhanahdi Pengadilan Agama Medan? c. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya kelalaian orang tua atas tanggung

jawab terhadaphadhanahanak?

2. Syarifah Tifany, NIM; 037011076; Magister Kenotariatan; Judul Tesis; “Pengasuhan Anak Setelah Terjadinya Perceraian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Binjai)”. Adapun permasalahan yang diteliti adalah:

a. Apa yang menjadi hak-hak anak serta apa kewajiban orang tua terhadap anaknya dalam Hukum Islam?

b. Bagaimana menentukan hak pengasuh hak hadhanah di pengadilan agama jika terjadi perceraian?


(28)

c. Bagaimana eksekusi putusan perkarahadhanahdi pengadilan agama Binjai? 3. Anastasius Rico Haratua Sitanggang, NIM; 037011006; Magister Kenotariatan;

Judul Tesis; “Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Siak Indraputa-Riau)”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagai berikut:

a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena perceraian?

b. Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan?

c. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam mengali perkara perceraian di Pengadilan Negeri Siak Indraputa-Riau?

4. Lisdawarta Purba, NIM; 0027011029; Magister Kenotariatan; Judul Tesis; “Perceraian Atas Perkawinan yang Tidak Didaftarkan di Kantor Catatan Sipil dan Akibat Hukumnya Terhadap Hak Anak (Kajian Pada Masyarakat Karo di Kecamatan Tigapanah)”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana Keabsahan suatu perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor Catatan Sipil pada Masyarakat di Kecamatan Tigapanah?

b. Bagaimana tanggung jawab orang tua setelah perceraian terhadap pemeliharaan serta nafkah hidup anak pada masyarakat Karo di Kecamatan Tigapanah?


(29)

c. Bagaimana hubungan hukum antara anak dengan kedua orang tua setelah perceraian terhadap pemeliharaan serta nafkah hidup anak pada masyarakat Karo di Kecamatan Tigapanah?

5. Tessy Taufik, NIM; 097011100; Magister Kenotariatan; Judul Tesis; “Tanggung jawab Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak ( Studi Kasus Putusan Nomor: 209/Pdt.G/2007/PN-Mdn)”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagai berikut:

a. Apa yang merupakan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan tanggung jawab pengasuhan anak setelah peceraian?

b. Bagaimanakah akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban terhadap anaknya setelah perceraian kedua orang tuanya?

c. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibanya terhadap anak sesuai putusan pengadilan?

6. Kadriah, NIM; 943105011; Magister Ilmu Hukum; Judul Tesis; “Tanggung jawab Orang tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Penelitian di Kabupaten Pidie)”. Yang menjadi permasalahannya adalah:

a. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab orang tua terhadap pemeliharaan anak dan nafkah hidup anak?

b. Faktor apa yang menyebabkan orang tua melalaikan tanggung jawabnya terhadap anak?


(30)

c. Bagaimana penyelesaian yang diambil sehingga anak tetap mendapatkan hak-haknya secara layak?

7. Ernawati Br. Sitorus, NIM; 107011089; Magister Kenotariatan; Judul Tesis; “ Perlindungan Hukum Terhadap Anak di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah: a. Bagaimana hak asuh anak di bawah umur jika terjadi perceraian pada

masyarakat Batak toba Kristen di Medan?

b. Bagaimana tanggung jawab orang tua yang telah bercerai terhadap nafkah anak di bawah umur dalam putusan pengadilan?

c. Apakah hambatan yang timbul dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur jika orang tuanya bercerai pada masyarakat Batak toba Kristen di Medan?

8. Fransisca M.U Bangun, NIM; 037011028; Magister Kenotariatan; Judul Tesis; “ Tanggung Jawab Orang tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Medan)”. Selanjutnya yang menjadi permasalahannya adalah:

a. Bagaimana putusan Pengadilan Negeri dalam menentukan tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah perceraian?

b. Upaya apakah yang dapat dilakukan apabila orang tua tidak memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan psengadilan?

c. Apakah yang menyebabkan kesulitan melaksanakan putusan pengadilan yang telah mewajibkan orang tua untuk membiayai anaknya setelah perceraian.


(31)

9. Nirmayani Laksana Putri Pulungan, NIM; 117011092; Magister Kenotariatan; Judul Tesis; “ Analisis Tipologi PutusanHadhanahPada Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)”, Selanjutnya yang menjadi permasalahannya adalah:

a. Bagaimana karakter hadhanah pada putusan Pengadilan Agama Medan tahun 2010-2012.

b. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum bagi hakim Pengadilan Agama Kelas IA Medan dalam menentukan sengketahadhanahtahun 2010-2012.

c. Apakah putusanhadhanahyang diputuskan di Pengadilan Agama Kelas IA Medan tahun 2010-2012.

Sehingga sebagaimana di atas bahwa memang pernah dilakukan penelitian namun dengan permasalahan yang berbeda.Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya, artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar “thea” ini pula datang kata modern”teater” yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak


(32)

literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun “sistematis, logis(rasional), empris (kenyataan), dan juga simbolis”.8

Kerangka teori adalah pemikiran atau pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.9

Fred N. Kerlinger menjelaskan bahwa teori adalah seperangkat konsep, batas dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antara variasi dengan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut.10

Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk,11 analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini. Robert K. Yin mengatakan: theo means the design of research steps according to some relationship to the literature, policy issues, or other substance souce”12.Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu.13Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian

8Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Universitas Indonesia Press,

1999), hlm.12.

9Solly Lubis,

Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung: Bandar Maju, 1994), hlm.14.

10Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral,(Yogjakarta: Gadjah mada Universitas

Press, 2004), hlm.14.

11Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (PT. Gramedia Pustaka

Utama,1997), hlm.21.

12

Robert K.Yin, Application of Case Study Research,(London: Sage Publication, 1994), hlm.82.


(33)

yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan. Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta; b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta;

c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya.14

Selanjutnya dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Kepastian Hukum sebagaigrand theory.

Menurut Jan Michiel Otto, untuk menciptakan kepastian hukum harus memenuhi syarat-syarat, yaitu:15

1. Ada aturan hukum yang jelas dan konsisten.

2. Instansi pemerintah menerapkan aturan hukun secara konsisten, tunduk dan taat terhadapnya.

3. Masyarakat menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan hukum tersebut. 4. Hakim-hakim yang mandiri, tidak berpihak dan harus menerapkan aturan

hukum secara konsisten serta jeli sewaktu menyelesaikan sengketa hukum. 5. Putusan pengadilan secara konkret dilaksanakan.

Menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum merupakan fenomena psikologi daripada hukum. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam

Undang-14

Soejono Soekanto, Op.Cit.,hlm. 43.

15Jan Michiel Otto,

Reele Rectszekerheidin Ontwikkelingslanden, Terjemaahan Tristam Moeliono, Kepastian Hukum yang Nyata di Negara Berkembang,Cetakan Pertama, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN-RI), 2003, hlm.5.


(34)

Undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang satu dengan yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.16

Selanjutnya di samping Teori Kepastian Hukum sebagai teori utama yang dipergunakan sebagai pisau analisis penelitian ini juga akan didukung dengan teori pendukung yaituTeori Maslahatan.Mashlahat secara etimologi kata jamaknya

Mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari

keburukan atau kerusakan. Mashlat kadang-kadang disebut dengan istislah yang berarti mencari yang benar. Esensi mashlat adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan umum.17

Menurut M.Hasballah Thaib,18 mashlahat yang dimaksud adalah kemashalatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemashalatan yang semata-mata berdasarkan keinginan hawa nafsu manusia. Sebab disadari sepenuhnya bahwa tujuan dari syariat, hukum tidak lain untuk melahirkan kemashlatan bagi manusia dari segala segi dan aspek kehidupan mereka di dunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang dapat membawa kepada kerusakan.

16bid.

17M.Hasballh Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum, (Medan: Universitas

sumatera Utara, 2002), hlm. 27.

18Ibid, Ibnu Tayimyyah mengatakan bahwa mashlmat adalah pandangan mujtahid tentang

perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara’, lihat Nasroen Haroen, Ushul Fiqih, (ciputat: PT. logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 126.Sedangkan Al-Ghazali mengatakan arti asli mashlmat adalah menarik manfaat atau menolak

mudhorat.Adapun artinya secara istilah ialah pemeliharaan tujuan (maqashid) atau syara’,yakni agama, jiwa, akal keturunan dan harta. Segala sesuatu yang mengtandung nilai pemeliharaan atas pokok yang lima ini adalah mashlmahat, semua yang menghilangkan adalah mafsadat dan menolaknya merupakan mashlmat, lihat Jamaluddin, Analisis Hukum Perkawinan terhadap perceraiandalamMasyarakat Kota Lhoksemawe dan Kabupaten Aceh Utara,Disertasi, Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm.23.


(35)

Oleh karena itu masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan hukum

atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi

masyarakat.Jangan sampai justru karenanya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.19Secara sederhana maslahat (al- maslahah)diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu bermanfaat. Misalnya menuntut ilmu itu mengandung kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan bathin. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan dari pada kedatangan Hukum Islam adalah memperoleh kemaslahatan serta menghindari kemudhaaratan. Hukum Islam memelihara 3 hal, yaitu:20

a. Memelihara yang paling penting, bila hal itu diabaikan maka akan terjadi kekacauan dalam masyarakat. Ketentuan yang paling penting ini ada 6 macam: 1. Memelihara jiwa

Islam sangat melindungi jiwa seseorang, jiwa seseorang tidaak boleh direnggut begitu saja karena jiwa dapat dinilai dengan benda apapun; 2. Memelihara akal

Sehubungan dengan memelihara akal, Hukum Islam memetapkan hukum dera (dipukul 40 kali) bagi yang merusakkan akalnya.

3. Memelihara Agama

Memelihara agama adalah memelihara keimanan. Iman adalah suatu hal yang sangat mulia, sehingga dengan bermodalkan iman seseorang tidak akan kekal dalam neraka.

4. Memelihara kehormatan

Islam sangat memelihara kehormatan seseorang muslim. Islam tidak membenarkan menuduh orang lain melakukan kejahatan tanpa adanya suatu bukti yang benar, tuduhan tanpa alas an berarti penghinaan.

5. Memelihara harta

Memelihara harta (hak milik) ini ditetapkan hukum jual beli, hutang piutang, dan lain-lain.Islam melarang perampasan harta, pembinasaan harta, dan cara-cara lain yang tidak sah.

19

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum(Suatu Pengantar),(Yogyakarta: Liberty,1988), hlm. 134-135.

20M. Hasballah Thaib, Falsafah Hukum Islam, (Medan: Fakultas Hukum Universitas


(36)

6. Memelihara keturunan

Islam mengajurkan untuk memelihara keturunan, bahkan salah satu dari pada hikmah perkawinan adalah untuk mendapat keturunan.

b. Memelihara yang diperlukan bila tidak dilaksanakan akan membawa kesulitan dam pelaksanaaanya;

c. Memelihara yang dianggap baik, bila hal ini tidak diatur maka nampaklah kerendahan Islam.

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berpikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.21Peranan konsep daam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstrasi dan realitas.22Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan.Abstrak yang digenelisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.23 Oleh karena itu, kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehinga diperlukan definisi-definisi yang menjadi pegangan kongkrit dalam proses penelitian. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, maka konsepsi masih merupakan permulaan dari suatu karya yang telah diadakan pengelohan akan dapat menjadikan suatu teori.Oleh karenanya untuk menghindari terjadinya perbedaan pengertian dan penafsiran tentang konsep yang dipakai dalam penelitian ini, maka perlu dikemukakan mengenai

21

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah, Kamus Istilah Karya Tulisan Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 122.

22Masri Singaribun et.all,Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm.34. 23Sumadi Suryabrata,Metode Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), hlm.34.


(37)

pengertian konsep yang dipakai, adapun uraian dari konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:

a. Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan (pemberesan, pemecahan);

b. Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, mendidik anak dan

memenuhi kebutuhan yang diperlukan si anak baik yang belummumayyizdan maupun yang telahmumayyizhingga ia dewasa atau mampu berdiri sendiri.24 c. Sengketa adalah perselisihan yang timbul antara mantan suami istri setelah

terjadi perceraian khususnya mengenaihadhanah.

d. Perspektif adalah cara melukiskan suatu benda dan lain-lain pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, tingginya), sudut pandang.25

e. Fiqih Islam adalah buku yang membahas berbagai persoalan Hukum Islam (ibadah, muamalah, pidana, peradilan, jihad, perang, dan damai) berdasarkan hasil ijtihad ulama fiqih dalam memahami Al-Qur’an dan hadist yang berkaitan dengan realitas yang ada dengan menggunakan berbagai metode ijtihad.26

f. Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok

24Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jild VIII, Terjemahan Moh. Thlmib, (Bandung: PT. Alma’

arif,1995), hlm. 160.

25

Surayin,Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Bandung: Rama Widya, 2007),hlm. 433.

26A. Rahman Rintonga, et.all,Ensikopedia Hukum Islam,(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva,


(38)

materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut.

g. Mahkamah Syar'iyah adalah lembaga peradilan yang dibentuk dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’ah Islamserta melaksanakan Syari’at Islam dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.27

h. Belummummayizadalah anak yang belum berumur 12 tahun.28 i. Sudahmummayizadalah anak yang sudah berumur 12 tahun.29

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Pendekatan Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, yaitu dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.30

27Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam nomor 10 tahun 2002 Tentang Peradilan

Syari’ah IslamPasal 2 Ayat (1).

28Kompilasi Hukum Islam Pasal 105, berbunyi;

Dalam terjadinya perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

29

Ibid.

30Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung:


(39)

Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan perpustakaan atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukanan bidang hukum31. Maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan peraturan hukum yang berlaku baik itu dalam peraturan perundang-undangan hukum nasional maupun ketentuan dalam Hukum Islam dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan–aturan hadhanah yang berkaitan dengan pelaksanaan

hadhanah, sedangkan pendekatan kasus dilakukan untuk mempelajari penerpan

norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan hakim dalam menyelesaikan sengketahadhanahdi Mahkamah Syar’iyah.

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder.Data sekunder32 adalah data yang diperoleh dari dokumen publikasi, artinya data sudah dalam bentuk jadi,33 atau data kepustakaan yang dikenal dengan bahan hukum yang terdiri dari 3 (tiga) kelompok.Data sekunder pada penelitian ini berasal dari penelitian studi kepustakaan (Library Research)yang diperoleh dari:

31Soejono Soekarto dan Sri Mamudji,

Penelitian Hukum Seuatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta:Raja grafindo Persada, 1995),hlm. 33.

32Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil pelelaahan kepustakaan atau penelahaan

terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum, lihat Mukti Fajat dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.34.

33Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis,


(40)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang terdiri dari: 1. Al-Qur’an dan Hadist.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

5. Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Perma Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

6. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’ah Islam.

7. Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. 8. Putusan Makamah Syar’iyah Sinabang Nomor: 01/Pdt.G/2012/MS-Snb. 9. Putusan Mahkamah Syar’iyah Sinabang Nomor: 44/Pdt.G/2011/MS-Snb. 10. Putusan Mahkamah Syar’iyah Sinabang Nomor: 41/Pdt.G/2011/MS-Snb. b. Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dukumen-dokumen resmi. Bahan-bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, komentar-komentar atas putusan pengadilan, ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori, asas-asas dan hasil-hasil penelitian, hasil-seminar, dokumen-dokumen lain yang berkaitan denganhadhanah,atau hasil karya ilmiah


(41)

dan pendapat dari kalangan pakar hukum yang berkait dengan masalah hadhanah.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, majalah, bahan internet dan jurnal ilmiah.34

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang menjadi objek dalam penelitian dan dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (Library Research), studi kepustakaan merupakan suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca bahan-bahan hukum yang ada relevansinya dengan topik pembahasan atau masalah yang akan diteliti.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat Pengumpulan data dalam penelitian ini yang digunakan adalah studi dokumen/studi kepustakaan yaitu untuk memperoleh bahan-bahan yang digunakan untuk mengumpulkan data-data yang di kepustakaan atau data sekunder dan data primer serta tersier dalam bidang hukum.Namun dalam ini juga akan dilakukan wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini. Wawancara ini dilakukan sebagai data pendukung dalam penelitian ini.

Adapun pihak-pihak terkait yang akan diwawancarai dalam hal ini, yaitu: - 2 (satu) orang Hakim Mahkamah Syar’iyah Sinabang


(42)

- 1 (satu) orang Panitera Makamah Syar’iyah Sinabang. - 1 (satu) orang tokoh Agama.

5. Analisis Data

Dalam penelitian sangat diperlukan sangat diperlukan suantu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data yang berupa informasi, kemudian diuraikan dalam bentuk tulisan dikaitkan dengan data lain sehingga diperoleh kejelasan terhadap suatu kebenaran dan diperoleh gambaran yang menguatkan suatu gambaran yang telah ada.

Pada kegiatan analisis data ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang diharapkan dapat memberikan kesimpulan yang dilakukan dengan memakai analisa deduktif-induktif yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya mengambil hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dari permasalahan dan tujuan penelitian ini.


(43)

BAB II

PIHAK YANG BERHAK MENGASUH ANAK PADA SAAT TENGGANG

WAKTU PENENTUAN HAKHADHANAHANAK

A. Tinjauan TentangHadhanahMenurut Hukum Islam 1. PengertianHadhanah

Adapun dalam Hukum Islampemeliharaan anak dikenal dengan istilah

hadhanah. Secara etimologi, hadhanahberarti di samping atau berada di bawah

ketiak,35sedangkan secara terminologisnya,hadhanah adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdesannya, karena mereka tidak memenuhi keperluannya sendiri.36

Menurut Ash-sha’ani, pemeliharaan anak disebut dengan Al Hadhanah yang merupakan masdar dari kata Alk Hadhanah yang berarti mengasuh atau memelihara

bayi (hadhanah ash syabiyya).Dalam pengertian istilah hadhanah adalah

pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya.37

Sementara itu menurut Muhammad bin Isma’il al- Kahlani, hadhanah adalah memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri.38Sedangkan menurut

35AbuYahya Zakaria Anshari,Fathul Wahab, (Beirut: Dar al-Kutub, 1997), Juz II.hlm.212. 36Martiman Prodjohamidjodjo,

Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002), hlm.65. lihat juga Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-Undang No.1/1974 Sampai KHI),

(Jakarta:Kencana,2004), hlm. 291.

37

Ash-sha’ani, Subulus Salam, Terjemahan Abubakar Muhammad Jilid 3, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hlm. 819.

38Muhammad bin Isma’il al- Kahlani, Subulus Salam, Juz 3(Bandung: Dahlan), 1996. hlm.


(44)

pendapat Syeikh Ibrahim Al-Najuri hadhanah adalah memelihara orang yang tidak mampu mengurus diri sendiri dari sesuatu yang menyakitinya, karena belum dapat membedakan antara yang buruk dengan yang baik.39

Selanjutnya Wahbah Az-Zuhaili memberi pengertian hadhanah, menurut bahasa, hadhanah berasal dari kata “al hidlnu” yang berarti“ samping atau merengkuh ke samping. Adapun secara syara’ hadhanah artinya pemeliharaan anak bagi anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya. Atau, bisa juga diartikan memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhannya sendiri karena tidakmumayyizseperti anak-anak atau orang dewasa tetapi gila.40

Menurut Amir Syarifuddin, hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah putusnya perkawinan.41Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukan bahwa :

Hadhanahadalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil,

laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiztanpa perintanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya”.42

Menurut M.Hasballah Thaib, yang dimaksud hadhanah adalah merawat dan mendidik, menjaga dan mengatur orang yang belum mampu mengetahui dirinya sendiri disebabkan gila dan disebabkan masih anak-anak yang belummumayyiz.43

39Syeikh Ibrahim Al-Najuri,Al-Bajuri,Juz 2, hlm. 195, lihat juga H.A Fuad Said,Perceraian

Menurut Hukum Islam,(Jakarta:Pustaka Alhusna),1994, hlm.215.

40

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam (Wa Adillatuhu), Jilid 10, (Depok: Gema Insani, 2007), hlm.59.

41Amir Syarifuddin,Op .Cit., hlm. 327. 42Sayyid Sabiq,Loc.cit.

43M.Hasballah Thaib dan H. Marahalim Harahap, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam,


(45)

Sementara menurut istilah ahli fiqih, hadhanah berarti memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga makanan dan keberaniannya, mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupannya sebagai seorang muslim.44

Selanjutnya dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang belummumayyizatau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal (kecerdasan berpikirnya).Munculnya persoalan hadhanah tersebut adakalanya disebabkan oleh perceraian atau karena meninggal dunia orang tua, sementara si anak belum dewasa dan tidak mampu lagi mengurus diri mereka, oleh karenanya diperlukan adanya orang-orang yang bertanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak tersebut.

2. Dasar HukumHadhanah

Ulama fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya hukum memelihara dan mendidik adalah kewajiban bagi kedua orang tua45, anak yang tidak dipelihara akan terancam keselamatannya, hal merujuk pada ayat Al-Qur’an surat at-Tahrim ayat 6 yang berarti:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.46” Selain itu, hal ini dapat kita lihat

44Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,

2006), hlm. 129.

45

Muhammad Husain Zhabi,Al-Syari’ah al- Islamiyah: Dirasah Muqaranah baina Mazahib Sunnah Ea al-Mazahab al-Ja’fariyah,(Mesir: Daral-Kutub al-Hadisa, tth), hlm.170.

46Mushaf, Al-Qu’ran dan terjemaah Al-Qu’ran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustsar,


(46)

dari dasar hukum hadhanah dalam Islam dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 233, yang artinya:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan carama’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang itu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan walipun berkewajiban demikian.Apabila keduanya ingin menyapih (belum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kerjakan”.47

Selain itu juga terdapat hadist Rasulullah SAW. sebagaimana yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Al- Baihaqi dan Al-Hakim dari Abdullah bin’ Amru48:

“Bahwa seorang wanita berkata:”ya Rasullulah, sesungguhnya anakku ini, perutku menjadi tempatnya dan payudaraku isapannya dan lambungku menjadi pangkuannya. Ayahnya telah mentalakku dan hendak mengambilnya dariku, maka Rasullulah SAW bersabda: engkau lebih berhak mengasuh/memelihara selama engkau belum menikah”.

Selanjutnya,di Indonesia ketentuan mengenai hadhanah dapat dilihat pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa :

1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; 3) Segala pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

47M.Hasballah Thaib dan H.Marahalim Harahap,Loc.Cit. 48Ash-sha’ani.Op.Cit.,hlm.227.


(47)

Hal tersebut di atas juga dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa apabila putusnya perkawinan karena perceraian, maka:

1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan yang memberi keputusan.

2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya pnghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Kemudian juga dipertegas dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi:

1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya;

2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.

Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua, pemeliharaan tersebut meliputi: masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok bagi anak. Jadi meskipun diantara suami istri telah putus ikatan perkawinan diantara mereka namun kewajiban pemeliharaan anak tetap menjadi tanggung jawab keduanya sampai anak di bawah umur tersebut telah dewasa atau mandiri. Islam juga telah mengajarkan kewajiban bertanggung jawab itu secara tegas, sebagaimana dijelaskan pada hadist Rasullulah SAW, yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, yang artinya berbunyi:” Laki-laki wajib memelihara keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban dalam hal itu. Perempuan


(48)

wajib memelihara (segala sesuatu) dalam rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban dalam hal itu”.49

3. Syarat-Syarat Orang Yang Berhak Melaksanakan TugasHadhanah

Setiap anak yang masih di bawah umur memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam membentuk fisiknya maupun akhlaqnya. Seorang yang melakukan tugas hadhanah anak mempunyai andil dalam hal tersebut, sehingga memerlukan sikap yang arif, perhatian yang penuh dan kesabaran. Menurut M.Hasballah Thaib, karaktertik orang tua ideal bagi anak haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan kepribadian yang yakni: 1. Bertaqwa kepada Allah, 2. Mempunyai sifat ikhlas, 3.Berakhlak mulia, 4. Mempunyai sikap dan berkata benar, 5. Mempunyai sifat adil, 6. Bersikap sopan, 7. Bersisikap sabar, 8.Bersifat pemaaf, 9. Rukun dalam rumah tangga, 10. Memenuhi kebutuhan anak, 11. Membina kreatifitas anak, 12. Berdedikasi mendidik dan bertanggung jawab.50

Selanjutnya hukum Islam mengemukan ada beberapa persyaratan yang terkait dengan hadhanah atas anak yang harus dimiliki seseorang agar bisa melaksanakan tugas hadhanah,baik wanita maupun laki-laki. Syarat-syarat itu dibagi ulama fiqih dalam tiga katagori, yakni: a. syarat umum untuk wanita dan pria, b. syarat khusus untuk wanita, c. syarat khusus untuk pria51.

a. Syarat umum untuk pria dan wanita yang melakukanhadhanah

Adapun syarat umum untuk orang yang dianggap berhak melaksanakan tugas hadhanahatas anak, diantaranya:

49M. Hasballah dan Zamakhsyari,Pendidikan dan Pengasuhan Anak(Menurut Al-Qur’an dan

Sunnah),(medan:Perdana Mulya Sarana, 2012), hlm.57.

50

Ibid.,hlm.24-57.

51Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan,Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,( Jakarta:


(49)

1. Berakal

Orang gila dan idiot tidak boleh menjadi pelaksanahadhanahkarena keduanya juga membutuhkan orang lain untuk mengurus keperluan mereka. Selain itu untuk mengurus diri sendiri saja mereka tidak mampu, apa lagi untuk mengurus keperluan orang lain.

Ulama Mahzab Malikiyyah mensyaratkan seorang yang dapat melaksanakan tugas hadhanah haruslah orang cerdas.Seorang yang melaksanakan hadhanah tidak boleh orang yang bodoh (idiot) dan boros.Tujuannya agar harta milik anak yang dipelihara tidak dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak perlu.52

Jadi apabila seseorang itu tidak berakal maka ia tidak berhak untuk melakukan tugas hadhanah karena ia sendiri tidak dapat mengurus dirinya sendiri, sehingga hanya mereka yang memiliki akal yang dapat melaksanakan tugashadhanah.

2. Baligh (dewasa)

Hendaklah merekayang melakukan tugashadhanahadalah mereka yang sudah baligh/dewasa, berakal, tidak terganggu ingatannya, karena hadhanah adalah merupakan pekerjaan memerlukan tanggung jawab. Sementara itu ulama Mazhab Malikiyyahmenambahkan agar yang melakukan tugashadhanah adalah mereka yang tidak memiliki/menderita penyakit menular yang dapat membahayakan mahdhun (anak yang diasuh).53

52

Wahbah Az-Zuhaili,Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan)

Jilid 10,Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Darulfikir, 2011), hlm.66.

53Muhammad Ibnu Al-Syarbaini, Al-Iqna’, (Mesir: Mathba”ah al-Risalah, tth), Juz II,


(50)

3. Memiliki kemampuan dan kemauan dalam melakukan hadhanah dan mendidik mahdhundan juga tidak terikat dengan suatu perkerjaan yang bisa mengakibatkan tugashadhanahmenjadi terlantar.

Memiliki kemampuan untuk mendidik anak yang dipelihara, dan juga mampu untuk menjaga kesehatan dan kepribadian anak. Jadi orang lemah, baik karena sudah lanjut usia, sakit, maupun sibuk tidak berhak untuk mengurus anak.

Wanita yang berkerja diluar rumah (wanita karier) yang sibuk dengan perkerjaannya sehingga tidak memiliki waktu untuk mengurus anak juga tidak termasuk katagori orang yang berhak mengurus hadhanah anak. Akan tetapi jika kerjanya tidak menghambatnya dalam mengurus anak, ia tetap berhak untuk mengurusnya.54Jadi wanita yang berkerja diluar rumah masih memenuhi syarat menjadi (pengasuh).

4. Dapat dipercaya memegang amanah dan berakhlak baik

Orang yang dapat dipercaya memegang amanah, artinya seseorang yang melakukan hadhanah hendaklah orang yang dapat dipercaya memegang amanah., maka orang yang tidak amanah tidak berhak untuk melakukan hadhanah anak. Adapun yang termasuk dalam katagori tidak amanah adalah orang fasik baik laki-laki ataupun perempuan yang memiliki sifat, apabila dititipkan sesuatu dia tidak pernah menyembunyikannya, suka menipu, suka berkata tidak santun, pemabuk, pezina sering melakukan perbuatan yang dilarang (perkara yang diharamkan oleh Allah SWT). Namun Ibnu Abidin menjelaskan kefasikan yang menghalangi hak untuk


(51)

mengurus anak adalah kefasikan seorang ibu yang menyia-nyiakan anak, ia tetap berhak melaksanakan hadhanah anak meskipun sudah terkenal fasik, dengan syarat selama si anak belum mencapai usia mampu menggerti kefasikan ibunya. Namun jika sudah mengerti maka anak tersebut harus dijauhkan dari ibunya untuk menyelamatkan masa depan akhlak si anak. Disamping itu bagi laki-laki yang fasik dan pemarah maka ia tidak berhak mengurus hadhanah anak.55Ulama Mazhab Malikiyyah mensyaratkan tempat dan lingkungan untuk mengurus hadhanah anak haruslah kondusif.Orang yang rumahnya tempat berkumpulnya orang-orang fasik tidak berhak untuk melakukan hadhanah anak, ataupun lingkungan rumah yang membahayakan seperti tempat yang sering terjadi tindakkan kejahatan.56

Jadi orang melaksanakan tugashadhanahanak hendaklah orang yang berakhlak mulia karena orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh sebab itu ia tidak layak melakukan tugashadhanah. 5. Beragama Islam

Mereka yang kafir tidak boleh melaksanakan hadhanah anak kecil yang beragama Islam, karena hadhanah itu adalah semacam kekuasaan dan wewenang. Sebagaimana Allah SWT melarang orang kafir (bukan muslim) menguasai orang Islam, yang ditegaskan dalam firmanNya Surat An-Nisa’ ayat 141, yang artinya berbunyi:

55Ibid. 56Ibid.


(52)

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.

Namun dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat tentang hal tersebut,boleh atau tidaknya anak diasuh oleh non muslim (tidak beragama Islam).57 Menurut Mazhab Syafi’iyyah dan Mazhab Hambali mensyaratkan bahwa hadhanah atas seorang yang muslimah atau muslim, maka yang berhak untuk melakukanhadhanah adalah haruslah orang yang seagama dengan anak(beragama Islam), karena orang non muslim tidak punya kewenangan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam, hal ini sejalan dengan firman Allah SWT Surat An-Nisa’ ayat 141 tersebut di diatas. Disamping itu juga dikhawatirkan jika yang melaksanakan hadhanah itu bukan muslim, maka akan membawa atau mempengaruhi anak yang diasuh(madhun)masuk ke dalam agamanya.Akan tetapi Mazhab Hanafiyyah dan Mazhab Malikiyyah, tidak mensyaratkan yang melaksanakan hadhanah haruslah seorang yang beragamaIslam, selama anak itu belum mumayyiz (dibawah umur tujuh tahun).Menurut merekahak

hadhanah seorang ibu terhadap anaknya yang lahir dari perkawinan secara Islam

tidak menjadi gugur disebabkan ibu tidak beragama Islam, kecuali jika anak itu sudah mumayyiz58. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW, pernah menyuruh anak memilihuntuk berada di bawah asuhan ayahnya yang muslim atau pada ibunya yang musyrik, tetapi anak itu memilih ibunya. Lalu

57

Abdurahman al-juzairi,Kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Araba’ah,(Beirut: Dar al-Fikr), Jilid IV. hlm. 596-598, lihat juga: Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan,Op.Cit.,hlm. 122.

58Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:


(53)

Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah, tunjuki anak itu, condongkan hatinya kepada ayah”.

Jadi sebaiknya orang yang melaksanakan tugas hadhanah hendaklah orang seagama dengan si anak (beragama Islam), agar anak lebih terpelihara baik secara fisik maupun secara akhlaknya, sehingga tidak menimbulkan mudharat.

b. Syarat khusus bagi wanita(hadhinah) yang melaksanakan tugashadhanah

Menurut para ahli fiqih syarat khusus bagi pria yang melaksanakan tugas hadhanahadalah sebagai berikut59:

1. Wanita yang melaksanakan hadhanah adalah wanita yang belum kawin lagi setelah putusnya perkawinan dengan suaminya. Artinya jika yang melakukan tugas hadhanah adalah ibu kandung dari anak yang diasuh, disyaratkan tidak menikah dengan lelaki lain. Hal ini sejalan dengan hadist Rasulullah SAW, yaitu: “Engkau (ibu) lebih berhak mengasuh anakmu, selama engkau belum kawin dengan lelaki lain”. Jadi ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum kawin dengan laki-laki lain. Hal ini disebabkan dikhawatirkan suami kedua dari si ibu yang tidak merelakan istrinya disibukkan mengurus anaknya dari suami sebelumnya, selain itu biasanya suami kedua cenderung resah dan kurang ikhlas dengan keberadaan anak kecil tersebut bersama ibunya, akibatnya anak akan merasa kurang kasih sayang, tentunya, hal ini akan mempengaruhi psikis anak tersebut. Kecuali jika wanita tersebut menikah lagi dengan kerabat anak yang diasuhnya, maka ia boleh


(54)

mengasuhnya. Hal ini dikarenakan bila suamidari ibu si anak adalah muhrim anak maka ia akan menyayanginya seperti anaknya sendiri. Sehingga

kebersamaan anak tersebut dengan istrinya tidak membuat resah karena adanya hubungan kekerabatan yang dapat menimbulkan kasih sayang60.

2. Wanita yang melaksanakan tugas hadhanah merupa mahram (wanita yang haram untuk dinikahi) anak, contohnya ibu,nenek, saudara perempuan ibu dan seterusnya.

3. Wanita yang melaksanakan hadhanah adalah wanita yang menyayangi si anak dan memiliki sifat yang baik. Menurut ulama Mazhab Malikiyyah wanita yang mengasuh anak tersebut tidak boleh memiliki sikap yang tidak baik seperti pemarah dan membenci anak tersebut, karena berdampak tidak baik bagi si anak.

4. Apabila anak yang diasuh masih dalam usia menyusui dengan wanita pengasuhnya, tetapi air susunya tidak ada atau wanita yang mengasuh tersebut tidak mau menyusui anaknya, maka ia tidak berhak menjadi pengasuh (melaksanakan tugas hadhanah). Hal ini dikemukan oleh ulama Mazhab Syafi’iyyah dan Mazhab Hambali.61

5. Wanita yang melaksanakan hadhanah adalah wanita yang tidak berhenti melaksanakan tugashadhanahmeskipun tidak diberikan upahhadhanahkarena

60

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Al-Wajiz fi Ahkam Al-Usrah Al-Islamiyah (Panduan Hukum Keluarga Sakinah),Terjemahan Harits Fadli dan Ahmad Khotib, (Solo: Era Intermedia,2005), hlm. 593.


(55)

secara ekonomi ayah sianak sedang mengalami kesulitan sehingga tidak mampu membayar upah hadhanah. Syarat ini ditetapkan oleh ulama Mazhab Hanafiyyah.62

c. Syarat khusus bagi laki-laki (hadhin) yang melaksanakan tugashadhanah

Bagi seorang laki-laki yang melaksanakan tugas hadhanah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Jika pengasuhnya adalah muhrim

Para fuqaha membolehkan laki-laki untuk melaksanakan hadhanahbagi anak perempuan namun haruslah laki-laki yang muhrim bagi si anak, baik anak tersebut masih kecil ataupun telah mumayyiz, baik itu karena tidak ada wanita yang berhak melakukanhadhanahbaginya atau mungkin ada tetapi tidak memenuhi kualifikasi

hadhanah. Namun menurut ulama Hanafiyyah dan Hambali hendaknya anak

perempuan tersebut berusia masih kecil atau jika anak yang hendak diasuh itu cantik parasnya maka usianya maksimal tujuh tahun. Tujuan ini tidak lain agar tidak terjadi khalawat antara keduanya63.

2. Jika yang mengasuh bukan muhrim

Jika orang yang melakukan tugas hadhanah adalah laki-laki yang bukan muhrim bagi anak, maka diperbolehkan dengan syarat pengasuh (laki-laki) tersebut haruslah memenuhi kualifikasi hadhanah, yakni ada wanita bersama laki-laki tersebut yang ikut membantu memelihara anak tersebut.64

4. Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan SyaratHadhanah

62

Loc, Cit,hlm. 69.

63

Ibid.

64Tuzaemah T. Yanggo, Fiqih Anak, (Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Abbas, Syarizal.Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional.Jakarta: Prenada Group, 2009.

Al- Fauzan, Saleh.Fiqih Sehari-Hari,Terjemahaan Abdul Hayyie Al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2006.

Al Hamdani, Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1989.

Al-Jaauhari, Muhmud Muhammad. Membangun Keluarga Al-Qu’ran, Terjemahan Kamran As’ad Irsyady, Jakarta: Amzah, 2005.

Amini, Ibrahim. Anakmu Amanatnya,Terjemahaan M.Anis Maulachela, Jakarta: Al-Huda, 2006.

Amriani, Nurnaningsih. Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pegadilan, Jakarta: Rajawali, 2011.

Amin Suma, Muhammad.Hukum Keluaraga Islam Di Dunia Islam,Jakarta: PT. Raja Gralindo Persada, 2004.

Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi Sejarah Peradilan Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

Ash-sha’ani,Subulus Salam,Terjemahan Abubakar Muhammad Jilid 3, Surabaya: Al Ikhlas, 1995.

Ashofa, Burhan.Metode Penelitian Hukum,Cet ke II, Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Al Afifi Thaha Abdullah. Hak Orang Tua Pada Anak dan Hak Anak Pada Orang

Tua, Terjemahan Zaid Husein Al Hamid, Jakarta:Dar El Fikr Indonesia, 1987. Azis Dahlan, Abdul, et.al.Eksiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Jakarta: PT. Ichtiar Baru


(2)

Az-Zuhaili, Warbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan) Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:Darul fikir, 2011.

---, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jihad, Pengadilan dan Mekanisme Mengambil Keputusan, Pemerintahan Dalam Islam), jilid 8 . Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:Darul fikir, 2011.

---, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jaminan (Al-Kafaalah), Pengalihan Utang Hawaalah), Gadai (Ar-Rahn), Paksaan Ikraah), Kepemilikan (Al-Milkiyyah)). Jilid 6, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:Darul fikir, 2011

Boulle, Laurence. Mediation: Principle, process, practice (Sydney: Butterworths,1996.

Effendi, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004.

Fuady, Munir.Arbitrase Nasional, Bandung: Aditya Bakti, 2000.

Ghufran, Ali. Lahirlah Dengan Cinta Fikih Hamil dan Menyusui, Jakarta: Amzah, 2007.

Ghodzali, Abdurahman.Fiqih Munahakat, Jakarta: Kencana, 2008.

Goopaster, Gary. Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi,Jakarta:ELIPS Project, 1993. Harahap, M. Yahya.Hukum Perkawinan Nasional, Medan: Zahir Trading, 1975. Hartono, Sunaryati.Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20,Bandung:

Alumni, 1994.

Hamid, Zahri. Beberapa Masalah tentang Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Secara Sosiologi Hukum,Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1987. Husain Zhabi, Muhammad. Al-Syari’ah al- Islamiyah: Dirasah Muqaranah baina

Mazahib Sunnah Ea al-Mazahab al-Ja’fariyah,Mesir: Daral-Kutub al-Hadisa, tth.


(3)

Jauhari, Imam. Kapita Selekta Hukum Islam, Jilid 2, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007.

---.Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam,Jakarta:Pustaka Bangsa, 2003. ---, Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Menurut Hukum Islam,

Medan: Pustaka Bangsa Press, 2009.

Jawad Mughniyah, Muhammad.Fiqih Lima Mazhab,Terjemahan Masykur A.B, dkk, Jakarta: Lentera, 2008.

Johan, Bahder dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, Komplikasi Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shadaqah , Bandung :Madar Maju, 1997.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah, Kamus Istilah Karya Tulisan Ilmiah, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

K.Yin, Robert. Application of Case Study Research, London: Sage Publication, 1994.

Lubis, M. Solly.Filsafat Ilmu Dan Penelitian,Bandung: Bandar Maju, 1994.

Mubarok, Jail. Pengadilan Agama Di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Muhammad bin Isma’il al- Kahlani,Subulus Salam,Juz 3, Bandung : Dahlan, 1996. Mushaf, Al-Qu’ran dan terjemaah Al-Qu’ran Al-Karim, Jakarta: Pustaka

Al-Kaustsar, 2009.

Mahmud Marzuki, Peter. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta; Kencana Pranada Media Group, 2008.

Mazkur Salam.Peradilan Dalam Islam,Cet ke-4, Terjemahan, Imron AM, Surabaya: Bina Ilmu, 1993.

Mahmud Mathlub, Abdul Majid. Al-Wajiz fi Ahkam Al-Usrah Al-Islamiyah (Panduan Hukum Keluarga Sakinah), Terjemahaan Harits Fadli dan Ahmad Khotib, Solo: Era Intermedia, 2005.


(4)

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.

Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 2006.

Nuruddin, Amiur. Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, Undang-Undang No.1/1974 Sampai KHI), Jakarta:Kencana, 2004.

N. Kerlinger, Fred. Asas-Asas Penelitian Behavioral, Yogjakarta: Gadjah mada Universitas Press, 2004.

Prodjohamidjodjo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002.

Rintonga, A. Rahman et.all. Ensikopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1999.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, Jilid II, Terjemahaan Imam Ghazali Said Jakarta: Pustaka Amani, 2007.

---. Bidayatul Mujtahid, Jilid III, Terjemahaan Imam Ghazali Said Jakarta: Pustaka Amani, 2007.

---,Maqaddimah Ibn Rusyd, Juz II, Darul Fikr, tth.

Said, H.A Fuad.Perceraian Menurut Hukum Islam,Jakarta:Pustaka Alhusna, 1994. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jild VIII, Terjemahaan Moh. Thalib, Bandung: PT.

Alma’ arif, 1995.

Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, Jakarta: Khalifa, 2004.

Severe,Resorasi Media Perlindungan Anak Konflik Hukum,Yogyakarta: Terjemahan Aviandari D. PT Budi Pustaka, 2005.


(5)

Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1999.

Soekarto Soejono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja grafindo Persada, 1995.

Suryabrata, Sumadi.Metode Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo, 1998. Surayin,Kamus Umum Bahasa Indonesia,Bandung: Rama Widya, 2007

Syarifuddin, Amir.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,Jakarta: Kencan, 2009. Syamsu Alam, Andi dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,

Jakarta: Kencana, 2008.

Thaib, Hasballah. Falsafah Hukum Islam, Medan: Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, 1993.

---, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum, Medan: Universitas sumatera Utara, 2002.

Thaib, M.Hasballah dan H. Marahalim Harahap. Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam,Medan: Perdana Mulya Sarana, 2012.

T. Yanggo, Huzaemah. Fiqih Anak, (Metode Islam Dalam Mengasuh dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktifitas Anak), Jakarta: Al-Mawardi, 2004, 2012.

Thaib, M.Hasballah dan Marahalim Harap. Hukum Keluarga dalam Syariat Islam, Medan: Perdana Mulya Sarana,

Usman, Rachmadi.Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003.

Wirartha, Made. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, Yogyakarta: Andi, 2006.

Yunus, Mahmud.Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta:Al-Hidayah, 1968. Zakaria Anshari, Abu Yahya.Fathul Wahab,Juz II , Beirut: Dar al-Kutub, 1997.


(6)

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan

Anak.

Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Perma Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam nomor 10 tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’ah Islam.

C. TESIS DAN DISERTASI

Jamaluddin, Analisis Hukum Perkawinan terhadap perceraian dalam Masyarakat Kota Lhoksemawe dan Kabupaten Aceh Utara, Disertasi, Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008.

Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al- Syari’ah, Disertasi, Jakarta: Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatulah,1994.

D. JURNAL dan ARTIKEL

Iman Jauhari,“Penetapan Teori Tahkim Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Anak (Hadhanah) Di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam”, Asy-Syir’ah, Volume 45, No. II, (2011).

E. INTERNET

Ahmad zaenal

Fanani,http://www.badilag.net/data/artikel/wacana/hukum//teori/keadilan/perspektif/f ilsafathukum/islam,pdf,hlm.11,diakses tanggal 11 Febuari 2013.

http://family.fimela.com/dunia-ibu/update/haruskah-berebut-hak-asuh-anak-saat-bercerai?page=0,4, diakses tanggal 29 Mei 2013.