37
secara ekonomi ayah sianak sedang mengalami kesulitan sehingga tidak mampu membayar upah hadhanah. Syarat ini ditetapkan oleh ulama Mazhab
Hanafiyyah.
62
c. Syarat khusus bagi laki-laki hadhin yang melaksanakan tugas hadhanah
Bagi seorang laki-laki yang melaksanakan tugas hadhanah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Jika pengasuhnya adalah muhrim Para fuqaha membolehkan laki-laki untuk melaksanakan hadhanahbagi anak
perempuan namun haruslah laki-laki yang muhrim bagi si anak, baik anak tersebut masih kecil ataupun telah mumayyiz, baik itu karena tidak ada wanita yang berhak
melakukan hadhanah baginya atau mungkin ada tetapi tidak memenuhi kualifikasi hadhanah.
Namun menurut ulama Hanafiyyah dan Hambali hendaknya anak perempuan tersebut berusia masih kecil atau jika anak yang hendak diasuh itu
cantik parasnya maka usianya maksimal tujuh tahun. Tujuan ini tidak lain agar tidak terjadi khalawat antara keduanya
63
. 2. Jika yang mengasuh bukan muhrim
Jika orang yang melakukan tugas hadhanah adalah laki-laki yang bukan muhrim bagi anak, maka diperbolehkan dengan syarat pengasuh laki-laki
tersebut haruslah memenuhi kualifikasi hadhanah, yakni ada wanita bersama laki- laki tersebut yang ikut membantu memelihara anak tersebut.
64
4. Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Syarat Hadhanah
62
Loc, Cit, hlm. 69.
63
Ibid.
64
Tuzaemah T. Yanggo, Fiqih Anak, Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak serta Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Aktifitas Anak,
Jakarta: Al-Mawardi, 2004, hlm.134.
Universitas Sumatera Utara
38
a. Hal-hal yang mengugurkan hadhanah
Menurut ulama Malikiyyah, hak hadhanah gugur dengan 4 empat sebab, yaitu:
1. Perginya perempuan hadhinah ke tempat yang jauh.
Maksudnya perginya hadhin ke tempat yang jauh dengan menempuh jarak lebih dari 133 KM, jika wali dari anak asuh pergi atau hadhinahnya perempuan
yang melaksanakan hadhanah maka wali dari anak asuh berhak mengambil anak tersebut dari hadhinah, dan gugurlah haknya mengasuh anak, kecuali ia
membawa serta anak itu mahdhun dalam perjalanan. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa hak mengasuh anak dianggap gugur jika hadhinah yang
berstatus janda pergi ke tempat lain yang jauh, sehingga ayah anak yang diasuh tidak dapat mendatangi anaknya dalam jangka waktu setengah hari, untuk
kemudian kembali sampai ke rumah.
65
Adapun bagi hadhinah selain ibu si anak maka haknya gugur hanya dengan berpindah tempat tinggal. Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa hak seseorang
untuk mengasuh anak menjadi gugur jika ia pergi dengan niat untuk pindah, baik jaraknya
jauh maupun
dekat. Ulama
Hambali berpendapat
bahwa hak
mengurusanak gugur jika orang yang mengurusnya berpergian jauh dengan menempuh jarak yang membolehkan shalat qashar.
66
65
Wahbah Az-Zulahaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan Jilid 10,Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:Darul fikir, 2011, hlm. 70.
66
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
39
2. Bila ia menderita penyakit yang membahayakan.
Hak seseorang dalam melaksanakan tugas hadhanah gugur jika iamenderita penyakit yang membahayakan seperti gila, lepra, dan kusta. Hal ini menurut
pendapat ulama Mazhab Hambali. 3.
Bila ia fasik atau pengetahuan agamanya kurang Hak seseorang untuk mengurus anak juga gugur jika ia fasik atau pengetahuan
agamanya kurang, seperti misalnya ia tidak dapat dipercaya untuk mengurus anak karena tidak tercapainya kemaslahatan dalam asuhannya. Pendapat ini telah
disepakati oleh para ulama.
67
4. Bila ia sudah menikah lagi
Hak seorang hadhinah khususnya ibu jika ia sudah menikah lagi, kecuali jika jika hadhinah menikah dengan muhrim si anak.Akan tetapi, jika suami ibu
dari anak tersebut memiliki kasih sayang pada anak, maka hak hadhanah ibu tersebut masih berlaku.
68
Berbeda dengan pendapat ulama Mazhab Syafi’iyyah, bahwa hak hadhanah ibu gugur secara mutlak disebabkan perkawinannya dengan
laki-laki lain, baik laki-laki tersebut memiliki kasih sayang maupun tidak.
69
b. Kembalinya hak melaksanakan tugas hadhanah
Meskipun ada hal-hal yang menghalangi seseorang untuk dapat melaksanakan tugas hadhanah atas anak maka hal tersebut dapat dibatalkansebagaimana menurut
pendapat para ulama mazhab, yaitu
70
:
67
Saleh Al- Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2006, hlm.753.
68
Ibnu Qudmah, Al-Mughni, Beirut: Daral-Kitab Al-Arabi, 1972, Jilid VII, hlm.300. Lihat juga Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op.Cit, hlm.132.
69
Wahbah Az-Zulahaili, Jilid 10, Op.Cit., hlm.71.
70
Op.Cit., hlm. 72.
Universitas Sumatera Utara
40
1. Menurut ulama Mahzab Malikiyyah Ulma mazhab Malikiyyah, berkata jika hak seorang hadhinah telah gugur
karena adanya uzur, seperti sakit, tempat yang membahayakan, pergi atau pindah tempat, dan pergi untuk menunaikan ibadah haji, kemudian uzur itu hilang karena
sembuh dari penyakit atau tempatnya sudah aman, atau pulang dari berpergian maka haknya atas hadhanah anak kembali lagi, hal ini karena uzur atau
penghalang yang mengugurkan haknya telah hilang.Kaidahnya menyebutkan, “jika penghalangnya hilang maka sesuatu yang tadinya terlarang menjadi tidak”.
Selanjutnya jika seorang hadhinah menikah lagi dengan seorang lelaki lain yang bukan muhrimnya dan melakukan hubungan suami istri, atau ia pergi jauh
tanpa uzur, kemudian menjanda lagi baik karena perceraian, karena perkawinanya dibatalkan,maupun karena kematian suaminya atau ia kembali lagi dari perjalanan
jauh yang tidak ada uzur maka haknya untuk melaksanakan tugas hadhanah tidak kembali lagi meskipun penghalangnya sudah tidak ada. Hal ini dikarenakan
gugurnya hak hadhanahitu dari dirinya sendiri dan tidak ada uzur.
71
2. Ulama Mazhab Hanafiyyah, mazhab Syafi’iyyah dan Hambali Mereka berpendapat,jika hak hadhinah gugur
karena adanya penghalang, namun kemudian penghalang itu hilang maka hak hadhanah anak itu kembali lagi
kepadanya, baik penghalang itu karena terpaksa seperti sakitatau penghalang itu karena keinginannya sendiri seperti kawin, berpergian dan fasik. Akan tetapi,
menurut Mazhab Hanafiyyah hal itu harus langsung tanpa menunda-nunda waktu
71
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
41
bagi perempuan yang dicerai ba’in meski sebelum selesai iddahnya, namun jika dicerai raj’i maka ia harus menunggu masa iddahnya dulu.
Ulama Mazhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa wanita yang dicerai masih berhak mengurus hadhanah anaknya secara langgsung sebelum selesai masa
iddahnya, dengan syarat mendapat izin dari suami. Namun jika suami tidak memberi izin maka wanita itu tidak berhak atas hadhanah anaknya.
72
Namun hal
tersebut berbeda
menurut pendapat
ulama Mazhab
Hambali,bahwa wanita yang dicerai tetap berhak mengurusmelaksanakan tugas hadhanah
atas anaknya, meskipun cerai raj’i dan belum selesai masa iddahnya.
5. Berakhirnya hadhanah